MAKALAH
PENDIDIKAN ANTI KORUPSI
Disusun Oleh:
KHARISMA KARUNIA ILAHI (IIA / 061310016)
Pembimbing:
Drs. Muhaimin,S.Pd,M.Ag,M.Pd
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan Rahmat,
Taufik dan Hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan Makalah Pendidikan Anti Korupsi
dengan pengetahuan yang kami miliki. Dan juga kami berterima kasih kepada Bapak Drs.
Muhaimin,S.Pd,M.Ag,M.Pd selaku Dosen mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami berharap makalah ini berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Pendidikan Anti Korupsi. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa
di dalam tugas ini terdapat kekurangan kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan.
Untuk itu kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila ada kata kata yang kurang membangun
demi perbaikan di masa yang akan datang.
Lamongan,
31Maret 2014
KHARISMA
KARUNIA
ILAHI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Korupsi merupakan kata yang dinegasikan oleh setiap orang, namun tidak orang
menyadari bahwa korupsi telah menjadi bagian dari dirinya. Hal ini biasanya terjadi akibat
pemahaman yang keliru tentang korupsi atau karena realitas struktural yang menghadirkan
korupsi sebagai kekuatan sistematik yang membuat tak berdaya para perilakunya. Ada nilai-nilai
kultural seperi pemberian hadiah yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan korupsi,
namun ada pula sistem yang memaksa seseorang berlaku korupsi.
B. RUMUSAN MASALAH
a. Apa pengertian korupsi?
b. Apa sajakah factor penyebab korupsi?
c. Apa sajakah dampak korupsi?
d. Sebutkan nilai dan prinsip anti korupsi
e. Upaya pemberantasan korupsi
f. Gerakan kerjasama dan intrumen internasional pencegahan korupsi
g. Tindak pidana korupsi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
h. Peran dan keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti korupsi
BAB II
PENGERTIAN KORUPSI
A. Definisi Korupsi
Korupsi sejatinya berasal dari bahasa Latin (Fockema Andreae : 1951). Yaitu Corruptio
yang arti harfiahnya adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap tidak
bermoral penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
Sementara dalam terminologis korupsi diartikan sebagai pemberian dan penerimaan suap.
Defenisi korupsi ini lebih menekankan pada praktik pemberian suap atau penerimaaan suap.
Dengan demikian baik yang menerima maupun memberi keduanya termasuk koruptor.
David M Chalmers menguraikan pengertian korupsi sebagai tindakan-tindakan
manipulasi dan kepurusan mengenai keuangan yang membahayakan ekonomi. JJ Senturia
dalam Encyclopedia of social sciens (Vol VI, 1993) mendefinisikan korupsi sebagai
penyalahgunaan kekusaan pemerintahan untuk keuntungan pribadi. Definisi ini dianggap sangat
spesifik dan konvensional karena meletakan persoalan korupsi sebagai ranah pemerintah semata.
Padahal seiring dengan proses swastanisasi (privatisasi) perusahaan negara dan pengalihan
kegiatan yang selama ini masuk dalam ranah negara ke sektor swasta, maka definisi korupsi
mengalami perluasan. Ia tidak hanya terkait dengan penyimpanagan yang dilakukan oleh
pemerintah, tapi juga oleh pihak swasta dan pejabat-pejabatranah publik baik politisi, pegawai
negrimaupun orang-orang dekat mereka yang memperkaya diri dengan cara melanggar hukum.
Berpijak pada hal tersebut Transparancy International memasukan tiga unsur korupsi yaitu
penyalahgunaan kekuasaan, kekuasaan yang dipercayakan dan keuntungan pribadi baik secara
pribadi, anggota keluarga, maupun kerabat dekat lainnya.
Dari beberapa defenisi diatas, baik secara etimologis maupun terminologis, korupsi dapat
dipahami dalam tiga level. Pertama Korupsi dalam pengertian tindakan pengkhianatan terhadap
kepercayaan, kedua pengertian dalam semua tindakan penyalahgunaan kekuasaan baik pada
tingkat negara maupun lembaga-lembaga struktural lainnya termasuk lembaga pendidikan.
Ketiga korupsi dalam pengertian semua bentuk tindakan penyalahgunaan kekuasaanuntuk
mendapatkan keuntungan materil.
B. Bentuk-Bentuk Korupsi
Adapun bentuk-bentuk korupsi yang sudah lazim dilakukan di lingkungan instansi pemerintah
pusat maupun daerah, BUMN, dan BUMD serta bekerja sama dengan pihak ketiga antara lain
sebagai berikut :
1) Transaksi luar negeri ilegal dan penyelundupan.
2) Menggelapkan dan manipulasi barang milik lembaga, BUMN/BUMD, swastanisasi anggaran
pemerintah.
3) Penerimaan pegawai berdasarkan jual beli barang.
4) Jual beli jabatan, promosi nepotisme dan suap promosi.
5) Menggunakan uang yang tidak tepat, memalsukan dokumen dan menggelapkan uang,
mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak, jual beli besaran pajak
yang harus dikenali, dan menyalahgunakan keuangan.
6) Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah mencurangi dan memperdaya serta memeras.
7) Mengabaikan keadilan, memberi kesaksian palsu menahan secara tidak sah dan menjebak.
8) Mencari-cari kesalahan orang yang tidak salah.
9) Jual beli tuntutan hukuman, vonis, dan surat keputusan.
10) Tidak menjalankan tugas, desersi.
11) Menyuap, menyogok, memeras, mengutip pungutan secara tidak sah dan meminta komisi.
12) Jual beli objek pemeriksaan, menjual temuan, memperhalus dan mengaburkan temuan.
13) Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk kepentingan pribadi dan membuat
laporan palsu.
14) Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintah, dan surat izin pemerintah.
15) Manipulasi peraturan, memunjamkan uang negara secara pribadi.
16) Menghindari pajak, meraih laba secara berlebihan.
17) Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, konflik kepentingan.
18) Menerima hadiah uang jasa, uang pelicin dan hiburan, perjalanan yang tidak pada tempatnya.
19) Penempatan uang pemerintah kepada Bank tertentu yang berani memberikan bujed yang tidak
sesuai yang sebenarnya.
20) Berhubungan dengan organisasi kejahatan, operasi pasar gelap.
21) Perkoncoan untuk menutupi kejahatan.
22) Memata-mata secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunikasi dan pos untuk kepentingan
pribadi.
23) Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan dan hak istimewa jabatan.
24) Memperbesar pendapatan resmi yang ilegal.
25) Pimpinan penyelenggara negara yang meminta fasilitas yang berlebihan dan double atau triple.
C. Sejarah Korupsi
Era sebelum kemerdekaan
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh budaya-tradisi korupsi yang
tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyimak
bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan
Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-
Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti,
Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan
Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda
dan seterusnya sampai terjadinya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai
Sejarah Korupsi dan Kekuasaan diIndonesia.
Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya korupsi lebih banyak dilakukan oleh
kalangan elit pemerintahan. Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut
pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga
Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan
dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk
rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung,
TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya.
pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak
bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di
tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan
masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi
dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki
Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun
menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi
sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya
menjual aset-aset negara.
Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum
semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya
konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri.
Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King,
lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA
kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak
serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi
perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan
perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan
kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.
BAB III
FAKTOR PENYEBAB KORUPSI
Mengutip teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE Theory, bahwa
faktor-faktor internal yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :
Greeds (keserakahan): berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di
dalam diri setiap orang.
Opportunities (kesempatan): berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat
yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan
kecurangan.
Needs (kebutuhan): berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu
untuk menunjang hidupnya yang wajar.
Exposures (pengungkapan): berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh
pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.
Menurut Arya Maheka, Faktor-Faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya Korupsi adalah :
1. Penegakan hukum tidak konsisten : penegakan huku hanya sebagai meke-up politik, bersifat
sementara dan sellalu berubah tiap pergantian pemerintahan.
2. Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang karena takut dianggap bodoh bila tidak menggunakan
kesempatan.
3. Langkanya lingkungan yang antikorup : sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan
sebatas formalitas.
4. Rendahnya pndapatan penyelenggaraan negara. Pedapatan yang diperoleh harus mampu
memenuhi kebutuhan penyelenggara negara, mampu mendorong penyelenggara negara untuk
berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
5. Kemiskinan, keserakahan : masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan
ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak
pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
6. Budaya member upeti, imbalan jasa dan hadiah.
7. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi : saat tertangkap bisa
menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.
Rumus: Keuntungan korupsi > kerugian bila tertangkap.
8. Budaya permisif/serba membolehkan; tidakmau tahu : menganggap biasa bila ada korupsi,
karena sering terjadi. Tidak perduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
9. Gagalnya pendidikan agama dan etika : ada benarnya pendapat Franz Magnis Suseno bahwa
agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku
masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama menganggap agama hanya
berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah saja. Sehingga agama nyaris tidak berfungsi
dalam memainkan peran sosial. Menurut Franz, sebenarnya agama bisa memainkan peran yang
besar dibandingkan insttusi lainnya. Karena adanya ikatan emosional antara agama dan pemeluk
agama tersebut jadi agama bisa menyadarkan umatnya bahwa korupsi dapat memberikan
dampak yang sangat buruk baik bagi dirinya maupun orang lain.
BAB IV
DAMPAK MASIF KORUPSI
A. Dampak Ekonomi
Di sisi lain, meningkatnya korupsi berakibat pada meningkatnya biaya barang dan jasa,
yang kemudian dapat melonjakkan utang Negara. Pada keadaan ini inefisiensi terjadi, yaitu
ketika pemerintah mengeluarkan lebih banyak kebijakan, namun disertai dengan maraknya
praktik korupsi. Berbagai permasalahan ekonomi lain akan muncul secara alamiah apabila
korupsi sudah merajalela yang dapat mengakibatkan lesunya pertumbuhan ekonomi dan
investasi. Rendahnya kualitas barang dan jasa bagi public, menurunnya pendapatan Negara dari
sector pajak, meningkatnya hutang Negara.
B. Dampak Sosial dan KemiskinanMasyarakat
Bagi masyarakat miskin, korupsimengakibatkan dampak yang luar biasadan saling
bertaut satu sama lain. Pertama, dampak langsung yang dirasakan olehorang miskin yakni
semakin mahalnya jasa berbagai pelayanan publik, rendahnyakualitas pelayanan, dan
pembatasan aksesterhadap berbagai pelayanan vital sepertiair, kesehatan, dan pendidikan.
Kedua,dampak tidak langsung terhadap orangmiskin yakni pengalihan sumber dayamilik publik
untuk kepentingan pribadi dankelompok, yang seharusnya diperuntukkanguna kemajuan sektor
sosial dan orangmiskin, melalui pembatasan pembangunan.Hal ini secara langsung memiliki
pengaruhkepada langgengnya kemiskinan yangdapat menimbulkan solidaritas social semakin
langka dan demoralisasi sertadapat meningkatkan angka kriminalitas.
C. Dampak Terhadap Politik danDemokrasi
Dampak masif korupsi terhadap politik dan demokrasi antara lainmemunculkan
kepemimpinan korup karenakondisi politik yang carut marut dancenderung koruptif, hilangnya
kepercayaan publik pada demokrasi karena terjadinyatindak korupsi besar-besaran
yangdilakukan oleh petinggi pemerintah,legislatif, yudikatif atau petinggi
partai politik, menguatnya plutokrasi (sistem politik yang dikuasai oleh pemilik modal/kapitalis),
dan hancurnyakedaulatan rakyat yang disebabkankekayaan negara hanya dinikmati
olehsekelompok tertentu.
D. Dampak terhadap Penegakan Hukum
Dampak masif korupsi terhadap penegakan hukum dapat dirasakan antaralain fungsi
pemerintahan yang mandulkarena korupsi mengikis banyak kemampuan pemerintah untuk
melakukanfungsi yang seharusnya, hilangnyakepercayaan rakyat terhadap lembaganegara karena
bobroknya penegakanhukum di Indonesia. Seharusnyalah pemerintah menciptakan
keteraturan dalamkehidupan berbangsa dan bernegara dan bukan sebaliknya.
E. Dampak Terhadap Pertahanan danKeamanan
Dampak masif korupsi terhadap pertahanan dan keamanan antara
lain dapatmengakibatkan kerawanan HANKAMNASkarena lemahnya alutsista dan sumber
dayamanusia, lemahnya garis batas Negara karena kemiskinan yang terjadi di
daerah perbatasan negara, menguatnya sisikekerasan dalam masyarakat karenakondisi
kemiskinan pada akhirnya memicu berbagai kerawanan sosial lainnya yangsemakin membuat
masyarakat frustasimenghadapi kerasnya kehidupan.
F. Dampak Kerusakan Lingkungan
Dampak masif korupsi juga dapatmengakibatkan kerusakan lingkungan yangditandai
dengan menurunnya kualitaslingkungan karena adanya ekslpoitasi besar
besaran sumber daya alam,menurunnya kualitas hidup yang juga
akan berdampak pada menurunnya kualitashidup manusia yang ada di dalamnya, sertakualitas
hidup global
BAB V
NILAI DAN PRINSIP ANTI KORUPSI
Tanggung Jawab
Pribadi yang utuh dan mengenal diri dengan baik akan menyadari bahwa keberadaan dirinya di
muka bumi adalah untuk melakukan perbuatan baik demi kemaslahatan sesama manusia. Segala
tindak tanduk dan kegiatan yang dilakukannya akan dipertanggungjawabkan sepenuhnya kepada
Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, negara, dan bangsanya. Dengan kesadaran seperti ini maka
seseorang tidak akan tergelincir dalam perbuatan tercela dan nista.
Kerja Keras
Individu beretos kerja akan selalu berupaya meningkatkan kualitas hasil kerjanya demi
terwujudnya kemanfaatan publik yang sebesar-besarnya. Ia mencurahkan daya pikir dan
kemampuannya untuk melaksanakan tugas dan berkarya dengan sebaik-baiknya. Ia tidak akan
mau memperoleh sesuatu tanpa mengeluarkan keringat.
Kesederhanaan
Pribadi yang berintegritas tinggi adalah seseorang yang menyadari kebutuhannya dan berupaya
memenuhi kebutuhannya dengan semestinya tanpa berlebih-lebihan. Ia tidak tergoda untuk hidup
dalam gelimang kemewahan. Kekayaan utama yang menjadi modal kehidupannya adalah ilmu
pengetahuan. Ia sadar bahwa mengejar harta tidak akan pernah ada habisnya karena hawa nafsu
keserakahan akan selalu memacu untuk mencari harta sebanyak-banyaknya.
Keberanian
Seseorang yang memiliki karakter kuat akan memiliki keberanian untuk menyatakan kebenaran
dan menolak kebathilan. Ia tidak akan mentolerir adanya penyimpangan dan berani menyatakan
penyangkalan secara tegas. Ia juga berani berdiri sendirian dalam kebenaran walaupun semua
kolega dan teman-teman sejawatnya melakukan perbuatan yang menyimpang dari hal yang
semestinya. Ia tidak takut dimusuhi dan tidak memiliki teman kalau ternyata mereka mengajak
kepada hal-hal yang menyimpang.
Keadilan
Pribadi dengan karakter yang baik akan menyadari bahwa apa yang dia terima sesuai dengan
jerih payahnya. Ia tidak akan menuntut untuk mendapatkan lebih dari apa yang ia sudah
upayakan. Bila ia seorang pimpinan maka ia akan memberi kompensasi yang adil kepada
bawahannya sesuai dengan kinerjanya. Ia juga ingin mewujudkan keadilan dan kemakmuran
bagi masyarakat dan bangsanya.
B. PRINSIP-PRINSIP ANTIKORUPSI
Akuntabilitas
Prinsip ini pada dasarnya dimaksudkan agar segenap kebijakan dan langkah-langkah yang
dijalankan sebuah lembaga dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna. Oleh karena itu
prinsip akuntabilitas sebagai prinsip pencegahan tindak korupsi membutuhkan perangkat-
perangkat pendukung, baik berupa perundang-undangan (de jure) maupun dalam bentuk
komitmen dan dukungan masyarakat (de facto). Sebagai bentuk perwujudan prinsip
akuntabilitas, undang-undang keuangan Negara juga menyebutkan adanya kewajiban ganti rugi
yang diberlakukan atas mereka yang karena kelengahan atau kesengajaan telah merugikan
Negara. Prinsip akuntabilitas pada sisi lain juga mengharuskan agar setiap penganggaran biaya
dapat disusun sesuai target atau sasaran.Agenda-agenda yang harus ditempuh untuk mewujudkan
prinsip-prinsip akuntabilitas pengelolaan keuangan Negara meliputi dua aspek yaitu :
1.) Mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban. Mekanisme yang berjalan selama ini adalah
bahwa setiap pengelolaan anggaran Negara dibuat dalam beberapa rangkap yang ditunjukkan
kepada penanggungjawab proyek pada lembaga yang bersangkutan dan yang menadai, yakni
Direktorat Jendral Anggaran Departemen Keuangan, yang kemudian ditembuskan kepada
komponen-komponen atau lembaga yang melakukan pengawasan.
2.) Berkenaan dengan upaya-upaya evaluasi. Selama ini evaluasi hanya terbatas sebagai penilaian
dan evaluasi terhadap kinerja administrasi dan proses pelaksanaan seperti diuraikan sebelumnya
dan tidak dilakukan.
Transparansi
Transparansi merupakan prinsip yang mengharuskan semua proses kebijakan dilakukan
secara terbuka, sehingga segala bentuk penyimpangan dapat diketahui oleh public. Dalam
konteks pemberantasan korupsi yang melibatkan kekuasaan dan keuangan, ada sector-sektor
yang mengharuskan keterlibatan masyarakat agar tidak terjebak dalam lingkaran setan korupsi
yang begitu akut dan menyengsarakan rakyat.
Kurangya transparansi dalam pengelolaan keuangan Negara ini dapat dilihat dari tidak
tertatanya adminidtrasi keuangan Negara dengan baik. Hal ini misalnya bisa dilihat dari aliran
dana tertentu (non budgeter) yang ada dibeberapa departemen. Ketidaktahuan masyarakat akan
dana-dana tersebut memberikan keleluasaan bagi oknum aparat untuk menikmatinya sesuka hati.
Fairness
Fairness merupakan salah satu prinsip antikorupsi yang mengedepankan kepatuhan atau
Kewajaran. Prinsip fairness saesungguhnya lebih ditujukan untuk mencegah terjadinya
manipulasi dalam penganggaran proyek pembangunan, baik dalam bentuk merk up maupun
ketidakwajaran kekuasaan lainnya. Jika mempelajari definisi korupsi sebelumnya, maka dalam
korupsi itu sendiri terdapat unsur-unsur manipuilasi yang penyimpangan baik dalam bentuk
anggaran, kebijakan, dan sebagainya.Prinsip fairness bertujuan mencegah menjalarnya praktek-
praktek ketidakwajaran, baik berupa penipuan maupun penyimpangan dalam segala level
kehidupan. di samping itu, fairness dapat menggiring setiap proses pembangunan khususnya
yang berkaitan dengan penganggaran berjalan secara wajar, jujur, dan sesuai dengan prosedur
yang telah di sepakati bersama pemerintah dan rakyat.
Kebijakan Anti Korupsi
Kebijakan merupakan sebuah usaha mengatur tata interaksi dalam ranah sosial. Korupsi
sebagai bentuk kejahatan luar biasa yang mengancam tata kehidupan berbangsa telah memaksa
setiap Negara membuat undang-undang untuk mencegahnya. Beberapa Negara membuat aturan
main anti korupsi yang mempersempit ruang gerak perilaku korupsi. Kebijakan tersebut tidak
selalu identik dengan undang-undang anti korupsi, namu bias berupa undang-undang kebebasan
mengakses informasi, undang-undang di sentralisasi, undang-undang anti monopoli, mauoun
yang lainnya yang dapat memudahkan masyarakat mengetahui sekaligus mengontrol kinerja dan
penggunaan anggaran Negara oleh para pejabat Negara.
Signifikan kebijakan anti korupsi terletak padsa asumsi bahwa hukum atau penegakan
hukum di yakini sebagai cara efektif untuk mengendalikan naluri berbuat korupsi. Korupsi
bagian dari nilai-nilai yang ada dalam diri seseorang dapat di kendalikan dan di control oleh
peraturan atau undang-undang langkah ini merupakan subsistem dari keseluruhan sistem
kehidupan sebuah Negara yang merangkul sekaligus menat beragam kepentigan, demi
terciptanya sebuah kenegaraan yang harmonis.
Kebijakan antikorupsi dapat di lihat dalam beberapa perspektif Pertama,isi kebijakan.
Komponen penting dari sebuah kebijakan adalah konten atau isi dari kebijakan tersebut. Dengan
kata lain, kebijakan anti-korupsi menjadi efektif apabila di dalamnya terkandung unsure-unsur
yang terkait dengan persoalan korupsi sebagai focus dari kegiatanm tersebut. Paling tidak, di
dalamnya terkandung unsure-unsur yang secara teoretis dapat menjawab persoalan yang hendak
di atur dalam kebijakan antikorupsi.
Kedua, pembuat kebijakan. Kebijakan antikorupsi tidak bias dilepaskan dari para
pembuat kebijakan. Paling tidak, isi dari kebijakan merupakan cermin dari kualitas dan integritas
pembuatnya. Sekaligus akan menentukan kualitas isi kebijakan tersebut. Apabila pembuat
kebijakan antikorupsi adalah mereka yang tidak memahami duduk masalah korupsi atau justru
mereka menjadi bagian dari carut marut perilaku koruptif, maka alih-alih dapat menjadi control
dan memberikan jalan dari tindakn korupsi, justru tindakan tersebut bias menjadi bumerang bagi
pemberantasan korupsi.
Ketiga, penegakan kebijakan. Kebijakan yang telah di buat dapat berfungsi apabila di
dukung oleh actor-aktor penegak kebiajakn itu sendiri. Penegak kebijakan dalm struktur
kenegaraan modern terdiri dari kepolisian, pengadilan, pengacara, dan lembaga pemasyarakatan.
Apabila penegak kebijakan tidak memiliki komitmen untuk meletakkanya sebagai aturan yang
mengikat bagi semua, termasuk bagi dirinya, maka sebuah kebijakan hanya akan menjadi
instrumen kekuasaan yang justru melahirkan kesenjangan, Ketidakadilan, dan bentuk
penyimpangan lainya.
Keempat, kultue kebijakan (hokum). Eksitensi sebuah kebijakan terkait dengan nilai-
nilai, pemahaman, sikap, persepsi, dan kesadaran masyarakat terhadap hokum undang-undang
anti korupsi. Lebih jauh kultur kebijakan ini akan menentukan tingkat partisipasi masyarakat
dalam pemberantasan korupsi.
Keempat hal tersebut akan menentukan efektifitas pelaksanaan dan fungsi sebuah
kebijakan. Dalam konteks kebijakan antikorupsi, maka keempat komponen tersebut akan
berpengaruh terhadap efektifitas pemberantasan korupsi melalui kebijakan yang ada.
Namun, sebagai produk politik, sebuah kebijakan seringkali tidak berfungsi secara
maksimal baik karena adanya intervensi kekuasaan maupun karena tidak di potong oleh sistem
maupun budaya masyarakat. Akibatnya, langkah pemberantasan korupsi yang seharusnya bias
efektif melalui peraturan tidak berjalan secara normal. hal ini bias di lihat dari sejarah
pemberantasan korupsi di Indonesia yang belum mampu menghasilkan kerja maksimal di
bandingkan dengan keberadaan undang-undang atau peraturan antikorupsi yang sudah ada sejak
lama. Bahkan sebagai Negara asia yang memiliki undang-undang antikorupsi, Indonesia jusdtru
berada di tingkat yang sangat rendah dalam peringkat Negara-negara yang bebas dari korupsi.
Control Kebijakan
Menurut David Korten lebih dari tiga dasawarsa, pembangunan di ansumsikan dari
pemerintah dan untuk pemerintah sendiri. Ini berarti bahwa fungsi, peran, dan kewenangan
pemerintah teramat dominan hingga terkesan bahwa proses kenegaraan hanya menjadi tugas
pemerintah dan sama sekali tidak perlu melibatkan rakyat. Seolah-olah, pemerintah dan sama
sekali tidak perlu melibatkan rakyat. Seolah-olah, pemerintah paling mengetahui seluk beluk
kehidupan masyarakat di negaranya. Itulah sebabnya, di tengah arus demokratisasi, paradigma
tersebut harus di rekonstruksi sehingga tumbuh tradisi baru berupa control kebijakan.
Terbentuknya lembaga atau forum-forum yang peduli terhadap masalah- masalah
penganggaran merupakan embrio bagi tumbuh dan berkembangya gerakan rakyat untuk
melakukan control dan pengawasan kepada pemerintah. Pada saat kesadaran masyarakat yang
kian bangkit itu, maka langkah-langkah yang dan konkret dari setiap lembaga di harapkan
mengembalikan tiga strategi pokok yang saling terkait yaitu: analisis kebijakan, advokasi, dan
pemberdayaan komunitas local. Semuanya mengarah pada upaya menciptakn proses-proses
penganggaran yang transparan untuk kepentingan masyarakat local dan daerah.
Paling tidak terdapat tiga model control terhadap kebijakan pemerintah, yaitu oposisi,
penyempurnaan, dan perubahan terhadap pemerintah. Penggunaan tiga model control tersebut
tergantung pada bentuk rumusan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah serta pilihan politik
yang hendak di bangun. Namun, substansi dari ketiga model itu adalah keterlibatan masyarakat
dalam mengontrol kebijakan Negara. Dengan mengacu kepada prinsip-prinsip penganggaran dan
pengelolaan keuangan Negara, yakni tertib waktu dan administrasi, taat perundang-undangan,
transparan, akuntabilitas, alokasi dan distribusi, stabilitas dan kepatuhan seta keadilan, maka
keterlibatan rakyat menjadi sangat strategis. Secara lebih focus, yang menjadi sasaran
pengawasan dan control public dalam proses pengelolaan anggaran Negara adalah: pertama,
berkaitan dengan konsistensi dalam perencanaan program atau kegiatan. Dan kedua, berkaitan
denghan pelaksanaan penganggaran itu sendiri.
Sementara melalui focus dan sasaran yang kedua, dimaksudkan agar masyarakat secara
intensif melakukan control dan pengawasan terhadap sektor-sektro yang meliputi:
1. Sumber-sumber pendapatan Negara yang utama seperti pajak dan retribusi, penjualan migas dan
sumber-sumber lain yang di kelolah oleh pemerintah.
2. Tata cara penarikan dana dari berbagai sumber anggaran Negara seperti proses penepatan pajak
retribusi dan penetapannya, dana perimbangan (pusat dan daerah), penetapan pinjaman luar
negeri dan pengolalanya dalam penganggaran.
3. Memonitor lapangan pertanggung jawaban pelaksanaan proyak yang di sampaikan oleh
kontraktor atau pemimpin proyek, baik secara administrasi maupun kualitas pekerjaan secara
fisik.
4. Limit waktu dalam penyelesaian proyek tidak hanya dibatasi pada aspek ketepatan dalam
penyelesaiaan proyek dimana proyek dianggap selesai setelah serah terima hasil (out put)
pekerjaan, tetapi harus ada pertanggung jawaban teknis terhadap kualitas setiap pekerjaan yang
telah dikerjakan , terutama proyek-proyek fisik.
Dengan demikian, control terhadap kebijakan mulai proses pembuatan sampai pelaksanaan dan
dampat yang di hasilkan dapat dievaluasi dan terus di sempurnakan. Lebih dari itu, seluruh
rangkaian kebiojakan tersebut dapat menutup peluang bagi berseminya korupsi.
BAB VI
UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI
Ayat (2):
Dilakukan dalam keadaan tertentu
UU No. 20/2001
Pasal 1 angka 1:
Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga
Penjelasan Pasal 1 angka 1:
Pasal 2 ayat (2)
adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana
korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan,
terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan: keadaan bahaya, bencana alam
nasional, akibat kerusuhan sosial yang meluas, krisis ekonomi/moneter; dan
pengulangan tindak pidana korupsi
2. Pasal 3:
Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri/orang lain/korporasi menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan.kedudukan dapat
merugikan keuangan/ perekonomian negara
3. Pasal 13:
Setiap orang memberi hadiah/janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan/
wewenang yang melekat pada jabatan/kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah/janji dianggap
melekat pada jabatan/kedudukan tersebut
4. Pasal 15:
Setiap orang yang mencoba/ membantu/ bermufakat jahat untuk melakukan tindak pidana
korupsi
BAB IX
PERAN DAN KETERLIBATAN MAHASISWA
DALAM GERAKAN ANTI KORUPSI
B. Peran Mahasiswa
Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia tercatatbahwa mahasiswa mempunyai
peranan yang sangat penting.
Kebangkitan Nasional tahun 1908
Sumpah Pemuda tahun 1928
Proklamasi Kemerdekaan NKRI tahun 1945
Lahirnya Orde Baru tahun 1966
Reformasi tahun 1998.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam peristiwa-peristiwa besar tersebut mahasiswa tampil di
depan sebagai motor penggerak dengan berbagai gagasan, semangat dan idealisme yang
mereka miliki.
Mahasiswa memiliki karakteristik intelektualitas, jiwa muda, dan idealisme. Dengan
kemampuan intelektual yang tinggi, jiwamuda yang penuh semangat, dan idealisme yang murni
telah terbukti bahwa mahasiswa selalu mengambil peran penting dalam sejarah perjalanan
bangsa ini.
Mahasiswa didukung oleh modal dasar yang mereka miliki, yaitu: intelegensia,
kemampuan berpikir kritis, dan keberanian untuk menyatakan kebenaran. Dengan kompetensi
yang mereka miliki tersebut mahasiswa diharapkan mampu menjadi agen perubahan, mampu
menyuarakan kepentingan rakyat, mampu mengkritisi kebijakan-kebijakan yang koruptif, dan
mampu menjadi watch doglembaga-lembaga negara dan penegak hukum.
C. Keterlibatan Mahasiswa
Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti korupsi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi
empat wilayah, yaitu:
Lingkungan keluarga
Lingkungan kampus
Masyarakat sekitar
Tingkat lokal/nasional