Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN ETIKA RIMBAWAN BW - 4003

KAJIAN PEMAHAMAN DAN PENERAPAN KONSEP ETIKA


RIMBAWAN PADA LEMBAGA MASYARAKAT DESA HUTAN (LMDH)
DESA JATIMUKTI, KABUPATEN SUMEDANG

Kelompok 4

Kevin Nugraha 11512006

Khansa Fitria 11513028

Aulia M. Tasyarini 11513031

PROGRAM STUDI REKAYASA KEHUTANAN


SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2016
RINGKASAN

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmat-Nya laporan yang berjudul Kajian Pemahaman dan Penerapan
Konsep Etika Rimbawan pada Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Desa
Jatimukti, Kabupaten Sumedang ini dapat penulis selesaikan tepat dengan
waktunya.
Di dalam penyusunan laporan ini, penulis merasa bahwa banyak hambatan yang
penulis hadapi. Namun, berkat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak,
hambatan-hambatan tersebut dapat penulis atasi sedikit demi sedikit. Untuk itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Eka Mulya Alamsyah dan
Bapak Sutrisno sebagai dosen mata kuliah Etika Rimbawan.
Di samping itu, penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sebuah
kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis mohon maaf apabila ada kesalahan-
kesalahan di dalam penulisan laporan ini. Demikian pula halnya penulis juga
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi penyempurnaan
laporan ini untuk selanjutnya dapat menjadi lebih baik dan mempunyai potensi
untuk dikembangkan.
Sebagai akhir kata, dengan selesainya laporan ini, maka seluruh isi laporan ini
sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan seberapapun sederhananya
laporan ini, penulis harapkan mempunyai manfaat bagi semua pihak yang
membaca laporan ini.

Jatinangor, 23 April 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Ringkasan ........................................................................................................... i
Kata Pengantar .................................................................................................. ii
Daftar Isi ............................................................................................................. iii
Daftar Gambar ................................................................................................... iv
Daftar Lampiran ................................................................................................ iv
Bab I Pendahuluan ............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Tujuan ...................................................................................................... 2
Bab II Tinjauan Pustaka .................................................................................... 3
2.1 Masyarakat Sekitar Hutan ........................................................................ 3
2.2 Etika Lingkungan .................................................................................... 4
2.3 Etika Rimbawan ...................................................................................... 6
2.4 Profesi Rimbawan ................................................................................... 6
Bab III Metode Kajian ...................................................................................... 8
3.1 Waktu dan Lokasi ................................................................................... 8
3.2 Metode Kajian .......................................................................................... 8
Bab IV Hasil Dan Pembahasan.......................................................................... 9
4.1 Pengetahuan Mengenai Hutan dan Kehutanan ....................................... 9
4.2 Pengetahuan Mengenai Etika Lingkungan ............................................. 10
4.3 Pengetahuan Mengenai Profesi dan Etika Rimbawan ............................ 10
4.4 Penerapan Etika Rimbawan oleh Profesional Kehutanan ....................... 11
4.5 Saran untuk Rimbawan Agar menjadi Pengayom Masyarakat dan
Lingkungan ............................................................................................. 11
Bab V Kesimpulan ............................................................................................. 12
5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 12
Daftar Pustaka .................................................................................................... 13
Lampiran ............................................................................................................ 14

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Lokasi Wawancara ....................................................................... 8

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Dokumentasi Wawancara .............................................................. 15

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Era pembangunan dewasa yang sangat begitu cepat ini, menjadikan hutan
menempati posisi dan peranan strategis, baik dalam menunjang aspek ekonomi,
sosial, maupun ekologis. Bahkan secara global hutan tropis di Indonesia telah
menjadi tumpuan untuk dapat berfungsi dan erperan lebih untuk meningkatkan
kesejahteraan umat manusia. Karena pada kenyataan hutan bukan hanya
sekumpulan dari pohon atau suatu unsur yang berdiri sendiri secara bebas, tetapi
hutan merupakan suatu sistem yang selalu terkait dengan alam lingkungannya dan
membentuk suatu ekosistem (Hidayat, 2015).
Peran ekonomi kehutanan menjadi semakin substansial karena karakteristik
dunia usahanya yang mampu membangun pusat pusat pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi daerah daerah terpencil di pedalaman. Dengan jumlah
penduduk di Indonesia yang semakin bertambah membuat faktor demografi
penting dalam menentukan arah dan kebijakan pembangunan kehutanan nasional.
Dewasa ini, justru berbagai malpraktek pengelolaan dan pemanfaatan hutan justru
mendominasi dalam praktek pengelolaan hutan. Meningkatnya praktek
perambahan, penebangan liar, penyelundupan kayu, konflik sosial telah
menyebabkan sektor kehutanan mengalami keterpurukan. Kondisi tersebut secara
nyata telah mengancam keberlanjutan peran ekonomi dunia usaha kehutanan serta
kelestarian sumber daya hutan. Hal tersebut menyebabkan perlunya kesadaran
sekaligus kesepahaman para pihak akan sebuah konsep pengelolaan yang akan
mampu mewujudkan kebangkitan kehutanan nasional di masa yang akan datang
(Soendjoto, 2010).
Pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia pada saat ini dilakukan oleh para
rimbawan dimana rimbawan ini diartikan sebagai kelompok yang bekerja bagi
dan untuk mengelola sumberdaya hutan. Berbagai profesi yang termasuk ke dalam
kategori rimbawan adalah pemikir, akademisi, pengelola, pelaksana, serta pelaku
industri dan bisnis, bahkan mereka yang bertindak sebagai pengamat hutan dan
kehutanan. Peran serta rimbawan dalam perspektif pengelolaan sumberdaya hutan

1
tidak terlepas dari sistem nilai yang dianut serta budaya kerjanya. Menurut
Haeruman (2005), budaya kerja yang dimiliki rimbawan diharapkan dapat
membentuk etika kerja dalam pembangunan kehutanan yang amat penting.
Kaidah dasar budaya perlu didukung untuk membentuk etika kerja dalam
paradigma pengelolaan hutan lestari seperti memberikan perhatian utama pada
tata nilai masyarakat, bangsa, dan negara yang menjadi subjek memberikan
perhatian penuh dan lebih besar kepada kepentingan hutan lestari dan masyarakat
yang terkait.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa, perlu adanya
pemahaman tersendiri oleh masyarakat sekitar hutan mengenai profesi rimbawan
dalam menjalankan fungsi kelestarian hutan dan lingkungan.

1.2 Tujuan
1. Menganalisis pengetahuan masyarakat Desa Jatimukti tentang hutan dan
kehutanan
2. Menganalisis pengetahuan masyarakat Desa Jatimukti tentang etika
lingkungan
3. Menganalisis pengetahuan masyarakat Desa Jatimukti tentang profesi dan
etika rimbawan
4. Menganalisis penerapan etika rimbawan oleh para profesional kehutanan di
Desa Jatimukti
5. Mengetahui saran untuk rimbawan agar menjadi pengayom masyarakat dan
lingkungan di Desa Jatimukti

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Masyarakat Sekitar Hutan


Masyarakat secara entimologi berasal dari bahasa Arab dengan akar kata
Syaraka yang berarti ikut serta atau berperan serta. Sedangkan dalam bahasa
Inggris di sebut dengan Society yang berasal dari bahasa latin Socius yang berarti
kawan. Soekanto (2006) mendefinisikan masyarakat sebagai suatu kehidupan
umat manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat istiadat tertentu yang
sifatnya berkesinambungan dan terkait oleh satu rasa identitas bersama.
Masyarakat sekitar hutan adalah masyarakat yang tinggal di sekitar hutan
baik yang memanfaatkan hasil hutan tersebut secara langsung maupun tidak
langsung. Banyak sekali masyarakat Indonesia meskipun jumlahnya tidak
diketahui secara pasti tinggal di dalam atau atau dipinggir hutan yang hidupnya
bergantung kepada hutan. Pada pertengahan tahun 2000, Departemen Kehutanan
menyebutkan bahwa 30 juta penduduk secara langsung mengandalkan hidupnya
pada sektor kehutanan meskipun tingkat ketergantungannya tidak didefinisikan.
Sebagian besar masyarakat hutan hidup dengan berbagai strategi ekonomi
tradisional, yakni menggabungkan perladangan dengan berburu, dan
mengumpulkan hasil hutan seperti kayu, rotan, madu dan hasil hutan lainnya.
Masyarakat sekitar hutan sebenarnya memiliki potensi tinggi apabila
diberdayakan, tetapi dalam hal ini masyarakat harus dilibatkan dalam pengelolaan
hutan. Peningkatan pendapatan masyarakat sekitar hutan harus mempunyai
prioritas utama dalam suatu pengelolaan hutan (Arief, 2001). Keberadaan
masyarakat di sekitar hutan secara langsung menimbulkan keinginan dan motivasi
untuk pemanfatan hutan tersebut. Timbulnya keinginan motivasi tersebut dipicu
oleh kesadaran masyarakat disamping faktor sosial, ekonomi, budaya, adat
istiadat, pendidikan, dan perilaku masyarakat (Kartasapoetra, 1987).
Pengelolaan ataupun pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan oleh
masyarakat memang selayaknya diakui ada nilai positif dan negatifnya. Nilai
positif yang didapat dari sumber daya alam untuk masyarakat lokal tentu saja
adalah terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari baik dari hasil pertanian,

3
perkebunan atau pun dari hasil hutan. Sedangkan dampak negatifnya bila
pengelolaan atau pemanfaatan sumber daya alam atau ekosistem seperti punahnya
fauna, tanah gundul, tanah longsor, dan juga padang alang-alang (Awang dkk.,
2000).
Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, sesungguhnya dapat menjadi pilar
bagi terciptanya pengelolaan hutan secara lestari. Perilaku mereka merupakan
perilaku yang paling kruisal dalam berinteraksi dengan hutan akan mengarah pada
terciptanya pengeksploitasian dan pemanfaatan hutan secara tidak bertanggung
jawab yang berujung pada kerusakakn hutan yang pada akhirnya juga akan
berdampak buruk terhadap kehidupan mereka sendiri (Dephutbun, 1999).
Berdasarkan pasal 69 dan 70 Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan, disebutkan bahwa masyarakat berkewajiban ikut serta dalam menjaga
hutan dari gangguan perusakan, berperan aktif dalam rehabilitasi, turut berperan
serta dalam pembangunan kehutanan dan pemerintah wajib mendorong peran
serta masyarakat yang terkait langsung dengan berbagai upaya dalam rangka
penyelamatan maupun pemanfaatan hutan dan lahan, sehingga lestari dan
berkesinambungan.
Dasar hukum penting lainnya bagi peran serta atau partisipasi masyarakat
diakomodir dalam intruksi Mentari Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001, tentang
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (Community based forest management)
yang ditekankan untuk mempromosikan peran serta masyarakat lokal dalam
pengelolaan hutan.

2.2 Etika Lingkungan


Teori-teori yang ada dalam etika lingkungan hidup, antara lain:
a. Teori Antroposentrisme
Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan hidup yang memandang
manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta.Antroposentrisme juga
merupakan teori filsafat yang mengatakan bahwa nilai dan prinsip moral hanya
berlaku bagi manusiadan bahwa kebutuhan dan kepentingan manusia mempunyai
nilai paling tinggi dan paling penting.Bagi teori ini, etika hanya berlaku pada
manusia.Maka, segala tuntutan mengenai perlunya kewajiban dan tanggung jawab

4
moral manusia terhadap lingkungan hidup dianggap sebagai tuntutan yang
berlebihan, tidak relevan, dan tidak pada tempatnya (Keraf, 2010).
b. Teori Biosentrisme
Menurut Albert Schweitzer dalam buku A. Sonny Keraf, etika biosentrisme
bersumber pada kesadaran bahwa kehidupan adalah hal sacral.Kesadaran ini
mendorong manusia untuk selalu berusaha mempertahankan kehidupan dan
memperlakukan kehidupan dengan sikap hormat. Bagi Albert Szhweitzer, orang
yang benar-benar bermoral adalah orang yang tunduk pada dorongan untuk
membantu semua kehidupan, ketika ia sendiri mampu membantu danmenghindari
apapun yang membahayakan kehidupan (Keraf, 2010).
Etika biosentrisme didasarkan pada hubungan yang khas antara manusia dan
alam, dan nilai yang ada pada alam itu sendiri.Alam dan seluruh isinya
mempunyai harkat dan nilai di tengah dan dalam komunitas kehidupan di
bumi.Alam mempunyai nilai karena ada kehidupan di dalamnya.Terlepas dari
apapun kewajiban dan tanggung jawab moral yang manusia miliki terhadap
sesama manusia, manusia mempunyai kewajiban dan tanggung jawab moral
terhadap semua makhluk di bumi ini demi kepentingan manusia (Keraf, 2010).
c. Teori Ekosentrisme
Teori ekosentrisme menawarkan pemahaman yang semakin memadai tentang
ingkungan.Kepedulian moral diperluas sehingga mencakup komunitas ekologis
seluruhnya, baik yang hidup maupun tidak.Ekosentrisme semakin diperluas dalam
deep ecology dan ecosophy yang sangat menggugah pemahaman manusia tentang
kepentingan seluruh komunitas ekologis.Deep ecology menuntut suatu etika baru
yang tidak berpusat pada manusia, melainkan berpusat pada keseluruhan
kehidupan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup (Gea dan
Antonina, 2005).
Paham ekosentrisme semakin diperluas dan diperdalam melalui teori deep
ecology yang menyebut dasar dari filosofi Arne Naess tentang lingkungan hidup
sebagai ecosophy, yakni kearifan mengatur hidup selaras dengan alam. Dengan
demikian, manusia dengan kesadaran penuh diminta untuk membangun suatu
kearifan budi dan kehendak untuk hidup dalam keterkaitan dan kesaling

5
tergantungan satu sama lain dengan seluruh isi alam semesta sebagai suatu gaya
hidup yang semakin selaras dengan alam (Gea dan Antonina, 2005).

2.3 Etika Rimbawan


Mengupas definisi rimbawan, sangatlah luas dimensi yang tercakup di
dalamnya. Membicarakan rimbawan, adalah berbicara mengenai orang yang
bertanggung jawab mengelola sumberdaya alam. Rimba atau hutan adalah induk
pembahasan masalah sumberdaya lahan. Bukankah lahan pertanian berasal dari
hutan yang dibuka, dibersihkan lalu ditanami.
Semua kegiatan pengelolaan lahan bermula dari hutan. Maka pembahasan
mengenai definisi, peran dan tanggung jawab rimbawan mengacu pada perspekstif
pelestarian alam. Jadi, rimbawan bukan sekedar profesi dengan syarat
menyandang gelar tertentu, tetapi semua pihak yang bertanggung jawab atas
pengelolaan alam ini khususnya hutan. Sungguh mulia sorang rimbawan.
Etika rimbawan bisa dimaknai dengan prinsip, sikap dan tindakan yang
menunjukkan rasa peduli dan tanggung jawab terhadap pelestarian alam. Prinsip
seorang rimbawan hendaknya selalu kokoh, tegas dan berkomitmen kuat untuk
menjadikan hutan lestari dan bermanfaat untuk kemakmuran semua manusia.
Dengan berprinsip seperti itu, maka sikap yang muncul dari seorang rimbawan
adalah peduli, jujur, loyal, berhati-hati, teliti, kritis, bersahabat, dekat dengan alam
dan sederhana. Sehingga tindakan yang mucul adalah tindakan yang mulia laksana
seorang manusia yang diberikan mandat langsung oleh Tuhannya untuk menjadi
pengelola alam ini (khalifah).
Dengan memahami prinsip, sikap dan perilaku rimbawan, maka segala
perilaku yang menyimpang dari perbuatan mulia maka bisa dikatakan telah
melanggar etika kerimbawanan. Meskipun tidak ada sanksi dan peringatan apa
pun dari kumpulan organisasi rimbawan, maka sanksi dan hukuman paling tidak
akan datang dari Tuhan (Prasetio, 2012).

2.4 Profesi Rimbawan


Rimbawan (Rimba= Hutan) merupakan sebutan bagi seseorang yang
memiliki profesi kehutanan. Rimbawan (Inggris: Forester) adalah seseorang yang
professional. Ia menguasai dan memahami ilmu pengetahuan dan teknologi yang

6
diperlukan dalam profesi kehutanan kepada rimbawan yang profesional biasanya
diberikan surat keterangan dalam bentuk surat izin (untuk status licensed),
sertifikat (untuk status certivied) atau surat keterangan terdaftar (untuk status
registered), yang menyatakan kemampuan dan pendidikan khusus yang
dimilikinya pemberian surat keterangan ini biasanya dilakukan oleh pemerintah
atau lembaga sertifikasi lainnya, biasanya organisasi profesi, misalnya Societ of
American Forester (SAF) di Amerika Serikat (Helms, 1998) pengakuan
masyarakat calon pengguna tenaga kerja surat keterangan yang diberikan oleh
lembaga sertifikasi tertentu tergantung pada kehandalan dan kredibilitas lembaga
tersebut. Konsumen (pengguna) tenaga kerja secara bebas memilih lembaga
sertifikasi mana yang akan dipergunakan sebagai referensinya. Jadi tidak ada
keharusan untuk hanya menggunakan hasil sertifikasi dari lembaga sertifikasi
tertentu saja.
Di Indonesia pada saat ini belum ada program sertifikasi untuk tenaga
kehutanan profesional (Rimbawan Profesional), tetapi dimasa yang akan datang
program ini harus dilakukan. Tujuannya adalah untuk menjamin diperolehnya
hasil pekerjaan yang berkualitas sesuai dengan syarat-syarat yang dikehendaki,
tersediannya pekerjaan-pekerjaan bagi tenaga kerja yang berkualitas dan
terbebasnya masyarakat dari kemungkinan terjadinya praktek-praktek yang tidak
memenuhi standar keprofesionalan (mal praktek).
Pada beberapa negara maju sertikasi tenaga kehutanan telah lama dilakukan.
Di Kanada seorang rimbawan telah lulus saringan dan ujian-ujian yang
disyaratkan dan di nyatakan sebagai rimbawan profesional.

7
BAB III

METODE KAJIAN

3.1 Waktu dan Lokasi


Wawancara dilaksanakan pada 16 April, Pukul 10.00 Selesai. Wawancara
dilaksanakan di Desa Jatimukti, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.

Gambar 3.1 Lokasi Wawancara

3.2 Metode Kajian


Kajian mengenai pemahaman dan penerapan konsep etika rimbawan ini
dilakukan dengan cara mewawancarai nararumber, Bapak Memed Cahmad (62
Tahun) selaku Kepala Persatuan Kelompok Tani (Gapoktan) di Desa Jatimukti.
Adapun konten dari wawancara tersebut adalah mengenai beberapa hal, yaitu
pengetahuan masyarakat Desa Jatimukti tentang hutan dan kehutanan, etika
lingkungan, profesi dan etika rimbawan, penerapan etika rimbawan yang telah
dilakukan oleh profesional kehutanan, serta saran untuk rimbawan agar menjadi
pengayom masyarakat dan lingkungan. Kemudian, hasil wawancara oleh
narasumber di catat pada buku catatan.

8
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan kegiatan yang kami lakukan, kami melakukan wawancara


kepada Pak Memed Cahmad (62 tahun), pekerjaan beliau yaitu petani sekaligus
menjabat sebagai Kepala Persatuan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Jatimukti
yang beralamat jalan Sirah dusun sirah citagulun rt 002/002 Desa Jatimukti. Hasil
dari wawancara kami sebagai berikut

4.1 Pengetahuan Mengenai Hutan dan Kehutanan


Sebelum menjadi kawasan hutan lindung dulunya gunung geulis yang
menaungi beberapa kecamatan dan 8 desa itu adalah kawasan hutan rakyat.
Terdapat beberapa jenis bamboo dan kayu yang di tanam di areal gunung geulis.
Di desa Jatimukti terdapat asosiasi LMDH yang bernama GAPOKTAN
(Gabungan Kelompok Tani Desa Hutan), kelompok inilah yang mengelola hutan
kawasan gunung geulis. Areal gunung geulis ini pada tahun 2000-2001 pernah
mendapatkan program dari China untuk penanaman sayuran dan kayu
agroforestry. Pada tahun 2003 pernah ada program penghijauan untuk areal
gunung geulis yang sempat masuk kawasan REDD.
Jenis tanaman yang di tanam yaitu berupa kayu dengan species jabon,
gmelina, surian, tisuk,dan mahoni. Kelima tanaman tersebut di pilih karena
dinilai paling cocok untuk tanah dan lingkungan yang ada di gunung geulis.
Selain ke-5 tanaman kayu tersebut ada juga tanaman pendamping yang di tanam
seperti kopi, jengkol dan alpukat. Namun tidak dikembangkan lagi secara baik
karena kurangnya rasa ketertarikan dari masyarakat sekitar pada masa itu. Jadi
petani desa hutan bearlih menanam tembakau demi menyambung
keberlangsungan hidup. Tetapi lambat laun nilai ekonomis tembakau menurun
membuat banyak kelompok tani atau gapoktan yang memberhentikan penanaman
tembakau. Petani yang memiliki lahan dan gapoktan berkerjasama mencoba
menanami lahan dengan sayuran, cabai, tomat dan jagung, ditambah dukungan
penyuluhan dari dinas setempat. Selain itu, ada juga yang menanam padi karena
hasil hutan kayu yang dirasa tidak memadai karena nilai harga saat itu belum di
rasa cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.

9
Keluarnya peraturan pemerintah no.525 tahun 2003 yang berisikan larangan
penanaman liar menjadi sebuah peringatan untuk petani hutan di areal gunung
geulis serta PP tersebut berhasil menghentikan kegiatan bertani sebagian besar
masyarakat gunung geulis. Dengan adannya surat edaran tersebut masyarakat desa
hutan yang terdiri dari 1138 kepala keluarga dari 8 desa mengajukan peralihan
profesi kepada pemerintah dengan cara menjadi penggembala domba dan
meminta bantuan sekitar 600 ekor domba. Tetapi lagi-lagi di bertahan lama karena
di rasa tidak cocok.
Akhirnya masyarakat desa hutan kembali ke profesi bertani dan menanam
palawija karena dirasa cukup menguntungkan bagi kehidupan mereka. Hambatan
petani yang tidak bisa menanam adalah mereka tidak memeiliki lahan untuk di
garap dan adanya keterbatasan lahan yang dapat di gunakan di kawasan gunung
geulis. Serta sumber daya manusia yang belum memadai. Tapi lambat laun pada
beberapa tahun belakangan ini masyarakat desa hutan mulai menyadari profit
yang besar dari menanam kayu tersebut alhasil banyak yang tertarik untuk
menanam kayu kembali.

4.2 Pengetahuan Mengenai Etika Lingkungan


Warga sekitar desa hutan dirasa belum terlalu cukup mengerti tentang peran
ekosistem dan wawasan lingkungan yang di akibatkan jika mereka menanam
pohon. Karena belum adanya kesadaran yang mendasari hal tersebut kecuali
materi atau semata mata untuk keuntungan pribadi. Sehingga berdasarkan
tingkatan lingkaran etika lingkungan antroposentris, biosentris dan ekosentris,
dapat digolongkan warga desa jatimukti menempati posisi biosentris. Masyarakat
jatimukti memandang hutan sebagai sumberdaya hayati dan dapat dimanfaatkan,
namun dalam pemanfaatannya warga desa masih berada dalam ambang batas atau
berkecukupan sehingga tidak merusak alam lingkungan.

4.3 Pengetahuan Mengenai Profesi dan Etika Rimbawan


Berdasarkan pengertian rimbawan yaitu yang mempunyai profesi pengelolaan
huta atau orang yang selalu memainkan peran dalam kegiatan pengelolaan hutan
kearah kelestarian (Colper, 2009) maka masyarakat desa hutan jatimukti masih
belum memahami entitas rimbawan yang sesungguhnya, padahal mereka sendiri

10
yaitu seorang rimbawan, karena mereka mengelola hutan rakyat dengan
pengetahuan dari silvikultur penyemaian, pemupukan, penjarangan hingga
pemanenan.
Mengenai etika rimbawan, beliau tidak mengetahui namun dengan adanya
etika rimbawan, sepatutnya rimbawan mematuhi kode tsb yang menjadi dasar
rimbawan dalam berkegiatan, sehingga pemeliharaan lingkungan hingga
pengelolaan dengan prinsip yang lestari.

4.4 Penerapan Etika Rimbawan Oleh Profesional Kehutanan


Melalui beliau, masyarakat desa hutan Desa Jatimukti belum pernah
mendapat penyuluhan dari rimbawan atau dinas kehutanan setempat. Pernah
adanya penyuluhan dari lembaga UPTD namun hanya seputar komoditas
pertanian seperti tomat, cabai, dan jagung.
Masyarakat belum meiliki rasa jiwa rimbawan seutuhnya karena belum ada
rasa peduli terhadap hutan dalam pemanfaatannya, hanya melihat hutan sebagai
komoditas kayu padahal banyak manfaat yang bisa di berikan hutan jika hutannya
utuh. Adanya lembaga PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) dan
organisasi yang bergerak di bidang agroforestry.

4.5 Saran Untuk Rimbawan Agar Menjadi Pengayom Masyarakat Dan


Lingkungan
Pak Mamad yang mewakili masyarakat desa hutan jatimukti berharap bahwa
akademisi-akademi di Jawa Barat khususnya Jatinangor sebaiknya memberikan
inovasi-inovasi terbaru yang dapat diterapkan serta penyuluhan kepada para petani
kemudian agar mendatangkan orang orang yang berkepentingan untuk menangani
hutan dan swasembada untuk penyelamatan hutan di areal Gunung Geulis.

11
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber dapat diketahui bahwa
sebagian masyarakat Desa Jatimukti mengetahui mengenai hutan dan
kehutanan hanya sebatas sampai aspek ekonominya saja.
2. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa warga sekitar hutan Desa
Jatimukti ini belum cukup mengerti mengenai peran ekosistem dikarenakan
wawasan lingkungan yang masih terbatas. Sehingga berdasarkan etika
lingkungan antroposentris, biosentris, dan ekosentris masyarakat Desa
Jatimukti ini tergolong biosentris karena warga Desa Jatimukti memandang
hutan sebagai sumberdaya hayati dan dapat dimanfaatkan, namun dalam
pemanfaatannya warda desa masih berada dalam kategori cukup sehingga
tidak merusak lingkungan.
3. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa masyarakat Desa Jatimukti
belum memahami arti dari rimbawan.
4. Menurut narasumber masyarakat desa hutan Desa Jatimukti ini belum pernah
mendapatkan penyuluhan dari rimbawan atau dinas kehutanan setempat.
5. Memberikan inovasi inovasi terbaru yang dapat diterapkan serta
penyuluhan kepada para petani, mendatangkan orang orang yang
berkepentingan untuk menangani hutan, dan melakukan swasembada untuk
penyelamatan hutan di areal Gunung Geulis.

12
DAFTAR PUSTAKA

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2000. Pedoman Pemberian Izin Usaha


Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman. Keputusan Menteri
Kehutanan No. 10.1/Kpts-II/2000.
Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta: Kanisius.
Awang, San Afri, dkk (ed). 2000. Kelembagaan Kehutanan Masyarakat Belajar
Dari Pengalaman. Yogyakarta: Aditya Media.
Carol J. Pierce Colper. 2009. Desentralisasi Kehutanan. Penerbit : Center For
Internasi.
Dephutbun. 1999. Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan Melalui Pola
Hutan Kemasyarakatan. Jakarta: Departemen Kehutanan dan Perkebunan.
Gea, Atosokhi dan Antonina Panca Yuni Wulandari. 2005. Relasi dengan Dunia.
Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Hal 58 59.
Haeruman Js, H, 2005. Paradigma Pengelolaan untuk Menyelamatkan Hutan
Indonesia: Membangun Etika Pengelolaan Hutan Lestari, Jurnal. Bogor:
Fakultas Kehutanan IPB.
Helms, J.A. (ed.). 1998. The Dictionary of Forestry. The American Foresters, The
CABI Publ. Bethesda. Amerika Serikat.
Hidayat, Herman. 2015. Pengelolaan Hutan Lestari: Partisipasi, dan Konflik.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Kartasapoetra. 1987. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Jakarta: Rineka Cipta.
Keraf, A. Sonny. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara. Hal 47 48.
Prasetio, Yedi. 2012. Etika Rimbawan. Jurusan Kehutanan, Fakultas Kehutanan.
Palu: Universitas Tadulako.
Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Soendjoto, M.A dan A. Kurnain. 2010. Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam
Perspektif Kesejahteraan dan Keberlanjutan. Banjarmasin: Universitas
Lambung Mangkurat Press.

13
LAMPIRAN

14

Anda mungkin juga menyukai