Dalam kehidupan sehari-hari, dikenal istilah kebudayaan. Juga dalam kehidupan sehari-hari,
orang selalu berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan. Kata budaya berasal dari bahasa
sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi dan daya. Buddhi
memiliki arti budi atau akal atau akal pikiran. Sedangkan “daya” mempunyai arti usaha atau
ikhtiar. Dalam bahasa Inggris, budaya dikenal dengan istilah “culture” atau budaya, yang
sebenarnya berasal dari kata latin “colere”, artinya mengolah atau mengerjakan tanah
(bertani). Melville J. Herkovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang diturunkan dari
satu generasi ke generasi, yang disebut superorganik. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan
adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri dengan cara belajar.
Dikenal ada 2 (dua) istilah yaitu budaya lokal dan budaya nasional. Budaya lokal, adalah suatu
budaya yang perkembangannya terjadi di daerah-daerah dan merupakan milik suku bangsa.
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang multikultural dalam suku bangsa dan budaya.
Sedangkan budaya nasional yaitu suatu kebudayaan yang terbentuk dari keseluruhan budaya
lokal yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan merupakan hasil serapan
dari unsur-unsur budaya asing atau global. Kebudayaan nasional berfungsi sebagai kontinuitas
sejak zaman kejayaan bangsa Indonesia pada masa lampau sampai kebudayaan nasional masa
kini.
(1) Wujud abstrak, berupa “Sistem Gagasan”. Budaya dalam bentuk ini bersifat abstrak,
artinya tidak dapat diraba karena ada dalam pikiran tiap anggota masyarakat penganut
budaya yang bersangkutan. Gagasan itulah yang akhirnya menghasilkan berbagai karya
manusia berdasarkan nilai-nilai dan cara berfikir serta perilaku mereka.
(2) Bentuk tindakan. Budaya dalam bentuk tindakan bersifat kongkret yang dapat dilihat.
Contoh: cara petani mengolah lahan ladang dan sawah, cara berburu rusa, cara
beternak sapi, cara memelihara ikan, cara menangkap ikan, dll.
(3) Bentuk hasil karya. Budaya dalam bentuk hasil karya bersifat kongkret sehingga bisa
dilihat dan diraba. Contoh: pengrajin tenun ikat menghasilkan kain dengan berbagai
motif (flora, fauna dan manusia), berbagai peralatan seperi peralatan dapur dan
peralatan untuk bertani, beternak, berburu, menangkap ikan, dll.
Wujud budaya suatu bangsa juga dapat berupa:
Selo Sumarjan dan Soeleman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya,
rasa dan cipta masyarakat.
Menurut para ahli, lingkungan hidup suatu masyarakat merupakan faktor yang menentukan
dalam perkembangan kebudayaan. Etnografi adalah suatu studi yang mempelajari dan
menjelaskan tentang kebudayaan suatu masyarakat tertentu dengan tujuan untuk
menemukenali dan melukiskan bagaimana masyarakat menanggulangi masalah-masalah dalam
lingkungan hidupnya serta menggali pranata-pranata sosial-ekonomi manakah yang dimiliki
oleh warga masyarakat dalam upayanya untuk memenuhi kebutuhan dasar utama manusia
(basic human needs), juga bagaimanakah mekanisme perubahan yang mengatur pemanfaatan
pengelolaan sumberdaya alam (SDA) maupun sumberdaya sosialnya. Secara teoritis,
pemenuhan kebutuhan dasar utama itu terdiri dari:
Menurut Charles Erasmus, bahwa setiap pribadi pada hakekatnya terdapat 2 (dua) unsur
penting yaitu motif dan daya indra. Daya indra bersifat aktif yang diperoleh secara berulang
dari pengalaman masa lalunya. Perpaduan motif dan daya indra akan menghasilkan keinginan
dan keinginan inilah yang akan menjadi perilaku. Perubahan pengalaman seseorang akan
memberi peluang perubahan keinginannya. Dengan demikian pengalaman masa lampau secara
berulang adalah salah satu unsur penting pemberi corak budaya yang berupa ide (gagasan,
perilaku dan hasil perilaku).
Apabila dikaitkan dengan pengalaman masa lampau yang berulang tersebut maka untuk
wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah berkaitan pula dengan kondisi lingkungan lahan
kering, topografi berombak, berbukit dan bergunung serta berbagai ancaman berulang masa
lampau yang menghantui kelangsungan hidup masyarakat. Dengan demikian kondisi
lingkungan lahan kering yang bercirikan kekeringan yang membawa risiko kegagalan panen,
harus selalu diperhitungkan oleh masyarakat NTT dalam kehidupan sehari-harinya. Kenyataan
inilah yang dialami secara berulang dan membentuk daya indra serta persepsi dan pola pikir
masyarakat yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku, sebagai bagian dari kebudayaan
masyarakat lahan kering beriklim kering.
2. Corak Lahan Kering Wilayah Nusa Tenggara Timur dan Pengaruhnya terhadap
Budaya Lahan Kering
Istilah lahan kering secara umum selalu diakaitkan dengan lahan tanpa pengairan. Dalam
pengertian ini, di Indonesia terdapat area lahan kering yang luas baik di Jawa, Sumatra,
Kalimantan, Suawesi, Maluku dan Papua. Namun lahan kering dalam pengertian tersebut secara
klimatologis berada di zone agroklimat basah. Dalam kaitan lahan kering pada materi kuliah ini,
batasan lahan kering yang dimaksudkan adalah lahan tanpa pengairan di area yang tidak
pernah jenuh oleh air secara permanen sepanjang musim (Widyatmika, 1987). Daerah demikian
pada umumnya terdapat pada daerah yang curah hujannya relatif rendah. Daerah dengan
curah hujan relatif rendah pada umumnya merupakan daerah yang secara klimatologis
termasuk daerah Arid dan Semi Arid.
Daerah Semi Arid didefinisikan dengan berbagai cara. Salah satunya dikembangkan oleh
Thornwhite (1948) yang mendasarkan atas hubungan antara rata-rata bulan hujan dan potensi
evapotranspirasi. Definisi lain dikembangkan oleh de Martonine yang didasarkan atas nilai
Indeks Ariditas. Daerah Semi Arid didefinisikan sebagi daerah yang nilai Indeks Ariditasnya
jatuh antara 10 - 20 (Finkel, 1986). Menurut kriteria Ferguson, dikatakan bulan basah apabila
CH-nya < 60 mm/bulan dan dikatakan bulan kering apabila CH-nya > 100 mm/bulan.
Selanjutnya suatu daerah disebut kering apabila memiliki tipe Curah Hujan D, E dan F dengan
4,5 – 7,9 bulan kering. Sedangkan menurut klasifikasi Oldeman (bulan kering = CH-nya < 100
mm/bulan). Menurut Throll (1966 dalam Ruthenberg, 1980), salah satu unsur Curah Hujan (CH)
yang dipakai untuk klasifikasi agroklimat di daerah tropik adalah CH bulanan, dimana CH
bulanan > dari 200 mm/bulan disebut bulan basah. Selanjutnya berdasarkan banyaknya bulan
basah dalam setahun, daerah tropik dapat dibagi menjadi 4 (empat) zone agroklimat yaitu:
Daerah NTT sebenarnya secara keseluruhan tidak persis termasuk daerah Semi Arid, karena
terdapat daerah-daerah yang memiliki CH bulanan relatif tinggi. Secara klimatologis menurut
klasifikasi Schmidt dan Ferguson, sekitar 60 % daratan di NTT bertipe iklim E, 30 % nya F dan
10 %nya dengan tipe iklim B dan D. Sedangkan menurut klasifikasi Oldeman, 62,6 % dari total
wilayah NTT memiliki 7-9 bulan kering (Tipe D4 dan E3). Itulah sebabnya, Soegiri (1972 dalam
Widyatmika, 1987) berpendapat bahwa NTT termasuk wilayah beriklim kering (Arid) atau semi
kering (Semi Arid) dan vegetasinya cenderung didominasi oleh savana dan stepa.
Dalam Benu dan Nuningsih (2001) ditulis bahwa Provinsi NTT merupakan wilayah kepulauan
yang terdiri atas 75,0% laut dan sisanya daratan. Wilayah NTT seluas 47.349,90 km2, terdiri
dari 566 buah pulau besar dan kecil, dan hanya 42 pulau yang berpenghuni. Secara morfologis
topografis, 73,13 % wilayah daratannya bergunung dan berbukit, yang dengan kemiringan 15
%-40 % seluas 38,07 % dan dengan kemiringan > 40 % seluas 35,46 %; dengan variasi
ketinggian tempat antara 100-1.000 m di atas permukaan laut. Menurut laporan CIDA (1976)
dari total luas wilayah NTT, ada 66,4 % (3.227.660 ha) yang memiliki kemiringan tajam
sehingga tidak cocok diusahakan sebagai lahan pertanian. Luas lahan pertanian sekitar
1.637.000 ha (34 % dari luas wilayah), 92 %nya adalah lahan kering.
Berdasarkan beberapa data di atas maka jelaslah bahwa sebagian besar wilayah NTT adalah
didominasi oleh lahan kering beriklim kering. Lahan kering di NTT tersebar di Timor Barat,
Sumba, Alor, Sabu dan Flores.
Kondisi klimatologis dan geografis tersebut sangat memberi warna pada pola kehidupan dan
perilaku bagi masyarakatnya terutama pada aktivitas pertanian dan peternakan sebagai mata
pencaharian sebagian besar penduduknya. Salah satu ciri pembatas kehidupan usahatani di
lahan kering adalah kekeringan yang berdampak pada risiko kegagalan panen yang besar
antara lain untuk tanaman pakan ternak (berbagai rumput-rumputan) dan tanaman pangan
setahun (padi dan palawija). Selain itu, keringnya rerumputan dan tanaman semak
menyebabkan rawan api. Kebakaran sebagai akibat baik ketidak sengajaan maupun kegiatan
pembersihan dalam membuka ladang baru atau untuk menumbuhkan rumput muda dan
berburu sering ditemui.
Lahan kering beriklim kering dengan topografi berombak dan bergunung berdampak pada
budaya masyarakat NTT yang meliputi pola pikir, perilaku dan hasil perilaku masyarakatnya.
Dengan kata lain, berdasarkan lingkungan hidup yang khusus, masyarakat NTT adalah
masyarakat lahan kering. Masyarakat lahan kering di wilayah beriklim kering ini memiliki ciri-ciri
sosial budaya yang membedakan dirinya baik dari masyarakat yang hidup di lahan basah
ataupun lahan kering di wilayah beriklim basah.
Budaya masyarakat NTT adalah budaya masyarakat yang bertumpu pada pertanian
(Widyatmika, 1987). Menurut Nordholdt (1969), antara agama (kepercayaan) dan sistem
pertanian serta sistem politik pada masyarakat Atoni (Timor) ada saling keterkaitan yang erat.
Mata pencaharian hidup yang paling utama dari masyarakat lahan kering di NTT adalah bertani.
Dalam kehidupan bertani, terdapat 2 (dua) sumber kehidupan yakni usaha tani lahan kering
dan beternak. Selain bertani dan berternak, masyarakat yang tingggal di pantai memiliki mata
pencaharian menangkap ikan di laut dan mencari biota laut yang bisa dikonsumsi (ikan, kerang,
keong, kepiting, dan rumput laut) di laut sepanjang pesisir pantai pada saat makameting (air
laut surut).
Kehidupan usaha tani lahan kering adalah berupa perladangan berpindah, berkebun (untuk
tanaman keras atau tanaman tahunan) dan pemanfaatan lahan pekarangan. Lahan untuk
perladangan ada 2 (dua) jenis yakni ladang baru yaitu yang baru dibuka dengan membabat
semak belukar dan hutan desa kemudian membersihkan dengan cara membakar, dan ladang
lama yaitu yang sudah diusahakan beberapa tahun. Dalam mengusahakan perladangan, setelah
ladang diusahakan beberapa tahun, kemudian tidak diusahakan(bero) selama beberapa musim
tanam karena kesuburan tanahnya menurun.
Lahan pekarangan dimanfaatkan untuk memelihara ternak sedang (babi dan kambing) serta
ternak kecil (ayam dan itik) serta berbagai jenis tanaman pangan dan hortikultuta serta pakan
ternak. Jenis-jenis tanaman pangan yang diusahakan di ladang dan pekarangan adalah padi
ladang, jagung, sorghum, jewawut, ketela pohon, ubi jalar, kacang nasi, kacang hijau, kacang
kayu, kacang tanah, talas, pisang, mangga, jambu, pepaya dll. Jenis-jenis tanaman yang
diusahakan di kebun yaitu pinang, kelapa, kemiri, buah-buahan dan berbagai pohon yang
daunnya dimanfaatkan untuk pakan ternak seperti lamtoro, turi, dan gamal.
Di lahan kering beriklim kering, kendala utama adalah penyediaan pakan untuk ruminansia dan
kurang bermutunya padang rumput pada musim kering. Terkait dengan kondisi fisik geografis
di NTT, ternak besar (sapi, kerbau dan kuda) diusahakan secara ekstensif dengan cara
penggembalaan di padang.
Kegiatan berburu dilakukan oleh penduduk khusus laki-laki secara berkelompok dengan
bantuan anjing dan hasilnya dibagi menurut peran masing-masing. Satwa yang menjadi obyek
berburu secara umum adalah rusa, babi hutan, kera, musang dan berbagai jenis burung serta
itik liar. Di Pulau Sumba (khususnya di Dusun Dasa Elu, Dusun Konda dan Dusun Maloba, dulu
dikenal sebagai pada perburuan kaum bangsawan Desa Konda Maloba Kabupaten Sumba
Tengah, dan kerbau liar pernah menjadi satwa yang menjadi obyek berburu para tokoh
pemerintahan dan tokoh masyarakat. Namun sejak tahun 1993 kerbau-kerbau liar ini tidak ada
lagi karena berpindah dengan cara berenang melalui laut ke pantai Ti’das, akibat kegiatan
berburu dilakukan dengan senjata api. Hal menarik, penduduk memiliki pengetahuan yang baik
tentang perilaku satwa buruan dan mereka memiliki peralatan berburu seperti panah, sumpit,
tombak, ranjau dari bambu, serta anjing untuk mengejar dan menangkap hewan buruan.
a. Sumber mineral berupa garam industri dan garam pangan, modul nikel dan mangan di
dasar laut.
b. Suberdaya hayati atas ikan, kerang mutiara alam dan budidaya di (Labuan Bajo, Alor
dan Kupang), rumput laut, udang, teripang dan ikan hias.
c. Suberdaya wisata bahari.
➢ Ikan demersial
➢ Ikan pelagis
➢ Ikan tuna
➢ Ikan cakalang
➢ Ikan tongkol
➢ Ikan tembang
➢ Ikan kembung
➢ Udang barong prawn)
➢ Udang (shrimp)
➢ Cumi
➢ Teripang
Rendahnya produksi ikan karena kualitas teknologi penangkapan ikan masih sederhana.
Pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh suatu masyarakat, adalah berupa pengetahuan
sebatas lingkungan hidup atau kondisi fisik yang melingkupinya. Secara umum, pengetahuan
masyarakat terkait kegiatan pertanian secara lokal disesuaikan dengan kondisi SDA setempat,
oleh Warren disebut dengan suatu istilah yaitu indigenouse knowledge (pengetahuan dan
teknologi asli berupa kearifan budaya lokal) yang mengandung 2 (dua) aspek yaitu:
a. Tempat (local).
b. Keaslian atau kedekatan dengan alam (belonging naturally).
Dipandang dari aspek sejarah dan dinamika pengetahuan, indigenouse knowledge oleh Louise
Gtenier dikatakan sebagai merupakan pengetahuan yang bersifat unik tradisional dan lokal yang
dikembangkan oleh masyarakat sesuai dengan lingkungannya dan memiliki dimensi biologi.
Dalam prakteknya sehari-hari, dapat berupa pola pikir tradisional dari berbagai kondisi lapangan
dengan ruang lingkup pertanian, peternakan, perikanan dsb. Dengan indigenouse knowledge,
manusia:
Berdasarkan beberapa hasil penelitian, risiko kegagalan panen dalam berusahatani diatasi
dengan menerapkan:
a. Usahatani ladang berpindah. Indikator yang digunakan untuk mengetahui bahwa suatu
lahan sudah bisa diusahakan kembali sangat bervariasi. Di Desa Parabubu (Therik, dkk,
1989) adalah dengan melihat keberadaan tai faka (kotoran cacing tanah). Apabila
ditemukan dalam jumlah banyak, berarti tanahnya dinilai sudah kembali subur sehingga
lahannya bisa diusahakan kembali. Sedangkan petani di Timor, menggunakan indikator
“ladang sudah masak”, yaitu seluruh permukaan lahan sudah dipadati dengan
rerumputan dan emak belukar.
b. Pola tanam campuran (mix croping), yaitu pada lahan yang sama diusahakan berbagai
jenis tanaman tanpa jarak tanam teratur. Beberapa jenis tanaman bahkan ditanam
dalam satu lubang yang sama (dikenal dengan istilah “salome” atau satu lubang rame-
rame). Masyarakat mengetahui jenis-jenis tanaman yang dapat ditanam dalam satu
lubang, misalnya padi ladang dengan labu kuning (pumpin), sedangkan jagung dengan
kacang nasi dimana batang jagung sekaligus berfungsi sebagai ajir (tempat tanaman
kacang nasi merambat).
c. Penentuan saat tanam yang tepat dengan menggunakan indikator alam yaitu
ditemukannya tumbuhan berbiji kecil dan pipih telah tumbuh dalam populasi besar atau
permukaan air sumur sudah mencapai bibir sumur. Secara teoritis, “kebutuhan air untuk
waktu tanam” berkaitan erat dengan “Curah Hujan Efektif”, yaitu bagian dari CH yang
betul-betul masuk ke dalam tanah dan tinggal di daerah perakaran tanaman sehingga
dapat diambil oleh tanaman. Permulaan waktu tanam efektif atau CH Efektif yang juga
umum disepakati adalah: (i) hujan selama 10 hari berturut-turut dan setelah waktu
tersebut maka minimum sama dengan 20 mm, atau (ii) waktu hujan turun dan
jumlahnya telah mampu membasahi bagian yang berada pada 5 cm lapisan tanah paling
atas sampai berada pada keadaan kapasitas lapang.
d. Memprediksi munculnya serangan hama dan menggeser waktu tanam. Petani ternyata
memiliki pengetahuan bentuk dewasa (imago) hama tanaman dan jangka waktu bentuk
kupu-kupinya bertelur sampai menetas menjadi ulat. Misalnya ketika mereka melihat
jenis kupu-kupu tertentu yang menjadi imago hama ulat tentara atau dikenal sebagai
ulat “grayak’ (merupakan salah satu hama utama tanaman jagung) maka petani akan
menggeser waktu tanam untuk menghindarkan tanaman jagung yang baru tumbuh
diserang oleh hama ulat tentara.
e. Kalender musim atau pranoto mongso (istilah dalam bahasa Jawa yang telah populer),
yaitu pengalokasian waktu dalam satu tahun yang terdiri dari 12 bulan atau wula (dalam
bahasa Anakalang di Sumba TengahMasing-masing bulan ditandai dengan gejala alam
yang bisa berupa perilaku tumbuhan, satwa, angin, air, bintang dan bulan.
Berdasarkan hasil penelitian Pengkajian Sosial Budaya dan Lingkungan Masyarakat Terasing
Desa Konda Maloba Kecamatan Katikutana Kabupaten Sumba Tengah (Gomang dkk., 1996)
ditemukan bahwa masyarakat petani setempat memiliki “kalender pertanian” unik yang
penerapannya adalah untuk mengantisipasi kegagalan panen karena merujuk pada indikator
alam. Dengan menggunakan indikator alam maka saat tanam relatif tepat waktu sehingga risiko
kegagalan panen dapat ditekan. Berikut ini adalah “kalender pertanian” yang diterapkan oleh
masyarakat Desa Konda Maloba dalam berusaha tani tanaman pangan:
Bulan 3 (Wula nyale bakul, bulan nyale banyak), ditandai dengan nyale (cacing laut)
ditemukan dalam jumlah besar di semua pantai yang berbatasan dengan Samudera
Indonesia
• Saat paling baik untuk tanam padi sawah, sampai batas pertengahan bulan.,
• Saat panen nyale di pantai.
Bulan 4 (Wula nyali nibu, bulan ujung tombak), ditandai buah polong muda
tumbuhan legum padang muncul seperti ujung tombak.
• Saat karabuk (mencabut rumput) disusul penanaman ubi jalar di ladang bekas
padang rumput.
Bulan 5 (Wula ngura, bulan ubi muda), ditandai dengan ubi manusia mulai terbentuk.
Bulan 6 (Wula tua, bulan ubi tua), ditandai ubi manusia, biji legum dan padi telah tua.
• Saat panen padi sawah dan panen ubi di hutan dan ladang.
Bulan 7 (Wula Rigi Manu, bulan bulu sayap ayam merenggang), ditandai suhu
udara paling dingin dan pohon dadap mekar, ayam-ayam naik di pohon atau atap rumah
dengan bulu ayam merenggang.
• Saat membuka hutan untuk ladang dengan kegiatan tebas pohon dan semak.
Bulan 8 (Wula ba’da rara, bulan daun merah), ditandai saat pohon berdaun lebar
(decidous tree) mengugurkan daunnya.
Bulan 9 (Wula dapa diha, bulan tidak masuk dalam hitungan dan dianggap bulan
”panas”), ditandai dengan suhu yang sangat dingin.
Bulan 11 (Wula wadu bakul, bulan angin besar), ditandai panas terik membakar
bumi disertai angin kencang yang berlangsung selama ½ bulan, dan setengah bulan
berikutnya hujan mulai jatuh ke bumi.
Bulan 12 (Wula pahita, bulan pahit namun dianggap sebagai bulan ”suci”),
ditandai dengan hujan lebat dasertai angin dan babi hutan mulai membuat sarang di
padang dari rumput kering. Disebut bulan ”pahit” karena pada saat ini biasanya persediaan
bahan pangan di lumbung menipis atau habis untuk mendukung kegiatan kerja sawah,
sebaliknya pekerjaan sawah sangat menguras dana dan tenaga.
KESIMPULAN:
• Dalam berusahatani, masyarakat lokal memiliki kerarifan budaya lokal yaitu selalu menjaga
kelestarian SDA setempat ysng menjadi bagian dari lingkungan hidupnya.
• Kalender Pertanian tersebut merupakan rujukan yang relatif tepat dalam kegiatan pertanian
yang menjamin terhindarnya kegagalan panen akibat salah musim dalam memulai saat
tanam, karena masyarakat lokal melakukan aktifitas pertanian dengan menggunakan
ecological indicator, namun demikian masih perlu dikaji lebih lanjut untuk pembuktiannya.
• Masyarakat lokal hanya memanfaatkan sumebrdaya hayati (SDH) dalam jumlah
secukupnya, tidak berlebihan meskipun di alam tersedia dalam jumlah berlimpah. Misalnya
o Masyarakat Konda Maloba hanya mengambil ubi di hutan pada musim paceklik dalam
jumlah sebatas untuk kebutuhan selama masa menunggu saat panen.
o Sangat hati-hati menangani hasil panen dari sejak di lapangan sampai di lumbung, agar tidak
terbuang atau tercecer.
o Memiliki teknik pengolahan pengawetan bahan pangan hewani dan nabati dalam upaya
mengantisipasi kekurangan bahan pangan di musim paceklik. Misalnya pengawetan daging
untuk jangka waktu penyimpanan 2 tahun, pengolahan ikan untuk bumbu masakan (mirip
pembuatan terasi dengan teknik fermentasi), pengolahan ubi jalar dan ubi kayu menjadi
bahan pangan awetan.
Contoh dari hasil penelitian masyarakat terasing Desa Parabubu di Kabupaten Sikka
(Filemon da Lopez, Retno Nuningsih, Hendrikus Ataupah dan Tom Therik, 1997),
petani memiliki indigenouse knowledge antara lain:
o Memiliki varietas padi pare ampera yang tahan terhadap kendala angin kencang. Padi
ini ditanam di Detu Sokoria yang setiap musim tanam selalu mengalami kendala alam
berupa angin Barat Laut yang bertiup sangat kencang.
o Memiliki varietas padi pare wularua yang selalu ditanam dalam populasi sedikit bersama
padi lain (sebagai tanaman padi pokok di lahan sawah tadah hujan) karena memiliki
keunggulan yaitu berumur sangat genjah (2 bulan) sehingga mampu mengatasi
kebutuhan bahan pangan yang mulai menipis pada masa musim tanam (musim
menunggu saat panen), sekalipun produksinya rendah.
o Memiliki varietas jagung keo tobe yang ditanam di Detu Sokoria karena memiliki sifat
tahan rebah, bertongkol besar dan tahan dalam penyimpanan (sampai 2 tahun) tanpa
rusak. Untuk diktahui, Detu Sokoria wilayahnya datar dan berada pada ketinggian di
atas 1.000 m dpl yang selalu mengalami angin kencang selama musim tanam.
o Mengenal dengan sangat baik kegunaan dari jenis-jenis tumbuhan tertentu baik untuk
obat, bahan pangan, pakan, ramuan rumah, peralatan rumah tangga, peralatan
pertanian, dan kayu bakar.
o Mengenal dengan sangat baik lingkungan SDA pertanian (fisik dan hayati), sehingga
bisa menghindari kegagalan panen dengan menggeser waktu tanam.
o Menggunakan indikator alam untuk menentukan apakah suatu lahan sudah dapat
diusahakan kembali setelah diberakan (dalam sistem ladang berpindah) yaitu berupa
seberapa banyak tai faka (kotoran cacing) yang dapat ditemukan di atas suatu lahan.
Apabila di atas suatu lahan sudah ditemukan banyak tai faka maka berarti lahan
tersebut sudah dapat diusahakan kembali.
o Mengusahakan jenis tanaman yang sesuai dengan lingkungan fisik setempat.
Masyarakat desa Parabubu memiliki koleksi benih dari 13 varietas padi dan 3 vareitas
jagung.
Sumber Pustaka
1. Benu, A dan R. Nuningsih. 2001. Potensi Wilayah dan Masalah pembangunan Pertanian
di Wilayah Kering dan Sumberdaya Kelautan, Kajian NTT. DalamSemangun, H dan F.F.
Karwur (Penyunting). 1995. Prosiding Konferensi Internasional Pembangunan Pertanian
Semi Arid Nusa Tenggara Timur, Timor Timur dan Maluku Tenggara Tanggal 10-16
Desember 1995 di Kupang. Penerbit Widya Sari Salatiga untuk Pemerintah Provinsi NTT
dan Universitas Kristen Satya Wacana: halaman 38-53..
2. Gomang, S., R. Nuningsih, Ataupah, H., F.D. Lopez dan Y. Benufinit. 1996. Pengkajian
Sosial Budaya dan Lingkungan Masyarakat Terasing Desa Konda Maloba Kecamatan
Katikutana, Kabupaten Sumba Barat. Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi NTT,
Kupang.
3. Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia. Penerbit Djambatan.
4. Lopez, F.D, R. Nuningsih, T.G. Therik, dan H, Ataupah. 1997. Pengkajian Sosial Budaya dan
Lingkungan Masyarakat Terasing Desa Parabubu, Perwakilan Kecamatan Paga, Kabupaten
Sikka. Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi NTT, Kupang.
5. Nuningsih, R. 2007. Teknologi Indigenouse: Suatu Strategi Masyarakat Lokal dalam
Pertanian Berkelanjutan. Buletin Penelitian dan Pengembangan, Indonesia Australia Eastern
Universities Project Alumni Forum, Kupang, Folume 8, Nomor 3: halaman 1-8.
6. Soekanto, S. 1999. Sosiologi: Suatu Pengantar. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
7. Widiyatmika. 1987. Budaya Masyarakat Lahan Kering. Pusat Penelitian Universitas Nusa
Cendana, Kupang.
BAB II
Kompetensi Khusus
Mahasiswa dapat menjelaskan potensi dan permasalahan Pembangunan Pertanian
Lahan Kering di Provinsi NTT serta kebutuhan teknologi untuk mengatasinya.
Sektor Pertanian di NTT sampai dengan saat ini masih menjadi Leading Sector (sector andalan),
oleh karena itu “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan” yang bertumpu pada potensi lahan
kering beriklim kering perlu mendapat perhatian mengingat sebagiannya merupakan lahan
kritis dengan berbagai masalah dan hambatan. Pembangunan berkelanjutan menurut Turner et
al. (1993), secara operasional didefinisikan sebagai upaya memaksimalkan manfaat bersih
pembangunan ekonomi dengan syarat dapat mempertahankan dan meningkatkan baik jasa,
kualitas maupun kuantitas SDA sepanjang waktu. Dalam konteks “Pertanian Berkelanjutan”,
The Agricultural Research Service (USDA) mendefinisikan Pertanian Berkelanjutan sebagai
pertanian yang pada waktu mendatang dapat bersaing, produktif, meguntungkan,
mengkonservasi SDA, melindungi lingkungan, dan meningkatkan kesehatan, kualitas pangan
serta keselamatan. Sedangkan Technical Advisory Committee of the CGIAR (TAC/CGIAR, 1988)
menyatakan bahwa “Pertanian Berkelanjutan” adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil
untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus
mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan SDA.
a. Mantap secara ekologis, yang berarti kualitas SDA dipertahankan dan kemampuan
agroekosistem secara keseluruhan (dari manusia, tanaman, hewan sampai organisme
tanah) ditingkatkan.
b. Secara ekonomis dapat berlanjut, yang berarti petani mendapat penghasilan yang
dapat mencukupi kebutuhan sesuai dengan tenaga dan biaya yang dikeluarkan dan
dapat melestarikan SDA dan meninimalisasikan risiko.
c. Adil, yang berarti sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa sehingga
keperluan dasar semua anggota masyarakat dapat terpenuhi dan begitu juga hak
mereka dalam penggunaan lahan dan modal yang memadai serta bantuan teknis
terjamin.
d. Manusiawi, yang berarti bahwa martabat dasar semua mahluk hidup (manusia,
tanaman dan hewan) dihargai dan menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar
(kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama dan rasa sayang), termasuk menjaga
dan memelihara integritas budaya spiritual masyarakat.
e. Luwes, yang berarti masyarakat desa memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan
perubahan kondisi usahatani yang berlangsung terus, misalnya populasi yang
bertambah, kebijakan, permintaan pasar dll.
Pengembangan pertanian lahan kering di Indonesia masih memiliki prospek yang baik karena
belum dikelola secara optimal dan luasnya mencapai 28,8 juta hektar (8% luas wilayah dan 1,5
% luas lahan pertanian), dengan penyebaran sebagai berikut:
a. Sumatra, 10,8 juta ha.
b. Kalimantan, 10,9 juta ha.
c. Sulawesi, 1,3 juta ha.
d. Papua, 5,7 juta ha.
e. Nusa Tenggara Timur, 92, 93 % dari total wilayah.
Lahan kering di NTT tersebar di Pulau Timor, Sumba dan Flores. Potensi lahan kering yang ada
di NTT berbeda menurut pulau atau sub wilayah, yang ditentukan oleh kondidi fisik, biologi dan
kondisi sosialnya.
Permasalahan yang dihadapi usaha pertanian di lahan kering beriklim kering sangat kompleks
yang berakibat rendahnya produktifitas. Beberapa permasalahan yang dihadapi, antara lain:
a. Keterbatasan air.
b. Degradasi lahan akibat erosi.
c. Tingkat kesuburan tanah rendah.
d. Infrastruktur ekonomi tidak sebaik di daerah beriklim basah.
e. Lahan kering umumnya tersebar di daerah lereng dan perbukitan dengan potensi
erositinggi sehingga mengakibatkan degradasi kesuburan lahan.
f. Kondisi biofisik lahan kering tidak sebaik lahan sawah.
g. Petaninya umumnya miskin dan seringkali mengabaikan penerapan teknik konservasi
lahan secara berkelanjutan dalam usaha taninya.
h. Kualitas lahan dan penerapan teknolog terbatas, menyebabkan variabilitas produksi
pertanian relatif tinggi.
i. Persaingan dengan gulma.
j. Serangan hama.
k. Penggunaan jenis-jenis tanaman lokal dengan produksi rendah.
Mengingat permasalahan yang dihadapi usaha pertanian lahan kering beriklim kering sangat
kompleks maka untuk pengelolaannya diperlukan keterpaduan dalam penerapan IPTEK yang
dapat menjawab beberapa kebutuhan sebagai berikut:
Air memiliki arti sangat penting bagi tumbuhan dan hewan karena 80-95% tubuhnya terdiri
atas air. Selain itu, air diperlukan untuk melarutkan dan mengangkut unsur-unsur hara
tanaman atau nutrisi. Berbagai reaksi kimia dalam tubuh tanaman dan hewan hanya dapat
berlangsung jika terdapat air yang cukup.
➢ Sistem perakaranya dalam dan luas (contohnya asam dan cendana). Dalam penelitian
Nuningsih, dkk. (1994) ditemukan ada akar pohon cendana yang tumbuh di lahan dengan
kelerengan rata-rata 49,22% sehingga akarnya yang dapat dilihat di permukaan tanah,
panjangnya mencapai 22 m dari batangnya. Panjang akar tersebut belum termasuk yang
masuk ke dalam tanah kembali.
➢ Daun relatif sempit, sering dengan tepi berlekuk dalam (contohnya beberapa jenis
tanaman rumput).
➢ Sel-selnya kecil, daun dan batangnya berdaging tebal (contohnya cocor bebek, anggrek).
➢ Memiliki banyak berkas pembuluh dan tulang daun (contohnya tanaman kacang nasi).
➢ Sel endodermis pada akarnya mengandung Silika (contohnya sorghum).
➢ Berbulu atau berambut banyak (contohnya tanaman buah naga).
➢ Mulut daun rapat dan sering menutup bahkan ada yang terdapat dalam lekukan
(kriptofor)
➢ Ada yang memiliki sel kipas yang menyebabkan daun dapat menggulung untuk
mengurangi penguapan yang terlalu kuat (contohnya tanaman ubi kayu).
Sekalipun menggunakan bibit unggul dan ditanam pada lingkungan dengan agroklimat yang
sesuai, pertumbuhan tanaman tidak akan berlangsung optimal jika struktur tanahnya tidak
mendukung. Hal ini karena tanah bukan sekedar sebagai tempat tanaman berdiri, tapi
merupakan media penyedia nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Media tanam yang baik bagi tanaman adalah, mampu menyediakan unsur-unsur
hara secara lengkap. Apabila tidak dapat menyediakan unsur hara yang lengkap dan cukup
maka tanah dikatakan tidak subur. Kondisi ini sama dengan manusia yang kurang gizi,
sehingga mudah terserang penyakit dan tidak dapat melakukan pekerjaan secara produktif.
Paling tidak, ada 16 unsur yang dibutuhkan tanaman yaitu C, H, O, N. S, P, K, Ca, Mg, Bo,
Mo, Cu, Mn, Fe, Zn, Cl. Unsur-unsur tersebut diperoleh tanaman dari 3 (tiga) sumber, yaitu:
(a) udara (C dalam bentuk CO2, O2, dan H dalam bentuk gas H2O), (b) air (H dan O2), dan
(c) tanah. Unsur C, H, dan O ketersediaannya di alam berlimpah sehingga jarang
dipermasalahkan. Lain halnya dengan 13 unsur yang lain, ketersediaannya di tanah sangat
terbatas. Dari ke-13 unsur tersebut, ada 6 unsur yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah
banyak yaitu N, P, K, Ca, S dan Mg oleh sebab itu disebut “unsur makro”. Bahkan N, P, dan
K disebut sebagai “hara pokok” karena mutlak dibutuhkan tanaman untuk tumbuh. Tujuh
unsur lainnya Bo, Mo Cu, Mn, Fe, Zn dan Cl dikenal sebagai “unsur hara mikro”. Sementara
Ca, S dan Mg dikenal sebagai unsur hara penunjang.
➢ Tingkat kesuburan dan sifat-sifat tanah. Pada tanah yang sangat subur
tanaman dapat menyerap lebih banyak unsur-unsur hara dari tanah, baik hara tanah
asli maupun hara yang ditambahkan dalam bentuk pupuk, melebihi dari yang
diperlukan untuk menentukan hasil. Kelebihan unsur hara yang diambil oleh
tanaman yang tidak meningkatkan hasil tersebut dinamakan “komsumsi berlebihan”
(luxury comsumtion) yang kadang-kadang terjadi untuk unsur hara K. Juga
kehilangan unsur hara melalui pencucian sangat besar pada tanah-tanah yang
bertekstur kasar dan daya serapnya rendah.
➢ Tanaman yang akan ditanam. Kebutuhan hara juga tergantung pada jenis dan
varietas tanaman yang akan ditanam dan bagian tanaman yang dipanen. Tanaman
ubi-ubian, legum atau biji-bijian, daun atau buahnya masing-masing mempunyai
kebutuhan hara yang berbeda. Bahkan jenis tanaman yang sama tetapi berbeda
varietasnya juga mempunyai kebutuhan hara yang berbeda.
➢ Tingkat hasil yang diharapkan. Tanaman membutuhkan lebih banyak unsur-
unsur hara untuk menghasilkan produksi yang lebih tinggi. Hal ini berarti bahwa
lebih banyak unsur-unsur hara yang perlu disediakan dan diambil dari dalam tanah
untuk diangkut keluar dari lahan pertanian dalam bagian tanaman yang dipanen.
Walapun demikian, jika dilakukan pengelolaan yang baik maka hal tersebut juga
berarti bahwa lebih banyak unsur-unsur hara akan dapat dikembalikan ke lahan
melalui daur ulang sisa tanaman yang juga akan bertambah banyak sejalan dengan
peningkatan hasil.
Difisiensi ganda sering terjadi pada lahan kering, dan untuk memperoleh hasil yang baik,
difisiensi ganda ini harus diatasi mulai dari hara yang paling membatasi. Pemberian pupuk
harus disesuaikan dengan kandungan hara-hara yang sudah ada di dalam tanah. Jika hara-
hara dari pupuk diberikan dengan perbandingan yang benar maka penggunaan pupuk
tersebut dinamakan “pemupukan berimbang”. Penggunaan pupuk secara seimbang dapat
mengurangi biaya pupuk karena unsur hara yang sudah cukup tidak ditambahkan lagi
dalam bentuk pupuk. Sebaliknya pemupukan yang tidak seimbang dapat menyia-nyiakan
pupuk yang tidak diperlukan dan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tanaman.
Pemberian pupuk N dan K yang melebihi kebutuhan tanaman sebagian dapat hilang karena
pencucian dan penguapan (khusus N). Hara K yang berlebih dapat meningkatkan serapan K
yang tidak mengakibatkan pertambahan hasil yang semakin meningkat.
Disamping pemberian hara harus seimbang, pengelolaan hara sebaiknya dilakukan secara
terpadu. Pengelolaan hara terpadu adalah penggunaan yang efisien dari semua jenis dan
bentuk sumber unsur-unsur hara baik organik maupun anorganik yang berasal dari
pertanian maupun di luar lahan pertanian. Tujuannya adalah untuk mengelola suatu sistem
pertanian secara produktif dan berkelanjutan dan dengan biaya yang terendah.
Daur ulang unsur-unsur hara tanaman, dapat dilakukan dengan pengembalian sisa panen
ke lahan pertanian yang bersangkutan. Sisa panen tersebut dapat menjadi bagian dari
bahan organik tanah. Bahan organik ini selanjutnya dapat berfungsi sebagi simpanan unsur-
unsur hara, berperan dalam meningkatkan kapasitas tanah untuk menahan unsur hara dan
air, memperbaiki kesuburan fisik dan biologi tanah.
Subagyo et. al. (2000) menghitung luas lahan berdasarkan pengelompokan bentuk relief
atau topografi, dengan menggunakan Atlas Tanah Explorasi Indonesia skala 1 : 1.000.000.
sebagai sumber datanya. Kriteria pengelompokan bentuk topografi tersebut disajikan pada
tabel berikut.
Di semua pulau, lahan berlereng selalu lebih luas dari lahan datar. Kemiringan lahan dan
curah hujan yang tinggi merupakan faktor penting penyebab tingginya bahaya erosi,
kecuali pada penggunaan lahan yang baik, seperti hutan lebat dan lahan sawah.
Proses erosi adalah proses pemindahan sejumlah besar tanah dari suatu tempat ke tempat
lain oleh media air atau angin. Di daerah beriklim kering dengan musim hujan yang pendek
tapi dengan intensitas curah hujan tinggi, lahan rentan mengalami erosi. Erosi dikendalikan
oleh faktor iklim yaitu curah hujan. Tumbukan butir hujan menghancurkan agregat tanah
sehingga terjadi penyumbatan pori tanah, sehingga infiltrasi air berkurang yang
menyebabkan terjadinya aliran permukaan. Aliran permukaan selanjutnya tidak hanya
menghanyutkan tanah tetapi juga hara yang terkandung di dalamnya (peristiwanya disebut
leaching). Kehilangan hara akibat erosi dan aliran permukaan pada lahan kering berlereng
menimbulkan degradasi lahan yang sangat serius. Karena itu tindakan konservasi tanah
diperlukan tidak hanya untuk mengurangi erosi tetapi juga untuk memperbaiki infiltrasi.
Menurut Meyer (1981), upaya pengendalian erosi atau konservasi tanah terdiri atas:
a. Meredam energi hujan.
b. Meredam daya gerus aliran permukaan.
c. Mengurangi kuantitas aliran permukaan.
d. Memperlambat laju aliran permukaan dan memperbaiki sifat-sifat tanah yang peka erosi.
e. Mencegah longsor.
Upaya pengendalian erosi dimulai dari pemilihan teknik konservasi yang paling tepat
diterapkan pada lahan pertanian, sebab satiap teknik mempunyai kekurangan dan
kelebihannya masing-masing serta mempunyai persyaratan yang berbeda. Pada lahan
usaha tani, perencanaan kandang-kandang tidak diperlukan lagi karena pemilik atau
penggerak lahan telah menerapkan teknik konservasi tanah tertentu. Yang diperlukan
adalah penyempurnaan teknik konservasi tanah yang telah ada, misalnya mengatur
kembali saluran pembuangan air (SPA) dan menambah komponen lain yang belum ada.
Pengendalian erosi dapat dilakukan secara mekanis dan vegetative, yang dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Teras bangku. Dari segi teknis, teras bangku merupakan suatu teknik pengendalian erosi
yang efektif. Teras bangku sebaiknya ditanam rumput pada tampingan dan guludannya
untuk memperkuat agar tidak mudah longsor dan juga pakan sebagai pakan ternak.
Saluran pembuangan air perlu dibuat untuk mengarahkan aliran permukaan agar tidak
merusak ketika menuruni lereng. Penerapan teknik ini membutuhkan waktu lama untuk
mampu menjadi efektif. Penelitian berbagai teknik konservasi tanah pada tanah Tytic
Eutropepts di Ungaran membuktikan bahwa teras bangku dan juga teknik lainnya baru
menjadi efektif setelah 5 tahun. Beberapa penelitian lain membuktikan, efektifitas teras
bangku bertambah dengan penanaman rumput pada bibir teras. Sejak tahun 1975, teras
bangku telah menjadi bagian dari kegiatan penghijauan setelah dibentuk Inpres
Penghijauan (Siswomartono et al., 1990) karena mendapat subsidi biaya pembuatan dari
pemerintah sebesar 50% (Mangundikoro, 1975). Hal ini mendorong pembutan teras
bangku secara besar-besaran, walaupun teknik ini memerlukan biaya yang tinggi terutama
untuk tenaga kerja. Teras bangku juga mengurangi luas bidang olah. Sukmana, (1995)
menghitung berkurangnya luas permukaan lahan karena dibangun teras bangku pada
lahan seluas 1,0 ha.
Teras gulud. Teras gulud merupakan teknik konservasi tanah yang lebih sederhana dalam
pembuatannya dibandingkan dengan teras bangku. Teras gulud mempunyai guludan,
saluran air dan bidang olah. Guludan dapat diperkuat dengan tanaman konservasi seperti
serengan jantan, glirisidia, lamtoro, rumput gajah, rumput raja, rumput bedeh dan lain-lain.
Erosi yang terjadi pada teras gulud makin berkurang sejalan dengan bertambahnya waktu
sejak penerapan teras gulud. Penelitian membuktikan bahwa pada tanah latosol,
pengurangan dapat mencapai 70% pada tahun ke 2, sedangkan pada tanah tropudalf
mencapai 86% pada tahun ke 2. Komponen teras gulud yang menyebabkan berkurangnya
luas lahan adalah guludan, parid dan SPA.
Strip Rumput. Rumput ditanam dalam strip searah kontur dengan lebar 0,5 – 1 meter,
dengan tujuan untuk menghambat laju aliran permukaan dan erosi tanah. Rumput yang
ditanam adalah pakan ternak yang menghasilkan banyak bahan hijau dan kualitas yang
baik untuk pakan ternak, namun tidak terjadi persaingan penyerapa zat hara dan
pemanfaatan sinar matahari dengan tanaman semusim. Menurut Abujamin et. Al. (1983),
penyusutan bidang olah tergantung epada kemiringan lereng dan lebar strip rumput.
Penelitian di DAS Citanduy membuktikan bahwa strip rumput dapat diterima oleh petani
karena mudah penerapannya, biaya murah dan dapat meningkatkan pendapatan petani
(Abujmin et al1983)
Mulsa. Mulsa adalah teknik konservasi tanah yang menggunakan bahan organic berupa
sisa-sisa panen tanaman seperti jerami, brangkasan jagung, kacang tanah dsb. Peranan
mulsa dalam KTA adalah:
1) Melindungi tanah dari pukulan langsung dari butir-butir air hujan sehingga erosi dapat
dikurangi dan tanah tidak mudah padat.
2) Mengurangi penguapan (evaporasi).
3) Menciptakan kondisi lingkungan dalam tanah yang baik bagi aktifitas mikrooganisme
tanah.
4) Bahan mulsa setelah melapuk akan meningkatkan bahan 20lterna tanah.
5) Belum dapat ditekan, dan tanah menjadi gembur.
Efektifitas mulsa dalam mengendalikan erosi tergantung pada jenis mulsa, kuantitas
penutupan permukaan tanah, tebal lapisan mulsa, dan daya tahan mulsa terhadap
dekomposisi. Menurut Suwardjo (1981) bahwa sisa tanman yang baik untuk dijadikan
mulsa adalah yang mengandung lignin tinggi, seperti jerami padi, sorgum dan batang
jagung.
Rehabilitas lahan diartikan sebagai upaya pemulihan atau perbaikan lahan yang telah atau
sedang mengalami penurunan produktivitasnya, agar kembali ke kondisi semula. Kualitas
lahan yang dimaksud adalah sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah, keragaan tanaman
yang tumbuh di atasnya, ketersediaan air/kelmebaban tanah dan iklim makro. Sedangkan
reklamasi lahan diartikan sebagai upaya pemanfaatan lahan-lahan pertanian yang sudah
tidak berfungsi sebagai faktor produksi menjadi berfungsi kembali (seperti reklamasi tanah
bekas galian tanah, reklamasi lahan sawah yang tercemar limbah pengeboran minyak
bumi, dll).
Degradasi lahan (land degradation) adalah suatu proses penurunan produktivitas lahan,
baik sementara maupun tetap, yang meliputi berbagai bentuk dan penurunan produktivitas
tanah sebagai akibat kegiatan manusia dalam pemanfaatan tanah dan air, penggundulan
hutan dan penurunan produktivitas padang penggembalaan. Sedangkan degradasi tanah
(soil degradation) adalah suatu proses kemunduran produktivitas tanah yang disebabkan
oleh kegiatan manusia, yang mengakibatkan penurunan produktivitas tanah pada saat ini
dan/atau di masa yang akan datang dalam mendukung kehidupan makluk hidup (Dent,
1993). Salah satu contoh degradasi tanah adalah berkurang atau hilangnya sebagian atau
seluruh tanah lapisan atas, menurunnya kadar C-organik dan unsur-unsur hara tanah, serta
berubahnya beberapa parameter sifat fisik tanah, seperti struktur tanah, pori aerasi atau
pori drainase cepat menjadi lebih buruk. Akibat lanjut degradasi tanah adalah hasil
pertanaman mengalami penurunan drastis, kualitas fisik dan kimia tanah menurun, dan
pada akhirnya suatu saat lahan tersebut menjadi tidak produktif atau kritis.
Lahan kritis didefenisikan sebagai lahan yang karena tidak sesuai penggunaan dan
kemampuannya telah mengalami atau dalam proses kerusakan fisik, kimia, dan biologi,
yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian, pemukiman
dan kehidupan sosial ekonomi dari daerah lingkungan pengaruhnya (Mulyadi dan
Supratohardjo, 1975). Menurut depertemen kehutanan (1985), lahan kritis adalah lahan
yang sudah tidak berfungsi sebagai media pengatur tata air dan unsur produksi pertanian
yang baik, dicirikan oleh keadaan penutupan vegetasi kurang dari 25%, topografi dengan
kemiringan lebih dari 15% dan/atau ditandai dengan adanya gejala erosi lembar (sheet
erosion) dan erosi parit (gully erosion ).
Degradasi lahan yang terjadi di Indonesia umumnya disebabkan oleh erosi air hujan. Tanah
yang terkikis atau tererosi, terutama yang terjadi pada lahan pertanian tanaman pangan
menyebabkan kualitas sifat-sifat fisik dan kimia tanahnya menurun, hasil tanaman
berkurang dan hara-hara tanah hilang terbawa aliran permukaan. Selain itu, di Indonesia
juga terjadi degradasi lahan akibat penggunaan bahan-bahan agrokimia dan terkena
limbah industri, bencana alam seperti letusan gunung berapi dan tanah longsor. Penyebab
lain adalah kegiatan pertambangan, khususnya penambangan yang dilakukan secara
terbuka (open mining), yang bisa menyebabkan berubah dan rusaknya bentang alam,
termasuk hilngntya tanah lapisan atas yang sangat berguna untuk pertanian, terbukanya
vegetasi penutup, erosi, pencemaran, dll (seperti akibat penambangan Mangan di Timor
Barat).
Degradasi lahan yang termasuk ke dalam kategori kemunduran kimia tanah, diantaranya
disebabkan oleh proses penggaraman, pemasaman dan pencemaran bahan-bahan
agrokimia (seperti yang dilakukan pada lahan gambut di Kalimantan). Sedangkan proses
kemunduran fisik tanah diantaranya disebabkan oleh erosi, pemadatan dan penggenangan.
Teknik rehabilitaasi untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas lahan yang mengalami
degradasi adalah dengan pengelolaan bahan organik dan penerapan teknik pencegahan
erosi agar tidak terjadi degradasi yang berlanjut. Bahan organik yang biasa digunakan
diantaranya adalah pupuk organik (bahan hijau tanaman legum), sisa-sisa tanaman, pupuk
kandang, dll. Bahan organik disebarkan di atas permukaan tanah atau dibenamkan ke
dalam tanah. Namun, bahan organik dari jenis bahan hijau atau sisa-sisa tanaman,
sebaiknya disebarkan di atas permukaan tanah untuk melindungi tanah dari erosi hujan,
menjaga kelembaban tanah dan menghambat evaporasi. Bahan organik yang dibenamkan
ke dalam tanah, umumnya dimaksudkan untuk mempercepat proses dekomposisi, sehingga
dapat menambah bahan organik dan unsur hara tanah.
Lahan-lahan di NTT pada umumnya mengandung bahan organik rendah oleh karena itu
pupuk organik sangat diperlukan, dan kebiasaan ladang berpindah dengan cara tebas
bakar perlu disosialisasikan bahwa sangat merugikan.
Kelebihan air pada MH yang berlangsung singkat tapi dengan intensitas yang tinggi dapat
ditampung dalam waduk kecil-kecil atau embung-embung dan airnya dipakai untk mengairi
area pertanaman pada musim kemarau. Untuk mengurangi penguapan dari permukaan air
yang tertampung di waduk/embung atau danau alam maka dapat diberi cairan kimia cetyl
alkohol yang akan meluas membentuk film pada permukaannya. Selain bahan kimia,
permukaan waduk/embung atau danau alam dapat dtutup dengan bahan-bahan terapung
yang permukaannya tipis dan luas seperti styrefoam. Tanaman air seperti eceng gondok
(Eichornia crassipes).
Pemberian air yang hemat air dapat diberikan dengan teknologi irigasi tetes (trickle
irrigation), dengan cara pemasangan selang air berlubang yang ditanam di bawah tanah
dekat perakaran dan air dialirkan sesuai kebutuhan. Selain itu dapat diberikan senyawa
antitranspirant yang dapat mengurangi laju transpirasi pada tanaman sehingga
memberikan efek berupa menutupnya mulut daun, dan membentuk lapisan yang dapat
memantulkan cahaya matahari sehingga mengurangi sinar matahari yang terserap oleh
daun.
g. Kebutuhan teknologi untuk pengendalian gulma dan hama pada lahan kering
Gulma selalu menjadi masalah yang sulit diatasi di derah kering dan harus diatasi dengan
pengendalian terpadu, khususnya dengan pemakaian pola tanam yang tepat yang dapat
segera menutup permukaan lahan. Ada beberapa varietas lokal tanaman tertentu yang
lebih toleran terhadap persaingan dengan gulma. Di tahun 1970-an di Sumba dan Timor
dikenal gulma “rumput belalang” atau “rumput sensus” atau “kirinyu” (Chromolaena
odorata). Disamping merugikan, gulma ini juga bermanfaat untuk melindungi tanah yang
gundul terhadap erosi. Oleh karena itu gulma ini jangan dimusnahkan tapi harus
dikendalikan secara bijaksana.
Meskipun masih sangat terbatas, survei mengenai hama dan penyakit tidak dilaporkan
adanya epidemi (Wakman, 1987 dalam Semangun, 2001). Rupanya musim kering yang
panjang diduga mampu memutuskan daur hidup dan menghentikan perkembangannya.
Penerapan pola tanam campuran (mix cropping) terbukti efektif yang menyebabkan hama
dan penyakit tidak dapat berkembang ecara epidemis.
Sifat-sifat tahan kering tidak akan bermanfaat jika tidak digabungkan dengan sifat-sifat
yang menentukan produksi tinggi. Macam-macam sifat tahan kekeringan dan mampu
berproduksi tinggi tersebut ditentukan oleh banyak gen. Oleh karena itu diperlukan
pemuliaan tanaman, yang merupakan pekerjaan rumit. Menurut Arnon (1976 dalam
Semangun, 2001), para ahli pemuliaan tanaman memilih melakukan pemuliaan tanaman
untuk menghasilkan varietas dengan sifat berproduksi tinggi dan memiliki adaptasi yang
baik terhadap musim yang menguntungkan dan yang tidak menguntungkan.
m. Kebutuhan pola tanam yang sesuai untuk lahan kering beriklim kering
Upaya mengurangi risiko kegagalan panen di lahan kering beriklim kering adalah penanaman
lebih dari satu jenis tanaman di atas lahan yang sama pada waktu yang sama yang disebut
dengan pola tanam “tumpangsari” atau intercropping. Petani di NTT telah lama
menggunakan pola tanam tumpangsari seperti pola tanam campuran (mix cropping), pola
tanam berlorong (alley cropping), pola tanam “tiga strata” (pohon, perdu, dan semak yaitu
tanaman perkebunan, tanaman pakan dan tanaman pangan).
SUMBER PUSTAKA
1. Nuningsih, R., I.W. Mudita, dan W.I.I. Mella, 1994. Kajian Permudaan Cendana (santalum
album L.) Secara Vegetatif pada Habitat Alamiah di TTS, NTT. Laporan Penelitian, Pusat
Studi Lingkungan Hidup Undana.
Kompetensi Khusus
Mahasiswa dapat menjelaskan system-sistem usaha tani dan penerapan
sistem usaha tani terpadu di lahan kering.
Menurut Ruthenburg, 1980), sistem pertanian di daerah tropis dapat diklasifikasikan menjadi: .
➢ Sistem pertanian yang bersifat pengumpul hasil pertanian.
➢ Sistem Pertanian yang bersifat membudidayakan tanaman.
➢ Sistem Pertanian yang untuk pakan ternak dan padang penggembalaan.
Sistem ini adalah sistem pertanian yang secara langsung memperoleh hasil tumbuh-
tumbuhan yang tidak dibudidayakan secara sengaja oleh manusia. Sistem ini biasanya
dilakukan bersamaan dengan sistem berburu binatang dan penangkapan ikan. Jarang
ditemukan sebagai kegiatan tunggal. Di beberapa daerah yang terisolasi secara fisik, sistem
ini masih ditemukan antara lain di Papua dan Kalimantan.
Sistem ini merupakan sistem pertanian yang paling utama. Jenis-jenis tanaman yang
dibudidayakan dapat dikelompokkan menjadi 12 kelompok seperti dapat dilihat pada tabel
berikut.
2 Pulses (legum setahun) Kedelai, kc. merah, kc. hijau, kc. tunggak,
kc. Nasi
4 Leafy crops (sayuran) Kol, bayam, kangkung, sawi, slada, slada air,
daun kelor
6 Oil crops (penghasil minyak Kelapa sawit, kelapa, kacang tanah, olive,
makan) bunga matahari, canola, kemiri, wijen,
jagung, kedele
8 Sugar crops (Penghasil gula) Gula tebu, gula bit, gula palma (kelapa,
lontar, aren), septia
11 Fibre crops (penghasil serat) Jute, rami, kapas, kapok, pisang manila dan
pisang abaca, pandan, nenas
12 Fuel crops (bahan bakar kayu) Lamtoro, kusambi, gamal, asam, klengkeng
Di daerah tropik, terdapat banyak sIstem budidaya tanaman dan klasifikasinya dapat
dilakukan berdasarkan beberapa ciri spesifik sebagai berikut:
Contoh:
Misalkan dalam siklus 10 tahun, 2 tahun lahan ditanami dan 8 tahun diberakan maka
nilai Rnya adalah:
2
R= x 100 % = 20 %
10
Berdasarkan Pola Tanam. Ini merupakan sistem pertanian yang terpenting di daerah
tropis yang biasanya didukung dengan penggunaan ternak. Ada pertanian dengan pola
tanam tunggal (monoculture), pola tanam campuran (mix cropping, pola tanam
tumpangsari (intercropping), pola tanam beruntun (sequensial cropping).
Berdasarkan Alat-Alat Pertanian yang Digunakan. Secara garis besar dapat
digolongkan menjadi:
➢ Sistem pertanian pra teknis, dimana hanya menggunakan alat-alat sangat sederhana
misalnya pertanian tebas bakar.
➢ Sistem pertanian dengan cangkul dan sekop.
➢ Sistem pertanian dengan bajak dan garu yang ditarik hewan.
➢ Sistem pertanian dengan bajak dan garu yang ditarik traktor.
Berdasarkan Tingkat dan hasil kotor Komersialisasi. Berdasarkan bagian dari hasil
yang dikonsumsi dan dikomersielkan, dikenal beberapa golongan yaitu:
➢ Usaha pertanian subsistensi penuh, yaitu usaha pertanian yang dilakukan dari
generasi ke generasi berikutnya tanpa banyak input teknologi dari luar, di mana
tujuan usahatani hanya untuk memenuhi kebutuhan minimal hidup pokok keluarga.
➢ Usaha pertanian subsistensi fakultatif, adalah usaha pertanian yang ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, dan sisanya atau sebagian kecil hasil
panennya dijual di pasar lokal.
➢ Usaha pertanian prakomersial, adalah usaha pertanian subsisten yang
digabungkan dengan upaya pemenuhan kebutuhan barang sehari-hari, sehingga
mengharuskan petani menjual sebagian hasil panennya.
➢ Usaha pertanian semi komersial, dicirikan oleh pengusahaan komoditas
komersiel secara intensif, sebagian kecil hasil panen untuk pemenuhan kebutuhan
pangan keluarga dan sebagian besar untuk dijual. Usahatani padi pada lahan sawah
beririgasi termasuk dalam katergori usaha pertanian semi komersiel.
➢ Usaha pertanian komersiel, dicirikan untuk memperoleh keuntungan usaha
sehingga pemilihan komoditas dan teknologi serta pasar telah diperhitungkan secara
matang. Pertanian komersiel tidak berbeda dengan usaha industri manufaktur yang
menentukan harga jual produk berdasarkan biaya produksi dan keuntungan.
➢ Usaha Pertanian agribisnis, yaitu kegiatan usaha pada bidang pertanian dengan
pola saling kebergantungan antara lima subsistem yaitu: (i) subsistem sarana
produksi, (ii) subsistem produksi primer (on-farm), (iii) subsisem pengolahan
(agroindustri), (iv) subsistem distribusi dan pemasaran, dan (v) subsistem
penunjang (kebijakan, lembaga modal, penelitian, penyuluhan, pertanahan).
Lahan kering merupakan tantangan baru sekaligus sumber pemecahan masalah dalam
Pembangunan Pertanian. Lahan yang secara umum menuju kritis, memerlukan sistem
pengelolaan yang tepat. Sistem pengelolaan yang tepat untuk usaha pertanian lahan kering
beriklim kering adalah dengan “Sistem Usahatani Terpadu” yang dikenal dengan istilah “take-
intake agriculture” dimana keluaran (out put) dari sektor pertanian yang satu menjadi masukan
(in put) dari sektor pertanian yang lain sehingga terjadi mata rantai “in put- proses produksi-out
put” yang saling mengisi dan berlangsung secara berkelanjutan serta dapat menekan biaya
produksi. Seperti telah diketahui, pertanian dalam arti luas terdiri dari 5 (lima) sub sektor yaitu
tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan. Apabila pertanian
dikembangkan secara sendiri-sendiri maka sisa-sisa tanaman atau kotoran dari ternak dan hasil
ikan yang merupakan limbah pertanian dimana dapat menimbulkan masalah dan
penanganannya memerlukan biaya tinggi sehingga akan mengakibatkan peningkatan biaya
produksi pertanian. Dengan demikian “pertanian terpadu berkelanjutan” merupakan solusi yang
tepat dan merupakan pilar utama kebangkitan bangsa Indonesia karena akan mampu
menyediakan pangan secara berkelanjutan (Anita Swietenia, 2012).
Penerapan pertanian terpadu akan mendorong pertanian yang berkelanjutan karena dalam
pertanian terpadu dapat meminimalkan penggunaan pupuk organik bahkan menghilangkannya
sehingga kesuburan tanah terpelihara. Di sisi lain, produk yang dihasilkan lebih berkualitas dan
sehat serta aman untuk dikonsumsi karena masuk dalam kategori “hasil pertanian organik”.
Dengan semakin meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan trend
mengkonsumsi bahan pangan organik maka petani akan lebih diuntungkan karena harga
jualnya lebih mahal dibandingkan komoditas non organik.
Contoh:
Daun dan batang jagung sebagai limbah budidaya jagung dimanfaatkan untuk pakan sapi,
kotoran sapi dimanfaatkan sebagai pupuk organik untuk berbagai tanaman budidaya yang ada
(sayuran, buah dll) atau diolah menjadi biogas sebagai sumber energi, limbah cair dari kandang
sapi dialirkan ke kolam ikan, biji jagung dan limbah ikan menjadi campuran pakan ternak sapi.
SUMBER PUSTAKA
Bertolak dari uraian di atas, selanjutnya akan dipaparkan suatu deskripsi hasil penalaran
tentang domestikasi tumbuhan dan hewan. Sebagai suatu elaborasi pemikiran terbatas waktu,
deskripsi dimaksud terfokus pada upaya menjawab: apa (ontologi), bagaimana (epistemologi),
dan untuk apa (aksiologi) domestikasi tumbuhan dan hewan., sebagai berikut :
Subjek domestikasi, seperti menurut Evans (1996) terhadap tumbuhan, menarik minat
sejumlah disiplin ilmu, diantaranya antropologi, arkeologi, biokimia, genetika, geografi,
linguistik, biologi molekuler, fisiologi, dan sosiologi. Dengan demikian, banyak aspek
domestikasi telah diungkapkan selama ini, misalnya mengenai sejarah dan keterkaitannya
dengan kebudayaan, demikian pula dengan permasalahan lingkungan hidup yang
ditimbulkannya. Ringkasnya, domestikasi tumbuhan dan hewan tidak saja sekaligus
mendomestikkan pengelompokkan manusia (humandkind) dalam suatu permukiman, tapi
juga menurut Wallack (2001), manusia secara mutlak kini tergantung pada hasil domestikasi
yang dilakukannya.
Uraian terdahulu mengungkapkan bahwa ternyata ujud hakiki dari apa yang disebut
domestikasi tumbuhan dan hewan sebagai masukan/input, proses, dan hasilnya/output
mengandung banyak aspek dan bermatra luas. Penjelajahan selanjutnya terhadap hal ini
melalui pendekatan multi-disipliner, dipandang sebagai pilihan yang memihak pada perwujudan
fungsi sains dalam kehidupan manusia.
Mengutip uraian Suriasumantri (2000), tahap mistis adalah masa di mana sikap manusia
menunjukkan keberadaaannya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya. Sejalan
dengan perkembangan penalaran, upaya manusia dalam memenuhi rasa ingin tahu dan
kebutuhannya, mengikuti tahapan perkembangan kebudayaan yang meliputi tahap
mistis, tahap ontologis, dan tahap fungsional. Tahap ontologis adalah masa di mana
sikap manusia mengambil jarak dari objek di sekitarnya serta mulai melakukan telaahan
terhadap objek tersebut. Tahap fungsional adalah masa di mana sikap manusia selain
memiliki pengetahuan berdasarkan telaahan terhadap objek-objek sekitarnya, tapi juga
memfungsionalkan pengetahuan tersebut bagi kepentingan dirinya dan lingkungan
hidupnya.
Proses domestikasi tumbuhan dan hewan, nampaknya mengikuti tahapan sikap manusia
sebagaimana dikemukakan terdahulu. Dengan demikian, pengetahuan menjinakkan tumbuhan
dan hewan diawali pada tahap mistis ketika manusia bersikap menghadapi kekuatan yang
mengepungnya sekaligus berupaya mempertahankan kehidupannya. Pada tahap ontologis di
mana ilmu mulai berkembang, manusia mengambil jarak dengan objek domestikasi, bertindak
sebagai subjek yang mengamati, menelaah dan memanfaatkan. Mengawalinya, tahap ontologis
melahirkan pengetahuan yang berakar pada pengalaman berdasarkan akal sehat yang
didukung oleh metode mencoba-coba, namun secara historis tercatat tingkat teknologinya
tinggi meskipun tetap terbelakang dalam bidang keilmuan (Suriasumantri, 2000). Tumbuhnya
pengetahuan yang tergolong seni terapan ini, seperti antara lain dalam peradaban Mesir kuno,
Cina dan India, mengikutsertakan perkembangan awal pertanian dalam mendomestikasi
tumbuhan dan hewan. Selanjutnya, telaahan terhadap objek sekitar seperti domestikasi,
didekati secara rasional yang mengandalkan penalaran deduktif, dan kemudian melalui metode
ilmiah yang menggabungkan penalaran deduktif dan pengalaman empiris.
Domestikasi tumbuhan dan hewan secara aktual dilakukan manusia berdasarkan prinsip-
prinsip dan konsep-konsep yang ditemukan dengan menggunakan metode ilmiah. Dalam hal
ini, prinsip dan konsep mendomestikasi disusun dengan menerapkan penalaran deduktif,
sementara kesesuaiannya dengan fakta diverifikasi dengan menerapkan penalaran induktif.
Aksiologi adalah ilmu yang mempertanyakan nilai suatu obyek yang akan dikaji. Secara
signifikan, hasil transformasi tumbuhan dan hewan yang dilakukan dalam lingkup domestikasi,
telah memberi manfaat dan membawa berkah bagi manusia. Dari upaya untuk sekedar
memenuhi kepentingan praktis, domestikasi tumbuhan dan hewan berkembang aktual untuk
tujuan meningkatkan produksi dan mengembangkan kualitas produk dari beragam usaha
pertanian, kehutanan, peternakan dan perikanan. Dengan demikian, domestikasi sumber hayati
ini berkontribusi besar dalam mewujudkan tujuan ketersediaan pangan, termasuk ketika
swasembada pangan pernah dicapai Indonesia.
Diperhadapkan pada isu dunia mengenai lingkungan hidup yang cenderung mengalami
degradasi, domestikasi organisme diarahkan pula untuk konservasi genetik dan/atau plasma
nuftah. Sejalan dengan itu, konservasi ekosistem diupayakan, khususnya hutan dan laut.
Sementara FAO mencatat bahwa di samping sebanyak enam keuntungan domestikasi NWTP
(non-wood timber products), terdapat empat keadaan merugikan (Simon, 1996).
Keuntungannya meliputi produksi yang diandalkan, mengurangi tekanan pada hutan,
menghasikan pendapatan, mudah panen, perbaikan laju pertumbuhan, dan peningkatan nilai
tanaman. Keadaan yang merugikan ditunjukkan pada peningkatan kerentanan terhadap hama,
kehilangan fungsi ekologis, ketergantungan pada sumber benih liar yang baru, dan menambah
nilai keuntungan pada korporasi/perusahan besar yang ada.
Berdasarkan hasil penalaran manusia selama ini, tumbuhan dan hewan didomestikasi
dengan beragam cara, dari yang sederhana hingga ke cara yang sangat maju ditopang dengan
perkembangan bioteknologi. Sederhananya, seperti untuk tanaman buah-buahan menurut
Demchik dan Streed (2002) dengan cara bertahap yakni :
a) Wildcrafting : adalah praktek panen tanaman dari alam atau habitat "liar", untuk makanan
atau obat tujuan. Ini berlaku untuk tanaman hidup dimanapun mereka dapat ditemukan,
dan tidak terbatas pada suatu daerah. Pertimbangan etis sering terlibat, seperti melindungi
spesies yang terancam punah..
b) Stand Improvement: Secara sederhana, perbaikan keberadaan adalah pengobatan, atau
tindakan, yang meningkatkan pertumbuhan pohon yang terbaik dengan menghapus semua
pohon yang ada di disekitarnya.
c) Penanaman/Pemeliharaan.
d) Seleksi, Pemuliaan, dan Penggunaan Stok Andal dalam Proses Budidaya.
e) Bioteknologi sebagai penerapan biologi molekuler, genetika molekuler dan rekayasa
genetika, transformasi gen merubah organisme eksotik menjadi (Genetically Modified
Organism (GMO) dan Transgenic Organism (TO).
Lebih jauh terungkap bahwa dalam rekayasa genetika, urutan DNA tertentu dari
organisme yang berbeda bahkan dari spesies yang berbeda dapat berintegrasi menjadi
suatu DNA hibrida (rekombinasi DNA). Berkaitan dengan ini, kloning molekuler
dimungkinkan melalui serangkaian proses isolasi, pemurnian, dan pereplikasian fragmen
DNA khusus. Selain itu, pertukaran material genetik di antara spesies yang secara
alamiah tidak terjadi, membuka peluang perubahan/make up genetik suatu organisme.
Dalam kultur jaringan, rekayasa genetika menawarkan suatu metode langsung untuk
mengintroduksi suatu sifat tertentu melalui baik elektroforasi maupun penembakan
molekul DNA atau melalui Agrobacterium tumefaciens. Dalam pemuliaan hewan
dimungkinkan untuk mentransfer gen yang membawa sifat secara langsung ke dalam
hewan. Gen dapat diintroduksi ke dalam hewan melalui vektor retrovirus, mikro-injeksi,
dan embryonic-stem cells, dimana melibatkan transfer gen ke dalam sel telur yang
terfertilisasi atau ke dalam sel dari embrio tingkat awal. Demikianlah untuk tumbuhan
dan hewan termasuk jazad renik, rekayasa genetika adalah suatu cara domestikasi
dalam manajemen genetik yang dapat saja mengundang masalah seperti dalam hal
ketidakstabilan vektor yang digunakan, ekspresi gen yang tidak sepenuhnya, dan
gangguan regulasi gen.
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, wujud dari domestikasi tumbuhan dan hewan
bermatra luas. Selain cara dan/atau metode yang mengantar pada penemuan organisme
domestik (GMO dan TO), tahapan aktivitas domestikasi menurut Simon (1996) akan sangat
ditentukan oleh faktor-faktor biologi, kebijakan, pasar, dan sosial.
Sehubungan dengan hal ini, suatu bentuk skema pengambilan keputusan untuk
mengembangkan budidaya yang menggunakan organisme domestic disajikan skema di
atas yang dimodifikasi dari Pullin (1994). Skema ini menunjukkan pengambilan
keputusan dapat didasarkan atas hasil dari evaluasi yang prosesnya akurat, meliputi
efek sosial, efek lingkungan, dan kelayakan aspek teknis budidaya.
Menurut Zairin (2003), ada beberapa tingkatan yang dapat dicapai manusia dalam
upaya penjinakan hewan ke dalam suatu sistem budidaya. Tingkatan dimaksud, sebagaimana
berlangsung pada ikan, adalah sebagai berikut:
a) Domestikasi sempurna, yaitu apabila seluruh daur hidup sudah dapat berlangsung
dalam sistem budidaya. Contoh : Ikan asli Indonesia gurami (Osphroneus gouramy),
tawes (Puntius javanicus), kerapu, bandeng, dan kakap putih.
b) Domestikasi hampir sempurna, yaitu apabila seluruh daur hidupnya dapat
berlangsung dalam sistem budidaya, tapi keberhasilannya masih rendah. Contoh : Ikan
asli Indonesia asalah : betutu, balashark, dan arowana.
c) Domestikasi belum sempurna, yaitu apabila baru sebagian daur hidupnya dapat
berlangsung dalam sistem budidaya. Contohnya antara lain : ikan Napoleon (Cheilinus
undulatus) dan tuna.
Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa
difahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (bahasa Inggris: crop
cultivation) serta pembesaran hewan ternak (raising), meskipun cakupannya dapat pula berupa
pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan produk lanjutan, seperti
pembuatan keju dan tempe, atau sekedar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau
eksploitasi hutan. Sumbangan domestikasi bagi kehidupan manusia berupa pangan, sandang
dan papan, misalnya dari aspek peternakan sumbangan domestikasi adalah sebagai berikut :
• Ayam menyediakan dua keperluan pokok diet manusia sebagai sumber protein: daging
ayam dan telur;
• Domestikasi sapi dan kambing dan penggunaan susunya untuk konsumsi manusia di Asia
dan Afrika Timur Laut sudah dimulai sejak 8.000 - 6.000 SM. Sebelum sapi dijinakkan
mungkin dengan jalan diburu oleh orang-orang primitif. Telah bertahun tahun sapi
digunakan sebagai ternak beban dan sebagai sumber makanan, untuk upacara agama,
upacara korban. Susu sapi dan produknya telah digunakan sebagai makanan, bahan
upacara-upacara korban, kosmetik dan obat-obatan.Orang-orang India menternakkan sapi
sekitar 2.000 SM, menteganya digunakan sebagai bahan makanan dan sebagai bahan
persembahan pada Tuhannya. Mentega diubah menjadi Ghee (= butter oil). Di India sapi
dianggap sebagai hewansuci. Catatan dari Mesir pada tahun 300 SM menunjukkan bahwa
susu, mentega dan keju telah digunakan secara meluas. Sapi diperah dari samping, tidak
dari belakang seperti orang-orang Somalia, namun demikian kedua bangsa tersebut
memerah sapinya dengan menempatkan pedetnya di depan sapi yang sedang di perah.
Perkembangan yang besar dalam peternakan sapi perah mulai tahun Masehi sampai
pertengahan 1850-an terjadi di Eropa. Bangsa-bangsa sapi perah yang penting di Amerika
Serikat, Eropa dan Australia aslinya berasal dari Eropa.
• Kuda sebagai alat transportasi
• Domba sebagai penghasil wool untuk pakaian
Adanya bangsa ternak asli di seluruh Indonesia seperti sapi, kerbau, kambing,
domba, babi, ayam dan itik, memberikan petunjuk bahwa penduduk pertama Indonesia
telah mengenal ternak sekurang-kurangnya melalui pemanfaatannya sebagai hasil
perburuan. Dengan kedatangan bangsa-bangsa Cina, India, Arab, Eropa dan lain-lain,
maka ternak kuda dan sapi yang dibawa serta bercampur darah dengan ternak asli.
Terjadilah kawin silang yang menghasilkan ternak keturunan atau peranakan dipelbagai
daerah Indonesia. Disamping itu, dalam jumlah yang banyak masih terdapat ternak asli.
Dengan demikian terjadilah tiga kelompok besar bangsa ternak yaitu kelompok pertama
asalah bangsa ternak yang masih tergolong asli, ialah ternak yang berdarah murni dan
belum bercampur darah dengan bangsa ternak luar. Kelompok kedua adalah kelompok
"peranakan", yaitu bangsa ternak yang telah bercampur darah dengan bangsa ternak
luar. Kelompok ketiga adalah bangsa ternak luar yang masih diperkembang-biakan di
Indonesia, baik murni dari satu bangsa atau yang sudah bercampur darah antara
sesama bangsa ternak "luar" tersebut. Bangsa ternak demikian dikenal dalam dunia
peternakan sebagai ternak "ras" atau ternak "negeri".
1. Tarumanegara.
Kerajaan yang berpusat di Jawa Barat ini telah memberikan perhatian terhadap ternak,
terutama ternak besar. Hal ini terdapat pada prasasti batu. Pada upacara pembukaan saluran
Gomati yang dibuat sepanjang sebelas kilometer, Raja Purnawarman yang memerintah
Tarumanegara dimasa itu telah menghadiahkan seribu ekor sapi kepada kaum Brahmana dan
para tamu kerajaan.
2. Sriwijaya.
Salah satu kegemaran penduduk Sriwijaya adalah permainan adu ayam. Oleh karena itu
ternak ayam sudah mendapat perhatian. Disamping itu ternak babi juga banyak dipelihara oleh
penduduk. Sebagaimana kita tahu bahwa kerajaan Siwijaya sangat luas daerah kekuasaannya
dimasa itu. Terdapat petunjuk bahwa ternak kerbau dan kuda sudah diternakkan diseluruh
kerjaan Sriwijaya, ternak sapi baru terbatas di Pulau Jawa, Sumatera dan Bali.
3. Mataram.
Ternak sapi dan kerbau adalah dua jenis ternak besar yang memperoleh perhatian raja-
raja Mataram pada abad ke VIII Masehi. Kedua jenis ternak ini memiliki hubungan erat dengan
pertanian, disamping perlambang status. Pada tulisan prasasti Dinaya diceritakan bahwa
diwaktu persemian sebuah arca didesa Kanjuruhan dalam tahun 760 M, Raja Gayana yang
memerintah Kerajaan Mataram dimasa itu telah menghadiahkan tanah, sapi dan kerbau kepada
para tamu kerajaan dan kepada kaun Brahmana. Terlihat disini bahwa hadiah kerajaan dalam
bentuk ternak, memiliki kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh raja Purnawarman dari
kerajaan Tarumanegara.
4. Kediri.
Kediri adalah suatu kerajaan yang rakyatnya makmur dan sejahtera, karena kerajaan ini
telah memajukan pelbagai bidang kehidupan termasuk peternakan. Hal ini terdapat didalam
kitab Cina Ling-wai-tai-ta yang disusun oleh Chou-K'u-fei dalam tahun 1178 M. Dikatakan
bahwa rakyat kerajaan Kediri hidup dalam kemakmuran dan kesejahteraan karena pemerintah
Kerajaan memperhatikan dan memajukan bidang pertanian, peternakan, perdagangan dan
penegakan hukum.
5. Sunda
Dimasa kerajaan Sunda, kita mulai mengetahui adanya tataniaga ternak. Hal ini
disebabkan berkembangnya 6 kota pelabuhan didaerah kekuasaan Kerajaan Sunda,
yaitu Bantam, Pontang, Cigede, Tamgara, Kalapa dan Cimanuk. Hasil pertanian
termasuk peternakan sangat ramai. Semua ini diceritakan dalam buku petualang
Portugis, Tome Pires. Dikatakan bahwa kemakmuran kerajaan Sunda terlihat dari hasil
pertanian yang diperdagangkan dikota-kota pelabuhan, meliputi lada, sayur-mayur, sapi,
sapi, kambing, domba, babi, tuak dan buah-buahan. Karena kerajaan Sunda juga
memajukan kesenian dan permainan rakyat diwaktu itu, maka terdapat petunjuk bahwa
permainan rakyat adu-domba telah berkembang dizaman kerajaan Sunda.
6. B a l i.
7. Majapahit.
Disamping penggunaan ternak dalam bidang pertanian, ternak gajah dan sapi adalah
ternak "kebesaran", karena raja-raja Majapahit bila keluar istana dengan naik gajah kehormatan
atau naik kereta kerajaan yang ditarik sapi, seperti yang ditulis dalam berita-berita Cina.
Dengan demikian dapatlah dikatakan juga bahwa kereta kerajaan dengan kuda sebagai ternak
tarik baru muncul pada kerajaan-kerajaan setelah zaman Majapahit.
Dari laporan pemerintah Hindia Belanda diketahui, bahwa dalam masa VOC ternyata
usaha peternakan kuda juga mendapat perhatian raja-raja dan sultan-sultan untuk kepentingan
laskar kerajaan dan untuk kepentingan kuda tunggangan raja sewaktu berburu hewan. Yang
terkenal adalah peternakan kuda milik Sultan Pakubuwono III di Mergowati yang terdiri dari
kuda Friesland, didirikan pada tahun 1651 tapi ditutup pada tahun 1800.
• Perdagangan Ternak.
Perdagangan ternak dan pemotongan ternak cukup ramai di zaman VOC, terutama
dipulau Jawa. Perdagangan ternak antar pulau begitu ramai, karena dizaman itu transportasi
laut masih dengan kapal layar yang tidak memungkinkan pengangkutan ternak dalam jumlah
yang banyak.
• Peraturan Peternakan.
Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah VOC yaitu larangan terhadap pemotongan
kerbau betina yang masih produktif dalam tahun 1650. Peraturan ini mula-mula diberlakukan
dipulau Jawa, tetapi kemudian juga meliputi daerah-daerah pengaruh VOC lainnya di Nusantara
dan diperluas dengan larangan pemotongan sapi betina yang masih produktif. Peraturan ini
mula-mula bermaksud untuk menjamin populasi ternak yang terus bertambah dan dengan
demikian menjamin pengadaan daging bagi tentara Kompeni di Pulau Jawa. Dalam tahun 1776,
peraturan ini ditambah dengan larangan pemotongan ternak kerbau betina putih yang
masih produktif.
Selama abad kesembilan belas dan abad kedua puluh sampai berakhirnya pemerintahan Hindia
belanda, beberapa kegiatan dalam bidang peternakan perlu dicatat, karena memiliki hubungan
dengan perkembangan usaha peternakan di zaman pemerintah Indonesia.
Untuk pulau Sumba hasil persilangan dengan kuda asli setempat, sangat terkenal
dengan nama Kuda Sandel. Selain itu didirikan pusat-pusat pembibitan kuda di Cipanas
(1820), Bogor (1938), Payakumbuh, Lubuk Sikaping dan Tarutung (1980),
Padalarang(1903), Padang Mangatas (1922), sebagai pengganti Payakumbuh yang
ditutup pada tahun 1907, Malasaro Sulawesi Selatan (1874) dan pulau Rote (1841).
Disamping itu di Cisarua-Bandung perusahaan swasta bibit ternak, "General de Wet"
milik Hirchland dan Van Zyl yang didirikan pada tahun 1900, pada tahun 1921 ditunjuk
sebagai rekanan bibit unggul kuda pemerintah.
Sapi - Keturunan Bos sondaicus yang semula tersebar dipulau Jawa, Madura,
Sumatera, Bali dan Lombok, banyak memperoleh perhatian Pemerintah Hindia Belanda.
Selama abad kesembilan belas, persilangan ditujukan terutama terhadap perbaikan mutu sapi
Jawa, yang jumlahnya terbanyak, namun berbadan kecil sehingga kurang cocok untuk ternak
kerja.
Sementara itu pada tahun 1889, Residen Kedu Selatan, Burnaby Lautier dengan
bantuan dokter hewan Paszotta melancarkan aksi kastrasi secara besar-besaran terhadap
ternak jantan lokal di Bagelen. Tujuannya, agar pejantan Zebu saja yang digunakan sebagai
pemacak. Walaupun usaha ini ditentang oleh pemerintah pusat Hindia Belanda, pada tahun
1890 asisten residen Schmalhausen mengikuti jejak Lautier untuk daerah Magetan di Jawa
Timur. Ia juga menganjurkan penanaman rumput benggala untuk makanan ternak. Usaha
persilangan sapi Jawa dengan sapi Madura, dilaksanakan oleh kontrolir Van Andel, dibantu oleh
dokter hewan Bosma, di daerah Pasuruan Jawa Timur pada tahun 1891-1892. Persilangan
secara berencana dan besar-besaran barulah dilaksanakan setelah dinas resmi yang menangani
bidang peternakan dibentuk pada tahun 1905 yaitu Burgelijke Veeatsenijkundige Diens (BVD)
sebagai bagian dari Departemen van Landbaouw atau Departemen Pertanian. BVD telah
melaksanakan peningkatan mutu sapi Jawa dengan pelbagai kegiatan ialah :
Dari tahun 1905 sampai 1911 dilakukan penyebaran sapi jantan Jawa yang baik ke
daerah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam tahun 1911 usaha ini dihentikan, oleh
karena para petani menginginkan ternak sapi yang lebih kuat dan lebih besar untuk ternak
kerja.
Usaha ini sudah dimulai di akhir abad ke sembilan belas oleh Van Andel. BVD juga
melanjutkan kegiatan persilangan ini di pulau Jawa sampai tahun 1921. Pada saat ini usaha ini
dihentikan, karena kurang memenuhi harapan para petani terhadap ternak kerja.
Pada pembelian di tahun 1908 oleh BVD tiga bangsa sapi dipilih, ialah Ongol,
Gujarat dan Hissar. ternyata Sapi Ongol berkembang baik di Pulau Jawa, Sapi Gujarat
baik di pulau Sumba dan Sapi Hissar baik di pulau Sumatera. Pada tahun 1909 dan 1910
ternyata BVD memutuskan untuk lebih banyak membeli Sapi Ongol. Sampai tahun 1911
perkembangan sapi Ongol lebih baik, sehingga diputuskan memilih sapi Ongol untuk
perbaikan mutu Sapi Jawa. Dari sinilah muncul untuk pertama kalinya Program
Ongolisasi yang dimulai pada tahun 1915, disaat mana pembelian dari India dihentikan
sama sekali. Semua ternak pembelian terakhir ditempatkan di pulau Sumba. Dikemudian
hari ternyata Sapi Ongol dan Gujarat di Sumba berkembang sangat baik, sehingga pulau
Sumba menjadi sumber bibit murni sapi Ongol dan Gujarat yang kemudian dikenal
sebagai sapi Sumba Ongol (SO). Sekarang (Temu, dkk 2017) ternak sapi Ongol di Pulau
Sumba adalah sapi peranakan ongole karena sudah tidak murni lagi sapi Sumba
ongolnya.
Tiga bangsa sapi Eropa yang banyak digunakan untuk persilangan adalah
Hereford, Shorthorn (Australia) dan Fries Holland (Belanda). Impor Sapi Hereford dan
Shorthorn kemudian dihentikan karena berjangkitnya penyakit paru-paru ganas di
Australia. Sapi Fries Holland sendiri banyak disilangkan dengan sapi Jawa dan sapi
Ongol terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah, karena keturunannya memiliki sifat
yang baik.
f. Sumba Kontrak.
Salah satu bentuk penyebaran bibit ternak sapi Ongol di dalam Program
Ongolisasi, ialah Sumba Kontrak. Sumba Kontrak adalah penempatan dan penyebaran
sapi bibit ongol di pulau Sumba yang dilaksanakan dalam bentuk meminjamkan 12 induk dan
satu pejantan ongol kepada seorang peternak. Pengembalian pinjaman dilakukan oleh
peminjam dengan mengembalikan ternak keturunan dalam jumlah, umur dan komposisi
kelamin yang sama dengan jumlah ternak yang dipinjam, ditambah dengan satu ekor keturunan
(jantan atau betina) untuk setiap tahun selama peternak belum melunasi pinjamannya. Untuk
akad pinjaman ini, peternak menandatangani suatu kontrak dengan pemerintah, yang
kemudian dikenal dengan Sumba Kontrak. Jumlah ternak awal disebut Koppel, sehingga
kemudian hari muncul juga istilah Sapi Koppel. Sumba kontrak secara resmi dimulai pada tahun
1912.
1. Penyebaran ternak
Sistim penyebaran sapi bibit ini tidak hanya berlaku dipulau sumba, tapi diperluas ke
pulau-pulau lain dan meliputi pelbagai jenis ternak : Sapi Bali, Sapi Madura, Kambing, Domba
dan Babi dengan jumlah ternak yang tidak sama untuk satu koppel. Dalam masa dua puluh
tahun (1920 - 1940) penyebaran ternak bibit, terjadi dua kegiatan yang usaha penting yaitu :
• Penyebaran ternak bibit antar pulau dan antar daerah, yaitu penyebaran sapi Ongol dan
peranakan Ongol dari pulau Jawa ke Sumbawa, Sulawesi, Kalimantan Barat dan
Sumatera. Penyebaran sapi Bali dari pulau Bali ke Lombok, Timor, Sulawesi Selatan dan
Kalimantan Selatan. Penyebaran sapi Madura ke pulau Flores dan Kalimantan Timur.
• Penyebaran ternak bibit dan bibit tanaman makanan ternak secara lokal disekitar taman-
taman ternak dipulau Jawa dan Sumatera.
Kerbau.
Ternak kerbau lokal yang dikenal sebagai Kerbau Lumpur sudah sejak dahulu terdapat
diseluruh Nusantara. Dengan kedatangan bangsa India ke Sumatera, dibawa juga kerbau
Murrah yang kini masih banyak terdapat didaerah Sumatera Utara dan Aceh.
Kambing.
Kambing lokal atau kambing kacang telah ada di seluruh Nusantara. Didalam zaman
Hindia Belanda didatangkan juga kambing bangsa India (Ettawah) yang merupakan kambing
perah dan disebarkan hampir diseluruh pantai utara pulau Jawa. Namun persilangan yang
terkenal kini adalah kambing Peranakan Ettawah (PE). Bebarapa bangsa kambing lain juga
didatangkan yaitu : Saanen.
Domba
Ternak domba dibagi dua bangsa yang terkenal yaitu domba ekor gemuk dan domba
lokal lainnya, yang tersebar diseluruh Nusantara. Semua bangsa domba ini adalah tipe daging.
Dizaman Hindia Belanda didatangkan bangsa domba tipe wol misalnya Merino, Ramboillet,
Romney dan tipe daging misalnya Corriedale dan Suffolk. Persilangan bangsa domba wol dan
daging dengan domba lokal Priangan menghasilkan domba yang sangat terkenal diwaktu ini
ialah domba Garut.
Babi
Sapi Perah
Ayam
Itik
Di samping itik lokal, di zaman Hindia Belanda telah didatangkan bangsa itik
Khaki Campbell dan itik Peking. Bangsa itik lokal yang terkenal : adalah itik Tegal, itik
Karawang dan itik Alabio.
Aneka Ternak
Aneka ternak misalnya ternak kelinci, burung puyuh dan burung merpati, belum
memperoleh perhatian pemerintah Hindia Belanda. Kelinci hanyalah digunakan di balai-
balai penelitian sebagai hewan percobaan. disinilah asalnya istilah : Kelinci percobaan.
2. Pengadaan Peraturan
4. Taman Ternak
Taman ternak pertama didirikan di Karanganyar di desa Pecorotan pada tahun 1909,
namun pada tahun 1912 dipindahkan ke desa Jiladri. Kemudian menyusul pendirian taman
ternak di Bandar (1916), Purworejo(1918), Pengarasan Tegal(1920), Kedu Selatan, Rembang
dan Padang Mangatas(1922). Taman ternak ini merupakan sumber ternak bibit dan sumber
bibit makanan ternak. Beberapa pusat pembibitan ternak kuda dan sapi di Sumatra, kemudian
juga diperluas menjadi taman ternak.
5. Koperasi Peternakan
6.Sensus Ternak
Dalam tahun 1867 pemerintah di Jawa dan Madura diwajibkan mengadakan sensus
ternak di daerahnya masing-masing. Sensus ternak secara resmi mulai diadakan pada tahun
1905.
7. Pengamanan Ternak
8. Pengadaan Ternak
Sarana peternakan yang dimaksudkan disini adalah : tanah pangonan, pasar hewan,
karantina, rumah potong hewan, kapal hewan.
Produksi Sera dan Vaksin untuk ternak terutama diadakan oleh Balai Penyelidikan
Penyakit Hewan yang didirikan di Bogor.
Untuk itu tahun 1841 dibentuk semacam Dinas Kehewanan didaerah-daerah dan
tahun 1905 dibentuk Jawatan Kehewanan Pusat (Buurgelijk Veeartsenijkundige Diest
atau BVD). Pada tahun yang bersamaan pemerintah Belanda melakukan survei
kemiskinan Jawa dan Madura. Tindak lanjut hasil survei mulai dilaksanakan impor
ternak. Namun dengan konsekuensi terbawa penyakit ternak sehingga menimbulkan
wabah yang sangat merugikan seperti Rinderpest (1912). Untuk itu pemerintah Belanda
menerbitkan Ordonansi yang mengatur Campur Tangan Pemerintah pada Urusan
Peternakan dan Kesehatan Hewan ( Ordonansi No.432 tahun 1912). Pada tahun 1935 di
Bogor didirikan Sekolah Dokter Hewan yang pertama.
Pada tahun 1967 lahir Undang-undang No.6 tentang Pokok-pokok Peternakan dan
Kesehatan Hewan, dan pada tahun yang sama dilakukan Survei Inventarisasi Hewan (SIH)
Nasional.
Sejalan dengan kelahiran Orde Baru (1969) dilaksanakan penataan kembali kehidupan
berbangsa dan bernegara sesuai dengan cita-cita kemerdekaan antara lain menghantar bangsa
Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
• Pada tahun 1989 Indonesia diakui Internasional dari Bebas Penyakit Mulut dan Kuku.
• Pelaksanaan pembangunan peternakan dilaksanakan melalui 3 evolusi pendekatan yaitu :
teknis, terpadu dan agribisnis
• Panca Usaha Ternak menjadi Sapta Usaha Ternak
• Penerapan teknologi produksi, ekonomi dam sosial melahirkan program yang dikenal sebagai
:
• Pilot Proyek Bimas unggas
• Panca Usata Ternak Potong ( PUTP )
• Pengembangan Usaha Sapi Perah ( PUSP )
• Intensifikasi Ayam Buras ( INTAB )
• Intensifikasi Ternak Kerja ( INTEK )
• Industri Peternakan Rakyat ( INNAYAT )
• Perusahan Inti Rakyat (PIR) Ternak Potong
• Perusahan Inti Rakyat (PIR) Bakalan
• Perusahan Inti Rakyat (PIR) Penggemukkan
• Perusahan Inti Rakyat (PIR) Pakan
• Perusahan Inti Rakyat (PIR) Saham.
2. Kaitan peternakan dengan disiplin ilmu diFakultas Ekonomi dan Bisnis Undana
Contohnya:
a. Bagaimana peranternak dalam meningkatkan ekonomi masyarakat,PAD
Kabupaten/Kota dilahan kering
b. Mendirikan BUMDES dan koperasi dari sektor peternakan dan yang lainnya.
c. Kredit UKM dan Utdari berbagai bank (BNI,BRI,dan lain-lain untuk modal
Pemeliharaan ternak tanpa agunan atau dengan agunan)
d. Industri Pariwisata seperti pacuan kuda yang dapat mendatangkan
pendapatan untuk berbagai pihak
e. Ternak adalah tabungan yang tak kelihatan tapi tetap ada baik itu di padang
penggembalaan maupun di pekarangan.
f. Promosi pangan lokal seperti daging Sei,abon sapi,dendeng manis,
dendeng kering dari sumba,kerupuk kulit
4. Kaitan peternakan dengan disiplin ilmu pada Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan
Contohnya:
a. Bagaimana alumni FKIP nantinya mengajarkan ke siswa SD,SMP, SMA atau perguruan
tinggi mengenai peranlahan kering dan peternakan untuk siswa-siswi tersebut seperti
daging ternak merupakan sumber protein hewani untuk anak didik,balita dan yang
lainnya
b. Menjadikan ternak sebagai alat peraga berupa gambar maupun fisik
ternak untuk diperkenalkan keanak didik
c. Membuat animasi dari ternak untuk berbagai kepentingan proses belajar mengajar di
kelas maupun di luar kelas.
7. Kaitanpeternakandengandisiplinilmupadafakultas KedokteranHewan
Contohnya:
a. Tindakan kuratif terhada pternak
b. Tindakan preventif terhadap ternak
9. Kaitan peternakan dengan disiplin ilmu pada fakultas ilmu sosial dan politik Sosiologi:
pendekatan sosial untuk memotivasi masyarakatdalammemelihara ternak.
Contohnya :
a. Tata Niaga: perhitungan penyusutan berat badan ternak yang diantar pulaukan
dari pelabuhan tenau atau NTT kepulau Jawa termasuk tataniaga peternakan
dengan ekaligus perhitungan biaya-biayanya.
b. Politik:ternak dijadikan prestise dalam kegiatan-kegiatan politik dipedesaan
maupun perkotaan
c. Budaya: dalam upacara adat ternak selalu digunakan sebagai alat dan
bahan untuk persembahan
10.Kaitan peternakan dengan disiplin ilmu pada Fakultas Perikanan dan Kelautan
Contohnya :
a. Ternak dapat merusak ekosistem bakau di pesisir
b. Limbah ikan yang tidak dikonsumsi oleh manusia dapat dijadikan tepung
ikan untuk ransum ternak
c. Kolaborasi antara perikanan, peternakan,dan pertanian seperti mina padi ayam
d. Sistem peternakan terpadu.
GAMBAR TERNAK
1 Ayam Bangkok Ayam Hutan Kelabu
Ayam Hutan Hijau
Ternak Ayam
Ayam Pelung
Ayam Walik
Ternak Babi
Babi Yorkshire
Temu, S.T., Makalah Materi Peternakan Untuk Penyempurnaan Bahan Ajar Blok Pertanian Pada
Pertemuan Mata Kuliah Penciri Universitas Nusa Cendana Budaya Lahan Kering
Kepulauan Dan Pariwisata. Hotel T-More 29-30 November 2017. Kupang.
BAGIAN II. MATERI KEPULAUAN
BAB V. POTENSI SUMBERDAYA PERAIRAN
Menurut Dahuri, dkk (1996), wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara daratan
dan lautan. Selanjutnya menurut Bengen (2001), wilayah pesisir adalah wilayah dimana
daratan berbatasan dengan laut. Batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air
maupun tidak tergenang air yang masih dipengaruhi proses-proses laut seperti pasang
surut, angin laut dan intrusi garam, sedangkan batas di laut ialah daerah-daerah yang
dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air
tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di
daratan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki
dua macam batas (boundaries), yaitu batas sejajar garis pantai (longshore) dan batas tegak
lurus terhadap garis pantai (crossshore).
Menurut Damar (2006), batas wilayah pesisir kearah darat secara ekologis dimana
kawasan daratannya dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang surut, interusi air
laut, dan lain-lain. Secara administratif batas terluar sebelah hulu dari desa pantai atau jarak
definitif secara arbitrer (2km, 20km, dan seterusnya dari garis pantai), sedangkan dari segi
perencanaan tergantung pada permasalahan atau substansi yang menjadi fokus pengelolaan
wilayah pesisir.
Batas kearah laut dimana secara ekologis termasuk kawasan laut yang masih
dipengaruhi oleh proses-proses alamiah di darat (aliran air sungai, run off, aliran air tanah, dan
lain-lain), atau dampak kegiatan manusia di darat (bahan pencemar, sedimen, dan lain-lain);
atau kawasan laut yang merupakan paparan benua (continental shelf). Secara administratif
mempunyai batas 4 mil, 12 mil, an setreusnya dari garis pantai ke arah laut, sedangkan dari
segi perencanaan tergantung pada permasalahan atau substansi yang menjadi fokus
pengelolaan wilayah pesisir.
Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah yang unik karena merupakan tempat
percampuran pengaruh antara darat, laut dan udara (iklim). Pada umumnya wilayah pesisir
dan khusunya perairan estuaria mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi, kaya akan unsur
hara dan menjadi sumber zat organik yang penting dalam rantai makanan di laut. Namun
demikian, perlu dipahami bahwa sebagai tempat peralihan antara darat dan laut, wilayah pesisir
ditandai oleh adanya gradient perubahan sifat ekologi yang tajam, dan karenanya merupakan
wilayah yang peka terhadap gangguan akibat adanya perubahan lingkungan dengan fluktuasi di
luar normal. Dari segi fungsinya, wilayah pesisir merupakan zona penyangga (buffer zone) bagi
hewan-hewan migrasi.
Laut adalah kumpulan air asin dalam jumlah yang banyak dan luas yang menggenangi
dan membagi daratan atas benua atau pulau. Jadi laut adalah merupakan air yang menutupi
permukaan tanah yang sangat luas dan umumnya mengandung garam dan berasa asin
(Suwito, 2012)
Berdasarkan UNCLOS, 1982, Pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami,
dikelilingi oleh air dan selalu berada/muncul di atas air pasang (IHO, 1993). Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia dikatakan pulau adalah daratan yang dikepung/terendam air.
Kepulauan adalah gugusan beberapa pulau/ gugusan pulau-pulau. NTT disebut sebagai
provinsi kepulauan karena provinsi NTT terdiri dari gugusan pulau-pulau baik pulau besar
maupun kecil. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Tahun 2000 Tentang
Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Dan Berbasis Masyarakat
menyebutkan bahwa ” Pulau-Pulau Kecil / Gugusan Pulau-Pulau Kecil adalah kumpulan pulau-
pulau yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi, sosial dan budaya,
baik secara individual maupun sinergis dapat meningkatkan skala ekonomi dan pengelolaan
sumberdayanya”. Menurut UU RI No. 27 Tahun 2007, Pulau Kecil adalah pulau dengan luas
lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan
ekosistemnya.
Hasil inventarisasi pulau-pulau kecil terluar oleh DISHIDRO TNI AL, ditemukan Indonesia
memiliki 92 pulau terluar. Pulau-pulau terluar tersebut berbatasan langsung dengan negara-
negara tetangga mulai dari Malaysia, Vietnam, Filipina, Palau, Australia, Timor Leste, India,
Singapura, dan Papua Nugini. Daftar 92 pulau terluar di Indonesia ditetapkan berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar. Pulau
– pulau kecil terluar tersebut dapat di lihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pulau – Pulau Kecil Terluar di Indonesia
Titik Koordinat Berbatasa
No Daftar Pulau Lintang (LS) Letak n Dengan
dan Bujur (BT) Neggara
8° 13′ 50″
1 Pulau Alor Selat Ombai (Kabupaten Alor, NTT) Timor Leste
125°7′55″
5° 35′ 42'' Laut Aru; (Kabupaten Maluku
2 Pulau Ararkula Australia
134°49′5″ Tenggara, Maluku)
8° 3′ 7″ Laut Timor; (Kabupaten Maluku
3 Pulau Asutubun Timor Leste
131°18′2″ Tenggara Barat, Maluku)
1° 2′ 52″ Laut Sulawesi; (Kabupaten Bolaang
4 Pulau Bangkit Filipina
123°6′45″ Mongondow, Sulawesi Utara)
8° 30′ 30″ Samudra Hindia; (Kabupaten
5 Pulau Barung Australia
113°17′37″ Jember, Jawa Timur).
8° 20′ 30″ Laut Timor; (Kabupaten Maluku
6 Pulau Batarkusu Timor Leste
130°49′16″ Tenggara Barat, Maluku).
9° 15′ 30″ Laut Sawu; (Kabupaten Kupang,
7 Pulau Batek Timor Leste
123°59′30″ NTT)
Laut Sulawesi; (Kabupaten
Pulau Batu 4° 44′ 46″
8 Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara); Filipina
Bawaikang 125°29′24″
Filipina
Pulau Batu 1° 11′ 6″ Selat Singapura; (Kota Batam,
9 Singapura
Berhanti 103°52′57″ Kepulauan Riau)
7° 57′1″ Laut Aru; (Kabupaten Maluku
10 Batu Goyang Australia
134°11′38″ Tenggara, Maluku)
5°53′45″ Samudra Hindia; (Kabupaten
11 Pulau Batu Kecil India
104°26′26 Tanggamus, Lampung)
2° 52′ 10″ Selat Malaka; (Kabupaten Bintan,
12 Pulau Batu Mandi Malaysia
100° 41′ 5″ Kepulauan Riau)
5° 47′ 34″ Samudra Hindia; (Kota Sabang,
13 Pulau Benggala India
94° 58′ 21″ Nanggroe Aceh Darussalam)
0° 23′ 38″ Samudra Pasifik; (Kabupaten Biak
14 Pulau Bepondi Palau
135° 16′ 27″ Numfor, Papua)
3° 46′ 38″ Selat Malaka; (Kabupaten Deli
15 Pulau Berhala Malaysia
99° 30′ 3″ Serdang, Sumatra Utara)
0° 55′ 57″ Samudra Pasifik; (Kabupaten Biak
16 Pulau Bras Palau.
134° 20′ 30″ Numfor, Papua)
0° 32′ 8″ Samudra Pasifik; (Kabupaten
17 Pulau Budd Palau
130° 43′ 52″ Sorong, Irian Jaya Barat)
2° 44′ 29″ Laut Natuna; (Kabupaten Natuna,
18 Pulau Damar Malaysia
105° 22′ 46″ Kepulauan Riau)
Pulau Dana 11° 0′ 36″ Samudra Hindia; (Kabupaten
19 Australia
(Ndana) 122° 52′ 37″ Kupang, Nusa Tenggara Timur)
10° 50′ 0″ Samudra Hindia; (Kabupaten
20 Pulau Dana Australia
121° 16′ 57″ Kupang, Nusa Timur)
7° 1′ 0″ Samudra Hindia; (Kabupaten
21 Pulau Deli Australia
105° 31′ 25 Pandeglang, Banten)
1° 22′ 40″ Laut Sulawesi; (Kabupaten Toli-Toli,
22 Pulau Dolangan Malaysia
120° 53′ 4″ Sulawesi Tengah)
5° 31′ 13″ Samudra Hindia; (Kabupaten
23 Pulau Enggano India
102° 16′ 0″ Bengkulu Utara, Bengkulu)
7° 6′ 14″ Laut Arafuru; (Kabupaten Maluku
24 Pulau Enu Australia
134° 31′ 19″ Tenggara, Maluku)
1° 4′ 28″ Samudra Pasifik; (Kabupaten
25 Pulau Fani Palau
131° 16′ 49″ Sorong, Irian Jaya Barat)
0° 56′ 22″ Samudra Pasifik; (Kabupaten Biak
26 Pulau Fanildo Palau
134° 17′ 44″ Numfor, Papua)
Pulau Gosong 3° 59′ 25″ Laut Sulawesi; (Kabupaten Nunukan,
27 Malaysia
Makasar 117° 57′ 42″ Kalimantan Timur
4° 38′ 38″ Laut Sulawesi; (Kabupaten
28 Pulau Intata Filipina
127° 9′ 49″ Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara)
1° 11′ 30″ Selat Malaka; (Kabupaten Karimun,
29 Pulau Iyu Kecil Malaysia
103° 21′ 8″ Kepulauan Riau)
0° 43′ 39″ Laut Halmahera; (Halmahera,
30 Pulau Jiew Palau
129° 8′ 30″ Maluku Utara)
4° 37′ 36″ Samudra Pasifik; (Kabupaten
31 Pulau Kakarutan Filipina
127° 9′ 53″ Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara)
7° 1′ 8″ (Kabupaten Maluku Tenggara,
32 Pulau Karang; Australia
134° 41′ 26″ Maluku)
6° 0′ 9″ Laut Aru; (Kabupaten Maluku
33 Pulau Karaweira Australia
134° 54′ 26″ Tenggara, Maluku)
Pulau Karimun 1° 9′ 59″ Selat Malaka; Kabupaten Karimun,
34 Malaysia
Kecil 103° 23′ 20″ Kepulauan Riau
35 Pulau Kawalusu 4° 14′ 6″ Laut Sulawesi; (Kabupaten Filipina
125° 18′ 59″ Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara)
4° 40′ 16″ Laut Mindanao; (Kabupaten
36 Pulau Kawio Filipina
125° 25′ 41″ Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara)
2° 38′ 42″ Laut Natuna; (Kabupaten Natuna,
37 Pulau Kepala Malaysia
109° 10′ 4″ Kepulauan Riau)
8° 6′ 10″ Selat Wetar; (Kabupaten Maluku
38 Pulau Kisar Timor Leste
127° 8′ 36″ Tenggara Barat, Maluku)
8° 12′ 49″ Laut Aru; (Kabupaten Merauke,
39 Pulau Kolepon Australia
137° 41′ 24″ Papua)
Pulau Kultubai 6° 49′ 54″ Laut Aru; (Kabupaten Maluku
40 Australia
Selatan 134° 47′ 14″ Tenggara, Maluku)
Pulau Kultubai 6° 38′ 50″ Laut Aru; (Kabupaten Maluku
41 Australia
Utara 134° 50′ 12″ Tenggara, Maluku)
5° 23′ 14″
42 Pulau Laag Laut Aru; (Irian Jaya Timur, Papua) Australia
137° 43′ 7″
7° 14′ 26″ Laut Aru; (Kabupaten Maluku
43 Pulau Larat Australia
131° 58′ 49″ Tenggara Barat, Maluku)
8° 14′ 20″ Laut Timor; (Kabupaten Maluku
44 Pulau Leti Timor leste
127° 37′ 50″ Tenggara Barat, Maluku)
1° 34′ 26″ Samudra Pasifik; (Kabupaten Papua
45 Pulau Liki
138° 42′ 57″ Jayapura, Papua) Nugini
0° 59′ 55″ Selat Makasar; (Kabupaten Toli-Toli,
46 Pulau Lingian Malaysia
120° 12′ 50″ Sulawesi Tengah)
8° 3′ 50″ Selat Wetar; (Kabupaten Maluku
47 Pulau Liran; Timor Leste
125° 44′ 0″ Tenggara Barat, Maluku)
2° 44′ 15″ Laut Sulawesi; (Kabupaten
48 Pulau Makalehi Filipina
125° 9′ 28″ Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara)
3° 5′ 32″ Laut Natuna; (Kabupaten Natuna,
49 Pulau Mangkai; Malaysia
105° 35′ 0″ Kepulauan Riau)
10° 20′ 8″ Samudra Hindia; (Kabupaten Sumba
50 Pulau Mangudu Australia
120° 5′ 56″ Timur, Nusa Tenggara Timur)
1° 45′ 47″ Laut Sulawesi; (Kabupaten Bolaang
51 Pulau Manterawu Filipina
124° 43′ 51″ Mongondow, Sulawesi Utara)
7° 49′ 11″ Samudra Hindia; (Kabupaten
52 Pulau Manuk Australia
108° 19′ 18″ Tasikmalaya, Jawa Barat)
4° 46′ 18″ Laut Sulawesi; (Kabupaten
53 Pulau Marampit Filipina
127° 8′ 32″ Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara)
2° 15′ 12″ Laut Sulawesi; (Kabupaten Berau,
54 Pulau Maratua Malaysia
118° 38′ 41″ Kalimantan Timur)
4° 44′ 14″ Laut Sulawesi; (Kabupaten
55 Pulau Marore Filipina
125° 28′ 42″ Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara)
8° 13′ 29″ Laut Timor; (Kabupaten Maluku
56 Pulau Masela Timor Lest
129° 49′ 32″ Tenggara Barat, Maluku)e
Pulau 8° 21′ 9″ Laut Timor; (Kabupaten Maluku
57 Timor Leste
Meatimiarang 128° 30′ 52″ Tenggara Barat, Maluku)
4° 1′ 12″ Samudra Hindia; (Kabupaten
58 Pulau Mega; India
101° 1′ 49″ Bengkulu Utara, Bengkulu)
5° 34′ 2″ Laut Sulawesi; (Kabupaten
59 Pulau Miangas Filipina
126° 34′ 54″ Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara)
0° 20′ 16″ Samudra Pasifik; (Kabupaten
60 Pulau Miossu Palau
132° 9′ 34″ Sorong, Irian Jaya Barat)
1° 9′ 13″ Selat Singapura; (Kota Batam,
61 Pulau Nipa Singapura
103° 39′ 11″ Kepulauan Riau)
1° 12′ 29″ Selat Singapura; (Kota Batam,
62 Pulau Nongsa Singapura
104° 4′ 47″ Kepulauan Riau)
Pulau 7° 47′ 5 Samudra Hindia; (Kabupaten
63 Australia
Nusakambangan 109° 2′ 34 Cilacap, Jawa Tengah)
6° 19′ 26″ Laut Aru; (Kabupaten Maluku
64 Pulau Panambulai Australia
134° 54′ 53″ Tenggara, Maluku)
8° 22′ 17″ Samudra Hindia; (Kabupaten
65 Pulau Panehan Australia
111° 30′ 41″ Trenggalek, Jawa Timur)
1° 7′ 44″ Selat Singapura; (Kota Batam,
66 Pulau Pelampong Singapura
103° 41′ 58″ Kepulauan Riau)
4° 52′ 33″ Samudra Hindia; (Kabupaten Aceh
67 Pulau Raya India
95° 21′ 46″ Barat, Nanggroe Aceh Darussalam)
6° 4′ 30″ Samudra Hindia; (Kota Sabang,
68 Pulau Rondo India
95° 6′ 45″ Nanggroe Aceh Darussalam)
5° 16′ 34″ Samudra Hindia; (Kabupaten Aceh
69 Pulau Rusa India
95° 12′ 7″ Besar, Nanggroe Aceh Darussalam)
1° 20′ 16″ Laut Sulawesi; (Kabupaten Toli-Toli,
70 Pulau Salando Malaysia
120° 47′ 31″ Sulawesi Tengah)
Pulau Salaut 2° 57′ 51″ Samudra Hindia; (Kabupaten Aceh
71 India
Besar 95° 23′ 34″ Utara, Nanggroe Aceh Darussalam)
1° 46′ 53″ Laut Sulawesi; (Kabupaten Berau,
72 Pulau Sambit Malaysia
119° 2′ 26″ Kalimantan Timur)
4° 10′ 0″ Selat Makasar; (Kabupaten
73 Pulau Sebatik Malaysia
117° 54′ 0″ Nunukan, Kalimantan Timur)
4° 42′ 25″ Laut China Selatan; (Kabupaten
74 Pulau Sebetu Vietnam
107° 54′ 20″ Natuna, Kepulauan Riau)
4° 47′ 45″ Laut China Selatan; (Kabupaten
75 Pulau Sekatung Vietnam
108° 1′ 19″ Natuna, Kepulauan Riau)
8° 24′ 24″ Samudra Hindia; (Kabupaten
76 Pulau Sekel Australia
111° 42′ 31″ Trenggalek, Jawa Timur)
8° 10′ 17″ Laut Timor; (Kabupaten Maluku
77 Pulau Selaru Australia
131° 7′ 31″ Tenggara Barat, Maluku)
4° 31′ 9″ Laut Natuna; (Kabupaten Natuna,
78 Pulau Semiun Malaysia
107° 43′ 17″ Kepulauan Riau)
1° 2′ 52″ Selat Singapura; (Kabupaten
79 Pulau Sentu Malaysia
104° 49′ 50″ Kepulauan Riau, Kepulauan Riau)
4° 0′ 48″ Laut China Selatan; (Kabupaten
80 Pulau Senua Malaysia
108° 25′ 4″ Natuna, Kepulauan Riau)
Samudra Hindia; (Kabupaten
3° 17′ 48″
81 Pulau Sibarubaru Kepulauan Mentawai, Sumatra India
100° 19′ 47″
Barat)
Pulau 2° 31′ 47″ Samudra Hindia; (Kabupaten Aceh
82 India
Simeuleuceut 95° 55′ 5″ Barat, Nanggroe Aceh Darussalam)
0° 5′ 33″ Samudra Hindia; (Kabupaten Nias,
83 Pulau Simuk India
97° 51′ 14″ Sumatra Utara)
Samudra Hindia; (Kabupaten
1° 51′ 58″
84 Pulau Sinyaunyau Kepulauan Mentawai, Sumatra India
99° 4′ 34″
Barat)
Samudra Hindia; (Kabupaten
Pulau 8° 55′ 20″
85 Lombok Barat, Nusa Tenggara Australia
Sophialouisa 116° 0′ 8″
Barat)
3° 1′ 51″ Laut Natuna; (Kabupaten Natuna,
86 Pulau Subi Kecil Malaysia
108° 54′ 52″ Kepulauan Riau)
Pulau Tokong 3° 27′ 4″ Laut Natuna; (Kabupaten Natuna,
87 Malaysia
Belayar 106° 16′ 8″ Kepulauan Riau)
Pulau Tokong 2° 18′ 0″ Laut Natuna; (Kabupaten Natuna,
88 Malaysia
Malang Biru 105° 35′ 47″ Kepulauan Riau)
Pulau Tokong 3° 19′ 52″ Laut Natuna; (Kabupaten Natuna,
89 Malaysia
Nanas 105° 57′ 4″ Kepulauan Riau)
4° 4′ 1″ Laut Natuna; (Kabupaten Natuna,
90 Pulau Tokongboro Malaysia
107° 26′ 9″ Kepulauan Riau)
7° 56′ 50″ Laut Banda; (Kabupaten Maluku
91 Pulau Wetar Timor Leste
126° 28′ 10″ Tenggara Barat, Maluku)
1° 12′ 47″ Samudra Hindia; (Kabupaten Nias,
92 Pulau Wunga India
97° 4′ 48″ Sumatra Utara)
NTT memiliki 1192 pulau yang baru bernama 430 pulau. Dari 1192 pulau terdapat
sebanyak 15 pulau terluar atau terdepan. Berikut 10 pulau terluar di NNT yang baru diberi
nama oleh Gubernur NTT dan FORUM KOMUNIKASI PEMERINTAH DAERAH ( FORKOPIMDA)
Provinsi NTT pada tanggal, 14 Mei 2016 disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. 10 Pulau terluar di NNT
No. Kabupaten Nama Pulau P. Yang Berpenghuni
1. Rote Ndao Pulau Usu 800 jiwa (103 KK)
Nusa Boti Tidak berpenghuni
Pia Bilba Sda
Huni Ama Sda
Bolotelu Fola Sda
Pia Fula Sda
Namo Dere Sda
2. Manggarai Barat Nusa Dua Sda
Nusa Tiga Sda
Singo Edan Sda
Sumber : Victory News (Bagian Politik dan Hukum), Senin, 16 Mei 2016
10. Mangrove
Kata mangrove berasal dari dua bahasa yaitu bahasa Portugis disebut Mangue dan
bahasa Inggri disebut grove. Jadi mangrove adalah satu varietas komunitas atau semak-semak
yang mempunyai kemampuan tumbuh dan berkembang di perairan asin. Menurut Nybakken
(1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu
varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang
khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau
masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air
laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dikutip oleh Supriharyono, 2000).
Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut hutan bakau atau hutan payau.
Mangrove sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas tumbuh di pantai
daerah tropis dan sub tropis yang terlindung (Saenger et al, 1973 dikutip oleh Noor et al,
1999). Mangrove termasuk salah satu hutan pantai yang tumbuh pada tanah lumpur aluvial di
daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut (Soerianegara, 1987
dikutip oleh Noor et al, 1999).
Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi
gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird,
1967 dikutip oleh Idawaty, 1999). Selanjutnya menurut IUCN (1993), mengatakan bahwa
spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan
pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.
Menurut Bengen (2001), adaptasi mangrove dibagi dalam bentuk bentuk :
1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki
bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora
seperti Avecennia sp., Xylocarpus sp, dan Sonneratia sp, untuk mengambil oksigen
dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (contoh :
Rhyzophora spp.).
2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi :antara lain : a. Memiliki sel-sel khusus
dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. b. Berdaun kuat dan tebal yang
banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam. c. Daunnya memiliki
struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara
mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan
horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga
berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
Hutan mangrove tersusun dari berbagai jenis mangrove meliputi pohon-pohon dan
semak tergolong dalam 8 famili, 12 genera tumbuhan berbunga dan 202 jenis terdiri atas 89
pohon, 5 jenis palem, 19 liana, 44 epifit dan 1 jneis paku. Jenis-jenis mangrove terdiri atas api-
api (Avicennie sp), pedada (Sonneratia sp ), bakau (Rhizophora sp), tanjang (Bruguiera sp),
tengar (Ceriops sp), nyirih (Xylocarpus sp), Lummitzera sp, buta-buta (Exoecaria ap), Aegiceras
sp, Aegiatilis annulata, Pemphis aculdua, Osbornea octodonta, Acanthus ilicifolius , Acroctichum
aureum, Scypphyphora dan Nypa.
Penyebaran dan zonasi hutan mangrove menurut Bengen (2001) sebagai berikut :
1. Mangrove terbuka
Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering
ditumbuhi oleh Sonneratia alba, sementara Avicennia marina dan Rhizophora
mucronata dominan tumbuh di daerah berlumpur. Pada zona ini Sonneratia sering
berasosiasi dengan Avicennia.
2. Mangrove tengah
Terletak dibelakang mangrove terbuka. Didominasi oleh Rhizophora sp, namun biasa
ditemukan juga Bruquiera sp, dan Xylocarpus sp.
3. Mangrove payau
Tumbuh di sepanjang sungai berair payau sampai tawar. Di dominasi oleh Nypa atau
Sonneratia
4. Mangrove daratan
Jenis-jenis mangrove yang tumbuh di zona ini meliputi Ficus microcarpus, F. retusa,
Intsia bijuga, Nypa fruticans, Lumnizera sp, Pandanus sp dan Xylocarpus sp.
Mangrove memiliki beberapa fungsi diantaranya : (1) Fungsi ekologis dan biologis
sebagai pelindung garis pantai dari abrasi, mempercepat perluasan pantai melalui
pengendapan, mencegah intrusi air laut ke daratan, tempat berpijah aneka biota laut, tempat
berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan serangga, dan
sebagai pengatur iklim mikro.
Selanjutnya fungsi ekonomis dan sosial meliputi penghasil keperluan rumah tangga
(kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan), penghasil keperluan
industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna), penghasil bibit ikan,
nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung, dan pariwisata, penelitian, dan
pendidikan.
Sifat lamun antara lain : (1) mampu hidup di media air asin; (2) mampu berfungsi
normal dalam keadaan terbenam; (3) mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang
baik; (4) mampu melaksanakan penyerbukan dan daur generatif dalam keadaan
terbenam.Lamun memiliki sistem perakaran yang nyata, dedaunan, sistem transportasi internal
untuk gas dan nutrien, serta stomata berfungsi untuk pertukaran gas. Akar berfungsi dalam
pengambilan air, dan daun menyerap nutrien.
Lamun tumbuh subur di daerah terbuka pasang surut dan pantai atau goba yang
dasarnya berlumpur, pasir, kerikil, dan patahan karang mati dengan kedalaman sampai 4 m.
Pada perairan yang jernih , beberapa jenis lamun dapat tumbuh sampai pada kedalam 8 – 15
m dan 40 m.Lamun dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sangat tergantung dari
beberapa faktor antara lain : (1) kecerahan : lamun butuh cahaya yang tinggi untuk
fotosintesis; (2) temperatur : kisaran temperatur optimal untuk sebaran lamun antara 28 – 30º
C; (4) kemampuan proses fotosintesis akan menurun dengan tajam bila temperatur di luar
temperatur optimal; (5) salinitas : kisaran salinitas antara 10 sampai 40 ppm dan salinitas
optimal 35 ppm; dan (6) substrat : tipe substrat lumpur berpasir dan berbatu.
Fungsi lamun antara lain : (1) Produsen primer : lamun memiliki produktivitas tinggi
dibandingkan dengan ekosistem lain seperti mangrove dan terumbu karang; (2) Habitat biota :
lamun sebagai tempat berlindung dan menempel berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan
(algae), daerah asuhan, padang pengembalaan dan makanan dari berbagai jenis ikan herbivora
dan ikan karang; (3) Penangkap sedimen : daun lamun yang lebat dapat memperlambat air
yang disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan disekitarnya tenang. Rimpang dan
akar dapat menahan dan mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan
dasar permukaan mencegah erosi; dan (4) Pendaur zat hara : lamun berperan dalam
pendauran berbagai zat hara dan elemn-elemn langka dilingkungan laut khususnya zat-zat
hara yang dibutuhkan algae epifitik.
Aktivitas masyarakat dalam memanfaatkan ekosistem lamun di kecamatan Riung
sebagai tempat pendaratan perahu, tempat budidaya, dan pengerukan untuk membuat
pelabuhan. Menurut Bengen (2001), pemanfaatan lamun oleh masyarakat yang tinggal di
wilayah pesisir digunakan antara lain : (1) sebagai tempat kegiatan budidaya laut berbagai jenis
ikan, kerang-kerangan dan tiram; (2) tempat rekreasi atau parawisata; dan (3) sumber pupuk
hijau.
4.Sumberdaya Ikan
Potensi kelautan dan perikanan yang diimiliki terdiri atas beragam sumberdaya alam laut
seperti ikan dan non ikan. Sumberdaya ikan terdiri atas ikan pelagis besar seperti tuna,
cakalang, tenggiri,dan lain-lain, ikan pelagis kecil seperti layang, lemuru, sardin, kembung, dan
lain-lain, serta ikan demersal termasuk ikan karang seperti kakap, kerapu, napoleon,
bambangan, biji nangka, dan lain-lain. Sumberdaya non ikan seperti crustacea, mokuska,
rumput laut dan lain-lain.
Ikan Pelagis
Menurut hasil penelitian Risamasu, dkk (2011), jenis-jenis ikan pelagis yang dikonsumsi
oleh masyarakat di Kabupaten Kupang dan Kota Kupang berdasarkan hasil penelitian disajikan
pada Tabel 4.
Tabel 4. Daftar jenis ikan pelagis yang dikonsumsi oleh Masyarakat Kabupaten Kupang dan
Kota Kupang
Famili Jenis Jumlah Prosentase
SCOMBRIDAE Thunnus tonggol, Katsuwonus pelamis, 8 19,1
Euthynnus affinis, Auxis thazard,
Rastrelliger kanagurta, R. faughni, R.
brachysoma, Scomberomorus commerson
CARANGIDAE Decapterus russlli, D. macrosoma, 14 33,3
Scomberoides tol, Megalaspis cordial,
Elagatis bippinulatus, Alepes melanoptera,
A. vari, Carangoides dinema, C.
orthogrammus, C. malabaricus, ,Caranx
melapygus, C.sexfasciatus, C. ferdau,
Alectis indicus
TRICHIURIDAE Trichiurus japonicus 1 2,4
MENIDAE Mene maculate 1 2,4
CLUPEIDAE Amblygaster clupeiodes, A. sirm, Sardinella 6 14,2
gibbosa, Dussumiera elosoides, Hilsa Kelle,
Illisha ap
ENGRAULIDIDAE Stoleporus divisi, S. waite.S. commersonnii, 4 9,5
S. Indicus
EXOCOETIDAE Cypselurus noresii 1 2,4
BELONIDAE Tylosurus crocodiles crocodiles 1 2,4
HEMIRAMPHIDAE Hyporhamphus quoyi 1 2,4
SPHYRAENIDAE Sphyraena putnamiae 1 2,4
CORYPHARNIDAE Coruphaena hippurus 1 2,4
LEIOGNATHIDAE Leiognathus splendes. L. bindus, L. 3 7,1
Leuciscus
Total 42 100
Data tersebut memperlihatkan bahwa kelompok ikan pelagis yang dikonsumsi oleh
masyarakat Kabupaten Kupang dan Kota Kupang secara keseluruhan ada 42 spesies ( jenis)
yang tergolong dalam 27 genus dan 12 famili. Famili yang memiliki jumlah jenis (spesies)
tertinggi yakni Famili Carangidae dengan presentase sebesar 33,3%, kemudian Scombridae
sebesar 19,1% dan diikuti oleh famili lainnya. Jenis-jenis ikan pelagis ditampilkan pada Gambar
1.
SCOMBRIDAE : SCOMBRIDAE: SCOMBRIDAE:
Thunnus tonggol Katsuwonus pelamis Euthynnus affinis
Ikan Demersal
Jenis-jenis ikan demersal yang dikonsumsi oleh masyarakat di Kabupaten Kupang dan Kota
Kupang berdasarkan hasil penelitian disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Daftar jenis ikan demersal yang dikonsumsi oleh Masyarakat Kabupaten Kupangdan
Kota Kupang
Famili Jenis Jumlah Prosentase
(%)
PLOTOSIDAE Plotosus lineatus 1 1,3
POLYNEMIDAE Eleutheronema tetradactylum, 2 2,7
Polydactylus sextarius
SCIAENIDAE Nibea soldado 1 1,3
CARCHARHINIDAE Carcharhinus melanopterus 1 1,3
MYLIOBATIDIDAE Aetomyleus nichofii 1 1,3
KYPHOSIDAE Kyphosus cinerascens 1 1,3
TERAPONIDAE Terapon theraps, T. jarbua 2 2,7
ACANTHURIDAE Acanthurus olivaceus, A. striatus, A. 3 4,0
Lineatus
POMACANTHIDAE Pomacanthus annularis, P. 2 2,7
Semicirculatus
DASYATIDAE Himantura undulata 1 1,3
EPHYPPIDIDAE Deprane punctata, Platax batavianus 2 2,7
MULLIDAE Upeneus sulphureus, Parupeneus 5 6,7
macronema, P. pleurostigma, P.
multifasciatus, P. Chrysopleuron
IRIIDAE Aurius macualatus 1 1,3
PSETTODIDAE Psettodes erumei 1 1,3
HOLOCENTRIDAE Myripristis kuntee, M. hexagona, 3 4,0
Sargocentron caudimaculatum
HAEMULLIDAE Plectorhinchus lineatus, P. picus, P. 6 8,0
goldmanni, P. oerientalis,
P.polytaenia, Pomadasys kaakan
SIGANIDAE Siganus guttatus, S. virgatus, S. 5 6,7
argenteus, S. canaliculatus,
S.punctatus
MUGILIDAE Moolgarda buchanani 1 1,3
SOLEIDAE Dexillichthys muelleri 1 1,3
NEMIPTERIDAE Nemipterus hexodon, Nemipterus sp, 6 8,0
Scolopsis auratus, S. margaritifer, S.
hexochrous, Pentapodus caninus
LUTJANIDAE Symphorus spilurus, Lutjanus 20 27.0
fulviflamma, L.vitta, L. gibbus, L.
kasmira, Luttjanus sp1. Lutjanus sp2,
Lutjanus sp3, L. erythropterus, L.
carponotatus,L. bohar, Aprion
virescens, Pristopomoides
filamentosus, Paracaesio kusakarii,
Aphareus sp, Pinjalo lewisi, Aprion
virescens, Caesio pisang, C. lunaris,
dan Pterpcaesio pisang
LETHRINIDAE Lethrinus rubrioperculatus, L. 4 5,3
olivaceus, Lethrinus sp, Monotaxis
grandoculus
LABRIDAE Cheilinus chlorurus 1 1,3
PRIACANTHIDAE Priacanthus macracanthus 1 1,3
SCARIDAE Scarus niger, S.bleekeri, S.ghobban 3 4,0
Total 75 100
Data tersebut memperlihatkan bahwa kelompok ikan pelagis yang dikonsumsi oleh
masyarakat Kabupaten Kupang dan Kota Kupang secara keseluruhan ada 75 spesies ( jenis )
yang tergolong dalam 42 genus dan 25 famili. Famili yang memiliki jumlah jenis (spesies)
tertinggi yakni Famili Lutjanidae dengan presentase sebesar 27,0%, kemudian famili
Nemipteridae sebesar 8,0% dan diikuti oleh famili lainnya. Jenis-jenis ikan demersal yang
terinventarisasi berdasarkan hasil penelitian disajikan pada Gambar 2.
Crustacea
Kepiting
Selanjutnya jenis kepiting yang dikonsumsi oleh masyarakat Kabupaten Kupang dan
Kota Kupang diantaranya kepiting bakau (Scylla serrata) dan Portunus sanguinolentus,
P.pelagicus dan Portunus sp (Gambar 4). Scylla serrata dan Portunus sp tergolong dalam famili
Portunidae. Jenis kepiting yang paling banyak dijual di pasaran adalah Scylla serrata dan
Portunus pelagicus. Kepiting termasuk makanan bergizi berkalori rendah mengandung protein
65,72%, mineral 7,5% dan lemak 0,88%. Kepiting bisa diperoleh dari kegiatan penangkapan
maupun budidaya (Soim, 1997 dikutip oleh Risamasu, dkk, 2011).
Udang
Jenis-jenis udang yang dikonsumsi masyarakat Kabupaten Kupang dan Kota Kupang
yang dijual di beberapa pasar ikan Kota Kupang disajikan pada Gambar 5.
Panaeus indicus Paneus japonicus
Cephalopoda
Jenis-jenis cumi-cumi yang dikonsumsi masyarakat Kabupaten Kupang dan Kota Kupang
yang dijual di beberapa pasar ikan di Kota Kupang disajikan pada Gambar 6. Cumi-cumi
merupakan salah satu hewan laut dari keluarga Loliginidae, kelas Cephalopoda. Cumi-cumi
dalam bahasa Latin disebut Loligo spp, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut squid. Cumi-
cumi sering dijadikan menu utama restoran/warung seafood atau chinesefood mengandung gizi
17,9g /100g cumi segar dan juga kaya akan asam amino esensial yang sangat diperlukan oleh
tubuh. Asam amino esensial yang dominan adalah leusin, lisin, dan fenilalanin. Sementara
kadar asam amino nonesensial yang dominan adalah asam glutamat dan asam aspartat. Kedua
asam amino tersebut berkontribusi besar terhadap timbulnya rasa sedap dan gurih. Mineral
penting yang terkandung dalam daging cumi-cumi adalah natrium, kalium, fosfor, kalsium,
magnesium, dan selenium. Selain kaya akan protein, cumi-cumi juga merupakan sumber
vitamin yang baik, seperti vitamin B1 (tiamin), B2 (riboflavin), B12, niasin, asam folat, serta
vitamin larut lemak (A, D, E, K). (Irawan, 2008 dikutip oleh Risamasu, dkk, 2011 ).
Loligo sp Sepia sp
Gambar 7. Jenis-jenis rumput laut yang dibudidayakan di desa Tablolong, Tuadale dan Bolok
Jenis-jenis alga yang biasanya dikonsumsi oleh masyarakat di Kabupaten Kupang dan
Kota Kupang ada tiga jenis seperti Eucheuma cottonii dan E. striatum. Rumput laut mentah
biasanya dibuat lawar (salat), dan ditumis seperti menumis sayur. Rumput laut yang sudah
kering kemudian diolah juga menjadi beberapa jenis makanan seperti cendol, dodol, manisan,
dan puding. Jenis-jenis rumput laut yang dikonsumsi sebagai sumber pangan disajikan pada
Gambar 8. Hambali, dkk (2004) dikutip oleh Risamasu, dkk (2011) mengemukakan bahwa
rumput laut kering dapat diolah menjadi berbagai macam makanan seperti manisan, dodol,
cendol, puding dan permen jelly. Proses pengolahannya mudah dan sederhana, tidak
memerlukan prosedur dan peralatan yang rumit.
Eucheuma cottonii Eucheuma striatum (Sakol) Codium gepii
Pulau-pulau kecil juga memberikan jasa-jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya
yaitu sebagai kawasan berlangsungnya kegiatan kepariwisataan, media komunikasi, kawasan
rekreasi, konservasi dan jenis pemanfaatan lainnya. Jenis-jenis pariwisata yang dapat
dikembangkan di kawasan pulau-pulau kecil adalah :
a. Wisata Bahari
Kawasan pulau-pulau kecil merupakan aset wisata bahari yang sangat besar yang
didukung oleh potensi geologis dan karaktersistik yang mempunyai hubungan
sangat dekat dengan terumbu karang (Coral Reef), khususnya hard corals.
Disamping itu, kondisi pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni, secara logika akan
memberikan kualitas keindahan dan keaslian dari bio-diversity yang dimilikinya.
Berdasarkan rating yang dilakukan oleh lembaga kepariwisataan internasional,
beberapa kawasan di Indonesia dengan sumberdaya yang dimilikinya mempunyai
rating tertinggi bila ditinjau dari segi daya tarik wisata bahari dibandingkan dengan
kawasan-kawasan lain di dunia. Beberapa kawasan wisata bahari yang sangat
sukses di dunia antara lain adalah kawasan Great Barrier Reef, kawasan negara-
negara di Karibia, seperti Bahama, Kawasan Pasifik seperti Hawai, serta Kawasan
Meditterranean. Belajar dari pengalaman di kawasan tersebut, ternyata negara-
negara tersebut merupakan “Negara Pulau-pulau Kecil (Small Islands State)”,
kecuali di Great Barrier Reef dan Meditterranea.
Sebagian besar pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki potensi wisata bahari yang
cukup potensial. Beberapa diantaranya telah dikembangkan sebagai daerah tujuan
wisata bahari seperti Taman Nasional (TN) Taka Bone Rate (Sulsel), TN Teluk
Cendrawasih, TN Kep. Wakatobi (Sultra), Taman Wisata Alam (TWA) Kep.
Kapoposang (Sulsel), TWA Tujuh Belas Pulau (NTT), TWA Gili Meno, Ayer,
Trawangan (NTB), TWA P. Sangiang (Jabar), dan lain-lain.
b. Wisata Terestrial
Pulau-pulau kecil mempunyai potensi wisata terestrial yaitu wisata yang merupakan
satu kesatuan dengan potensi wisata perairan laut. Wisata terestrial di pulau-pulau
kecil misalnya TN Komodo (NTT), sebagai lokasi Situs Warisan Dunia (World
Herritage Site) merupakan kawasan yang memiliki potensi darat sebagai habitat
komodo, serta potensi keindahan perairan lautnya di P. Rinca dan P. Komodo.
Contoh lain adalah Pulau Moyo yang terletak di NTB sebagai Taman Buru (TB),
dengan kawasan hutan yang masih asri untuk wisata berburu dan wisata bahari
(diving). Kondisi Pulau Moyo tersebut dimanfaatkan oleh para pengusaha pariwisata
sebagai kawasan “Ekowisata Terestrial”. Dikawasan tersebut terdapat resort yang
tarifnya relatif mahal, dengan fasilitas yang ditawarkan berupa tenda-tenda,
sehingga merupakan “wisata camping” yang dikemas secara mewah. Paket wisata
di Kawasan Pulau Moyo ini sudah sangat terkenal di mancanegara sehingga dapat
memberikan devisa bagi negara.
c. Wisata Kultural
Pulau-pulau kecil merupakan suatu prototipe konkrit dari suatu unit kesatuan utuh
dari sebuah ekosistem yang terkecil. Salahsatu komponennya yang sangat signifikan
adalah komponen masyarakat lokal. Masyarakat ini sudah lama sekali berinteraksi
dengan ekosistem pulau kecil, sehingga secara realitas di lapangan, masyarakat
pulau-pulau kecil tentunya mempunyai budaya dan kearifan tradisional (local
wisdom) tersendiri yang merupakan nilai komoditas wisata yang tinggi.
Kawasan yang dapat dijadikan sebagai obyek wisata kultural, misalnya, di Pulau
Lembata. Masyarakat suku Lamalera di Pulau Lembata mempunyai budaya heroik
“Berburu Paus secara tradisional” (traditional whales hunter). Kegiatan berburu paus
secara tradisional tersebut dilakukan setelah melalui ritual-ritual budaya yang
sangat khas, yang hanya di miliki oleh suku Lamalera tersebut. Keunikan budaya
dan kearifan tradisional tersebut, menjadi daya tarik bagi para wisatawan.
Daftar Pustaka
Bengen, DG , 2001. Sinopsis ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut. PKSPL Institut
Pertanian Bogor. Halaman : 32 – 37.
Bengen, DG, 2004. Ragam Pemikiran Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan
Berbasis Eko-Sosiosistem. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut.
Dahuri, R; J. Rais, SP, Ginting dan MJ, Sitepu, 1996. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir
dan lautan secara terpadu. PT Pratnya Pratama, Jakarta. Halaman : 80 – 82.
Dahuri, R; J. Rais, S.P, Ginting dan M.J, Sitepu, 1996. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir
dan lautan secara terpadu. PT Pratnya Pratama, Jakarta.
Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove Di
Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat (Tesis). Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
IUCN - The Word Conservation Union. 1993. Oil and Gas Exploration and Production in
Mangrove Areas. IUCN. Gland, Switzerland.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41 Tahun 2000 Jo Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan No. 67 Tahun 2002 (Definis Pulau – Pulau Kecil).
Koesbiono, 1996. Ekologi wilayah pesisir
. Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PPLH
Lembaga Penelitian ,IPB bekerjasama dengan Direktorat jenderal Pembangunan
Derah Departemen Dalam Negeri RI dan Bank Pembangunan Asia (ADB).
Noor, Y.R, M. Khazali, dan I.N.N. Suryadipura, 1999. Panduan pengenalan Mangrove di
Indonesia. Wetlands International Indonesia programme, Ditjen PKA, Jakarta.
Nybakken, JW, 1988. Biologi Laut : Suatu pendekatan ekologi. Alih bahasa oleh M. Eidman.,
Koesoebiono., D.G. Bengen., M. Hutomo., dan S. Sukardjo. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta, Indonesia.
Nybakken, J.W, 1992. Biologi Laut : Suatu pendekatan ekologi. Alih bahasa oleh M. Eidman.,
Koesoebiono., D.G. Bengen., M. Hutomo., dan S. Sukardjo. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta, Indonesia.
Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar;
Wikipedia. http://www.suaramanado.com. Diakses Tanggal 27 Oktober Tahun 2015.
Pukul 19.00 Wita.
Risamasu, F,J.L, A. Tjendanawangi, Franchy Ch. Liufeto, Jotham S.R Ninef, dan Judiana
Jasmanindar. Kajian potensi sumberdaya ikan dan non ikan sebagai sumber pangan di
Kabupaten Kupang (laporan Penelitian) Lemlit Undana.
Romimohtarto, K dan S. Juwana, 2009. Biologi Laut Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut.
Penerbit Djambatan, Jakarta. 540 halaman.
Sugiarto, A. 1976. Pedoman Umum Pengelolaan Wilayah Pesisir. Lembaga Oseanologi Nasional,
Jakarta.
Suharsono, 1996. Jenis-jenis karang yang umum di jumpai di Indonesia.
Supriharyono, 2000. Pengelolaan ekosistem terumbu karang. Penerbit Djambatan, Jakarta.
Halaman : 3 – 5.
Suwito, V.A, 2012. Pencemaran pesisir dan laut. vivienanjadi.blogspot.com. Diakses tanggal, 25
Nopember 2014.
Timotius, S, 2003. Biologi terumbu karang, Makalah Training Course Karakteristik Niologi
Karang. Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI).
Tim Teknis, 2014. Penetapan Batas Maritim RI. Materi Audiens dengan Presiden RI.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil.
Victory News, 2016. 10 pulau terluar di NNT yang baru diberi nama oleh Gubernur NTT dan
FORUM KOMUNIKASI PEMERINTAH DAERAH (FORKOPIMDA) Provinsi NTT (Bagian
Politik dan Hukum), Senin, 16 Mei 2016
BAB VI. KARAKTERISTIK MASYARAKAT PESISIR
Solidaritas masyarakat folk (kebudayaan) ada dua yaitu (1) Solidaritas mekanik ditandai
dengan masih kuat kesadaran kolektif sebagai basis ikatan sosial. Sistem hukum bersifat
represif dan belum berlaku hukum formal dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Contoh
maraknya pembakaran kapal/perahu yang menggunakan alat tangkap yang dilarang nelayan
lokal; dan (2) Solidaritas organik lebih menekankan pada hukum restitutif yang bersifat
memulihkan berfungsi mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan yang
kompleks antar berbagai individu yang khusus atau kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Sanksi yang diberikan bersifat memulihkan bukan balas dendam.
Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam oprasi
penangkapan ikan atau binatang air lainnya. Berdasarkan status, maka nelayan dibagi atas :
1. Juragan darat adalah orang yang memiliki perahu dan alat tangkap ikan di laut
2. Juragan laut adalah orang yang tidak memiliki perahu dan alat tangkap dan diberi
tanggung jawab dalam oprasi penangkapan ikan di laut
3. Juragan darat laut adalah orang yang memiliki perahu dan alat tangkap sekali-sekali
turut serta dalam melakukan operasi penangkapan ikan di laut.
4. Pendega adalah orang yang tidak memiliki perahu dan alat tangkap ikan dan hanya
berfungsi sebagai anak buah kapal
Menurut waktu operasi penangkapan nelayan terdiri atas :
1. Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk
melakukan operasi penangkapan ikan
2. Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya
digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan
3. Nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya
digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan
Berdasarkan tingkat usaha nelayan terdiri atas :
1. Nelayan besar (large scale fishermen)
2. Nelayan kecil (small scale fishermen)
Berdasarkan kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada) orientasi pasar dan
karakteristik hubungan produksi terdiri atas (1) Peasant fisher (nelayan tradisional) lebih
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri (sub- sistence). (2) Berkembang
motorisasi perikanan, nelayan pun berubah dari peasant fisher menjadi post peasant yang
dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju seperti motor
tempel atau kapal motor; (3) Commersial fisher (nelayan berorientasi pada peningkatan
keuntungan); dan (4) Industrial fisher yang dicrikan dengan tata cara organisasi mirip
dengan perusahaan, relative padat modal, pendapatan lebih tinggi dan menghasilkan ikan
olahan (ikan kaleng dan beku) untuk diekspor.
Patron-Klien merupakan ciri umum struktur sosial masyarakat pesisir. Struktur sosial
masyarakat nelayan dicirikan dengan kuatnya ikatan patron klien. Kuatnya ikatan patron klien
merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan yang penuh resiko dan ketidakpastian.
Patron klien merupakan institusi jaminan sosial ekonomi. Tata hubungan patron klien meliputi
(1) Hubungan antar pelaku yang menguasai sumberdaya tidak sam; (2) Hubungan yang
bersifat khusus merupakan hubungan pribadi dan mengandung keakraban; dan (3) Hubungan
yang didasarkan pada azas saling menguntungkan.
Arus patron klien meliputi (1) Penghidupan subsisten dasar, berupa pinjaman pekerjaan
tetap, penyediaan sarana produksi, jasa pemasaran dan bantuan teknis; (2)Jaminan krisis
subsisten berupa pinjaman yang diberikan pada saat klien menghadapi kesulitan ekonomi; ((3)
Perlindungan terhadap klien dari ancaman pribadi maupun ancaman umum ; dan (4) Memberi
jasa kolektif berupa bantuan mendukung sarana umum setempat serta acara perayaan desa.
Klien adalah milik, sedangkan patron adalah penyedia tenaga dan keahlian untuk kepentingan
patron seperti jasa pekerjaan, dan lain-lain. Hubungan antara nelayan dengan patron yang
menguasai sumberdaya tidak sama, artinya patron menguasai sumberdaya modal jauh lebih
besar daripada nelayan. Ketidaksamaan penguasaan sumberdaya terjalinlah ikatan patron klien.
Patron klien ini lebih banyak berhubungan dengan bantuan modal kepada nelayan.
Sistem budaya bahari mencakup (1) Sistem pengetahuan . Nelayan harus memiliki
pengetahuan tentang biota laut ekonomis, lokasi penangkapan dan rumah ikan, musim, tanda
- tanda alam, dan lingkungan lingkungan sosial budaya; (2) Gagasan/ide . Potensi laut
melimpah dan diperuntukkan bagi semua, sumberdaya laut untuk semua tetapi hanya sebagian
bisa memanfaatkannya, laut luas tetapi tidak semua bisa dimasuki; dan (3) Keyakinan/
kepercayaan : Pemanfaatan sumberdaya laut, khususnya perikanan, di banyak tempat di dunia
nelayan mempraktekkan keyakinan-keyakinan dari agama atau kepercayaan dianutnya sebagai
mekanisme pemecahan persoalan-persoalan lingkungan pisik dan sosial dihadapinya sehari-
hari; dan (4) Nilai, dan norma/aturan berkenaan dengan pemanfaatan sumberdaya dan jasa-
jasa laut.
Makna tradisi yang dibangun antara lain (1) Tradisi-tradisi semacam itu menjadi aktivitas
kultural, sosial dan religius masyarakat; (2) Tradisi itu juga membangun interaksi dan kohesi
sosial antar suku; (3) Membina relasi intersubjektif dengan siapa saja; (4)Menemukan dan
mendefinisikan identitas mereka sendiri di hadapan suatu entitas sosial atau kultural tertentu;
(5) Dimensi spasial semacam itulah menjadi alasan mengapa beberapa masyarakat adat di
pesisir NTT tetap memilih dan menghidupi tradisi laut karena Laut adalah lokus kultural,
tempat mereka menghidupi dan menginternalisasi religiositas, solidaritas, kohesi sosial.
Suku Alor percaya akan adanya kekuasan tertinggi di laut disebut Dewa Laut (Lahatala).
Pemujaan roh atau benda alam menjadi simbol pemujaan terhadap dewa Lahatala. Melalui
pemujaan tersebut doa diterus kepada Dewa Mou Maha Maha agar dijauh dari marabahaya
selama berlayar dan mendapatkan berkah tangkapan ikan. Diiringi lagu dan tarian suku Orang
Alor mempersembahkan ritual berupa tarian Handek dan Heeloro sambil menarik sampan ke
laut diiringi alat musik trandisional. Di Kabupaten Kupang khusus di desa Bolok terdapat tradisi
Lilifuk.
Daftar Pustaka
Lampe, M, 2003. Budaya Bahari dalam konteks (Dalam konteks global dan modern) (Kasus
Komuniti-komuniti nelayan di Indonesia). Makalah ini disampaikan pada Kongres
Kebudayaan V, Bukittinggi, Sumatra Barat Tgl. 20-23 Oktober 2003.
Ambang batas bersifat luwes (flexible) tergantung pada kondisi teknologi dan sosial
ekonomi pemanfaatan sumberdaya alam dan kemampuan biosfir untuk menerima dampak
kegiatan manusia.Pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem
alamiah sedemikian rupa sehingga kapasitas fungsional untuk memberikan manfaat bagi
kehidupan manusia tidak rusak. Konsep pembangunan berkelanjutan memiliki 4 dimensi antara
lain :
1. Dimensi ekologis
Pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir agar total dampak tidak melebihi kapasistas
fungsionalnya. Setiap ekosistem alamiah memiliki 4 fungsi pokok bagi kehidupan manusia a.l :
1. Jasa-jasa pendukung kehidupan (udara, air bersih dan ruang tempat hidup) ; 2. Jasa-jasa
kenyamanan ( lokasi yang indah untuk berekreasi); 3. Penyedia sumberdaya alam dapat
diproduksi); 4. Penerima limbah (kemampuan menyerap limbah dari kegiatan manusia, hingga
menjadi kondisi yang aman) (Ortolano, 1984 dalam Dahuri, dkk, 1996). Berdasarkan 4 fungsi
tsb, maka terdapat 3 persyaratan yang dapat menjamin tercapainya pembangunan
berkelanjutan a.l
1. Keharmonisan spasial : tidak seluruh wilayah bisa dijadikan zona pemanfaatan, tapi harus
diperuntukan untuk zona preservasi dan konservasi.
Total permintaan terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan tidak melampaui
kemampuan suplai. Pemanfaatan wilpes dan sumberdaya alamnya dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
3. Dimensi Sosial Politik
3. Model Co-Management
Co-Management adalah pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan
wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya perikanan
Dalam model ini pemerintah dan masyarakat turut bertanggung jawab dalam seluruh tahapan
pengelolaan sumberdaya perikanan. Dalam hal ini pemerintah dan masyarakat adalah mitra
sejajar.
Co-management perikanan terdiri dari beberapa bentuk pola kemitraan serta derajat
pembagian wewenang dan tanggung jawab antara masyarakat dan pemerintah. Hirarki dimulai
dari 1. pemerintah hanya berkonsultasi dengan masyarakat nelayan sebelum suatu peraturan
pengelolaan sumberdaya perikanan dirumuskan dan dijalankan. 2. Nelayan merancang,
mengimplementasi, dan menegakkan hukum dan aturan dengan dibantu oleh pemerintah.
Variasi Co-management antara lain :
1. Peranan pemerintah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan
2. Bentuk tugas dan fungsi manajemen
3. Tahap proses manajemen ketika kerjasama pengelolaan terwujud.
Daftar Pustka
Dahuri, R; J. Rais, SP, Ginting dan MJ, Sitepu, 1996. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir
dan lautan secara terpadu. PT Pratnya Pratama, Jakarta. Halaman : 80 – 82.
Nikijuluw,V. 2002. Rezim Pengelolaan Perikanan. Penerbit P3R dan Casindo Jakarta
BAB VIII. PELUANG BISNIS
Usaha perikanan mencakup setiap usaha perseorangan atupun badan hukum dalam
menangkap ataupun membudidayakan ikan demi menciptakan nilai tambah ekonomi bagi para
pelaku usaha. 3 Jenis bisnis atau usaha perikanan meliputi :
Contoh : usaha perikanan tangkap ikan sardin, ikan tuna, ikan bawal laut dan lain
sebagainya yang menggunakan peralatan penangkapan ikan serta perahu sebagai
media transportasi.
Dahuri dalam Sanjaya (2015), 10 sektor ekonomi kelautan yang memiliki prospek bisnis
cerah untuk dikembangkan dan berpotensi untuk memajukan dan memakmurkan Indonesia
antara lain :
(4) Industri bioteknologi. Contoh : industri bioproses yang memanfaatkan organisme untuk
menghasilkan berbagai produk dan jasa seperti bioenergi dari rumput laut dan mikroalga,
(2) industri budidaya organisme perairan dan turunannya, seperti budidaya rumput laut
untuk bahan obat dan kosmetik, (3) industri pengujian bahan-bahan berbahaya pada
produk seafood melalui metode bioteknologi untuk meningkatkan keamanan dan daya
saing ekspor
(8) Industri dan jasa maritim. Contoh :industri pembuatan galangan kapal, mesin, peralatan
kapal, industri alat untuk menangkap ikan (seperti jaring, pancing,fish finders, tali
tambang, dan sebagainya), industri kincir air tambak, pompa air,offshore engineering,
coastal engineering, kabel bawah laut danfiber optics,