Anda di halaman 1dari 12

Dosen : Hj. Lilik Prihartini, S.H., M.

Nama : Gifela Dania Evantamyella

NPM : 010119093

Kelas : C-D

1.a. Pendidikan Anti Korupsi adalah pendidikan yang berfokus kepada seluk beluk korupsi
dan pemberantasannya serta penanaman nilai-nilai anti korupsi dan memiliki tujuan jangka
panjang untuk menumbuhkan budaya anti korupsi di kalangan mahasiswa dan mendorong
mahasiswa untuk dapat berperan serta aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Landasan Pendidikan Anti Korupsi :

 Berkaitan dengan Pendidikan Antikorupsi, amanat yang terkandung dalam UU


ini adalah:

o Pasal 13: “Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah
atau upaya pencegahan sebagai berikut:
o Huruf c: “Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap
jenjang pendidikan.”
o Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
o Perpres Nomor.87 Tahun 2017 Tentang Penguatan Pendidikan Karakter
o Komitmen Rapat Koordinasi Nasional Pendidikan Antikorupsi Tahun 2018

b. Pendidikan Anti Korupsi diimplementasikan di setiap jenjang pendidikan dikarenakan


adanya Rapat Koordinasi Nasional Pendidikan Antikorupsi Tahun 2018 yang dihadiri oleh
semua stakeholder terkait pendidikan antikorupsi, diantaranya, Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Agama,
Kementerian Dalam Negeri, tentunya, Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pada RAKORNAS PAK 2018 tersebut, disepakati 2 (dua) Komitmen, yang
ditandatangani oleh Menteri dan Direktorat Jenderal dari masing-masing lembaga untuk
melakukan Implementasi Pendidikan Antikorupsi di setiap jenjang pendidikan, baik di
Sekolah, Madrasah, atapun di Pelatihan Kedinasan guna menumbuhkan nilai-nilai
utama karakter peserta didik. Sebagai Tindal Lanjut dari Komitmen dalam Rapat
Koordinasi Nasional Pendidikan Antikorupsi 2018, Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia menerbitkan Surat Edaran kepada Gubernur dan Bupati/Walikota di Seluruh
Indonesia untuk dapat melakukan Implementasi Pendidikan Karakter dan Budaya
Antikorupsi Pada Satuan Pendidikan di masing-masing daerah.

Selain itu dalam jenjang perguruan tinggi, implementasi Pendidikan Anti Korupsi
sudah disuarakan melalui Surat Edaran no. 1016/E/T/2012 , dalam surat edaran tesebut
tertulis poin sebagai berikut:

o Dalam rangka persiapan pembelajaran pendidikan anti korupsi di perguruan


tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melaksanakan kegiatan Training of
Trainers (TOT) Pendidikan Anti Korupsi Tahun 2012 bagi 1007 Dosen di 526
Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia.

2. a.Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” atau “corruptus” . Selanjutnya
dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih
tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris),
“corruption” (Perancis) dan “corruptie/korruptie” (Belanda). Dari asal usul bahasanya korupsi
bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok.Oleh karena itu bisa
disimpulkan korupsi adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri,
serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal
menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan
keuntungan sepihak.
Saya tidak setuju kalau korupsi yang makin marak itu diidentikkan dengan budaya.
Sebab, budaya itu adalah sesuatu yang baik dan mulia.  pengertian budaya harusnya berkaitan
dengan akal budi manusia tentang hal-hal yang baik dan positif. Mengatakan bahwa korupsi
merupakan sebuah budaya dapat menimbulkan sebuah pikiran bahwa korupsi dapat menjadi
hal wajar, terutama bagi sesiapapun yang hendak mempraktekkannya.

b. Berikut adalah tujuh bentuk korupsi menurut Buku Saku KPK:


o Kerugian Keuangan Negara
o Suap Menyuap
o Penggelapan Dalam Jabatan
o Pemerasan
o Perbuatan Curang
o Benturan Kepentingan dalam Pengadaan
o Gratifikasi

Menurut saya, kegiatan suap menyuap adalah bentuk korupsi yang sering terlihat dalam
kehidupan sehari-hari, kegiatan suap-menyuap bukan hanya dilakukan oleh pejabat publik
namun juga masyarakat umum, dan dalam beberapa kasus, suap-menyuap sudah menjadi hal
yang lumrah dan bahkan sudah menjadi apa yang disebut “budaya negatif”, contohnya adalah
penyuapan dalam kegiatan pembuatan SIM atau disebut “nembak SIM” menurut khalayak
umum.
3.a.   

*Faktor Internal :

 Sifat tamak/rakus manusia

Korupsi, bukan kejahatan kecil-kecilan karena mereka membutuhkan makan. Korupsi adalah
kehjahatan orang profesional yang rakus. Sudah berkecukupan, tapi serakah. Mempunyai
hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu
datang pada diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus. Maka tindakan keras tanpa kompromi,
wajib hukumnya.
 Moral
Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu
bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahannya, atau pihak yang  lain yang memberi
kesempatan untuk itu.
 Gaya hidup konsumtif
Kehidupan di kota-kota besar sering mendorong gaya hidup seorang konsumtif. Perilaku
konsumtif bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang
seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi  hajatnya. Salah satu
kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi

*Faktor Eksternal

 Aspek Sosial
Perilaku korup dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum behavioris mengatakan bahwa
lingkungan keluargalah yang secara kuat memberikan dorongan bagi orang untuk korupsi dan
mengalahkan sikap baik seseorang yang sudah menjadi tralis pribadinya. Lingkungan dalam
hal ini malah memberikan dorongan dan bukan memberikan hukuman pada orang ketika ia
menyalahgunakan kekuasaannya.

 Aspek Politik

Menurut Rahardjo (2003) bahwa kontrol sosial adalah suatu proses yang dulakukan untuk
mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku unuk mempengaruhi orang-orang agar
bertingkah laku sesuai harapan masyarakat. Dengan demikian instabilitas politik, kepentingan
politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan sangat potensi menyebabkan perilaku
korupsi.

 Aspek Ekonomi

Pendapatan tidak menutupi kebutuhan. Dalam tentang kehidupan ada kemungkinan


seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka
peluang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan
korupsi.
 Aspek Hukum

Faktor hukum dapat dilihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek perundang-undangan dan
sisi lain lemahnya penegakan hukum. Tidak baiknya substansi hukum, mudah ditemukan
dalam aturan-aturan yang diskriminatif dan tidak adil; rumusan yang tidak jelas tegas  (non
lext certa) sehingga multi tafsir, kontradiksi dan overlapping dengan peraturan lain (baik
yang sederajat maupun yang lebih tinggi). Sanksi yang tidak equivalen dengan perbuatan
yang dilarang sehingga tidak tepat sasaran sehingga dirasa terlalu ringan atau terlalu berat;
penggunaan konsep yang berbeda-beda untuk sesuatu yang sama, semua itu memungkinkan
suatu peraturan tidak kompatibel dengan realitas yang ada sehingga tidak fungsional atau
tidak produktif dan mengalami resistensi.

 Aspek Organisasi

Organisasi dalam hal ini adalah organisasi yang luas, termasuk sistem
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisai yang menjadi korban korupsi atau
dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka peluang
atau kesempatan untuk melakukan korupsi.
Aspek-aspek terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi meliputi: (a) kurang
adanya teladan dari pemimpin (b) tidak adanya kultur organisasi yang benar, (c) sistem
akuntabilitas dalam instansi kurang memadai, (d) manajemen cenderung menutupi didalam
organisasinya.

*Faktor Penyebab Korupsi dalam Perspektif Teori

Teori yang juga membahas mengenai perilaku korupsi, dengan baik dihadirkan oleh
Jack Bologne (Bologne: 2006), yang dikenal dengan teori GONE. Ilustrasi GONE Theory
yang meliputi Greeds (keserakahan), Opportunities (kesempatan), Needs (kebutuhan) dan
Exporsure ( Pengungkapan). Greed, terkait keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi.
Koruptor adalah orang yang tidak puas akan keadaan dirinya. Opportuniy, merupakan
sistem yang memberi peluang untuk melakukan korupsi, yang bisa diperluas keadaan
organisasi atau masyarakat yang sedemikian rupa sehingga terbuka kesempatan bagi
seseorang untuk melakukan kecurangan. Need, yaitu sikap mental yang tidak pernah merasa
cukup, selalu sarat dengan kebutuhan yang tidak pernah usai. Exposure, hukaman yang
dijatuhkan kepada para pelaku korupsi yang tidak memberikan efek jera pelaku maupun
orang lain.
Cultural determinisme sering dipakai sebagai acuan ketika mempelajari penyebab 
terjadinya korupsi. Sebagai mana ungkapan Fiona Robertson-Snape (1999) bahwa penjelasan
kultural praktik korupsi di Indonesia di hubungkan dengan bukti-bukti kebiasaan-kebiasaan
kuno orang jawa. Padahal bila dirulut perilaku korup pada dasarnya merupakan sebuah
fenomena sosiologis yang memiliki implikasi ekonomi dan politik yang terkait dengan
jabaran beberapa teori. Teori tersebut antara lain means-end scheme yang di perkenalkan oleh
Robert Merton. Dalam teori yang di tokohi oleh Robert Merton ini sebagai mana dikutip
Handoyo (2009: 55) ini dinyatakan bahwa korupsi merupakan suatu perilaku manusia yang
diakibatkan oleh oleh tekanan sosial, sehingga menyebabkan pelanggaran norma-norma.
Teori lain yang menjabarkan terjadinya korupsi adalah teori Solidaritas Sosial yang
dikembangkan oleh Emile Durkheim (1858-1917) teori ini memandang bahwa watak
manusia sebenarnya bersifat pasif dan dikendalikan oleh masyarakat. Solidaritas sosial itu
sendiri memang merupakan unit yang abstrak. Emile Durkheim berpandangan bahwa
individu secara moral, netral dan masyarakatlah yang menciptakan kepribadiannnya.

 Mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy melakukan tindak korupsi disebabkan


oleh aspek politik, dikarenakan uang yang didapat oleh Romi merupakan “imbal
jasa” atas pengangkatan dua pejabat publik yaitu Mantan Kakanwil Kemenag Gresik
Muafaq dan Mantan Kakanwil Kemenag Jawa Timur Haris Hasanudin. Terkait hal
itu, disini uang digunakan oleh Haris dan Muafaq untuk memperoleh pengaruh
politik. Selain itu, faktor moral dari Romi juga perlu bisa menjadi salah satu faktor
penyebab korupsi, godaan dari Muafaq dan Haris menggarisbawahi lemahnya moral
Ketua Umum PPP itu sendiri
 Mantan Anggota DPR Bowo Sidik, melakukan korupsi, dikarenakan aspek
organisasi bermula dari penghentian kerja sama penyewaan kapal antara PT
Humpuss Transportasi Kimia dan PT Pupuk Indonesia (Persero). Wakil Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi Basaria Panjaitan mengatakan, akibat penghentian
itu, Humpuss berupaya agar kapal miliknya dapat digunakan kembali untuk
mendistribusikan pupuk hasil produksi PT Pupuk Indonesia dan meminta bantuan
kepada Bowo serta pada akhirnya memberikan “fee” kepada Bowo melalui orang
dekat Bowo. Korupsi ini terjadi karena aspek Organisasi. PT Humpuss disini tidak
menunjukkan Budaya Organisasi yang baik, karena berusaha membujuk Bowo
dalam kegiatan korupsi ini. Di satu sisi, PT Pupuk Indonesia juga belum begitu
tanggap dalam sistem pengendalian Manajemennya, sehingga memberi celah bagi
Bowo dan anak perusahaan PT Pupuk Indonesia untuk mempermudah proses
perjanjian korupnya.

4.a.Menurut saya, kebiasaan menyontek dan plagiat di lingkungan pendidikan merupakan


contoh dari Perbuatan Curang namun diluar konteks pemerintahan dan tentu merupakan
perbuatan korupsi. Kebiasaan menyontek dan plagiat secara tidak langsung merusak moral
dari para pelajar maupun mahasiswa dan bila ini diteruskan maka pelajar ataupun mahasiswa
akan terbiasa dengan perilaku koruptif dan memberi peluang bagi perbuatan-perbuatan
korupsi lain yang lebih besar, termasuk didalam konteks pemerintahan.

b. Berikut adalah partisipasi saya dalam meminimalisir tindakan korupsi :


 Melakukan tindakan preventif, dengan cara menanamkan nilai-nilai anti korupsi
kedalam diri saya sendiri, dan menolak keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan yang
mengarah pada aktivitas korupsi. (Contoh : Menghindari membuat SIM dengan sistim
suap )
 Mengkampanyekan nilai-nilai anti korupsi melalui media sosial secara berkala dengan
cara yang kreatif dan tidak kaku (video pendek lucu, cerita-cerita pendek bergambar,
dan sejenisnya)

5.a. Menurut pemahaman saya , hukum di Indonesia belum memberikan efek jera bagi para
koruptor sehingga jauh dari kata adil. Contohnya adalah Ketua DPRD Bengkalis pada tahun
2017 hanya divonis 1,5 tahun penjara meski terbukti merugikan negara sebesar Rp.31 Miliar.
salah satu penyebab masih maraknya praktik korupsi di Indonesia lantaran vonis ringan yang
kerap dijatuhkan majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi.Bila ini terus terjadi maka
pemberantasan korupsi di Indonesia masih jauh dari keadilan

b. Seharusnya harta pejabat publik Indonesia perlu dibatasi dan dibuat saja patokan harta
yang adil. Hal ini sesungguhnya perlu menjadi pembahasan di DPR, mulai dari jabatan
tertinggi Presiden, Wakil Presiden, DPR, MPR, Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, Camat,
Lurah, Jenderal hingga kopral, Hakim Agung hingga Hakim Muda, Jaksa Agung hingga
Jaksa muda, Jenderal Polisi hingga Brigadir, semua pejabat negara yang mendapatkan uang
negara perlu dibatasi kekayaannya secara adil. Kalau ada kelebihan dari batas kekayaan yang
ditentukan, maka itu menjadi milik negara. Sebagai contoh yang paling tinggi Presiden,
maksimum Rp.50 milyar, dst; ketika petugas pajak mengetahui presiden memiliki kekayaan
lebih dari pada Rp.50 milyar, maka itu otomatis menjadi penerimaan negara.

6.a. Kajian Teoritis Terkait Penanggulangan Penyakit COVID-19


 Definisi Problem Sosial
Definisi masalah sosial adalah suatu keadaan yang berbeda dengan kehidupan biasanya,
artinya keadaan ini seringkali tidak diinginkan masyarakat secara umum dan mengakibatkan
gejolak-gejolok sosial terjadi dalam masyarakat.(Soetomo:2008)
 Definisi Coronavirus
Virus corona adalah keluarga besar virus yang dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau
manusia. Pada manusia corona diketahui menyebabkan infeksi pernafasan mulai dari flu
biasa hingga penyakit yang lebih parah seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS),
dan Severe Acute Respiratory Syndrme (SARS). (WHO:2020)

B. Istilah Terkait Penanggulangan COVID-19

 Social Distancing
Social distancing adalah mengurangi jumlah aktivitas di luar rumah dan interaksi
dengan orang lain, mengurangi kontak tatap muka langsung. Langkah ini termasuk
menghindari pergi ke tempat-tempat yang ramai dikunjungi, seperti supermarket,
bioskop, dan stadion.
Bila seseorang dalam kondisi yang mengharuskannya berada di tempat umum,
setidaknya perlu menjaga jarak sekitar 1,5 meter dari orang lain. (Dani Garjito: 2020)

Dalam praktiknya, social distancing memerlukan nilai kedisiplinan, kepedulian serta


tanggung jawab yang tinggi
 Lockdown

Lockdown artinya situasi yang melarang warga untuk masuk ke suatu tempat karena
kondisi darurat. Lockdown juga bisa berarti negara yang menutup perbatasannya, agar
tidak ada orang yang masuk atau keluar dari negaranya. (Dani Garjito:2020)

Masyakarakat harus menunjukan nilai kedisiplinan, tanggung jawab, serta


kepedulian yang tinggi agar lockdown di suatu negara dapat berjalan efektif.

 Isolasi

Menurut Dani Garjito, Isolasi artinya tindakan pemisahan pasien berpenyakit menular
dari orang lainnya. Istilah isolasi biasanya digunakan untuk seseorang yang telah
menunjukkan gejala terinfeksi virus corona dan berpeluang untuk menginfeksi orang
lain, sehingga perlu dipisahkan agar virus tidak menyebar.Dalam situasi ini,
pemerintah 'memaksa' menutup sejumlah tempat dan kawasan umum guna menekan
penyebaran virus corona. Aktivitas warga juga akan dibatasi dan diharuskan untuk
tetap berada di dalam rumah. Bila kita memiliki gejala dan tetap tinggal dirumah ,
maka kita menunjukkan nilai kepedulian terhadap sesama kita.

 Karantina Wilayah

Dilansir dari Hukum Online, karantina wilayah  merupakan pembatasan penduduk yang


dilakukan guna mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Apabila
suatu wilayah menerapkan aturan lockdown, maka pintu perbatasan akan dijaga ketat
oleh anggota kepolisian untuk memastikan tak ada yang masuk ataupun keluar.
Mengikuti peraturan karantina wilayah dengan baik sesuai arahan pemerintah
tentu menunjukkan nilai kedisiplinan kita.

B. Kajian Empiris terkait Problem Sosial Penanggulangan COVID-19

 Praktik Social Distancing yang belum berjalan dengan baik. (Nilai


KEDISIPLINAN dan KEBERANIAN yang teruji)
Menurut penelitian Erna Ermawati Chotim (2020),  implementasi imbauan pemerintah
terkait pembatasan interaksi (social distancing) belum berjalan dengan baik. Masih banyak
warga yang keluyuran di luar rumah. Menurut Erna, kewajiban mesti diturunkan dalam
regulasi. Macam instruksi presiden (inpres). Sebagai landasan pemberian sanksi terhadap
pelanggar. Dengan ini kita bisa melihat, masih ada masyarakat Indonesia belum bisa
menunjukkan nilai kedisiplinan dalam mengikuti arahan pemerintah, juga belum adanya
bentuk keberanian pemerintah dalam memaksakan kebijakan terbaik guna menekan
penyebaran COVID-19. Kita harus memiliki nilai kedisiplinan dan keberanian untuk
bersama-sama menyadari bahwa virus ini adalah kunci untuk mengecek kesadaran diri
kita masing-masing.

 Orang dalam Pemantauan di Mataram yang tidak mau dikarantina (Nilai


KEPEDULIAN dan KEDISIPLINAN yang teruji)

Enam warga asal Mataram berstatus orang dalam pemantauan (ODP) wabah Corona
Virus Disease (Covid-19) asal kelurahan Banjar dan Babakan enggan menjalani masa
karantina mandiri di rumahnya. Hal ini mambuat warga panik.

Lurah Banjar, Sapardi membenarkan adanya lima warganya yang berstatus ODP enggan
menjalani masa karantina mandiri setelah datang dari darah pandemi Covid-19. Kelima warga
tersebut, dua di antaranya datang dari Kalimantan Timur, dua dari Bali dan satu dari luar
negeri. Dalam menangani virus ini, kita perlu mengikuti imbauan pemerintah, bila
harus karantina mandiri, maka harus dilakukan, dengan mengindahkan karantina
mandiri, kita telah menganut nilai kepedulian dan kedisiplinan

 Adanya pemudik yang tidak mau didata sepulang dari Bali menuju Solo
(Nilai KEPEDULIAN dan TANGGUNG JAWAB yang teruji)

Sepasang warga asal Kelurahan Sangkrah, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Solo, yang
baru pulang dari Bali terpaksa didatangi petugas mengenakan alat pelindung diri (APD)

Warga tersebut menolak didata RT/RW setempat setelah pulang dari Bali yang masuk
sebagai zona merah persebaran virus corona. Menurut salah seorang anggota tim reaksi cepat
(TRC) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Solo, Hananto Leo, warga itu
sempat marah-marah.
Sebagai pemudik harusnya kita menunjukkan nilai kepedulian dan tanggung jawab
dengan cara mengikuti imbauan dari pemerintah setempat dan mengikuti aturan yang
berlaku.

Anda mungkin juga menyukai