Anda di halaman 1dari 24

ANALISA PUTUSAN NOMOR 1677 K/Pdt/2013

A. Kasus Posisi
Perkara perdata ini terjadi antara Ny. Hj.Salbiyah yang
berkedudukan sebagai Pemohon Kasasi yang dulunya adalah
Penggugat atau Pembanding serta PT Bank Mandiri (Persero) Tbk,
Cabang Cimanggis dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Plaza
Mandiri yang berkedudukan sebagai Para Termohon Kasasi yang
dulunya adalah Para Tergugat atau Para Terbanding. Kasus ini diawali
ketika terjadi perjanjian kredit antara pihak penggugat dengan
Tergugat I pada tahun 2006 dengan kategori kreditnya adalah kredit
mikro, dimana Penggugat berkedudukan sebagai debitur dan Tergugat
I sebagai kreditur yang dibuktikan dengan Perjanjian Kredit Nomor
PK/Kum/Mapan.421/2006. Kredit mikro periode pertama ini berjalan
dengan lancar bahkan dapat dikatakan bahwa debitur merupakan
debitur yang berprestasi dalam artian tidak pernah telat ataupun
menunda membayar angsuran. Oleh sebab itu kemudian Tergugat I
memberikan pinjaman kredit lagi kepada Penggugat sebesar Rp
40.000.000,00. Pelaksanaan kredit periode kedua tersebut sudah
berjalan selama 11 bulan. Namun sayangnya pada bulan ke 12,
Penggugat mengalami kesulitan ekonomi sehingga terlambat
membayarkan angsuran.
Tahapan yang dilakukan oleh pihak Tergugat ketika ada
nasabahnya yang telat bayar adalah terlebih dahulu memberikan surat
teguran yang disebut dengan Surat Peringatan Pertama, Kedua, dan
Ketiga baru kemudian jika tidak ada itikad baik sama sekali dari pihak
debitur, bank selaku pihak kreditur dapat mengirim Debt Collector
untuk membantu menagih. Namun yang terjadi di lapangan adalah
tidak sesuai dengan ketentuan tersebut. Tergugat langsung
mengirimkan debt collector tanpa melalui tahap pemberian SPI, SPII,
ataupun SPIII. Bahkan cara debt collector dalam menagihpun sungguh
tidak sopan, hingga pada akhirnya Penggugat berupaya membayar
dengan menggadaikan sepeda motor senilai Rp 1.000.000,00 namun
nyatanya uang tersebut tidak disetor kepada Tergugat I. Akibatnya
justru Tergugat I menerbitkan Surat Peringatan Terakhir tertanggal 31
Oktober 2007 dengan Nomor MBU.JKT.CMG/207/2007 yang
dialamatkan kepada Penggugat. Itu artinya dari sisi penggugat, pihak
tergugat telah melanggar ketentuan dengan tidak mengirimkan SPI
dan SPII melainkan langsung lompat kepada pengiriman debt
collector baru kemudian mengeluarkan SPIII. Dari sini, Penggugat
menilai bahwa Tergugat I tidak teliti mengenai administrasi pembkuan
keluar masuk surat-surat sehingga menimbulkan masalah hukum.
Tidak diterbitkannya SPI dan SPII dan justru langsung menerbitkan
SPII merupakan pelanggaran terhadap asas Patita (Kepatutan,
Ketelitian, dan Kehati-hatian). Dalil tersebutlah yang disampaikan
oleh pihak penggugat.
Empat bulan berselang setelah diterbitkannya SP3, Tergugat I
tertanggal 18 Februari 2008 mengeluarkan Surat Nomor
MBU.JKT.CMG/073/2008 Tentang Pengalihan Titip Tagih yang
analog dengan AYDA (Agunan Yang Diambil Alih) sebagaimana
yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.
8/19/PB1/2006. Terhadap perkara tersebut justru Tergugat I
mengalihkan tanggungjawabnya kepada Tergugat II yang dibuktikan
dengan berita yang tersebar di media cetak yaitu (1) Media Cetak
Investigasi tertanggal 14 Juli 2008 pada halaman 4 dengan judul Bank
Mandiri Gunakan Preman Tagih Kredit; (2) Media Cetak Investigasi
tertanggal 1 Agustus 2008 edidi 4 dengan judul Ulama Depok Gugat
Bank Mandiri; dan (3) Media Cetak Investigasi Edisi 6 pada
September 2008 dengan judul Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
harus memeriksa Bank Mandiri. Tentunya adanya penggantian pihak
ini tidak sesuai dengan Surat Kuasa yang diberikan kepada Tergugat I
Nomor SBM.MBS/SK.060/2005 untuk bertindak atas nama Bank
Fakta Hukum. Berita yang tersebar di berbagai media pada pokoknya
adalah “Telah terjadi kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oleh
debt collector disaat mengaih, terlambat 2 bulan langsung diterbitkan
SP3, Aktivitas mengaji terhenti selama 2 bulan akibat kekerasan 2
orang menjadi setress dan sakit, kerugian yang timbul sebesar Rp 3,5
Miliar”. Terhadap pemberitaan tersebut tidak ada tanggapan baik dari
pihak Tergugat I ataupun Tergugat II sehingga patut dinyatakan
bahwa Tergugat II beritikad tidak baik dalam menyelesaikan perkara
ini.
Pada tanggal 8 Januari 2009, Penggugat sempat menanyakan
perihal pemberian SPIII kepada Tergugat I namun tidak mendapatkan
tanggapan apapun baik dari pihak Tergugat I ataupun II, maka
akhirnya Penggugat kembali menempuh jalur media yaitu
menggunakan Media Cetak Tipikor Edisi Maret 2009 dengan judul
Ulama Depok Siap Gugat Bank Mandiri. Barulah setelah itu Bank
Mandiri memberikan respon dengan mengatur untuk diadakan
pertemuan pada tanggal 19 Juni 2009 di Kantor Tergugat II. Namun
sayangnya pada tanggal 19 Juni 2009, pihak Tergugat I maupun II
tidak hadir, sedangkan pihak Penggugat telah hadir. Itu artinya
Penggugat memiliki itikad baik untuk menyelesaikan kredit mikro
berdasarkan Perjanjian Kredit Nomor PK/Kum/Mapan/321/2006.
Karena pertemuan pada tanggal 19 Juni 2009 gagal, akhirnya
Tergugat II mengatur pertemuan kembali pada tanggal 23 Juni 2009
namun sayangnya tidak bisa terlaksana karena adanya wakti yang
bentrok. Kemudian akhirnya pertemuan dijadwalkan pada tanggal 17
Juli 2009. Dari pertemuan tersebut kedua belah pihak sepakat agar
Tergugat II membuat rincian tentang sisa hutang yang belum dibayar
oleh Penggugat yang kemudian direalisasikan pada tanggal 27 Juli
2009 melalui Surat Nomor RMN.RCR/RC2.08681/2009 yang
kemudian ditanggapi oleh Penggugat melalui Surat Nomor
405/AP/AB&R/E/VIII/2009 pada tanggal 10 Agustus 2009 dimana
Penggugat menyatakan kesanggupannya untuk membayar angsuran
sebesar Rp 2.000.000,00 setiap bulannya.
Namun disaat akan membayakan angusuran pada bulan Agustus
2009 ternyata rekening milik Penggugat telah ditutup oleh Tergugat I
dan II. Hal ini dengan jelas telah memperjelas adanya itikad buruk
dari para tergugat. Para tergugat cenderung justru menciptakan situasi
dimana Penggugat tidak lagi bisa membayarkan cicilan hutangnya.
Akibat penutupan rekening ini terhitung sejak Agustus 2009 hingga
Julu 2011 yaitu pada saat gugatan ini diajukan, penggugat seharusnya
bisa mengurangi jumlah hutangnya sebesar Rp 2.000.000,00 dikali 22
bulan yaitu sebesar Rp 44.000.000,00. Kemudian menurut Penggugat,
para tergugat juga menimbulkan kerugian dari segi waktu dimana
terhitung sejak dikeluarkannya SPIII pada tanggal 31 Oktober 2007
hingga akhrinya perkara ini diajukan ke Pengadilan Negeri Depok
terdapat rentang waktu selama 3 tahun 9 bulan yang artinya jika
dihitung maka pihak Penggugat mendapatkan kerugian sebesa Rp
3.500.000.000,00. Tidak ada lagi undangan musyawarah guna
menemukan solusi penyelesaian kredit milik Penggugat, sehingga
adanya kerugian yang diderita oleh Penggugat ini akhirnya Penggugat
melayangkan gugatan ke Pengadilan Ngeri Jakarta Pusat No.
350/Pdt.G/2008/PN.Jkt. Pusat pada tanggal 30 Juli 2009. Gugatan
yang dilayangkan oleh Penggugat adalah perbuatan melawan hukum
yang unsur-unsur perbuatannya adalah:
1. Perbuatan melawan hukum. Perbuatan yang dimaksud adalah
penutupan rekening milik penggugat.
2. Kerugian berupa materiil dan immateriil jika saja rekening milik
penggugat tidak ditutup maka penggugat dapat menyicil
hutangnya. Kerugian yang diderita oleh Penggugat dari segi
kerugian materiil berjumlah sebesa Rp 1.384.562.000,00 (satu
miliar tiga ratus delapan puluh empat juta lima ratus enam puluh
dua ribu rupiah), sedangkan kerugian immateriil nya mencapai
Rp 2.115.438.000,00 (dua milyar seratus lima belas juta empat
ratus tiga puluh delapan ribu rupiah).
3. Kesalahan dimana para tergugat telah beritikad tidak baik untuk
menyelesaikan sengketa yang terjadi.
4. Hubungan kausal antara pebuatan dnegan kerugian dimana ketika
rekening ditutup, penggugat jadi tidak bisa membayar cicilan
hutang, dan dengan demikian rincian denda terus menerus akan
dihitung karena penggugat dianggap belum membayarkan
angsurannya.
Kesulitan pihak penggugat untuk membayar hutangnya adalah
akibat rekening yang dihapus oleh Tergugat. Adanya perbuatan ini
jelas telah melanggar Peraturan Bank Indonesia No. 8/19/PBI/2006
tntang Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) karena menurut peraturan
tersebut, bahwa selama dua tahun debitur tidak dapat melunasi
hutangnya maka dicatat sebagai biaya atau kerugian non opersional.
Sehingga AYDA dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 2008 hingga
diterbitkan Surat oleh Tergugat ii tertanggal 26 April 2010 dengan
Nomor RMN/RTR/RC2.00645/2009 adalah 2 tahun 2 bulan shingga
Surat Tergugat II tersebut sudah bertentangan dengan PBI No.
8/19/PBI/2006 tentang AYDA. Ketika surat dianggap bertentangan
maka surat tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang
mengikat.
Sebagaimana yang telah disebutkan tadi bahwa akibat didatangi
oleh debt collector akhirnya Penggugat menggadaikan motornya
kepada debt collector namun nyatanya hasil dari gadai tersebut tidak
pernah sampai ke tangan pihak Tergugat I, itu artinya pihak tergugat
harus mengembalikan Sertifikat Hak Milik Nomor 00380/2002 karena
jika misalkan rekening milik penggugat tidak diajukan. Hutang yang
dimiliki oleh penggugat akan lunas dan sepeda motor miliknya juga
harusnya bisa dikembalikan.
Terhadap kasus ini, Penggugat mengajukan tuntutan agar Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Depok memberikan putusan sebagai
berikut:
1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya.
2. Menyatakan, adanya hubungan hukum antara Penggugat dan
Tergugat I, sedangkan Penggugat dengan Tergugan II tidak ada
hubungan hukum.
3. Menyatakan Tergugat I melanggar asas Patita (Kepatutan,
Ketelitian dan Kehati-hatian).
4. Menyatakan Surat Tergugat I tanggal 18 Februari 2008 Nomor
MBU.JKT.CMG/0T3/2003 analog dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/l9/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006, tentang
AYDA (Agunan Yang Diambil Alih).
5. Menyatakan Tergugat II beriktikad buruk menyelesaikan perkara
ini.
6. Menyatakan Penggugat beritiked baik untuk membayar Kredit
Mikro dimaksud.
7. Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II melakukan Perbuatan
melawan Hukum.
8. Menyatakan Surat Tergugat II tanggal 26 April 2010 Nomor
RMN.RTR/RC2-00645/2009 tidak memiliki kekuatan hukum
yang mengikat.
9. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar
kerugian materiil dan kerugian immateriil secara tangung renteng
yang kalau dijumlahkan sebesar Rp3.500.000.000,00 (tiga miliar
lima ratus juta rupiah) kepada Penggugat secara tunai.
10. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk mengembalikan
Sertifikat Hak Milik Nomor 00380/2002 tanggal 26 September
2002 atas nama Muhammad Romli kepada Penggugat.
11. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar uang
paksa (dwangsom) sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per
hari kepada Penggugat atas kelalaian dalam putusan ini terhitung
sejak dibacakannya hingga pelaksanaannya.
12. Menyatakan putusan ini dijalankan terlebih dahulu sekalipun ada
upaya Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (PK).
13. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar biaya
perkara menurut hukum.
Tidak terima dengan gugatan yang diajukan oleh pihak Penggugat
maka pihak Tergugat turut mengajukan gugatan rekonvensi dimana
berarti terjadi perubahan kedudukan yang semula Penggugat menjadi
Terguagt Rekonvensi dan yang semua Tergugat menjadi pihak
Penggugat Rekonvensi. Bahwa dalam gugatan rekonvensi tersebut
terdapat beberapa hal penting yang harus digaris bawahi yaitu sebagai
berikut:
1. Tergugat Rekonvensi mengajukan Surat No 12902/2006
tertanggal 13 Oktober 2006 dalam rangka mengajukan kredit
tambahan untuk keperluan membangun usaha kontrakan dan
akhirnya pihak Penggugat Rekonvensi memberikan persetujuan
kredit sebesar Rp 40.000.000,00 melalui Surat Nomor
MBG/JKT.CMG/421/2006 tertanggal 18 Oktober 2006 dengan
agunan tanah dan bangunan seluas 310 m 2 dengan bukti
kepemilikan SHM Nomor 00380/2002 tanggal 26 September
2002 yang terletak di Kelurahan Pondok Terong, Kecamatan
Pancoran Mas atas nama H. Muhammad Romlih yang
merupakan suami dari Tergugat Rekonvensi dan akhirnya
terbitlah Perjanjian Kredit Nomor PK/KUM Mapan/421/2006.
Kemudian tanah dan bangunan tersebut telah diikat dengan Akta
Pemberian Hak Tanggungan Nomor 105/2006.
2. Dalam perkembangannya, Tergugat Rekonvensi mengalami
kesulitan dalam melunasi pembayaran kewajiban kreditnya
sesuai kesepakatan sebagaimana tertuang dalam Perjanjian
Kredit Nomor PK/KUM Mapan/421/2006 tanggal 19 Oktober
2006, oleh karenanya Penggugat Rekonvensi telah berkali-kali
memanggil Tergugat Rekonvensi untuk mencari solusi
penyelesaian kewajiban kreditnya. Namun Tergugat Rekonvensi
tidak mengindahkan dan tetap tidak dapat membayar kewajiban
sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan. Oleh karenanya
melalui surat Nomor MBU.JKT.CMG/207/2007 tanggal 31
Oktober 2007, Penggugat Rekonvensi menyampaikan Surat
Peringatan Terakhir yang ditujukan kepada Tergugat Rekonvensi
agar menyelesaikan seluruh kewajiban kreditnya.
3. Jumlah kewajiban pembayaran kredit yang harus diselesaikan
oleh Tergugat Rekonvensi per tanggal 3 Februari 2012 adalah Rp
91.230.544,62 dengan rincian sebagai berikut:
Sisa pokok Rp 24.444.445.99
Bunga berjalan Rp 31.240.000,87
Denda Rp 10.130.230,17
Denda berjalan Rp 25.415.867,59
4. Berdasarkan Pasal 2 Akta Pemberian Hak Tanggungan No.
105/2006, Penggugat Rekonvensi berhak untuk menjual tanah
dan bangunan agunan kredit milik tergugat rekonvensi apabila
terjadi telat atau gagal bayar.
5. Karena tidak menanggapi dengan baik segala panggilan dan
memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh Penggugat
Rekonvensi untuk menyelesaikan kewajibannya maka Tergugat
Rekonvensi dinyatakan telah wanprestasi terhadap Penggugat I
Rekonvensi dan Penggugat II Rekonvensi.
Atas beberapa point yang disampaikan di atas, maka Penggugat
Rekonvensi mengharapkan Majelis Hakim untuk memutus sebagai
berikut:
Dalam Provisi
Memerintahkan kepada Tergugat Rekonvensi untuk tidak
manyewakan atau mamindahtangankan dangan cara apapun kapada
pihak manapun tanah dan bangunan SHM Nomor 00380/2002 yang
diterbitkan Kantor Partanahan Kota Depok serta aset-aset Iainnya
yang telah diikat dengan Hak Tanggungan dan Akta Fidusia ataupun
bentuk penjaminan Iainnya, terkait dengan fasilitas kredit yang telah
diterima oleh Tergugat Rekonvensi dari Penggugat Rekonvensi.
Dalam Pokok Perkara
1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi
untuk seluruhnya.
2. Menyatakan Tergugat Rekonvensi telah melakukan perbuatan
ingkar janji (wanprestasi) yaitu tidak membayar seluruh
kewajiban kredit kepada Penggugat Rekonvensi yang telah jatuh
tempo dan harus dibayar.
3. Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk membayar segara dan
seketika atas seluruh kewajiban kredit berikut bunganya kepada
Penggugat Rekonpensi dan total sebesar Rp91.230.544,62,
(sembilan puluh satu juta dua ratus tiga puluh ribu lima ratus
empat puluh empat rupiah enam puluh dua sen) dengan perincian
sebagai berikut :
Sisa pokok Rp 24.444.445.99
Bunga berjalan Rp 31.240.000,87
Denda Rp 10.130.230,17
Denda berjalan Rp 25.415.867,59
4. Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk membayar uang paksa
(dwangsom) sebesar Rp1.000.000,00 secara tunai dan sekaligus
atas setiap hari keterlambatan penyelasaian kewajiban
pembayaran hutang kepada Penggugat Rekonvensi.
5. Menyatakan bahwa putusan ini dapat dijalankan dengan serta
merta walaupun ada upaya hukum banding, kasasi, peninjauan
kembali, atau upaya hukum Iainnya (uitvoerbaar bij vorraad).
Merasa tidak terima dengan Putusan Pengadilan Negeri Depok,
maka Penggugat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bandung
dengan Nomor Perkara 594/Pdt/2012/PT BDG, namun sayangnya
putusan yang diberikan justru menguatkan putusan pengadilan negeri
Depok sehingga pada tanggal 19 Maret 2013, Penggugat memutuskan
untuk mengajukan kasasi atas kasus tersebut, dengan memori kasasi
utamanya adalah sebagai berikut:
1. Ketika Judex Facti tingkat pertama menjatuhkan putusan
terhadap gugatan Penggugat sangat jelas dan nyata-nyata
bertentangan dengan rasa keadilan maupun kebenaran. Apa
artinya misi Mahkamah Agung RI butir 2 (dua) yang
menyatakan, bahwa memberikan pelayanan hukum yang
berkeadilan kepada pencari keadilan;
2. Bahwa pertimbangan Hukum Judex Facti pada halaman 5 dari 7
halaman Putusan Nomor 594/Pdt/2012/PT.Bdg tertanggal 29
Januari 2013 menyebutkan, menimbang bahwa setelah Majelis
Hakim Pengadilan Tinggi membaca, mempelajari dan meneliti
berkas perkara yang terdiri dari surat- surat, berita acara
persidangan serta Salinan Putusan Resmi Putusan Pengadilan
Negeri Depok tertanggal 29 Mei 2012 Nomor
142/Pdt.G/2011/PN.Dpk, Memori Banding dari Kuasa Hukum
Pembanding, Semula Penggugat dalam Konvensi/Tergugat
dalam Rekonvensi dan Kontra Memori Banding dari Kuasa
Hukum Para Terbanding, Semula Tergugat I dan Tergugat II
dalam Konvensi/Para Penggugat dalam Rekonvensi yang
dimohonkan banding tersebut, maka Majelis Hakim Pengadilan
Tinggi berpendapat bahwa tidak terdapat hal-hal baru dalam
Memori Banding maupun dalam Kontra Memori Banding
tersebut melainkan mengulangi saja hal-hal yang telah
dikemukakan dalam persidangan tingkat pertama yang
dipertimbangkan hukumnya telah dipertimbangkan dengan tepat
dan benar oleh Majelis Hakim tingkat pertama, Oleh karena itu
pertimbangan hukum tersebut diambil alih dan dijadikan sebagai
alasan pertimbangan hukum sendiri oleh Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi didalam mengadili dan memutuskan perkara
ini dalam tingkat banding;
Pertimbangan hukum tersebut di atas sangatlah keliru dan salah
dengan alasan bahwa:
a. Tidak jelas yang dimaksud dengan hal-hal baru oleh Judex
Facti. Upaya Hukum Banding oleh Penggugat/Pembanding
karena Judex Facti tingkat pertama salah menerapkan
hukum dimana jelas-jelas Tergugat I melanggar asas
kepatutan;
b. Adanya iktikad jahat Tergugat I dan Tergugat II, Sekarang
Termohon Kasasi I dan Termohon kasasi II, yaitu
menghapus Rekening Penggugat, Sekarang Pemohon
Kasasi. Sehingga Penggugat, Sekarang Pemohon Kasasi
Kesulitan untuk membayar Kredit Mikro sebesar Rp
47.222.286,98.
3. Bahwa Putusan Nomor 142/Pdt.G/2011/PN.Dpk tentang
wanprestasi atau ingkar janji yang diperkuat oleh Putusan Nomor
594/Pdt/2012/PT.Bdg adalah salah dengan alasan, selama 3 (tiga)
tahun, 11 (sebelas) bulan dan 27 (dua puluh tujuh) hari, terhitung
sejak diterbitkannya Surat Peringatan terakhir tanggal 31 Oktober
2007 tidak dilakukan upaya paksa dengan cara mengajukan
permohonan lelang. Hal ini tidak dilakukan karena Tergugat I
dan Tergugat II merasa bersalah.
B. Putusan Hakim dan Pertimbangan Hukumnya
Terhadap posita gugatan yang diajukan oleh Penggugat dan
Posita Rekonvensi yang diajukan oleh Penggugat Rekonvensi, pada
tingkat pertama Pengadilan Negeri Depok memberikan putusan
dengan Putusan Nomor 142/Pdt.G/2011/PN. Dpk sebagai berikut:
A. Dalam Konvensi
I. Dalam eksepsi
Menolak eksepsi Tergugat I dan Tergugat II untuk
seluruhnya
II. Dalam Pokok Perkara
Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya
B. Dalam Rekonvensi
I. Dalam Provisi
Menolak Tuntutan Provisi para Penggugat
Rekonvensi/Tergugat I, II Konvensi untuk seluruhnya.
II. Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi/Tergugat
I, II Konvensi untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat Rekonvensi/Penggugat
Konvensi telah melakukan wanprestasi terhadap
Perjanjian Kredit nomor PK/KUM Mapan/421/426
tanggal 19 Oktober 2006;
3. Menghukum Tergugat Rekonvensi/Penggugat
Konvensi untuk membayar segera dan seketika atas
seluruh kewajiban kredit sebesar Rp74.839.115,86
( tujuhpuluh empat juta delapan ratus tigapuluh
sembilan ribu seratus limabelas koma delapan puluh
enam rupiah) kepada Penggugat Rekonvensi/Tergugat
I, II Konvensi;
4. Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi/Tergugat I, II
Konvensi untuk selain dan selebihnya
C. Dalam Konvensi dan Dalam Rekonvensi
Menghukum Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi untuk
membayar biaya perkara yang timbul sebesar Rp771.000,00
(tujuh ratus tujuh puluh satu ribu rupiah).
Kemudian atas pengajuan permohonan kasasi yang diajukan oleh
Penggugat, Majelis Agung berpendapat bahwa alasan tersebut tidak
dapat dibenarkan, oleh karena pertimbangan hukum Judex Facti
(Pengadilan Negeri dikuatkan Pengadilan Tinggi) sudah tepat dan
benar serta tidak salah menerapkan hukum) dan terbukti pihak
Pemohon Kasasi tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar
hutangnya kepada Termohon Kasasi sebesar Rp74.839.115,86 sesuai
Perjanjian Kredit Nomor PK/KUM Mapan/421/426 tanggal 19
Oktober 2006 sehingga Pemohon Kasasi telah ingkar janji
(wanprestasi) sehingga atas pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah
Agung memberi putusan untuk mengadili:
1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Ny. Hj.
Salbiyah tersebut;
2. Menghukum Pemohon Kasasi/Penggugat/Pembanding untuk
membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sejumlah Rp
500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Atas wanprestasi yang dilakukan oleh penggugat maka putusan
akhirnya adalah Mahkamah Agung kembali menguatkan dalil putusan
Pengadilan Negeri Depok dan Pengadilan Tinggi Bandung bahwa
Penggugat harus melunasi hutangnya kepada Tergugat I.
C. Analisa Putusan
Baik putusan pada tingkat pertama yaitu Putusan Nomor
142/Pdt.G/2011/PN.Dpk, kemudian putusan pada tingkat banding
yaitu Putusan Nomor 594 Pdt/2012/PT.BDG, dan yang terakhir adalah
putusan kasasi yaitu Putusan Nomor 1667 K/Pdt/2013, semuanya
sama-sama memberikan keputusan untuk menolak gugatan penggugat
dengan tetap menyatakan bahwa Penggugat melakukan wanprestasi
karena tidak membayarkan angsuran kredit terhadap Perjanjian Kredit
Nomor PK/Kum/Mapan/421/2006. Menurut penulis terdapat beberapa
hal yang akan dianalisa dari putusan yang diberikan baik di tingkat
pertama, banding, ataupun kasasi, diantaranya adalah:
1. Mengenai posita Penggugat yang menyebutkan bahwa Tergugat
sama sekali tidak pernah mengirimkan SPI dan SPII melainkan
langsung mengirimkan debt collector dan baru kemudian
mengirimkan SPIII sekaligus Tergugat yang sama sekali tidak
pernah lagi mengupayakan musyawarah terkait penyelesaian
kredit mikro berdasarkan Perjanjian Kredit Nomor
PK/Kum/Mapan/421/2006 selepas adanya pertemuan di tanggal
17 Juli 2009;
Disebutkan dalam posita gugatan rekonvensi yang disusun oleh
Penggugat Rekonvensi bahwa surat pemberitahuan ataupun surat
undangan pertemuan baru dikirimkan tertanggal 18 Februari
2008 hingga 26 April 2010 padahal pada posita gugatan yang
disusun oleh Penggugat SPIII diberikan pada tanggal 31 Oktover
2007, dengan demikian memang benar dalil yang disebutkan oleh
Penggugat bahwa Tergugat atau yang berkedudukan sebagai
Penggugat Rekonvensi tidak melakukan tahapan penagihan
sesuai dengan prosedur yaitu pemberitahuan melalui SPI, SPII,
SPIII, dan baru pengerahan deb collector. Namun sayangnya
pertimbangan ini sama sekali tidak dimasukkan dalam
pertimbangan hukum hakim. Hakim mengabaikan fakta bahwa
pihak Tergugat juga melakukan pelanggaran dengan
mengabaikan asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian. Di
dalam pertimbangan hukumnya hakim juga tidak menyebutkan
adanya permasalahan gadai sepeda motor senilai Rp
1.000.000,00 yang nyatanya tidak pernah diterima oleh pihak
Tergugat padahal dengan jelas bahwa Penggugat menyerahkan
motor tersebut kepada debt collector yang datang ke rumahnya
setelah berperilaku kasar.
2. Mengenai tindakan Tergugat yang menghapus rekening milik
Penggugat sehingga Penggugat tidak bisa melaksanakan hasil
musyawarah pada tanggal 17 Juli 2009 dimana Penggugat
menyanggupi untuk membayar Rp 2.000.000,00 setiap bulannya;
Baik majelis hakim pada tingkat pertama, banding, dan juga
kasasi juga tidak mempertimbangkan permasalahan ini sama
sekali. Pertimbangan hukum yang dijabarkan oleh hakim
hanyalah terpenuhinya unsur wanprestasi yang dilakukan oleh
Penggugat padahal perihal pengurusan kredit macet masih
banyak hal yang bisa diupayakan seperti misalnya restrukturisasi
kredit ataupun pengaturan ulang kredit, apalagi mengingat hasil
pertemuan pada tanggal 17 Juli 2009 adalah Penggugat yang
dengan itikad baiknya akan membayarkan angsuran hutangnya
setiap bulannya sebesar Rp 2.000.000,00 namun nyatanya di
Agustus 2009 saat ingin membayarkan angsurannya, rekeningnya
sudah ditutup dan itu artinya sama saja pihak Tergugat tidak
beritikad baik dalam menyelesaikan perkara kredit macet yang
dialami oleh Penggugat.
3. Mengenai pelanggaran terhadap Peraturan Bank Indonesia No.
8/19/PBI/2006 tentang Agunan Yang Diambil Alih (AYDA)
karena menurut peraturan tersebut, bahwa selama dua tahun
debitur tidak dapat melunasi hutangnya maka dicatat sebagai
biaya atau kerugian non opersional. Sehingga AYDA
dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 2008 hingga diterbitkan
Surat oleh Tergugat ii tertanggal 26 April 2010 dengan Nomor
RMN/RTR/RC2.00645/2009 adalah 2 tahun 2 bulan shingga
Surat Tergugat II tersebut sudah bertentangan dengan PBI No.
8/19/PBI/2006 tentang AYDA;
Permasalahan terakhir adalah mengenai Agunan Yang Diambil
Alih. Pihak penggugat sama sekali tidak menyebutkan perihal tanah
yang dibebani hak tanggungan atas persetujuan kredit mikro yang
diberikan oleh Tergugat. Penggugat Rekonvensi (Tergugat)
memberikan persetujuan kredit sebesar Rp 40.000.000,00 melalui
Surat Nomor MBG/JKT.CMG/421/2006 tertanggal 18 Oktober 2006
dengan agunan tanah dan bangunan seluas 310 m 2 dengan bukti
kepemilikan SHM Nomor 00380/2002 tanggal 26 September 2002
yang terletak di Kelurahan Pondok Terong, Kecamatan Pancoran Mas
atas nama H. Muhammad Romlih yang merupakan suami dari
Tergugat Rekonvensi dan akhirnya terbitlah Perjanjian Kredit Nomor
PK/KUM Mapan/421/2006. Kemudian di lain sisi, pihak Tergugat
(Penggugat Rekonvensi) juga tidak menyebutkan perihal motor yang
diambil alih oleh debt collector saat datang ke rumah penggugat. Hal
yang perlu dianalisa pertama kali adalah objek AYDA apakah tanah
atau motor karena sifat keduanya sama-sama diambil alih oleh pihak
bank.
Salah satu produk yang disediakan oleh bank adalah kredit.
Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 71 Tahun 1992 tentang
Perbankan, yang dimaksud dengan kredit adalah “penyediaan uang
atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain
yang mewwjibkan pihak peminjam untum melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Hal ini dalam
putusan tersebut tercermin dalam adanya Surat Perjanjian Kredit
Nomor PK/Kum/Mapan/421/2006 telah terjadi transaksi kredit antara
Tergugat dengan Penggugat. Adanya pemberian kredit tidak hanya
mendatangkan keuntungan bagi debitur saja namun pihak bank
sebagai kreditur juga mendapatkan keuntungan dari bunga yang
disematkan ke dalam pemberian kredit1. Jenis kredit yang dimiliki
oleh penggugat adalah kredit dengan jaminan, dimana sebelum pihak
bank memutuskan untuk memberikan kredit kepada debitur, pihak
bank akan terlebih dahulu melakukan penilaian terahadap agunan,
penilaian terhadap watak, kemampuan, modal, dan prospek usaha
yang dimiliki oleh debitor. Hal ini diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU
No. 10 Tahun 1998 yang berbunyi “Untuk mengurangi resiko
tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan
kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai
dengan diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus
1
Susanto, “Perjanjian Kredit Yang Dibuat Secara Baku Pada Kredit Perbankan Dan Permasalahan Pilihan
Domisili Hukum Penyelesaian Sengketa (Studi Kasus Pada Bank Sumut Cabang Jakarta Pusat),” Jurnal
Surya Kencana Satu : Dinamika Masalah Hukum Dan Keadilan 8, no. 2 (2017): 21–40.
diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut,
sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang
saksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek
usaha dari nasabah debitur”2.
Jaminan atau agunan akan memberikan kekuasaan kepada bank
untuk mendapatkan pelunasan jika suatu hari ternyata debitur
mengalami kredit macet atau bahkan gagal bayar selain itu juga bisa
dijadikan dorongan kepada nasabah untuk melunasi kewajibannya
kepada bank agar agunan atau jaminan yang diserahkannya diawal
tidak hilang3. Jaminan yang diberikan kepada bank biasanya adalah
tanah yang diatasnya dibebani hak tanggungan. Hal ini jugalah yang
terjadi di dalam kasus tersebut dimana jaminan dalam perjanjian
kreditnya adalah berupa agunan tanah dan bangunan seluas 310 m 2
dengan bukti kepemilikan SHM Nomor 00380/2002 tanggal 26
September 2002 yang terletak di Kelurahan Pondok Terong,
Kecamatan Pancoran Mas atas nama H. Muhammad Romlih yang
merupakan suami dari Tergugat Rekonvensi yang kemudian dibebani
hak tanggungan dengan bukti Akta Pemberian Hak Tanggungan
Nomor 105/2006 tanggal 19 Oktober 2006 yang dibuat oleh Erika
Feni Masyitho, S.H. selaku PPAT. Ketika suatu tanah dibebani atas
hak tanggungan artinya adalah nantinya apabila debitor ternyata
melakukan wanprestasi dan tidak memiliki itikad baik untuk
menyelesaikan maka tanah yang dibebani atas hak tanggungan
tersebut dapat dijual dan hasil dari penjualannya tersebut dapat
diambil sebagian untuk melunasi sisa hutangnya.
2
Bayu Rangga Warsito and Albertus Sentot Sudarwanto, “Penyelesaian Kredit Macet Dengan Agunan
Yang Diambil Alih (AYDA) Sebagai Upaya Perlindungan Kreditur Di Perseroan Daerah BPR Bank Klaten,”
Jurnal Hukum Dan Pembangunan Ekonomi 7, no. 2 (2019): 187–95.
3
S Nurjannah, “Eksistensi Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Hak Atas Tanah (Tinjauan
Filosofis),” Jurispridentie 5 (2018): 195–205.
Apabila dikemudian hari debitor tidak mampu melunasi
hutangnya maka terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan oleh
bank sebagai kreditor yaitu diantaranya4:
1. Pelelangan
Eksekusi hak tanggungan melalui pelelangan dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu (1) pemegang hak tanggungan dapat
mengajukan permohonan eksekusi hak tanggungan kepada Ketua
Pengadilan Negeri; dan (2) pemegang hak tanggungan dapat
melakukan eksekusi tanpa mengajukan permohonan ke ketua PN
namun meminta bantuan kepada KPKNL untuk melakukan
penjualan objek hak tanggungan.
2. Penjualan di bawah tangan
Pelaksanaan eksekusi di bawah tangan dilakukan ketika objek
hak tanggungan melibatkan pihak ketiga yang berkepentingan
sehingga penjualan hak tanggungan harus dilakukan atas
persetujuan pihak ketiga dan mengumumkannya pada surat kabar
daerah setempat.
Selain kedua cara tersebut, terdapat cara lain untuk mengambilalih
aset atau agunan milik debitur yaitu melalui Agunan Yang Diambil
Alih (AYDA). Berdasarkan PBI No. 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas
Aktiva Porduktif dan Pembentukan Penyusuhan Penghapusan Aktiva
Produktif Bank Perkreditan Rakyat yang dimaksud dengan AYDA
adalah “aktiva yang diperoleh BPR, baik melalui lelang atau diluar
lelang berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan
dan berdasarkan surat kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik

4
Grace Ayu Prabandari, Agus Nurdin, and Mujiono Hafidh Prasetyo, “Penyelesaian Kredit Yang Dijamin
Hak Tanggungan Dengan Ayda (Agunan Yang Diambil Alih) Bank Melalui Lelang,” Jurnal Notarius 14, no.
1 (2021): 581–97.
agunan dalam hal debitur telah dinyatakan macet” 5. Pengaturan serupa
juga dapat ditemukan di PBI No. 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian
Kualitas Aset Umum Bank dimana AYDA adalah “Aset yang
diperoleh bank, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan
berdasarkan penyerahan sukarela oleh pemilik agunan atau
berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan
dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank”.
Melihat dari dua pengertian diatas maka objek AYDA adalah tanah
dan bangunan seluas 310 m2 dengan bukti kepemilikan SHM Nomor
00380/2002 tanggal 26 September 2002 yang terletak di Kelurahan
Pondok Terong, Kecamatan Pancoran Mas atas nama H. Muhammad
Romlih. Aset inilah yang dapat dijual oleh pihak bank jika debitur
mengalami kredit macet atau gagal bayar.
Dari ketiga upaya yang dijelaskan di atas yaitu melakukan
pelelangan, penjualan bawah tangan, dan AYDA sama sekali tidak
ditemukan adanya upaya untuk menutup dan/atau menghapus
rekening milik Penggugat ketika Penggugat dinyatakan memiliki
kredit macet. Itu artinya menurut penulis benar bahwa disini pihak
bank telah melakukan pelanggaran dengan melakukan tindakan
sewenang-wenang yang merugikan penggugat yang statusnya masih
sebagai nasabah debitur bank tersebut. Menurut penulis, langkah yang
seharusnya dilakukan oleh bank adalah menjual tanah dan bangunan
seluas 310 m2 dengan bukti kepemilikan SHM Nomor 00380/2002
tanggal 26 September 2002 yang terletak di Kelurahan Pondok
Terong, Kecamatan Pancoran Mas atas nama H. Muhammad Romlih
karena memang terhadap tanah tersebut sudah dibebani hak

5
Nur Muhammad Dilapangan, “Agunan Yang Diambil Alih: Sebuah Mekanisme Dalam Penyelesaian
Kredit Macet,” JISIP (Jurnal Ilmu Sosial Dan Pendidikan) 5, no. 2 (2021).
tanggungan dan penyerahannya dilakukan secara sukarela. Tanah dan
bangunan tersebutlah yang menjadi objek AYDA bukannya kendaran
bermotor yang menjadi pokok permasalahan sebagaimana disebutkan
dalam posita gugatan Penggugat yang meminta untuk dikembalikan
kepemilikan atas motornya karena penyerahannya saja tidak terjadi
secara sukarela melainkan berada di bawah tekanan debt collector.
Menurut penulis, penggugat dalam hal ini sama sekali tidak
mengingkari bahwa dirinya telah melakukan wanprestasi karena
memang penggugat mengakui bahwa penggugat mengalami kesulitan
ekonomi sehingga tidak mampu membayar angsuran pada bulan ke
12, namun penggugat dengan sadar dan itikad baik bersedia
membayar Rp 2.000.000,00 setiap bulannya, mungkin memang tidak
sesuai dengan jumlah angsuran dan bunga yang semestinya
dibayarkan namun tetap saja penggugat memiliki itikad baik untuk
melunasi hutangnya. Justru menurut penulis yang tidak memiliki
itikad baik adalah Tergugat yang dengan sengaja menutup dan
menghapus rekening milik Penggugat disaat penggugat ingin
menyetorkan angsuran senilai Rp 2.000.000,00. Jadi bisa dikatakan
bahwa kredit macet yang dialami oleh penggugat disebabkan oleh
penghapusan rekening yang dilakukan oleh pihak tergugat untuk
membiarkan penggugat semakin terkena bunga dan denda atas
tunggakannya tersebut. Kemudian hal yang perlu digaris bawahi disini
juga adalah, sebagaimana disebutkan pada poin sebelumnya jika
memang debitor dinyatakan mengalami kredit macet maka bank dapat
melakukan upaya paksa dengan melakukan pelelangan atas AYDA
yang ada yaitu berupa tanah dan bangunan seluas 310 m 2 dengan bukti
kepemilikan SHM Nomor 00380/2002 tanggal 26 September 2002
yang terletak di Kelurahan Pondok Terong, Kecamatan Pancoran Mas
atas nama H. Muhammad Romlih namun menurut posita kasasi yang
diajukan oleh Penggugat, pihak bank sama sekali tidak melakukan
upaya paksa apapun terhadap hak tanggungan yang ada dan hanya
melakukan tindakan menghapus rekening. Padahal pihak bank bisa
menjual tanah dan bangunan tersebut, kemudian hasil jualnya akan
diambil sebagian untuk melunasi hutang dari si penggugat. Dan
penggugatpun tidak akan melayangkan protes apapun karena memang
penyerahan objek hak tanggungan terjadi secara sukarela.
Menurut penulis, penulis sepakat dengan putusan majelis hakim
baik pada tingkat pertama, banding, dan kasasi yang menyatakan
bahwa Penggugat wanprestasi dan diwajibkan untuk melunasi hutang-
hutangnya sebagaimana sesuai dengan rincian yang telah dikeluarkan
oleh pihak Tergugat setelah hasil pertemuannya tertanggal 17 Juli
2009. Namun menurut penulis disini, majelis hakim juga dapat
memberikan putusan untuk memerintahkan pihak bank melakukan
upaya paksa dengan melakukan pelelangan atas AYDA yang dimiliki
oleh penggugat yaitu berupa tanah dan bangunan seluas 310 m 2
dengan bukti kepemilikan SHM Nomor 00380/2002 tanggal 26
September 2002 yang terletak di Kelurahan Pondok Terong,
Kecamatan Pancoran Mas atas nama H. Muhammad Romlih untuk
digunakan sebagai pembayaran atas hutang-hutangnya. Namun
sayangnya seluruh pertimbangan hukum yang diberikan oleh hakim
sama sekali tidak membahas mengenai upaya paksa yang dapat
dilakukan oleh pihak bank melainkan hanya fokus kepada pernyataan
bahwa debitur atau penggugat pailit dan diharuskan untuk membayar
hutangnya.
Daftar Pustaka
Dilapangan, Nur Muhammad. “Agunan Yang Diambil Alih: Sebuah
Mekanisme Dalam Penyelesaian Kredit Macet.” JISIP (Jurnal Ilmu
Sosial Dan Pendidikan) 5, no. 2 (2021).
Nurjannah, S. “Eksistensi Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Hak
Atas Tanah (Tinjauan Filosofis).” Jurispridentie 5 (2018): 195–205.
Prabandari, Grace Ayu, Agus Nurdin, and Mujiono Hafidh Prasetyo.
“Penyelesaian Kredit Yang Dijamin Hak Tanggungan Dengan Ayda
(Agunan Yang Diambil Alih) Bank Melalui Lelang.” Jurnal Notarius
14, no. 1 (2021): 581–97.
Susanto. “Perjanjian Kredit Yang Dibuat Secara Baku Pada Kredit
Perbankan Dan Permasalahan Pilihan Domisili Hukum Penyelesaian
Sengketa (Studi Kasus Pada Bank Sumut Cabang Jakarta Pusat).”
Jurnal Surya Kencana Satu : Dinamika Masalah Hukum Dan Keadilan
8, no. 2 (2017): 21–40.
Warsito, Bayu Rangga, and Albertus Sentot Sudarwanto. “Penyelesaian
Kredit Macet Dengan Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) Sebagai
Upaya Perlindungan Kreditur Di Perseroan Daerah BPR Bank Klaten.”
Jurnal Hukum Dan Pembangunan Ekonomi 7, no. 2 (2019): 187–95.

Anda mungkin juga menyukai