Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KORUPSI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF


(Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah pendidikan budaya anti korupsi)

Dosen Pembimbing :
Ns. Netha Damayantie, M. Kep.
NIP.

Disusun Oleh :
Kelompok I Tingkat II B

1. Azmia arsela PO.71.20.0.16.3967


2. Hermayulis PO.71.20.0.16.3981
3. Sukma andhapa PO.71.20.0.16.4011
4. Rts. Novpriyanti PO.71.20.0.16.4003

PROGRAM STUDI D III


JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAMBI
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Korupsi merupakan fenomena sosial yang hingga kini masih belum dapat diberantas oleh
manusia secara maksimal. Korupsi tumbuh seiring dengan berkembangnya peradaban
manusia. Tidak hanya di negeri kita tercinta, korupsi juga tumbuh subur di belahan dunia
yang lain, bahkan di Negara yang dikatakan paling maju sekalipun
Di mata Internasional, bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia, citra
buruk akibat korupsi menimbulkan kerugian. Kesan buruk ini menyebabkan rasa rendah diri
saat berhadapan dengan negara lain dan kehilangan kepercayaan pihak lain.
Ketidakpercayaan pelaku bisnis dunia pada birokrasi mengakibatkan investor luar negeri
berpihak ke negara-negara tetangga yang dianggap memiliki iklim yang lebih baik. Kondisi
seperti ini merugikan perekonomian dengan segala aspeknya di negara ini. Pemerintah
Indonesia telah berusaha keras untuk memerangi korupsi dengan berbagai cara.
KPK sebagai lembaga independen yang secara khusus menangani tindak korupsi, menjadi
upaya pencegahan dan penindakan tindak pidana. Korupsi dipandang sebagai kejahatan luar
biasa (extra ordinary crime) yang oleh karena itu memerlukan upaya luar biasa pula untuk
memberantasnya. Upaya pemberantasan korupsi yang terdiri dari dua bagian besar, yaitu
penindakan dan pencegahan tidak akan pernah berhasil optimal jika hanya dilakukan oleh
pemerintah saja tanpa melibatkan peran serta masyarakat. Oleh karena itu tidaklah berlebihan
jika mahasiswa sebagai salah satu bagian penting dari masyarakat yang merupakan pewaris
masa depan diharapkan dapat terlibat aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Keterlibatan mahasiswa dalam upaya pemberantasan korupsi tentu tidak pada upaya
penindakan yang merupakan kewenangan institusi penegak hukum. Peran aktif mahasiswa
diharapkan lebih difokuskan pada upaya pencegahan korupsi dengan ikut membangun
budaya antikorupsi di Masyarakat. Mahasiswa diharapkan dapat berperan sebagai agen
perubahan dan motor penggerak gerakan anti korupsi di Masyarakat. Untuk dapat berperan
aktif, mahasiswa perlu dibekali dengan pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk korupsi
dan pemberantasannya. Yang tidak kalah penting, untuk dapat berperan aktif mahasiswa
harus dapat memahami dan menerapkan nilai-nilai antikorupsi dalam kehidupan sehari-hari.
Upaya pembekalan mahasiswa dapat ditempuh dengan berbagai cara antara lain melalui
kegiatan sosialisasi, kampanye, seminar atau perkuliahan. Untuk keperluan perkuliahan
dipandang perlu membuat sebuah Buku Ajar yang berisikan materi dasar mata
kuliah Pendidikan Antikorupsi bagi mahasiswa.
Pendidikan Antikorupsi bagi mahasiswa bertujuan untuk memberikan pengetahuan yang
cukup tentang seluk beluk korupsi dan pemberantasannya serta menanamkan nilai-nilai
antikorupsi. Tujuan jangka panjangnya adalah menumbuhkan budaya antikorupsi dikalangan
mahasiswa dan mendorong mahasiswa untuk dapat berperan serta aktif dalam upaya
pemberantasan korupsi diIndonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari korupsi ?
2. Apa ciri dan jenis-jenis Korupsi ?
3. Bagaimana korupsi dalam berbagai perspektif ?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa pengertian dari korupsi
2. Untuk mengetahui ciri dan jenis-jenis korupsi
3. Untuk mengetahui bagaimana korupsi dalam berbagai perspektif
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Korupsi
Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” atau “corruptus”. Selanjutnya
dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”. Dari bahasa Latin
tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris), “corruption”
(Perancis) dan “corruptie/korruptie” (Belanda). Dari asal-usul bahasanya korupsi
bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok, memfitnah,
menyimpang dari kesucian atau perkataan menghina).
Sedangkan pengertian korupsi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (W.J.S.
Poerwadarminta) adalah sebagai perbuatan curang, dapat disuap, dan tidak bermoral.
Adapun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah penyelewengan atau
penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan pribadi
maupun orang lain. Sedangkan di dunia Internasional pengertian korupsi menurut
Black’s Law Dictionary korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain
secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu
keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya
dan hak-hak dari pihak lain.
Korupsi menurut wikipedia dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah
penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk
pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi
berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan
dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat
yang diresmikan, dan sebagainya.
Jadi, korupsi adalah tindakan yang dilakukan oleh setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian Negara.
Pemerintah Indonesia memang sudah berupaya untuk melakukan pemberantasan
korupsi melaui proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan peradilan sesuai
dengan undang-undang yang berlaku. Namun semuanya juga harus melihat dari sisi
individu yang melakukan korupsi, karena dengan adanya faktor-faktor yangt
menyebabkan terjadinya korupsi maka perlu adanya strategi pemberantasan korupsi
yang lebih diarahkan kepada upaya-upaya pencegahan berdasarkan strategi preventif,
disamping harus tetap melakukan tindakan-tindakan represif secara konsisten. Serta
sukses tidaknya upaya pemberantasan korupsi tidak hanya ditentukan oleh adanya
instrument hukum yang pasti dan aparat hukum yang bersih, jujur,dan berani serta
dukungan moral dari masyarakat, melainkan juga dari political will pemimpin negara
yang harus menyatakan perang terhadap korupsi secara konsisten.

B. Ciri dan Jenis-jenis Korupsi

Ciri-ciri dari Korupsi antara lain :


a. Selalu melibatkan lebih dari satu orang. Inilah yang membedakan antara korupsi
dengan pencurian atau penggelapan.
b. Pada umumnya bersifat rahasia, tertutup terutama motif yang melatarbelakangi
perbuatan korupsi tersebut.
c. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan
keuntungan tersebut tidaklah selalu berbentuk uang.
d. Berusaha untuk berlindung dibalik pembenaran hukum.
e. Mereka yang terlibat korupsi ialah mereka yang memiliki kekuasaan atau wewenang
serta mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
f. Pada setiap tindakan mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau pada
masyarakat umum.
g. Setiap bentuknya melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang
melakukan tindakan tersebut.
h. Dilandaskan dengan niat kesengajaan untuk menempatkan kepentingan umum
dibawah kepentingan pribadi.
i. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
j. Perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam
masyarakat.

Jenis-jenis dari Korupsi antara lain :


a. Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan Negara.
b. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap.
c. Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan.
d. Korupsi yang terkait dengan pemerasan.
e. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang.
f. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan.
g. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi.

a) Penyuapan
Penyuapan merupakan sebuah perbuatan kriminal yang melibatkan sejumlah
pemberian kepada seorang dengan sedemikian rupa sehingga bertentangan dengan
tugas dan tanggungjawabnya. Sesuatu yang diberikan sebagai suap tidak harus berupa
uang, tapi bisa berupa barang berharga, rujukan hak-hak istimewa, keuntungan
ataupun janji tindakan, suara atau pengaruh seseorang dalam sebuah jabatan public.
b) Penggelapan (embezzlement) dan pemalsuan atau penggelembungan (froud).
Penggelapan merupakan suatu bentuk korupsi yang melibatkan pencurian uang,
properti, atau barang berharga. Oleh seseorang yang diberi amanat untuk menjaga dan
mengurus uang, properti atau barang berharga tersebut. Penggelembungan menyatu
kepada praktik penggunaan informasi agar mau mengalihkan harta atau barang secara
suka rela.
c) Pemerasan (Extorion)
Pemerasan berarti penggunaan ancaman kekerasan atau penampilan informasi yang
menghancurkan guna membujuk seseorang agar mau bekerjasama. Dalam hal ini
pemangku jabatan dapat menjadi pemeras atau korban pemerasan.
d) Nepotisme (nepotism)
Nepotisme berarti memilih keluarga atau teman dekat berdasarkan pertimbagan
hubungan kekeluargaan, bukan karena kemampuannya. Kata nepotisme ini berasal
dari kata Latin nepos, berarti "keponakan" atau "cucu".Dalam UU RI No. 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme, menyebutkan bahwa, nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara
Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan
atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara.
e) Gratifikasi
Gratifikasi adalah Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang,
rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut
baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik (Penjelasan Pasal 12B
UU Pemberantasan Tipikor).
Pada UU 20/2001 setiap gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara
negara dianggap suap, namun ketentuan yang sama tidak berlaku apabila penerima
melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (KPK) yang wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

C. Korupsi dalam Berbagai perspektif


1. Korupsi dalam Presfektif Sejarah
Korupsi tergolong sebagai suatu tindakan penggelapan uang atau barang untuk
kepentingan pribadi atau kelompok, yang merugikan kepentingan masyarakat banyak
dan negara. Korupsi memiliki sejarah panjang dalam kehidupan manusia didunia.
Prilaku koruptif telah ada sejak dahulu dengan modus bervariasi disetiap zamannya.
Pada tahun 1970 di era pemerintahan Soehrto, Muhamaan Hatta ditunjuk sebagai
Penasihat Presiden dalam upaya pemberantasan korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa
jejak-jejak korupsi sebenarnya telah ada sejak dahulu, paska Negara Indonesia mulai
merdeka. Pernyataan Hatta bahwa korupsi telah membudaya di bangsa Indonesia
menunjukkan pengertian bahwa Indonesia telah memiliki reputasi sebagai negara yang
korup (Margana, dalam Wijayanto, 2009:417). Jika ditelusuri lebih jauh lagi, maka
praktek-praktek tindakan korupsi dan penyelewengan telah ada jauh sebelum Indonesia
merdeka, ketika Indonesia masih dalam bentuk kerajaan dan masa kolonial.Praktek-
praktek korupsi yang marak terjadi di Indonesia pada zaman sekarang merupakan wujud
kesinambungan historis. Kesinambungan historis ini merupakan legacy (warisan) dari
sistem pemerintahan yang korup yang ada pada sistem pemerintahan sebelumnya dalam
sejarah Indonesia, yaitu Sistem pemerintahan feodal Jawa ala Mataram dan kombinasi
Pemerintahan ala VOC yang kemudian dipertahankan pada masa kolonial Hindia-
Belanda (Margana, dalam Wijayanto, 2009:424). Seperti diatakan oleh W.F. Wertheim
bahwa meluasnya korupsi dan penyelewengan di Indonesia memiliki hubungan dengan
feodalisme. Dalam bukunya berjudul Indonesian Society in Transition, Weirtheim
menyatakan bahwa Korupsi di Indonesia antara lain bersumber pada peninggalan
pandangan Feodal, yang sekarang menimbulkan “Conflicting Loyalities” antara
kewajiban terhadap keluarga dan kewajiban untuk Negara (Soedarso, 2009:13).
Sementara, Kebangkrutan VOC di Indonesia menimbulkan perdebatan panjang
dikalangan sejarawan yang memiliki spekulasi bahwa Korupsi dan penyelewengan
sebagai penyebab kebangkrutan VOC tersebut. Lemahnya Integritas para pejabat VOC
membuat tindakan penyelewengan dan korupsi terus menggerogoti dan menciptakan
kehancuran di tubuh VOC pada akhir abad kedelapan belas. Di Jawa, VOC dipandang
sebagai penerus Patrimonialisme yang dipraktekkan oleh Kerajaan-kerajaan di Jawa
pada abad ketujuh belas (Margana, dalam Wijayanto ,2009:245). Sistem patrimonial ini
sebagai sistem pemerintahan yang dominan di Indonesia sejak dahulu, seperti apa yang
disebut Max Weber sebagai Patrimonial Bureaucratic State (Negara Patrimonial
Birokrasi.) Sistem pemerintahan yang patrimonial telah menjadikan praktik-praktik
penyelewengan dan korupi di tubuh pemerintahan menjadi tindakan/prilaku yang masif.
Prilaku koruptif sebagai warisan yang diberikan dari sistem pemerintahan
sebelumnya, menjadikan korupsi berakar kuat dan sulit diberantas. Sistem pemerintahan
patrimonial yang dominan pada zaman kerajaan jawa, kemudian pada masa
pemerintahan Kolonial VOC, dan pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, telah
mempengaruhi kehidupan dan sistem pemerintahan zaman sekarang. Dimana praktek-
praktek korupsi dan penyelewengan yang mengikuti sistem patrimonial tersebut
mewariskan perilaku korup kepada manusia di zaman modern ini.
Dinasti Ratu Atut di Banten merupakan contoh nyata dari sistem patrimonial yang
masih hidup dalam Pemerintahan di Indonesia saat ini. Korupsi dan penyelewengan
dalam tubuh dinasti Atut menunjukkan bahwa praktek korupsi memiliki kesinambungan
historis yang panjang dalam bentuk sistem patrimonial. Sistem patrimonial ini marak
terjadi di berbagai pemerintahan di seluruh Indonesia, dan dalam berbagai tingkatan.
Sejarah panjang dari praktek korupsi dan penyelewengan di Indonesia telah
berdampak besar bagi stabilitas kehidupan bangsa. Warisan sejarah berupa sistem
pemerintahan yang korup telah berpengaruh besar dan menyebar luas dalam berbagai
sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Sehingga sekarang dapat dilihat bagaimana
tindakan penyelewengan dan korupsi tidak hanya terjadi di lingkungan pemerintahan
saja, namun di kalangan swasta atau masyarakat sipil, praktek korupsi dan
penyelewengan menjadi sesuatu yang masif terjadi.
Seperti halnya penyelewengan atau korupsi dana bantuan bencana alam, telah
banyak terjadi di bangsa Indonesia saat ini. Tidak hanya korupsi dana pemerintahan,
namun di sektor dana sosial yang notabene sebagai dana bantuan musibah yang bernilai
simpati dan empati juga tidak luput dari tindakan korupsi. Telah banyak kasus yang
terungkap dan telah dipidanakan berkaitan dengan penyelewengan bantuan bencana di
Indonesia. Kasus yang terungkap tersebut misalnya; korupsi dan penyelewengan dana
bantuan Bencana Tsunami Aceh 2004, penyelewengan dana bantuan bencana Gempa di
Bantul 2006, penyelewengan bantuan bencana di Garut dari 2008, Penyelewengan Beras
bantuan Bencana Alam di Jember 2010, korupsi dana bancana alam di kantor
Bakesbangpol Dagri di Madiun 2014,dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya.
Sejarah panjang praktek korupsi dan penyelewengan bantuan bencana alam di Indonesia
masih menimbulkan pertanyaan besar bagi bangsa ini. Pertanyaan itu berkaitan dengan
tindakan korupsi dan penyelewengan sebagai kesinambungan historis sebagai warisan
tradisi sejak zaman kerajaan dan kolonial. Atau bahwa tindakan korupsi dan
penyelewengan merupakan suatu fenomena baru sebagai bentuk perubahan sosial
berkaitan dengan moral, nilai dan mental masyarakat, yang juga dipengaruhi oleh
kehidupan masalalu dalam bingkaian sejarah. Tentu hal ini masih menjadi perdebatan
panjang dan menarik untuk terus dikaji berkaitan dengan fenomena korupsi dan
penyelewengan bantuan bencana alam di Indonesia.

2. Korupsi Dalam Perspektif Pancasila


a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Manusia Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam hal ini
jelas perilaku tindak pidana korupsi ini tidak mencerminkan perilaku tersebut karena
perilaku tindak pidana korupsi adalah perilaku yang tidak percaya dan taqwa kepada
Tuhan. Dia menafikan bahwa Tuhan itu Maha Melihat lagi Maha Mendengar.
b. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dalam sila ini perilaku tindak pidana korupsi sangat melanggar bahkan sama sekali
tidak mencerminkan perilaku ini, seperti mengakui persamaan derajat, saling
mencintai, sikap tenggang rasa, gemar melakukan kegiatan kemanusiaan serta
membela kebenaran dan keadilan.
c. Sila persatuan Indonesia
Tindak pidana dan tipikor bila dilihat dalam sila ini, pelakunya itu hanya
mementingkan pribadi, tidak ada rasa rela berkorban untuk bangsa dan Negara,
bahkan bisa dibilang tidak cinta tanah air karena perilakunya cenderung
mementingkan nafsu, kepentingan pribadi atau kasarnya kepentingan perutnya saja.
d. Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyarawatan perwakilan.
Dalam sila ini perilaku yang mencerminkannya seperti, mengutamakan kepentingan
Negara dan masyarakat, tidak memaksakan kehendak, keputusan yang diambil harus
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta menjunjung tinggi
harkat martabat manusia dan keadilannya. Sangat jelaslah bahwa tindak pidana
korupsi tidak pernah ada rasa dalam sila ini.
e. Keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia
Rata-rata bahkan sebagian besar pelaku tindak pidana korupsi itu, tidak ada
perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana gotong royong, adil,
menghormati hak-hak orang lain, suka memberi pertolongan, menjauhi sikap
pemerasan terhadap orang lain, tidak melakukan perbuatan yang merugikan
kepentingan umum, serta tidak ada rasa bersama-sama untuk berusaha mewujudkan
kemajuan yang merata dan keadilan sosial.
Jadi semua perilaku tindak pidana dan tipikor itu semuanya melanggar dan
tidak mencerminkan sama sekali perilaku pancasila yang katanya ideologi bangsa
ini. Selain bersifat mengutamakan kepentingan pribadi, juga tidak adanya rasa
kemanusiaan, keadilan, saling menghormati, saling mencintai sesama manusia, dan
yang paling riskan adalah tidak ada rasa ‘percaya dan taqwa’ kepada Tuhan Yang
Maha Esa.

3. Korupsi dalam Prespektif Budaya


Korupsi sebagai kejahatan pencurian uang dalam bentuk penyalahgunaan
wewenang, memiliki arti yang sangat luas. Jika korupsi dilihat dari sudut pandang
budaya, maka pengertian korupsi memiliki dimensi tradisi atau kebudayaan. Beberpa
ahli mengemukakan pendapat bahwa tindakan korupsi sekarang ini bukan sebagi
fenomena penyimpangan, namun telah manjadi tindakan yang masif terjadi dan telah
menjadi budaya.
Pengertian “membudaya” dalam konteks korupsi memberikan pengertian bahwa
prilaku koruptif telah masuk dalam struktur kesadaran masyarakat sebagai proses yang
wajar dan tak terbantahkan dalam relasi sosial, politik, dan ekonomi. Hal tersebut seperti
pernyataan Mohammad Hatta (wakil presiden RI pertama) bahwa “prilaku korupsi telah
membudaya dalam masyarakat Indonesia”. Pernyataan hatta tersebut di lontarkannya
pada tahun 1970an, ketika ia menjadi penasehat Presiden Soeharto dalam upaya
pemberantasan korupsi saat itu (Margana, dalam Wijayanto, 2009:415-416).
Melabel korupsi sebagai tindakan yang membudaya akan menghubungkan
korupsi dengan konsep “determinisme kultural” (cultural determinism). Determinisme
kultural ini merupakan konsep yang sering menjadikan acuan beberapa ahli dalam
mengamati dan mempelajari korupsi yang semakin tumbuh meluas dalam masyarakat.
Dimana determinisme kultural memberikan pengertian bahwa kebudayaan tertentu
dalam masyarakat tertentu telah memberikan landasan mentalitas menguatnya tindakan
korupsi dan penyelewengan.
Dalam sejumlah kebudayaan, terdapat nilai-nilai yang sedemikian berbeda
sehingga korupsi kurang dituntut kepengadilan, lebih dapat diterima, atau bahkan
merupakan bagian dari adat istiadat itu (Klitgaard, 2001:82). Nillai-nilai dan adat-istiadat
yang sedemikian itu telah menjadikan praktek tindakan korupsi dan penyelewengan
semakin masif terjadi di masyarakat. Perbedaan adat-istiadat, kebiasaan, dan pedoman
berperilaku masyarakat satu dengan masyarakat lain, pada gilirannya, dapat menjelaskan
bagaimana berbagai macam jenis serta tingkat korupsi terjadi. Perbedaan-perbedaan
“budaya” disalahgunakan untuk mendukung tindakan korupsi.
Banyak teori dapat digunakan untuk menjelaskan korupsi sebagai persoalan
budaya. Diantaranya adalah teori dari Emile Durkheim (185-1917). Sosiolog Prancis ini
memandang bahwa watak manusia sebenarnya bersifat pasif dipengaruhi dan
dikendalikan oleh struktur dalam masyarakatnya. Individu secara moral, netral, dan
masyarakatlah yang menciptakan kepribadiannya (Kamil, 2009:848). Dalam konteks
prilaku koruptif dan penyelewengan bantuan bencana, berarti bahwa sistem budaya dan
kelembagaan yang ada dalam masyarakat yang membentuk prilaku individu. Ketika
individu berada dalam struktur kelembagaan yang korup, maka struktur yang korup
tersebut akan membentuk individu yang korup pula. Sebesar apapun sifat baik yang
dimiliki seorang individu, ketika ia masuk dalam lembaga yang korup maka lama
kelamaan akan masuk dalam pusaran hitam prilaku korupsi.
Sistem budaya yang korup akan mempengaruhi dan membentuk prilaku individu.
Ketika suatu lembaga memiliki sistem budaya yang korup, nilai dan moral telah bergeser
dan membentuk nilai baru, yang selanjutnya dipegang bersama oleh anggotanya sebagai
pedoman berperilaku. Nilai baru inilah yang dianggap sebagai nilai yang benar walaupun
dalam ukuran nilai yang sebelumnya merupakan nilai yang menyimpang. Sehingga
ketika ada seorang Indvidu yang memiliki kepribadian yang baik dengan pegangan
moral dan nilai yang kuat akan dianggap menyimpang ketika ia berada dalam lembaga
yang korup tersebut.
Sementara Gabriel Almond, seorang ahli teori kebudayaan politik yang banyak
dipengaruhi oleh teori Sosiologi Fungsionalisme struktural Talcot Parson dan Behavioral
Science dari disiplin Psikologi, memiliki pengertian yang lain mengenai tindakan
korupsi dan penyelewengan berkaitan dengan kebudayaan. Bagi Almond, yang banyak
dipengaruhi fungsionalisme struktural, memahami kebudayaan dan masyarakat dengan
pengertian yang luas, dimana masyarakat dipandang sebagai suatu sistem dengan
bagian-bagian yang saling bergatung (interdeoendensi). Baginya praktik politik dalam
bntuk tindakan korupsi tidak bisa dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri, namun
saling berkaitan dan berinteraksi dengan struktur lain seperti ekonomi, dan budaya
(Kamil,2009:848-850).
Dalam perspektif budaya, korupsi menjadi sesuatu yang dianggap biasa karena
telah dilakukan, baik secara sadar maupun tidak sadar dalam sikap hidup sehari-hari.
Jika dikategorikan secara berjenjang perilaku seseorang terhadap praktik korupsi dimulai
dari sangat permisif, permisif, antikorupsi, dan sangat antikorupsi.
Dalam hal ini pelaku sadar bahwa tindakannya akan merugikan suatu pihak dan
akan ada konsekuensi yang dihadapinya apabila kecurangan itu diketahui.Fenomena
kasus koruptif yang sering terjadi dalam dunia kesehatan dan dianggap sebagai suatu
kebiasaan yaitu:
a. Kebiasaan masyarakat memberikan uang pelicin atau tips kepada petugas kesehatan
untuk mendapatkan kemudahan dalam memperoleh pelayanan kesehatan.
b. Seorang petugas kesehatan merekomendasikan obat pesanan sponsor karena ia telah
menerima gratifikasi dari produsen obat tersebut.
c. Penyalahgunaan kartu miskin/Jamkesmas/Jamkesda untuk mendapatkan fasilitas
kesehatan gratis yang dilakukan masyarakat dalam golongan mampu.
d. Manipulasi data pelaporan tindakan medis yang berdampak pada besarnya klaim
pada asuransi kesehatan atau sejenisnya.
Dalam dunia pendidikan perilaku yang bersifat permisif (menganggap sebagai
hal biasa), tetapi sebenarnya merupakan praktik korupsi yaitu:Orangtua siswa
memberikan uang atau hadiah kepada guru sebagai ucapan terima kasih saat menerima
rapor kenaikan kelas anaknya.Mahasiswa memberikan parsel atau uang kepada dosen
pembimbing dan dosen penguji sebagai ucapan terima kasih menjelang dilaksanakannya
seminar proposal atau ujian karya tulis ilmiah.Orangtua calon mahasiswa memberikan
sejumlah uang kepada panitia penerima mahasiswa baru agar anaknya dapat diterima di
perguruan tinggi negeri.
Almarhum Dr. Mohammad Hatta yang ahli ekonomi pernah mengatakan bahwa
korupsi adalah masalah budaya. Pernyataan bung Hatta tersebut dapat diartikan bahwa
korupsi di Indonesia tidak mungkin diberantas kalau masyarakat secara keseluruhan
tidak bertekad untuk memberantasnya.Apakah kita dapat mengenali secara lebih konkrit
kepercayaan, moralitas dan kebiasaan bangsa kita yang tidak memberikan perangsang
pada pemberantasan korupsi? jawabannya memang ada, yaitu sisa – sisa sistem feodal
kita. Dalam sistem ini, menerima sesuatu dari rakyat, walaupun untuk itu rakyat sendiri
harus berkorban dan menderita, tidaklah merupakan perbuatan tercela dan penerimaan
itu jelas tidak dapat dimasukkan sebagai perbuatan korupsi. Sisa – sisa sistem feodal
rupanya masih ada praktek – praktek dan tradisi yang dianggap ”wajar ”. Artinya,
kebudayaan bangsa Indonesia dewasa ini masih belum berubah ke arah menolak sama
sekali moral dan tradisi sistem feodal. Inilah salah satu kesulitan berat yang selalu
dihadapi oleh hakim yang bertugas mengadili tindak pidana korupsi. Kalau pengadilan
tidak berhasil membuktikan secara hitam diatas putih atau kalau tidak ada saksi – saksi
yang dengan menganut sistem nilai baru yang anti feodal, yang benar – benar bersedia
untuk membantu memperkuat tuduhan korupsi maka niscaya hakim tidak mempunyai
alasan kuat untuk menghukum tertuduh. Jika masyarakat secara keseluruhan sudah
menganut ukuran yang sama dalam hal rasa keadilan, maka usaha pengenalan dan
pengendalian korupsi akan jauh lebih mudah.
Di negara kita perubahan dari ” Orde Lama ” ke ” Orde Baru ” kemudian di ikuti
dengan masa reformasi, bukannya tanpa pengorbanan yang besar. Barangkali karena
masalah korupsi belum berkembang menjadi masalah yang benar – benar menggerogoti
kelangsungan hidup bangsa Indonesia, maka penanggulangannya belum perlu dilakukan
dengan revolusi. Demikianlah dengan memahami kaitan – kaitan faktor budaya, maka
kita bisa mengerti mengapa usaha – usaha pemberantasan korupsi di Indonesia jarang
mencapai hasil yang memuaskan.

4. Korupsi dalam Presfektif Hukum


Jika dilihat dalam konteks hukum, Korupsi tergolong sebagai suatu tindakan
yang melanggar hukum dan dapat dipidanakan. Dalam konteks hukum, setiap tindakan
yang melanggar peraturan Perundang-Undangan maka dapat dipidanakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Berkaitan dengan penyelewengan bantuan bencana alam, maka
Undang-undang yang dapat menjerat pelaku yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
pemberantasan tindak pidana Korupsi.
UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang pemberantasan tindak pidana Korupsi, memuat 29 pasal
berkaitan dengan tindakan yang dikategorikan sebagai tindakan korupsi. Sebagai
persoalan hukum dan telah diatur dalam perundang-undangan, maka segala bentuk
tindakan individu ataupun kelompok yang melanggar UU tersebut dapat dipidanakan dan
dikenakan sanksi yang berat.
Adapun pemberatan pidana menurut Undang-undang ini selain ancaman pidana
yang lebih berat dari UU sebelumnya (UU No.3 Th.1971), UU ini juga memberikan
pemberatan terhadap hal-hal sebagai berikut: (Wijayanto: 573-575)
Terhadap perbuatan korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu, ancamannya dapat
berupa pidanan mati. Adapun yang dimaksud dengan keadaan tertentu yaitu keadaan saat
negara ditetapkan dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang berlaku; Terjadi
Bencana Alam Nasional; Pengulangan tindak pidana korupsi; dan dalam keadaan krisis
moneter.
Apabila oleh UU yang lain dikatakan sebagi perbuatan Korupsi, maka
diberlakukan UU ini;Percobaan, upaya membantu atau permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama; Orang diluar
negeri yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya
tindak pidanan korupsi dipidana dengan pidana yang sama dengan pelaku;Dilakukan
dalam hal ini tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
Dalam perkara pidana korupsi sealain pidana tambahan sebagaimana dimaksud
dalam KUHP, juga dapat dijatuhkan sebagai pidana tambahan berupa: pertama,
Perampasan barang bergerak yang berwujud dan tidak berwujud atau barang tidak
bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Kedua,
pembayaran uang Penganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta
benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, dan apabila dalam tenggang waktu satu
bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
terpidana tidak membayar uang pengganti, harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan
dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Namun jika terpidana tidak memiliki
harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan
pidana penjara yang lamanya melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya
sesudah putusan pengadilan. Ketiga, penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk
waktu paling lama satu tahun. Keempat, pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak
tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau
diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Jika melihat konteks hukum dan perundang-undangan yang berlaku, maka
tidakan individu atau kelompok dalam menyelewengkan bantuan bencana Alam juga
tergolong sebagai tindak pidana korupsi. Sesuai UU no.31 tahun 1999 jo UU No.20
Tahun 2001, pelaku penyelewengan bantuan menurut UU tersebut dapat menerima
pemberatan pidana yaitu pidana mati. Pidana mati ini dapat dijatuhkan karena perbuatan
korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu, yaitu ketika negara sedang menghadapi
Bencana alam Nasional. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) UU No.31 Tahun 1999.
Ancaman pidana mati yang terkandung dalam Pasal 2 ayat (2) UU No.31 Tahun
1999 sesuai dengan pernyataan Kejaksaan Tinggi Jawatimur yang memberikan warning
kepada pelaku penyelewengan bantuan bancana alam meletusnya gunung kelud februari
2014 (EncietyNews, 2014).
Pemberantasan korupsi sebagai persoalan hukum dilakukan sebagai upaya yang
lebih bersifat represif dari pada upaya yang bersifat preventif. Upaya pemberntasan ini
dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK sebagai lembaga yang
bertugas untuk membernatas kasus korupsi di Indonesia dibentuk berdasarkan UU
Nomor 30 Tahun 2002.
Sementara untuk mengadili pelaku tindak pidana korupsi dilakukan oleh
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah
pengadilan khusus yang berada dilingkungan peradilan umum dan berkedudukan
didaerah kabupaten atau kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan
negeri bersangkutan. Demikian pula ditingkat Banding, Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi di Ibu kota Provinsi yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan
tinggi yang bersangkutan. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi iniberwewenang
memeriksa dan memutuskan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya
yang berkaitan dengan korupsi (Isra & Eddy, dalam Wijayanto, 2009:575).
Korupsi Dalam Perspektif Hukum Korupsi harus dipahami sebagai tindakan
melawan hukum dan ada pandangan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
KPK mengungkap tiga sebab mengapa korupsi di Indonesia menjadi kejahatan luar biasa
yaitu:
Korupsi di Indonesia sifatnya transnasional sehingga beberapa koruptor
Indonesia mengirimkan uang ke luar negeri. Hasil pendataan KPK menunjukkan bahwa
40 persen saham di Singapura adalah milik orang Indonesia. Oleh sebab itu, Singapura
hingga saat ini tak mau meratifikasi perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Tujuan dari
perjanjian ini adalah meminta buron dari suatu negara yang lari ke negara lain untuk
dikembalikan ke negara asalnya.
Pembuktian korupsi di Indonesia itu super. Artinya, membutuhkan usaha
ekstrakeras. Seperti diketahui, 50 persen kasus korupsi bentuknya penyuapan. Koruptor
yang menyuap tidak mungkin menggunakan tanda terima atau kuitansi. Secara hukum,
pembuktiannya cukup sulit.
Dampak korupsi memang luar biasa. Contohnya, dari sektor ekonomi, utang
Indonesia di luar negeri mencapai Rp1.227 triliun. Utang ini dibayar tiga tahap, 2011–
2016, 2016–2021, dan 2021–2042. Permasalahan yang muncul apakah kita dapat
melunasinya pada 2042? Di sisi lain, menjelang tahun itu banyak timbul utang-utang
baru dari korupsi baru. (Republika, 2014) Pandangan lain berpendapat bahwa tindak
pidana korupsi itu hanya dianggap sebagai tindak pidana biasa dan bukan merupakan
extraordinary crime.
Para ahli hukum tersebut merujuk pada Statuta Roma tahun 2002, yang dalam hal
ini statuta tersebut menggolongkan korupsi bukan suatu kejahatan luar biasa yang
tergolong extraordinary crime, yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Namun, Indonesia sendiri
bukanlah negara yang ikut meratifikasi Statuta Roma tersebut.
Seluruh negara telah menyatakan perang terhadap korupsi dan koruptor, bahkan
sebagai anggapan kejahatan luar biasa maka ada negara yang memberlakukan hukuman
mati untuk para koruptor. Indonesia telah membuat undang-undang tersendiri untuk
mencegah dan memberantas korupsi.
Beberapa Undang – Undang dan peraturan pemerintah yang erat kaitannya untuk
mencegah dan memberantas korupsi yaitu:
a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana;
b. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
c. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang PemberantasanTindak Pidana
Korupsi;
d. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran
Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
e. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
f. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang;
g. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi;

5. Korupsi Dalam Perspektif Agama


Agama sebagai dasar dari segala kepercayaan dan keyakinan tiap individu
berperan penting. Dalam semua ajaran agama, tidak ada yang mengajarkan umatnya
untuk berlaku atau melakukan tindakan korupsi. Namun, pada kenyataannya praktik
korupsi sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan orang-orang beragama.
Agama memang mengajarkan dan mengarahkan para penganutnya untuk hidup
jujur, lurus, dan benar. Korupsi termasuk kategori perilaku mencuri yang diharamkan
agama dan tindakan pendosa. Logikanya seseorang yang beragama atau memegang
teguh ajaran agamanya tidak akan melakukan korupsi. Penyebabnya tentu dapat dilihat
dari berbagai perspektif. Harus disadari bahwa kelakuan seseorang tidak hanya
ditentukan oleh agamanya. Ada banyak faktor yang memengaruhi orang untuk bertindak
atau berperilaku koruptif, antara lain faktor genetik, faktor neurologis, faktor psikologis,
faktor sosiologis, faktor pendidikan dan pengasuhan.
Ada faktor lain yang bisa mengalahkan pengaruh ajaran agama sebagai godaan
manusiawi, yaitu
1. Nilai – nilai agama tidak menjadi pedoman dalam tindak perilaku di masyarakat
2. Ketiadaan apresiasi terhadap nilai-nilai kemuliaan disertai dengan lemahnya disiplin
diri dan etika dalam bekerja
3. adanya sifat tamak dan egois yang hanya mementingkan diri sendiri.
Dengan gaya hidup modern sekarang ini, orang dengan mudah melupakan atau
dengan sengaja mengabaikan ajaran-ajaran agama yang dianutnya, lalu melakukan
tindak pidana korupsi. Ada kalanya uang hasil tindak pidana korupsi itu digunakan
untuk hal-hal yang berbau religi. Dalam hal ini tentu harus ada introspeksi diri dari kita
semua, termasuk dari para pemuka agama.

6. Korupsi Dalam Prespektif Sosial


Dalam perspektif sosial korupsi dipandang suatu perbuatan yang dapat
meningkatkan angka kemiskinan, perusakan moral bangsa, hilangnya rasa percaya
terhadap pemerintah, akan timbul kesenjangan dalam pelayanan umum dan menurunnya
kepercayaan pemerintah dalam pandangan masyarakat. Dalam sistem ini, menerima
sesuatu dari rakyat, walaupun untuk rakyat itu sendiri harus berkorban dan menderita,
tanpa diketahui oleh rakyat itu sendiri mereka telah diperlakukan tidak adil oleh oknum-
oknum korupsi yang tidak bertanggung jawab, merupakan perbuatan tercela dan
penerimaan itu jelas dapat dimasukkan sebagai perbuatan korupsi.

7. Korupsi Dalam Prespektif Teknologi


Dalam perspektif teknologi korupsi dipandang sebagai sesuatu yang dapat
menghambat perkembangan teknologi yang ada, penyalahgunaan tindakan yang
merugikan negara, dan terorisme yang terus merajalela.

8. Korupsi Dalam Prespektif Politik


Dalam perspektif politik korupsi dapat mempersulit demokrasi dan tata cara
pemerintahan yang baik dengan cara menghancurkan proses formal, sistem politik akan
terganggu cenderung tidak dipercaya oleh masyarakat, akan timbul aklamasi-aklamasi
untuk menguatkan kekuatan politik (menjaga keberlangsungan korupsi) dan akan timbul
ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga-lembaga politik.

9. Korupsi Dalam Prespektif Ekonomi

Dalam perspektif ekonomi korupsi berdampak pada pembangunan infrastruktur


yang tidak merata, tidak sesuai dengan yang dianggarkan sebelumnya. Pemerataan
pendapatan yang buruk, membuat pengusaha asing takut untuk berinvestasi di Indonesia,
pendapatan negara mengalami penurunan dan membuat beban lebih berat pada
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai