Anda di halaman 1dari 4

RUPTUR PERINEUM

Definisi
Perineum yang kita kenal sehari-hari adalah badan perineum yaitu daerah diantara vagina
dan anus yang terbentuk dari gabungan otot-otot membrana perineal yaitu otot bulbo kavernosus,
otot tranversus perinealis superfisialis dan profundus, disertai otot pubo rektalis yang merupakan
bagian dari otot levator ani dan otot sfingter ani eksterna. Daerah ini mendapat suplai darah dari
cabang-cabang arteri pudenda interna dan mendapatkan persarafan sensoris dan motoris dari
nervus pudendus.
Pada wanita normal panjang badan perineum ini sekitar 3-5 cm, dan akan berkurang pada
kondisi prolaps organ pelvik yang lanjut atau pada keadaan terjadinya robekan perineum pasca
persalinan yang tidak dikelola dengan baik. Pada kondisi terjadinya trauma perineum yang besar
yang menyebabkan robeknya atau disrupsi otot-otot yang membentuk perineum terutama levator
ani dan sfingter ani maka akan terjadi gangguan defekasi berupa inkontinensia fekal yang derajat
beratnya bervariasi. Selain itu dapat pula terjadi gangguan seksual, keputihan dan infeksi saluran
kemih yang berulang.
Ruptur Perineum adalah robekan yang terjadi pada saat bayi lahir baik secara spontan
maupun dengan menggunakan alat atau tindakan. Robekan perineum umumnya terjadi pada garis
tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin terlalu cepat, ataupun sering disebabkan oleh
trauma saat persalinan. Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan
tidak jarang juga pada persalinan berikutnya (Winkjosastro,2005).
Robekan perineum dibagi menjadi 4 tingkat, diantaranya :
Ruptur Perineum Tingkat 1-2:
1) Ruptur perineum tingkat I dengan jaringan yang mengalami robekan adalah:
a. Mukosa vagina
b. Komisura posterior
c. Kulit perineum

2) Ruptur Perineum Tingkat II dengan jaringan yang mengalami robekan adalah:
a. Mukosa vagina
b. Komisura posterior
c. Kulit perineum
d. Otot perineum




Insidensi
Di seluruh dunia pada tahun 2009 terjadi 2,7 juta kasus ruptur perineum pada ibu
bersalin. Angka ini diperkirakan mencapai 6,3 juta pada tahun 2050, seiring dengan semakin
tingginya bidan yang tidak mengetahui asuhan kebidanan dengan baik. Amerika 26 juta ibu
bersalin yang mengalami rupture perineum, 40 % diantaranya mengalami rupture perineum
karena kelalaian bidannya. 20 juta diantaranya adalah ibu bersalin, Prevalensi ibu bersalin yang
mengalami rupture perineum di Indonesia pada golongan umur 25 30 tahun yaitu 24 % sedang
pada ibu bersalin usia 32 39 tahun sebesar 62 % (Manuaba, 2010).

Potofisiologi
Yang dapat menyebabkan terjadinya ruptur perineum adalah sebagai berikut:
a. Kepala janin besar
b. Presentasi defleksi (dahi, muka).
c. Primipara
d. Letak sungsang.
e. Pimpinan persalinan yang salah.
f. Pada obstetri dan embriotomi : ekstraksi vakum, ekstraksi forcep, dan embriotomi.

Penegakkan Diagnosis
Pada setiap persalinan terutama persalinan yang berrisiko terjadi robekan perineum yang
berat seperti persalinan dengan bantuan alat (ekstraksi vacuum dan forceps), oksiput posterior,
distosia bahu, bayi besar, dan episiotomi mediana, kita harus waspada akan terjadinya robekan
perineum derajat III-IV. Oleh karena itu pasca persalinan harus dinilai benar robekan perineum
yang terjadi. Tindakan colok dubur dan pemaparan yang baik sangat membantu untuk
mendiagnosis derajat robekan perineum yang terjadi. Sultan dan kawan-kawan melaporkan
terjadinya defek pada sfingter ani eksterna maupun interna berkisar 15-44% pada evaluasi USG
endoanal pasien-pasien pasca perbaikan ruptur perineum derajat III dan IV. Salah satu
kemungkinan penyebabnya adalah diagnosis substandar dalam penentuan derajat robekan
sebelum perbaikan.



Terapi
Penanganan ruptur perineum tidak terlalu mengalami perbedaan di antara tingkatannya,
melakukan prosedur Informed consent, persiapan alat, pengaturan cahaya. Melakukan
pemeriksaan vagina dan rectum, dapat dilakukan dengan cara melakukan penjahitan luka lapis
demi lapis, dan memperhatikan jangan sampai terjadi ruang kosong terbuka kearah vagina yang
biasanya dapat dimasuki bekuan-bekuan darah yang akan menyebabkan tidak baiknya
penyembuhan luka. Selain itu dapat dilakukan dengan cara memberikan antibiotik yang cukup
prinsip yang harus diperhatikan dalam menangani ruptur perineum seperti bila seorang ibu
bersalin mengalami perdarahan setelah anak lahir, segera memeriksa perdarahan tersebut berasal
dari retensio plasenta atau plasenta lahir tidak lengkap selanjutnya dilakukan penjahitan pada
robekan perineum.
1. Robekan perineum tingkat I: tidak perlu dijahit jika tidak ada perdarahan dan aposisi luka
baik, namun jika terjadi perdarahan segera dijahit dengan menggunakan benang catgut
secara jelujur atau dengan cara angka delapan.

2. Robekan perineum tingkat II : untuk laserasi derajat I atau II jika ditemukan robekan tidak
rata atau bergerigi harus diratakan terlebih dahulu sebelum dilakukan penjahitan. Pertama
otot dijahit dengan catgut kemudian selaput lendir. Vagina dijahit dengan catgut secara
terputus-putus atau jelujur. Penjahitan mukosa vagina dimulai dari puncak robekan. Kulit
perineum dijahit dengan benang catgut secara jelujur.
Dalam melakukan penjahitan harus adanya prinsip dasar yang berguna dalam penyembuhan
bekas hasil jahitan dan memonitor hasil akhir dari pasien, robekan sembuh dalam 2 minggu,
dalam melakukan penjahitan jahit kuat tetapi jangan terlalu kencang, tutup ruang rugi dan
hemostasis baik, pasang kateter 24 jam dan minitor pasien secara berkala.
Prognosis
Prognosis tergantung pada adanya riwayat ruptur perineum atau tidak. Kecepatan pasien
menerima tindakan bantuan yang dilakukkan tenaga medis., serta dapat dinilai dari luas robekan
yang terjadi baik secara spontan maupun tidak.

Anda mungkin juga menyukai