Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

POTENSI DAN PERMASALAHAN PEMBANGUNAN PERTANIAN


LAHAN KERING DI PROVINSI NTT DAN KEBUTUHAN
TEKNOLOGI

DISUSUN OLEH:

NAMA: - AYU SENSI LENAMA 2113020023

- BERNARDINO REALINO PODHI 2113020057


- CAROLINA DEVISTA OCTAVIANY 2113020025
- CHRISTIN MISSA 2113020027
- GERVANO DARMAN JAYA 2113020033

KELAS/PRODI: A/MSP

UNIVERSITAS NUSA CENDANA


FAKULTAS KELAUTAN-PERIKANAN
2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas berkatnya
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Potensi dan permasalahan
pembangunan pertanian lahan kering di provinsi NTT dan kebutuhan.”tepat pada
waktunya.Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah BLKKP.

Penulis menyadari bawha makalah ini jauh dari kata sempurna oleh karena itu sangat di
butuhkan kritikan dan saran dari teman- teman yang bersifat membangun demi untuk
menyempurnakan makalah ini.

Kupang, 27 januari 2022

Penulis

DAFTAR ISI

1
KATA PENGANTAR 1

DAFTAR ISI 2

BAB 1 PENDAHULUAN 3

1.1. LATAR BELAKANG 3

1.2. RUMUSAN MASALAH 4

1.3. TUJUAN 4

BAB 2 ISI 5

2.1. KONSEP PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN 5

2.2. PERMASALAHAN PERTANIAN LAHAN KERING BERIKLIM DI 7


NTT

2.3. KEBUTUHAN IPTEK UNTUK PENGELOLAAN LAHAN KERING 7


BERIKLIM KERING

BAB 3 PENUTUP 20

3.1 KESIMPULAN 20

3.2. SARAN 20

DAFTAR PUSTAKA 21

BAB 1 PENDAHULUAN

2
1.1. LATAR BELAKANG

Lahan kering beriklim kering adalah hamparan lahan yang tidak tergenang air
pada sebagian besar waktu dalam setahun dan berada di daerah iklim kering.
Menurut Dedi, Indonesia memiliki lahan kering iklim kering seluas 7,7 juta ha.
Umumnya lahan ini memiliki C-organik tanah rendah, pH tinggi, dan kekurangan
hara NPK dan hara mikro tanah.
Kekeringan sudah menjadi keseharian saat musim kemarau di Nusa Tenggara
Timur (NTT). Dengan proporsi luasan < 10% dari total luas lahan kering di
Indonesia, lahan kering beriklim kering (LKIK) di NTT telah mampu
berkontribusi dalam menghasilkan produk pangan utama. Provinsi NTT
menempati peringkat ke enam pada tingkat nasional sebagai penghasil jagung.
Peluang peningkatan produksi masih terbuka, karena rata-rata produktivitas
aktual yang dicapai masih jauh di bawah potensinya. Optimalisasi LKIK
dilakukan dengan menanggulangi faktor pembatas utama, yaitu penyediaan air,
namun aspek lainnya seperti konservasi tanah, pengelolaan hara, dan pemulihan
kualitas tanah juga harus diprioritaskan. 
Sistem pertanian konservasi dapat meningkatkan produktivitas lahan kering
terutama lahan kering iklim kering. Sistem ini memadukan pengelolaan bahan
organik, tanah, dan tanaman yang bertujuan meningkatkan produktivitas tanah
secara berkelanjutan..
Prinsip pertanian konservasi meliputi olah tanah minimum dan pengelolaan
bahan organik. Misalnya dengan penutupan permukaan tanah dengan mulsa
organik atau sisa tanaman dan rotasi atau tumpangsari tanaman utama dengan
tanaman leguminoseae atau kacang-kacangan. 
Lahan kering iklim kering juga relatif memiliki pH netral sehingga unsur hara
mudah tersedia bila dipasok dari luar. "Kesulitannya hanya air, tapi dengan
kemajuan teknologi di masa depan maka air bukan masalah," kata Syahroni.
Dengan kehadiran air, maka cadangan hara dalam tanah dapat larut sehingga
tersedia bagi tanaman.

1.2. RUMUSAN MASALAH

3
1) Bagaimana konsep pembangunan pertanian berkelanjutan?
2) Apa saja permasalahan pertanian lahan kering beriklim di NTT?
3) Bagaimana kebutuhan IPTEK untuk pengelolaan lahan kering beriklim
kering?

1.3. TUJUAN
1) Untuk mengetahui konsep pembangunan pertanian berkelanjutan.
2) Untuk mengetahui permasalahan pertanian lahan kering beriklim di NTT.
3) Untuk mengetahui kebutuhan IPTEK untuk pengelolaan lahan kering beriklim
kering.

4
BAB 2 ISI

2.1. KONSEP PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN


Sektor Pertanian di NTT sampai dengan saat ini masih menjadi Leading
Sector (sector andalan), oleh karena itu “Pembangunan Pertanian
Berkelanjutan” yang bertumpu pada potensi lahan kering beriklim kering
perlu mendapat perhatian mengingat sebagiannya merupakan lahan kritis dengan
berbagai masalah dan hambatan. Pembangunan berkelanjutan menurut Turner et
al. (1993), secara operasional didefinisikan sebagai upaya memaksimalkan
manfaat bersih pembangunan ekonomi dengan syarat dapat mempertahankan dan
meningkatkan baik jasa, kualitas maupun kuantitas SDA sepanjang
waktu. Dalam konteks “Pertanian Berkelanjutan”, The Agricultural
Research Service (USDA) mendefinisikan Pertanian Berkelanjutan
sebagai pertanian yang pada waktu mendatang dapat bersaing, produktif,
meguntungkan, mengkonservasi SDA, melindungi lingkungan, dan
meningkatkan kesehatan, kualitas pangan serta keselamatan. Sedangkan
Technical Advisory Committee of the CGIAR (TAC/CGIAR, 1988)
menyatakan bahwa “Pertanian Berkelanjutan” adalah pengelolaan
sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan
manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas
lingkungan dan melestarikan SDA.

Berdasarkan beberapa konsep tentang “Pertanian Berkelanjutan” tersebut,


dapat disimpulkan bahwa “Pertanian Berkelanjutan” adalah suatu konsep
pemikiran masa depan atau pertanian yang berlanjut untuk masa saat ini, saat
yang akan datang dan selamanya. Artinya, pertanian tetap ada dan bermanfaat
bagi semuanya dan tidak menimbulkan bencana bagi semuanya. Dengan kata
lain, pertanian yang bisa dilaksanakan saat ini, saat yang akan datang dan
menjadi warisan yang berharga bagi anak cucu kita. Oleh karena itu,
Pembangunan di Sektor Pertanian, Kehutanan, Perkebunan, Peternakan dan
Perikanan harus mampu mengkonservasi tanah, air, tanaman, sumber genetik
binatang, tidak merusak lingkungan, secara teknis dapat diterapkan petani,
secara ekonomis menguntungkan, dan secara sosial dapat diterima dan secara

5
ekologis tidak merusak lingkungan. Adapun ciri-ciri “Pertanian Berkelanjutan”
adalah:

a) Mantap secara ekologis, yang berarti kualitas SDA dipertahankan dan


kemampuan agroekosistem secara keseluruhan (dari manusia,
tanaman, hewan sampai organisme tanah) ditingkatkan.
b) Secara ekonomis dapat berlanjut, yang berarti petani mendapat
penghasilan yang dapat mencukupi kebutuhan sesuai dengan tenaga
dan biaya yang dikeluarkan dan dapat melestarikan SDA dan
meninimalisasikan risiko.
c) Adil, yang berarti sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan
sedemikian rupa sehingga keperluan dasar semua anggota masyarakat
dapat terpenuhi dan begitu juga hak mereka dalam penggunaan lahan
dan modal yang memadai serta bantuan teknis terjamin.
d) Manusiawi, yang berarti bahwa martabat dasar semua mahluk
hidup (manusia, tanaman dan hewan) dihargai dan
menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar (kepercayaan,
kejujuran, harga diri, kerjasama dan rasa sayang), termasuk menjaga dan
memelihara integritas budaya spiritual masyarakat.
e) Luwes, yang berarti masyarakat desa memiliki kemampuan
menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usahatani yang berlangsung
terus, misalnya populasi yang bertambah, kebijakan, permintaan pasar dll.

Potensi Pertanian Lahan Kering Beriklim Kering di NTT

Pengembangan pertanian lahan kering di Indonesia masih memiliki


prospek yang baik karena belum dikelola secara optimal dan luasnya
mencapai 28,8 juta hektar (8% luas wilayah dan 1,5 % luas lahan
pertanian), dengan penyebaran sebagai berikut:

1. Sumatra, 10,8 juta ha.


2. Kalimantan, 10,9 juta ha.
3. Sulawesi, 1,3 juta ha.
4. Papua, 5,7 juta ha.
5. Nusa Tenggara Timur, 92, 93 % dari total wilayah.

6
Lahan kering di NTT tersebar di Pulau Timor, Sumba dan Flores.
Potensi lahan kering yang ada di NTT berbeda menurut pulau atau sub
wilayah, yang ditentukan oleh kondidi fisik, biologi dan kondisi sosialnya.

2.2. PERMASALAHAN PERTANIAN LAHAN KERING BERIKLIM DI NTT

Permasalahan yang dihadapi usaha pertanian di lahan kering beriklim kering


sangat kompleks yang berakibat rendahnya produktifitas. Beberapa
permasalahan yang dihadapi, antara lain:
a. Keterbatasan air.
b. Degradasi lahan akibat erosi.
c. Tingkat kesuburan tanah rendah.
d. Infrastruktur ekonomi tidak sebaik di daerah beriklim basah.
e. Lahan kering umumnya tersebar di daerah lereng dan perbukitan dengan
potensi erosi tinggi sehingga mengakibatkan degradasi kesuburan lahan.
f. Kondisi biofisik lahan kering tidak sebaik lahan sawah.
g. Petaninya umumnya miskin dan seringkali mengabaikan penerapan teknik
konservasi lahan secara berkelanjutan dalam usaha taninya.
h. Kualitas lahan dan penerapan teknolog terbatas, menyebabkan variabilitas
produksi pertanian relatif tinggi.
i. Persaingan dengan gulma.
j. Serangan hama.

7
k. Penggunaan jenis-jenis tanaman lokal dengan produksi rendah

2.3. KEBUTUHAN IPTEK UNTUK PENGELOLAAN LAHAN KERING


BERIKLIM KERING
Mengingat permasalahan yang dihadapi usaha pertanian lahan kering beriklim
kering sangat kompleks maka untuk pengelolaannya diperlukan keterpaduan
dalam penerapan IPTEK yang dapat menjawab beberapa kebutuhan sebagai
berikut:

a. Kebutuhan jenis-jenis tanaman yang tahan kekeringan dan karakteristiknya.


Air memiliki arti sangat penting bagi tumbuhan dan hewan karena 80-
95% tubuhnya terdiri atas air. Selain itu, air diperlukan untuk
melarutkan dan mengangkut unsur-unsur hara tanaman atau nutrisi. Berbagai
reaksi kimia dalam tubuh tanaman dan hewan hanya dapat berlangsung jika
terdapat air yang cukup.
Ketahanan terhadap kekeringan pada tumbuhan karena tumbuhan
memiliki sifat-sifat morfologi, anatomi dan fisiologi tertentu. Tumbuhan yang
tahan kering memiliki karakteristik:

Sistem perakaranya dalam dan luas (contohnya asam dan cendana). Dalam
penelitian Nuningsih, dkk. (1994) ditemukan ada akar pohon cendana yang
tumbuh di lahan dengan kelerengan rata-rata 49,22% sehingga akarnya yang
dapat dilihat di permukaan tanah, panjangnya mencapai 22 m dari batangnya.
Panjang akar tersebut belum termasuk yang masuk ke dalam tanah kembali.
Daun relatif sempit, sering dengan tepi berlekuk dalam (contohnya beberapa
jenis tanaman rumput).
Sel-selnya kecil, daun dan batangnya berdaging tebal (contohnya cocor bebek,
anggrek).
Memiliki banyak berkas pembuluh dan tulang daun (contohnya tanaman
kacang nasi).
Sel endodermis pada akarnya mengandung Silika (contohnya sorghum).
Berbulu atau berambut banyak (contohnya tanaman buah naga).
Mulut daun rapat dan sering menutup bahkan ada yang terdapat dalam
lekukan (kriptofor)

8
Ada yang memiliki sel kipas yang menyebabkan daun dapat menggulung
untuk mengurangi penguapan yang terlalu kuat (contohnya tanaman ubi
kayu).

b. Kebutuhan teknologi pengelolaan hara pada lahan keting


Sekalipun menggunakan bibit unggul dan ditanam pada lingkungan dengan
agroklimat yang sesuai, pertumbuhan tanaman tidak akan berlangsung optimal
jika struktur tanahnya tidak mendukung. Hal ini karena tanah bukan sekedar
sebagai tempat tanaman berdiri, tapi merupakan media penyedia nutrisi yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Media tanam yang
baik bagi tanaman adalah, mampu menyediakan unsur-unsur hara secara
lengkap. Apabila tidak dapat menyediakan unsur hara yang lengkap dan cukup
maka tanah dikatakan tidak subur. Kondisi ini sama dengan manusia yang
kurang gizi, sehingga mudah terserang penyakit dan tidak dapat melakukan
pekerjaan secara produktif.

Paling tidak, ada 16 unsur yang dibutuhkan tanaman yaitu C, H, O, N. S, P, K,


Ca, Mg, Bo, Mo, Cu, Mn, Fe, Zn, Cl. Unsur-unsur tersebut diperoleh tanaman
dari 3 (tiga) sumber, yaitu: (a) udara (C dalam bentuk CO 2, O2, dan H dalam
bentuk gas H2O), (b) air (H dan O2), dan (c) tanah. Unsur C, H, dan O
ketersediaannya di alam berlimpah sehingga jarang dipermasalahkan. Lain
halnya dengan 13 unsur yang lain, ketersediaannya di tanah sangat terbatas. Dari
ke-13 unsur tersebut, ada 6 unsur yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak
yaitu N, P, K, Ca, S dan Mg oleh sebab itu disebut “unsur makro”. Bahkan N,
P, dan K disebut sebagai “hara pokok” karena mutlak dibutuhkan tanaman
untuk tumbuh. Tujuh unsur lainnya Bo, Mo Cu, Mn, Fe, Zn dan Cl dikenal
sebagai “unsur hara mikro”. Sementara Ca, S dan Mg dikenal sebagai unsur hara
penunjang.

Dalam melaksanakan usaha pertanian terkait dengan pemupukaan adalah,


bagaimana menentukan unsur hara yang paling membatasi pertumbuhan
tanaman dan seberapa banyak yang dibutuhkan? Cara terbaik untuk
menentukan unsur-unsur hara yang paling membatasi, dan berapa banyak

9
pupuk yang dibutuhkan adalah dengan melakukan analisa tanah, analisa
tanaman dan percobaan lapang. Tiga faktor yang perlu diperhatikan dalam
menentukan kebutuhan hara tanaman adalah tingkat kesuburan dan sifat-sifat
tanah, tanaman yang akan ditanam, dan tingkat hasil yang diharapkan.

Tingkat kesuburan dan sifat-sifat tanah. Pada tanah yang sangat subur
tanaman dapat menyerap lebih banyak unsur-unsur hara dari tanah, baik hara
tanah asli maupun hara yang ditambahkan dalam bentuk pupuk, melebihi dari
yang diperlukan untuk menentukan hasil. Kelebihan unsur hara yang diambil
oleh tanaman yang tidak meningkatkan hasil tersebut dinamakan “komsumsi
berlebihan” (luxury comsumtion) yang kadang- kadang terjadi untuk unsur hara
K. Juga kehilangan unsur hara melalui pencucian sangat besar pada tanah-tanah
yang bertekstur kasar dan daya serapnya rendah.
Tanaman yang akan ditanam. Kebutuhan hara juga tergantung pada jenis dan
varietas tanaman yang akan ditanam dan bagian tanaman yang dipanen. Tanaman
ubi-ubian, legum atau biji-bijian, daun atau buahnya masing-masing
mempunyai kebutuhan hara yang berbeda. Bahkan jenis tanaman yang sama
tetapi berbeda varietasnya juga mempunyai kebutuhan hara yang berbeda.
Tingkat hasil yang diharapkan. Tanaman membutuhkan lebih banyak unsur-
unsur hara untuk menghasilkan produksi yang lebih tinggi. Hal ini berarti bahwa
lebih banyak unsur-unsur hara yang perlu disediakan dan diambil dari dalam
tanah untuk diangkut keluar dari lahan pertanian dalam bagian tanaman yang
dipanen. Walapun demikian, jika dilakukan pengelolaan yang baik maka hal
tersebut juga berarti bahwa lebih banyak unsur-unsur hara akan dapat
dikembalikan ke lahan melalui daur ulang sisa tanaman yang juga akan
bertambah banyak sejalan dengan peningkatan hasil.

Difisiensi ganda sering terjadi pada lahan kering, dan untuk memperoleh
hasil yang baik, difisiensi ganda ini harus diatasi mulai dari hara yang
paling membatasi. Pemberian pupuk harus disesuaikan dengan kandungan hara-
hara yang sudah ada di dalam tanah. Jika hara-hara dari pupuk diberikan
dengan perbandingan yang benar maka penggunaan pupuk tersebut dinamakan
“pemupukan berimbang”. Penggunaan pupuk secara seimbang dapat
mengurangi biaya pupuk karena unsur hara yang sudah cukup tidak

10
ditambahkan lagi dalam bentuk pupuk. Sebaliknya pemupukan yang tidak
seimbang dapat menyia-nyiakan pupuk yang tidak diperlukan dan berpengaruh
negatif terhadap pertumbuhan tanaman. Pemberian pupuk N dan K yang
melebihi kebutuhan tanaman sebagian dapat hilang karena pencucian dan
penguapan (khusus N). Hara K yang berlebih dapat meningkatkan serapan K
yang tidak mengakibatkan pertambahan hasil yang semakin meningkat.

Disamping pemberian hara harus seimbang, pengelolaan hara


sebaiknya dilakukan secara terpadu. Pengelolaan hara terpadu adalah
penggunaan yang efisien dari semua jenis dan bentuk sumber unsur-unsur
hara baik organik maupun anorganik yang berasal dari pertanian maupun di luar
lahan pertanian. Tujuannya adalah untuk mengelola suatu sistem pertanian secara
produktif dan berkelanjutan dan dengan biaya yang terendah.

Daur ulang unsur-unsur hara tanaman, dapat dilakukan dengan pengembalian


sisa panen ke lahan pertanian yang bersangkutan. Sisa panen tersebut dapat
menjadi bagian dari bahan organik tanah. Bahan organik ini selanjutnya dapat
berfungsi sebagi simpanan unsur-unsur hara, berperan dalam meningkatkan
kapasitas tanah untuk menahan unsur hara dan air, memperbaiki kesuburan fisik
dan biologi tanah.

c. Kebutuhan teknologi pengendalian erosi pada lahan kering

Subagyo et. al. (2000) menghitung luas lahan berdasarkan


pengelompokan bentuk relief atau topografi, dengan menggunakan Atlas
Tanah Explorasi Indonesia skala 1 : 1.000.000. sebagai sumber datanya. Kriteria
pengelompokan bentuk topografi tersebut disajikan pada tabel berikut.

PERBEDAAN
TOPOGRAFI LERENG (%)
KETINGGIAN (M)

Datar 0–3 <2

11
Datar agak berombak 3–8 2 – 10

Berombak agak berombak 8 – 15 10 – 50

Berbukit 15 – 30 50 – 300

Bergunung >30 > 300

Sumber: Subagyo et al., 2000

Di semua pulau, lahan berlereng selalu lebih luas dari lahan datar.
Kemiringan lahan dan curah hujan yang tinggi merupakan faktor penting
penyebab tingginya bahaya erosi, kecuali pada penggunaan lahan yang baik,
seperti hutan lebat dan lahan sawah.

Proses erosi adalah proses pemindahan sejumlah besar tanah dari suatu tempat
ke tempat lain oleh media air atau angin. Di daerah beriklim kering dengan
musim hujan yang pendek tapi dengan intensitas curah hujan tinggi, lahan
rentan mengalami erosi. Erosi dikendalikan oleh faktor iklim yaitu curah hujan.
Tumbukan butir hujan menghancurkan agregat tanah sehingga terjadi
penyumbatan pori tanah, sehingga infiltrasi air berkurang yang menyebabkan
terjadinya aliran permukaan. Aliran permukaan selanjutnya tidak hanya
menghanyutkan tanah tetapi juga hara yang terkandung di dalamnya
(peristiwanya disebut leaching). Kehilangan hara akibat erosi dan aliran
permukaan pada lahan kering berlereng menimbulkan degradasi lahan yang
sangat serius. Karena itu tindakan konservasi tanah diperlukan tidak hanya
untuk mengurangi erosi tetapi juga untuk memperbaiki infiltrasi.

Menurut Meyer (1981), upaya pengendalian erosi atau konservasi tanah terdiri
atas:
a. Meredam energi hujan.
b. Meredam daya gerus aliran permukaan.
c. Mengurangi kuantitas aliran permukaan.

12
d. Memperlambat laju aliran permukaan dan memperbaiki sifat-sifat tanah
yang peka erosi.
e. Mencegah longsor.

Upaya pengendalian erosi dimulai dari pemilihan teknik konservasi yang


paling tepat diterapkan pada lahan pertanian, sebab satiap teknik
mempunyai kekurangan dan kelebihannya masing-masing serta mempunyai
persyaratan yang berbeda. Pada lahan usaha tani, perencanaan kandang-
kandang tidak diperlukan lagi karena pemilik atau penggerak lahan telah
menerapkan teknik konservasi tanah tertentu. Yang diperlukan adalah
penyempurnaan teknik konservasi tanah yang telah ada, misalnya
mengatur kembali saluran pembuangan air (SPA) dan menambah komponen
lain yang belum ada.
Pengendalian erosi dapat dilakukan secara mekanis dan vegetative, yang dapat
dijelaskan sebagai berikut:

 Pengendalian Erosi Secara Mekanis, dengan:


Teras bangku. Dari segi teknis, teras bangku merupakan suatu teknik
pengendalian erosi yang efektif. Teras bangku sebaiknya ditanam rumput pada
tampingan dan guludannya untuk memperkuat agar tidak mudah longsor dan
juga pakan sebagai pakan ternak. Saluran pembuangan air perlu dibuat untuk
mengarahkan aliran permukaan agar tidak merusak ketika menuruni lereng.
Penerapan teknik ini membutuhkan waktu lama untuk mampu menjadi efektif.
Penelitian berbagai teknik konservasi tanah pada tanah Tytic Eutropepts di
Ungaran membuktikan bahwa teras bangku dan juga teknik lainnya baru
menjadi efektif setelah 5 tahun. Beberapa penelitian lain membuktikan,
efektifitas teras bangku bertambah dengan penanaman rumput pada bibir
teras. Sejak tahun 1975, teras bangku telah menjadi bagian dari kegiatan
penghijauan setelah dibentuk Inpres Penghijauan (Siswomartono et al., 1990)
karena mendapat subsidi biaya pembuatan dari pemerintah sebesar 50%
(Mangundikoro, 1975). Hal ini mendorong pembutan teras bangku secara besar-
besaran, walaupun teknik ini memerlukan biaya yang tinggi terutama untuk
tenaga kerja. Teras bangku juga mengurangi luas bidang olah. Sukmana, (1995)

13
menghitung berkurangnya luas permukaan lahan karena dibangun teras bangku
pada lahan seluas 1,0 ha.

Teras gulud. Teras gulud merupakan teknik konservasi tanah yang lebih
sederhana dalam pembuatannya dibandingkan dengan teras bangku. Teras
gulud mempunyai guludan, saluran air dan bidang olah. Guludan dapat
diperkuat dengan tanaman konservasi seperti serengan jantan, glirisidia,
lamtoro, rumput gajah, rumput raja, rumput bedeh dan lain-lain. Erosi yang
terjadi pada teras gulud makin berkurang sejalan dengan bertambahnya waktu
sejak penerapan teras gulud. Penelitian membuktikan bahwa pada tanah
latosol, pengurangan dapat mencapai 70% pada tahun ke 2, sedangkan pada
tanah tropudalf mencapai 86% pada tahun ke 2. Komponen teras gulud yang
menyebabkan berkurangnya luas lahan adalah guludan, parid dan SPA.

 Pengendalian Erosi Secara Vegetatif, dapat dilakukan dengan:

Strip Rumput. Rumput ditanam dalam strip searah kontur dengan lebar 0,5 – 1
meter, dengan tujuan untuk menghambat laju aliran permukaan dan erosi
tanah. Rumput yang ditanam adalah pakan ternak yang menghasilkan banyak
bahan hijau dan kualitas yang baik untuk pakan ternak, namun tidak terjadi
persaingan penyerapa zat hara dan pemanfaatan sinar matahari dengan
tanaman semusim. Menurut Abujamin et. Al. (1983), penyusutan bidang olah
tergantung pada kemiringan lereng dan lebar strip rumput. Penelitian di DAS
Citanduy membuktikan bahwa strip rumput dapat diterima oleh petani karena
mudah penerapannya, biaya murah dan dapat meningkatkan pendapatan
petani (Abujmin et al1983)

Mulsa. Mulsa adalah teknik konservasi tanah yang menggunakan bahan


organic berupa sisa-sisa panen tanaman seperti jerami, brangkasan jagung,
kacang tanah dsb. Peranan mulsa dalam KTA adalah:
1. Melindungi tanah dari pukulan langsung dari butir-butir air hujan
sehingga erosi dapat dikurangi dan tanah tidak mudah padat.
2. Mengurangi penguapan (evaporasi).

14
3. Menciptakan kondisi lingkungan dalam tanah yang baik bagi
aktifitas mikrooganisme tanah.
4. Bahan mulsa setelah melapuk akan meningkatkan bahan Plterna tanah.
5. Belum dapat ditekan, dan tanah menjadi gembur.

Efektifitas mulsa dalam mengendalikan erosi tergantung pada jenis


mulsa, kuantitas penutupan permukaan tanah, tebal lapisan mulsa, dan daya
tahan mulsa terhadap dekomposisi. Menurut Suwardjo (1981) bahwa sisa
tanman yang baik untuk dijadikan mulsa adalah yang mengandung lignin tinggi,
seperti jerami padi, sorgum dan batang jagung.

d. Kebutuhan teknologi rehabilitasi dan reklamasi pada lahan kering

Rehabilitas lahan diartikan sebagai upaya pemulihan atau perbaikan lahan


yang telah atau sedang mengalami penurunan produktivitasnya, agar kembali
ke kondisi semula. Kualitas lahan yang dimaksud adalah sifat-sifat fisik, kimia
dan biologi tanah, keragaan tanaman yang tumbuh di atasnya, ketersediaan
air/kelmebaban tanah dan iklim makro. Sedangkan reklamasi lahan diartikan
sebagai upaya pemanfaatan lahan-lahan pertanian yang sudah tidak berfungsi
sebagai faktor produksi menjadi berfungsi kembali (seperti reklamasi tanah
bekas galian tanah, reklamasi lahan sawah yang tercemar limbah pengeboran
minyak bumi, dll).

Degradasi lahan (land degradation) adalah suatu proses


penurunan produktivitas lahan, baik sementara maupun tetap, yang meliputi
berbagai bentuk dan penurunan produktivitas tanah sebagai akibat kegiatan
manusia dalam pemanfaatan tanah dan air, penggundulan hutan dan penurunan
produktivitas padang penggembalaan. Sedangkan degradasi tanah (soil
degradation) adalah suatu proses kemunduran produktivitas tanah yang
disebabkan oleh kegiatan manusia, yang mengakibatkan penurunan
produktivitas tanah pada saat ini dan/atau di masa yang akan datang dalam
mendukung kehidupan makluk hidup (Dent, 1993). Salah satu contoh degradasi
tanah adalah berkurang atau hilangnya sebagian atau seluruh tanah lapisan atas,
menurunnya kadar C-organik dan unsur-unsur hara tanah, serta

15
berubahnya beberapa parameter sifat fisik tanah, seperti struktur tanah, pori
aerasi atau pori drainase cepat menjadi lebih buruk. Akibat lanjut degradasi
tanah adalah hasil pertanaman mengalami penurunan drastis, kualitas fisik dan
kimia tanah menurun, dan pada akhirnya suatu saat lahan tersebut menjadi
tidak produktif atau kritis.

Lahan kritis didefenisikan sebagai lahan yang karena tidak sesuai


penggunaan dan kemampuannya telah mengalami atau dalam proses kerusakan
fisik, kimia, dan biologi, yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologis,
orologis, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi dari
daerah lingkungan pengaruhnya (Mulyadi dan Supratohardjo, 1975).
Menurut depertemen kehutanan (1985), lahan kritis adalah lahan yang sudah
tidak berfungsi sebagai media pengatur tata air dan unsur produksi pertanian
yang baik, dicirikan oleh keadaan penutupan vegetasi kurang dari 25%,
topografi dengan kemiringan lebih dari 15% dan/atau ditandai dengan adanya
gejala erosi lembar ( sheet erosion) dan erosi parit (gully erosion ).

Degradasi lahan yang terjadi di Indonesia umumnya disebabkan oleh erosi air
hujan. Tanah yang terkikis atau tererosi, terutama yang terjadi pada lahan
pertanian tanaman pangan menyebabkan kualitas sifat-sifat fisik dan kimia
tanahnya menurun, hasil tanaman berkurang dan hara-hara tanah hilang
terbawa aliran permukaan. Selain itu, di Indonesia juga terjadi degradasi lahan
akibat penggunaan bahan-bahan agrokimia dan terkena limbah industri,
bencana alam seperti letusan gunung berapi dan tanah longsor. Penyebab lain
adalah kegiatan pertambangan, khususnya penambangan yang dilakukan
secara terbuka (open mining), yang bisa menyebabkan berubah dan rusaknya
bentang alam, termasuk hilngntya tanah lapisan atas yang sangat berguna
untuk pertanian, terbukanya vegetasi penutup, erosi, pencemaran, dll (seperti
akibat penambangan Mangan di Timor Barat).

Degradasi lahan yang termasuk ke dalam kategori kemunduran kimia


tanah, diantaranya disebabkan oleh proses penggaraman, pemasaman
dan pencemaran bahan-bahan agrokimia (seperti yang dilakukan pada lahan

16
gambut di Kalimantan). Sedangkan proses kemunduran fisik tanah diantaranya
disebabkan oleh erosi, pemadatan dan penggenangan.

Teknik rehabilitaasi untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas lahan


yang mengalami degradasi adalah dengan pengelolaan bahan organik dan
penerapan teknik pencegahan erosi agar tidak terjadi degradasi yang berlanjut.
Bahan organik yang biasa digunakan diantaranya adalah pupuk organik (bahan
hijau tanaman legum), sisa-sisa tanaman, pupuk kandang, dll. Bahan
organik disebarkan di atas permukaan tanah atau dibenamkan ke dalam tanah.
Namun, bahan organik dari jenis bahan hijau atau sisa-sisa tanaman,
sebaiknya disebarkan di atas permukaan tanah untuk melindungi tanah dari erosi
hujan, menjaga kelembaban tanah dan menghambat evaporasi. Bahan organik
yang dibenamkan ke dalam tanah, umumnya dimaksudkan untuk
mempercepat proses dekomposisi, sehingga dapat menambah bahan organik dan
unsur hara tanah.

e. Kebutuhan teknologi pengelolaan bahan organik pada lahan kering

Lahan-lahan di NTT pada umumnya mengandung bahan organik rendah


oleh karena itu pupuk organik sangat diperlukan, dan kebiasaan ladang
berpindah dengan cara tebas bakar perlu disosialisasikan bahwa sangat
merugikan.

f. Kebutuhan teknologi konservasi dan hemat air di lahan kering

Kelebihan air pada MH yang berlangsung singkat tapi dengan intensitas


yang tinggi dapat ditampung dalam waduk kecil-kecil atau embung-embung
dan airnya dipakai untk mengairi area pertanaman pada musim kemarau. Untuk
mengurangi penguapan dari permukaan air yang tertampung di waduk/embung
atau danau alam maka dapat diberi cairan kimia cetyl alkohol yang akan meluas
membentuk film pada permukaannya. Selain bahan kimia, permukaan
waduk/embung atau danau alam dapat dtutup dengan bahan-bahan terapung
yang permukaannya tipis dan luas seperti styrefoam. Tanaman air seperti eceng
gondok (Eichornia crassipes).

17
Pemberian air yang hemat air dapat diberikan dengan teknologi irigasi tetes
(trickle irrigation), dengan cara pemasangan selang air berlubang yang ditanam di
bawah tanah dekat perakaran dan air dialirkan sesuai kebutuhan. Selain itu
dapat diberikan senyawa antitranspirant yang dapat mengurangi laju transpirasi
pada tanaman sehingga memberikan efek berupa menutupnya mulut daun, dan
membentuk lapisan yang dapat memantulkan cahaya matahari sehingga
mengurangi sinar matahari yang terserap oleh daun.

g. Kebutuhan teknologi untuk pengendalian gulma dan hama pada lahan kering

Gulma selalu menjadi masalah yang sulit diatasi di derah kering dan
harus diatasi dengan pengendalian terpadu, khususnya dengan pemakaian
pola tanam yang tepat yang dapat segera menutup permukaan lahan. Ada
beberapa varietas lokal tanaman tertentu yang lebih toleran terhadap persaingan
dengan gulma. Di tahun 1970-an di Sumba dan Timor dikenal gulma “rumput
belal ang” atau “rumput sensus” atau “kirinyu” (Chromolaena odorata).
Disamping merugikan, gulma ini juga bermanfaat untuk melindungi tanah
yang gundul terhadap erosi. Oleh karena itu gulma ini jangan dimusnahkan tapi
harus dikendalikan secara bijaksana.

Meskipun masih sangat terbatas, survei mengenai hama dan penyakit tidak
dilaporkan adanya epidemi (Wakman, 1987 dalam Semangun, 2001). Rupanya
musim kering yang panjang diduga mampu memutuskan daur hidup dan
menghentikan perkembangannya. Penerapan pola tanam campuran ( mix
cropping) terbukti efektif yang menyebabkan hama dan penya kit tidak dapat
berkembang ecara epidemis.

h. Kebutuhan pemuliaan tanaman

Sifat-sifat tahan kering tidak akan bermanfaat jika tidak digabungkan


dengan sifat-sifat yang menentukan produksi tinggi. Macam-macam sifat
tahan kekeringan dan mampu berproduksi tinggi tersebut ditentukan oleh banyak
gen. Oleh karena itu diperlukan pemuliaan tanaman, yang merupakan

18
pekerjaan rumit. Menurut Arnon (1976 dalam Semangun, 2001), para ahli
pemuliaan tanaman memilih melakukan pemuliaan tanaman untuk menghasilkan
varietas dengan sifat berproduksi tinggi dan memiliki adaptasi yang baik
terhadap musim yang menguntungkan dan yang tidak menguntungkan.

i. Kebutuhan pola tanam yang sesuai untuk lahan kering beriklim


kering

Upaya mengurangi risiko kegagalan panen di lahan kering beriklim kering


adalah penanaman lebih dari satu jenis tanaman di atas lahan yang sama pada
waktu yang sama yang disebut dengan pola tanam “tumpangsari” atau
intercropping. Petani di NTT telah lama menggunakan pola tanam
tumpangsari seperti pola tanam campuran (mix cropping), pola tanam
berlorong (alley cropping), pola tanam “tiga strata” (pohon, perdu, dan
semak yaitu tanaman perkebunan, tanaman pakan dan tanaman pangan).

19
BAB 3 PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Pertanian Berkelanjutan” adalah suatu konsep pemikiran masa depan atau
pertanian yang berlanjut untuk masa saat ini, saat yang akan datang dan
selamanya. Artinya, pertanian tetap ada dan bermanfaat bagi semuanya dan
tidak menimbulkan bencana bagi semuanya. Dengan kata lain, pertanian yang
bisa dilaksanakan saat ini, saat yang akan datang dan menjadi warisan yang
berharga bagi anak cucu kita. Oleh karena itu, Pembangunan di Sektor
Pertanian, Kehutanan, Perkebunan, Peternakan dan Perikanan harus mampu
mengkonservasi tanah, air, tanaman, sumber genetik binatang, tidak merusak
lingkungan, secara teknis dapat diterapkan petani, secara ekonomis
menguntungkan, dan secara sosial dapat diterima dan secara ekologis tidak
merusak lingkungan. Permasalahan yang dihadapi usaha pertanian di lahan kering
beriklim kering sangat kompleks yang berakibat rendahnya produktifitas.
Beberapa permasalahan yang dihadapi, antara lain Keterbatasan air,degradasi
lahan akibat erosi,tingkat kesuburan tanah rendah,infrastruktur ekonomi tidak
sebaik di daerah beriklim basah, dll. Ada banyak kebutuhan IPTEK yang di
gunakan dalam pengelolaan lahan kering salah satunya Kebutuhan teknologi
pengelolaan hara pada lahan keting dan lain sebagainya.
3.2. SARAN
Saran dari kami Masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi lahan pertanian
pangan berkelanjutan, serta masyarakat umum pun perlu menyadari bahwa lahan
pertanian pangan sangat penting untuk keberlangsungan hidup karena tanpa
adanya lahan yang mencukupi, maka kebutuhan akan pangan akan sulit untuk di
dapatkan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Nuningsih, R., I.W. Mudita, dan W.I.I. Mella, 1994. Kajian Permudaan
Cendana (santalum album L.) Secara Vegetatif pada Habitat
Alamiah di TTS, NTT. Laporan Penelitian, Pusat Studi Lingkungan
Hidup Undana.
Semangun, H. 2001. Pembangunan Pertanian di Daerah Semiarid
Indinesia: Aspek Teknis. Dalam Semangun, H dan F.F. Karwur
(Penyunting). 1995. Prosiding Konferensi Internasional Pembangunan
Pertanian Semi Arid Nusa Tenggara Timur, Timor Timur dan
Maluku Tenggara Tanggal 10-16 Desember 1995 di Kupang.
Penerbit Widya Sari Salatiga untuk Pemerintah Provinsi NTT
dan Universitas Kristen Satya Wacana: halaman 203-213

https://sg.docs.wps.com/l/sIIX2qeWGAe3JyY8G

21

Anda mungkin juga menyukai