Anda di halaman 1dari 10

PENYULUHAN ANTI KORUPSI DAN CARA -CARA

PEMBUATAN MEDIA PENYULUHAN

DOSEN PENGAMPU :
DEVI MEDIARTI, S.Pd.,S.Kep.,M.Kes
Kelompok 11
1.ANGGRAINI PUTRI KINANTI (PO7120122052)
2. AULIA AMANDA (PO7120122080)
3. JIHAN SALSABILA (PO7120122093)

D-III KEPERAWATAN PALEMBANG


POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2023/2024
BAB 11
PRAKTIK PENYULUHAN

11.1 PENDAHULUAN
Kasus korupsi di Indonesia telah lama menjadi trending topic masyarakat
Indonesia. Pada Sejak dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, beberapa
kasus korupsi telah diungkap dan masih banyak kasus lain yang menanti untuk
diungkap. Sumiyati (2007) dalam tulisannya menyampaikan bahwa menurut M.
Cholil Nafis, dalam tindakan korupsi sedikitnya terdapat tiga kejahatan,10 yaitu;
pertama, kejahatan yang berdampak pada hilangnya uang negara sehingga
tindakan korupsi yang akut akan menyebabkan hilangnya hajat hidup orang
banyak, memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi, dan menghilangkan keadilan.
Kedua, korupsi dapat menghilangkan hak hidup warga negara dan regulasi
Ardtiyani, Kholifah 82 keuangan negara. Negara yang korup akan menyebabkan
lahirnya kemiskinan dan kebodohan. Ketiga, kejahatan korupsi menggerogoti
kehormatan dan keselamatan generasi penerus. Gambar 1. Gedung Komisi
Pemberantasan Korupsi Sumber :www. Cirebontrust.com Para koruptor bisa
dikategorikan sebagai manusia yang tidak bermoral karena apa yang mereka
lakukan membuat orang lain dan rakyat menjadi sengsara dan terhambat
kesejahteraannya.. Korupsi bukan lagi urusan individual, melainkan bersifat
sistemik. Oleh karena itu, muncul istilah korupsi berjamaah, korupsi yang
dilakukan secara kolektif. Korupsi di Indonesia sudah meraksasa danmenggurita,
mencengkeram setiap lini kehidupan masyarakat. Korupsi merupakan hasil
persilangan antara keserakahan dan ketidakpedulian sosial. Para pelaku korupsi
adalah mereka yang tidak mampu mengendalikan keserakahan dan tidak peduli
atas dampak perbuatannya terhadap orang lain, rakyat, bangsa, dan negara.
Korupsi merupakan perpaduan dari keserakahan (tamak) dan sifat asosial.
Artinya, orang yang melakukan korupsi adalah orang yang tidak pernah puas
menumpuk dan mengumpulkan harta dan tidak memiliki sense of crisis terhadap
masyarakat1

Salah satu barang bukti korupsi yang didapatkan KPK Sumber :

Vol. 3, No. 2, Mei 2014 83 Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik


Indonesia menuliskan dalam bukunya yakni Pendidikan Anti Korupsi untuk
Perguruan Tinggi bahwa menurut Wade dan Tavris (2007) pada dasarnya korupsi
merupakan perilaku yang dimunculkan oleh individu secara sadar dan disengaja.
Secara psikologis terdapat beberapa komponen yang menyebabkan perilaku
tersebut muncul. Setiap perilaku yang dilakukan secara sadar berasal dari potensi
perilaku (perilaku yang belum terwujud secara nyata), yang diistilahkan dengan
intensi). Kemudian menurut Azwar (2006), potensi intensi perilaku tersebut
adalah sikap, yang terdiri dari tiga faktor yaitu kognisi, afeksi dan psikomotor, di
mana ketiganya bersinergi membentuk suatu perilaku tertentu. Dengan demikian,
perilaku korupsi/anti- korupsi yang dimunculkan oleh individu didasari oleh
adanya intensi perilaku korupsi/anti- korupsi yang didalamnya terjadi sinergi tiga
faktor kognisi, afeksi dan psikomotorik. Metode matakuliah anti-korupsi
hendaknya memberikan sinergi yang seimbang antara ketiga komponen tersebut,
sehingga benar-benar dapat berfungsi untuk memperkuat potensi perilaku anti-
korupsi mahasiswa. Pada dasarnya potensi anti-korupsi ada pada diri setiap
individu mahasiswa, dan adalah tugas dosen untuk memperkuatnya. Fadhilah dkk
(2010) menyampaikan bahwa pendidikan anti korupsi merupakan salah satu
solusi dalam mengatasi masalah korupsi di Indonesia. Pendidikan anti korupsi
yang dimaksud adalah pendidikan yang dilakukan dengan penguatan secara
berulang ulang, yang sangat strategis diterapkan pada anak usia pra sekolah
dengan pertimbangan bahwa untuk penanaman belief pada anak masa tersebut
merupakan waktu yang paling strategis untuk dilakukan. Kemudian menurut
Corey (2008), pendidikan anti korupsi merupakan model pendidikan yang paling
strategis untuk meminimalisir tingkat korupsi di Indonesia untuk anak pada usia
1
Suprapto Suprapto dan Politeknik Sandi Karsa, “Dalam praktik Keperawatan Suprapto , S . Kep , Ns ., M . Kes
Politeknik Sandi Karsa,” no. November (2021): 88.
pra-sekolah. Model pendidikan anti korupsi yang ditawarkan adalah model
pendidikan melalui metode bermain edukatif yaitu role playing melalui sosio-
drama. Sosio-drama merupakan model permainan peran dimana tidak hanya pada
wilayah bermain tapi juga pada wilayah belajar dari isu-isu sosial dari peran yang
dimainkan. Karena efektifitas yang baik, maka pendidikan atau penyuluhan
mengenai bahaya korupsi sejak dini diperlukan bagi anak-anak khususnya anak-
anak di Dusun Babadan. Oleh karena itu, program penyuluhan mengenai anti
korupsi perlu dilakukan dengan tujuan memberi pendidikan mengenai korupsi dan
bahayanya, serta mencegah terjadinya korupsi sejak dini.2

Analisa Situasi Korupsi merupakan salah satu istilah yang kini akrab di
telinga masyarakat Indonesia. Hampir seluruh media massa memberitakan
berbagai kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Kata korupsi telah dikenal oleh
masyarakat luas tetapi definisinya belum tuntas dibukukan. Pengertian korupsi
berevolusi tiap zaman, peradaban, dan territorial. Rumusannya bisa berbeda
tergantung pada titik tekan dan pendekatannya, baik dari perspektif politik,
sosiologi, ekonomi, dan hukum. Korupsi sebagai fenomena penyimpangan dalam
kehidupan sosial, budaya, kemasyarakatan, dan kenegaraan sudah dikaji dan
ditelaah secara kritis oleh banyak ilmuwan dan filosof. Aristoteles misalnya, yang
diikuti oleh Machiavelli, telah merumuskan sesuatu yang disebutnya sebagai
korupsi moral (moral corruption)1 . Korupsi memang merupakan istilah modern,
tetapi wujud dari tindakan korupsi itu sendiri ternyata telah ada sejak lama.
Sekitar dua ribu tahun yang lalu, seorang Indian yang menjabat semacam perdana
menteri, telah menulis buku “Arthashastra” yang membahas masalah korupsi di
masa itu dalam literatur Islam2 Robert Klitgaard, menyatakan Pengertian Korupsi
adalah suatu tingkah laku yang meyimpang dari tugas-tugas resmi jabatannya
dalam negara, dimana untuk memperoleh keuntungan status atau uang yang
menyangkut diri pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri), atau
3
melanggar aturan pelaksanaan yang menyangkut tingkah laku pribadi. Pengertian
2
Ibid.
3
Gani S.kep Mustofa, “Analisis praktik klinik keperawatan pada pasien hipertensi dengan pemberian terapi
akupresur untuk menurunkan tekanan darah tinggi di ruang instalasi gawat darurat rsud abdul wahab sjahranie
korupsi yang diungkapkan oleh Robert yaitu korupsi dilihat dari perspektif
administrasi negara. 3 Pengertian secara yuridis, baik dalam arti maupun jenisnya
telah dirumuskan di dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan undangundang sebelumnya,
yaitu UU No 3 Tahun 1971. Pemahaman tentang tindakan korupsi tersebut
mendorong pengabdi untuk melakukan penyuluhan guna mencegahan tindakan
korupsi baik di kalangan masyarakat umum maupun negara. Tindakan
pencegahan yang dimaksud hendaknya dilakukan sejak dini, dimana peran 1.
Albert Hasibuan, 1997, Titik Pandang Untuk Orde Baru, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, h. 342-347. 2. Ahmad Fawa’id dan Sultonul Huda, 2006, NU Melawan
Korupsi:Kajian Tafsir dan Fiqih, Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantasan
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta, h. 1. 3 . Ermansyah Djaja, 2013,
Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, h. 23. 1 generasi
muda yang akan meneruskan tonggak kedaulatan bangsa haruslah memiliki rasa
cinta tanah air serta tertanam nya nilai-nilai kejujuran yang luhur yang dapat
membawa pada perubahan dan era baru bebas korupsi. Korupsi yang kecil pada
awalnya, dapat menjadi tindak pidana korupsi, karna telah merugikan banyak
pihak sehingga sangat diperlukan pencegahan sejak dini. Tindakan pencegahan
korupsi dengan melakukan penyuluhan pada generasi muda untuk menanamkan
nilai-nilai pancasila dalam setiap tindakan generasi muda bangsa, serta mencari
solusi bersama dalam pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi di masyarakat
dan pada negara. Tindak pidana korupsi jika tidak diminimalisirkan dengan
penyuluhan anti korupsi kepada generasi muda, akan mengalami perkembangan
yang sangat pesat, ancaman sanksi sekeras apapun terbukti tidak akan dapat
mengontrol perilaku subjek dengan sepenuhnya. Selalu saja ada celah dan
kesempatan, sekecil apapun yang akan coba dimanfaatkan oleh seorang subjek
dengan risiko yang telah diperhitungkannya untuk menghindarkan diri dari
kontrol hukum yang berhakekat.

samarinda tahun 2015,” Karya Ilmiah Akhir, 2015.


Salah satu faktor pendorong terjadinya tindak pidana korupsi adalah konflik
kepentingan (conflict of interest). Konflik kepentingan seperti hubungan afiliasi
antara seorang Penyelenggara Negara yang terlibat dalam Pengadaan Barang dan
Jasa dengan calon rekanan atau situasi ketika seorang Penyelenggaran Negara
hendak mengambil keputusan terkait dengan sebuah lembaga di mana pejabat
tersebut memiliki rangkap jabatan di lembaga tersebut adalah contoh-contoh situasi
yang sering dihadapi. Situasi tersebut berpotensi berpengaruh pada kualitas
keputusan yang diambil oleh Penyelenggara Negara yang bersangkutan dan dapat
mendorong terjadinya tindak pidana korupsi. Penanganan terhadap benturan
kepentingan kemudian menjadi penting sebagai salah satu upaya pencegahan
praktik korupsi. Namun, apa itu konflik kepentingan?
Penyelenggara negara dalam hal ini adalah seseorang yang menjabat atau
memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi
negara dalam wilayah hukum negara dan mempergunakan anggaran yang
seluruhnya atau sebagian berasal dari negara, misalnya pejabat negara, pejabat
publik, penyelenggara pelayanan publik dan berbagai istilah lainnya yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan. Termasuk didalamnya semua pejabat yang
menyelenggarakan fungsi-fungsi negara baik dalam cabang kekuasaan eksekutif,
legislatif, yudikatif, aparat penegak hukum, organ ekstra struktural (seperti KPK,
KPU, Komisi Yudisial, dll).

Beberapa bentuk konflik kepentingan yang sering terjadi dan dihadapi oleh
Penyelenggara Negara antara lain adalah:

a.Situasi yang menyebabkan seseorang menerima gratifikasi atau


pemberian/penerimaan hadiah atas suatu keputusan/jabatan;

b.Situasi yang menyebabkan penggunaan asset jabatan/instansi untuk kepentingan


pribadi/ golongan;

c.Situasi yang menyebabkan informasi rahasia jabatan/instansi dipergunakan untuk


kepentingan pribadi/golongan;
d.Perangkapan jabatan di beberapa lembaga/ instansi/perusahaan yang memiliki
hubungan langsung atau tidak langsung, sejenis atau tidak sejenis, sehingga
menyebabkan pemanfaatan suatu jabatan untuk kepentingan jabatan lainnya;

e.Situasi dimana seorang penyelenggara negara memberikan akses khusus kepada


pihak tertentu misalnya dalam rekrutmen pegawai tanpa mengikuti prosedur yang
seharusnya;

f.Situasi yang menyebabkan proses pengawasan tidak mengikuti prosedur karena


adanya pengaruh dan harapan dari pihak yang diawasi;

g.Situasi dimana kewenangan penilaian suatu obyek kualifikasi dimana obyek


tersebut merupakan hasil dari si penilai;

h.Situasi dimana adanya kesempatan penyalahgunaan jabatan

i.Post employment (berupa trading influence, rahasia jabatan);

j.Situasi dimana seorang penyelenggara negara menentukan sendiri besarnya


gaji/remunerasi;

k.Moonlighting atau outside employment (bekerja lain diluar pekerjaan pokoknya);

l.Situasi untuk menerima tawaran pembelian saham pihak masyarakat,

m.Situasi yang memungkinkan penggunaan diskresi yang menyalahgunakan


wewenang.

11.2 Keselamatan Kesehatan kerja(k3) dalam kegiatan penyuluhan

1. Gratifikasi, yaitu pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang,
rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cumacuma dan fasilitas lainnya;
2. Kelemahan sistem , yaitu keadaan yang menjadi kendala bagi pencapaian tujuan
pelaksanaan kewenangan penyelenggara negara yang disebabkan karena aturan,
struktur dan budaya organisasi yang ada;
3. Perangkapan jabatan, yaitu seorang Penyelenggara Negara menduduki dua atau lebih
jabatan publik sehingga tidak bisa menjalankan jabatannya secara profesional,
independen dan akuntabel;
4. Penyalahgunaan wewenang, yaitu membuat keputusan atau tindakan yang tidak
sesuai dengan tujuan atau melampaui batas-batas pemberian wewenang yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan
5. Kepentingan pribadi (Vested Interest), yaitu keinginan/kebutuhan seorang
penyelenggara negara mengenai suatu hal yang bersifat pribadi.

11.3 Penanganan Konflik Kepentingan

Penanganan konflik kepentingan pada dasarnya dilakukan melalui perbaikan: nilai,


sistem, pribadi, dan budaya. Adapun prinsip-prinsip dasar yang terkait dengan keempat
hal tersebut adalah sebagai berikut:

1. Mengutamakan Kepentingan Publik Penyelenggara Negara harus memperhatikan


peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang berlaku tanpa memikirkan
keuntungan pribadi atau tanpa dipengaruhi preferensi pribadi

2. Menciptakan Keterbukaan Penanganan dan Pengawasan Konflik Kepentingan


Penyelenggara Negara harus bersifat terbuka atas perkerjaan yang dilakukannya dan
mentaati nilai-nilai pelayanan publik seperti bebas kepentingan, tidak berpihak, dan
memiliki integritas
3. Mendorong Tanggung Jawab Pribadi dan Sikap Teladan Penyelenggara Negara harus
menjaga integritas sehingga dapat menjadi teladan bagi Penyelenggara Negara lainnya
dan bagi masyarakat

4. Menciptakan dan Membina Budaya Organisasi yang Tidak Toleran terhadap Konflik
Kepentingan Tersusun dan terlaksananya kebijakan dan praktek manajemen yang
mendorong pengawasan dan penanganan konflik kepentingan secara efektif.

Selanjutnya, tahapan penanganan konflik kepentingan adalah sebagai berikut:

1. Penyusunan Kerangka Kebijakan

Terdapat beberapa aspek pokok yang perlu diperhatikan dalam penyusunan kerangka
kebijakan yaitu:
a. Pendefinisian konflik kepentingan yang berpotensi membahayakan integritas lembaga
dan individu.
b. Komitmen Pimpinan dalam penerapan kebijakan konflik kepentingan.
c. Pemahaman dan kesadaran yang baik tentang konflik kepentingan untuk mendukung
kepatuhan dalam penanganan konflik kepentingan.

2. Identifikasi Situasi Konflik Kepentingan

Dilakukan identifikasi terhadap situasi yang termasuk dalam kategori konflik kepentingan

3. Penyusunan Strategi Penanganan Konflik Kepentingan

Kebijakan konflik kepentingan perlu didukung oleh sebuah strategi yang efektif berupa:

a. Penyusunan kode etik


b. Pelatihan, arahan, serta konseling untuk mengatasi situasi-situasi konflik kepentingan
c. Deklarasi konflik kepentingan
d. Dukungan kelembagaan

4. Penyiapan Tindakan untuk Menangani Konflik Kepentingan

Serangkaian tindakan yang dapat disiapkan sebagai langkah lanjutan dalam menangani konflik
kepentingan yang dapat digunakan sebagai pedoman oleh Penyelenggara Negara maupun
organisasi atau lembaga dimana Penyelenggara Negara tersebut bekerja antara lain adalah:

 Pengurangan (divestasi) kepentingan pribadi Penyelenggara Negara dalam jabatannya;


 Penarikan diri (recusal) dari proses pengambilan keputusan dimana seorang
Penyelenggara Negara memiliki kepentingan;
 Membatasi akses Penyelenggara Negara atas informasi tertentu apabila yang
bersangkutan memiliki kepentingan;
 Mutasi Penyelenggara Negara ke jabatan lain yang tidak memiliki konflik kepentingan;
 Mengalih tugaskan tugas dan tanggung-jawab Penyelenggara Negara yang bersangkutan;
 Pengunduran diri Penyelenggara Negara dari jabatan yang menyebabkan konflik
kepentingan;
 Mengintensifkan pengawasan terhadap penyelenggara negara tersebut;
 Pemberian sanksi yang tegas bagi yang melanggarnya.
DAFTAR PUSTAKA

Adji, Indriyanto Seno, 2009, Korupsi, Kebijakan Aparatur Negara &


Hukum Pidana, CV. Diadit Media, Jakarta.

Ali, Mahrus, 2013, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press,
Yogyakarta.

Arifin, Winarsih dan Farida Soemargono, 2001, Kamus Perancis Indonesia,

Bruggink, JJ. H., 2015, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa oleh B. Arief Sidharta,
cetakan ke-IV, Citra Aditya Bakti, Bandung. Budiarjo, Miriam, 1982, Dasar-dasar Ilmu
Politik,

Gramedia, Jakarta. Fachruddin, Irfan, 2004, Pengawasan Peradilan


Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, PT. Alumni Bandung.

Anda mungkin juga menyukai