Anda di halaman 1dari 29

1

BAB I. BUDAYA MASYARAKAT LAHAN KERING

1. Pengertian Budaya dan Kebudayaan

Dalam kehidupan sehari-hari, dikenal istilah kebudayaan. Juga dalam kehidupan sehari-hari,
orang selalu berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan. Kata budaya berasal dari bahasa
sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi dan daya. Buddhi
memiliki arti budi atau akal atau akal pikiran. Sedangkan “daya” mempunyai arti usaha atau
ikhtiar. Dalam bahasa Inggris, budaya dikenal dengan istilah “culture” atau budaya, yang
sebenarnya berasal dari kata latin “colere”, artinya mengolah atau mengerjakan tanah
(bertani). Melville J. Herkovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang diturunkan dari
satu generasi ke generasi, yang disebut superorganik. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan
adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri dengan cara belajar.

Dikenal ada 2 (dua) istilah yaitu budaya lokal dan budaya nasional. Budaya lokal, adalah suatu
budaya yang perkembangannya terjadi di daerah-daerah dan merupakan milik suku bangsa.
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang multikultural dalam suku bangsa dan budaya.
Sedangkan budaya nasional yaitu suatu kebudayaan yang terbentuk dari keseluruhan budaya
lokal yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan merupakan hasil serapan
dari unsur-unsur budaya asing atau global. Kebudayaan nasional berfungsi sebagai kontinuitas
sejak zaman kejayaan bangsa Indonesia pada masa lampau sampai kebudayaan nasional masa
kini.

Wujud budaya suatu bangsa dapat berupa:

(1) Wujud abstrak, berupa “Sistem Gagasan”. Budaya dalam bentuk ini bersifat abstrak,
artinya tidak dapat diraba karena ada dalam pikiran tiap anggota masyarakat penganut
budaya yang bersangkutan. Gagasan itulah yang akhirnya menghasilkan berbagai karya
manusia berdasarkan nilai-nilai dan cara berfikir serta perilaku mereka.
(2) Bentuk tindakan. Budaya dalam bentuk tindakan bersifat kongkret yang dapat dilihat.
Contoh: cara petani mengolah lahan ladang dan sawah, cara berburu rusa, cara
beternak sapi, cara memelihara ikan, cara menangkap ikan, dll.
(3) Bentuk hasil karya. Budaya dalam bentuk hasil karya bersifat kongkret sehingga bisa
dilihat dan diraba. Contoh: pengrajin tenun ikat menghasilkan kain dengan berbagai
motif (flora, fauna dan manusia), berbagai peralatan seperi peralatan dapur dan
peralatan untuk bertani, beternak, berburu, menangkap ikan, dll.

Wujud budaya suatu bangsa juga dapat berupa:

(1) Cara berbahasa.


(2) Cara berpakaian.
(3) Peralatan hidup.
2

Selo Sumarjan dan Soeleman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya,
rasa dan cipta masyarakat.

Karya masyarakat menghasilkan pengetahuan, teknologi serta kebudayaan kebendaan atau


kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam
sekitarnya agar potensi dan hasilnya dapat diperuntukkan bagi kelangsungan hidup
masyarakat. Rasa yang meliputi jiwa manusia mewujudkan segala kaidah dan nilai-nilai sosial
yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan antara lain agama, ideologi,
kebatinan dan semua unsur yang merupakan ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai
anggota masyarakat. Cipta merupakan kemampuan mental dan berpikir orang-orang yang
hidup bermasyarakat, hasilnya antara lain berupa filsafat dan ilmu pengetahuan. Kebudayaan
sebagai suatu sistem pengetahuan manusia dapat digolong-golongkan dalam kompleks
pengetahuan yang khusus yang dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan tertentu dalam kehidupan
manusia sebagai pendukung suatu kebudayaan tertentu. Pengetahuan yang kompleks bagi
kegiatan tertentu tersebut dikenal dengan “pranata-pranata kebudayaan”. Secara operasional,
pranata-pranata kebudayaan terwujud sebagai seperangkat aturan-aturan yang mengatur
kedudukan-kedudukan, peranan-peranan, hak-hak dan kewajiban-kewajiban masyarakat yang
terwujud dalam bentuk lembaga-lembaga dan organisasi sosial sebagi wadah bagi kegiatan
warga masyarakat bersangkutan. Misalnya lembaga “Subak” di Bali yang mengatur pembagian
air untuk sistem pengairan sawah, dan lembaga “.....” di Rote Ndao. Sebagai suatu sistem
pengetahuan, pola dan corak suatu kebudayaan ditentukan oleh:

(1) Keadaan lingkungan, dan


(2) Kebutuhan dasar utama dari para pendukung kebudayaan tersebut.

Dengan demikian, setiap masyarakat akan memiliki kebudayaannya sendiri-sendiri sesuai


dengan kondisi lingkungan hidup sebagai tempat mereka bermukim dan bertempat tinggal
untuk memenuhi kebutuhan dasar. Suatu kebudayaa dengan semua pranatanya dapat saja
berubah bahkan selalu berubah secara dinamis karena tidak ada kebudayaan yang sifatnya
statis dan tertutup. Perubahan kebudayaan dapat terjadi karena faktor internal dan external.

Menurut para ahli, lingkungan hidup suatu masyarakat merupakan faktor yang menentukan
dalam perkembangan kebudayaan. Etnografi adalah suatu studi yang mempelajari dan
menjelaskan tentang kebudayaan suatu masyarakat tertentu dengan tujuan untuk
menemukenali dan melukiskan bagaimana masyarakat menanggulangi masalah-masalah dalam
lingkungan hidupnya serta menggali pranata-pranata sosial-ekonomi manakah yang dimiliki
oleh warga masyarakat dalam upayanya untuk memenuhi kebutuhan dasar utama manusia
(basic human needs), juga bagaimanakah mekanisme perubahan yang mengatur pemanfaatan
pengelolaan sumberdaya alam (SDA) maupun sumberdaya sosialnya. Secara teoritis,
pemenuhan kebutuhan dasar utama itu terdiri dari:

a. Pemenuhan kebutuhan dasar bilologis meliputi sandang, pangan, papan, reproduksi,


kesehatan, dan mempertahankan diri.
3

b. Pemenuhan kebutuhan sosial meliputi kebutuhan akan hidup bersama untuk mencapai
tujuan bersama dan individu, pembentukan komuniti, dan kelompok sosial serta
berbagai keteraturan sosial.
c. Pemenuhan kebutuhan integratif atau kejiwaan meliputi kebutuhan akan etika dan
moral, rasa keindahan dan sebagainya.

Menurut Charles Erasmus, bahwa setiap pribadi pada hakekatnya terdapat 2 (dua) unsur
penting yaitu motif dan daya indra. Daya indra bersifat aktif yang diperoleh secara berulang
dari pengalaman masa lalunya. Perpaduan motif dan daya indra akan menghasilkan keinginan
dan keinginan inilah yang akan menjadi perilaku. Perubahan pengalaman seseorang akan
memberi peluang perubahan keinginannya. Dengan demikian pengalaman masa lampau secara
berulang adalah salah satu unsur penting pemberi corak budaya yang berupa ide (gagasan,
perilaku dan hasil perilaku).

Apabila dikaitkan dengan pengalaman masa lampau yang berulang tersebut maka untuk
wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah berkaitan pula dengan kondisi lingkungan lahan
kering, topografi berombak, berbukit dan bergunung serta berbagai ancaman berulang masa
lampau yang menghantui kelangsungan hidup masyarakat. Dengan demikian kondisi
lingkungan lahan kering yang bercirikan kekeringan yang membawa risiko kegagalan panen,
harus selalu diperhitungkan oleh masyarakat NTT dalam kehidupan sehari-harinya. Kenyataan
inilah yang dialami secara berulang dan membentuk daya indra serta persepsi dan pola pikir
masyarakat yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku, sebagai bagian dari kebudayaan
masyarakat lahan kering beriklim kering.

2. Corak Lahan Kering Wilayah Nusa Tenggara Timur dan Pengaruhnya terhadap
Budaya Lahan Kering

Istilah lahan kering secara umum selalu diakaitkan dengan lahan tanpa pengairan. Dalam
pengertian ini, di Indonesia terdapat area lahan kering yang luas baik di Jawa, Sumatra,
Kalimantan, Suawesi, Maluku dan Papua. Namun lahan kering dalam pengertian tersebut secara
klimatologis berada di zone agroklimat basah. Dalam kaitan lahan kering pada materi kuliah ini,
batasan lahan kering yang dimaksudkan adalah lahan tanpa pengairan di area yang tidak
pernah jenuh oleh air secara permanen sepanjang musim (Widyatmika, 1987). Daerah demikian
pada umumnya terdapat pada daerah yang curah hujannya relatif rendah. Daerah dengan
curah hujan relatif rendah pada umumnya merupakan daerah yang secara klimatologis
termasuk daerah Arid dan Semi Arid.

Daerah Semi Arid didefinisikan dengan berbagai cara. Salah satunya dikembangkan oleh
Thornwhite (1948) yang mendasarkan atas hubungan antara rata-rata bulan hujan dan potensi
evapotranspirasi. Definisi lain dikembangkan oleh de Martonine yang didasarkan atas nilai
Indeks Ariditas. Daerah Semi Arid didefinisikan sebagi daerah yang nilai Indeks Ariditasnya
jatuh antara 10 - 20 (Finkel, 1986). Menurut kriteria Ferguson, dikatakan bulan basah apabila
CH-nya < 60 mm/bulan dan dikatakan bulan kering apabila CH-nya > 100 mm/bulan.
4

Selanjutnya suatu daerah disebut kering apabila memiliki tipe Curah Hujan D, E dan F dengan
4,5 – 7,9 bulan kering. Sedangkan menurut klasifikasi Oldeman (bulan kering = CH-nya < 100
mm/bulan). Menurut Throll (1966 dalam Ruthenberg, 1980), salah satu unsur Curah Hujan (CH)
yang dipakai untuk klasifikasi agroklimat di daerah tropik adalah CH bulanan, dimana CH
bulanan > dari 200 mm/bulan disebut bulan basah. Selanjutnya berdasarkan banyaknya bulan
basah dalam setahun, daerah tropik dapat dibagi menjadi 4 (empat) zone agroklimat yaitu:

a. Daerah beriklim sangat lembab, dengan bulan basah > 9 bulan.


b. Daerah beriklim sangat lembab, dengan bulan basah > 7 – 9 bulan
c. Daerah beriklim sangat lembab, dengan bulan basah > 4,5 - 7 bulan
d. Daerah beriklim setengah kering, dengan bulan basah > 2 – 4,5 bulan.
e. Daerah beriklim kering, dengan bulan basah < 2 bulan.

Daerah NTT sebenarnya secara keseluruhan tidak persis termasuk daerah Semi Arid, karena
terdapat daerah-daerah yang memiliki CH bulanan relatif tinggi. Secara klimatologis menurut
klasifikasi Schmidt dan Ferguson, sekitar 60 % daratan di NTT bertipe iklim E, 30 % nya F dan
10 %nya dengan tipe iklim B dan D. Sedangkan menurut klasifikasi Oldeman, 62,6 % dari total
wilayah NTT memiliki 7-9 bulan kering (Tipe D4 dan E3). Itulah sebabnya, Soegiri (1972 dalam
Widyatmika, 1987) berpendapat bahwa NTT termasuk wilayah beriklim kering (Arid) atau semi
kering (Semi Arid) dan vegetasinya cenderung didominasi oleh savana dan stepa.

Dalam Benu dan Nuningsih (2001) ditulis bahwa Provinsi NTT merupakan wilayah kepulauan
yang terdiri atas 75,0% laut dan sisanya daratan. Wilayah NTT seluas 47.349,90 km2, terdiri
dari 566 buah pulau besar dan kecil, dan hanya 42 pulau yang berpenghuni. Secara morfologis
topografis, 73,13 % wilayah daratannya bergunung dan berbukit, yang dengan kemiringan 15
%-40 % seluas 38,07 % dan dengan kemiringan > 40 % seluas 35,46 %; dengan variasi
ketinggian tempat antara 100-1.000 m di atas permukaan laut. Menurut laporan CIDA (1976)
dari total luas wilayah NTT, ada 66,4 % (3.227.660 ha) yang memiliki kemiringan tajam
sehingga tidak cocok diusahakan sebagai lahan pertanian. Luas lahan pertanian sekitar
1.637.000 ha (34 % dari luas wilayah), 92 %nya adalah lahan kering.

Berdasarkan beberapa data di atas maka jelaslah bahwa sebagian besar wilayah NTT adalah
didominasi oleh lahan kering beriklim kering. Lahan kering di NTT tersebar di Timor Barat,
Sumba, Alor, Sabu dan Flores.

Kondisi klimatologis dan geografis tersebut sangat memberi warna pada pola kehidupan dan
perilaku bagi masyarakatnya terutama pada aktivitas pertanian dan peternakan sebagai mata
pencaharian sebagian besar penduduknya. Salah satu ciri pembatas kehidupan usahatani di
lahan kering adalah kekeringan yang berdampak pada risiko kegagalan panen yang besar
antara lain untuk tanaman pakan ternak (berbagai rumput-rumputan) dan tanaman pangan
setahun (padi dan palawija). Selain itu, keringnya rerumputan dan tanaman semak
menyebabkan rawan api. Kebakaran sebagai akibat baik ketidak sengajaan maupun kegiatan
pembersihan dalam membuka ladang baru atau untuk menumbuhkan rumput muda dan
berburu sering ditemui.
5

Lahan kering beriklim kering dengan topografi berombak dan bergunung berdampak pada
budaya masyarakat NTT yang meliputi pola pikir, perilaku dan hasil perilaku masyarakatnya.
Dengan kata lain, berdasarkan lingkungan hidup yang khusus, masyarakat NTT adalah
masyarakat lahan kering. Masyarakat lahan kering di wilayah beriklim kering ini memiliki ciri-ciri
sosial budaya yang membedakan dirinya baik dari masyarakat yang hidup di lahan basah
ataupun lahan kering di wilayah beriklim basah.

3. Keterkaitan Budaya Masyarakat Lahan Kering dengan Sistem Mata Pencaharian

Budaya masyarakat NTT adalah budaya masyarakat yang bertumpu pada pertanian
(Widyatmika, 1987). Menurut Nordholdt (1969), antara agama (kepercayaan) dan sistem
pertanian serta sistem politik pada masyarakat Atoni (Timor) ada saling keterkaitan yang erat.

Mata pencaharian hidup yang paling utama dari masyarakat lahan kering di NTT adalah bertani.
Dalam kehidupan bertani, terdapat 2 (dua) sumber kehidupan yakni usaha tani lahan kering
dan beternak. Selain bertani dan berternak, masyarakat yang tingggal di pantai memiliki mata
pencaharian menangkap ikan di laut dan mencari biota laut yang bisa dikonsumsi (ikan, kerang,
keong, kepiting, dan rumput laut) di laut sepanjang pesisir pantai pada saat makameting (air
laut surut).

Kehidupan usaha tani lahan kering adalah berupa perladangan berpindah, berkebun (untuk
tanaman keras atau tanaman tahunan) dan pemanfaatan lahan pekarangan. Lahan untuk
perladangan ada 2 (dua) jenis yakni ladang baru yaitu yang baru dibuka dengan membabat
semak belukar dan hutan desa kemudian membersihkan dengan cara membakar, dan ladang
lama yaitu yang sudah diusahakan beberapa tahun. Dalam mengusahakan perladangan, setelah
ladang diusahakan beberapa tahun, kemudian tidak diusahakan(bero) selama beberapa musim
tanam karena kesuburan tanahnya menurun.

Lahan pekarangan dimanfaatkan untuk memelihara ternak sedang (babi dan kambing) serta
ternak kecil (ayam dan itik) serta berbagai jenis tanaman pangan dan hortikultuta serta pakan
ternak. Jenis-jenis tanaman pangan yang diusahakan di ladang dan pekarangan adalah padi
ladang, jagung, sorghum, jewawut, ketela pohon, ubi jalar, kacang nasi, kacang hijau, kacang
kayu, kacang tanah, talas, pisang, mangga, jambu, pepaya dll. Jenis-jenis tanaman yang
diusahakan di kebun yaitu pinang, kelapa, kemiri, buah-buahan dan berbagai pohon yang
daunnya dimanfaatkan untuk pakan ternak seperti lamtoro, turi, dan gamal.

Di lahan kering beriklim kering, kendala utama adalah penyediaan pakan untuk ruminansia dan
kurang bermutunya padang rumput pada musim kering. Terkait dengan kondisi fisik geografis
di NTT, ternak besar (sapi, kerbau dan kuda) diusahakan secara ekstensif dengan cara
penggembalaan di padang.

Kegiatan berburu dilakukan oleh penduduk khusus laki-laki secara berkelompok dengan
bantuan anjing dan hasilnya dibagi menurut peran masing-masing. Satwa yang menjadi obyek
berburu secara umum adalah rusa, babi hutan, kera, musang dan berbagai jenis burung serta
6

itik liar. Di Pulau Sumba (khususnya di Dusun Dasa Elu, Dusun Konda dan Dusun Maloba, dulu
dikenal sebagai pada perburuan kaum bangsawan Desa Konda Maloba Kabupaten Sumba
Tengah, dan kerbau liar pernah menjadi satwa yang menjadi obyek berburu para tokoh
pemerintahan dan tokoh masyarakat. Namun sejak tahun 1993 kerbau-kerbau liar ini tidak ada
lagi karena berpindah dengan cara berenang melalui laut ke pantai Ti’das, akibat kegiatan
berburu dilakukan dengan senjata api. Hal menarik, penduduk memiliki pengetahuan yang baik
tentang perilaku satwa buruan dan mereka memiliki peralatan berburu seperti panah, sumpit,
tombak, ranjau dari bambu, serta anjing untuk mengejar dan menangkap hewan buruan.

Provinsi NTT memiliki jenis sumberdaya kelautan yaitu:

a. Sumber mineral berupa garam industri dan garam pangan, modul nikel dan mangan di
dasar laut.
b. Suberdaya hayati atas ikan, kerang mutiara alam dan budidaya di (Labuan Bajo, Alor
dan Kupang), rumput laut, udang, teripang dan ikan hias.
c. Suberdaya wisata bahari.

Jenis sumberdaya ikan yang potensial antara lain:

 Ikan demersial
 Ikan pelagis
 Ikan tuna
 Ikan cakalang
 Ikan tongkol
 Ikan tembang
 Ikan kembung
 Udang barong prawn)
 Udang (shrimp)
 Cumi
 Teripang

Rendahnya produksi ikan karena kualitas teknologi penangkapan ikan masih sederhana.

4. Pengetahuan dan Teknologi Pertanian Lahan Kering Beriklim Kering

Pengetahuan adalah hasil pengalaman manusia yang diperoleh dari proses interaksi dengan
lingkungan. Intraksi manusia dengan lingkungan pada dasarnya didorong oleh hasrat untuk
memenuhi kebutuhan dasar (basic human needs). Semua pengalaman yang diperoleh manusia
sebagai hasil interaksi dengan lingkungan direkam dalam ingatan. Pengalaman yang baik dan
bermanfaat akan dipraktekkan dalam hidup secara berulang-ulang dan disebut sebagai
kebiasaan-kebiasaan. Sebaliknya pengalaman yang tidak mengenakkan atau merugikan yang
dihindari, melahirkan konsep tabu atau pantangan atau dikenal dengan istilah pemali.
Keseluruhan hasil pengalaman apakah berupa kebiasaan dan pantangan disebut pengetahuan.
Penggunaan pengetahuan secara sistematis dan berulang-ulang disebut Ilmu Pengetahuan.
7

Dalam proses interaksi dengan lingkungan, manusia memperoleh pengetahuan tentang cara-
cara terbaik yang memudahkan dalam mencapai tujuan sehingga lahirlah teknologi atau
pengetahuan berupa alat-alat, bahan, dan cara serta pemakaiannya untuk mendapatkan
efisiensi kerja.

Pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh suatu masyarakat, adalah berupa pengetahuan
sebatas lingkungan hidup atau kondisi fisik yang melingkupinya. Secara umum, pengetahuan
masyarakat terkait kegiatan pertanian secara lokal disesuaikan dengan kondisi SDA setempat,
oleh Warren disebut dengan suatu istilah yaitu indigenouse knowledge (pengetahuan dan
teknologi asli berupa kearifan budaya lokal) yang mengandung 2 (dua) aspek yaitu:
a. Tempat (local).
b. Keaslian atau kedekatan dengan alam (belonging naturally).

Dipandang dari aspek sejarah dan dinamika pengetahuan, indigenouse knowledge oleh Louise
Gtenier dikatakan sebagai merupakan pengetahuan yang bersifat unik tradisional dan lokal yang
dikembangkan oleh masyarakat sesuai dengan lingkungannya dan memiliki dimensi biologi.
Dalam prakteknya sehari-hari, dapat berupa pola pikir tradisional dari berbagai kondisi lapangan
dengan ruang lingkup pertanian, peternakan, perikanan dsb. Dengan indigenouse knowledge,
manusia:

a. Memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam (SDA) untuk memenuhi kebutuhan


dasarnya (basic human needs) agar bisa bertahan hidup dan melanjutkan keturunan.
b. Dapat mengatasi berbagai masalah yang berhubungan dengan:
 Ketahanan pangan (food security).
 Keselamatan ternak.
 Pengelolaan lingkungan.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian, risiko kegagalan panen dalam berusahatani diatasi
dengan menerapkan:

a. Usahatani ladang berpindah. Indikator yang digunakan untuk mengetahui bahwa suatu
lahan sudah bisa diusahakan kembali sangat bervariasi. Di Desa Parabubu (Therik, dkk,
1989) adalah dengan melihat keberadaan tai faka (kotoran cacing tanah). Apabila
ditemukan dalam jumlah banyak, berarti tanahnya dinilai sudah kembali subur sehingga
lahannya bisa diusahakan kembali. Sedangkan petani di Timor, menggunakan indikator
“ladang sudah masak”, yaitu seluruh permukaan lahan sudah dipadati dengan
rerumputan dan emak belukar.
b. Pola tanam campuran (mix croping), yaitu pada lahan yang sama diusahakan berbagai
jenis tanaman tanpa jarak tanam teratur. Beberapa jenis tanaman bahkan ditanam
dalam satu lubang yang sama (dikenal dengan istilah “salome” atau satu lubang rame-
rame). Masyarakat mengetahui jenis-jenis tanaman yang dapat ditanam dalam satu
lubang, misalnya padi ladang dengan labu kuning (pumpin), sedangkan jagung dengan
8

kacang nasi dimana batang jagung sekaligus berfungsi sebagai ajir (tempat tanaman
kacang nasi merambat).
c. Penentuan saat tanam yang tepat dengan menggunakan indikator alam yaitu
ditemukannya tumbuhan berbiji kecil dan pipih telah tumbuh dalam populasi besar atau
permukaan air sumur sudah mencapai bibir sumur. Secara teoritis, “kebutuhan air untuk
waktu tanam” berkaitan erat dengan “Curah Hujan Efektif”, yaitu bagian dari CH yang
betul-betul masuk ke dalam tanah dan tinggal di daerah perakaran tanaman sehingga
dapat diambil oleh tanaman. Permulaan waktu tanam efektif atau CH Efektif yang juga
umum disepakati adalah: (i) hujan selama 10 hari berturut-turut dan setelah waktu
tersebut maka minimum sama dengan 20 mm, atau (ii) waktu hujan turun dan
jumlahnya telah mampu membasahi bagian yang berada pada 5 cm lapisan tanah paling
atas sampai berada pada keadaan kapasitas lapang.
d. Memprediksi munculnya serangan hama dan menggeser waktu tanam. Petani ternyata
memiliki pengetahuan bentuk dewasa (imago) hama tanaman dan jangka waktu bentuk
kupu-kupinya bertelur sampai menetas menjadi ulat. Misalnya ketika mereka melihat
jenis kupu-kupu tertentu yang menjadi imago hama ulat tentara atau dikenal sebagai
ulat “grayak’ (merupakan salah satu hama utama tanaman jagung) maka petani akan
menggeser waktu tanam untuk menghindarkan tanaman jagung yang baru tumbuh
diserang oleh hama ulat tentara.
e. Kalender musim atau pranoto mongso (istilah dalam bahasa Jawa yang telah populer),
yaitu pengalokasian waktu dalam satu tahun yang terdiri dari 12 bulan atau wula (dalam
bahasa Anakalang di Sumba TengahMasing-masing bulan ditandai dengan gejala alam
yang bisa berupa perilaku tumbuhan, satwa, angin, air, bintang dan bulan.

Berdasarkan hasil penelitian Pengkajian Sosial Budaya dan Lingkungan Masyarakat Terasing
Desa Konda Maloba Kecamatan Katikutana Kabupaten Sumba Tengah (Gomang dkk., 1996)
ditemukan bahwa masyarakat petani setempat memiliki “kalender pertanian” unik yang
penerapannya adalah untuk mengantisipasi kegagalan panen karena merujuk pada indikator
alam. Dengan menggunakan indikator alam maka saat tanam relatif tepat waktu sehingga risiko
kegagalan panen dapat ditekan. Berikut ini adalah “kalender pertanian” yang diterapkan oleh
masyarakat Desa Konda Maloba dalam berusaha tani tanaman pangan:

Bulan 1 (Wula Hibu Mangata, bulan tumbuhan mangata berbunga), ditandai


dengan tumbuhan mangata berbunga secara serempak.

 Bulan terakhir petani menanam padi ladang. Kegiatan penanaman padi lewat waktu
tersebut diyakini tidak akan memberikan hasil yang memuaskan.

Bulan 2 (Wula Laboya, bulan nyale terhempas di pantai Lamboya)

 Saat panen jagung.


 Saat awal tanam padi sawah.
9

Bulan 3 (Wula nyale bakul, bulan nyale banyak), ditandai dengan nyale (cacing laut)
ditemukan dalam jumlah besar di semua pantai yang berbatasan dengan Samudera
Indonesia

 Saat paling baik untuk tanam padi sawah, sampai batas pertengahan bulan.,
 Saat panen nyale di pantai.

Bulan 4 (Wula nyali nibu, bulan ujung tombak), ditandai buah polong muda
tumbuhan legum padang muncul seperti ujung tombak.

 Saat karabuk (mencabut rumput) disusul penanaman ubi jalar di ladang bekas
padang rumput.

Bulan 5 (Wula ngura, bulan ubi muda), ditandai dengan ubi manusia mulai terbentuk.

 Saat tanam jagung yang ke-II.

Bulan 6 (Wula tua, bulan ubi tua), ditandai ubi manusia, biji legum dan padi telah tua.

 Saat panen padi sawah dan panen ubi di hutan dan ladang.

Bulan 7 (Wula Rigi Manu, bulan bulu sayap ayam merenggang), ditandai suhu
udara paling dingin dan pohon dadap mekar, ayam-ayam naik di pohon atau atap rumah
dengan bulu ayam merenggang.

 Saat membuka hutan untuk ladang dengan kegiatan tebas pohon dan semak.

Bulan 8 (Wula ba’da rara, bulan daun merah), ditandai saat pohon berdaun lebar
(decidous tree) mengugurkan daunnya.

 Saat paling tepat untuk mengolah/membalik tanah ladang.


 Saat panen jagung ke-II.

Bulan 9 (Wula dapa diha, bulan tidak masuk dalam hitungan dan dianggap bulan
”panas”), ditandai dengan suhu yang sangat dingin.

 Pantang melakukan aktifitas apapun termasuk memberi nama anak, menguburkan


orang mati dan menikahkan anak.

Bulan 10 (Wula wadu kudu atau wula ti’dung, bulan angin kecil atau bulan
berkedudukan di atas kepala atau bulan berkedudukan di zenith), ditandai dengan
cuaca sangat terik disertai angin bertiup sangat lembut.

 Saat membakar ranting-ranting terakhir


 Diyakini bahwa sinar matahari mampu mensterilkan tanah
10

Bulan 11 (Wula wadu bakul, bulan angin besar), ditandai panas terik membakar
bumi disertai angin kencang yang berlangsung selama ½ bulan, dan setengah bulan
berikutnya hujan mulai jatuh ke bumi.

 Saat hujan turun, dimulai tanam jagung pertama.

Bulan 12 (Wula pahita, bulan pahit namun dianggap sebagai bulan ”suci”),
ditandai dengan hujan lebat dasertai angin dan babi hutan mulai membuat sarang di
padang dari rumput kering. Disebut bulan ”pahit” karena pada saat ini biasanya persediaan
bahan pangan di lumbung menipis atau habis untuk mendukung kegiatan kerja sawah,
sebaliknya pekerjaan sawah sangat menguras dana dan tenaga.

 Saat melakukan kegiatan sawah yang banyak menguras tenaga


 Meskipun babi hutan pada bulan ini dalam posisi lemah yaitu bersarang di bawah
tumpukan rumput kering di padang ssehingga mudah ditangkap, tapi di
”pemalikan” untuk ditangkap atau dibunuh. Barangsiapa yang membunuh babi
hutan pada kondisi “lemah” tersebut, dianggap laki-laki bermental “pengecut”.

KESIMPULAN:

 Dalam berusahatani, masyarakat lokal memiliki kerarifan budaya lokal yaitu selalu menjaga
kelestarian SDA setempat ysng menjadi bagian dari lingkungan hidupnya.
 Kalender Pertanian tersebut merupakan rujukan yang relatif tepat dalam kegiatan pertanian
yang menjamin terhindarnya kegagalan panen akibat salah musim dalam memulai saat
tanam, karena masyarakat lokal melakukan aktifitas pertanian dengan menggunakan
ecological indicator, namun demikian masih perlu dikaji lebih lanjut untuk pembuktiannya.
 Masyarakat lokal hanya memanfaatkan sumebrdaya hayati (SDH) dalam jumlah
secukupnya, tidak berlebihan meskipun di alam tersedia dalam jumlah berlimpah. Misalnya

Contoh lain dari hasil penelitian di Desa Konda Maloba :

o Masyarakat Konda Maloba hanya mengambil ubi di hutan pada musim paceklik dalam
jumlah sebatas untuk kebutuhan selama masa menunggu saat panen.
o Sangat hati-hati menangani hasil panen dari sejak di lapangan sampai di lumbung, agar tidak
terbuang atau tercecer.
o Memiliki teknik pengolahan pengawetan bahan pangan hewani dan nabati dalam upaya
mengantisipasi kekurangan bahan pangan di musim paceklik. Misalnya pengawetan daging
untuk jangka waktu penyimpanan 2 tahun, pengolahan ikan untuk bumbu masakan (mirip
pembuatan terasi dengan teknik fermentasi), pengolahan ubi jalar dan ubi kayu menjadi
bahan pangan awetan.

Contoh dari hasil penelitian masyarakat terasing Desa Parabubu di Kabupaten Sikka
(Filemon da Lopez, Retno Nuningsih, Hendrikus Ataupah dan Tom Therik, 1997),
petani memiliki indigenouse knowledge antara lain:
11

o Memiliki varietas padi pare ampera yang tahan terhadap kendala angin kencang. Padi
ini ditanam di Detu Sokoria yang setiap musim tanam selalu mengalami kendala alam
berupa angin Barat Laut yang bertiup sangat kencang.
o Memiliki varietas padi pare wularua yang selalu ditanam dalam populasi sedikit bersama
padi lain (sebagai tanaman padi pokok di lahan sawah tadah hujan) karena memiliki
keunggulan yaitu berumur sangat genjah (2 bulan) sehingga mampu mengatasi
kebutuhan bahan pangan yang mulai menipis pada masa musim tanam (musim
menunggu saat panen), sekalipun produksinya rendah.
o Memiliki varietas jagung keo tobe yang ditanam di Detu Sokoria karena memiliki sifat
tahan rebah, bertongkol besar dan tahan dalam penyimpanan (sampai 2 tahun) tanpa
rusak. Untuk diktahui, Detu Sokoria wilayahnya datar dan berada pada ketinggian di
atas 1.000 m dpl yang selalu mengalami angin kencang selama musim tanam.
o Mengenal dengan sangat baik kegunaan dari jenis-jenis tumbuhan tertentu baik untuk
obat, bahan pangan, pakan, ramuan rumah, peralatan rumah tangga, peralatan
pertanian, dan kayu bakar.
o Mengenal dengan sangat baik lingkungan SDA pertanian (fisik dan hayati), sehingga
bisa menghindari kegagalan panen dengan menggeser waktu tanam.
o Menggunakan indikator alam untuk menentukan apakah suatu lahan sudah dapat
diusahakan kembali setelah diberakan (dalam sistem ladang berpindah) yaitu berupa
seberapa banyak tai faka (kotoran cacing) yang dapat ditemukan di atas suatu lahan.
Apabila di atas suatu lahan sudah ditemukan banyak tai faka maka berarti lahan
tersebut sudah dapat diusahakan kembali.
o Mengusahakan jenis tanaman yang sesuai dengan lingkungan fisik setempat.
Masyarakat desa Parabubu memiliki koleksi benih dari 13 varietas padi dan 3 vareitas
jagung.

Contoh dari hasil wawancara dengan petani disekitar Polen (TTS) :

o Memiliki teknologi pengolahan dan pengawetan hasil tanam (termasuk menghilangkan


racun dari bahan pangan) untuk tujuan food security di musim paceklik.
o Mereka menggunakan pupuk organik (kotoran sapi/kambing) dan daun-daun kering
untuk pupuk.
o Membersihkan lahan dengan cara membakar pada pagi hari atau malam hari saat tidak
ada angin, dan membuat sekat api (disebut sako) sekeliling ladang untuk mencegah api
merambat ke lahan yang lain.

Sumber Pustaka

1. Benu, A dan R. Nuningsih. 2001. Potensi Wilayah dan Masalah pembangunan Pertanian
di Wilayah Kering dan Sumberdaya Kelautan, Kajian NTT. DalamSemangun, H dan F.F.
Karwur (Penyunting). 1995. Prosiding Konferensi Internasional Pembangunan Pertanian
Semi Arid Nusa Tenggara Timur, Timor Timur dan Maluku Tenggara Tanggal 10-16
Desember 1995 di Kupang. Penerbit Widya Sari Salatiga untuk Pemerintah Provinsi NTT
dan Universitas Kristen Satya Wacana: halaman 38-53..
2. Gomang, S., R. Nuningsih, Ataupah, H., F.D. Lopez dan Y. Benufinit. 1996. Pengkajian
Sosial Budaya dan Lingkungan Masyarakat Terasing Desa Konda Maloba Kecamatan
12

Katikutana, Kabupaten Sumba Barat. Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi NTT,
Kupang.
3. Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia. Penerbit Djambatan.
4. Lopez, F.D, R. Nuningsih, T.G. Therik, dan H, Ataupah. 1997. Pengkajian Sosial Budaya dan
Lingkungan Masyarakat Terasing Desa Parabubu, Perwakilan Kecamatan Paga, Kabupaten
Sikka. Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi NTT, Kupang.
5. Nuningsih, R. 2007. Teknologi Indigenouse: Suatu Strategi Masyarakat Lokal dalam
Pertanian Berkelanjutan. Buletin Penelitian dan Pengembangan, Indonesia Australia Eastern
Universities Project Alumni Forum, Kupang, Folume 8, Nomor 3: halaman 1-8.
6. Soekanto, S. 1999. Sosiologi: Suatu Pengantar. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
7. Widiyatmika. 1987. Budaya Masyarakat Lahan Kering. Pusat Penelitian Universitas Nusa
Cendana, Kupang.
13

BAB II

POTENSI DAN PERMASALAHAN PEMBANGUNANAN PERTANIAN LAHAN KERING


DI PROVINSI NTT DAN KEBUTUHAN TEKNOLOGI

Kompetensi Khusus
Mahasiswa dapat menjelaskan potensi dan permasalahan Pembangunan Pertanian
Lahan Kering di Provinsi NTT serta kebutuhan teknologi untuk mengatasinya.

1. Konsep Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Sektor Pertanian di NTT sampai dengan saat ini masih menjadi Leading Sector (sector andalan),
oleh karena itu “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan” yang bertumpu pada potensi lahan
kering beriklim kering perlu mendapat perhatian mengingat sebagiannya merupakan lahan
kritis dengan berbagai masalah dan hambatan. Pembangunan berkelanjutan menurut Turner et
al. (1993), secara operasional didefinisikan sebagai upaya memaksimalkan manfaat bersih
pembangunan ekonomi dengan syarat dapat mempertahankan dan meningkatkan baik jasa,
kualitas maupun kuantitas SDA sepanjang waktu. Dalam konteks “Pertanian Berkelanjutan”,
The Agricultural Research Service (USDA) mendefinisikan Pertanian Berkelanjutan sebagai
pertanian yang pada waktu mendatang dapat bersaing, produktif, meguntungkan,
mengkonservasi SDA, melindungi lingkungan, dan meningkatkan kesehatan, kualitas pangan
serta keselamatan. Sedangkan Technical Advisory Committee of the CGIAR (TAC/CGIAR, 1988)
menyatakan bahwa “Pertanian Berkelanjutan” adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil
untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus
mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan SDA.

Berdasarkan beberapa konsep tentang “Pertanian Berkelanjutan” tersebut, dapat disimpulkan


bahwa “Pertanian Berkelanjutan” adalah suatu konsep pemikiran masa depan atau pertanian
yang berlanjut untuk masa saat ini, saat yang akan datang dan selamanya. Artinya, pertanian
tetap ada dan bermanfaat bagi semuanya dan tidak menimbulkan bencana bagi semuanya.
Dengan kata lain, pertanian yang bisa dilaksanakan saat ini, saat yang akan datang dan
menjadi warisan yang berharga bagi anak cucu kita. Oleh karena itu, Pembangunan di Sektor
Pertanian, Kehutanan, Perkebunan, Peternakan dan Perikanan harus mampu mengkonservasi
tanah, air, tanaman, sumber genetik binatang, tidak merusak lingkungan, secara teknis dapat
diterapkan petani, secara ekonomis menguntungkan, dan secara sosial dapat diterima dan
secara ekologis tidak merusak lingkungan. Adapun ciri-ciri “Pertanian Berkelanjutan” adalah:

a. Mantap secara ekologis, yang berarti kualitas SDA dipertahankan dan kemampuan
agroekosistem secara keseluruhan (dari manusia, tanaman, hewan sampai organisme
tanah) ditingkatkan.
14

b. Secara ekonomis dapat berlanjut, yang berarti petani mendapat penghasilan yang
dapat mencukupi kebutuhan sesuai dengan tenaga dan biaya yang dikeluarkan dan
dapat melestarikan SDA dan meninimalisasikan risiko.
c. Adil, yang berarti sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa sehingga
keperluan dasar semua anggota masyarakat dapat terpenuhi dan begitu juga hak
mereka dalam penggunaan lahan dan modal yang memadai serta bantuan teknis
terjamin.
d. Manusiawi, yang berarti bahwa martabat dasar semua mahluk hidup (manusia,
tanaman dan hewan) dihargai dan menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar
(kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama dan rasa sayang), termasuk menjaga
dan memelihara integritas budaya spiritual masyarakat.
e. Luwes, yang berarti masyarakat desa memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan
perubahan kondisi usahatani yang berlangsung terus, misalnya populasi yang
bertambah, kebijakan, permintaan pasar dll.

2. Potensi Pertanian Lahan Kering Beriklim Kering di NTT

Pengembangan pertanian lahan kering di Indonesia masih memiliki prospek yang baik karena
belum dikelola secara optimal dan luasnya mencapai 28,8 juta hektar (8% luas wilayah dan 1,5
% luas lahan pertanian), dengan penyebaran sebagai berikut:
a. Sumatra, 10,8 juta ha.
b. Kalimantan, 10,9 juta ha.
c. Sulawesi, 1,3 juta ha.
d. Papua, 5,7 juta ha.
e. Nusa Tenggara Timur, 92, 93 % dari total wilayah.

Lahan kering di NTT tersebar di Pulau Timor, Sumba dan Flores. Potensi lahan kering yang ada
di NTT berbeda menurut pulau atau sub wilayah, yang ditentukan oleh kondidi fisik, biologi dan
kondisi sosialnya.

3. Permasalahan Pertanian Lahan Kering Beriklim Kering di NTT

Permasalahan yang dihadapi usaha pertanian di lahan kering beriklim kering sangat kompleks
yang berakibat rendahnya produktifitas. Beberapa permasalahan yang dihadapi, antara lain:

a. Keterbatasan air.
b. Degradasi lahan akibat erosi.
c. Tingkat kesuburan tanah rendah.
d. Infrastruktur ekonomi tidak sebaik di daerah beriklim basah.
e. Lahan kering umumnya tersebar di daerah lereng dan perbukitan dengan potensi
erositinggi sehingga mengakibatkan degradasi kesuburan lahan.
f. Kondisi biofisik lahan kering tidak sebaik lahan sawah.
g. Petaninya umumnya miskin dan seringkali mengabaikan penerapan teknik konservasi
lahan secara berkelanjutan dalam usaha taninya.
15

h. Kualitas lahan dan penerapan teknolog terbatas, menyebabkan variabilitas produksi


pertanian relatif tinggi.
i. Persaingan dengan gulma.
j. Serangan hama.
k. Penggunaan jenis-jenis tanaman lokal dengan produksi rendah.

4. Kebutuhan IPTEK untuk Pengelolaan Lahan Kering Beriklim Kering

Mengingat permasalahan yang dihadapi usaha pertanian lahan kering beriklim kering sangat
kompleks maka untuk pengelolaannya diperlukan keterpaduan dalam penerapan IPTEK yang
dapat menjawab beberapa kebutuhan sebagai berikut:

a. Kebutuhan jenis-jenis tanaman yang tahan kekeringan dan karakteristiknya.

Air memiliki arti sangat penting bagi tumbuhan dan hewan karena 80-95% tubuhnya terdiri
atas air. Selain itu, air diperlukan untuk melarutkan dan mengangkut unsur-unsur hara
tanaman atau nutrisi. Berbagai reaksi kimia dalam tubuh tanaman dan hewan hanya dapat
berlangsung jika terdapat air yang cukup.

Ketahanan terhadap kekeringan pada tumbuhan karena tumbuhan memiliki sifat-sifat


morfologi, anatomi dan fisiologi tertentu. Tumbuhan yang tahan kering memiliki
karakteristik:

 Sistem perakaranya dalam dan luas (contohnya asam dan cendana). Dalam penelitian
Nuningsih, dkk. (1994) ditemukan ada akar pohon cendana yang tumbuh di lahan dengan
kelerengan rata-rata 49,22% sehingga akarnya yang dapat dilihat di permukaan tanah,
panjangnya mencapai 22 m dari batangnya. Panjang akar tersebut belum termasuk yang
masuk ke dalam tanah kembali.
 Daun relatif sempit, sering dengan tepi berlekuk dalam (contohnya beberapa jenis
tanaman rumput).
 Sel-selnya kecil, daun dan batangnya berdaging tebal (contohnya cocor bebek, anggrek).
 Memiliki banyak berkas pembuluh dan tulang daun (contohnya tanaman kacang nasi).
 Sel endodermis pada akarnya mengandung Silika (contohnya sorghum).
 Berbulu atau berambut banyak (contohnya tanaman buah naga).
 Mulut daun rapat dan sering menutup bahkan ada yang terdapat dalam lekukan
(kriptofor)
 Ada yang memiliki sel kipas yang menyebabkan daun dapat menggulung untuk
mengurangi penguapan yang terlalu kuat (contohnya tanaman ubi kayu).

b. Kebutuhan teknologi pengelolaan hara pada lahan keting

Sekalipun menggunakan bibit unggul dan ditanam pada lingkungan dengan agroklimat yang
sesuai, pertumbuhan tanaman tidak akan berlangsung optimal jika struktur tanahnya tidak
mendukung. Hal ini karena tanah bukan sekedar sebagai tempat tanaman berdiri, tapi
16

merupakan media penyedia nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Media tanam yang baik bagi tanaman adalah, mampu menyediakan unsur-unsur
hara secara lengkap. Apabila tidak dapat menyediakan unsur hara yang lengkap dan cukup
maka tanah dikatakan tidak subur. Kondisi ini sama dengan manusia yang kurang gizi,
sehingga mudah terserang penyakit dan tidak dapat melakukan pekerjaan secara produktif.

Paling tidak, ada 16 unsur yang dibutuhkan tanaman yaitu C, H, O, N. S, P, K, Ca, Mg, Bo,
Mo, Cu, Mn, Fe, Zn, Cl. Unsur-unsur tersebut diperoleh tanaman dari 3 (tiga) sumber, yaitu:
(a) udara (C dalam bentuk CO2, O2, dan H dalam bentuk gas H2O), (b) air (H dan O2), dan
(c) tanah. Unsur C, H, dan O ketersediaannya di alam berlimpah sehingga jarang
dipermasalahkan. Lain halnya dengan 13 unsur yang lain, ketersediaannya di tanah sangat
terbatas. Dari ke-13 unsur tersebut, ada 6 unsur yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah
banyak yaitu N, P, K, Ca, S dan Mg oleh sebab itu disebut “unsur makro”. Bahkan N, P, dan
K disebut sebagai “hara pokok” karena mutlak dibutuhkan tanaman untuk tumbuh. Tujuh
unsur lainnya Bo, Mo Cu, Mn, Fe, Zn dan Cl dikenal sebagai “unsur hara mikro”. Sementara
Ca, S dan Mg dikenal sebagai unsur hara penunjang.

Dalam melaksanakan usaha pertanian terkait dengan pemupukaan adalah, bagaimana


menentukan unsur hara yang paling membatasi pertumbuhan tanaman dan seberapa
banyak yang dibutuhkan? Cara terbaik untuk menentukan unsur-unsur hara yang paling
membatasi, dan berapa banyak pupuk yang dibutuhkan adalah dengan melakukan analisa
tanah, analisa tanaman dan percobaan lapang. Tiga faktor yang perlu diperhatikan dalam
menentukan kebutuhan hara tanaman adalah tingkat kesuburan dan sifat-sifat tanah,
tanaman yang akan ditanam, dan tingkat hasil yang diharapkan.

 Tingkat kesuburan dan sifat-sifat tanah. Pada tanah yang sangat subur
tanaman dapat menyerap lebih banyak unsur-unsur hara dari tanah, baik hara tanah
asli maupun hara yang ditambahkan dalam bentuk pupuk, melebihi dari yang
diperlukan untuk menentukan hasil. Kelebihan unsur hara yang diambil oleh
tanaman yang tidak meningkatkan hasil tersebut dinamakan “komsumsi berlebihan”
(luxury comsumtion) yang kadang-kadang terjadi untuk unsur hara K. Juga
kehilangan unsur hara melalui pencucian sangat besar pada tanah-tanah yang
bertekstur kasar dan daya serapnya rendah.
 Tanaman yang akan ditanam. Kebutuhan hara juga tergantung pada jenis dan
varietas tanaman yang akan ditanam dan bagian tanaman yang dipanen. Tanaman
ubi-ubian, legum atau biji-bijian, daun atau buahnya masing-masing mempunyai
kebutuhan hara yang berbeda. Bahkan jenis tanaman yang sama tetapi berbeda
varietasnya juga mempunyai kebutuhan hara yang berbeda.
 Tingkat hasil yang diharapkan. Tanaman membutuhkan lebih banyak unsur-
unsur hara untuk menghasilkan produksi yang lebih tinggi. Hal ini berarti bahwa
lebih banyak unsur-unsur hara yang perlu disediakan dan diambil dari dalam tanah
untuk diangkut keluar dari lahan pertanian dalam bagian tanaman yang dipanen.
Walapun demikian, jika dilakukan pengelolaan yang baik maka hal tersebut juga
17

berarti bahwa lebih banyak unsur-unsur hara akan dapat dikembalikan ke lahan
melalui daur ulang sisa tanaman yang juga akan bertambah banyak sejalan dengan
peningkatan hasil.

Difisiensi ganda sering terjadi pada lahan kering, dan untuk memperoleh hasil yang baik,
difisiensi ganda ini harus diatasi mulai dari hara yang paling membatasi. Pemberian pupuk
harus disesuaikan dengan kandungan hara-hara yang sudah ada di dalam tanah. Jika hara-
hara dari pupuk diberikan dengan perbandingan yang benar maka penggunaan pupuk
tersebut dinamakan “pemupukan berimbang”. Penggunaan pupuk secara seimbang dapat
mengurangi biaya pupuk karena unsur hara yang sudah cukup tidak ditambahkan lagi
dalam bentuk pupuk. Sebaliknya pemupukan yang tidak seimbang dapat menyia-nyiakan
pupuk yang tidak diperlukan dan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tanaman.
Pemberian pupuk N dan K yang melebihi kebutuhan tanaman sebagian dapat hilang karena
pencucian dan penguapan (khusus N). Hara K yang berlebih dapat meningkatkan serapan K
yang tidak mengakibatkan pertambahan hasil yang semakin meningkat.

Disamping pemberian hara harus seimbang, pengelolaan hara sebaiknya dilakukan secara
terpadu. Pengelolaan hara terpadu adalah penggunaan yang efisien dari semua jenis dan
bentuk sumber unsur-unsur hara baik organik maupun anorganik yang berasal dari
pertanian maupun di luar lahan pertanian. Tujuannya adalah untuk mengelola suatu sistem
pertanian secara produktif dan berkelanjutan dan dengan biaya yang terendah.

Daur ulang unsur-unsur hara tanaman, dapat dilakukan dengan pengembalian sisa panen
ke lahan pertanian yang bersangkutan. Sisa panen tersebut dapat menjadi bagian dari
bahan organik tanah. Bahan organik ini selanjutnya dapat berfungsi sebagi simpanan unsur-
unsur hara, berperan dalam meningkatkan kapasitas tanah untuk menahan unsur hara dan
air, memperbaiki kesuburan fisik dan biologi tanah.

c. Kebutuhan teknologi pengendalian erosi pada lahan kering

Subagyo et. al. (2000) menghitung luas lahan berdasarkan pengelompokan bentuk relief
atau topografi, dengan menggunakan Atlas Tanah Explorasi Indonesia skala 1 : 1.000.000.
sebagai sumber datanya. Kriteria pengelompokan bentuk topografi tersebut disajikan pada
tabel berikut.

TOPOGRAFI LERENG (%) PERBEDAAN


KETINGGIAN (M)
Datar 0–3 <2
Datar agak berombak 3–8 2 – 10
Berombak agak 8 – 15 10 – 50
berombak
Berbukit 15 – 30 50 – 300
18

Bergunung >30 > 300


Sumber: Subagyo et al., 2000

Di semua pulau, lahan berlereng selalu lebih luas dari lahan datar. Kemiringan lahan dan
curah hujan yang tinggi merupakan faktor penting penyebab tingginya bahaya erosi,
kecuali pada penggunaan lahan yang baik, seperti hutan lebat dan lahan sawah.

Proses erosi adalah proses pemindahan sejumlah besar tanah dari suatu tempat ke tempat
lain oleh media air atau angin. Di daerah beriklim kering dengan musim hujan yang pendek
tapi dengan intensitas curah hujan tinggi, lahan rentan mengalami erosi. Erosi dikendalikan
oleh faktor iklim yaitu curah hujan. Tumbukan butir hujan menghancurkan agregat tanah
sehingga terjadi penyumbatan pori tanah, sehingga infiltrasi air berkurang yang
menyebabkan terjadinya aliran permukaan. Aliran permukaan selanjutnya tidak hanya
menghanyutkan tanah tetapi juga hara yang terkandung di dalamnya (peristiwanya disebut
leaching). Kehilangan hara akibat erosi dan aliran permukaan pada lahan kering berlereng
menimbulkan degradasi lahan yang sangat serius. Karena itu tindakan konservasi tanah
diperlukan tidak hanya untuk mengurangi erosi tetapi juga untuk memperbaiki infiltrasi.

Menurut Meyer (1981), upaya pengendalian erosi atau konservasi tanah terdiri atas:
a. Meredam energi hujan.
b. Meredam daya gerus aliran permukaan.
c. Mengurangi kuantitas aliran permukaan.
d. Memperlambat laju aliran permukaan dan memperbaiki sifat-sifat tanah yang peka erosi.
e. Mencegah longsor.

Upaya pengendalian erosi dimulai dari pemilihan teknik konservasi yang paling tepat
diterapkan pada lahan pertanian, sebab satiap teknik mempunyai kekurangan dan
kelebihannya masing-masing serta mempunyai persyaratan yang berbeda. Pada lahan
usaha tani, perencanaan kandang-kandang tidak diperlukan lagi karena pemilik atau
penggerak lahan telah menerapkan teknik konservasi tanah tertentu. Yang diperlukan
adalah penyempurnaan teknik konservasi tanah yang telah ada, misalnya mengatur
kembali saluran pembuangan air (SPA) dan menambah komponen lain yang belum ada.

Pengendalian erosi dapat dilakukan secara mekanis dan vegetative, yang dapat dijelaskan
sebagai berikut:

Pengendalian Erosi Secara Mekanis, dengan:

Teras bangku. Dari segi teknis, teras bangku merupakan suatu teknik pengendalian erosi
yang efektif. Teras bangku sebaiknya ditanam rumput pada tampingan dan guludannya
untuk memperkuat agar tidak mudah longsor dan juga pakan sebagai pakan ternak.
Saluran pembuangan air perlu dibuat untuk mengarahkan aliran permukaan agar tidak
merusak ketika menuruni lereng. Penerapan teknik ini membutuhkan waktu lama untuk
19

mampu menjadi efektif. Penelitian berbagai teknik konservasi tanah pada tanah Tytic
Eutropepts di Ungaran membuktikan bahwa teras bangku dan juga teknik lainnya baru
menjadi efektif setelah 5 tahun. Beberapa penelitian lain membuktikan, efektifitas teras
bangku bertambah dengan penanaman rumput pada bibir teras. Sejak tahun 1975, teras
bangku telah menjadi bagian dari kegiatan penghijauan setelah dibentuk Inpres
Penghijauan (Siswomartono et al., 1990) karena mendapat subsidi biaya pembuatan dari
pemerintah sebesar 50% (Mangundikoro, 1975). Hal ini mendorong pembutan teras
bangku secara besar-besaran, walaupun teknik ini memerlukan biaya yang tinggi terutama
untuk tenaga kerja. Teras bangku juga mengurangi luas bidang olah. Sukmana, (1995)
menghitung berkurangnya luas permukaan lahan karena dibangun teras bangku pada
lahan seluas 1,0 ha.

Teras gulud. Teras gulud merupakan teknik konservasi tanah yang lebih sederhana dalam
pembuatannya dibandingkan dengan teras bangku. Teras gulud mempunyai guludan,
saluran air dan bidang olah. Guludan dapat diperkuat dengan tanaman konservasi seperti
serengan jantan, glirisidia, lamtoro, rumput gajah, rumput raja, rumput bedeh dan lain-lain.
Erosi yang terjadi pada teras gulud makin berkurang sejalan dengan bertambahnya waktu
sejak penerapan teras gulud. Penelitian membuktikan bahwa pada tanah latosol,
pengurangan dapat mencapai 70% pada tahun ke 2, sedangkan pada tanah tropudalf
mencapai 86% pada tahun ke 2. Komponen teras gulud yang menyebabkan berkurangnya
luas lahan adalah guludan, parid dan SPA.

Pengendalian Erosi Secara Vegetatif, dapat dilakukan dengan:

Strip Rumput. Rumput ditanam dalam strip searah kontur dengan lebar 0,5 – 1 meter,
dengan tujuan untuk menghambat laju aliran permukaan dan erosi tanah. Rumput yang
ditanam adalah pakan ternak yang menghasilkan banyak bahan hijau dan kualitas yang
baik untuk pakan ternak, namun tidak terjadi persaingan penyerapa zat hara dan
pemanfaatan sinar matahari dengan tanaman semusim. Menurut Abujamin et. Al. (1983),
penyusutan bidang olah tergantung epada kemiringan lereng dan lebar strip rumput.
Penelitian di DAS Citanduy membuktikan bahwa strip rumput dapat diterima oleh petani
karena mudah penerapannya, biaya murah dan dapat meningkatkan pendapatan petani
(Abujmin et al1983)

Mulsa. Mulsa adalah teknik konservasi tanah yang menggunakan bahan organic berupa
sisa-sisa panen tanaman seperti jerami, brangkasan jagung, kacang tanah dsb. Peranan
mulsa dalam KTA adalah:
1) Melindungi tanah dari pukulan langsung dari butir-butir air hujan sehingga erosi dapat
dikurangi dan tanah tidak mudah padat.
2) Mengurangi penguapan (evaporasi).
3) Menciptakan kondisi lingkungan dalam tanah yang baik bagi aktifitas mikrooganisme
tanah.
20

4) Bahan mulsa setelah melapuk akan meningkatkan bahan 20lterna tanah.


5) Belum dapat ditekan, dan tanah menjadi gembur.

Efektifitas mulsa dalam mengendalikan erosi tergantung pada jenis mulsa, kuantitas
penutupan permukaan tanah, tebal lapisan mulsa, dan daya tahan mulsa terhadap
dekomposisi. Menurut Suwardjo (1981) bahwa sisa tanman yang baik untuk dijadikan
mulsa adalah yang mengandung lignin tinggi, seperti jerami padi, sorgum dan batang
jagung.

d. Kebutuhan teknologi rehabilitasi dan reklamasi pada lahan kering

Rehabilitas lahan diartikan sebagai upaya pemulihan atau perbaikan lahan yang telah atau
sedang mengalami penurunan produktivitasnya, agar kembali ke kondisi semula. Kualitas
lahan yang dimaksud adalah sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah, keragaan tanaman
yang tumbuh di atasnya, ketersediaan air/kelmebaban tanah dan iklim makro. Sedangkan
reklamasi lahan diartikan sebagai upaya pemanfaatan lahan-lahan pertanian yang sudah
tidak berfungsi sebagai faktor produksi menjadi berfungsi kembali (seperti reklamasi tanah
bekas galian tanah, reklamasi lahan sawah yang tercemar limbah pengeboran minyak
bumi, dll).

Degradasi lahan (land degradation) adalah suatu proses penurunan produktivitas lahan,
baik sementara maupun tetap, yang meliputi berbagai bentuk dan penurunan produktivitas
tanah sebagai akibat kegiatan manusia dalam pemanfaatan tanah dan air, penggundulan
hutan dan penurunan produktivitas padang penggembalaan. Sedangkan degradasi tanah
(soil degradation) adalah suatu proses kemunduran produktivitas tanah yang disebabkan
oleh kegiatan manusia, yang mengakibatkan penurunan produktivitas tanah pada saat ini
dan/atau di masa yang akan datang dalam mendukung kehidupan makluk hidup (Dent,
1993). Salah satu contoh degradasi tanah adalah berkurang atau hilangnya sebagian atau
seluruh tanah lapisan atas, menurunnya kadar C-organik dan unsur-unsur hara tanah, serta
berubahnya beberapa parameter sifat fisik tanah, seperti struktur tanah, pori aerasi atau
pori drainase cepat menjadi lebih buruk. Akibat lanjut degradasi tanah adalah hasil
pertanaman mengalami penurunan drastis, kualitas fisik dan kimia tanah menurun, dan
pada akhirnya suatu saat lahan tersebut menjadi tidak produktif atau kritis.

Lahan kritis didefenisikan sebagai lahan yang karena tidak sesuai penggunaan dan
kemampuannya telah mengalami atau dalam proses kerusakan fisik, kimia, dan biologi,
yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian, pemukiman
dan kehidupan sosial ekonomi dari daerah lingkungan pengaruhnya (Mulyadi dan
Supratohardjo, 1975). Menurut depertemen kehutanan (1985), lahan kritis adalah lahan
yang sudah tidak berfungsi sebagai media pengatur tata air dan unsur produksi pertanian
yang baik, dicirikan oleh keadaan penutupan vegetasi kurang dari 25%, topografi dengan
kemiringan lebih dari 15% dan/atau ditandai dengan adanya gejala erosi lembar (sheet
erosion) dan erosi parit (gully erosion ).
21

Degradasi lahan yang terjadi di Indonesia umumnya disebabkan oleh erosi air hujan. Tanah
yang terkikis atau tererosi, terutama yang terjadi pada lahan pertanian tanaman pangan
menyebabkan kualitas sifat-sifat fisik dan kimia tanahnya menurun, hasil tanaman
berkurang dan hara-hara tanah hilang terbawa aliran permukaan. Selain itu, di Indonesia
juga terjadi degradasi lahan akibat penggunaan bahan-bahan agrokimia dan terkena
limbah industri, bencana alam seperti letusan gunung berapi dan tanah longsor. Penyebab
lain adalah kegiatan pertambangan, khususnya penambangan yang dilakukan secara
terbuka (open mining), yang bisa menyebabkan berubah dan rusaknya bentang alam,
termasuk hilngntya tanah lapisan atas yang sangat berguna untuk pertanian, terbukanya
vegetasi penutup, erosi, pencemaran, dll (seperti akibat penambangan Mangan di Timor
Barat).

Degradasi lahan yang termasuk ke dalam kategori kemunduran kimia tanah, diantaranya
disebabkan oleh proses penggaraman, pemasaman dan pencemaran bahan-bahan
agrokimia (seperti yang dilakukan pada lahan gambut di Kalimantan). Sedangkan proses
kemunduran fisik tanah diantaranya disebabkan oleh erosi, pemadatan dan penggenangan.

Teknik rehabilitaasi untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas lahan yang mengalami
degradasi adalah dengan pengelolaan bahan organik dan penerapan teknik pencegahan
erosi agar tidak terjadi degradasi yang berlanjut. Bahan organik yang biasa digunakan
diantaranya adalah pupuk organik (bahan hijau tanaman legum), sisa-sisa tanaman, pupuk
kandang, dll. Bahan organik disebarkan di atas permukaan tanah atau dibenamkan ke
dalam tanah. Namun, bahan organik dari jenis bahan hijau atau sisa-sisa tanaman,
sebaiknya disebarkan di atas permukaan tanah untuk melindungi tanah dari erosi hujan,
menjaga kelembaban tanah dan menghambat evaporasi. Bahan organik yang dibenamkan
ke dalam tanah, umumnya dimaksudkan untuk mempercepat proses dekomposisi, sehingga
dapat menambah bahan organik dan unsur hara tanah.

e. Kebutuhan teknologi pengelolaan bahan organik pada lahan kering

Lahan-lahan di NTT pada umumnya mengandung bahan organik rendah oleh karena itu
pupuk organik sangat diperlukan, dan kebiasaan ladang berpindah dengan cara tebas
bakar perlu disosialisasikan bahwa sangat merugikan.

f. Kebutuhan teknologi konservasi dan hemat air di lahan kering

Kelebihan air pada MH yang berlangsung singkat tapi dengan intensitas yang tinggi dapat
ditampung dalam waduk kecil-kecil atau embung-embung dan airnya dipakai untk mengairi
area pertanaman pada musim kemarau. Untuk mengurangi penguapan dari permukaan air
yang tertampung di waduk/embung atau danau alam maka dapat diberi cairan kimia cetyl
alkohol yang akan meluas membentuk film pada permukaannya. Selain bahan kimia,
permukaan waduk/embung atau danau alam dapat dtutup dengan bahan-bahan terapung
22

yang permukaannya tipis dan luas seperti styrefoam. Tanaman air seperti eceng gondok
(Eichornia crassipes).

Pemberian air yang hemat air dapat diberikan dengan teknologi irigasi tetes (trickle
irrigation), dengan cara pemasangan selang air berlubang yang ditanam di bawah tanah
dekat perakaran dan air dialirkan sesuai kebutuhan. Selain itu dapat diberikan senyawa
antitranspirant yang dapat mengurangi laju transpirasi pada tanaman sehingga
memberikan efek berupa menutupnya mulut daun, dan membentuk lapisan yang dapat
memantulkan cahaya matahari sehingga mengurangi sinar matahari yang terserap oleh
daun.

g. Kebutuhan teknologi untuk pengendalian gulma dan hama pada lahan kering

Gulma selalu menjadi masalah yang sulit diatasi di derah kering dan harus diatasi dengan
pengendalian terpadu, khususnya dengan pemakaian pola tanam yang tepat yang dapat
segera menutup permukaan lahan. Ada beberapa varietas lokal tanaman tertentu yang
lebih toleran terhadap persaingan dengan gulma. Di tahun 1970-an di Sumba dan Timor
dikenal gulma “rumput belalang” atau “rumput sensus” atau “kirinyu” (Chromolaena
odorata). Disamping merugikan, gulma ini juga bermanfaat untuk melindungi tanah yang
gundul terhadap erosi. Oleh karena itu gulma ini jangan dimusnahkan tapi harus
dikendalikan secara bijaksana.

Meskipun masih sangat terbatas, survei mengenai hama dan penyakit tidak dilaporkan
adanya epidemi (Wakman, 1987 dalam Semangun, 2001). Rupanya musim kering yang
panjang diduga mampu memutuskan daur hidup dan menghentikan perkembangannya.
Penerapan pola tanam campuran (mix cropping) terbukti efektif yang menyebabkan hama
dan penyakit tidak dapat berkembang ecara epidemis.

l. Kebutuhan pemuliaan tanaman

Sifat-sifat tahan kering tidak akan bermanfaat jika tidak digabungkan dengan sifat-sifat
yang menentukan produksi tinggi. Macam-macam sifat tahan kekeringan dan mampu
berproduksi tinggi tersebut ditentukan oleh banyak gen. Oleh karena itu diperlukan
pemuliaan tanaman, yang merupakan pekerjaan rumit. Menurut Arnon (1976 dalam
Semangun, 2001), para ahli pemuliaan tanaman memilih melakukan pemuliaan tanaman
untuk menghasilkan varietas dengan sifat berproduksi tinggi dan memiliki adaptasi yang
baik terhadap musim yang menguntungkan dan yang tidak menguntungkan.

m. Kebutuhan pola tanam yang sesuai untuk lahan kering beriklim kering

Upaya mengurangi risiko kegagalan panen di lahan kering beriklim kering adalah penanaman
lebih dari satu jenis tanaman di atas lahan yang sama pada waktu yang sama yang disebut
23

dengan pola tanam “tumpangsari” atau intercropping. Petani di NTT telah lama
menggunakan pola tanam tumpangsari seperti pola tanam campuran (mix cropping), pola
tanam berlorong (alley cropping), pola tanam “tiga strata” (pohon, perdu, dan semak yaitu
tanaman perkebunan, tanaman pakan dan tanaman pangan).

SUMBER PUSTAKA

1. Nuningsih, R., I.W. Mudita, dan W.I.I. Mella, 1994. Kajian Permudaan Cendana (santalum
album L.) Secara Vegetatif pada Habitat Alamiah di TTS, NTT. Laporan Penelitian, Pusat
Studi Lingkungan Hidup Undana.

2. Semangun, H. 2001. Pembangunan Pertanian di Daerah Semiarid Indinesia: Aspek Teknis.


Dalam Semangun, H dan F.F. Karwur (Penyunting). 1995. Prosiding Konferensi
Internasional Pembangunan Pertanian Semi Arid Nusa Tenggara Timur, Timor Timur dan
Maluku Tenggara Tanggal 10-16 Desember 1995 di Kupang. Penerbit Widya Sari Salatiga
untuk Pemerintah Provinsi NTT dan Universitas Kristen Satya Wacana: halaman 203-213..
24

BAB III

SISTEM-SISTEM USAHATANI DAN PENERAPAN SISTEM USAHA TANI


TERPADU BERKELANJUTAN DI LAHAN KERING

Kompetensi Khusus
Mahasiswa dapat menjelaskan system-sistem usaha tani dan penerapan
sistem usaha tani terpadu di lahan kering.

1. Klasifikasi Sistem Pertanian di Daerah Tropik

Menurut Ruthenburg, 1980), sistem pertanian di daerah tropis dapat diklasifikasikan menjadi: .
 Sistem pertanian yang bersifat pengumpul hasil pertanian.
 Sistem Pertanian yang bersifat membudidayakan tanaman.
 Sistem Pertanian yang untuk pakan ternak dan padang penggembalaan.

a. Sistem Pertanian dengan Pengumpulan Hasil Pertanian

Sistem ini adalah sistem pertanian yang secara langsung memperoleh hasil tumbuh-
tumbuhan yang tidak dibudidayakan secara sengaja oleh manusia. Sistem ini biasanya
dilakukan bersamaan dengan sistem berburu binatang dan penangkapan ikan. Jarang
ditemukan sebagai kegiatan tunggal. Di beberapa daerah yang terisolasi secara fisik, sistem
ini masih ditemukan antara lain di Papua dan Kalimantan.

b. Sistem Pertanian dengan Budidaya Tanaman

Sistem ini merupakan sistem pertanian yang paling utama. Jenis-jenis tanaman yang
dibudidayakan dapat dikelompokkan menjadi 12 kelompok seperti dapat dilihat pada tabel
berikut.

Jenis-Jenis Tanaman Budidaya Utama Dalam Pertanian


25

NO KELOMPOK TANANAMAN CONTOH

1 Cereal (padi-padian) Jagung, sorgum, padi, gandum, jewawut,


oat, barley, millet

2 Pulses (legum setahun) Kedelai, kc. merah, kc. hijau, kc. tunggak,
kc. nasi

3 Forage crops (pakan) Rumput, alfafa, clover

4 Leafy crops (sayuran) Kol, bayam, kangkung, sawi, slada, slada air,
daun kelor

5 Fruits (buah-buahan) Pepaya, mangga, pisang, jambu, jeruk,


alpukat, nangka, nenas, durian, kedondong,
semangka, melon, sawo, pir, apel

6 Oil crops (penghasil minyak Kelapa sawit, kelapa, kacang tanah, olive,
makan) bunga matahari, canola, kemiri, wijen,
jagung, kedele

7 Nuts (kacang) Almond, kacang tanah, makadomia, kacang


mente, kenari

8 Sugar crops (Penghasil gula) Gula tebu, gula bit, gula palma (kelapa,
lontar, aren), septia

9 Beverage (untuk minuman) Kopi, teh, coklat, anggur, jahe

10 Spices (rempah-rempah) Lada, kayu manis, cengkeh, pala, jintan

11 Fibre crops (penghasil serat) Jute, rami, kapas, kapok, pisang manila dan
pisang abaca, pandan, nenas

12 Fuel crops (bahan bakar kayu) Lamtoro, kusambi, gamal, asam, klengkeng

Di daerah tropik, terdapat banyak sIstem budidaya tanaman dan klasifikasinya dapat
dilakukan berdasarkan beberapa ciri spesifik sebagai berikut:

Berdasarkan Tipe Rotasinya. Dikenal ada 4 macam sistem budidaya yaitu:


 Sistem pertanian dengan rotasi bera alami, dimana lahan ditanami kemudian
diberakan (uncultivated fallow).
 Sistem pertanian dengan rotasi tanaman untuk padang penggembalaan
(ley system). Bentuk-bentuk vegetasi dominan yang terdapat di masa bera dapat
berupa pohon-pohonan (forest fallow), semak-semak (bush fallow), kayu tahan api
dan rumput (savanna fallow), dan rumput (grass fallow).
26

 Sistem pertanian dengan rotasi tanaman untuk padang penggembalaan.


Sistem ini adalah sistem dimana lahan ditanami tanam-tanaman semusim untuk
beberapa tahun kemudian dibiarkan rumput tumbuh atau lahan ditanami rumput
dan tanaman legume untuk padang penggembalaan.
 Sistem pertanian dengan rotasi tegalan, dimana tanaman semusim yang satu
ditanam setelah tanaman semusim sebelumnya dipanen pada lahan kering.
 Sistem pertanian dengan rotasi tanaman tahunan (kakao, kopi, kelapa,
mente dll) diamana dapat ditanam secara bergantian dengan bera, atau tanaman
semusim atau padang penggembalaan.

Berdasarkan Intensitas Rotasinya. Klasifikasi berdasarkan intensitas rotasinya,


digunakan rumus :

Jumlah tahun lahan ditanami


R= x 100 %
Lama siklus (tahun)

Contoh:
Misalkan dalam siklus 10 tahun, 2 tahun lahan ditanami dan 8 tahun diberakan maka
nilai Rnya adalah:
2
R= x 100 % = 20 %
10

 Apabila nila R =< 33 % maka digolongkan sistem perladangan.


 Apabila nilai R < 60 % dan > 33 % (33 % < R > 66 % maka digolongkan sistem
bera.
 Apabila nilai R > 60 % maka digolongkan sistem petanian permanen.

Berdasarkan Suplai Air. Berdasarkan suplai air, digongkan menjadi 2 yaitu:


 sistem pertanian dengan pengairan (irrigated farming), dimana air dapat
diatur masuk ke dalam lahan sehingga tingkat kelembaban lebih tinggi dibandingkan
tanpa irigasi dan sistem pertanian tanpa pengairan. Sstem pertanian ini banyak
dijumpai di daerah Arid dan Semi Arid.
 Sistem pertanian tanpa pengairan (rainfed farming).

Berdasarkan Pola Tanam. Ini merupakan sistem pertanian yang terpenting di daerah
tropis yang biasanya didukung dengan penggunaan ternak. Ada pertanian dengan pola
tanam tunggal (monoculture), pola tanam campuran (mix cropping, pola tanam
tumpangsari (intercropping), pola tanam beruntun (sequensial cropping).
27

Berdasarkan Alat-Alat Pertanian yang Digunakan. Secara garis besar dapat


digolongkan menjadi:
 Sistem pertanian pra teknis, dimana hanya menggunakan alat-alat sangat sederhana
misalnya pertanian tebas bakar.
 Sistem pertanian dengan cangkul dan sekop.
 Sistem pertanian dengan bajak dan garu yang ditarik hewan.
 Sistem pertanian dengan bajak dan garu yang ditarik traktor.

Berdasarkan Tingkat dan hasil kotor Komersialisasi. Berdasarkan bagian dari hasil
yang dikonsumsi dan dikomersielkan, dikenal beberapa golongan yaitu:
 Usaha pertanian subsistensi penuh, yaitu usaha pertanian yang dilakukan dari
generasi ke generasi berikutnya tanpa banyak input teknologi dari luar, di mana
tujuan usahatani hanya untuk memenuhi kebutuhan minimal hidup pokok keluarga.
 Usaha pertanian subsistensi fakultatif, adalah usaha pertanian yang ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, dan sisanya atau sebagian kecil hasil
panennya dijual di pasar lokal.
 Usaha pertanian prakomersial, adalah usaha pertanian subsisten yang
digabungkan dengan upaya pemenuhan kebutuhan barang sehari-hari, sehingga
mengharuskan petani menjual sebagian hasil panennya.
 Usaha pertanian semi komersial, dicirikan oleh pengusahaan komoditas
komersiel secara intensif, sebagian kecil hasil panen untuk pemenuhan kebutuhan
pangan keluarga dan sebagian besar untuk dijual. Usahatani padi pada lahan sawah
beririgasi termasuk dalam katergori usaha pertanian semi komersiel.
 Usaha pertanian komersiel, dicirikan untuk memperoleh keuntungan usaha
sehingga pemilihan komoditas dan teknologi serta pasar telah diperhitungkan secara
matang. Pertanian komersiel tidak berbeda dengan usaha industri manufaktur yang
menentukan harga jual produk berdasarkan biaya produksi dan keuntungan.
 Usaha Pertanian agribisnis, yaitu kegiatan usaha pada bidang pertanian dengan
pola saling kebergantungan antara lima subsistem yaitu: (i) subsistem sarana
produksi, (ii) subsistem produksi primer (on-farm), (iii) subsisem pengolahan
(agroindustri), (iv) subsistem distribusi dan pemasaran, dan (v) subsistem
penunjang (kebijakan, lembaga modal, penelitian, penyuluhan, pertanahan).

Berdasarkan Tingkat Teknologi dan Pengelolaan. Terutama untuk tanaman


perkebunan, dibedakan ada perkebunan rakyat, perkebunan besar dan Oerkebunan Inti
Rakyat.

c. Sistem Pertanian untuk Padang Penggembalaan dan Peternakan

Petanian ternak atau peternakan umunya diklasifikasikan berdasarkan ketetapan


tinggalnya (stasionaryness) dari peternak dan ternaknya sbb:.
28

 Semi nomadis, dimana peternak memiliki tempat tinggal permanen dan di


sekitarnya ada budidaya makanan ternak sebagai tambahan. Akan tetapi ternak dan
penggembalaanya bergerak pada daerah-daerah yang berbeda.
 Transhuman, peternak mempunyai tempat tinggal permanen tetapi ternaknya
dengan bantuan penggembala, mengembara pada daerah penggembalaan yang
berpindah-pindah dan letaknya jauh.
 Partial Nomadis, peternak tinggal secara permanen pada pemukiman yang juga
permanen dan penggembalaan ternaknya pada sekitar tempat tinggalnya.
 Peternakan menetap, ternaknya sepanjang tahun berada pada lahan atau desanya
sendiri,

2. Penerapan Sistem Usahatani Terpadu Berkelanjutan di Lahan Kering

Lahan kering merupakan tantangan baru sekaligus sumber pemecahan masalah dalam
Pembangunan Pertanian. Lahan yang secara umum menuju kritis, memerlukan sistem
pengelolaan yang tepat. Sistem pengelolaan yang tepat untuk usaha pertanian lahan kering
beriklim kering adalah dengan “Sistem Usahatani Terpadu” yang dikenal dengan istilah “take-
intake agriculture” dimana keluaran (out put) dari sektor pertanian yang satu menjadi masukan
(in put) dari sektor pertanian yang lain sehingga terjadi mata rantai “in put- proses produksi-out
put” yang saling mengisi dan berlangsung secara berkelanjutan serta dapat menekan biaya
produksi. Seperti telah diketahui, pertanian dalam arti luas terdiri dari 5 (lima) sub sektor yaitu
tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan. Apabila pertanian
dikembangkan secara sendiri-sendiri maka sisa-sisa tanaman atau kotoran dari ternak dan hasil
ikan yang merupakan limbah pertanian dimana dapat menimbulkan masalah dan
penanganannya memerlukan biaya tinggi sehingga akan mengakibatkan peningkatan biaya
produksi pertanian. Dengan demikian “pertanian terpadu berkelanjutan” merupakan solusi yang
tepat dan merupakan pilar utama kebangkitan bangsa Indonesia karena akan mampu
menyediakan pangan secara berkelanjutan (Anita Swietenia, 2012).

Konsepsi pertanian terpadu adalah merupakan sistem yang menggabungkan kegiatan


pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan dalam satu lahan sehingga
diharapkan menjadi salah satu solusi alternatif bagi peningkatan produktifitas lahan, program
pembangunan dan konservasi lingkungan serta pengembangan “Desa Terpadu”. Sedangkan
Pertanian berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu konsepsi menyangkut tantangan bagi
produsen agar mulai mempertimbangkan implikasi jangka panjang tentang cara budidaya,
interaksi sistem usaha tani dan dinamika sistem pertanian. Konsepsi ini juga mendorong
konsumen agar lebih terlibat sebagai partisipan aktif dalam sistem pangan (Salikin, 200).
Dalam konteks ekologis, pertanian berkaitan erat dengan upaya memelihara sistem biologi agar
dapat secara kontinu memberikan out put dengan tingkat yang sama tanpa menggunakan in
put yang berlebih. Pada tingkatan praktis, konsepsi ini menuntut pemahaman menyangkut
dinamika hara dan energy, interaksi berbagai tanaman dan organisme lain dalam satu
29

ekosistem, serta keseimbangnnya dengan keuntungan/pendapatan, kepentingan komunitas dan


kebutuhan konsumen (Dunlap et. Al., 1992).

Penerapan pertanian terpadu akan mendorong pertanian yang berkelanjutan karena dalam
pertanian terpadu dapat meminimalkan penggunaan pupuk organik bahkan menghilangkannya
sehingga kesuburan tanah terpelihara. Di sisi lain, produk yang dihasilkan lebih berkualitas dan
sehat serta aman untuk dikonsumsi karena masuk dalam kategori “hasil pertanian organik”.
Dengan semakin meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan trend
mengkonsumsi bahan pangan organik maka petani akan lebih diuntungkan karena harga
jualnya lebih mahal dibandingkan komoditas non organik.

Pertanian Terpadu Berkelanjutan


Secara sederhana dapat dimaknai sebagai pertanian yang menggabungkan berbagai subsektor
pertanian (pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan)
dalam suatu area dengan luasan tertentu sehingga lebih efisien karena relatif
http://hasanahsenter

Contoh:
Daun dan batang jagung sebagai limbah budidaya jagung dimanfaatkan untuk pakan sapi,
kotoran sapi dimanfaatkan sebagai pupuk organik untuk berbagai tanaman budidaya yang ada
(sayuran, buah dll) atau diolah menjadi biogas sebagai sumber energi, limbah cair dari kandang
sapi dialirkan ke kolam ikan, biji jagung dan limbah ikan menjadi campuran pakan ternak sapi.

SUMBER PUSTAKA

1. Anita Swietania. 2012. Sistem Pertanian Terpadu dan Berkelanjutan Berwawasan


Lingkungan. http://swietania 14.blogspot.com/2012/09/system-pertanian-terpadu-
dan.html.
2. Dunlap, R., C. Beus, R. Hoell and J. Waud. 1992. What is Sustainable Agriculture? An
Emperical Examination of Faculty and Farmer Definitions. J. Sustainabke Agric: 3 ((1): 5-9.
3. Muhamad Solih Sujana, 2013. Konsep Pertanian Terpadu dan Berkelanjutan. *I*blog kang
solih tea *I*.
4. Salikin, A.K. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Kanisius Yugyakarta.

Anda mungkin juga menyukai