Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH BUDAYA LAHAN KERING

“POTENSI AGROWISATA DAN AGRIBISNIS PADA LAHAN KERING


BERIKLIM KERING DI NTT”

OLEH :

1. KEZIA AGNES INDRIANA YUNET (2206050022)

PRODI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

TAHUN 2022/2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah Nusa Tenggara mempunyai lahan kering beriklim kering seluas 4,9 juta
ha dengan curah hujan <2000 mm/tahun dan bulan kering 5-10 bulan, bersolum tanah
dangkal dan berbatu. Provinsi NTT merupakan wilayah kepulauan yang terdiri atas
75,0% laut dan sisanya daratan. Wilayah NTT seluas 47.349,90 km2 , terdiri dari 566 buah
pulau besar dan kecil, dan hanya 42 pulau yang berpenghuni. Secara morfologis
topografis, 73,13 % wilayah daratannya bergunung dan berbukit, yang dengan
kemiringan 15 %-40 % seluas 38,07 % dan dengan kemiringan > 40 % seluas 35,46 %;
dengan variasi ketinggian tempat antara 100-1.000 m di atas permukaan laut. Total luas
wilayah NTT, ada 66,4 % (3.227.660 ha) yang memiliki kemiringan tajam sehingga tidak
cocok diusahakan sebagai lahan pertanian. Luas lahan pertanian sekitar 1.637.000 ha (34
% dari luas wilayah), 92 %nya adalah lahan kering.

Berdasarkan beberapa data di atas maka jelaslah bahwa sebagian besar wilayah
NTT adalah didominasi oleh lahan kering beriklim kering. Lahan kering di NTT tersebar
di Timor Barat, Sumba, Alor, Sabu dan Flores.

Lahan kering beriklim kering dengan topografi berombak dan bergunung


berdampak pada budaya masyarakat NTT yang meliputi pola pikir, perilaku dan hasil
perilaku masyarakatnya. Dengan kata lain, berdasarkan lingkungan hidup yang khusus,
masyarakat NTT adalah masyarakat Iahan kering. Masyarakat Iahan kering di wilayah
beriklim kering ini memiliki ciri-ciri sosial budaya yang membedakan dirinya baik dari
masyarakat yang hidup di Iahan basah ataupun Iahan kering di wilayah beriklim basah.
1.2 Rumusan Masalah
2. Apakah ada Potensi Agribisnis dan Agrowisata di lahan Kering beriklim Kering di
NTT ?
3. Bagaimana Pemanfaatan Sumber Daya Alam untuk Potensi Agribisnis dan
Agrowisata di lahan Kering beriklim Kering di NTT ?
4. Apa Solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan Agribisnis dan
Agrowisata di lahan Kering beriklim Kering di NTT ?

1.3 Tujuan

1. Untuk Mengetahui Potensi Agribisnis dan Agrowisata di lahan Kering beriklim Kering di
NTT
2. Untuk Mengetahui Pemanfaatan Sumber Daya Alam untuk Potensi Agribisnis dan
Agrowisata di lahan Kering beriklim Kering di NTT
3. Untuk Mengetahui Solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan Agribisnis
dan Agrowisata di lahan Kering beriklim Kering di NTT

1.4 Manfaat

1. Dapat Mengetahui Potensi Agribisnis dan Agrowisata di lahan Kering beriklim Kering di
NTT
2. Dapat Mengetahui Pemanfaatan Sumber Daya Alam untuk Potensi Agribisnis dan
Agrowisata di lahan Kering beriklim Kering di NTT
3. Dapat Mengetahui Solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan Agribisnis
dan Agrowisata di lahan Kering beriklim Kering di NTT
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

1.1. Pengertian Budayá dan kebudayaan

Kebudayaan berasal dari kata buddhayah yang artinya hal-hal terkait dengan
akal. Kemudian diperluas menjadi keselurúhan pengetahuan, sikap dan pola perilaku yang
telah menjadi kebiasaan masyarakat dan kemudian diwariskan terhadap generasi
berikutnya. Pendapat Iain menyatakan kebudayaan tldak dilihat dari tindakan itu sendiri,
tetapi dilihat dari sistem pengetahuan yang; dimiliki oleh anggota masyarakat yang
digunakan untuk interpetasi dunianya, jadi dasar tindakannya, dan Interpretasi kelakuan
orang lain. Seiring dengan perjalanan waktu, kebudayaan tradisional bergeser menjadi
kebudayaan modern.

Definisi kebudayaan modern adalah seperangkat peraturan atau norma yang di


miliki bersama oleh anggota masvarakat, jika di laksanakan oleh anggota Masyarakat
tersebut akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan atau dapat diterima. Konsep
kebudayaan modern mengandung beberapa prinsip umum dalam memahami tingkah laku
manusia: 1) pola bagi terwujudnya tingkah laku manusia, 2) tanpa disadari, warga
masyarakat secara bersama memiliki konsepsi Implisit tentang alam, nilai moral, dlsb, 3)
pola budaya membentuk kerangka pemikiran dan persepsi. Koentjaraningrat menyatakan
kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar: Wujud sistem budaya, wujud sistem sosial dan benda-benda hasil karya manusia
(artifact).

Selain itu berdasarkan tempat penycbarannya, budaya juga dibedakan atas budaya
lokal dan budaya nasional. Budaya lokal, adalah suatu budaya yang perkembangannya
terjadi di daerah- daerah dan merupakan milik suku bangsa. Bangsa Indonesia dikenal
sebagai bangsa yang multikultural dałam suku bangsa dan budaya. Sedangkan budaya
nasional yaitu suatu kebudayaan yang terbentuk dari keseluruhan budaya lokal yang
berkembang dałam kehidupan masyarakat Indonesia dan merupakan hasil serapan dari
unsur-unsur budaya asing atau global. Kebudayaan nasional berfungsi sebagai kontinuitas
sejak zaman kejayaan bangsa Indonesia pada masa lampau sampai kebudayaan nasional
masa kini.
Wujud budaya suatu bangsa dapat berupa:

1. Wujud abstrak, berupa "Sistem Gagasan”. Budaya dałam bentuk ini bersifat abstrak,
artinya tidak dapat diraba karena ada dałam pikiran tiap anggota masyarakat penganut
budaya yang bersangkutan. Gagasan itulah yang akhirnya menghasilkan berbagai karya
manusia berdasarkan nilainilai dan cara berfikir serta perilaku mereka.
2. Bentuk tindakan. Budaya dałam bentuk tindakan bersifat kongkret yang dapat dilihat.
Contoh: cara petani mengolah lahan ladang dan sawah, cara berburu rusa, cara beternak
sapi, cara memelihara ikan, cara menangkap ikan, dll.
3. Bentuk hasil karya. Budaya dałam bentuk hasil karya bersifat kongkret sehingga bisa
dilihat dan diraba. Contoh: pengrajin tenun ikat menghasilkan kain dengan berbagai motif
(flora, fauna dan manusia), berbagai peralatan seperi peralatan dapur dan peralatan untuk
bertani, beternak, berburu, menangkap ikan, dll.

Wujud budaya suatu bangsa juga dapat berupa:

1. Cara berbahasa.
2. Cara berpakaian.
3. Peralatan hidup.

Selo Sumarjan dan Soeleman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua


hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Sebagai suatu sistem pengetahuan, pola dan corak
suatu kebudayaan ditentukan oleh:

1. Keadaan lingkungan, dan


2. Kebutuhan dasar utama dari para pendukung kebudayaan tersebut.

Dengan demikian, setiap masyarakat akan memiliki kebudayaannya sendiri-sendiri


sesuai dengan kondisi lingkungan hidup sebagai tempat mereka bermukim dan bertempat
tinggal untuk memenuhi kebutuhan dasar. Suatu kebudayaan dengan semua pranatanya
dapat saja berubah bahkan selalu berubah secara dinamis karena tidak ada kebudayaan
yang sifatnya statis dan tertutup. Perubahan kebudayaan dapat terjadi karena faktor
internal dan external.

Menurut para ahli, lingkungan hidup suatu masyarakat merupakan faktor yang
menentukan dalam perkembangan kebudayaan. Etnografi adalah suatu studi yang
mempelajari dan menjelaskan tentang kebudayaan suatu masyarakat tertentu dengan
tujuan untuk menemukenali dan melukiskan bagaimana masyarakat menanggulangi
masalah-masalah dalam lingkungan hidupnya serta menggali pranata-pranata sosial-
ekonomi manakah yang dimiliki Oleh warga masyarakat dalam upayanya untuk
memenuhi kebutuhan dasar utama manusia (basic human needs), juga bagaimanakah
mekanisme perubahan yang mengatur pemanfaatan pengelolaan sumber daya alam (SDA)
maupun sumber daya sosialnya. Secara teoritis, pemenuhan kebutuhan dasar utama itu
terdiri dari:

a. Pemenuhan kebutuhan dasar bilologis meliputi sandang, pangan, papan, reproduksi,


kesehatan, dan mempertahankan diri.
b. Pemenuhan kebutuhan sosial meliputi kebutuhan akan hidup bersama untuk mencapai
tujuan bersama dan individu, pembentukan komuniti, dan kelompok sosial serta berbagai
keteraturan sosial.
c. Pemenuhan kebutuhan integratif atau kejiwaan meliputi kebutuhan akan etika dan moral,
rasa keindahan dan sebagainya.

Menurut Charles Erasmus, bahwa setiap pribadi pada hakekatnya terdapat 2 (dua)
unsur penting yaitu motif dan daya indra. Daya indra bersifat aktif yang diperoleh secara
berulang dari pengalaman masa lalunya. Perpaduan motif dan daya indra akan
menghasilkan keinginan dan keinginan inilah yang akan menjadi perilaku. Perubahan
pengalaman seseorang akan memberi peluang perubahan keinginannya. Dengan demikian
pengalaman masa lampau secara berulang adalah salah satu unsur penting pemberi corak
budaya yang berupa ide (gagasan, perilaku dan hasil perilaku).

Apabila dikaitkan dengan pengalaman masa lampau yang berulang tersebut maka
untuk wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah berkaitan pula dengan kondisi
lingkungan Iahan kering, topografi berombak, berbukit dan bergunung serta berbagai
ancaman berulang masa lampau yang menghantui kelangsungan hidup masyarakat.
Dengan demikian kondisi lingkungan Iahan kering yang bercirikan kekeringan yang
membawa risiko kegagalan panen, harus selalu diperhitungkan oleh masyarakat NTT
dalam kehidupan sehari-harinya. Kenyataan inilah yang dialami secara berulang dan
membentuk daya indra serta persepsi dan pola pikir masyarakat yang pada akhirnya
mempengaruhi perilaku, sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat Iahan kering
beriklim kering.
1.2 Corak Lahan Kering Wilayah Nusa Tenggara Timur dan Pengaruhnya terhadap
Budaya Lahan Kering

Istilah Iahan kering secara umum selalu dikaitkan dengan Iahan tanpa pengairan.
Dalam pengertian ini, di Indonesia terdapat area Iahan kering yang luas baik di Jawa,
Sumatra, Kalimantan, Suawesi, Maluku dan Papua. Namun Iahan kering dalam
pengertian tersebut secara klimatologis berada di zone agroklimat basah. Dalam kaitan
Iahan kering ini, batasan Iahan kering yang dimaksudkan adalah Iahan tanpa pengairan di
area yang tidak pernah jenuh oleh air secara permanen sepanjang musim. Daerah
demikian pada umumnya terdapat pada daerah yang curah hujannya relatif rendah.
Daerah dengan curah hujan relatif rendah pada umumnya merupakan daerah yang secara
klimatologis termasuk daerah Arid dan Semi Arid.

Daerah Semi Arid didefinisikan dengan berbagai cara. Salah satunya


dikembangkan oleh Thornwhite (1948) yang mendasarkan atas hubungan antara rata-rata
bulan hujan dan potensi evapotranspirasi. Definisi lain dikembangkan oleh de Martonine
yang didasarkan atas nilai Indeks Ariditas. Daerah Semi Arid didefinisikan sebagi daerah
yang nilai Indeks Ariditasnya jatuh antara IO - 20 (Finkel, 1986). Menurut kriteria
Ferguson, dikatakan bulan basah apabila CH-nya< 60 mm/bulan dan dikatakan bulan
kering apabila CH-nya> 100 mm/bulan. Selanjutnya suatu daerah disebut kering apabila
memiliki tipe Curah Hujan D, E dan F dengan 4,5 — 7,9 bulan kering. Sedangkan
menurut klasifikasi Oldeman (bulan kering = CH-nya< 100 mm/bulan). Menurut Throll
(1966 dalam Ruthenberg, 1980), salah satu unsur Curah Hujan (CH) yang dipakai untuk
klasifikasi agroklimat di daerah tropik adalah CH bulanan, dimana CH bulanan > dari
200 mm/bulan disebut bulan basah. Selanjutnya berdasarkan banyaknya bulan basah
dalam setahun, daerah tropik dapat dibagi menjadi 4 (empat) zoneagroklimat yaitu:

1. Daerah beriklim sangat lembab, dengan bulan basah > 9 bulan.

2. Daerah beriklim sangat lembab, dengan bulan basah > 7 — 9 bulan

3. Daerah beriklim sangat lembab, dengan bulan basah > 4,5 7 bulan

4. Daerah beriklim setengah kering, dengan bulan basah > 2 — 4,5 bulan.

5. Daerah beriklim kering, dengan bulan basah < 2 bulan.


Daerah NTT sebenarnya secara keseluruhan tidak persis termasuk daerah Semi
Arid, karena terdapat daerah-daerah yang memiliki CH bulanan relatif tinggi. Secara
klimatologis menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, sekitar 60 % daratan di NTT
bertipe iklim E, 30 % nya F dan 10%nya dengan tipe iklim B dan D. Sedangkan menurut
klasifikasi Oldeman, 62,6 % dari total wilayah NTT memiliki 7-9 bulan kering (Tipe D4
dan E3). Itulah sebabnya, Soegiri berpendapat bahwa NTT termasuk wilayah beriklim
kering (Arid) atau semi kering (Semi Arid) dan vegetasinya cenderung didominasi oleh
savana dan stepa.

Lahan kering beriklim kering dengan topografi berombak dan bergunung


berdampak pada budaya masyarakat NTT yang meliputi pola pikir, perilaku dan hasil
perilaku masyarakatnya. Dengan kata lain, berdasarkan lingkungan hidup yang khusus,
masyarakat NTT adalah masyarakat Iahan kering. Masyarakat Iahan kering di wilayah
beriklim kering ini memiliki ciri-ciri sosial budaya yang membedakan dirinya baik dari
masyarakat yang hidup di Iahan basah ataupun Iahan kering di wilayah beriklim basah.

1.3. Keterkaitan Budaya Masyarakat Lahan Kering dengan Sistem Mata Pencaharian

Budaya masyarakat NTT adalah budaya masyarakat yang bertumpu pada


pertanian. Menurut Nordholdt , antara agama (kepercayaan) dan sistem pertanian serta
sistem politik pada masyarakat Atoni (Timor) ada saling keterkaitan yang erat. Mata
pencaharian hidup yang paling utama dari masyarakat Iahan kering di NTT adalah
bertani. Dalam kehidupan bertani, terdapat 2 (dua) sumber kehidupan yakni usaha tani
Iahan kering dan beternak. Selain bertani dan berternak, masyarakat yang tingggal di
pantai memiliki mata pencaharian menangkap ikan di laut dan mencari biota laut yang
bisa dikonsumsi (ikan, kerang, keong, kepiting, dan rumput laut) di laut sepanjang pesisir
pantai pada saat makameting (air laut surut).

Kehidupan usaha tani Iahan kering adalah berupa perladangan berpindah,


berkebun (untuk tanaman keras atau tanaman tahunan) dan pemanfaatan Iahan
pekarangan. Lahan untuk perladangan ada 2 (dua) jenis yakni ladang baru yaitu yang baru
dibuka dengan membabat semak belukar dan hutan desa kemudian membersihkan dengan
cara membakar, dan ladang lama yaitu yang sudah diusahakan beberapa tahun. Dalam
mengusahakan perladangan, setelah ladang diusahakan beberapa tahun, kemudian tidak
diusahakan (bero) selama beberapa musim tanam karena kesuburan tanahnya menurun.
Lahan pekarangan dimanfaatkan untuk memelihara ternak sedang (babi dan
kambing) serta ternak kecil (ayam dan itik) serta berbagai jenis tanaman pangan dan
hortikultuta serta pakan ternak. Jenis-jenis tanaman pangan yang diusahakan di ladang
dan pekarangan adalah padi ladang, jagung, sorghum, jewawut, ketela pohon, ubi jalar,
kacang nasi, kacang hijau, kacang kayu, kacang tanah, talas, pisang, mangga, jambu,
pepaya dll. Jenis-jenis tanaman yang diusahakan di kebun yaitu pinang, kelapa, kemiri,
buah-buahan dan berbagai pohon yang daunnya dimanfaatkan untuk pakan ternak seperti
lamtoro, turi, dan gamal.

Di lahan kering beriklim kering, kendala utama adalah penyediaan pakan untuk
ruminansia dan kurang bermutunya padang rumput pada musim kering. Terkait dengan
kondisi fisik geografis di NTT, ternak besar (sapi, kerbau dan kuda) diusahakan secara
ekstensif dengan cara penggembalaan di padang.

1.4. Pengetahuan dan Teknologi Pertanian Lahan Kering Beriklim Kering

Pengetahuan adalah hasil pengalaman manusia yang diperoleh dari proses


interaksi dengan lingkungan. Intraksi manusia dengan lingkungan pada dasarnya
didorong oleh hasrat untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic human needs). Semua
pengalaman yang diperoleh manusia sebagai hasil interaksi dengan lingkungan direkam
dalam ingatan. Pengalaman yang baik dan bermanfaat akan dipraktekkan dalam hidup
secara berulang-ulang dan disebut sebagai kebiasaan-kebiasaan. Sebaliknya pengalaman
yang tidak mengenakkan atau merugikan yang dihindari, melahirkan konsep tabu atau
pantangan atau dikenal dengan istilah pemali. Keseluruhan hasil pengalaman apakah
berupa kebiasaan dan pantangan disebut pengetahuan. Penggunaan pengetahuan secara
sistematis dan berulang-ulang disebut Ilmu Pengetahuan. Dalam proses interaksi dengan
lingkungan, manusia memperoleh pengetahuan tentang cara-cara terbaik yang
memudahkan dalam mencapai tujuan sehingga lahirlah teknologi atau pengetahuan
berupa alatalat, bahan, dan cara serta pemakaiannya untuk mendapatkan efisiensi kerja.

Pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh suatu masyarakat, adalah berupa
pengetahuan sebatas lingkungan hidup atau kondisi fisik yang melingkupinya. Secara
umum, pengetahuan masyarakat terkait kegiatan pertanian secara lokal disesuaikan
dengan kondisi SDA setempat, oleh Warren disebut dengan suatu istilah yaitu
indigenouseknowledge (pengetahuan dan teknologi asli berupa kearifan budaya lokal)
yang mengandung 2 (dua) aspek yaitu:

1. Tempat (local).
2. Keaslian atau kedekatan dengan alam (belongingnaturally).

Dipandang dari aspek sejarah dan dinamika pengetahuan, indigenouseknowledge


oleh Louise Gtenier dikatakan sebagai merupakan pengetahuan yang bersifat unik
tradisional dan lokal yang dikembangkan oleh masyarakat sesuai dengan lingkungannya
dan memiliki dimensi biologi. Dalam prakteknya sehari-hari, dapat berupa pola pikir
tradisional dari berbagai kondisi lapangan dengan ruang lingkup pertanian, peternakan,
perikanan dsb. Dengan indigenouseknowledge, manusia:

1. Memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam (SDA) untuk memenuhi kebutuhan


dasarnya (basic human needs) agar bisa bertahan hidup dan melanjutkan keturunan.
2. Dapat mengatasi berbagai masalah yang berhubungan dengan:
a. Ketahanan pangan (foodsecurity).
b. Keselamatan ternak.
c. Pengelolaan lingkungan.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian, risiko kegagalan panen dalam


berusahatani diatasi dengan menerapkan:

1. Usahatani ladang berpindah. Indikator yang digunakan untuk mengetahui bahwa suatu
lahan sudah bisa diusahakan kembali sangat bervariasi.
2. Pola tanam campuran (mix croping), yaitu pada lahan yang sama diusahakan berbagai
jenis tanaman tanpa jarak tanam teratur. Beberapa jenis tanaman bahkan ditanam dalam
satu lubang yang sama (dikenal dengan istilah "salome" atau satu lubang rame-rame).
Masyarakat mengetahui jenis-jenis tanaman yang dapat ditanam dalam satu lubang,
misalnya padi ladang dengan labu kuning (pumpin), sedangkan jagung dengan kacang
nasi dimana batang jagung sekaligus berfungsi sebagai ajir (tempat tanaman kacang nasi
merambat).

3. Penentuan saat tanam yang tepat dengan menggunakan indikator alam yaitu ditemukannya
tumbuhan berbiji kecil dan pipih telah tumbuh dalam populasi besar atau permukaan air
sumur sudah mencapai bibir sumur. Secara teoritis, "kebutuhan air untuk waktu tanam"
berkaitan erat dengan "Curah Hujan Efektif", yaitu bagian dari CH yang betul-betul
masuk ke dalam tanah dan tinggal di daerah perakaran tanaman sehingga dapat diambil
oleh tanaman. Permulaan waktu tanam efektif atau CH Efektif yang juga umum
disepakati adalah: (i) hujan selama 10 hari berturut-turut dan setelah waktu tersebut maka
minimum sama dengan 20 mm, atau (ii) waktu hujan turun dan jumlahnya telah mampu
membasahi bagian yang berada pada 5 cm lapisan tanah paling atas sampai berada pada
keadaan kapasitas lapang.

4. Memprediksi munculnya serangan hama dan menggeser waktu tanam. Petani ternyata
memiliki pengetahuan bentuk dewasa (imago) hama tanaman dan jangka waktu bentuk
kupu-kupinya bertelur sampai menetas menjadi ulat. Misalnya ketika mereka melihat
jenis kupu-kupu tertentu yang menjadi imago hama ulat tentara atau dikenal sebagai ulat
"grayak' (merupakan salah satu hama utama tanaman jagung) maka petani akan
menggeser waktu tanam untuk menghindarkan tanaman jagung yang baru tumbuh
diserang oleh hama ulat tentara.

5. Kalender musim atau pranoto mongso (istilah dalam bahasa Jawa yang telah populer), yaitu
pengalokasian waktu dalam satu tahun yang terdiri dari 12 bulan atau wula (dalam bahasa
Anakalang di Sumba TengahMasing-masing bulan ditandai dengan gejala alam yang bisa
berupa perilaku tumbuhan, satwa, angin, air, bintang dan bulan.
BAB III

METODELOGI

Waktu : 11.35 WITA

Tempat : Kolam Pancing P4S Karya Agri


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan Observasi tempat serta Wawancara yang telah kami lakukan, diperoleh
hasil sebagai berikut.

Kolam Pancing P4S Karya Agri merupakan salah satu tempat di daerah Kupang NTT,
yang digunakan sebagai salah satu tempat adanya Agrowisata dan Agribisnis. Berlokasi
di daerah Batuplat, tempat ini pertama kali di bentuk pada tahun 1989 oleh Bapak Roni
Nalle a.k.a Robert. Latar belakang dibentuknya tempat ini karena pemilik tempat ini
melihat adanya peluang sumber daya alam di daerah tersebut. Selain itu, beliau adalah
seorang yang bekerja dibidang Pertanian dan Perikanan, sehingga beliau memanfaatkan
keterampilannya untuk membangun tempat tersebut.

Awalnya daerah tersebut merupakan daerah persawahan sehingga sebagian lahan


tersebut dimodifikasi menjadi kolam ikan. Ikan ini awalnya didapatkan saat Pemilik
melakukan edukasi kepada siswa-siswi SMK Perikanan Kota Kupang. Dengan adanya
Persawahan yang dimiliki beliau, maka beliau melihat bahwa adanya Peluang untuk
Perkembang Biakan Ikan, dimana persawahan tadi diubah menjadi kolam Ikan. Dengan
Ketekunan dan Keterampilan Beliau, akhirnya tempat tersebut menjadi salah satu usaha
yaitu sebagai tempat Pancing dan diresmikan pada 16 Februari 2013. Adapun Ikan yang
dibudidayakan yaitu :

a. Nila
b. Bawal
c. Mas
d. Koi
e. Patin
f. Karpel

Ikan-ikan ini biasanya diperjual-belikan baik mentah ataupun yang sudah diolah.
Biasanya ikan-ikan ini diekspor ke daerah-daerah luar Kupang (Sabu, Alor, Rote, Timor
Leste) maupun tempat disekitar kupang (Transmart, Rumah makan BTN).

Selain Ikan, Pemilik tersebut memanfaatkan daerah Persawahan tersebut sebagai


tempat bertani Padi. Padi yang dihasilkan ini digunakan sebagai salah satu sumber
makanan untuk rumah makan kecil yang dimiliki pemilik tersebut. Padi yang dihasilkan
ini juga dibuat menjadi salah satu brand padi yang bernama “Mami Ros”. Masa
Pertumbuhan dari padi ini sendiri berkisar selama 86 hari dengan masa panen 3 kali
dalam setahun.

Setelah adanya Kolam Pancing tersebut, Pemilik melihat adanya peluang bisnis dalam
sector ekonomi serta pemanfaatan tempat sebagai tempat wisata. Dimana adanya
Agribisnis dan Agrowisata. Akhirnya dikelolalah tempat tersebut menjadi lebih bagus.

Dalam sektor Agribisnis, Pemilik membuat tempat tersebut menjadi rumah makan
kecil yang didirikan langsun diatas kolam dengan sumber makanannya berasal dari ikan
yang dimiliki dan tanaman yang ditanam sendiri. Tanaman yang ditanam seperti Padi,
Pisang, Pepaya dan Sayur-sayuran. Pisang biasanya diproduksi menjadi makanan yang
langsung dimakan atau diolah menjadi camilan seperti Keripik dan Kue. Ikan yang akan
diolah menjadi makanan biasanya langsung diambil dari kolam saat pemesanan.

Dalam sector Agrowisata, Pemilik membuat Kolam Pancing tersebut sebagai tempat
rekreasi. Dimana tempat itu ditanam dengan berbagai macam tumbuhan dan bunga yang
bisa dijadikan sebagai spot foto. Ada juga Pondok yang dihiasi dengan Bunga sebagai
tempat santai saat memancing. Juga dibuka tempat pelatihan atau edukasi dan tempat
hiburan (live music dan karaoke).

Ada beberapa kendala selama mengelola tempat Kolam Pancing Ikan tersebut, yaitu
sebagai berikut :

1. Tingginya Tingkat Peresapan Air

Kolam Ikan yang digunakan masih merupakan daerah persawahan dimana


dasarnya masih berupa tanah bukan lantai semen. Sehingga tingkat peresapan air yang
terjadi sangatlah tinggi dan menyebabkan air cepat berkurang.

Seperti yang diketahui bahwa daerah NTT khususnya daerah Kupang merupakan
tempat beriklim kering, dimana curah hujannya sangat rendah. Hal ini tentunya beresiko
pada pertumbuhan Ikan dikolam tersebut.

2. Badai Seroja
Badai Seroja pada Tahun 2021 berdampak buruk pada usaha Kolam Pancing P4S
Karya Agri. Dampak yang ditimbulkan antara lain : Kerugian Ikan sekitar 2 ton dan
Kerusakan Kolam Ikan. Kurangnya Ikan dikarenakan ada ikan yang mati dan terbawa
arus pada saat banjir dan meluapnya air kolam karena curah hujan yang tinggi dimana
sekitar 1 minggu lebih, hujan turun terus-menerus. Kerusakan Kolam Ikan yaitu pada
dinding-dinding Kolam yang runtuh/roboh karena dinding kolam tersebut masih berupa
tanah. Tanah ini ketika terkena air yang banyak akan meningkatkan longsor yang terjadi.

Badai seroja juga menyebabkan rusaknya Fasilitas Wisata, seperti bunga-bunga


yang mati, Pondok rumah yang rusak baik dalam sector Agribisnis maupun Agrowisata,

3. Covid-19

Selain Seroja, Covid juga menjadi kendala dalam usaha Kolam Pancing P4S
Karya Agri. Covid menyebabkan adanya keterbatasan aktivitas, dimana berkurangnya
pengunjung. Kurangnya pengunjung ini menyebabkan pendapatan usaha berkurang.

Beberapa solusi yang diberikan untuk mengatasi masalah tersebut sebagai


berikut :

1. Penggunaan Irigasi

Irigasi atau Pengairan adalah upaya yang dilakukan manusia untuk mengairi lahan
pertanian. Irigasi ini dilakukan untuk mengatasi masalah kekeringan atau kurangnya air.
Irigasi yang digunakan pada kolam pancing P4S Karya Agri memanfaatkan sumber air
dari mata air Sagu Batuplat. Proses pembuatan Irigasi ini dibantu oleh para Petani sekitar
yang juga menggunkan metode irigasi ini untuk mengairi persawahan didaerah Batuplat.
Dengan begitu Kolam Pancing ini tidak akan mengalami kekeringan karena sudah ada
persediaan air.

2. Memanfaatkan Teknologi untuk Pemasaran

Teknologi sangat membantu manusia dalam berbisnis, khususnya pada saat covid
dimana saat itu aktivitas jual beli secara langsung menjadi terbatas. Pemilik Kolam
Pancing ini, selama covid menggunakan system OPO (Order, Panen, On The Way).
Biasanya system order ini dipesan melalui Facebook. Dengan adanya teknologi ini sangat
membantu saat covid dimana aktivitas jual-beli yang dilakukan tidak terhambat.

Berdasarkan hal ini, kita dapat melihat bahwa ada potensi Agrowisata serta
Agribisnis dilahan Kering beriklim Kering di NTT. Pembangunan Agrowisata dan
Agribisnis tidak didasarkan pada letak geografis, cuaca atau iklim didaerah tersebut
melainkan bagaimana masyarakat sekitar memanfaatkan sumber daya alam dan sumber
daya manusia serta mampu melihat potensi yang dapat terus berkembang didaerah
tersebut.
BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa ada Potensi Agribisnis dan
Agrowisata pada lahan Kering Beriklim Kering di NTT. Potensi ini ada dengan melihat
Sumber Daya Alam serta Sumber Daya Manusia pada daerah tersebut,
DAFTAR PUSTAKA

Nuningsih. Retno, dkk. 2023. Buku Ajar Budaya Lahan Kering Kepulauan dan Pariwisata.
Bandung : MEDIA SAINS INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai