Anda di halaman 1dari 3

Pendidikan Anti Korupsi dan Problematikanya

Korupsi bukanlah hal yang baru di tanah air, bahkan keberadaannya lebih dulu daripada
kemerdekaan Indonesia. Korupsi di Indonesia telah melekat ke dalam struktur sosial dan
sistem kebudayaan masyarakat bahkan lama kelamaan korupsi bisa menjadi suatu
keterbiasaan. Itulah sebabnya korupsi dianggap telah menjadi budaya bagi bangsa Indonesia,
hanya saja lambat laun kasus tindak pidana korupsi menjadi lebih kompleks dan terus
mengalami peningkatan secara kuantitas setiap tahunnya.
Pengertian korupsi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 adalah “setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”
(Wilhelmus, 2017). Korupsi berarti mengambil uang rakyat untuk dinikmati demi
kepentingan pribadi sehingga mendatangkan merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara. Dana yang seharusnya diperuntukkan untuk membangun infrastruktur dan pelayanan
publik justru dikorupsi dan dimanfaatkan untuk memuaskan kepentingan pribadi. Keberadaan
korupsi sendiri tentu bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di dalam Pancasila, khususnya
dalam sila kelima yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Makna
keadilan sosial disini adalah setiap warga negara berhak mendapatkan pelayanan dan
kesempatan yang sama untuk menikmati sumber daya melimpah yang dimiliki oleh Indonesia
(Mochtar, 2021).
Pencegahan korupsi tidak hanya berada di tangan pemerintah saja namun juga
masyarakat harus turut berperan. Pemerintah mewajibkan adanya pendidikan anti korupsi
bagi pelajar yang kelak menjadi generasi penerus bangsa dengan harapan mampu memahami
nilai-nilai anti korupsi dan mengimplementasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari
(Rosikah & Listianingsih, 2016). Berikut adalah beberapa nilai anti korupsi dan cara
mengimplementasikannya:
1. Jujur, yaitu tidak berbohong dalam berbuat atau mengatakan sesuatu. Kejujuran akan
menciptakan generasi yang berintegritas. Budaya jujur dapat diimplementasikan ke
dalam budaya lapor terhadap segala ketidakjujuran maupun penyalahgunaan
kewenangan yang ada di masyarakat;
2. Tanggungjawab, yaitu berani mengakui kesalahan yang dilakukan dan melaksanakan
tugas dengan sebaik-baiknya. Hal ini dapat diimplementasikan dengan cara
menyelesaikan tugas yang diberikan hingga selesai;
3. Disiplin, yaitu adanya sikap mental untuk menghargai waktu. Orang yang disiplin
adalah orang yang memiliki komitmen yang tinggi dan tepat waktu;
4. Mandiri, yaitu tidak bergantung kepada orang lain;
5. Kerjakeras, yaitu bekerja dengan sungguh-sungguh. Hal ini dapat diimplementasikan
dengan bekerja sesuai aturan yang berlaku dan tidak suka menunda-nunda pekerjaan;
6. Sederhana, yaitu orang yang menggunakan hartanya sesuai dengan peruntukannya dan
tidak mementingkan kemewahan. Nilai ini penting dalam pendidikan anti korupsi
karena korupsi salah satunya dipicu adanya gaya hidup yang mewah dimana
penghasilan tidak sesuai dengan keinginan dan gaya hidup;
7. Berani, yaitu memiliki percaya diri yang besar dan tidak pantang menyerah. Hal ini
dapat diimplementasikan dengan cara berani melaporkan segala tindak kecurangan
maupun indikasi perbuatan korupsi di sekitarnya;
8. Peduli, yaitu memperhatikan atau menghiraukan. Dengan adanya kepedulian maka
mereka akan terpanggil untuk melakukan perubahan, emenyampaikan aspirasi, dan
memperlakukan orang lain dengan baik;
9. Adil, yaitu tidak berat sebelah dan tidak memihak apapun kecuali kebenaran. Sikap
penegak hukum yang adil dalam menjatuhkan putusan merupakan salah satu sikap yang
harus dikembangkan untuk mencegah korupsi.
Daftar Pustaka
Mochtar, Z. A. (2021). Independensi Komisi Pemberantasan Korupsi Pasca Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2019. Jurnal Konstitusi, 18(2), 321–344.
Rosikah, C. D., & Listianingsih, D. M. (2016). Pendidikan Ani Korupsi (Kajuan Anti
Korupsi, Teori, dan Praktik). Sinar Grafika.
Wilhelmus, O. R. (2017). Korupsi: Teori, Faktor Penyebab, Dampak, dan Penanganannya.
JPAK: Jurnal Pendidikan Agama Katolik, 17(9), 26–42.

Anda mungkin juga menyukai