Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH ANTI KORUPSI

MAKALAH
PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

Disusun Oleh:
KHARISMA KARUNIA ILAHI (IIA / 061310016)

Pembimbing:
Drs. Muhaimin,S.Pd,M.Ag,M.Pd

UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
2014
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan Rahmat,
Taufik dan Hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan Makalah Pendidikan Anti Korupsi
dengan pengetahuan yang kami miliki. Dan juga kami berterima kasih kepada Bapak Drs.
Muhaimin,S.Pd,M.Ag,M.Pd selaku Dosen mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami berharap makalah ini berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Pendidikan Anti Korupsi. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa
di dalam tugas ini terdapat kekurangan kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan.
Untuk itu kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila ada kata kata yang kurang membangun
demi perbaikan di masa yang akan datang.

Lamongan,
31Maret 2014

KHARISMA
KARUNIA
ILAHI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Korupsi merupakan kata yang dinegasikan oleh setiap orang, namun tidak orang
menyadari bahwa korupsi telah menjadi bagian dari dirinya. Hal ini biasanya terjadi akibat
pemahaman yang keliru tentang korupsi atau karena realitas struktural yang menghadirkan
korupsi sebagai kekuatan sistematik yang membuat tak berdaya para perilakunya. Ada nilai-nilai
kultural seperi pemberian hadiah yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan korupsi,
namun ada pula sistem yang memaksa seseorang berlaku korupsi.

B. RUMUSAN MASALAH
a. Apa pengertian korupsi?
b. Apa sajakah factor penyebab korupsi?
c. Apa sajakah dampak korupsi?
d. Sebutkan nilai dan prinsip anti korupsi
e. Upaya pemberantasan korupsi
f. Gerakan kerjasama dan intrumen internasional pencegahan korupsi
g. Tindak pidana korupsi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
h. Peran dan keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti korupsi
BAB II
PENGERTIAN KORUPSI

A. Definisi Korupsi
Korupsi sejatinya berasal dari bahasa Latin (Fockema Andreae : 1951). Yaitu Corruptio
yang arti harfiahnya adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap tidak
bermoral penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
Sementara dalam terminologis korupsi diartikan sebagai pemberian dan penerimaan suap.
Defenisi korupsi ini lebih menekankan pada praktik pemberian suap atau penerimaaan suap.
Dengan demikian baik yang menerima maupun memberi keduanya termasuk koruptor.
David M Chalmers menguraikan pengertian korupsi sebagai tindakan-tindakan
manipulasi dan kepurusan mengenai keuangan yang membahayakan ekonomi. JJ Senturia
dalam Encyclopedia of social sciens (Vol VI, 1993) mendefinisikan korupsi sebagai
penyalahgunaan kekusaan pemerintahan untuk keuntungan pribadi. Definisi ini dianggap sangat
spesifik dan konvensional karena meletakan persoalan korupsi sebagai ranah pemerintah semata.
Padahal seiring dengan proses swastanisasi (privatisasi) perusahaan negara dan pengalihan
kegiatan yang selama ini masuk dalam ranah negara ke sektor swasta, maka definisi korupsi
mengalami perluasan. Ia tidak hanya terkait dengan penyimpanagan yang dilakukan oleh
pemerintah, tapi juga oleh pihak swasta dan pejabat-pejabatranah publik baik politisi, pegawai
negrimaupun orang-orang dekat mereka yang memperkaya diri dengan cara melanggar hukum.
Berpijak pada hal tersebut Transparancy International memasukan tiga unsur korupsi yaitu
penyalahgunaan kekuasaan, kekuasaan yang dipercayakan dan keuntungan pribadi baik secara
pribadi, anggota keluarga, maupun kerabat dekat lainnya.
Dari beberapa defenisi diatas, baik secara etimologis maupun terminologis, korupsi dapat
dipahami dalam tiga level. Pertama Korupsi dalam pengertian tindakan pengkhianatan terhadap
kepercayaan, kedua pengertian dalam semua tindakan penyalahgunaan kekuasaan baik pada
tingkat negara maupun lembaga-lembaga struktural lainnya termasuk lembaga pendidikan.
Ketiga korupsi dalam pengertian semua bentuk tindakan penyalahgunaan kekuasaanuntuk
mendapatkan keuntungan materil.

B. Bentuk-Bentuk Korupsi
Adapun bentuk-bentuk korupsi yang sudah lazim dilakukan di lingkungan instansi pemerintah
pusat maupun daerah, BUMN, dan BUMD serta bekerja sama dengan pihak ketiga antara lain
sebagai berikut :
1) Transaksi luar negeri ilegal dan penyelundupan.
2) Menggelapkan dan manipulasi barang milik lembaga, BUMN/BUMD, swastanisasi anggaran
pemerintah.
3) Penerimaan pegawai berdasarkan jual beli barang.
4) Jual beli jabatan, promosi nepotisme dan suap promosi.
5) Menggunakan uang yang tidak tepat, memalsukan dokumen dan menggelapkan uang,
mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak, jual beli besaran pajak
yang harus dikenali, dan menyalahgunakan keuangan.
6) Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah mencurangi dan memperdaya serta memeras.
7) Mengabaikan keadilan, memberi kesaksian palsu menahan secara tidak sah dan menjebak.
8) Mencari-cari kesalahan orang yang tidak salah.
9) Jual beli tuntutan hukuman, vonis, dan surat keputusan.
10) Tidak menjalankan tugas, desersi.
11) Menyuap, menyogok, memeras, mengutip pungutan secara tidak sah dan meminta komisi.
12) Jual beli objek pemeriksaan, menjual temuan, memperhalus dan mengaburkan temuan.
13) Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk kepentingan pribadi dan membuat
laporan palsu.
14) Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintah, dan surat izin pemerintah.
15) Manipulasi peraturan, memunjamkan uang negara secara pribadi.
16) Menghindari pajak, meraih laba secara berlebihan.
17) Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, konflik kepentingan.
18) Menerima hadiah uang jasa, uang pelicin dan hiburan, perjalanan yang tidak pada tempatnya.
19) Penempatan uang pemerintah kepada Bank tertentu yang berani memberikan bujed yang tidak
sesuai yang sebenarnya.
20) Berhubungan dengan organisasi kejahatan, operasi pasar gelap.
21) Perkoncoan untuk menutupi kejahatan.
22) Memata-mata secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunikasi dan pos untuk kepentingan
pribadi.
23) Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan dan hak istimewa jabatan.
24) Memperbesar pendapatan resmi yang ilegal.
25) Pimpinan penyelenggara negara yang meminta fasilitas yang berlebihan dan double atau triple.

C. Sejarah Korupsi
Era sebelum kemerdekaan
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh budaya-tradisi korupsi yang
tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyimak
bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan
Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-
Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti,
Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan
Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda
dan seterusnya sampai terjadinya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai
Sejarah Korupsi dan Kekuasaan diIndonesia.

Era Pasca Kemerdekaan


Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan
Pemberantasan Korupsi Paran dan Operasi Budhi namun ternyata pemerintah pada waktu itu
setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk
berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu
oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi
formulir yang disediakan istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam
perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi
keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi
langsung kepada Presiden.
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di
balik Presiden. Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya
pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai
Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo.
Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian dikenal dengan istilah Operasi Budhi. Sasarannya adalah
perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan
praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk
menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk
menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih
belum mendapat izin dari atasan.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat
diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun
waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan.
Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, prestise Presiden harus ditegakkan di
atas semua kepentingan yang lain.
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi
Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat
Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen
Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya
mengalami stagnasi.

Era Orde Baru


Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj
Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi
sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat
bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari
tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa
Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti
komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK.
Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot
masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa
yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat
beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ
Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan
antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina.
Namun kornite ini hanya macan ompong karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di
Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib
(Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya
melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul
perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut
pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil
dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada
Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun
hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.

Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya korupsi lebih banyak dilakukan oleh
kalangan elit pemerintahan. Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut
pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga
Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan
dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk
rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung,
TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya.
pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak
bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di
tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan
masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi
dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki
Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun
menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi
sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya
menjual aset-aset negara.
Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum
semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya
konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri.
Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King,
lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA
kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak
serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi
perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan
perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan
kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.
BAB III
FAKTOR PENYEBAB KORUPSI

Mengutip teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE Theory, bahwa
faktor-faktor internal yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :
Greeds (keserakahan): berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di
dalam diri setiap orang.
Opportunities (kesempatan): berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat
yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan
kecurangan.
Needs (kebutuhan): berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu
untuk menunjang hidupnya yang wajar.
Exposures (pengungkapan): berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh
pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.
Menurut Arya Maheka, Faktor-Faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya Korupsi adalah :
1. Penegakan hukum tidak konsisten : penegakan huku hanya sebagai meke-up politik, bersifat
sementara dan sellalu berubah tiap pergantian pemerintahan.
2. Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang karena takut dianggap bodoh bila tidak menggunakan
kesempatan.
3. Langkanya lingkungan yang antikorup : sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan
sebatas formalitas.
4. Rendahnya pndapatan penyelenggaraan negara. Pedapatan yang diperoleh harus mampu
memenuhi kebutuhan penyelenggara negara, mampu mendorong penyelenggara negara untuk
berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
5. Kemiskinan, keserakahan : masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan
ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak
pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
6. Budaya member upeti, imbalan jasa dan hadiah.
7. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi : saat tertangkap bisa
menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.
Rumus: Keuntungan korupsi > kerugian bila tertangkap.
8. Budaya permisif/serba membolehkan; tidakmau tahu : menganggap biasa bila ada korupsi,
karena sering terjadi. Tidak perduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
9. Gagalnya pendidikan agama dan etika : ada benarnya pendapat Franz Magnis Suseno bahwa
agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku
masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama menganggap agama hanya
berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah saja. Sehingga agama nyaris tidak berfungsi
dalam memainkan peran sosial. Menurut Franz, sebenarnya agama bisa memainkan peran yang
besar dibandingkan insttusi lainnya. Karena adanya ikatan emosional antara agama dan pemeluk
agama tersebut jadi agama bisa menyadarkan umatnya bahwa korupsi dapat memberikan
dampak yang sangat buruk baik bagi dirinya maupun orang lain.
BAB IV
DAMPAK MASIF KORUPSI

A. Dampak Ekonomi
Di sisi lain, meningkatnya korupsi berakibat pada meningkatnya biaya barang dan jasa,
yang kemudian dapat melonjakkan utang Negara. Pada keadaan ini inefisiensi terjadi, yaitu
ketika pemerintah mengeluarkan lebih banyak kebijakan, namun disertai dengan maraknya
praktik korupsi. Berbagai permasalahan ekonomi lain akan muncul secara alamiah apabila
korupsi sudah merajalela yang dapat mengakibatkan lesunya pertumbuhan ekonomi dan
investasi. Rendahnya kualitas barang dan jasa bagi public, menurunnya pendapatan Negara dari
sector pajak, meningkatnya hutang Negara.
B. Dampak Sosial dan KemiskinanMasyarakat
Bagi masyarakat miskin, korupsimengakibatkan dampak yang luar biasadan saling
bertaut satu sama lain. Pertama, dampak langsung yang dirasakan olehorang miskin yakni
semakin mahalnya jasa berbagai pelayanan publik, rendahnyakualitas pelayanan, dan
pembatasan aksesterhadap berbagai pelayanan vital sepertiair, kesehatan, dan pendidikan.
Kedua,dampak tidak langsung terhadap orangmiskin yakni pengalihan sumber dayamilik publik
untuk kepentingan pribadi dankelompok, yang seharusnya diperuntukkanguna kemajuan sektor
sosial dan orangmiskin, melalui pembatasan pembangunan.Hal ini secara langsung memiliki
pengaruhkepada langgengnya kemiskinan yangdapat menimbulkan solidaritas social semakin
langka dan demoralisasi sertadapat meningkatkan angka kriminalitas.
C. Dampak Terhadap Politik danDemokrasi
Dampak masif korupsi terhadap politik dan demokrasi antara lainmemunculkan
kepemimpinan korup karenakondisi politik yang carut marut dancenderung koruptif, hilangnya
kepercayaan publik pada demokrasi karena terjadinyatindak korupsi besar-besaran
yangdilakukan oleh petinggi pemerintah,legislatif, yudikatif atau petinggi
partai politik, menguatnya plutokrasi (sistem politik yang dikuasai oleh pemilik modal/kapitalis),
dan hancurnyakedaulatan rakyat yang disebabkankekayaan negara hanya dinikmati
olehsekelompok tertentu.
D. Dampak terhadap Penegakan Hukum
Dampak masif korupsi terhadap penegakan hukum dapat dirasakan antaralain fungsi
pemerintahan yang mandulkarena korupsi mengikis banyak kemampuan pemerintah untuk
melakukanfungsi yang seharusnya, hilangnyakepercayaan rakyat terhadap lembaganegara karena
bobroknya penegakanhukum di Indonesia. Seharusnyalah pemerintah menciptakan
keteraturan dalamkehidupan berbangsa dan bernegara dan bukan sebaliknya.
E. Dampak Terhadap Pertahanan danKeamanan
Dampak masif korupsi terhadap pertahanan dan keamanan antara
lain dapatmengakibatkan kerawanan HANKAMNASkarena lemahnya alutsista dan sumber
dayamanusia, lemahnya garis batas Negara karena kemiskinan yang terjadi di
daerah perbatasan negara, menguatnya sisikekerasan dalam masyarakat karenakondisi
kemiskinan pada akhirnya memicu berbagai kerawanan sosial lainnya yangsemakin membuat
masyarakat frustasimenghadapi kerasnya kehidupan.
F. Dampak Kerusakan Lingkungan
Dampak masif korupsi juga dapatmengakibatkan kerusakan lingkungan yangditandai
dengan menurunnya kualitaslingkungan karena adanya ekslpoitasi besar
besaran sumber daya alam,menurunnya kualitas hidup yang juga
akan berdampak pada menurunnya kualitashidup manusia yang ada di dalamnya, sertakualitas
hidup global
BAB V
NILAI DAN PRINSIP ANTI KORUPSI

A. Nilai-Nilai Anti Korupsi


Kejujuran
Kejujuran merupakan nilai dasar yang menjadi landasan utama bagi penegakan integritas diri
seseorang. Tanpa adanya kejujuran mustahil seseorang bisa menjadi pribadi yang berintegritas.
Seseorang dituntut untuk bisa berkata jujur dan transparan serta tidak berdusta baik terhadap diri
sendiri maupun orang lain. Kejujuran juga akan terbawa dalam bekerja sehingga dapat
membentengi diri terhadap godaan untuk berbuat curang.
Kepedulian
Kepedulian sosial kepada sesama menjadikan seseorang memiliki sifat kasih sayang. Individu
yang memiliki jiwa sosial tinggi akan memperhatikan lingkungan sekelilingnya di mana masih
terdapat banyak orang yang tidak mampu, menderita, dan membutuhkan uluran tangan. Pribadi
dengan jiwa sosial tidak akan tergoda untuk memperkaya diri sendiri dengan cara yang tidak
benar tetapi ia malah berupaya untuk menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membantu
sesama.
Kemandirian
Kemandirian membentuk karakter yang kuat pada diri seseorang menjadi tidak bergantung
terlalu banyak pada orang lain. Mentalitas kemandirian yang dimiliki seseorang
memungkinkannya untuk mengoptimalkan daya pikirnya guna bekerja secara efektif. Jejaring
sosial yang dimiliki pribadi yang mandiri dimanfaatkan untuk menunjang pekerjaannya tetapi
tidak untuk mengalihkan tugasnya. Pribadi yang mandiri tidak akan menjalin hubungan dengan
pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab demi mencapai keuntungan sesaat.
Kedisiplinan
Disiplin adalah kunci keberhasilan semua orang. Ketekunan dan konsistensi untuk terus
mengembangkan potensi diri membuat seseorang akan selalu mampu memberdayakan dirinya
dalam menjalani tugasnya. Kepatuhan pada prinsip kebaikan dan kebenaran menjadi pegangan
utama dalam bekerja. Seseorang yang mempunyai pegangan kuat terhadap nilai kedisiplinan
tidak akan terjerumus dalam kemalasan yang mendambakan kekayaan dengan cara yang mudah.

Tanggung Jawab
Pribadi yang utuh dan mengenal diri dengan baik akan menyadari bahwa keberadaan dirinya di
muka bumi adalah untuk melakukan perbuatan baik demi kemaslahatan sesama manusia. Segala
tindak tanduk dan kegiatan yang dilakukannya akan dipertanggungjawabkan sepenuhnya kepada
Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, negara, dan bangsanya. Dengan kesadaran seperti ini maka
seseorang tidak akan tergelincir dalam perbuatan tercela dan nista.
Kerja Keras
Individu beretos kerja akan selalu berupaya meningkatkan kualitas hasil kerjanya demi
terwujudnya kemanfaatan publik yang sebesar-besarnya. Ia mencurahkan daya pikir dan
kemampuannya untuk melaksanakan tugas dan berkarya dengan sebaik-baiknya. Ia tidak akan
mau memperoleh sesuatu tanpa mengeluarkan keringat.
Kesederhanaan
Pribadi yang berintegritas tinggi adalah seseorang yang menyadari kebutuhannya dan berupaya
memenuhi kebutuhannya dengan semestinya tanpa berlebih-lebihan. Ia tidak tergoda untuk hidup
dalam gelimang kemewahan. Kekayaan utama yang menjadi modal kehidupannya adalah ilmu
pengetahuan. Ia sadar bahwa mengejar harta tidak akan pernah ada habisnya karena hawa nafsu
keserakahan akan selalu memacu untuk mencari harta sebanyak-banyaknya.
Keberanian
Seseorang yang memiliki karakter kuat akan memiliki keberanian untuk menyatakan kebenaran
dan menolak kebathilan. Ia tidak akan mentolerir adanya penyimpangan dan berani menyatakan
penyangkalan secara tegas. Ia juga berani berdiri sendirian dalam kebenaran walaupun semua
kolega dan teman-teman sejawatnya melakukan perbuatan yang menyimpang dari hal yang
semestinya. Ia tidak takut dimusuhi dan tidak memiliki teman kalau ternyata mereka mengajak
kepada hal-hal yang menyimpang.
Keadilan
Pribadi dengan karakter yang baik akan menyadari bahwa apa yang dia terima sesuai dengan
jerih payahnya. Ia tidak akan menuntut untuk mendapatkan lebih dari apa yang ia sudah
upayakan. Bila ia seorang pimpinan maka ia akan memberi kompensasi yang adil kepada
bawahannya sesuai dengan kinerjanya. Ia juga ingin mewujudkan keadilan dan kemakmuran
bagi masyarakat dan bangsanya.

B. PRINSIP-PRINSIP ANTIKORUPSI
Akuntabilitas
Prinsip ini pada dasarnya dimaksudkan agar segenap kebijakan dan langkah-langkah yang
dijalankan sebuah lembaga dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna. Oleh karena itu
prinsip akuntabilitas sebagai prinsip pencegahan tindak korupsi membutuhkan perangkat-
perangkat pendukung, baik berupa perundang-undangan (de jure) maupun dalam bentuk
komitmen dan dukungan masyarakat (de facto). Sebagai bentuk perwujudan prinsip
akuntabilitas, undang-undang keuangan Negara juga menyebutkan adanya kewajiban ganti rugi
yang diberlakukan atas mereka yang karena kelengahan atau kesengajaan telah merugikan
Negara. Prinsip akuntabilitas pada sisi lain juga mengharuskan agar setiap penganggaran biaya
dapat disusun sesuai target atau sasaran.Agenda-agenda yang harus ditempuh untuk mewujudkan
prinsip-prinsip akuntabilitas pengelolaan keuangan Negara meliputi dua aspek yaitu :
1.) Mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban. Mekanisme yang berjalan selama ini adalah
bahwa setiap pengelolaan anggaran Negara dibuat dalam beberapa rangkap yang ditunjukkan
kepada penanggungjawab proyek pada lembaga yang bersangkutan dan yang menadai, yakni
Direktorat Jendral Anggaran Departemen Keuangan, yang kemudian ditembuskan kepada
komponen-komponen atau lembaga yang melakukan pengawasan.
2.) Berkenaan dengan upaya-upaya evaluasi. Selama ini evaluasi hanya terbatas sebagai penilaian
dan evaluasi terhadap kinerja administrasi dan proses pelaksanaan seperti diuraikan sebelumnya
dan tidak dilakukan.
Transparansi
Transparansi merupakan prinsip yang mengharuskan semua proses kebijakan dilakukan
secara terbuka, sehingga segala bentuk penyimpangan dapat diketahui oleh public. Dalam
konteks pemberantasan korupsi yang melibatkan kekuasaan dan keuangan, ada sector-sektor
yang mengharuskan keterlibatan masyarakat agar tidak terjebak dalam lingkaran setan korupsi
yang begitu akut dan menyengsarakan rakyat.
Kurangya transparansi dalam pengelolaan keuangan Negara ini dapat dilihat dari tidak
tertatanya adminidtrasi keuangan Negara dengan baik. Hal ini misalnya bisa dilihat dari aliran
dana tertentu (non budgeter) yang ada dibeberapa departemen. Ketidaktahuan masyarakat akan
dana-dana tersebut memberikan keleluasaan bagi oknum aparat untuk menikmatinya sesuka hati.

Fairness
Fairness merupakan salah satu prinsip antikorupsi yang mengedepankan kepatuhan atau
Kewajaran. Prinsip fairness saesungguhnya lebih ditujukan untuk mencegah terjadinya
manipulasi dalam penganggaran proyek pembangunan, baik dalam bentuk merk up maupun
ketidakwajaran kekuasaan lainnya. Jika mempelajari definisi korupsi sebelumnya, maka dalam
korupsi itu sendiri terdapat unsur-unsur manipuilasi yang penyimpangan baik dalam bentuk
anggaran, kebijakan, dan sebagainya.Prinsip fairness bertujuan mencegah menjalarnya praktek-
praktek ketidakwajaran, baik berupa penipuan maupun penyimpangan dalam segala level
kehidupan. di samping itu, fairness dapat menggiring setiap proses pembangunan khususnya
yang berkaitan dengan penganggaran berjalan secara wajar, jujur, dan sesuai dengan prosedur
yang telah di sepakati bersama pemerintah dan rakyat.
Kebijakan Anti Korupsi
Kebijakan merupakan sebuah usaha mengatur tata interaksi dalam ranah sosial. Korupsi
sebagai bentuk kejahatan luar biasa yang mengancam tata kehidupan berbangsa telah memaksa
setiap Negara membuat undang-undang untuk mencegahnya. Beberapa Negara membuat aturan
main anti korupsi yang mempersempit ruang gerak perilaku korupsi. Kebijakan tersebut tidak
selalu identik dengan undang-undang anti korupsi, namu bias berupa undang-undang kebebasan
mengakses informasi, undang-undang di sentralisasi, undang-undang anti monopoli, mauoun
yang lainnya yang dapat memudahkan masyarakat mengetahui sekaligus mengontrol kinerja dan
penggunaan anggaran Negara oleh para pejabat Negara.
Signifikan kebijakan anti korupsi terletak padsa asumsi bahwa hukum atau penegakan
hukum di yakini sebagai cara efektif untuk mengendalikan naluri berbuat korupsi. Korupsi
bagian dari nilai-nilai yang ada dalam diri seseorang dapat di kendalikan dan di control oleh
peraturan atau undang-undang langkah ini merupakan subsistem dari keseluruhan sistem
kehidupan sebuah Negara yang merangkul sekaligus menat beragam kepentigan, demi
terciptanya sebuah kenegaraan yang harmonis.
Kebijakan antikorupsi dapat di lihat dalam beberapa perspektif Pertama,isi kebijakan.
Komponen penting dari sebuah kebijakan adalah konten atau isi dari kebijakan tersebut. Dengan
kata lain, kebijakan anti-korupsi menjadi efektif apabila di dalamnya terkandung unsure-unsur
yang terkait dengan persoalan korupsi sebagai focus dari kegiatanm tersebut. Paling tidak, di
dalamnya terkandung unsure-unsur yang secara teoretis dapat menjawab persoalan yang hendak
di atur dalam kebijakan antikorupsi.
Kedua, pembuat kebijakan. Kebijakan antikorupsi tidak bias dilepaskan dari para
pembuat kebijakan. Paling tidak, isi dari kebijakan merupakan cermin dari kualitas dan integritas
pembuatnya. Sekaligus akan menentukan kualitas isi kebijakan tersebut. Apabila pembuat
kebijakan antikorupsi adalah mereka yang tidak memahami duduk masalah korupsi atau justru
mereka menjadi bagian dari carut marut perilaku koruptif, maka alih-alih dapat menjadi control
dan memberikan jalan dari tindakn korupsi, justru tindakan tersebut bias menjadi bumerang bagi
pemberantasan korupsi.
Ketiga, penegakan kebijakan. Kebijakan yang telah di buat dapat berfungsi apabila di
dukung oleh actor-aktor penegak kebiajakn itu sendiri. Penegak kebijakan dalm struktur
kenegaraan modern terdiri dari kepolisian, pengadilan, pengacara, dan lembaga pemasyarakatan.
Apabila penegak kebijakan tidak memiliki komitmen untuk meletakkanya sebagai aturan yang
mengikat bagi semua, termasuk bagi dirinya, maka sebuah kebijakan hanya akan menjadi
instrumen kekuasaan yang justru melahirkan kesenjangan, Ketidakadilan, dan bentuk
penyimpangan lainya.
Keempat, kultue kebijakan (hokum). Eksitensi sebuah kebijakan terkait dengan nilai-
nilai, pemahaman, sikap, persepsi, dan kesadaran masyarakat terhadap hokum undang-undang
anti korupsi. Lebih jauh kultur kebijakan ini akan menentukan tingkat partisipasi masyarakat
dalam pemberantasan korupsi.
Keempat hal tersebut akan menentukan efektifitas pelaksanaan dan fungsi sebuah
kebijakan. Dalam konteks kebijakan antikorupsi, maka keempat komponen tersebut akan
berpengaruh terhadap efektifitas pemberantasan korupsi melalui kebijakan yang ada.
Namun, sebagai produk politik, sebuah kebijakan seringkali tidak berfungsi secara
maksimal baik karena adanya intervensi kekuasaan maupun karena tidak di potong oleh sistem
maupun budaya masyarakat. Akibatnya, langkah pemberantasan korupsi yang seharusnya bias
efektif melalui peraturan tidak berjalan secara normal. hal ini bias di lihat dari sejarah
pemberantasan korupsi di Indonesia yang belum mampu menghasilkan kerja maksimal di
bandingkan dengan keberadaan undang-undang atau peraturan antikorupsi yang sudah ada sejak
lama. Bahkan sebagai Negara asia yang memiliki undang-undang antikorupsi, Indonesia jusdtru
berada di tingkat yang sangat rendah dalam peringkat Negara-negara yang bebas dari korupsi.
Control Kebijakan
Menurut David Korten lebih dari tiga dasawarsa, pembangunan di ansumsikan dari
pemerintah dan untuk pemerintah sendiri. Ini berarti bahwa fungsi, peran, dan kewenangan
pemerintah teramat dominan hingga terkesan bahwa proses kenegaraan hanya menjadi tugas
pemerintah dan sama sekali tidak perlu melibatkan rakyat. Seolah-olah, pemerintah dan sama
sekali tidak perlu melibatkan rakyat. Seolah-olah, pemerintah paling mengetahui seluk beluk
kehidupan masyarakat di negaranya. Itulah sebabnya, di tengah arus demokratisasi, paradigma
tersebut harus di rekonstruksi sehingga tumbuh tradisi baru berupa control kebijakan.
Terbentuknya lembaga atau forum-forum yang peduli terhadap masalah- masalah
penganggaran merupakan embrio bagi tumbuh dan berkembangya gerakan rakyat untuk
melakukan control dan pengawasan kepada pemerintah. Pada saat kesadaran masyarakat yang
kian bangkit itu, maka langkah-langkah yang dan konkret dari setiap lembaga di harapkan
mengembalikan tiga strategi pokok yang saling terkait yaitu: analisis kebijakan, advokasi, dan
pemberdayaan komunitas local. Semuanya mengarah pada upaya menciptakn proses-proses
penganggaran yang transparan untuk kepentingan masyarakat local dan daerah.
Paling tidak terdapat tiga model control terhadap kebijakan pemerintah, yaitu oposisi,
penyempurnaan, dan perubahan terhadap pemerintah. Penggunaan tiga model control tersebut
tergantung pada bentuk rumusan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah serta pilihan politik
yang hendak di bangun. Namun, substansi dari ketiga model itu adalah keterlibatan masyarakat
dalam mengontrol kebijakan Negara. Dengan mengacu kepada prinsip-prinsip penganggaran dan
pengelolaan keuangan Negara, yakni tertib waktu dan administrasi, taat perundang-undangan,
transparan, akuntabilitas, alokasi dan distribusi, stabilitas dan kepatuhan seta keadilan, maka
keterlibatan rakyat menjadi sangat strategis. Secara lebih focus, yang menjadi sasaran
pengawasan dan control public dalam proses pengelolaan anggaran Negara adalah: pertama,
berkaitan dengan konsistensi dalam perencanaan program atau kegiatan. Dan kedua, berkaitan
denghan pelaksanaan penganggaran itu sendiri.
Sementara melalui focus dan sasaran yang kedua, dimaksudkan agar masyarakat secara
intensif melakukan control dan pengawasan terhadap sektor-sektro yang meliputi:
1. Sumber-sumber pendapatan Negara yang utama seperti pajak dan retribusi, penjualan migas dan
sumber-sumber lain yang di kelolah oleh pemerintah.
2. Tata cara penarikan dana dari berbagai sumber anggaran Negara seperti proses penepatan pajak
retribusi dan penetapannya, dana perimbangan (pusat dan daerah), penetapan pinjaman luar
negeri dan pengolalanya dalam penganggaran.
3. Memonitor lapangan pertanggung jawaban pelaksanaan proyak yang di sampaikan oleh
kontraktor atau pemimpin proyek, baik secara administrasi maupun kualitas pekerjaan secara
fisik.
4. Limit waktu dalam penyelesaian proyek tidak hanya dibatasi pada aspek ketepatan dalam
penyelesaiaan proyek dimana proyek dianggap selesai setelah serah terima hasil (out put)
pekerjaan, tetapi harus ada pertanggung jawaban teknis terhadap kualitas setiap pekerjaan yang
telah dikerjakan , terutama proyek-proyek fisik.
Dengan demikian, control terhadap kebijakan mulai proses pembuatan sampai pelaksanaan dan
dampat yang di hasilkan dapat dievaluasi dan terus di sempurnakan. Lebih dari itu, seluruh
rangkaian kebiojakan tersebut dapat menutup peluang bagi berseminya korupsi.
BAB VI
UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI

A. Upaya Penanggulangan Tindak KorupsiDengan Hukum Pidana


Kebijakan penanggulangan kejahatanatau yang biasa dikenal dengan
istilah politik kriminal ataucriminal policyolehG. Peter Hoefnagels dibedakan sebagai berikut
(Nawawi Barda: 2008):
a) Kebijakan penerapan hukum pidana(criminal law application);
b) Kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (prevention without punishment );
c) Kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenaikejahatan dan pemidanaan
lewat mediamassa(influencing views of society oncrime and punishment/mass media).
Melihat pembedaan tersebut, secaragaris besar upaya penanggulangankejahatan dapat
dibagi menjadi 2 (dua)yakni melalui jalur penal (denganmenggunakan hukum pidana) dan
jalur non-penal (diselesaikan di luar hukum pidana dengan sarana sarana non-penalmisalnya
penyuluhan, pendidikan dll).Menurut Barda Nawawi Arief,
upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal lebih menitikberatkan pada sifatrepresif
(penumpasan/ penindakan/ pemberantasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non-penal
lebihmenitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan). (Nawawi Arief : 2008).Berikut akan
dipaparkan berbagaiupaya atau strategi yang dilakukan untuk memberantas korupsi yang
dikembangkanolehUnited Nationsyang dinamakantheGlobal Program Against Corruption
dandibuat dalam bentuk United Nations Anti-Corruption Toolkit (UNODC: 2004).
B. Strategi Atau Upaya Pemberantasan Korupsi
1. Pembentukan Lembaga Ani-Korupsi
Salah satu cara untuk memberantaskorupsi adalah dengan membentuk lembaga yang independen
yang khususmenangani korupsi. Sebagai
contohdi beberapa Negara didirikan lembaga yangdinamakanOmbudsmanyang tugasnyaantara
lain menyediakan sarana bagimasyarakat yang hendak mengajukankeberatan tentang apa yang
dilakukan olehlembaga pemerintah dan pegawainya.Selain itu
juga,Ombudsmanmemberikanstandar perilaku sertacode of conduct bagilembaga pemerintah
maupun lembagahukum yang membutuhkan. NegaraIndonesia sendiri sudah memiliki
lembagayang khusus dibentuk untuk memberantaskorupsi, yaitu Komisi PemberantasanKorupsi.
a) Memperbaiki kinerja lembaga peradilan baik dari tingkat kepolisian,kejaksaan, pengadilan dan
lembaga pemasyarakatan;
b) Di tingkat departemen,kinerja lembaga-lembaga diaudit sepertiinspektorat Jenderal harus
ditingkatkan;
c) Reformasi birokrasi dan reformasi pelayanan publik adalah salah satu carauntuk mencegah
korupsi;
d) Memantaudan memperbaiki kinerja PemerintahDaerah;
e) Mempergunakan hak pilihdengan baik baik itu dalam pilkada, pemiludan pilpres.
2. Pencegahan Korupsi Di Sektor Publik
a) Mewajibkan pejabat public untuk melaporkan dan mengumumkan jumlah kekayaan yang
dimiliki, baik sebelum maupun sesudah menjabat
b) Untuk kontrak pekerjaan atau pengadaan barang, baik di pemerintahan pusat, daerah, maupun
militer, salah satu cara untuk memperkecil potensi korupsi adalah melakukan lelang atau
penawaran secara terbuka.
c) Membuat dan mengembangkan system yang transparan dan akuntabel dalamhal perekrutan
negawai negeri dananggota militer.
d) Selain system perekrutan, perlu pengembangan system penilaian kinerja pegawai negeri yang
menitik beratkan pada proses dan hasil kerja akhir.
3. Pencegahan Korupsi Melalui Sosial DanPemberdayaan Masyarakat
a) Memberikan hak pada masyarakatuntuk mendapatkan akses terhadapinformasi
b) Meningkatkan kesadaran sertakepedulian public dengan caramelakukan kampanye tentang
bahayakorupsi
c) Menyediakan sarana bagi masyarakatuntuk melaporkan kasus korupsi.
d) Tidak memberlakukan pasal mengenaifitnah dan pencemaran nama
baik bagi orang yang melaporkan dugaankorupsi.
e) Memfungsikan pers sebagai alatkampanye mengenai bahaya korupsi,dan melakukan pengawasan
atas perilaku pejabat publik.
f) Meningkatkan pengawasan melaluiLembaga Swadaya Masyarakat
4. Pengembangan dan PembuatanBerbagai Instrument Hukum yangMendukung Pencegahan
danPemberantasan Korupsi.
Untukmendukung pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak cukupmengandalkan satu
instrument hokum yakni undang-undang pemberantasantindak pidana korupsi.
Salahsatu peraturan perundang-undangan yang harusada untuk mendukung
pemberantasankorupsi adalah undang-undangtindak pidana pencucian uang, undang
undang perlindungan saksi dan korban, undang-undang pers.
Hal ini bertujuan untuk lebihmemberdayakan masyarakat. Masyarakattidak boleh takut
melaporkan kasuskorupsi yang diketahuinya. Selain itu,untuk mendukung pemerintahan
yang bersih, perlu instrument kode etik yangditujukan untuk semua pejabat public,
baik pejabat eksekutif, legislatife maupun kodeetik bagi aparat penegak hukum (kepolisian,
kejaksaan, hakim dan advokat)
5. Monitoring dan evaluasi
Menindak lanjuti upaya upaya pemberantasan korupsi di atas, maka yang penting untuk
dilakukan selanjutnya adalahmelakukan monitoring dan evaluasiterhadap seluruh pekerjaan atau
kegiatan pemberantasan korupsi. Untuk strategi atau program yang sukses sebaiknyadilanjutkan,
sedangkan untuk yang gagal,harus dicari penyebabnya dan dicarikansolusi yang lebih baik.
BAB VII
GERAKAN KERJASAMA DAN INTRUMEN INTERNASIONAL PENCEGAHAN
KORUPSI

A. Gerakan Kerja Sama Internasional dan Instrumen Pencegahan Korupsi


G8 Declaration on Recovering Proceeds of Corruption
Adopsi atas The G8 Ministerial Declaration on Recovering Proceeds of Corruption atau
Deklarasi G8 atas Pengembalian Aset hasil Korupsi ini dilakukan pada saat pertemuan G8
Justice and Home Affairs Ministers yang diadakan di Washington, 11 May 2004. Deklarasi ini
membuka jalan untuk serangkaian inisiatif dengan tujuan untuk membantu negara korban
kejahatan korupsi mendapatkan kembali aset korupsi itu. Dalam hal Pengembalian Aset,
Deklarasi ini melengkapi inisiatif StAR atau Stolen Assets Recovery Initiatif.
Deklarasi ini meminta negara-negara G8 untuk:
a. membentuk suatu team gabungan yang berisi ahli dalam Bantuan Timbal Balik ketikamenerima
permintaan dari negara korban
b. membentuk satuan tugas berdasarkan kasus atas permintaan dari negara korban
c. menyelenggrakan workshop regional sebagai sarana tukar menukar informasi dengan negara
korban dalam hal teknik-teknik investigasi keuangan internasional dan tata cara bantuan timbal
balik
d. memastikan tiap-tiap negara G8 mempunyai aturan yang meminta dilakukan Penelusuran
Lebih Ketat atau enhanced due diligence untuk rekening orang-orang yang masuk kategori
Politically Exposed Persons, dalam hal aturan tentang Informasi transaksi digital [Wire
Transfer Originator Information]
e. menyusun manual tentang prosedur permintaan dan pengembalian aset
f. mencari alternatif yang lebih efektif dalam mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi
StolenAssets Recovery [StAR] Initiative
The Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative, yang diluncurkan oleh World Bank dan UNODC
di New York, pada tanggal 17 September 2007, bertujuan untuk menolong negara-negara
berkembang mendapatkan kembali aset/dana tercuri itu dan membantu mereka dalam
mempergunakan dana curian yang dikembalikan itu untuk kepentingan pembangunan. Untuk
mencapai tujuan itu, peranan negara-negara maju juga disebut terutama untuk mengurangi
halangan kembalinya dana-dana curian itu ke negara yang berhak.
Dalam prakteknya, StAR didesain untuk bekerja di 4 area:
Membantu negara-negara berkembang memperkuat lembaga penegak hukum dan proses
penegakkan hukumnya.
Memperkuat integritas Pasar Keuangan dengan mengajak lembaga-lembaga keuangan agar
mematuhi peraturan tentang pencucian uang dan memperkuat kerja sama di antara financial
intelligence units [seperti PPATK] di seluruh dunia.
Membantu negara-negara berkembang dalam mengembalikan asetnya dengan cara memberikan
pinjaman atau hibah untuk membiayai biaya awal proses pengembalian aset, memberikan
nasehat hukum atau menyewa pengacara, serta memfasilitasi kerja sama antar negara.
Mengawasi penggunaan aset yang dikembalikan agar dipergunakan untuk kepentingan
pembangunan, seperti pendidikan dan infrastuktur.
B. Intrumen Internasional Pencegahan Korupsi
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)
Telah ditandatangani oleh lebih dari 140 negara. Penandatanganan pertama kali dilakukan pada
konvensi internasional yang diselenggarakan di Mrida, Yucatn, Mexico, pada tanggal 31
Oktober 2003
Convention on Bribery of Foreign Public Official in International Business Transaction
konvensi internasional yang dipelopori oleh OECD. Konvensi ini menetapkan standar-standar
hukum yang mengikat (legally binding) negara-negara peserta untuk
mengkriminalisasi pejabat publik asing yang menerima suap (bribe) dalam transaksi bisnis
internasional.
C. Belajar Pencegahan Korupsi dari Negara Lain
HONG KONG - Bicara soal pemberantasan korupsi, banyak pakar yang mengatakan bahwa
Hong Kong adalah sebuah contoh sukses bagaimana mereka berhasil memberantas korupsi.
Empat puluh tahun yang lalu, organisasi anti-korupsi Transparansi Internasional mencatat bahwa
Hong Kong merupakan salah satu negara terkorup di dunia.
"Saya ingin membandingkan Hong Kong (tahun 1970-an) dengan Argentina saat ini," kata Ran
Liao, koordinator program senior untuk kawasan Asia Timur dan Selatan.
Transparansi Internasional baru mempublikasikan Indeks Persepsi Korupsi sejak 1995, namun
mereka memiliki data mengenai Hong Kong sejak tahun 1970-an, di mana Liao mengatakan saat
itu Hong Kong berada pada tingkat yang sejajar tidak hanya dengan Argentina, tapi juga Gabon
dan Tanzania.
Menurut Indeks Persepsi Korupsi terbaru, ketiga negara tersebut memiliki nilai rendah hanya 35
dari total 100, dari skala O (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih).
Sementara itu, kini Hong Kong berhasil mendapat nilai 77 dari total 100, menempatkan negeri
ini di urutan 14 dari 176 negara, yang berarti bahwa Hong Kong dianggap sedikit lebih korup
dibandingkan Jerman (13), namun lebih bersih dibandingkan Inggris (17) dan AS (19). Lalu,
bagaimana caranya Hong Kong bisa berhasil menekan angka korupsi? Perubahan itu berawal
ketika bekas koloni Inggris itu dilanda aksi demonstrasi massal di jalanan setelah Peter Godber,
yang waktu itu menjabat sebagai Inspektur polisi, melarikan diri dari Hong Kong ketika tengah
diselidiki atas dugaan melakukan korupsi. Aksi demonstrasi itu memicu didirikannya Komisi
Independen Anti-Korupsi (ICAC), sebuah badan pemerintah dengan kewenangan penyidikan
yang luas. Namun perubahan ini tidak hanya ditujukan pada pejabat pemerintah saja. "Mereka
mengadopsi pendekatan tiga tujuan, yaitu hukuman, pendidikan dan pencegahan," kata Liao.
Pendidikan dimulai di taman kanak-kanak lokal, di mana beberapa tokoh yang diciptakan ICAC
mengedepankan dilema etika dan cerita-cerita kepada anak-anak yang menyampaikan pesan
bahwa kejujuran selalu menang."Kami tidak mengajarkan mereka mengenai hukum namun kami
mengajarkan mereka mengenai nilai-nilai," kata Monica Yu, direktur eksekutif Pusat
Pengembangan Etika Hong Kong, sebuah divisi ICAC.
Tidak Pernah Mentolerir Korupsi
Dua generasi setelah pendekatan ini dijalankan, Yu mengatakan terbukti terjadi pergeseran
budaya yang sangat besar dalam perilaku di kalangan penduduk China lokal. "Kami menghitung
tingkat toleransi warga terhadap korupsi, dari skala nol sampai 10. Nol berarti sangat tidak
mentolerir dan 10 berarti sangat mentolerir. Selama 10 tahun belakangan ini, rata-rata nilainya
adalah 0,8; 0,7 atau sekitar itu," kata Yu. Hasil ini membuat Yu menyimpulkan, "Kini di Hong
Kong, warga tidak akan pernah mentolerir korupsi." Ia mengatakan minimnya toleransi dalam
hal melanggar aturan memperkuat perilaku etis, baik di lingkungan publik mau pun pribadi, di
mana nama sang pelanggar disebutkan dan dipermalukan oleh rekan-rekan mereka.
"Sangat sering orang akan datang ke ICAC untuk melaporkan korupsi, setiap kali mereka
mencurigai terjadinya kasus korupsi. Ini adalah perubahan besar jika dibandingkan dengan
sebelum ICAC didirikan," sahut Yu. Liao setuju. "Sebelum ICAC didirikan tidak ada seorang
pun yang memikirkan untuk melakukan cara yang begitu komprehensif untuk melawan korupsi,"
sahutnya. Ketika penjara hanyalah satu-satunya hukuman untuk tindak pidana korupsi, itu
menunjukkan bahwa ada masalah lain: tidak ada upaya yang benar-benar dilakukan untuk
melawan korupsi.
"Hukuman berarti Anda harus terbukti melakukan pelanggaran," kata Liao. "Pencegahan adalah
hal yang sangat penting, (ICAC) bicara pada sektor-sektor yang berbeda, misalnya, sektor-sektor
perbankan dan konstruksi." ICAC menerbitkan panduan bagi dunia usaha dan mencoba
mengidentifikasi berbagai operasi yang berisiko tinggi. Institusi ini juga mengorganisir berbagai
acara untuk membahas mengenai isu-isu ini dan mendorong agenda pencegahan korupsi di
sektor bisnis dan pemerintah. Dalam proses itu, para karyawan diberitahukan bagaimana dan
kepada siapa melaporkan adanya praktek yang diduga korupsi.
C. Pentingnya Ratifikasi Konvensi Antikorupsi
Kehadiran konvensi antikorupsi menandai sebuah momentum penting diakuinya praktek
korupsi sebagai kejahatan global (transnasional). Oleh karenanya, cara memberantas dan
mencegah korupsi membutuhkan dukungan yang saling menguntungkan antara satu negara
dengan negara yang lain. Kejahatan korupsi bukan lagi urusan domestik negara yang
bersangkutan, akan tetapi menjadi persoalan global yang harus ditangani dalam semangat
kebersamaan.
Tanpa adanya sikap saling mempercayai dan memberikan dukungan dalam
memberantas korupsi, kejahatan yang telah merusak sendi-sendi ekonomi, sosial dan politik ini
akan selalu menghantui hubungan antar negara, baik dalam konteks politik maupun ekonomi.
Ketidakpercayaan para pebisnis asing terhadap iklim usaha di Indonesia yang dinilai sarat
ekonomi biaya tinggi misalnya cukup memberikan bukti bahwa korupsi berdampak pada
hubungan ekonomi yang merugikan.
BAB VIII
TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DIINDONESIA

A. Sejarah Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


Sejarah pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi sesungguhnya sudah dimulai sejak
tahun 1960 dengan munculnya Perpu tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak
pidana korupsi. Perpu itu lalu dikukuhkan menjadi UU No.24/1960. Salah satu upaya yang
dilakukan adalah melancarkan Operasi Budhi, khususnya untuk mengusut karyawan-karyawan
ABRI yang dinilai tidak becus. Waktu itu perusahaan-perusahaan Belanda diambil-alih dan
dijadikan BUMN, dipimpin oleh para perwira TNI. Operasi Budhi antara lain mengusut Mayor
Suhardiman (kini Mayjen TNI Pur) meskipun akhirnya dibebaskan dari dakwaan.
Pada akhir 1967 Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK)
dengan Kepres No. 228/1967 tanggal 2 Desember 1967 dan dasar hukumnya masih tetap UU
24/1960. Para anggota tim ini merangkap jabatan lain seperti Jaksa Agung, Kapolri, Menteri
Kehakiman, dan Panglima ABRI. Hasil kerja tim ad-hoc ini kemudian berhasil menyeret 9 orang
yang diindikasikan koruptor.
Presiden Soeharto juga membentuk Komisi Empat pada Januari 1970, untuk
memberikan penilaian obyektif terhadap langkah yang telah diambil pemerintah, dan
memberikan pertimbangan mengenai langkah yang lebih efektif untuk memberantas korupsi.
Mantan Wakil Presiden M. Hatta diangkat sebagai penasihat Komisi Empat. Anggota-anggotanya
adalah mantan perdana menteri Wilopo, I.J.Kasimo, Prof. Johannes dan Anwar Tjokroaminoto
dan Kepala BAKIN Mayjen Sutopo Yuwono menjadi sekretaris.
Selama periode 1970-1977 hanya satu pejabat tinggi yang dipenjara karena korupsi,
yaitu Deputi Kapolri Letjen Pol Siswadji (1977, divonis 8 tahun). Pegawai negeri yang diganjar
hukuman paling berat adalah Kepala Depot Logistik Kaltim Budiadji, yang divonis penjara
seumur hidup (grasi Presiden menguranginya menjadi 20 tahun). Koruptor itu menilep uang
negara Rp. 7,6 milyar, jumlah yang kala itu menggemparkan. Selebihnya yang dihukum adalah
para koruptor lapis kedua dan rendahan bahkan sedikit sekali pelaku tindak pidana korupsi yang
diajukan di pengadilan. Banyak kasus yang dipetieskan atau tidak diketahui kelanjutannya secara
jelas.
Selain Komisi Empat, dimasa pemerintahan orde baru juga pernah berdiri Komisi Anti
Korupsi (KAK) pada tahun 1970. Anggota KAK terdiri dari aktivis mahasiswa eksponen 66
seperti Akbar Tanjung, Thoby Mutis, Asmara Nababan dkk. Namun belum terlihat hasil yang
telah dicapai, Komisi ini dibubarkan pada 15 Agustus 1970 atau hanya dua bulan sejak terbentuk.
Pada tahun 1977 dengan berdasarkan Inpres 9 Tahun 1977, Pemerintah melancarkan
Operasi Penertiban (OPSTIB). Dalam empat tahun (1977-81) Opstib telah menyelamatkan uang
negara Rp.200 milyar dan menindak 6.000 pegawai. Opstib merupakan gabungan dari unsur
polisi, kejaksaan, militer, dan dari menteri pedayaguanaan aparatur negara dan setiap tiga bulan
melaporkan kepada Presiden tentang penertiban di departemen dan jawatan pemerintah.
Ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden, dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tim ini berada di bawah Jaksa Agung Marzuki Darusman.
TGPTPK dibentuk sebagai lembaga sementara sampai terbentuknya Komisi Pemberantasan
Korupsi yang merupakan amanat UU No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi. Sayang,
TGPTPK yang beranggotakan jaksa, polisi dan wakil dari masyarakat tidak mendapat dukungan.
Bahkan oleh Jaksa Agung sendiri. Permintaan TGPTPK untuk mengusut kasus BLBI yang
banyak macet prosesnya ditolak oleh Jaksa Agung. Akhirnya, TGPTPK dibubarkan tahun 2001
ketika gugatan judicial review tiga orang Hakim Agung pernah diperiksa oleh TGPTPK
dikabulkan oleh Mahkamah Agung.
Pada tahun 1999 juga pernah terbentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggaran Negara
(KPKPN) berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang
bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Komisi yang dipimpin oleh Yusuf Syakir ini
bertugas menerima dan memeriksa laporan kekayaan para penyelenggara negara. Sejumlah
pejabat pernah dilaporkan oleh KPKPN ke Kepolisian, namun banyak kasus yang tidak
ditindaklanjuti seperti kasus kepemilikan rumah dan tanah yang tidak dilaporkan milik Jaksa
Agung waktu itu, MA Rachman. Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK akhirnya
KPKPN dilebur menjadi bagian KPK. Upaya terakhir mempertahankan KPKPN melalui
permohonan Judicial Review akhirnya ditolak oleh Mahakamah Konstitusi.
Pada era Megawati sebagai Presiden, berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 dibentuk
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Komisi superbody yang memiliki 5 tugas dan 29 wewenang yang luar biasa ini dipimpin oleh
Taufiqurahman Ruki, Sirajudin Rasul, Amien Sunaryadi, Erry Riyana Harjapamengkas, Tumpak
Hatorang. Belum genap satu tahun berdiri, KPK telah menerima 1.452 laporan masyarakat
mengenai praktek korupsi. Sepuluh kasus diantaranya ditindaklanjuti dalam proses penyidikan
dan sudah dua kasus korupsi yang berhasil dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor (Abdullah Puteh
dan Harun Let Let dan keduanya telah divonis). Kasus korupsi besar yang telah ditangani KPK
adalah korupsi yang terjadi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasil penyelidikan dan
penyidikan KPK berhasil menjebloskan ketua dan anggota KPU serta beberapa pegawai Setjen
KPU ke penjara. Meskipun seringkali menuai kritik dari berbagai kalangan namun apa yang
telah dilakukan oleh KPK sedikit banyak memberikan harapan bagi upaya penuntasan beberapa
kasus korupsi di Indonesia.
Setelah Megawati lengser dan digantikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY), program 100 hari pemerintahannya ditandai dengan pembentukan Tim Pemburu
Koruptor yang dipimpin oleh oleh Wakil Jaksa Agung , Basrief Arief dibawah koordinasi Wakil
Presiden Jusuf Kalla. Tim yang terdiri dari Kejaksaan dan Kepolisian bertugas memburu
terpidana dan tersangka kasus korupsi yang melarikan diri keluar negeri. Meskipun belum
terlihat hasil yang telah dicapai, namun Tim Pemburu koruptor diberitakan sudah menurunkan
tim ke lima negara, yaitu Singapura, Amerika Serikat, Hongkong, Cina dan Australia. Selain itu
Tim pemburu koruptor juga telah mengidentifikasi jumlah aset yang terparkir di luar negeri
sebanyak Rp 6-7 triliun.
Tim pemberantasan korupsi yang terakhir dibentuk adalah Tim Koordinasi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) yang dibentuk Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 pada tanggal 2 Mei
2005. Ada dua tugas utama yang diemban tim yang diketuai oleh Hendarman Supandji. Pertama,
melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang
berlaku terhadap kasus dan/atau indikasi tindak pidana korupsi. Kedua, mencari dan menangkap
pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana serta menelusuri asetnya dalam rangka
pengembalian keuangan secara optimal.
Masa tugas Tim yang terdiri dari 48 orang anggota dan berasal dari unsur kepolisian,
kejaksaan dan BPKP adalah dua tahun dan dapat diperpanjang. Tim ini berada dan bertanggung
jawab langsung kepada Presiden. Setiap tiga bulan, timtas tipikor melaporkan perkembangan
kerjanya kepada Presiden. Tidak lama setelah berdiri, tim ini sudah disibukkan dengan
penyelesaian kasus korupsi yang terjadi di 16 badan usaha milik negara (BUMN), 4 Departemen,
3 perusahaan swasta dan 12 koruptor yang melarikan diri.
Berbeda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah menentukan adanya kriteria
kasus korupsi yang dapat langsung ditangani oleh komisi, dalam Kepres No. 11 Tahun 2005 yang
menjadi dasar hukum keberadaan Timtas Tipikor tidak menyebutkan kriteria kasus apa saja yang
menjadi kewenangannya.
B. Delik Korupsi Menurut Undang-Undang dan Gratifikasi
1.Pasal 2
2.Pasal 3
3.Pasal 13
4.Pasal 15
UU No. 31 tahun 1999

1. Pasal 2 ayat (1):


Setiap orang
secara melawan hukum
memperkaya diri sendiri/orang lain/suatu korporasi
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Ayat (2):
Dilakukan dalam keadaan tertentu

UU No. 20/2001
Pasal 1 angka 1:
Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga
Penjelasan Pasal 1 angka 1:
Pasal 2 ayat (2)
adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana
korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan,
terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan: keadaan bahaya, bencana alam
nasional, akibat kerusuhan sosial yang meluas, krisis ekonomi/moneter; dan
pengulangan tindak pidana korupsi
2. Pasal 3:
Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri/orang lain/korporasi menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan.kedudukan dapat
merugikan keuangan/ perekonomian negara

3. Pasal 13:
Setiap orang memberi hadiah/janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan/
wewenang yang melekat pada jabatan/kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah/janji dianggap
melekat pada jabatan/kedudukan tersebut

4. Pasal 15:
Setiap orang yang mencoba/ membantu/ bermufakat jahat untuk melakukan tindak pidana
korupsi
BAB IX
PERAN DAN KETERLIBATAN MAHASISWA
DALAM GERAKAN ANTI KORUPSI

A. GERAKAN ANTI KORUPSI


Korupsi di Indonesia sudah berlangsung lama. Berbagai upaya pemberantasan korupsipun
sudah dilakukan sejak tahun-tahun awal setelah kemerdekaan. Dimulai dari Tim Pemberantasan
Korupsi pada tahun 1967 sampai dengan pendirian KPK pada tahun 2003.
Berdasarkan UU No.30 tahun 2002, pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dirumuskan
sebagai serangkaian tindakanuntuk mencegah dan memberantastindak pidana korupsi - melalui
upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan - dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Upaya pemberantasan korupsi tidak akan pernah berhasil tanpa melibatkan peran serta
masyarakat. Dengan demikian dalam strategi pemberantasan korupsi terdapat 3 (tiga) unsur
utama, yaitu: pencegahan, penindakan, dan peran serta masyarakat. Salah satu upaya
pemberantasan korupsi adalah dengan sadar melakukan suatu Gerakan Anti-korupsi di
masyarakat.

B. Peran Mahasiswa
Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia tercatatbahwa mahasiswa mempunyai
peranan yang sangat penting.
Kebangkitan Nasional tahun 1908
Sumpah Pemuda tahun 1928
Proklamasi Kemerdekaan NKRI tahun 1945
Lahirnya Orde Baru tahun 1966
Reformasi tahun 1998.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam peristiwa-peristiwa besar tersebut mahasiswa tampil di
depan sebagai motor penggerak dengan berbagai gagasan, semangat dan idealisme yang
mereka miliki.
Mahasiswa memiliki karakteristik intelektualitas, jiwa muda, dan idealisme. Dengan
kemampuan intelektual yang tinggi, jiwamuda yang penuh semangat, dan idealisme yang murni
telah terbukti bahwa mahasiswa selalu mengambil peran penting dalam sejarah perjalanan
bangsa ini.
Mahasiswa didukung oleh modal dasar yang mereka miliki, yaitu: intelegensia,
kemampuan berpikir kritis, dan keberanian untuk menyatakan kebenaran. Dengan kompetensi
yang mereka miliki tersebut mahasiswa diharapkan mampu menjadi agen perubahan, mampu
menyuarakan kepentingan rakyat, mampu mengkritisi kebijakan-kebijakan yang koruptif, dan
mampu menjadi watch doglembaga-lembaga negara dan penegak hukum.

C. Keterlibatan Mahasiswa
Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti korupsi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi
empat wilayah, yaitu:
Lingkungan keluarga
Lingkungan kampus
Masyarakat sekitar
Tingkat lokal/nasional

Anda mungkin juga menyukai