Anda di halaman 1dari 4

Pendidikan Anti Korupsi Sebagai Bentuk Preventif Terhadap Korupsi

Bagi Mahasiswa dan Generasi Muda


Nama

Pendahuluan
Bagi bangsa Indonesia, masalah sistem nilai yang paling serius adalah korupsi. Hal ini
menandakan bahwa korupsi harus dihindari dan diberantas agar sistem nilai bangsa Indonesia
dapat dipulihkan. Salah satu tantangan yang terkait dengan tatanan nilai dalam masyarakat
adalah masalah korupsi yang tidak pernah ada habisnya. Saking parahnya situasi, ada yang
menilai korupsi di Indonesia sudah menjadi budaya, wabah, bahkan virus yang harus segera
diberantas. Korupsi telah merambah ke semua tingkatan lembaga negara, termasuk eksekutif,
legislatif, dan yudikatif, serta partai politik (Hakim, 2012).
Korupsi pada hakekatnya merupakan “parasit sosial” yang memperlemah kerangka
pemerintahan dan menjadi penghambat utama penyelenggaraan pemerintahan dan kemajuan
secara umum. Karena Persepsi Korupsi (IPK) kita yang rendah, Indonesia adalah negara
terkorup keenam di dunia dari 133 negara. Orang-orang kehilangan kepercayaan pada
pemerintah mereka sendiri sebagai akibat dari reputasi buruk Indonesia sebagai salah satu
negara paling korup di dunia. Dalam perspektif penduduknya sendiri, legitimasi dan
akuntabilitas pemerintah semakin berkurang. Sama saja dengan merusak kepercayaan
pemerintah dan penduduk asing terhadap negara dan bangsa kita.
Penguatan gerakan antikorupsi merupakan salah satu langkah yang harus kita lakukan
untuk memerangi korupsi. Upaya ini lebih dari sekadar basa-basi; mencerminkan tekad
politik pemerintah yang didukung oleh penyiapan dan kesiapan perangkat hukum. Penting
juga bahwa sebanyak mungkin warga untuk dapat berpartisipasi. Oleh karena itu, tindakan
pertama yang sebaiknya kita tekankan adalah penguatan kodifikasi hukum (normatif), yang
paling tidak harus memperingatkan semua orang tentang korupsi (pencegahan) (Ali, 2005).

Pembahasan
Korupsi terjadi di berbagai level di Indonesia menurut Bank Dunia, bahkan telah
melanda beberapa institusi seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), yang seharusnya juga demikian dengan mereka yang bertugas memberantas
korupsi. Menanggapi fenomena ini, semua wilayah negara menjadi prihatin. Pemerintah telah
membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai organisasi menyeluruh yang
memiliki kewenangan penuh untuk menangani masalah korupsi. Secara hukum, KPK
mengabdikan diri untuk menegakkan supremasi hukum sekaligus memberantas korupsi.
Namun, hanya mengandalkan sistem hukum untuk memberantas korupsi seperti memotong
daun tanpa mengatasi akarnya. Hal ini mendorong KPK untuk menanamkan sikap anti
korupsi pada anak sejak dini (Harto, 2014).
Hanya sedikit orang yang memahami konsep pendidikan antikorupsi. Pendidikan
antikorupsi secara umum dianggap sebagai pendidikan berbudaya yang bertujuan untuk
memperkenalkan cara berpikir dan nilai-nilai baru. Mensosialisasikan atau menanamkan cara
berpikir dan nilai-nilai baru sangatlah penting karena tanda-tanda korupsi sudah merasuk ke
masyarakat, dan ada kekhawatiran bahwa generasi muda akan menerima korupsi sebagai hal
yang wajar.
Mahasiswa seharusnya menjadi agen perubahan dan pemimpin dalam kampanye
antikorupsi di masyarakat. Mahasiswa harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang
nuansa korupsi dan cara menghilangkannya agar dapat berperan aktif. Mahasiswa dapat
dibekali melalui berbagai cara, antara lain acara sosialisasi, kampanye atau seminar. Tujuan
pelatihan antikorupsi bagi siswa adalah untuk memberikan pengetahuan yang memadai
tentang korupsi dan cara memberantasnya, serta menanamkan prinsip-prinsip antikorupsi.
Tujuan jangka panjangnya adalah menumbuhkan budaya antikorupsi di kalangan
mahasiswa dan mendorong mahasiswa untuk berpartisipasi aktif dalam upaya pemberantasan
korupsi di Indonesia. Sasaran antikorupsi lebih kepada pengembangan karakter antikorupsi
individu mahasiswa dan peningkatan semangat dan kompetensinya sebagai agen perubahan
bagi kehidupan masyarakat dan bangsa yang bebas dari ancaman korupsi (Suryani, 2013).
Pendidikan antikorupsi dibagi menjadi tiga komponen: kognitif, emosional, dan
psikomotorik. Sisi kognitif misalnya, menekankan pada kemampuan menghafal dan
mereplikasi pengetahuan yang diajarkan, yang dapat berupa kombinasi kreatif atau sintesis
ide dan materi baru. Kedua, domain emosional menekankan sentimen, sikap, apresiasi, nilai,
atau sejauh mana sesuatu diterima atau ditolak. Ketiga, tujuan pelatihan psikomotor adalah
untuk mengembangkan keterampilan dan kompetensi. Ketiga kategori tersebut harus secara
langsung maupun tidak langsung dihubungkan atau diintegrasikan ke dalam tujuan program
untuk menanamkan kebiasaan perilaku antikorupsi pada mahasiswa dan kemudian
melakukan pendidikan antikorupsi. Hal ini memperjelas fokus pendidikan antikorupsi
berdasarkan kriteria kuantitatif.
Selanjutnya, peningkatan pemahaman hukum di kalangan mahasiswa akan berdampak
pada kepatuhan hukum. Mahasiswa yang paham hukum tentunya akan mengikuti semua
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, jika siswa tidak mengetahui hukum,
mereka akan melanggar semua hukum yang berlaku. Untuk mencegah terjadinya pelanggaran
hukum, kesadaran hukum dan kesesuaian hukum harus dipertajam secara bersamaan.
Menurut (Kamaruddin, 2016), bentuk hukum ada dua yaitu pertama, kesadaran hukum dan
ketaatan hukum ada dalam kerangka aturan hukum yang sesuai dengan aturan hukum yang
berlaku dan harus dicapai. Kedua, pengetahuan hukum berupa melanggar dan pelanggaran
hukum.
Hukum harus dimaknai sebagai kewajiban yang harus dipenuhi. Mahasiswa sebagai
cendekiawan dapat mengikuti aturan-aturan hukum yang diajarkan kepada setiap mahasiswa
agar mereka mengetahui dan mentaati hukum. Selanjutnya, mahasiswa harus berpegang
teguh pada aturan hukum sebagai landasan pembentukan karakter dalam pencegahan tindak
korupsi, serta mendapatkan pendidikan antikorupsi formal, nonformal, dan informal sebagai
bentuk pembiasaan untuk mengenal karakter unggul.
Penutup
Kehadiran lembaga antikorupsi memiliki implikasi strategis dan politis yang
signifikan bagi penyelenggaraan negara. Masalah korupsi tidak hanya masalah lokal tetapi
juga masalah dunia bagi negara-negara berkembang, penurunan korupsi merupakan
pencapaian tersendiri.
Pendidikan antikorupsi adalah pendidikan bagi mahasiswa yang mengajarkan
berbagai cara berinteraksi dengan orang lain dalam rangka mengembangkan karakter,
melakukan tindakan antikorupsi, dan memikul tanggung jawab. Karena tindakan korupsi
bersifat merusak diri sendiri (etika, norma), lingkungan, dan negara, maka cita-cita
pendidikan antikorupsi sangat berharga dan dibutuhkan untuk eksistensi sosial.
Referensi
Ali, N. (2005). Gerakan anti Korupsi. Suara Karya.
Hakim, L. (2012). Model Integrasi Pendidikan Anti Korupsi Dalam Kurikulum Pendidikan
Islam.
Harto, K. (2014). Pendidikan Anti Korupsi Berbasis Agama. Intizar.
Kamaruddin. (2016). Membangun Kesadaran Dan Ketaatan Hukum Masyarakat Perspektif
Law Enforcement.
Suryani, I. (2013). PENANAMAN NILAI ANTI KORUPSI DI PERGURUAN TINGGI
SEBAGAI UPAYA PREVENTIF PENCEGAHAN KORUPSI. Jurnal Visi
Komunikasi.

Anda mungkin juga menyukai