Anda di halaman 1dari 112

BAGIAN I.

MATERI LAHAN KERING


BAB I. BUDAYA MASYARAKAT LAHAN KERING

1. Pengertian Budaya dan Kebudayaan

Dalam kehidupan sehari-hari, dikenal istilah kebudayaan. Juga dalam kehidupan sehari-hari,
orang selalu berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan. Kata budaya berasal dari bahasa
sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi dan daya. Buddhi
memiliki arti budi atau akal atau akal pikiran. Sedangkan “daya” mempunyai arti usaha atau
ikhtiar. Dalam bahasa Inggris, budaya dikenal dengan istilah “culture” atau budaya, yang
sebenarnya berasal dari kata latin “colere”, artinya mengolah atau mengerjakan tanah
(bertani). Melville J. Herkovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang diturunkan dari
satu generasi ke generasi, yang disebut superorganik. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan
adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri dengan cara belajar.

Dikenal ada 2 (dua) istilah yaitu budaya lokal dan budaya nasional. Budaya lokal, adalah suatu
budaya yang perkembangannya terjadi di daerah-daerah dan merupakan milik suku bangsa.
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang multikultural dalam suku bangsa dan budaya.
Sedangkan budaya nasional yaitu suatu kebudayaan yang terbentuk dari keseluruhan budaya
lokal yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan merupakan hasil serapan
dari unsur-unsur budaya asing atau global. Kebudayaan nasional berfungsi sebagai kontinuitas
sejak zaman kejayaan bangsa Indonesia pada masa lampau sampai kebudayaan nasional masa
kini.

Wujud budaya suatu bangsa dapat berupa:

(1) Wujud abstrak, berupa “Sistem Gagasan”. Budaya dalam bentuk ini bersifat abstrak,
artinya tidak dapat diraba karena ada dalam pikiran tiap anggota masyarakat penganut
budaya yang bersangkutan. Gagasan itulah yang akhirnya menghasilkan berbagai karya
manusia berdasarkan nilai-nilai dan cara berfikir serta perilaku mereka.
(2) Bentuk tindakan. Budaya dalam bentuk tindakan bersifat kongkret yang dapat dilihat.
Contoh: cara petani mengolah lahan ladang dan sawah, cara berburu rusa, cara
beternak sapi, cara memelihara ikan, cara menangkap ikan, dll.
(3) Bentuk hasil karya. Budaya dalam bentuk hasil karya bersifat kongkret sehingga bisa
dilihat dan diraba. Contoh: pengrajin tenun ikat menghasilkan kain dengan berbagai
motif (flora, fauna dan manusia), berbagai peralatan seperi peralatan dapur dan
peralatan untuk bertani, beternak, berburu, menangkap ikan, dll.
Wujud budaya suatu bangsa juga dapat berupa:

(1) Cara berbahasa.


(2) Cara berpakaian.
(3) Peralatan hidup.

Selo Sumarjan dan Soeleman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya,
rasa dan cipta masyarakat.

Karya masyarakat menghasilkan pengetahuan, teknologi serta kebudayaan kebendaan atau


kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam
sekitarnya agar potensi dan hasilnya dapat diperuntukkan bagi kelangsungan hidup
masyarakat. Rasa yang meliputi jiwa manusia mewujudkan segala kaidah dan nilai-nilai sosial
yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan antara lain agama, ideologi,
kebatinan dan semua unsur yang merupakan ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai
anggota masyarakat. Cipta merupakan kemampuan mental dan berpikir orang-orang yang
hidup bermasyarakat, hasilnya antara lain berupa filsafat dan ilmu pengetahuan. Kebudayaan
sebagai suatu sistem pengetahuan manusia dapat digolong-golongkan dalam kompleks
pengetahuan yang khusus yang dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan tertentu dalam kehidupan
manusia sebagai pendukung suatu kebudayaan tertentu. Pengetahuan yang kompleks bagi
kegiatan tertentu tersebut dikenal dengan “pranata-pranata kebudayaan”. Secara operasional,
pranata-pranata kebudayaan terwujud sebagai seperangkat aturan-aturan yang mengatur
kedudukan-kedudukan, peranan-peranan, hak-hak dan kewajiban-kewajiban masyarakat yang
terwujud dalam bentuk lembaga-lembaga dan organisasi sosial sebagi wadah bagi kegiatan
warga masyarakat bersangkutan. Misalnya lembaga “Subak” di Bali yang mengatur pembagian
air untuk sistem pengairan sawah, dan lembaga “.....” di Rote Ndao. Sebagai suatu sistem
pengetahuan, pola dan corak suatu kebudayaan ditentukan oleh:

(1) Keadaan lingkungan, dan


(2) Kebutuhan dasar utama dari para pendukung kebudayaan tersebut.

Dengan demikian, setiap masyarakat akan memiliki kebudayaannya sendiri-sendiri sesuai


dengan kondisi lingkungan hidup sebagai tempat mereka bermukim dan bertempat tinggal
untuk memenuhi kebutuhan dasar. Suatu kebudayaa dengan semua pranatanya dapat saja
berubah bahkan selalu berubah secara dinamis karena tidak ada kebudayaan yang sifatnya
statis dan tertutup. Perubahan kebudayaan dapat terjadi karena faktor internal dan external.

Menurut para ahli, lingkungan hidup suatu masyarakat merupakan faktor yang menentukan
dalam perkembangan kebudayaan. Etnografi adalah suatu studi yang mempelajari dan
menjelaskan tentang kebudayaan suatu masyarakat tertentu dengan tujuan untuk
menemukenali dan melukiskan bagaimana masyarakat menanggulangi masalah-masalah dalam
lingkungan hidupnya serta menggali pranata-pranata sosial-ekonomi manakah yang dimiliki
oleh warga masyarakat dalam upayanya untuk memenuhi kebutuhan dasar utama manusia
(basic human needs), juga bagaimanakah mekanisme perubahan yang mengatur pemanfaatan
pengelolaan sumberdaya alam (SDA) maupun sumberdaya sosialnya. Secara teoritis,
pemenuhan kebutuhan dasar utama itu terdiri dari:

a. Pemenuhan kebutuhan dasar bilologis meliputi sandang, pangan, papan, reproduksi,


kesehatan, dan mempertahankan diri.
b. Pemenuhan kebutuhan sosial meliputi kebutuhan akan hidup bersama untuk mencapai
tujuan bersama dan individu, pembentukan komuniti, dan kelompok sosial serta
berbagai keteraturan sosial.
c. Pemenuhan kebutuhan integratif atau kejiwaan meliputi kebutuhan akan etika dan
moral, rasa keindahan dan sebagainya.

Menurut Charles Erasmus, bahwa setiap pribadi pada hakekatnya terdapat 2 (dua) unsur
penting yaitu motif dan daya indra. Daya indra bersifat aktif yang diperoleh secara berulang
dari pengalaman masa lalunya. Perpaduan motif dan daya indra akan menghasilkan keinginan
dan keinginan inilah yang akan menjadi perilaku. Perubahan pengalaman seseorang akan
memberi peluang perubahan keinginannya. Dengan demikian pengalaman masa lampau secara
berulang adalah salah satu unsur penting pemberi corak budaya yang berupa ide (gagasan,
perilaku dan hasil perilaku).

Apabila dikaitkan dengan pengalaman masa lampau yang berulang tersebut maka untuk
wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah berkaitan pula dengan kondisi lingkungan lahan
kering, topografi berombak, berbukit dan bergunung serta berbagai ancaman berulang masa
lampau yang menghantui kelangsungan hidup masyarakat. Dengan demikian kondisi
lingkungan lahan kering yang bercirikan kekeringan yang membawa risiko kegagalan panen,
harus selalu diperhitungkan oleh masyarakat NTT dalam kehidupan sehari-harinya. Kenyataan
inilah yang dialami secara berulang dan membentuk daya indra serta persepsi dan pola pikir
masyarakat yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku, sebagai bagian dari kebudayaan
masyarakat lahan kering beriklim kering.

2. Corak Lahan Kering Wilayah Nusa Tenggara Timur dan Pengaruhnya terhadap
Budaya Lahan Kering

Istilah lahan kering secara umum selalu diakaitkan dengan lahan tanpa pengairan. Dalam
pengertian ini, di Indonesia terdapat area lahan kering yang luas baik di Jawa, Sumatra,
Kalimantan, Suawesi, Maluku dan Papua. Namun lahan kering dalam pengertian tersebut secara
klimatologis berada di zone agroklimat basah. Dalam kaitan lahan kering pada materi kuliah ini,
batasan lahan kering yang dimaksudkan adalah lahan tanpa pengairan di area yang tidak
pernah jenuh oleh air secara permanen sepanjang musim (Widyatmika, 1987). Daerah demikian
pada umumnya terdapat pada daerah yang curah hujannya relatif rendah. Daerah dengan
curah hujan relatif rendah pada umumnya merupakan daerah yang secara klimatologis
termasuk daerah Arid dan Semi Arid.
Daerah Semi Arid didefinisikan dengan berbagai cara. Salah satunya dikembangkan oleh
Thornwhite (1948) yang mendasarkan atas hubungan antara rata-rata bulan hujan dan potensi
evapotranspirasi. Definisi lain dikembangkan oleh de Martonine yang didasarkan atas nilai
Indeks Ariditas. Daerah Semi Arid didefinisikan sebagi daerah yang nilai Indeks Ariditasnya
jatuh antara 10 - 20 (Finkel, 1986). Menurut kriteria Ferguson, dikatakan bulan basah apabila
CH-nya < 60 mm/bulan dan dikatakan bulan kering apabila CH-nya > 100 mm/bulan.
Selanjutnya suatu daerah disebut kering apabila memiliki tipe Curah Hujan D, E dan F dengan
4,5 – 7,9 bulan kering. Sedangkan menurut klasifikasi Oldeman (bulan kering = CH-nya < 100
mm/bulan). Menurut Throll (1966 dalam Ruthenberg, 1980), salah satu unsur Curah Hujan (CH)
yang dipakai untuk klasifikasi agroklimat di daerah tropik adalah CH bulanan, dimana CH
bulanan > dari 200 mm/bulan disebut bulan basah. Selanjutnya berdasarkan banyaknya bulan
basah dalam setahun, daerah tropik dapat dibagi menjadi 4 (empat) zone agroklimat yaitu:

a. Daerah beriklim sangat lembab, dengan bulan basah > 9 bulan.


b. Daerah beriklim sangat lembab, dengan bulan basah > 7 – 9 bulan
c. Daerah beriklim sangat lembab, dengan bulan basah > 4,5 - 7 bulan
d. Daerah beriklim setengah kering, dengan bulan basah > 2 – 4,5 bulan.
e. Daerah beriklim kering, dengan bulan basah < 2 bulan.

Daerah NTT sebenarnya secara keseluruhan tidak persis termasuk daerah Semi Arid, karena
terdapat daerah-daerah yang memiliki CH bulanan relatif tinggi. Secara klimatologis menurut
klasifikasi Schmidt dan Ferguson, sekitar 60 % daratan di NTT bertipe iklim E, 30 % nya F dan
10 %nya dengan tipe iklim B dan D. Sedangkan menurut klasifikasi Oldeman, 62,6 % dari total
wilayah NTT memiliki 7-9 bulan kering (Tipe D4 dan E3). Itulah sebabnya, Soegiri (1972 dalam
Widyatmika, 1987) berpendapat bahwa NTT termasuk wilayah beriklim kering (Arid) atau semi
kering (Semi Arid) dan vegetasinya cenderung didominasi oleh savana dan stepa.

Dalam Benu dan Nuningsih (2001) ditulis bahwa Provinsi NTT merupakan wilayah kepulauan
yang terdiri atas 75,0% laut dan sisanya daratan. Wilayah NTT seluas 47.349,90 km2, terdiri
dari 566 buah pulau besar dan kecil, dan hanya 42 pulau yang berpenghuni. Secara morfologis
topografis, 73,13 % wilayah daratannya bergunung dan berbukit, yang dengan kemiringan 15
%-40 % seluas 38,07 % dan dengan kemiringan > 40 % seluas 35,46 %; dengan variasi
ketinggian tempat antara 100-1.000 m di atas permukaan laut. Menurut laporan CIDA (1976)
dari total luas wilayah NTT, ada 66,4 % (3.227.660 ha) yang memiliki kemiringan tajam
sehingga tidak cocok diusahakan sebagai lahan pertanian. Luas lahan pertanian sekitar
1.637.000 ha (34 % dari luas wilayah), 92 %nya adalah lahan kering.

Berdasarkan beberapa data di atas maka jelaslah bahwa sebagian besar wilayah NTT adalah
didominasi oleh lahan kering beriklim kering. Lahan kering di NTT tersebar di Timor Barat,
Sumba, Alor, Sabu dan Flores.

Kondisi klimatologis dan geografis tersebut sangat memberi warna pada pola kehidupan dan
perilaku bagi masyarakatnya terutama pada aktivitas pertanian dan peternakan sebagai mata
pencaharian sebagian besar penduduknya. Salah satu ciri pembatas kehidupan usahatani di
lahan kering adalah kekeringan yang berdampak pada risiko kegagalan panen yang besar
antara lain untuk tanaman pakan ternak (berbagai rumput-rumputan) dan tanaman pangan
setahun (padi dan palawija). Selain itu, keringnya rerumputan dan tanaman semak
menyebabkan rawan api. Kebakaran sebagai akibat baik ketidak sengajaan maupun kegiatan
pembersihan dalam membuka ladang baru atau untuk menumbuhkan rumput muda dan
berburu sering ditemui.

Lahan kering beriklim kering dengan topografi berombak dan bergunung berdampak pada
budaya masyarakat NTT yang meliputi pola pikir, perilaku dan hasil perilaku masyarakatnya.
Dengan kata lain, berdasarkan lingkungan hidup yang khusus, masyarakat NTT adalah
masyarakat lahan kering. Masyarakat lahan kering di wilayah beriklim kering ini memiliki ciri-ciri
sosial budaya yang membedakan dirinya baik dari masyarakat yang hidup di lahan basah
ataupun lahan kering di wilayah beriklim basah.

3. Keterkaitan Budaya Masyarakat Lahan Kering dengan Sistem Mata Pencaharian

Budaya masyarakat NTT adalah budaya masyarakat yang bertumpu pada pertanian
(Widyatmika, 1987). Menurut Nordholdt (1969), antara agama (kepercayaan) dan sistem
pertanian serta sistem politik pada masyarakat Atoni (Timor) ada saling keterkaitan yang erat.

Mata pencaharian hidup yang paling utama dari masyarakat lahan kering di NTT adalah bertani.
Dalam kehidupan bertani, terdapat 2 (dua) sumber kehidupan yakni usaha tani lahan kering
dan beternak. Selain bertani dan berternak, masyarakat yang tingggal di pantai memiliki mata
pencaharian menangkap ikan di laut dan mencari biota laut yang bisa dikonsumsi (ikan, kerang,
keong, kepiting, dan rumput laut) di laut sepanjang pesisir pantai pada saat makameting (air
laut surut).

Kehidupan usaha tani lahan kering adalah berupa perladangan berpindah, berkebun (untuk
tanaman keras atau tanaman tahunan) dan pemanfaatan lahan pekarangan. Lahan untuk
perladangan ada 2 (dua) jenis yakni ladang baru yaitu yang baru dibuka dengan membabat
semak belukar dan hutan desa kemudian membersihkan dengan cara membakar, dan ladang
lama yaitu yang sudah diusahakan beberapa tahun. Dalam mengusahakan perladangan, setelah
ladang diusahakan beberapa tahun, kemudian tidak diusahakan(bero) selama beberapa musim
tanam karena kesuburan tanahnya menurun.

Lahan pekarangan dimanfaatkan untuk memelihara ternak sedang (babi dan kambing) serta
ternak kecil (ayam dan itik) serta berbagai jenis tanaman pangan dan hortikultuta serta pakan
ternak. Jenis-jenis tanaman pangan yang diusahakan di ladang dan pekarangan adalah padi
ladang, jagung, sorghum, jewawut, ketela pohon, ubi jalar, kacang nasi, kacang hijau, kacang
kayu, kacang tanah, talas, pisang, mangga, jambu, pepaya dll. Jenis-jenis tanaman yang
diusahakan di kebun yaitu pinang, kelapa, kemiri, buah-buahan dan berbagai pohon yang
daunnya dimanfaatkan untuk pakan ternak seperti lamtoro, turi, dan gamal.
Di lahan kering beriklim kering, kendala utama adalah penyediaan pakan untuk ruminansia dan
kurang bermutunya padang rumput pada musim kering. Terkait dengan kondisi fisik geografis
di NTT, ternak besar (sapi, kerbau dan kuda) diusahakan secara ekstensif dengan cara
penggembalaan di padang.

Kegiatan berburu dilakukan oleh penduduk khusus laki-laki secara berkelompok dengan
bantuan anjing dan hasilnya dibagi menurut peran masing-masing. Satwa yang menjadi obyek
berburu secara umum adalah rusa, babi hutan, kera, musang dan berbagai jenis burung serta
itik liar. Di Pulau Sumba (khususnya di Dusun Dasa Elu, Dusun Konda dan Dusun Maloba, dulu
dikenal sebagai pada perburuan kaum bangsawan Desa Konda Maloba Kabupaten Sumba
Tengah, dan kerbau liar pernah menjadi satwa yang menjadi obyek berburu para tokoh
pemerintahan dan tokoh masyarakat. Namun sejak tahun 1993 kerbau-kerbau liar ini tidak ada
lagi karena berpindah dengan cara berenang melalui laut ke pantai Ti’das, akibat kegiatan
berburu dilakukan dengan senjata api. Hal menarik, penduduk memiliki pengetahuan yang baik
tentang perilaku satwa buruan dan mereka memiliki peralatan berburu seperti panah, sumpit,
tombak, ranjau dari bambu, serta anjing untuk mengejar dan menangkap hewan buruan.

Provinsi NTT memiliki jenis sumberdaya kelautan yaitu:

a. Sumber mineral berupa garam industri dan garam pangan, modul nikel dan mangan di
dasar laut.
b. Suberdaya hayati atas ikan, kerang mutiara alam dan budidaya di (Labuan Bajo, Alor
dan Kupang), rumput laut, udang, teripang dan ikan hias.
c. Suberdaya wisata bahari.

Jenis sumberdaya ikan yang potensial antara lain:

➢ Ikan demersial
➢ Ikan pelagis
➢ Ikan tuna
➢ Ikan cakalang
➢ Ikan tongkol
➢ Ikan tembang
➢ Ikan kembung
➢ Udang barong prawn)
➢ Udang (shrimp)
➢ Cumi
➢ Teripang

Rendahnya produksi ikan karena kualitas teknologi penangkapan ikan masih sederhana.

4. Pengetahuan dan Teknologi Pertanian Lahan Kering Beriklim Kering


Pengetahuan adalah hasil pengalaman manusia yang diperoleh dari proses interaksi dengan
lingkungan. Intraksi manusia dengan lingkungan pada dasarnya didorong oleh hasrat untuk
memenuhi kebutuhan dasar (basic human needs). Semua pengalaman yang diperoleh manusia
sebagai hasil interaksi dengan lingkungan direkam dalam ingatan. Pengalaman yang baik dan
bermanfaat akan dipraktekkan dalam hidup secara berulang-ulang dan disebut sebagai
kebiasaan-kebiasaan. Sebaliknya pengalaman yang tidak mengenakkan atau merugikan yang
dihindari, melahirkan konsep tabu atau pantangan atau dikenal dengan istilah pemali.
Keseluruhan hasil pengalaman apakah berupa kebiasaan dan pantangan disebut pengetahuan.
Penggunaan pengetahuan secara sistematis dan berulang-ulang disebut Ilmu Pengetahuan.
Dalam proses interaksi dengan lingkungan, manusia memperoleh pengetahuan tentang cara-
cara terbaik yang memudahkan dalam mencapai tujuan sehingga lahirlah teknologi atau
pengetahuan berupa alat-alat, bahan, dan cara serta pemakaiannya untuk mendapatkan
efisiensi kerja.

Pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh suatu masyarakat, adalah berupa pengetahuan
sebatas lingkungan hidup atau kondisi fisik yang melingkupinya. Secara umum, pengetahuan
masyarakat terkait kegiatan pertanian secara lokal disesuaikan dengan kondisi SDA setempat,
oleh Warren disebut dengan suatu istilah yaitu indigenouse knowledge (pengetahuan dan
teknologi asli berupa kearifan budaya lokal) yang mengandung 2 (dua) aspek yaitu:
a. Tempat (local).
b. Keaslian atau kedekatan dengan alam (belonging naturally).

Dipandang dari aspek sejarah dan dinamika pengetahuan, indigenouse knowledge oleh Louise
Gtenier dikatakan sebagai merupakan pengetahuan yang bersifat unik tradisional dan lokal yang
dikembangkan oleh masyarakat sesuai dengan lingkungannya dan memiliki dimensi biologi.
Dalam prakteknya sehari-hari, dapat berupa pola pikir tradisional dari berbagai kondisi lapangan
dengan ruang lingkup pertanian, peternakan, perikanan dsb. Dengan indigenouse knowledge,
manusia:

a. Memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam (SDA) untuk memenuhi kebutuhan


dasarnya (basic human needs) agar bisa bertahan hidup dan melanjutkan keturunan.
b. Dapat mengatasi berbagai masalah yang berhubungan dengan:
➢ Ketahanan pangan (food security).
➢ Keselamatan ternak.
➢ Pengelolaan lingkungan.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian, risiko kegagalan panen dalam berusahatani diatasi
dengan menerapkan:

a. Usahatani ladang berpindah. Indikator yang digunakan untuk mengetahui bahwa suatu
lahan sudah bisa diusahakan kembali sangat bervariasi. Di Desa Parabubu (Therik, dkk,
1989) adalah dengan melihat keberadaan tai faka (kotoran cacing tanah). Apabila
ditemukan dalam jumlah banyak, berarti tanahnya dinilai sudah kembali subur sehingga
lahannya bisa diusahakan kembali. Sedangkan petani di Timor, menggunakan indikator
“ladang sudah masak”, yaitu seluruh permukaan lahan sudah dipadati dengan
rerumputan dan emak belukar.
b. Pola tanam campuran (mix croping), yaitu pada lahan yang sama diusahakan berbagai
jenis tanaman tanpa jarak tanam teratur. Beberapa jenis tanaman bahkan ditanam
dalam satu lubang yang sama (dikenal dengan istilah “salome” atau satu lubang rame-
rame). Masyarakat mengetahui jenis-jenis tanaman yang dapat ditanam dalam satu
lubang, misalnya padi ladang dengan labu kuning (pumpin), sedangkan jagung dengan
kacang nasi dimana batang jagung sekaligus berfungsi sebagai ajir (tempat tanaman
kacang nasi merambat).
c. Penentuan saat tanam yang tepat dengan menggunakan indikator alam yaitu
ditemukannya tumbuhan berbiji kecil dan pipih telah tumbuh dalam populasi besar atau
permukaan air sumur sudah mencapai bibir sumur. Secara teoritis, “kebutuhan air untuk
waktu tanam” berkaitan erat dengan “Curah Hujan Efektif”, yaitu bagian dari CH yang
betul-betul masuk ke dalam tanah dan tinggal di daerah perakaran tanaman sehingga
dapat diambil oleh tanaman. Permulaan waktu tanam efektif atau CH Efektif yang juga
umum disepakati adalah: (i) hujan selama 10 hari berturut-turut dan setelah waktu
tersebut maka minimum sama dengan 20 mm, atau (ii) waktu hujan turun dan
jumlahnya telah mampu membasahi bagian yang berada pada 5 cm lapisan tanah paling
atas sampai berada pada keadaan kapasitas lapang.
d. Memprediksi munculnya serangan hama dan menggeser waktu tanam. Petani ternyata
memiliki pengetahuan bentuk dewasa (imago) hama tanaman dan jangka waktu bentuk
kupu-kupinya bertelur sampai menetas menjadi ulat. Misalnya ketika mereka melihat
jenis kupu-kupu tertentu yang menjadi imago hama ulat tentara atau dikenal sebagai
ulat “grayak’ (merupakan salah satu hama utama tanaman jagung) maka petani akan
menggeser waktu tanam untuk menghindarkan tanaman jagung yang baru tumbuh
diserang oleh hama ulat tentara.
e. Kalender musim atau pranoto mongso (istilah dalam bahasa Jawa yang telah populer),
yaitu pengalokasian waktu dalam satu tahun yang terdiri dari 12 bulan atau wula (dalam
bahasa Anakalang di Sumba TengahMasing-masing bulan ditandai dengan gejala alam
yang bisa berupa perilaku tumbuhan, satwa, angin, air, bintang dan bulan.

Berdasarkan hasil penelitian Pengkajian Sosial Budaya dan Lingkungan Masyarakat Terasing
Desa Konda Maloba Kecamatan Katikutana Kabupaten Sumba Tengah (Gomang dkk., 1996)
ditemukan bahwa masyarakat petani setempat memiliki “kalender pertanian” unik yang
penerapannya adalah untuk mengantisipasi kegagalan panen karena merujuk pada indikator
alam. Dengan menggunakan indikator alam maka saat tanam relatif tepat waktu sehingga risiko
kegagalan panen dapat ditekan. Berikut ini adalah “kalender pertanian” yang diterapkan oleh
masyarakat Desa Konda Maloba dalam berusaha tani tanaman pangan:

Bulan 1 (Wula Hibu Mangata, bulan tumbuhan mangata berbunga), ditandai


dengan tumbuhan mangata berbunga secara serempak.
• Bulan terakhir petani menanam padi ladang. Kegiatan penanaman padi lewat waktu
tersebut diyakini tidak akan memberikan hasil yang memuaskan.

Bulan 2 (Wula Laboya, bulan nyale terhempas di pantai Lamboya)

• Saat panen jagung.


• Saat awal tanam padi sawah.

Bulan 3 (Wula nyale bakul, bulan nyale banyak), ditandai dengan nyale (cacing laut)
ditemukan dalam jumlah besar di semua pantai yang berbatasan dengan Samudera
Indonesia

• Saat paling baik untuk tanam padi sawah, sampai batas pertengahan bulan.,
• Saat panen nyale di pantai.

Bulan 4 (Wula nyali nibu, bulan ujung tombak), ditandai buah polong muda
tumbuhan legum padang muncul seperti ujung tombak.

• Saat karabuk (mencabut rumput) disusul penanaman ubi jalar di ladang bekas
padang rumput.

Bulan 5 (Wula ngura, bulan ubi muda), ditandai dengan ubi manusia mulai terbentuk.

• Saat tanam jagung yang ke-II.

Bulan 6 (Wula tua, bulan ubi tua), ditandai ubi manusia, biji legum dan padi telah tua.

• Saat panen padi sawah dan panen ubi di hutan dan ladang.

Bulan 7 (Wula Rigi Manu, bulan bulu sayap ayam merenggang), ditandai suhu
udara paling dingin dan pohon dadap mekar, ayam-ayam naik di pohon atau atap rumah
dengan bulu ayam merenggang.

• Saat membuka hutan untuk ladang dengan kegiatan tebas pohon dan semak.

Bulan 8 (Wula ba’da rara, bulan daun merah), ditandai saat pohon berdaun lebar
(decidous tree) mengugurkan daunnya.

• Saat paling tepat untuk mengolah/membalik tanah ladang.


• Saat panen jagung ke-II.

Bulan 9 (Wula dapa diha, bulan tidak masuk dalam hitungan dan dianggap bulan
”panas”), ditandai dengan suhu yang sangat dingin.

• Pantang melakukan aktifitas apapun termasuk memberi nama anak, menguburkan


orang mati dan menikahkan anak.
Bulan 10 (Wula wadu kudu atau wula ti’dung, bulan angin kecil atau bulan
berkedudukan di atas kepala atau bulan berkedudukan di zenith), ditandai dengan
cuaca sangat terik disertai angin bertiup sangat lembut.

• Saat membakar ranting-ranting terakhir


• Diyakini bahwa sinar matahari mampu mensterilkan tanah

Bulan 11 (Wula wadu bakul, bulan angin besar), ditandai panas terik membakar
bumi disertai angin kencang yang berlangsung selama ½ bulan, dan setengah bulan
berikutnya hujan mulai jatuh ke bumi.

• Saat hujan turun, dimulai tanam jagung pertama.

Bulan 12 (Wula pahita, bulan pahit namun dianggap sebagai bulan ”suci”),
ditandai dengan hujan lebat dasertai angin dan babi hutan mulai membuat sarang di
padang dari rumput kering. Disebut bulan ”pahit” karena pada saat ini biasanya persediaan
bahan pangan di lumbung menipis atau habis untuk mendukung kegiatan kerja sawah,
sebaliknya pekerjaan sawah sangat menguras dana dan tenaga.

• Saat melakukan kegiatan sawah yang banyak menguras tenaga


• Meskipun babi hutan pada bulan ini dalam posisi lemah yaitu bersarang di bawah
tumpukan rumput kering di padang ssehingga mudah ditangkap, tapi di
”pemalikan” untuk ditangkap atau dibunuh. Barangsiapa yang membunuh babi
hutan pada kondisi “lemah” tersebut, dianggap laki-laki bermental “pengecut”.

KESIMPULAN:

• Dalam berusahatani, masyarakat lokal memiliki kerarifan budaya lokal yaitu selalu menjaga
kelestarian SDA setempat ysng menjadi bagian dari lingkungan hidupnya.
• Kalender Pertanian tersebut merupakan rujukan yang relatif tepat dalam kegiatan pertanian
yang menjamin terhindarnya kegagalan panen akibat salah musim dalam memulai saat
tanam, karena masyarakat lokal melakukan aktifitas pertanian dengan menggunakan
ecological indicator, namun demikian masih perlu dikaji lebih lanjut untuk pembuktiannya.
• Masyarakat lokal hanya memanfaatkan sumebrdaya hayati (SDH) dalam jumlah
secukupnya, tidak berlebihan meskipun di alam tersedia dalam jumlah berlimpah. Misalnya

Contoh lain dari hasil penelitian di Desa Konda Maloba :

o Masyarakat Konda Maloba hanya mengambil ubi di hutan pada musim paceklik dalam
jumlah sebatas untuk kebutuhan selama masa menunggu saat panen.
o Sangat hati-hati menangani hasil panen dari sejak di lapangan sampai di lumbung, agar tidak
terbuang atau tercecer.
o Memiliki teknik pengolahan pengawetan bahan pangan hewani dan nabati dalam upaya
mengantisipasi kekurangan bahan pangan di musim paceklik. Misalnya pengawetan daging
untuk jangka waktu penyimpanan 2 tahun, pengolahan ikan untuk bumbu masakan (mirip
pembuatan terasi dengan teknik fermentasi), pengolahan ubi jalar dan ubi kayu menjadi
bahan pangan awetan.

Contoh dari hasil penelitian masyarakat terasing Desa Parabubu di Kabupaten Sikka
(Filemon da Lopez, Retno Nuningsih, Hendrikus Ataupah dan Tom Therik, 1997),
petani memiliki indigenouse knowledge antara lain:

o Memiliki varietas padi pare ampera yang tahan terhadap kendala angin kencang. Padi
ini ditanam di Detu Sokoria yang setiap musim tanam selalu mengalami kendala alam
berupa angin Barat Laut yang bertiup sangat kencang.
o Memiliki varietas padi pare wularua yang selalu ditanam dalam populasi sedikit bersama
padi lain (sebagai tanaman padi pokok di lahan sawah tadah hujan) karena memiliki
keunggulan yaitu berumur sangat genjah (2 bulan) sehingga mampu mengatasi
kebutuhan bahan pangan yang mulai menipis pada masa musim tanam (musim
menunggu saat panen), sekalipun produksinya rendah.
o Memiliki varietas jagung keo tobe yang ditanam di Detu Sokoria karena memiliki sifat
tahan rebah, bertongkol besar dan tahan dalam penyimpanan (sampai 2 tahun) tanpa
rusak. Untuk diktahui, Detu Sokoria wilayahnya datar dan berada pada ketinggian di
atas 1.000 m dpl yang selalu mengalami angin kencang selama musim tanam.
o Mengenal dengan sangat baik kegunaan dari jenis-jenis tumbuhan tertentu baik untuk
obat, bahan pangan, pakan, ramuan rumah, peralatan rumah tangga, peralatan
pertanian, dan kayu bakar.
o Mengenal dengan sangat baik lingkungan SDA pertanian (fisik dan hayati), sehingga
bisa menghindari kegagalan panen dengan menggeser waktu tanam.
o Menggunakan indikator alam untuk menentukan apakah suatu lahan sudah dapat
diusahakan kembali setelah diberakan (dalam sistem ladang berpindah) yaitu berupa
seberapa banyak tai faka (kotoran cacing) yang dapat ditemukan di atas suatu lahan.
Apabila di atas suatu lahan sudah ditemukan banyak tai faka maka berarti lahan
tersebut sudah dapat diusahakan kembali.
o Mengusahakan jenis tanaman yang sesuai dengan lingkungan fisik setempat.
Masyarakat desa Parabubu memiliki koleksi benih dari 13 varietas padi dan 3 vareitas
jagung.

Contoh dari hasil wawancara dengan petani disekitar Polen (TTS) :

o Memiliki teknologi pengolahan dan pengawetan hasil tanam (termasuk menghilangkan


racun dari bahan pangan) untuk tujuan food security di musim paceklik.
o Mereka menggunakan pupuk organik (kotoran sapi/kambing) dan daun-daun kering
untuk pupuk.
o Membersihkan lahan dengan cara membakar pada pagi hari atau malam hari saat tidak
ada angin, dan membuat sekat api (disebut sako) sekeliling ladang untuk mencegah api
merambat ke lahan yang lain.

Sumber Pustaka
1. Benu, A dan R. Nuningsih. 2001. Potensi Wilayah dan Masalah pembangunan Pertanian
di Wilayah Kering dan Sumberdaya Kelautan, Kajian NTT. DalamSemangun, H dan F.F.
Karwur (Penyunting). 1995. Prosiding Konferensi Internasional Pembangunan Pertanian
Semi Arid Nusa Tenggara Timur, Timor Timur dan Maluku Tenggara Tanggal 10-16
Desember 1995 di Kupang. Penerbit Widya Sari Salatiga untuk Pemerintah Provinsi NTT
dan Universitas Kristen Satya Wacana: halaman 38-53..
2. Gomang, S., R. Nuningsih, Ataupah, H., F.D. Lopez dan Y. Benufinit. 1996. Pengkajian
Sosial Budaya dan Lingkungan Masyarakat Terasing Desa Konda Maloba Kecamatan
Katikutana, Kabupaten Sumba Barat. Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi NTT,
Kupang.
3. Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia. Penerbit Djambatan.
4. Lopez, F.D, R. Nuningsih, T.G. Therik, dan H, Ataupah. 1997. Pengkajian Sosial Budaya dan
Lingkungan Masyarakat Terasing Desa Parabubu, Perwakilan Kecamatan Paga, Kabupaten
Sikka. Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi NTT, Kupang.
5. Nuningsih, R. 2007. Teknologi Indigenouse: Suatu Strategi Masyarakat Lokal dalam
Pertanian Berkelanjutan. Buletin Penelitian dan Pengembangan, Indonesia Australia Eastern
Universities Project Alumni Forum, Kupang, Folume 8, Nomor 3: halaman 1-8.
6. Soekanto, S. 1999. Sosiologi: Suatu Pengantar. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
7. Widiyatmika. 1987. Budaya Masyarakat Lahan Kering. Pusat Penelitian Universitas Nusa
Cendana, Kupang.
BAB II

POTENSI DAN PERMASALAHAN PEMBANGUNANAN PERTANIAN LAHAN KERING


DI PROVINSI NTT DAN KEBUTUHAN TEKNOLOGI

Kompetensi Khusus
Mahasiswa dapat menjelaskan potensi dan permasalahan Pembangunan Pertanian
Lahan Kering di Provinsi NTT serta kebutuhan teknologi untuk mengatasinya.

1. Konsep Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Sektor Pertanian di NTT sampai dengan saat ini masih menjadi Leading Sector (sector andalan),
oleh karena itu “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan” yang bertumpu pada potensi lahan
kering beriklim kering perlu mendapat perhatian mengingat sebagiannya merupakan lahan
kritis dengan berbagai masalah dan hambatan. Pembangunan berkelanjutan menurut Turner et
al. (1993), secara operasional didefinisikan sebagai upaya memaksimalkan manfaat bersih
pembangunan ekonomi dengan syarat dapat mempertahankan dan meningkatkan baik jasa,
kualitas maupun kuantitas SDA sepanjang waktu. Dalam konteks “Pertanian Berkelanjutan”,
The Agricultural Research Service (USDA) mendefinisikan Pertanian Berkelanjutan sebagai
pertanian yang pada waktu mendatang dapat bersaing, produktif, meguntungkan,
mengkonservasi SDA, melindungi lingkungan, dan meningkatkan kesehatan, kualitas pangan
serta keselamatan. Sedangkan Technical Advisory Committee of the CGIAR (TAC/CGIAR, 1988)
menyatakan bahwa “Pertanian Berkelanjutan” adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil
untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus
mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan SDA.

Berdasarkan beberapa konsep tentang “Pertanian Berkelanjutan” tersebut, dapat disimpulkan


bahwa “Pertanian Berkelanjutan” adalah suatu konsep pemikiran masa depan atau pertanian
yang berlanjut untuk masa saat ini, saat yang akan datang dan selamanya. Artinya, pertanian
tetap ada dan bermanfaat bagi semuanya dan tidak menimbulkan bencana bagi semuanya.
Dengan kata lain, pertanian yang bisa dilaksanakan saat ini, saat yang akan datang dan
menjadi warisan yang berharga bagi anak cucu kita. Oleh karena itu, Pembangunan di Sektor
Pertanian, Kehutanan, Perkebunan, Peternakan dan Perikanan harus mampu mengkonservasi
tanah, air, tanaman, sumber genetik binatang, tidak merusak lingkungan, secara teknis dapat
diterapkan petani, secara ekonomis menguntungkan, dan secara sosial dapat diterima dan
secara ekologis tidak merusak lingkungan. Adapun ciri-ciri “Pertanian Berkelanjutan” adalah:

a. Mantap secara ekologis, yang berarti kualitas SDA dipertahankan dan kemampuan
agroekosistem secara keseluruhan (dari manusia, tanaman, hewan sampai organisme
tanah) ditingkatkan.
b. Secara ekonomis dapat berlanjut, yang berarti petani mendapat penghasilan yang
dapat mencukupi kebutuhan sesuai dengan tenaga dan biaya yang dikeluarkan dan
dapat melestarikan SDA dan meninimalisasikan risiko.
c. Adil, yang berarti sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa sehingga
keperluan dasar semua anggota masyarakat dapat terpenuhi dan begitu juga hak
mereka dalam penggunaan lahan dan modal yang memadai serta bantuan teknis
terjamin.
d. Manusiawi, yang berarti bahwa martabat dasar semua mahluk hidup (manusia,
tanaman dan hewan) dihargai dan menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar
(kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama dan rasa sayang), termasuk menjaga
dan memelihara integritas budaya spiritual masyarakat.
e. Luwes, yang berarti masyarakat desa memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan
perubahan kondisi usahatani yang berlangsung terus, misalnya populasi yang
bertambah, kebijakan, permintaan pasar dll.

2. Potensi Pertanian Lahan Kering Beriklim Kering di NTT

Pengembangan pertanian lahan kering di Indonesia masih memiliki prospek yang baik karena
belum dikelola secara optimal dan luasnya mencapai 28,8 juta hektar (8% luas wilayah dan 1,5
% luas lahan pertanian), dengan penyebaran sebagai berikut:
a. Sumatra, 10,8 juta ha.
b. Kalimantan, 10,9 juta ha.
c. Sulawesi, 1,3 juta ha.
d. Papua, 5,7 juta ha.
e. Nusa Tenggara Timur, 92, 93 % dari total wilayah.

Lahan kering di NTT tersebar di Pulau Timor, Sumba dan Flores. Potensi lahan kering yang ada
di NTT berbeda menurut pulau atau sub wilayah, yang ditentukan oleh kondidi fisik, biologi dan
kondisi sosialnya.

3. Permasalahan Pertanian Lahan Kering Beriklim Kering di NTT

Permasalahan yang dihadapi usaha pertanian di lahan kering beriklim kering sangat kompleks
yang berakibat rendahnya produktifitas. Beberapa permasalahan yang dihadapi, antara lain:

a. Keterbatasan air.
b. Degradasi lahan akibat erosi.
c. Tingkat kesuburan tanah rendah.
d. Infrastruktur ekonomi tidak sebaik di daerah beriklim basah.
e. Lahan kering umumnya tersebar di daerah lereng dan perbukitan dengan potensi
erositinggi sehingga mengakibatkan degradasi kesuburan lahan.
f. Kondisi biofisik lahan kering tidak sebaik lahan sawah.
g. Petaninya umumnya miskin dan seringkali mengabaikan penerapan teknik konservasi
lahan secara berkelanjutan dalam usaha taninya.
h. Kualitas lahan dan penerapan teknolog terbatas, menyebabkan variabilitas produksi
pertanian relatif tinggi.
i. Persaingan dengan gulma.
j. Serangan hama.
k. Penggunaan jenis-jenis tanaman lokal dengan produksi rendah.

4. Kebutuhan IPTEK untuk Pengelolaan Lahan Kering Beriklim Kering

Mengingat permasalahan yang dihadapi usaha pertanian lahan kering beriklim kering sangat
kompleks maka untuk pengelolaannya diperlukan keterpaduan dalam penerapan IPTEK yang
dapat menjawab beberapa kebutuhan sebagai berikut:

a. Kebutuhan jenis-jenis tanaman yang tahan kekeringan dan karakteristiknya.

Air memiliki arti sangat penting bagi tumbuhan dan hewan karena 80-95% tubuhnya terdiri
atas air. Selain itu, air diperlukan untuk melarutkan dan mengangkut unsur-unsur hara
tanaman atau nutrisi. Berbagai reaksi kimia dalam tubuh tanaman dan hewan hanya dapat
berlangsung jika terdapat air yang cukup.

Ketahanan terhadap kekeringan pada tumbuhan karena tumbuhan memiliki sifat-sifat


morfologi, anatomi dan fisiologi tertentu. Tumbuhan yang tahan kering memiliki
karakteristik:

➢ Sistem perakaranya dalam dan luas (contohnya asam dan cendana). Dalam penelitian
Nuningsih, dkk. (1994) ditemukan ada akar pohon cendana yang tumbuh di lahan dengan
kelerengan rata-rata 49,22% sehingga akarnya yang dapat dilihat di permukaan tanah,
panjangnya mencapai 22 m dari batangnya. Panjang akar tersebut belum termasuk yang
masuk ke dalam tanah kembali.
➢ Daun relatif sempit, sering dengan tepi berlekuk dalam (contohnya beberapa jenis
tanaman rumput).
➢ Sel-selnya kecil, daun dan batangnya berdaging tebal (contohnya cocor bebek, anggrek).
➢ Memiliki banyak berkas pembuluh dan tulang daun (contohnya tanaman kacang nasi).
➢ Sel endodermis pada akarnya mengandung Silika (contohnya sorghum).
➢ Berbulu atau berambut banyak (contohnya tanaman buah naga).
➢ Mulut daun rapat dan sering menutup bahkan ada yang terdapat dalam lekukan
(kriptofor)
➢ Ada yang memiliki sel kipas yang menyebabkan daun dapat menggulung untuk
mengurangi penguapan yang terlalu kuat (contohnya tanaman ubi kayu).

b. Kebutuhan teknologi pengelolaan hara pada lahan keting

Sekalipun menggunakan bibit unggul dan ditanam pada lingkungan dengan agroklimat yang
sesuai, pertumbuhan tanaman tidak akan berlangsung optimal jika struktur tanahnya tidak
mendukung. Hal ini karena tanah bukan sekedar sebagai tempat tanaman berdiri, tapi
merupakan media penyedia nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Media tanam yang baik bagi tanaman adalah, mampu menyediakan unsur-unsur
hara secara lengkap. Apabila tidak dapat menyediakan unsur hara yang lengkap dan cukup
maka tanah dikatakan tidak subur. Kondisi ini sama dengan manusia yang kurang gizi,
sehingga mudah terserang penyakit dan tidak dapat melakukan pekerjaan secara produktif.

Paling tidak, ada 16 unsur yang dibutuhkan tanaman yaitu C, H, O, N. S, P, K, Ca, Mg, Bo,
Mo, Cu, Mn, Fe, Zn, Cl. Unsur-unsur tersebut diperoleh tanaman dari 3 (tiga) sumber, yaitu:
(a) udara (C dalam bentuk CO2, O2, dan H dalam bentuk gas H2O), (b) air (H dan O2), dan
(c) tanah. Unsur C, H, dan O ketersediaannya di alam berlimpah sehingga jarang
dipermasalahkan. Lain halnya dengan 13 unsur yang lain, ketersediaannya di tanah sangat
terbatas. Dari ke-13 unsur tersebut, ada 6 unsur yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah
banyak yaitu N, P, K, Ca, S dan Mg oleh sebab itu disebut “unsur makro”. Bahkan N, P, dan
K disebut sebagai “hara pokok” karena mutlak dibutuhkan tanaman untuk tumbuh. Tujuh
unsur lainnya Bo, Mo Cu, Mn, Fe, Zn dan Cl dikenal sebagai “unsur hara mikro”. Sementara
Ca, S dan Mg dikenal sebagai unsur hara penunjang.

Dalam melaksanakan usaha pertanian terkait dengan pemupukaan adalah, bagaimana


menentukan unsur hara yang paling membatasi pertumbuhan tanaman dan seberapa
banyak yang dibutuhkan? Cara terbaik untuk menentukan unsur-unsur hara yang paling
membatasi, dan berapa banyak pupuk yang dibutuhkan adalah dengan melakukan analisa
tanah, analisa tanaman dan percobaan lapang. Tiga faktor yang perlu diperhatikan dalam
menentukan kebutuhan hara tanaman adalah tingkat kesuburan dan sifat-sifat tanah,
tanaman yang akan ditanam, dan tingkat hasil yang diharapkan.

➢ Tingkat kesuburan dan sifat-sifat tanah. Pada tanah yang sangat subur
tanaman dapat menyerap lebih banyak unsur-unsur hara dari tanah, baik hara tanah
asli maupun hara yang ditambahkan dalam bentuk pupuk, melebihi dari yang
diperlukan untuk menentukan hasil. Kelebihan unsur hara yang diambil oleh
tanaman yang tidak meningkatkan hasil tersebut dinamakan “komsumsi berlebihan”
(luxury comsumtion) yang kadang-kadang terjadi untuk unsur hara K. Juga
kehilangan unsur hara melalui pencucian sangat besar pada tanah-tanah yang
bertekstur kasar dan daya serapnya rendah.
➢ Tanaman yang akan ditanam. Kebutuhan hara juga tergantung pada jenis dan
varietas tanaman yang akan ditanam dan bagian tanaman yang dipanen. Tanaman
ubi-ubian, legum atau biji-bijian, daun atau buahnya masing-masing mempunyai
kebutuhan hara yang berbeda. Bahkan jenis tanaman yang sama tetapi berbeda
varietasnya juga mempunyai kebutuhan hara yang berbeda.
➢ Tingkat hasil yang diharapkan. Tanaman membutuhkan lebih banyak unsur-
unsur hara untuk menghasilkan produksi yang lebih tinggi. Hal ini berarti bahwa
lebih banyak unsur-unsur hara yang perlu disediakan dan diambil dari dalam tanah
untuk diangkut keluar dari lahan pertanian dalam bagian tanaman yang dipanen.
Walapun demikian, jika dilakukan pengelolaan yang baik maka hal tersebut juga
berarti bahwa lebih banyak unsur-unsur hara akan dapat dikembalikan ke lahan
melalui daur ulang sisa tanaman yang juga akan bertambah banyak sejalan dengan
peningkatan hasil.

Difisiensi ganda sering terjadi pada lahan kering, dan untuk memperoleh hasil yang baik,
difisiensi ganda ini harus diatasi mulai dari hara yang paling membatasi. Pemberian pupuk
harus disesuaikan dengan kandungan hara-hara yang sudah ada di dalam tanah. Jika hara-
hara dari pupuk diberikan dengan perbandingan yang benar maka penggunaan pupuk
tersebut dinamakan “pemupukan berimbang”. Penggunaan pupuk secara seimbang dapat
mengurangi biaya pupuk karena unsur hara yang sudah cukup tidak ditambahkan lagi
dalam bentuk pupuk. Sebaliknya pemupukan yang tidak seimbang dapat menyia-nyiakan
pupuk yang tidak diperlukan dan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tanaman.
Pemberian pupuk N dan K yang melebihi kebutuhan tanaman sebagian dapat hilang karena
pencucian dan penguapan (khusus N). Hara K yang berlebih dapat meningkatkan serapan K
yang tidak mengakibatkan pertambahan hasil yang semakin meningkat.

Disamping pemberian hara harus seimbang, pengelolaan hara sebaiknya dilakukan secara
terpadu. Pengelolaan hara terpadu adalah penggunaan yang efisien dari semua jenis dan
bentuk sumber unsur-unsur hara baik organik maupun anorganik yang berasal dari
pertanian maupun di luar lahan pertanian. Tujuannya adalah untuk mengelola suatu sistem
pertanian secara produktif dan berkelanjutan dan dengan biaya yang terendah.

Daur ulang unsur-unsur hara tanaman, dapat dilakukan dengan pengembalian sisa panen
ke lahan pertanian yang bersangkutan. Sisa panen tersebut dapat menjadi bagian dari
bahan organik tanah. Bahan organik ini selanjutnya dapat berfungsi sebagi simpanan unsur-
unsur hara, berperan dalam meningkatkan kapasitas tanah untuk menahan unsur hara dan
air, memperbaiki kesuburan fisik dan biologi tanah.

c. Kebutuhan teknologi pengendalian erosi pada lahan kering

Subagyo et. al. (2000) menghitung luas lahan berdasarkan pengelompokan bentuk relief
atau topografi, dengan menggunakan Atlas Tanah Explorasi Indonesia skala 1 : 1.000.000.
sebagai sumber datanya. Kriteria pengelompokan bentuk topografi tersebut disajikan pada
tabel berikut.

TOPOGRAFI LERENG (%) PERBEDAAN


KETINGGIAN (M)
Datar 0–3 <2
Datar agak berombak 3–8 2 – 10
Berombak agak 8 – 15 10 – 50
berombak
Berbukit 15 – 30 50 – 300
Bergunung >30 > 300
Sumber: Subagyo et al., 2000

Di semua pulau, lahan berlereng selalu lebih luas dari lahan datar. Kemiringan lahan dan
curah hujan yang tinggi merupakan faktor penting penyebab tingginya bahaya erosi,
kecuali pada penggunaan lahan yang baik, seperti hutan lebat dan lahan sawah.

Proses erosi adalah proses pemindahan sejumlah besar tanah dari suatu tempat ke tempat
lain oleh media air atau angin. Di daerah beriklim kering dengan musim hujan yang pendek
tapi dengan intensitas curah hujan tinggi, lahan rentan mengalami erosi. Erosi dikendalikan
oleh faktor iklim yaitu curah hujan. Tumbukan butir hujan menghancurkan agregat tanah
sehingga terjadi penyumbatan pori tanah, sehingga infiltrasi air berkurang yang
menyebabkan terjadinya aliran permukaan. Aliran permukaan selanjutnya tidak hanya
menghanyutkan tanah tetapi juga hara yang terkandung di dalamnya (peristiwanya disebut
leaching). Kehilangan hara akibat erosi dan aliran permukaan pada lahan kering berlereng
menimbulkan degradasi lahan yang sangat serius. Karena itu tindakan konservasi tanah
diperlukan tidak hanya untuk mengurangi erosi tetapi juga untuk memperbaiki infiltrasi.

Menurut Meyer (1981), upaya pengendalian erosi atau konservasi tanah terdiri atas:
a. Meredam energi hujan.
b. Meredam daya gerus aliran permukaan.
c. Mengurangi kuantitas aliran permukaan.
d. Memperlambat laju aliran permukaan dan memperbaiki sifat-sifat tanah yang peka erosi.
e. Mencegah longsor.

Upaya pengendalian erosi dimulai dari pemilihan teknik konservasi yang paling tepat
diterapkan pada lahan pertanian, sebab satiap teknik mempunyai kekurangan dan
kelebihannya masing-masing serta mempunyai persyaratan yang berbeda. Pada lahan
usaha tani, perencanaan kandang-kandang tidak diperlukan lagi karena pemilik atau
penggerak lahan telah menerapkan teknik konservasi tanah tertentu. Yang diperlukan
adalah penyempurnaan teknik konservasi tanah yang telah ada, misalnya mengatur
kembali saluran pembuangan air (SPA) dan menambah komponen lain yang belum ada.

Pengendalian erosi dapat dilakukan secara mekanis dan vegetative, yang dapat dijelaskan
sebagai berikut:

Pengendalian Erosi Secara Mekanis, dengan:

Teras bangku. Dari segi teknis, teras bangku merupakan suatu teknik pengendalian erosi
yang efektif. Teras bangku sebaiknya ditanam rumput pada tampingan dan guludannya
untuk memperkuat agar tidak mudah longsor dan juga pakan sebagai pakan ternak.
Saluran pembuangan air perlu dibuat untuk mengarahkan aliran permukaan agar tidak
merusak ketika menuruni lereng. Penerapan teknik ini membutuhkan waktu lama untuk
mampu menjadi efektif. Penelitian berbagai teknik konservasi tanah pada tanah Tytic
Eutropepts di Ungaran membuktikan bahwa teras bangku dan juga teknik lainnya baru
menjadi efektif setelah 5 tahun. Beberapa penelitian lain membuktikan, efektifitas teras
bangku bertambah dengan penanaman rumput pada bibir teras. Sejak tahun 1975, teras
bangku telah menjadi bagian dari kegiatan penghijauan setelah dibentuk Inpres
Penghijauan (Siswomartono et al., 1990) karena mendapat subsidi biaya pembuatan dari
pemerintah sebesar 50% (Mangundikoro, 1975). Hal ini mendorong pembutan teras
bangku secara besar-besaran, walaupun teknik ini memerlukan biaya yang tinggi terutama
untuk tenaga kerja. Teras bangku juga mengurangi luas bidang olah. Sukmana, (1995)
menghitung berkurangnya luas permukaan lahan karena dibangun teras bangku pada
lahan seluas 1,0 ha.

Teras gulud. Teras gulud merupakan teknik konservasi tanah yang lebih sederhana dalam
pembuatannya dibandingkan dengan teras bangku. Teras gulud mempunyai guludan,
saluran air dan bidang olah. Guludan dapat diperkuat dengan tanaman konservasi seperti
serengan jantan, glirisidia, lamtoro, rumput gajah, rumput raja, rumput bedeh dan lain-lain.
Erosi yang terjadi pada teras gulud makin berkurang sejalan dengan bertambahnya waktu
sejak penerapan teras gulud. Penelitian membuktikan bahwa pada tanah latosol,
pengurangan dapat mencapai 70% pada tahun ke 2, sedangkan pada tanah tropudalf
mencapai 86% pada tahun ke 2. Komponen teras gulud yang menyebabkan berkurangnya
luas lahan adalah guludan, parid dan SPA.

Pengendalian Erosi Secara Vegetatif, dapat dilakukan dengan:

Strip Rumput. Rumput ditanam dalam strip searah kontur dengan lebar 0,5 – 1 meter,
dengan tujuan untuk menghambat laju aliran permukaan dan erosi tanah. Rumput yang
ditanam adalah pakan ternak yang menghasilkan banyak bahan hijau dan kualitas yang
baik untuk pakan ternak, namun tidak terjadi persaingan penyerapa zat hara dan
pemanfaatan sinar matahari dengan tanaman semusim. Menurut Abujamin et. Al. (1983),
penyusutan bidang olah tergantung epada kemiringan lereng dan lebar strip rumput.
Penelitian di DAS Citanduy membuktikan bahwa strip rumput dapat diterima oleh petani
karena mudah penerapannya, biaya murah dan dapat meningkatkan pendapatan petani
(Abujmin et al1983)

Mulsa. Mulsa adalah teknik konservasi tanah yang menggunakan bahan organic berupa
sisa-sisa panen tanaman seperti jerami, brangkasan jagung, kacang tanah dsb. Peranan
mulsa dalam KTA adalah:
1) Melindungi tanah dari pukulan langsung dari butir-butir air hujan sehingga erosi dapat
dikurangi dan tanah tidak mudah padat.
2) Mengurangi penguapan (evaporasi).
3) Menciptakan kondisi lingkungan dalam tanah yang baik bagi aktifitas mikrooganisme
tanah.
4) Bahan mulsa setelah melapuk akan meningkatkan bahan 20lterna tanah.
5) Belum dapat ditekan, dan tanah menjadi gembur.

Efektifitas mulsa dalam mengendalikan erosi tergantung pada jenis mulsa, kuantitas
penutupan permukaan tanah, tebal lapisan mulsa, dan daya tahan mulsa terhadap
dekomposisi. Menurut Suwardjo (1981) bahwa sisa tanman yang baik untuk dijadikan
mulsa adalah yang mengandung lignin tinggi, seperti jerami padi, sorgum dan batang
jagung.

d. Kebutuhan teknologi rehabilitasi dan reklamasi pada lahan kering

Rehabilitas lahan diartikan sebagai upaya pemulihan atau perbaikan lahan yang telah atau
sedang mengalami penurunan produktivitasnya, agar kembali ke kondisi semula. Kualitas
lahan yang dimaksud adalah sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah, keragaan tanaman
yang tumbuh di atasnya, ketersediaan air/kelmebaban tanah dan iklim makro. Sedangkan
reklamasi lahan diartikan sebagai upaya pemanfaatan lahan-lahan pertanian yang sudah
tidak berfungsi sebagai faktor produksi menjadi berfungsi kembali (seperti reklamasi tanah
bekas galian tanah, reklamasi lahan sawah yang tercemar limbah pengeboran minyak
bumi, dll).

Degradasi lahan (land degradation) adalah suatu proses penurunan produktivitas lahan,
baik sementara maupun tetap, yang meliputi berbagai bentuk dan penurunan produktivitas
tanah sebagai akibat kegiatan manusia dalam pemanfaatan tanah dan air, penggundulan
hutan dan penurunan produktivitas padang penggembalaan. Sedangkan degradasi tanah
(soil degradation) adalah suatu proses kemunduran produktivitas tanah yang disebabkan
oleh kegiatan manusia, yang mengakibatkan penurunan produktivitas tanah pada saat ini
dan/atau di masa yang akan datang dalam mendukung kehidupan makluk hidup (Dent,
1993). Salah satu contoh degradasi tanah adalah berkurang atau hilangnya sebagian atau
seluruh tanah lapisan atas, menurunnya kadar C-organik dan unsur-unsur hara tanah, serta
berubahnya beberapa parameter sifat fisik tanah, seperti struktur tanah, pori aerasi atau
pori drainase cepat menjadi lebih buruk. Akibat lanjut degradasi tanah adalah hasil
pertanaman mengalami penurunan drastis, kualitas fisik dan kimia tanah menurun, dan
pada akhirnya suatu saat lahan tersebut menjadi tidak produktif atau kritis.

Lahan kritis didefenisikan sebagai lahan yang karena tidak sesuai penggunaan dan
kemampuannya telah mengalami atau dalam proses kerusakan fisik, kimia, dan biologi,
yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian, pemukiman
dan kehidupan sosial ekonomi dari daerah lingkungan pengaruhnya (Mulyadi dan
Supratohardjo, 1975). Menurut depertemen kehutanan (1985), lahan kritis adalah lahan
yang sudah tidak berfungsi sebagai media pengatur tata air dan unsur produksi pertanian
yang baik, dicirikan oleh keadaan penutupan vegetasi kurang dari 25%, topografi dengan
kemiringan lebih dari 15% dan/atau ditandai dengan adanya gejala erosi lembar (sheet
erosion) dan erosi parit (gully erosion ).
Degradasi lahan yang terjadi di Indonesia umumnya disebabkan oleh erosi air hujan. Tanah
yang terkikis atau tererosi, terutama yang terjadi pada lahan pertanian tanaman pangan
menyebabkan kualitas sifat-sifat fisik dan kimia tanahnya menurun, hasil tanaman
berkurang dan hara-hara tanah hilang terbawa aliran permukaan. Selain itu, di Indonesia
juga terjadi degradasi lahan akibat penggunaan bahan-bahan agrokimia dan terkena
limbah industri, bencana alam seperti letusan gunung berapi dan tanah longsor. Penyebab
lain adalah kegiatan pertambangan, khususnya penambangan yang dilakukan secara
terbuka (open mining), yang bisa menyebabkan berubah dan rusaknya bentang alam,
termasuk hilngntya tanah lapisan atas yang sangat berguna untuk pertanian, terbukanya
vegetasi penutup, erosi, pencemaran, dll (seperti akibat penambangan Mangan di Timor
Barat).

Degradasi lahan yang termasuk ke dalam kategori kemunduran kimia tanah, diantaranya
disebabkan oleh proses penggaraman, pemasaman dan pencemaran bahan-bahan
agrokimia (seperti yang dilakukan pada lahan gambut di Kalimantan). Sedangkan proses
kemunduran fisik tanah diantaranya disebabkan oleh erosi, pemadatan dan penggenangan.

Teknik rehabilitaasi untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas lahan yang mengalami
degradasi adalah dengan pengelolaan bahan organik dan penerapan teknik pencegahan
erosi agar tidak terjadi degradasi yang berlanjut. Bahan organik yang biasa digunakan
diantaranya adalah pupuk organik (bahan hijau tanaman legum), sisa-sisa tanaman, pupuk
kandang, dll. Bahan organik disebarkan di atas permukaan tanah atau dibenamkan ke
dalam tanah. Namun, bahan organik dari jenis bahan hijau atau sisa-sisa tanaman,
sebaiknya disebarkan di atas permukaan tanah untuk melindungi tanah dari erosi hujan,
menjaga kelembaban tanah dan menghambat evaporasi. Bahan organik yang dibenamkan
ke dalam tanah, umumnya dimaksudkan untuk mempercepat proses dekomposisi, sehingga
dapat menambah bahan organik dan unsur hara tanah.

e. Kebutuhan teknologi pengelolaan bahan organik pada lahan kering

Lahan-lahan di NTT pada umumnya mengandung bahan organik rendah oleh karena itu
pupuk organik sangat diperlukan, dan kebiasaan ladang berpindah dengan cara tebas
bakar perlu disosialisasikan bahwa sangat merugikan.

f. Kebutuhan teknologi konservasi dan hemat air di lahan kering

Kelebihan air pada MH yang berlangsung singkat tapi dengan intensitas yang tinggi dapat
ditampung dalam waduk kecil-kecil atau embung-embung dan airnya dipakai untk mengairi
area pertanaman pada musim kemarau. Untuk mengurangi penguapan dari permukaan air
yang tertampung di waduk/embung atau danau alam maka dapat diberi cairan kimia cetyl
alkohol yang akan meluas membentuk film pada permukaannya. Selain bahan kimia,
permukaan waduk/embung atau danau alam dapat dtutup dengan bahan-bahan terapung
yang permukaannya tipis dan luas seperti styrefoam. Tanaman air seperti eceng gondok
(Eichornia crassipes).

Pemberian air yang hemat air dapat diberikan dengan teknologi irigasi tetes (trickle
irrigation), dengan cara pemasangan selang air berlubang yang ditanam di bawah tanah
dekat perakaran dan air dialirkan sesuai kebutuhan. Selain itu dapat diberikan senyawa
antitranspirant yang dapat mengurangi laju transpirasi pada tanaman sehingga
memberikan efek berupa menutupnya mulut daun, dan membentuk lapisan yang dapat
memantulkan cahaya matahari sehingga mengurangi sinar matahari yang terserap oleh
daun.

g. Kebutuhan teknologi untuk pengendalian gulma dan hama pada lahan kering

Gulma selalu menjadi masalah yang sulit diatasi di derah kering dan harus diatasi dengan
pengendalian terpadu, khususnya dengan pemakaian pola tanam yang tepat yang dapat
segera menutup permukaan lahan. Ada beberapa varietas lokal tanaman tertentu yang
lebih toleran terhadap persaingan dengan gulma. Di tahun 1970-an di Sumba dan Timor
dikenal gulma “rumput belalang” atau “rumput sensus” atau “kirinyu” (Chromolaena
odorata). Disamping merugikan, gulma ini juga bermanfaat untuk melindungi tanah yang
gundul terhadap erosi. Oleh karena itu gulma ini jangan dimusnahkan tapi harus
dikendalikan secara bijaksana.

Meskipun masih sangat terbatas, survei mengenai hama dan penyakit tidak dilaporkan
adanya epidemi (Wakman, 1987 dalam Semangun, 2001). Rupanya musim kering yang
panjang diduga mampu memutuskan daur hidup dan menghentikan perkembangannya.
Penerapan pola tanam campuran (mix cropping) terbukti efektif yang menyebabkan hama
dan penyakit tidak dapat berkembang ecara epidemis.

l. Kebutuhan pemuliaan tanaman

Sifat-sifat tahan kering tidak akan bermanfaat jika tidak digabungkan dengan sifat-sifat
yang menentukan produksi tinggi. Macam-macam sifat tahan kekeringan dan mampu
berproduksi tinggi tersebut ditentukan oleh banyak gen. Oleh karena itu diperlukan
pemuliaan tanaman, yang merupakan pekerjaan rumit. Menurut Arnon (1976 dalam
Semangun, 2001), para ahli pemuliaan tanaman memilih melakukan pemuliaan tanaman
untuk menghasilkan varietas dengan sifat berproduksi tinggi dan memiliki adaptasi yang
baik terhadap musim yang menguntungkan dan yang tidak menguntungkan.

m. Kebutuhan pola tanam yang sesuai untuk lahan kering beriklim kering

Upaya mengurangi risiko kegagalan panen di lahan kering beriklim kering adalah penanaman
lebih dari satu jenis tanaman di atas lahan yang sama pada waktu yang sama yang disebut
dengan pola tanam “tumpangsari” atau intercropping. Petani di NTT telah lama
menggunakan pola tanam tumpangsari seperti pola tanam campuran (mix cropping), pola
tanam berlorong (alley cropping), pola tanam “tiga strata” (pohon, perdu, dan semak yaitu
tanaman perkebunan, tanaman pakan dan tanaman pangan).

SUMBER PUSTAKA

1. Nuningsih, R., I.W. Mudita, dan W.I.I. Mella, 1994. Kajian Permudaan Cendana (santalum
album L.) Secara Vegetatif pada Habitat Alamiah di TTS, NTT. Laporan Penelitian, Pusat
Studi Lingkungan Hidup Undana.

2. Semangun, H. 2001. Pembangunan Pertanian di Daerah Semiarid Indinesia: Aspek Teknis.


Dalam Semangun, H dan F.F. Karwur (Penyunting). 1995. Prosiding Konferensi
Internasional Pembangunan Pertanian Semi Arid Nusa Tenggara Timur, Timor Timur dan
Maluku Tenggara Tanggal 10-16 Desember 1995 di Kupang. Penerbit Widya Sari Salatiga
untuk Pemerintah Provinsi NTT dan Universitas Kristen Satya Wacana: halaman 203-213..
BAB III

SISTEM-SISTEM USAHA TANI DAN PENERAPAN SISTEM USAHA TANI


TERPADU BERKELANJUTAN DI LAHAN KERING

Kompetensi Khusus
Mahasiswa dapat menjelaskan system-sistem usaha tani dan penerapan
sistem usaha tani terpadu di lahan kering.

1. Klasifikasi Sistem Pertanian di Daerah Tropik

Menurut Ruthenburg, 1980), sistem pertanian di daerah tropis dapat diklasifikasikan menjadi: .
➢ Sistem pertanian yang bersifat pengumpul hasil pertanian.
➢ Sistem Pertanian yang bersifat membudidayakan tanaman.
➢ Sistem Pertanian yang untuk pakan ternak dan padang penggembalaan.

a. Sistem Pertanian dengan Pengumpulan Hasil Pertanian

Sistem ini adalah sistem pertanian yang secara langsung memperoleh hasil tumbuh-
tumbuhan yang tidak dibudidayakan secara sengaja oleh manusia. Sistem ini biasanya
dilakukan bersamaan dengan sistem berburu binatang dan penangkapan ikan. Jarang
ditemukan sebagai kegiatan tunggal. Di beberapa daerah yang terisolasi secara fisik, sistem
ini masih ditemukan antara lain di Papua dan Kalimantan.

b. Sistem Pertanian dengan Budidaya Tanaman

Sistem ini merupakan sistem pertanian yang paling utama. Jenis-jenis tanaman yang
dibudidayakan dapat dikelompokkan menjadi 12 kelompok seperti dapat dilihat pada tabel
berikut.

Jenis-Jenis Tanaman Budidaya Utama Dalam Pertanian


NO KELOMPOK TANANAMAN CONTOH

1 Cereal (padi-padian) Jagung, sorgum, padi, gandum, jewawut,


oat, barley, millet

2 Pulses (legum setahun) Kedelai, kc. merah, kc. hijau, kc. tunggak,
kc. Nasi

3 Forage crops (pakan) Rumput, alfafa, clover

4 Leafy crops (sayuran) Kol, bayam, kangkung, sawi, slada, slada air,
daun kelor

5 Fruits (buah-buahan) Pepaya, mangga, pisang, jambu, jeruk,


alpukat, nangka, nenas, durian, kedondong,
semangka, melon, sawo, pir, apel

6 Oil crops (penghasil minyak Kelapa sawit, kelapa, kacang tanah, olive,
makan) bunga matahari, canola, kemiri, wijen,
jagung, kedele

7 Nuts (kacang) Almond, kacang tanah, makadomia, kacang


mente, kenari

8 Sugar crops (Penghasil gula) Gula tebu, gula bit, gula palma (kelapa,
lontar, aren), septia

9 Beverage (untuk minuman) Kopi, teh, coklat, anggur, jahe

10 Spices (rempah-rempah) Lada, kayu manis, cengkeh, pala, jintan

11 Fibre crops (penghasil serat) Jute, rami, kapas, kapok, pisang manila dan
pisang abaca, pandan, nenas

12 Fuel crops (bahan bakar kayu) Lamtoro, kusambi, gamal, asam, klengkeng

Di daerah tropik, terdapat banyak sIstem budidaya tanaman dan klasifikasinya dapat
dilakukan berdasarkan beberapa ciri spesifik sebagai berikut:

Berdasarkan Tipe Rotasinya. Dikenal ada 4 macam sistem budidaya yaitu:


➢ Sistem pertanian dengan rotasi bera alami, dimana lahan ditanami kemudian
diberakan (uncultivated fallow).
➢ Sistem pertanian dengan rotasi tanaman untuk padang penggembalaan
(ley system). Bentuk-bentuk vegetasi dominan yang terdapat di masa bera dapat
berupa pohon-pohonan (forest fallow), semak-semak (bush fallow), kayu tahan api
dan rumput (savanna fallow), dan rumput (grass fallow).
➢ Sistem pertanian dengan rotasi tanaman untuk padang penggembalaan.
Sistem ini adalah sistem dimana lahan ditanami tanam-tanaman semusim untuk
beberapa tahun kemudian dibiarkan rumput tumbuh atau lahan ditanami rumput
dan tanaman legume untuk padang penggembalaan.
➢ Sistem pertanian dengan rotasi tegalan, dimana tanaman semusim yang satu
ditanam setelah tanaman semusim sebelumnya dipanen pada lahan kering.
➢ Sistem pertanian dengan rotasi tanaman tahunan (kakao, kopi, kelapa,
mente dll) diamana dapat ditanam secara bergantian dengan bera, atau tanaman
semusim atau padang penggembalaan.

Berdasarkan Intensitas Rotasinya. Klasifikasi berdasarkan intensitas rotasinya,


digunakan rumus :

Jumlah tahun lahan ditanami


R= x 100 %
Lama siklus (tahun)

Contoh:
Misalkan dalam siklus 10 tahun, 2 tahun lahan ditanami dan 8 tahun diberakan maka
nilai Rnya adalah:
2
R= x 100 % = 20 %
10

• Apabila nila R =< 33 % maka digolongkan sistem perladangan.


• Apabila nilai R < 60 % dan > 33 % (33 % < R > 66 % maka digolongkan sistem
bera.
• Apabila nilai R > 60 % maka digolongkan sistem petanian permanen.

Berdasarkan Suplai Air. Berdasarkan suplai air, digongkan menjadi 2 yaitu:


➢ sistem pertanian dengan pengairan (irrigated farming), dimana air dapat
diatur masuk ke dalam lahan sehingga tingkat kelembaban lebih tinggi dibandingkan
tanpa irigasi dan sistem pertanian tanpa pengairan. Sstem pertanian ini banyak
dijumpai di daerah Arid dan Semi Arid.
➢ Sistem pertanian tanpa pengairan (rainfed farming).

Berdasarkan Pola Tanam. Ini merupakan sistem pertanian yang terpenting di daerah
tropis yang biasanya didukung dengan penggunaan ternak. Ada pertanian dengan pola
tanam tunggal (monoculture), pola tanam campuran (mix cropping, pola tanam
tumpangsari (intercropping), pola tanam beruntun (sequensial cropping).
Berdasarkan Alat-Alat Pertanian yang Digunakan. Secara garis besar dapat
digolongkan menjadi:
➢ Sistem pertanian pra teknis, dimana hanya menggunakan alat-alat sangat sederhana
misalnya pertanian tebas bakar.
➢ Sistem pertanian dengan cangkul dan sekop.
➢ Sistem pertanian dengan bajak dan garu yang ditarik hewan.
➢ Sistem pertanian dengan bajak dan garu yang ditarik traktor.

Berdasarkan Tingkat dan hasil kotor Komersialisasi. Berdasarkan bagian dari hasil
yang dikonsumsi dan dikomersielkan, dikenal beberapa golongan yaitu:
➢ Usaha pertanian subsistensi penuh, yaitu usaha pertanian yang dilakukan dari
generasi ke generasi berikutnya tanpa banyak input teknologi dari luar, di mana
tujuan usahatani hanya untuk memenuhi kebutuhan minimal hidup pokok keluarga.
➢ Usaha pertanian subsistensi fakultatif, adalah usaha pertanian yang ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, dan sisanya atau sebagian kecil hasil
panennya dijual di pasar lokal.
➢ Usaha pertanian prakomersial, adalah usaha pertanian subsisten yang
digabungkan dengan upaya pemenuhan kebutuhan barang sehari-hari, sehingga
mengharuskan petani menjual sebagian hasil panennya.
➢ Usaha pertanian semi komersial, dicirikan oleh pengusahaan komoditas
komersiel secara intensif, sebagian kecil hasil panen untuk pemenuhan kebutuhan
pangan keluarga dan sebagian besar untuk dijual. Usahatani padi pada lahan sawah
beririgasi termasuk dalam katergori usaha pertanian semi komersiel.
➢ Usaha pertanian komersiel, dicirikan untuk memperoleh keuntungan usaha
sehingga pemilihan komoditas dan teknologi serta pasar telah diperhitungkan secara
matang. Pertanian komersiel tidak berbeda dengan usaha industri manufaktur yang
menentukan harga jual produk berdasarkan biaya produksi dan keuntungan.
➢ Usaha Pertanian agribisnis, yaitu kegiatan usaha pada bidang pertanian dengan
pola saling kebergantungan antara lima subsistem yaitu: (i) subsistem sarana
produksi, (ii) subsistem produksi primer (on-farm), (iii) subsisem pengolahan
(agroindustri), (iv) subsistem distribusi dan pemasaran, dan (v) subsistem
penunjang (kebijakan, lembaga modal, penelitian, penyuluhan, pertanahan).

Berdasarkan Tingkat Teknologi dan Pengelolaan. Terutama untuk tanaman


perkebunan, dibedakan ada perkebunan rakyat, perkebunan besar dan Oerkebunan Inti
Rakyat.

c. Sistem Pertanian untuk Padang Penggembalaan dan Peternakan

Petanian ternak atau peternakan umunya diklasifikasikan berdasarkan ketetapan


tinggalnya (stasionaryness) dari peternak dan ternaknya sbb:.
➢ Semi nomadis, dimana peternak memiliki tempat tinggal permanen dan di
sekitarnya ada budidaya makanan ternak sebagai tambahan. Akan tetapi ternak dan
penggembalaanya bergerak pada daerah-daerah yang berbeda.
➢ Transhuman, peternak mempunyai tempat tinggal permanen tetapi ternaknya
dengan bantuan penggembala, mengembara pada daerah penggembalaan yang
berpindah-pindah dan letaknya jauh.
➢ Partial Nomadis, peternak tinggal secara permanen pada pemukiman yang juga
permanen dan penggembalaan ternaknya pada sekitar tempat tinggalnya.
➢ Peternakan menetap, ternaknya sepanjang tahun berada pada lahan atau desanya
sendiri,

2. Penerapan Sistem Usahatani Terpadu Berkelanjutan di Lahan Kering

Lahan kering merupakan tantangan baru sekaligus sumber pemecahan masalah dalam
Pembangunan Pertanian. Lahan yang secara umum menuju kritis, memerlukan sistem
pengelolaan yang tepat. Sistem pengelolaan yang tepat untuk usaha pertanian lahan kering
beriklim kering adalah dengan “Sistem Usahatani Terpadu” yang dikenal dengan istilah “take-
intake agriculture” dimana keluaran (out put) dari sektor pertanian yang satu menjadi masukan
(in put) dari sektor pertanian yang lain sehingga terjadi mata rantai “in put- proses produksi-out
put” yang saling mengisi dan berlangsung secara berkelanjutan serta dapat menekan biaya
produksi. Seperti telah diketahui, pertanian dalam arti luas terdiri dari 5 (lima) sub sektor yaitu
tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan. Apabila pertanian
dikembangkan secara sendiri-sendiri maka sisa-sisa tanaman atau kotoran dari ternak dan hasil
ikan yang merupakan limbah pertanian dimana dapat menimbulkan masalah dan
penanganannya memerlukan biaya tinggi sehingga akan mengakibatkan peningkatan biaya
produksi pertanian. Dengan demikian “pertanian terpadu berkelanjutan” merupakan solusi yang
tepat dan merupakan pilar utama kebangkitan bangsa Indonesia karena akan mampu
menyediakan pangan secara berkelanjutan (Anita Swietenia, 2012).

Konsepsi pertanian terpadu adalah merupakan sistem yang menggabungkan kegiatan


pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan dalam satu lahan sehingga
diharapkan menjadi salah satu solusi alternatif bagi peningkatan produktifitas lahan, program
pembangunan dan konservasi lingkungan serta pengembangan “Desa Terpadu”. Sedangkan
Pertanian berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu konsepsi menyangkut tantangan bagi
produsen agar mulai mempertimbangkan implikasi jangka panjang tentang cara budidaya,
interaksi sistem usaha tani dan dinamika sistem pertanian. Konsepsi ini juga mendorong
konsumen agar lebih terlibat sebagai partisipan aktif dalam sistem pangan (Salikin, 200).
Dalam konteks ekologis, pertanian berkaitan erat dengan upaya memelihara sistem biologi agar
dapat secara kontinu memberikan out put dengan tingkat yang sama tanpa menggunakan in
put yang berlebih. Pada tingkatan praktis, konsepsi ini menuntut pemahaman menyangkut
dinamika hara dan energy, interaksi berbagai tanaman dan organisme lain dalam satu
ekosistem, serta keseimbangnnya dengan keuntungan/pendapatan, kepentingan komunitas dan
kebutuhan konsumen (Dunlap et. Al., 1992).

Penerapan pertanian terpadu akan mendorong pertanian yang berkelanjutan karena dalam
pertanian terpadu dapat meminimalkan penggunaan pupuk organik bahkan menghilangkannya
sehingga kesuburan tanah terpelihara. Di sisi lain, produk yang dihasilkan lebih berkualitas dan
sehat serta aman untuk dikonsumsi karena masuk dalam kategori “hasil pertanian organik”.
Dengan semakin meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan trend
mengkonsumsi bahan pangan organik maka petani akan lebih diuntungkan karena harga
jualnya lebih mahal dibandingkan komoditas non organik.

Pertanian Terpadu Berkelanjutan


Secara sederhana dapat dimaknai sebagai pertanian yang menggabungkan berbagai subsektor
pertanian (pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan)
dalam suatu area dengan luasan tertentu sehingga lebih efisien karena relatif
http://hasanahsenter

Contoh:
Daun dan batang jagung sebagai limbah budidaya jagung dimanfaatkan untuk pakan sapi,
kotoran sapi dimanfaatkan sebagai pupuk organik untuk berbagai tanaman budidaya yang ada
(sayuran, buah dll) atau diolah menjadi biogas sebagai sumber energi, limbah cair dari kandang
sapi dialirkan ke kolam ikan, biji jagung dan limbah ikan menjadi campuran pakan ternak sapi.

SUMBER PUSTAKA

1. Anita Swietania. 2012. Sistem Pertanian Terpadu dan Berkelanjutan Berwawasan


Lingkungan. http://swietania 14.blogspot.com/2012/09/system-pertanian-terpadu-
dan.html.
2. Dunlap, R., C. Beus, R. Hoell and J. Waud. 1992. What is Sustainable Agriculture? An
Emperical Examination of Faculty and Farmer Definitions. J. Sustainabke Agric: 3 ((1): 5-9.
3. Muhamad Solih Sujana, 2013. Konsep Pertanian Terpadu dan Berkelanjutan. *I*blog kang
solih tea *I*.
4. Salikin, A.K. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Kanisius Yugyakarta.
BAB IV. SEJARAH PETERNAKAN

4.1 DOMESTIKASI TERNAK

Domestikasi atau penjinakan tumbuhan dan hewan merupakan markah awal


perkembangan pertanian secara luas. Proses belajar menanam dan beternak berawal dari
domestikasi aneka tumbuhan dan hewan dari kehidupannya yang liar. Hikayatnya dimulai pada
masa Neolitik sebagaimana ditandai oleh sejumlah situs pertanian, diantaranya di Asia Barat
Daya dan di Asia Tenggara.
Usaha peternakan di Indonesia telah dikenal sejak dahulu kala. Adanya bangsa ternak
asli di seluruh Indonesia seperti sapi, kerbau, kambing, domba, babi, ayam dan itik,
memberikan petunjuk bahwa penduduk pertama Indonesia telah mengenal ternak sekurang-
kurangnya melalui pemanfaatannya sebagai hasil perburuan. Pentahapan sejarah usaha
peternakan di Indonesia, disesuaikan dengan perjalanan sejarah. Kedatangan bangsa-bangsa
Cina, India, Arab, Eropa dan lain-lain, maka ternak kuda dan sapi yang dibawa serta bercampur
darah dengan ternak asli. Terjadilah kawin silang yang menghasilkan ternak keturunan atau
peranakan dipelbagai daerah Indonesia. Disamping itu, dalam jumlah yang banyak masih
terdapat ternak asli.
Dengan demikian terjadilah tiga kelompok besar bangsa ternak yaitu kelompok
pertama adalah bangsa ternak yang masih tergolong asli, ialah ternak yang berdarah murni
dan belum bercampur darah dengan bangsa ternak luar; kelompok kedua adalah kelompok
"peranakan", yaitu bangsa ternak yang telah bercampur darah dengan bangsa ternak luar;
kelompok ketiga adalah bangsa ternak luar yang dikembangbiakan di Indonesia, baik murni
dari satu bangsa atau yang sudah bercampur darah antara sesama bangsa ternak "luar"
tersebut. Bangsa ternak demikian dikenal dalam dunia peternakan sebagai ternak "ras" atau
ternak "negeri".
Topik ini bermanfaat bagi mahasiswa yakni sebagai titik awal dalam mempelajari mata
kuliah pengantar ilmu peternakan, setelah mempelajari modul ini mahasiswa akan mendapat
materi lanjutan berupa regulasi peternakan di Indonesia dan taksonomi bangsa /jenis ternak
yang didomestikasi. Topik ini memiliki relevansi dengan mata kuliah lainnya terutama dengan
mata kuliah dasar ilmu ternak dan ilmu produksi ternak. Setelah mempelajari modul ini
pembaca (mahasiswa) diharapkan memiliki kompetensi akhir yakni dapat menjelaskan
domestikasi dan sejarah usaha peternakan di Indonesia.

4.1.1 Pengertian Domestikasi.


Domestikasi secara etimologis, berasal dari kata Latin domus atau rumah tangga :
penjinakan hewan liar atau hewan buas dsb: binatang liar yg baru ditangkap di hutan agar
dapat dimanfaatkan kegunaannya oleh manusia atau transformasi dari gaya hidup “liar” menuju
yang berbudaya yang terjadi ketika manusia mulai berdomisili secara tetap, mulai terbatasi
horison-horisonnya. Sehingga dalam kaitan dengan ternak maka domestikasi berarti proses
penjinakan hewan-hewan yang hidup liar menjadi hewan-hewan piaraan. Kegiatan atau proses
domestikasi belum berakhir karena manusia masih juga menambah jenis-jenis hewan piaraan
yang baru,misalnya rubah untuk diambil bulunya.

4.1.2 Landasan Dalam Memahami Domestikasi.


Diperhadapkan pada upaya melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan hidup,
transformasi sumber hayati tersebut nampak perlu secara bijaksana diserasikan dengan
berbagai kegiatan dalam payung pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Dampak apa
pun yang mungkin dapat ditimbulkan oleh suatu kegiatan, seyogyanya telah diperhitungkan
secara cermat semenjak tahap perencanaan kegiatan, sehingga langkah pengendaliannya
diantisipasi secara dini.

Bertolak dari uraian di atas, selanjutnya akan dipaparkan suatu deskripsi hasil penalaran
tentang domestikasi tumbuhan dan hewan. Sebagai suatu elaborasi pemikiran terbatas waktu,
deskripsi dimaksud terfokus pada upaya menjawab: apa (ontologi), bagaimana (epistemologi),
dan untuk apa (aksiologi) domestikasi tumbuhan dan hewan., sebagai berikut :

4.1.2.1 Landasan Ontologis


Istilah ontologi berasal dari bahasa yunani yakni ta onta dan logi. Ta onta
berarti berada dan logi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran, sehingga ontologi dapat
diartikan sebagai ilmu yang mengkaji tentang keberadaan suatu obyek

Dalam lingkup pengalaman manusia, tumbuhan dan hewan termasuk jazad


renik telah dan sementara menjadi objek transformasi dari kehidupannya yang liar
menjadi jinak. Transformasi yang dikenal sebagai domestikasi ini, menurut Wallack
(2001), telah berlangsung lebih dari 10.000 tahun terakhir, bagi ratusan jenis tumbuhan
dan hewan, yang kini menjadikannya andalan dalam memenuhi kebutuhan manusia.
Diperhitungkan 61 % bahan kering edibel dari tanaman utama dunia berasal dari
gandum, jagung , dan padi. Selebihnya dari sekitar 100 spesies tumbuhan, antara lain :
kedelai, tebu, sorghum, kentang, dan ubi kayu. Di samping itu, sekitar 95 % dari produk
daging, susu, dan telur unggas dihasilkan oleh sebanyak lima spesies hewan ternak.
Sementara produk akuakultur berasal dari sekitar 200 spesies biota air (Pullin, 1994).
Selain sejumlah spesies pohon kayu dan puluhan pohon buah-buahan yang telah
didomestikasi, Leakey (1999) mengidentifikasi 17 spesies buah-buahan tropis yang
potensial dikembangkan dalam sistem agroforestry dan pada bidang peternakan di
Indonesia. Pemerintah telah mengkampanyekan pemanfaatan jenis Satwa Harapan
sebagai sumber protein dimasa mendatang.

Domestikasi sebagai proses perkembangan organisme yang dikontrol manusia,


oleh Evans (1996) dinyatakan mencakup perubahan genetik (tumbuhan) yang
berlangsung sinambung semenjak dibudidayakan. Dengan demikian, domestikasi
berkaitan dengan seleksi dan manajemen oleh manusia, dan tidak hanya sekedar
pemeliharaan saja. Spesies organisme eksotik yang dipindahkan dari habitat aslinya ke
wadah budidaya, karakteristik genetiknya terubah dengan maksud tertentu, atau
sebaliknya, melalui sembarang cara/manajemen pemeliharaan, seleksi dan manajemen
genetik (Pullin, 1994). Dalam hal ini, mendomestikasi adalah menaturalisasikan biota
kekondisi manusia dengan segala kebutuhan dan kapasitasnya.

Dalam domestikasi tanaman, Evans (1996) mengungkapkan secara luas berbagai


perubahan yang terjadi pada penampilan tumbuhan, mulai dari yang menyangkut retensi benih
hingga ke isi DNA. Demikian halnya perubahan bentuk dan ukuran pada sejumlah tanaman,
serta laju perkembangan dan pertumbuhannya. Lebih dari pada itu, sejumlah tumbuhan yang
didomestikasi ternyata kehilangan substansi racun sebagai unsur proteksi alaminya terhadap
hama dan penyakit. Tampaknya, perubahan-perubahan ini terpaut dengan penimbulan
(mengefisiensi) dan penenggelaman (mendefesiensi) satu atau lebih unsur genetik seturut
dengan faktor lingkungan budidaya yang dikenakan. Hal yang kemudian membuka peluang
kemodifikasi genetik ini, antara lain ditandai ketika tanaman tebu Saccharum officinarum
disilangkan dengan S. spontaneum yang memiliki genyang tahan atas penyakit cacar yang
mewabah pada tahun 1880.

Seperti halnya hewan, perpindahan lokasi dari tumbuhan yang didomestikasi


berlangsung secara luar biasa, menyebar luas dan jauh dari asalnya, bahkan terkadang
melimpah di kawasan yang didatanginya. Dicontohkan oleh Wallack (2001), gandum yang
berasal dari Timur Tengah, kini diproduksi besar-besaran di Cina, India, dan Amerika. Jagung
yang asalnya Meksiko, tapi Brasilia menumbuhkannya tiga kali lebih banyak, China sebanyak
enam kali lebih banyak, dan Amerika sebanyak 10 kali. Kentang yang mulainya di Andes, kini
produktor utamanya adalah Cina, Rusia dan Polandia. Selain dengan jelas menunjukkan difusi
dan adopsi teknologi berkenaan dengan hasil domestikasi, tapi hal ini menunjukkan juga
kemampuan hasil domestikasi dalam mengkolonisasi daerah baru.

Subjek domestikasi, seperti menurut Evans (1996) terhadap tumbuhan, menarik minat
sejumlah disiplin ilmu, diantaranya antropologi, arkeologi, biokimia, genetika, geografi,
linguistik, biologi molekuler, fisiologi, dan sosiologi. Dengan demikian, banyak aspek
domestikasi telah diungkapkan selama ini, misalnya mengenai sejarah dan keterkaitannya
dengan kebudayaan, demikian pula dengan permasalahan lingkungan hidup yang
ditimbulkannya. Ringkasnya, domestikasi tumbuhan dan hewan tidak saja sekaligus
mendomestikkan pengelompokkan manusia (humandkind) dalam suatu permukiman, tapi
juga menurut Wallack (2001), manusia secara mutlak kini tergantung pada hasil domestikasi
yang dilakukannya.

Uraian terdahulu mengungkapkan bahwa ternyata ujud hakiki dari apa yang disebut
domestikasi tumbuhan dan hewan sebagai masukan/input, proses, dan hasilnya/output
mengandung banyak aspek dan bermatra luas. Penjelajahan selanjutnya terhadap hal ini
melalui pendekatan multi-disipliner, dipandang sebagai pilihan yang memihak pada perwujudan
fungsi sains dalam kehidupan manusia.

4.1.2.1 Landasan Epistemologis


Epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti “pengetahuan” dan logos yang
berarti “teori”. Jadi epistemologi dapat diartikan sebagai teori pengetahuan. Dalam ilmu filsafat,
epistemologi dikategorikan sebagai cabang ilmu yang mempelajari asal mula pengetahuan,
struktur, metode dan validitas pengetahuan (Nasoetion, 1999; Keraf dan Dua, 2001; Thoyibi,
1999; Mandey, 2000).

Mengutip uraian Suriasumantri (2000), tahap mistis adalah masa di mana sikap manusia
menunjukkan keberadaaannya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya. Sejalan
dengan perkembangan penalaran, upaya manusia dalam memenuhi rasa ingin tahu dan
kebutuhannya, mengikuti tahapan perkembangan kebudayaan yang meliputi tahap
mistis, tahap ontologis, dan tahap fungsional. Tahap ontologis adalah masa di mana
sikap manusia mengambil jarak dari objek di sekitarnya serta mulai melakukan telaahan
terhadap objek tersebut. Tahap fungsional adalah masa di mana sikap manusia selain
memiliki pengetahuan berdasarkan telaahan terhadap objek-objek sekitarnya, tapi juga
memfungsionalkan pengetahuan tersebut bagi kepentingan dirinya dan lingkungan
hidupnya.

Proses domestikasi tumbuhan dan hewan, nampaknya mengikuti tahapan sikap manusia
sebagaimana dikemukakan terdahulu. Dengan demikian, pengetahuan menjinakkan tumbuhan
dan hewan diawali pada tahap mistis ketika manusia bersikap menghadapi kekuatan yang
mengepungnya sekaligus berupaya mempertahankan kehidupannya. Pada tahap ontologis di
mana ilmu mulai berkembang, manusia mengambil jarak dengan objek domestikasi, bertindak
sebagai subjek yang mengamati, menelaah dan memanfaatkan. Mengawalinya, tahap ontologis
melahirkan pengetahuan yang berakar pada pengalaman berdasarkan akal sehat yang
didukung oleh metode mencoba-coba, namun secara historis tercatat tingkat teknologinya
tinggi meskipun tetap terbelakang dalam bidang keilmuan (Suriasumantri, 2000). Tumbuhnya
pengetahuan yang tergolong seni terapan ini, seperti antara lain dalam peradaban Mesir kuno,
Cina dan India, mengikutsertakan perkembangan awal pertanian dalam mendomestikasi
tumbuhan dan hewan. Selanjutnya, telaahan terhadap objek sekitar seperti domestikasi,
didekati secara rasional yang mengandalkan penalaran deduktif, dan kemudian melalui metode
ilmiah yang menggabungkan penalaran deduktif dan pengalaman empiris.

Domestikasi tumbuhan dan hewan secara aktual dilakukan manusia berdasarkan prinsip-
prinsip dan konsep-konsep yang ditemukan dengan menggunakan metode ilmiah. Dalam hal
ini, prinsip dan konsep mendomestikasi disusun dengan menerapkan penalaran deduktif,
sementara kesesuaiannya dengan fakta diverifikasi dengan menerapkan penalaran induktif.

Berkaitan dengan masalah objek empiris dalam domestikasi tumbuhan dan


hewan, ada dua kelompok pertanyaan yang teridentifikasi berbeda menurut bidang ilmu
dan menurut bidang teknologi. Dalam bidang ilmu, objeknya adalah gejala yang sudah
ada, sementara dalam bidang teknologi, objeknya adalah gejala yang ingin diciptakan.
Kejelasan tentang struktur dan bentuk susunan serta hubungan antar bagian,
merupakan prinsip dan konsep yang dipertanyakan dalam bidang ilmu. Struktur suatu
gejala yang dikehendaki agar suatu fungsi yang diinginkan terlaksana beserta cara
membentuk struktur dimaksud, merupakan konsep yang ditangani dan ingin dihasilkan
dalam bidang teknologi.

4.1.2.2 Landasan aksiologis

Aksiologi adalah ilmu yang mempertanyakan nilai suatu obyek yang akan dikaji. Secara
signifikan, hasil transformasi tumbuhan dan hewan yang dilakukan dalam lingkup domestikasi,
telah memberi manfaat dan membawa berkah bagi manusia. Dari upaya untuk sekedar
memenuhi kepentingan praktis, domestikasi tumbuhan dan hewan berkembang aktual untuk
tujuan meningkatkan produksi dan mengembangkan kualitas produk dari beragam usaha
pertanian, kehutanan, peternakan dan perikanan. Dengan demikian, domestikasi sumber hayati
ini berkontribusi besar dalam mewujudkan tujuan ketersediaan pangan, termasuk ketika
swasembada pangan pernah dicapai Indonesia.

Diperhadapkan pada isu dunia mengenai lingkungan hidup yang cenderung mengalami
degradasi, domestikasi organisme diarahkan pula untuk konservasi genetik dan/atau plasma
nuftah. Sejalan dengan itu, konservasi ekosistem diupayakan, khususnya hutan dan laut.
Sementara FAO mencatat bahwa di samping sebanyak enam keuntungan domestikasi NWTP
(non-wood timber products), terdapat empat keadaan merugikan (Simon, 1996).
Keuntungannya meliputi produksi yang diandalkan, mengurangi tekanan pada hutan,
menghasikan pendapatan, mudah panen, perbaikan laju pertumbuhan, dan peningkatan nilai
tanaman. Keadaan yang merugikan ditunjukkan pada peningkatan kerentanan terhadap hama,
kehilangan fungsi ekologis, ketergantungan pada sumber benih liar yang baru, dan menambah
nilai keuntungan pada korporasi/perusahan besar yang ada.

Tanpa mengabaikan sejumlah kerugian, sesungguhnya tumbuhan dan hewan yang


didomestikasi menerima perlakuan istimewa yang memungkinkan potensi gennya diberdayakan
dengan berbagai cara manipulasi. Meskipun demikian, proses domestikasi yang berlangsung
juga merupakan gangguan fisik-biologis terhadap integritas spesies. Transformasi dilakukan
dengan risiko yang tidak saja sukar diramalkan tapi juga yang kurang menjadi perhatian. Untuk
itu, selain dibutuhkan rumusan bioetik secara spesifik, nilai-nilai universal menghargai alam
perlu dijabarkan terinci dalam memandu aktivitas domestikasi tumbuhan dan hewan
selanjutnya.

Sepintas mencermati domestikasi tumbuhan dan hewan, maka pengakuan terhadap


berbagai keberhasilan manusia selama ini dalam mentransformasi fungsi dan struktur elemen
daur hayati. Transformasi yang telah dan sementara berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan
pangan ini, menyertakan kebutuhan ruang yang bersesuaian bagi hasil transformasi tersebut.
Sesuai kapasitas rasional dari lingkungan beserta sumber dayanya, seharusnya setiap bagian
harus dapat berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Untuk itu ke depan,
serangkaian upaya dibutuhkan dalam memantapkan pengembangan domestikasi sumber hayati
dengan menerapkan pendekatan multi-disipliner berdasarkan metodologi sistem.

4.1.3 Cara-cara dan Tahapan Domestikasi.


Semua hewan ternak yang dibudidaya manusia sekarang ini mengalami proses
domestikasi beribu tahun yang lalu. Mengenai "approximate dates" dan lokasi-lokasi dari
"original domestication", dapat diketahui dari pelajaran sejarah domestikasi.

Berdasarkan hasil penalaran manusia selama ini, tumbuhan dan hewan didomestikasi
dengan beragam cara, dari yang sederhana hingga ke cara yang sangat maju ditopang dengan
perkembangan bioteknologi. Sederhananya, seperti untuk tanaman buah-buahan menurut
Demchik dan Streed (2002) dengan cara bertahap yakni :

a) Wildcrafting : adalah praktek panen tanaman dari alam atau habitat "liar", untuk makanan
atau obat tujuan. Ini berlaku untuk tanaman hidup dimanapun mereka dapat ditemukan,
dan tidak terbatas pada suatu daerah. Pertimbangan etis sering terlibat, seperti melindungi
spesies yang terancam punah..
b) Stand Improvement: Secara sederhana, perbaikan keberadaan adalah pengobatan, atau
tindakan, yang meningkatkan pertumbuhan pohon yang terbaik dengan menghapus semua
pohon yang ada di disekitarnya.
c) Penanaman/Pemeliharaan.
d) Seleksi, Pemuliaan, dan Penggunaan Stok Andal dalam Proses Budidaya.
e) Bioteknologi sebagai penerapan biologi molekuler, genetika molekuler dan rekayasa
genetika, transformasi gen merubah organisme eksotik menjadi (Genetically Modified
Organism (GMO) dan Transgenic Organism (TO).

Metode dan/atau teknik domestikasi tumbuhan dan hewan dengan pendekatan


bioteknologi dideskripsikan secara luas dan lengkap dalam sejumlah sumber informasi.
Mengacu pada Winter et al (1998) dan Madigan et al (2000), rekayasa genetika dinyatakan
sebagai upaya teknik memodifikasi penampilan genetika sel dan organisme melalui manipulasi
suatu gen dengan menggunakan teknik laboratorium. Ini merupakan sintesis dari genetika
molekuler, biokimia dan mikrobiologi, terutama dalam aspek yang mencakup isolasi, manipulasi,
dan ekspresi materi genetik. Selain itu, rekayasa genetika mempunyai aplikasi luas tidak hanya
pada penelitian dasar tetapi juga pada penelitian aplikatif, antara lain untuk menghasilkan suatu
protein dalam jumlah besar dan mentransfer suatu material genetik untuk “menciptakan”
organisme-organisme (tanaman, hewan, dan mikrorganisme) dengan ciri-ciri “yang diinginkan”.

Lebih jauh terungkap bahwa dalam rekayasa genetika, urutan DNA tertentu dari
organisme yang berbeda bahkan dari spesies yang berbeda dapat berintegrasi menjadi
suatu DNA hibrida (rekombinasi DNA). Berkaitan dengan ini, kloning molekuler
dimungkinkan melalui serangkaian proses isolasi, pemurnian, dan pereplikasian fragmen
DNA khusus. Selain itu, pertukaran material genetik di antara spesies yang secara
alamiah tidak terjadi, membuka peluang perubahan/make up genetik suatu organisme.
Dalam kultur jaringan, rekayasa genetika menawarkan suatu metode langsung untuk
mengintroduksi suatu sifat tertentu melalui baik elektroforasi maupun penembakan
molekul DNA atau melalui Agrobacterium tumefaciens. Dalam pemuliaan hewan
dimungkinkan untuk mentransfer gen yang membawa sifat secara langsung ke dalam
hewan. Gen dapat diintroduksi ke dalam hewan melalui vektor retrovirus, mikro-injeksi,
dan embryonic-stem cells, dimana melibatkan transfer gen ke dalam sel telur yang
terfertilisasi atau ke dalam sel dari embrio tingkat awal. Demikianlah untuk tumbuhan
dan hewan termasuk jazad renik, rekayasa genetika adalah suatu cara domestikasi
dalam manajemen genetik yang dapat saja mengundang masalah seperti dalam hal
ketidakstabilan vektor yang digunakan, ekspresi gen yang tidak sepenuhnya, dan
gangguan regulasi gen.
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, wujud dari domestikasi tumbuhan dan hewan
bermatra luas. Selain cara dan/atau metode yang mengantar pada penemuan organisme
domestik (GMO dan TO), tahapan aktivitas domestikasi menurut Simon (1996) akan sangat
ditentukan oleh faktor-faktor biologi, kebijakan, pasar, dan sosial.

Pemanfaatan selanjutnya melalui budidaya dan bahan pangan yang dihasilkan,


membutuhkan metode aplikasi yang berjangkauan komprehensif dan berlandasan aksiologis
memadai. Dalam bidang akuakultur, Pullin (1994) menyatakan bahwa permasalahan utama
yang dihadapi ilmuwan dan pengambil keputusan adalah efek jangka panjang pada keragaman
hayati akuatik yang tidak dapat diprediksi secara tepat berkenaan dengan kemungkinan
lolosnya GMO dari wadah budidaya. Hal yang sama dengan intensitas beragam dapat saja
berlaku dalam kegiatan budidaya pertanian lainnya. Untuk itu, Peraturan Pemerintah RI No.27
Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup menyatakan usaha dan/atau
kegiatan berdampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, antara lain : (1) introduksi
suatu jenis tumbuhan baru atau jazad renik yang dapat menimbulkan penyakit baru terhadap
tanaman, (2) introduksi suatu jenis hewan baru yang dapat mempengaruhi kehidupan hewan
yang telah ada, (3) penggunaan bahan hayati dan nir-hayati mencakup pengertian perubahan.
Gambar 4.1. Skema pengambilan keputusan untuk pengembangan budidaya dan dampak
lingkungannya

Uraian tersebut di atas membawa kepemikiran bahwa aktivitas domestikasi suatu


organisme adalah suatu kesatuan sistem yang tersusun oleh sejumlah elemen. Sesuai
pendekatan multi-disipliner yang diajukan sebagai pilihan dalam menjelajahinya, maka
penerapan pengembangan aktivitas tersebut layaknya dilakukan dengan metodologi
sistem.

Sehubungan dengan hal ini, suatu bentuk skema pengambilan keputusan untuk
mengembangkan budidaya yang menggunakan organisme domestic disajikan skema di
atas yang dimodifikasi dari Pullin (1994). Skema ini menunjukkan pengambilan
keputusan dapat didasarkan atas hasil dari evaluasi yang prosesnya akurat, meliputi
efek sosial, efek lingkungan, dan kelayakan aspek teknis budidaya.
Menurut Zairin (2003), ada beberapa tingkatan yang dapat dicapai manusia dalam
upaya penjinakan hewan ke dalam suatu sistem budidaya. Tingkatan dimaksud, sebagaimana
berlangsung pada ikan, adalah sebagai berikut:

a) Domestikasi sempurna, yaitu apabila seluruh daur hidup sudah dapat berlangsung
dalam sistem budidaya. Contoh : Ikan asli Indonesia gurami (Osphroneus gouramy),
tawes (Puntius javanicus), kerapu, bandeng, dan kakap putih.
b) Domestikasi hampir sempurna, yaitu apabila seluruh daur hidupnya dapat
berlangsung dalam sistem budidaya, tapi keberhasilannya masih rendah. Contoh : Ikan
asli Indonesia asalah : betutu, balashark, dan arowana.
c) Domestikasi belum sempurna, yaitu apabila baru sebagian daur hidupnya dapat
berlangsung dalam sistem budidaya. Contohnya antara lain : ikan Napoleon (Cheilinus
undulatus) dan tuna.

Tingkatan kesempurnaan domestikasi hewan umumnya, sangat ditentukan oleh


pengetahuan tentang keseluruhan aspek biologi dan ekologi hewan tersebut. Perilaku satwa
liar di habitat alaminya, daur hidup dan dinamika pertumbuhannya merupakan aspek biologi
yang antara lain menunjang keberhasilan domestikasi.

4.1.4 Peranan Domestikasi bagi Manusia


Domestikasi sebagai proses perkembangan organisme yang dikontrol manusia, oleh
Evans (1996) dinyatakan mencakup perubahan genetik (tumbuhan/hewan) yang berlangsung
kontinyu sejak dibudidayakan. Dengan demikian, domestikasi berkaitan dengan seleksi dan
manajemen oleh manusia, dan tidak hanya sekedar pemeliharaan saja. Spesies eksotik –
organisme yang dipindahkan dari habitat aslinya ke wadah budidaya, karakteristik genetiknya
terubah dengan maksud tertentu, atau sebaliknya, melalui sembarang cara pemeliharaan,
seleksi dan manajemen genetik (Pullin, 1994). Dalam hal ini, mendomestikasi adalah
menaturalisasikan biota ke kondisi manusia dengan segala kebutuhan dan kapasitasnya.

Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa
difahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (bahasa Inggris: crop
cultivation) serta pembesaran hewan ternak (raising), meskipun cakupannya dapat pula berupa
pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan produk lanjutan, seperti
pembuatan keju dan tempe, atau sekedar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau
eksploitasi hutan. Sumbangan domestikasi bagi kehidupan manusia berupa pangan, sandang
dan papan, misalnya dari aspek peternakan sumbangan domestikasi adalah sebagai berikut :
• Ayam menyediakan dua keperluan pokok diet manusia sebagai sumber protein: daging
ayam dan telur;
• Domestikasi sapi dan kambing dan penggunaan susunya untuk konsumsi manusia di Asia
dan Afrika Timur Laut sudah dimulai sejak 8.000 - 6.000 SM. Sebelum sapi dijinakkan
mungkin dengan jalan diburu oleh orang-orang primitif. Telah bertahun tahun sapi
digunakan sebagai ternak beban dan sebagai sumber makanan, untuk upacara agama,
upacara korban. Susu sapi dan produknya telah digunakan sebagai makanan, bahan
upacara-upacara korban, kosmetik dan obat-obatan.Orang-orang India menternakkan sapi
sekitar 2.000 SM, menteganya digunakan sebagai bahan makanan dan sebagai bahan
persembahan pada Tuhannya. Mentega diubah menjadi Ghee (= butter oil). Di India sapi
dianggap sebagai hewansuci. Catatan dari Mesir pada tahun 300 SM menunjukkan bahwa
susu, mentega dan keju telah digunakan secara meluas. Sapi diperah dari samping, tidak
dari belakang seperti orang-orang Somalia, namun demikian kedua bangsa tersebut
memerah sapinya dengan menempatkan pedetnya di depan sapi yang sedang di perah.
Perkembangan yang besar dalam peternakan sapi perah mulai tahun Masehi sampai
pertengahan 1850-an terjadi di Eropa. Bangsa-bangsa sapi perah yang penting di Amerika
Serikat, Eropa dan Australia aslinya berasal dari Eropa.
• Kuda sebagai alat transportasi
• Domba sebagai penghasil wool untuk pakaian

4.1.5 Sejarah Perkembangan Peternakan Zaman Kerajaan Tua.


Usaha peternakan di Indonesia telah dikenal sejak dahulu kala. Namun
pengetahuan tentang kapan dimulainya proses domestikasi dan pembudidayaan ternak
dari hewan liar, masih langka.

Adanya bangsa ternak asli di seluruh Indonesia seperti sapi, kerbau, kambing,
domba, babi, ayam dan itik, memberikan petunjuk bahwa penduduk pertama Indonesia
telah mengenal ternak sekurang-kurangnya melalui pemanfaatannya sebagai hasil
perburuan. Dengan kedatangan bangsa-bangsa Cina, India, Arab, Eropa dan lain-lain,
maka ternak kuda dan sapi yang dibawa serta bercampur darah dengan ternak asli.
Terjadilah kawin silang yang menghasilkan ternak keturunan atau peranakan dipelbagai
daerah Indonesia. Disamping itu, dalam jumlah yang banyak masih terdapat ternak asli.
Dengan demikian terjadilah tiga kelompok besar bangsa ternak yaitu kelompok pertama
asalah bangsa ternak yang masih tergolong asli, ialah ternak yang berdarah murni dan
belum bercampur darah dengan bangsa ternak luar. Kelompok kedua adalah kelompok
"peranakan", yaitu bangsa ternak yang telah bercampur darah dengan bangsa ternak
luar. Kelompok ketiga adalah bangsa ternak luar yang masih diperkembang-biakan di
Indonesia, baik murni dari satu bangsa atau yang sudah bercampur darah antara
sesama bangsa ternak "luar" tersebut. Bangsa ternak demikian dikenal dalam dunia
peternakan sebagai ternak "ras" atau ternak "negeri".

Pentahapan waktu didalam mempelajari sejarah usaha peternakan di Indonesia,


disesuaikan dengan perjalanan sejarah, untuk melihat perkembangan usaha peternakan
dalam kurun waktu suatu tahap sejarah. Didalam kurun waktu tersebut dapat dipelajari
sejauh mana pemerintah dikala itu memperhatikan perkembangan bidang peternakan
atau segi pemanfaatan ternak oleh penduduk diwaktu itu.

Di zaman kerajaan-kerajaan tua di Indonesia, usaha peternakan belum banyak


diketahui. Beberapa petunjuk tentang manfaat ternak di zaman itu serta perhatian
pemerintah kerajaan terhadap bidang peternakan telah muncul dalam pelbagai tulisan
prasasti atau dalam kitab-kitab Cina Kuno yang diteliti dan dikemukakan oleh para ahli
sejarah. Sangat menarik apa yang dikatakan oleh para ahli sejarah tentang kegunaan
ternak di zaman-kerajaan Tarumanegara, Sriwijaya, Mataram, Kediri, Sunda, Bali dan
Majapahit. Ternak dizaman kerajaan-kerajaan tua ini telah memiliki tiga peranan penting dalam
masyarakat dan penduduk, yaitu sebagai perlambang status sosial, misalnya sebagai hadiah
Raja kepada penduduk atau pejabat yang berjasa kepada raja. Peranan kedua adalah sebagai
barang niaga atau komoiti ekonomi yang sudah diperdagangkan atau dibarter dengan
kebutuhan hidup lainnya. Dan peranan ketiga adalah sebagai tenaga pembantu manusia baik
untuk bidang pertanian maupun untuk bidang transportasi. Kerajaan-kerajaan dimaksud adalah
:

1. Tarumanegara.

Kerajaan yang berpusat di Jawa Barat ini telah memberikan perhatian terhadap ternak,
terutama ternak besar. Hal ini terdapat pada prasasti batu. Pada upacara pembukaan saluran
Gomati yang dibuat sepanjang sebelas kilometer, Raja Purnawarman yang memerintah
Tarumanegara dimasa itu telah menghadiahkan seribu ekor sapi kepada kaum Brahmana dan
para tamu kerajaan.

2. Sriwijaya.

Salah satu kegemaran penduduk Sriwijaya adalah permainan adu ayam. Oleh karena itu
ternak ayam sudah mendapat perhatian. Disamping itu ternak babi juga banyak dipelihara oleh
penduduk. Sebagaimana kita tahu bahwa kerajaan Siwijaya sangat luas daerah kekuasaannya
dimasa itu. Terdapat petunjuk bahwa ternak kerbau dan kuda sudah diternakkan diseluruh
kerjaan Sriwijaya, ternak sapi baru terbatas di Pulau Jawa, Sumatera dan Bali.

3. Mataram.

Ternak sapi dan kerbau adalah dua jenis ternak besar yang memperoleh perhatian raja-
raja Mataram pada abad ke VIII Masehi. Kedua jenis ternak ini memiliki hubungan erat dengan
pertanian, disamping perlambang status. Pada tulisan prasasti Dinaya diceritakan bahwa
diwaktu persemian sebuah arca didesa Kanjuruhan dalam tahun 760 M, Raja Gayana yang
memerintah Kerajaan Mataram dimasa itu telah menghadiahkan tanah, sapi dan kerbau kepada
para tamu kerajaan dan kepada kaun Brahmana. Terlihat disini bahwa hadiah kerajaan dalam
bentuk ternak, memiliki kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh raja Purnawarman dari
kerajaan Tarumanegara.

4. Kediri.

Kediri adalah suatu kerajaan yang rakyatnya makmur dan sejahtera, karena kerajaan ini
telah memajukan pelbagai bidang kehidupan termasuk peternakan. Hal ini terdapat didalam
kitab Cina Ling-wai-tai-ta yang disusun oleh Chou-K'u-fei dalam tahun 1178 M. Dikatakan
bahwa rakyat kerajaan Kediri hidup dalam kemakmuran dan kesejahteraan karena pemerintah
Kerajaan memperhatikan dan memajukan bidang pertanian, peternakan, perdagangan dan
penegakan hukum.
5. Sunda

Dimasa kerajaan Sunda, kita mulai mengetahui adanya tataniaga ternak. Hal ini
disebabkan berkembangnya 6 kota pelabuhan didaerah kekuasaan Kerajaan Sunda,
yaitu Bantam, Pontang, Cigede, Tamgara, Kalapa dan Cimanuk. Hasil pertanian
termasuk peternakan sangat ramai. Semua ini diceritakan dalam buku petualang
Portugis, Tome Pires. Dikatakan bahwa kemakmuran kerajaan Sunda terlihat dari hasil
pertanian yang diperdagangkan dikota-kota pelabuhan, meliputi lada, sayur-mayur, sapi,
sapi, kambing, domba, babi, tuak dan buah-buahan. Karena kerajaan Sunda juga
memajukan kesenian dan permainan rakyat diwaktu itu, maka terdapat petunjuk bahwa
permainan rakyat adu-domba telah berkembang dizaman kerajaan Sunda.

6. B a l i.

Di zaman kerajaan Bali, kita mulai mengetahui adanya penggunaan tanah


penggembalaan ternak atau tanah pangonan. Rakyat kerajaan Bali dizaman pemerintah
raja Anak Wungsu (1049-1077 M), memohon kepada raja untuk dapat menggunakan
tanah milik raja bagi tempat penggembalaan ternak, karena tanah milik mereka tak
dapat lagi menampung ternak yang berkembang begitu banyak. Semua jenis ternak
telah diternakkan oleh penduduk kerajaan Bali, yaitu kambing, kerbau, sapi, babi, kuda,
itik, ayam dan anjing. Raja Anak Wungsu mengangkat petugas kerajaan untuk
mengurus ternak kuda milik kerajaan (Senapati Asba) dan petugas urusan perburuan
hewan (Nayakan). Dimasa kerajaan Bali inilah ternak sapi Bali yang sangat terkenal
dewasa ini mulai berkembang dengan baik.

7. Majapahit.

Di zaman kerajaan Majapahit kita mulai diperkenalkan dengan teknologi luku


yang ditarik sapi dan kerbau. Penggunaan tenaga ternak sebagai tenaga tarik pedati
dan gerobak meliputi ternak kuda, sapi dan kerbau. Hasil pertanian melimpah sehingga
rakyat Majapahit hidup makmur dibawah pemerintahan raja Hayam Wuruk dan Maha
Patih Gajah Mada. Kerajaan-kerajaan di Pulau Sumatra, Jawa, Bali, Lombok dan
Sumbawa, yang berada dibawah kekuasaan Majapahit juga meniru tehnik pertanian
sawah dengan penggunaan tenaga ternak dari kerajaan Majapahit. Namun penggunaan
ternak sebagai tenaga tarik sudah meluas keseluruh daerah kekuasaan Majapahit
lainnya di Nusantara.

Menjelang berakhirnya kerajaan Majapahit belum terdapat petunjuk bahwa


teknologi luku dengan ternak sapi dan kerbau sebagai tenaga tarik sudah masuk ke
Kalimantan, Sulawesi dan Kepulauan Indonesia bagian timur lainnya. Maka dapatlah
disimpulkan bahwa teknologi sawah dengan sapi dan kerbau sebagai penarik luku baru
sempat disebarkan dipulau-pulau Sumatra, Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa dizaman
Majapahit.

Disamping penggunaan ternak dalam bidang pertanian, ternak gajah dan sapi adalah
ternak "kebesaran", karena raja-raja Majapahit bila keluar istana dengan naik gajah kehormatan
atau naik kereta kerajaan yang ditarik sapi, seperti yang ditulis dalam berita-berita Cina.
Dengan demikian dapatlah dikatakan juga bahwa kereta kerajaan dengan kuda sebagai ternak
tarik baru muncul pada kerajaan-kerajaan setelah zaman Majapahit.

4.2 Sejarah Perkembangan Peternakan


4.2.1 Zaman Penjajahan,
Usaha peternakan dizaman penjajahan bangsa asing atas penduduk Nusantara, banyak
terdapat dalam tulisan-tulisan yang berbentuk laporan maupun buku yang diterbitkan secara
resmi. Pengaruh penjajahan dalam bidang peternakan banyak terdapat dalam masa penjajahan
Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), masa pemerintahan Hindia Belanda dan Jepang.
Laporan-laporan sejarah tentang pengaruh masa pemerintahan Inggris, Portugis dan bangsa
lainnya terhadap bidang peternakan sampai saat ini belum banyak diketahui.

4.2.1.1 Masa Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC).


Perhatian VOC lebih banyak ditujukan pada perdagangan rempah-rempah yang sangat
mahal dipasaran Eropa. Dimasa VOC (1602-1799) usaha peternakan kuda lebih banyak
memperoleh perhatian. Hal ini penting bagi VOC untuk kepentingan tentara "Kompeni" diwaktu
itu. Pada masa itu kuda Arab dan Persia dimasukkan dan disilangkan dengan ternak kuda asli.

Dari laporan pemerintah Hindia Belanda diketahui, bahwa dalam masa VOC ternyata
usaha peternakan kuda juga mendapat perhatian raja-raja dan sultan-sultan untuk kepentingan
laskar kerajaan dan untuk kepentingan kuda tunggangan raja sewaktu berburu hewan. Yang
terkenal adalah peternakan kuda milik Sultan Pakubuwono III di Mergowati yang terdiri dari
kuda Friesland, didirikan pada tahun 1651 tapi ditutup pada tahun 1800.

• Perdagangan Ternak.
Perdagangan ternak dan pemotongan ternak cukup ramai di zaman VOC, terutama
dipulau Jawa. Perdagangan ternak antar pulau begitu ramai, karena dizaman itu transportasi
laut masih dengan kapal layar yang tidak memungkinkan pengangkutan ternak dalam jumlah
yang banyak.

• Peraturan Peternakan.
Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah VOC yaitu larangan terhadap pemotongan
kerbau betina yang masih produktif dalam tahun 1650. Peraturan ini mula-mula diberlakukan
dipulau Jawa, tetapi kemudian juga meliputi daerah-daerah pengaruh VOC lainnya di Nusantara
dan diperluas dengan larangan pemotongan sapi betina yang masih produktif. Peraturan ini
mula-mula bermaksud untuk menjamin populasi ternak yang terus bertambah dan dengan
demikian menjamin pengadaan daging bagi tentara Kompeni di Pulau Jawa. Dalam tahun 1776,
peraturan ini ditambah dengan larangan pemotongan ternak kerbau betina putih yang
masih produktif.

4.2.1.2 Masa Hindia Belanda.


Pada awal pemerintah Hindia Belanda, bidang peternakan belum banyak menarik
perhatian selain usaha peternakan kuda sebagai kelanjutan dari kegiatan utama VOC
dalam bidang peternakan, untuk kepentingan militer, pengangkutan kiriman pos dan
untuk memenuhi kegemaran pembesar-pembesar Belanda dan kaum bangsawan
sebagai ternak rekreasi dan perburuan hewan.

Selama abad kesembilan belas dan abad kedua puluh sampai berakhirnya pemerintahan Hindia
belanda, beberapa kegiatan dalam bidang peternakan perlu dicatat, karena memiliki hubungan
dengan perkembangan usaha peternakan di zaman pemerintah Indonesia.

Kegiatan dalam bidang peternakan di zaman Hindia Belanda dapat


dikelompokkan ke dalam 10 jenis, ialah :

1. Peningkatan Mutu Ternak.


Perkembangan ilmu pengetahuan dalam abad kesembilan belas, khususnya ilmu
biologi dan mikrobiologi, ikut memberi pengaruh terhadap kegiatan dalam bidang
peternakan. Pengaruh ilmu genetika yang dipelopori oleh Mendel (1822-1884) ikut
mewarnai dunia peternakan, khususnya didalam kegiatan peningkatan mutu genetik
ternak lokal di Nusantara. Demikian juga didalam bidang mikrobiologi yang dipelopori
oleh Louis Pasteur (1822-1899) dan Robert Koch (1843-1920) mewarnai penanganan
kesehatan ternak, produksi sera dan vaksin. Khususnya dalam bidang peningkatan mutu
genetik ternak asli Nusantara, kegiatan persilangan dan seleksi dan penyebaran bibit
ternak cukup banyak dilakukan.

Kuda - Persilangan antara ternak kuda asli dilakukan dengan mendatangkan


kuda Arab dan Persia (1809) dan kuda Australia (1817). Dalam tahun 1870 dan 1880,
kuda Australia didatangkan oleh pedagang ternak berkebangsaan Perancis dari
kepulauan Mauritanius.

Untuk pulau Sumba hasil persilangan dengan kuda asli setempat, sangat terkenal
dengan nama Kuda Sandel. Selain itu didirikan pusat-pusat pembibitan kuda di Cipanas
(1820), Bogor (1938), Payakumbuh, Lubuk Sikaping dan Tarutung (1980),
Padalarang(1903), Padang Mangatas (1922), sebagai pengganti Payakumbuh yang
ditutup pada tahun 1907, Malasaro Sulawesi Selatan (1874) dan pulau Rote (1841).
Disamping itu di Cisarua-Bandung perusahaan swasta bibit ternak, "General de Wet"
milik Hirchland dan Van Zyl yang didirikan pada tahun 1900, pada tahun 1921 ditunjuk
sebagai rekanan bibit unggul kuda pemerintah.

Sapi - Keturunan Bos sondaicus yang semula tersebar dipulau Jawa, Madura,
Sumatera, Bali dan Lombok, banyak memperoleh perhatian Pemerintah Hindia Belanda.
Selama abad kesembilan belas, persilangan ditujukan terutama terhadap perbaikan mutu sapi
Jawa, yang jumlahnya terbanyak, namun berbadan kecil sehingga kurang cocok untuk ternak
kerja.

Pada tahun 1806 Kontrolir Rothenbuhler di Surabaya, melaporkan bahwa pedagang


ternak di Jawa Timur telah mendatangkan sapi pejantan Zebu dari India untuk dipersilangkan
dengan sapi Jawa. Dalam tahun 1812 tercatat sapi bangsa Zebu yang didatangkan adalah
Mysore, Ongol, Hissar, Gujarat dan Gir untuk dipersilangkan dengan sapi Jawa. Walaupun
persilangan antara sapi Jawa dengan bangsa sapi Zebu ini banyak memperlihatkan hasil yang
baik, namun bukanlah suatu program resmi pemerintah Hindia Belanda, karena dalam abad ke
sembilan belas belum ada dinas resmi yang menangani bidang peternakan. Impor sapi Zebu
dari India tetap dilanjutkan oleh para pengusaha di Jawa Timur dari tahun 1878 hingga tahun
1897, disaat mana impor dihentikan, karena berjangkitnya wabah pes ternak di India. Pada
waktu ini keturunan hasil persilangan telah banyak dengan bentuk tubuh yang lebih besar dari
sapi Jawa.

Sementara itu pada tahun 1889, Residen Kedu Selatan, Burnaby Lautier dengan
bantuan dokter hewan Paszotta melancarkan aksi kastrasi secara besar-besaran terhadap
ternak jantan lokal di Bagelen. Tujuannya, agar pejantan Zebu saja yang digunakan sebagai
pemacak. Walaupun usaha ini ditentang oleh pemerintah pusat Hindia Belanda, pada tahun
1890 asisten residen Schmalhausen mengikuti jejak Lautier untuk daerah Magetan di Jawa
Timur. Ia juga menganjurkan penanaman rumput benggala untuk makanan ternak. Usaha
persilangan sapi Jawa dengan sapi Madura, dilaksanakan oleh kontrolir Van Andel, dibantu oleh
dokter hewan Bosma, di daerah Pasuruan Jawa Timur pada tahun 1891-1892. Persilangan
secara berencana dan besar-besaran barulah dilaksanakan setelah dinas resmi yang menangani
bidang peternakan dibentuk pada tahun 1905 yaitu Burgelijke Veeatsenijkundige Diens (BVD)
sebagai bagian dari Departemen van Landbaouw atau Departemen Pertanian. BVD telah
melaksanakan peningkatan mutu sapi Jawa dengan pelbagai kegiatan ialah :

a. Peningkatan dengan pejantan Jawa

Dari tahun 1905 sampai 1911 dilakukan penyebaran sapi jantan Jawa yang baik ke
daerah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam tahun 1911 usaha ini dihentikan, oleh
karena para petani menginginkan ternak sapi yang lebih kuat dan lebih besar untuk ternak
kerja.

b. Persilangan dengan Sapi Madura

Usaha ini sudah dimulai di akhir abad ke sembilan belas oleh Van Andel. BVD juga
melanjutkan kegiatan persilangan ini di pulau Jawa sampai tahun 1921. Pada saat ini usaha ini
dihentikan, karena kurang memenuhi harapan para petani terhadap ternak kerja.

c. Persilangan dengan Sapi Bali.


Penduduk Jawa Timur terutama di daerah keresidenan Banyuwangi telah lama
mengenal sapi Bali sebagai ternak kerja yang cukup baik. Usaha persilangan sapi Jawa dengan
pejantan Bali dimulai tahun 1908 di Pulau Jawa. Tapi usaha inipun dihentikan pada
tahun 1921, karena angka kematian sapi Bali dan keturunannya yang sangat tinggi oleh
penyakit darah.

d. Persilangan dengan Sapi Zebu

Pengusaha perkebunan di Sumatera Timur telah banyak mendatangkan sapi


Zebu untuk ternak penarik gerobak dan ternak perah di akhir abad kesembilan belas.
Ternyata kemudian ternak sapi tersebut adalah sapi Hissar yang didatangkan ke Pulau
Jawa pada tahun 1905 dan dinamai Sapi Benggala. Namun sapi Hissar yang tiba di
pulau Jawa tidak memuaskan. BVD dalam tahun 1906 dan 1907 telah mendatangkan
sapi Zebu dari India. Dokter hewan Van Der Veen yang diserahi tugas ke India, ternyata
telah memilih Sapi Mysore, yang kurang memenuhi harapan karena kematian yang
tinggi akibat penyakit piroplasmosis dan ternak jantannya sangat agresif.

Pada pembelian di tahun 1908 oleh BVD tiga bangsa sapi dipilih, ialah Ongol,
Gujarat dan Hissar. ternyata Sapi Ongol berkembang baik di Pulau Jawa, Sapi Gujarat
baik di pulau Sumba dan Sapi Hissar baik di pulau Sumatera. Pada tahun 1909 dan 1910
ternyata BVD memutuskan untuk lebih banyak membeli Sapi Ongol. Sampai tahun 1911
perkembangan sapi Ongol lebih baik, sehingga diputuskan memilih sapi Ongol untuk
perbaikan mutu Sapi Jawa. Dari sinilah muncul untuk pertama kalinya Program
Ongolisasi yang dimulai pada tahun 1915, disaat mana pembelian dari India dihentikan
sama sekali. Semua ternak pembelian terakhir ditempatkan di pulau Sumba. Dikemudian
hari ternyata Sapi Ongol dan Gujarat di Sumba berkembang sangat baik, sehingga pulau
Sumba menjadi sumber bibit murni sapi Ongol dan Gujarat yang kemudian dikenal
sebagai sapi Sumba Ongol (SO). Sekarang (Temu, dkk 2017) ternak sapi Ongol di Pulau
Sumba adalah sapi peranakan ongole karena sudah tidak murni lagi sapi Sumba
ongolnya.

e. Persilangan dengan Sapi Eropa

Tiga bangsa sapi Eropa yang banyak digunakan untuk persilangan adalah
Hereford, Shorthorn (Australia) dan Fries Holland (Belanda). Impor Sapi Hereford dan
Shorthorn kemudian dihentikan karena berjangkitnya penyakit paru-paru ganas di
Australia. Sapi Fries Holland sendiri banyak disilangkan dengan sapi Jawa dan sapi
Ongol terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah, karena keturunannya memiliki sifat
yang baik.

f. Sumba Kontrak.

Salah satu bentuk penyebaran bibit ternak sapi Ongol di dalam Program
Ongolisasi, ialah Sumba Kontrak. Sumba Kontrak adalah penempatan dan penyebaran
sapi bibit ongol di pulau Sumba yang dilaksanakan dalam bentuk meminjamkan 12 induk dan
satu pejantan ongol kepada seorang peternak. Pengembalian pinjaman dilakukan oleh
peminjam dengan mengembalikan ternak keturunan dalam jumlah, umur dan komposisi
kelamin yang sama dengan jumlah ternak yang dipinjam, ditambah dengan satu ekor keturunan
(jantan atau betina) untuk setiap tahun selama peternak belum melunasi pinjamannya. Untuk
akad pinjaman ini, peternak menandatangani suatu kontrak dengan pemerintah, yang
kemudian dikenal dengan Sumba Kontrak. Jumlah ternak awal disebut Koppel, sehingga
kemudian hari muncul juga istilah Sapi Koppel. Sumba kontrak secara resmi dimulai pada tahun
1912.

1. Penyebaran ternak

Sistim penyebaran sapi bibit ini tidak hanya berlaku dipulau sumba, tapi diperluas ke
pulau-pulau lain dan meliputi pelbagai jenis ternak : Sapi Bali, Sapi Madura, Kambing, Domba
dan Babi dengan jumlah ternak yang tidak sama untuk satu koppel. Dalam masa dua puluh
tahun (1920 - 1940) penyebaran ternak bibit, terjadi dua kegiatan yang usaha penting yaitu :

• Penyebaran ternak bibit antar pulau dan antar daerah, yaitu penyebaran sapi Ongol dan
peranakan Ongol dari pulau Jawa ke Sumbawa, Sulawesi, Kalimantan Barat dan
Sumatera. Penyebaran sapi Bali dari pulau Bali ke Lombok, Timor, Sulawesi Selatan dan
Kalimantan Selatan. Penyebaran sapi Madura ke pulau Flores dan Kalimantan Timur.
• Penyebaran ternak bibit dan bibit tanaman makanan ternak secara lokal disekitar taman-
taman ternak dipulau Jawa dan Sumatera.
Kerbau.

Ternak kerbau lokal yang dikenal sebagai Kerbau Lumpur sudah sejak dahulu terdapat
diseluruh Nusantara. Dengan kedatangan bangsa India ke Sumatera, dibawa juga kerbau
Murrah yang kini masih banyak terdapat didaerah Sumatera Utara dan Aceh.

Kambing.

Kambing lokal atau kambing kacang telah ada di seluruh Nusantara. Didalam zaman
Hindia Belanda didatangkan juga kambing bangsa India (Ettawah) yang merupakan kambing
perah dan disebarkan hampir diseluruh pantai utara pulau Jawa. Namun persilangan yang
terkenal kini adalah kambing Peranakan Ettawah (PE). Bebarapa bangsa kambing lain juga
didatangkan yaitu : Saanen.

Domba

Ternak domba dibagi dua bangsa yang terkenal yaitu domba ekor gemuk dan domba
lokal lainnya, yang tersebar diseluruh Nusantara. Semua bangsa domba ini adalah tipe daging.
Dizaman Hindia Belanda didatangkan bangsa domba tipe wol misalnya Merino, Ramboillet,
Romney dan tipe daging misalnya Corriedale dan Suffolk. Persilangan bangsa domba wol dan
daging dengan domba lokal Priangan menghasilkan domba yang sangat terkenal diwaktu ini
ialah domba Garut.
Babi

Ternak babi lokal tersebar diseluruh Nusantara. Dizaman Hindia Belanda


didatangkan babi ras dari Eropah yaitu Yorkshire, Veredelde Deutchland Landvarken
(VDL), Tamworth, Veredelde Nederlandsche Landvarken (VNL), Saddleback, Duroc,
Jersey dan Berkshire.

Sapi Perah

Pada permulaan abad ke 20 telah terdapat perusahaan sapi perah dipinggiran


kota-kota besar di Jawa dan Sumatera. Kebanyakan perusahaan adalah milik bangsa
Eropah, Cina, India dan Arab. Hanya sebagian kecil milik penduduk asli. Bangsa sapi
perah yang ada ialah Fries Holland, Jersey, Ayrshire, Dairy Shorthorn dan Hissar.
Kemudian ternyata yang terus berkembang adalah Fries Holland. Bangsa sapi Hissar
masih terus diternakkan didaerah Sumatera bagian Utara dan Daerah Istemewa Aceh.

Ayam

Disamping ayam kampung, di zaman Hindia Belanda telah diperkenalkan ayam


ras tipe petelur misalnya leghorn dan ayam ras tipe pedaging misalnya Rhode Island
Red dan Australorp. Persilangan Autralorp dengan ayam kampung yang terkenal adalah
Ayam kedu.

Itik

Di samping itik lokal, di zaman Hindia Belanda telah didatangkan bangsa itik
Khaki Campbell dan itik Peking. Bangsa itik lokal yang terkenal : adalah itik Tegal, itik
Karawang dan itik Alabio.

Aneka Ternak

Aneka ternak misalnya ternak kelinci, burung puyuh dan burung merpati, belum
memperoleh perhatian pemerintah Hindia Belanda. Kelinci hanyalah digunakan di balai-
balai penelitian sebagai hewan percobaan. disinilah asalnya istilah : Kelinci percobaan.

2. Pengadaan Peraturan

Peraturan-peraturan yang diterbitkan selama masa Hindia Belanda, terbanyak


setelah dibentuk badan resmi yang menangani bidang peternakan dalam tahun 1905.
Semua peraturan tersebut dapat dikelompokan kedalam 4 kelompok, yaitu :

1. Peraturan yang menyangkut pengaman ternak


2. Peraturan yang menyangkut produksi, populasi dan sarana produksi ternak
3. Peraturan yang menyangkut pemotongan ,pajak potong, distribusi, tata niaga dan
sarana-sarana peternakan.
4. Peraturan yang menyangkut bahan-bahan veteriner dan kesehatan masyarakat
Veteriner.
3. Pameran Ternak
Pameran ternak diadakan untuk pertama kali di Blora (1876). Kemudian di
Surabaya(1878), Blora(1887), Bandung(1899). Pada tahun 1906 secara resmi diadakan oleh
BVD di Kebumen dan Bandung.Tujuannya lebih banyak bersifat penyuluhan kepada para
peternak, sehingga ternak yang unggul dapat dijual atau dibeli dengan harga premium.

4. Taman Ternak

Taman ternak pertama didirikan di Karanganyar di desa Pecorotan pada tahun 1909,
namun pada tahun 1912 dipindahkan ke desa Jiladri. Kemudian menyusul pendirian taman
ternak di Bandar (1916), Purworejo(1918), Pengarasan Tegal(1920), Kedu Selatan, Rembang
dan Padang Mangatas(1922). Taman ternak ini merupakan sumber ternak bibit dan sumber
bibit makanan ternak. Beberapa pusat pembibitan ternak kuda dan sapi di Sumatra, kemudian
juga diperluas menjadi taman ternak.

5. Koperasi Peternakan

Koperasi peternakan dianjurkan, terutama didalam pembelian pejantan bersama.


Koperasi peternakan yang pertama didirikan di Salatiga, Kedu dan Tasikmalaya.

6.Sensus Ternak

Dalam tahun 1867 pemerintah di Jawa dan Madura diwajibkan mengadakan sensus
ternak di daerahnya masing-masing. Sensus ternak secara resmi mulai diadakan pada tahun
1905.

7. Pengamanan Ternak

Pengaman ternak merupakan lanjutan dan perluasan kegiatan pemerintah VOC.


Sebelum BVD dibentuk pada tahun 1905, kegiatan pencegahan dan pemberantasan penyakit,
dilakukan oleh dokter-dokter hewan yang didatangkan sejak tahun 1820 sebagai penasehat
pemerintah. Namun sejak BVD lahir, pencegahan dan pemberantasan penyakit secara resmi
ditangani pemerintah Hindia Belanda.

8. Pengadaan Ternak

Sarana peternakan yang dimaksudkan disini adalah : tanah pangonan, pasar hewan,
karantina, rumah potong hewan, kapal hewan.

9. Produksi Sera dan Vaksin

Produksi Sera dan Vaksin untuk ternak terutama diadakan oleh Balai Penyelidikan
Penyakit Hewan yang didirikan di Bogor.

10. Pendidikan dan Penelitian


Sekolah dokter hewan pertama didirikan pada tahun 1860 di Surabaya, tapi
karena kurang peminat, maka ditutup pada tahun 1875. Baru pada tahun 1907 dibuka
kembali di Bogor. Sekolah Menengah Kehewanan didirikan di Malang dan Bogor.
Pendidikan Mantri Hewan ditangani langsung oleh Jawatan Kehewanan diwaktu itu.
Penyelidikan penyakit hewan ditangani dengan dibangun Balai Besar Penyakit Hewan
dan Balai Penelitian Peternakan di Bogor, Balai Penyelidikan Penyakit Mulut dan Kuku di
Surabaya.

Dari catatan sejarah dapat disimpulkan bahwa pengembangan peternakan masa


itu dapat disejajarkan dengan tuntutan perekonomian negara. Pendirian pabrik gula
(1830-1835) banyak memerlukan ternak sebagai tenaga kerja. Untuk itu diimpor ternak
dengan konsekuensi timbulnya berbagai wabah penyakit seperti penyakit Ngorok
(Septichaemia Epizotica, 1884) di Jawa Barat, Anthrax (1884) di Lampung, Surra (1886)
di Jawa Barat, penyakit Mulut dan Kuku (1884) di Jawa Timur dan Rabies (1989) di
Jawa Barat.

Untuk itu tahun 1841 dibentuk semacam Dinas Kehewanan didaerah-daerah dan
tahun 1905 dibentuk Jawatan Kehewanan Pusat (Buurgelijk Veeartsenijkundige Diest
atau BVD). Pada tahun yang bersamaan pemerintah Belanda melakukan survei
kemiskinan Jawa dan Madura. Tindak lanjut hasil survei mulai dilaksanakan impor
ternak. Namun dengan konsekuensi terbawa penyakit ternak sehingga menimbulkan
wabah yang sangat merugikan seperti Rinderpest (1912). Untuk itu pemerintah Belanda
menerbitkan Ordonansi yang mengatur Campur Tangan Pemerintah pada Urusan
Peternakan dan Kesehatan Hewan ( Ordonansi No.432 tahun 1912). Pada tahun 1935 di
Bogor didirikan Sekolah Dokter Hewan yang pertama.

4.2.1.3 Masa Penjajahan Jepang


Pada masa penjajahan Jepang pembinaan peternakan hampir tidak dilakukan bahkan
untuk kepentingan konsumsi terjadi pemotongan yang berlebihan sehingga mengakibatkan
pengurasan populasi ternak sapi dari 4.604 ribu ekor menjadi 3.840 ribu ekor atau turun 16,5
persen, kuda dari sekitar 740 ribu ekor menjadi 500 ribu ekor atau turun 32 persen, kambing
dari sekitar 7.600 ribu ekor menjadi 6.100 ribu ekor atau turun 20 persendan babi dari sekitar
1.320 ribu ekor menjadi 530 ribu ekor atau turun 60 persen.

4.2.2 Sejarah Perkembangan Peternakan Zaman Kemerdekaan.


4.2.2.1. Masa Pra-Pelita

Sebelum masa Pelita terdapat dua konsep pembangunan yakni Rencana


Kasimo (27 November 1947) dan Pembangunan Semesta Berencana (1961-1969).
Pembangunan Peternakan diarahkan kepada pemenuhan bahan makanan yang cukup.
Program penggalakan minum susu di berbagai daerah dimasyarakatkan dengan slogan
Empat Sehat Lima Sempurna
Pada Rencana Kasimo diberikan prioritas pada peningkatan bahan pangan rakyat
termasuk komoditi peternakan. Kenaikan beberapa populasi ternak per tahun
diproyeksikan seperti sapi sekitar 4%, kerbau 2%, kambing 5% dan babi 10%. Diberbagai
daerah dibangun Taman Ternak dalam rangka program Rencana Kemakmuran Indonesia (RKI),
sebagai sumber pembibitan ternak didaerah-daerah.

Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana memberikan prioritas kepada


penyediaan bahan pangan. Sasaran diberikan kepada swasembada beras. Diberikan pula
perhatian kepada penyediaan protein baik nabati maupun hewani (kedelai, peternakan ayam).
Ditetapkan standar konsumsi protein hewani 8 gram perkapita perhari. Karena situasi dan
kondisi perekonomian pada kurun waktu tersebut tidak memungkinkan, maka praktis kedua
rencana pembangunan tersebut tidak dapat dilaksanakan.

Pada tahun 1967 lahir Undang-undang No.6 tentang Pokok-pokok Peternakan dan
Kesehatan Hewan, dan pada tahun yang sama dilakukan Survei Inventarisasi Hewan (SIH)
Nasional.

4.2.2.2 Masa Pelita

Sejalan dengan kelahiran Orde Baru (1969) dilaksanakan penataan kembali kehidupan
berbangsa dan bernegara sesuai dengan cita-cita kemerdekaan antara lain menghantar bangsa
Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.

• Pada tahun 1989 Indonesia diakui Internasional dari Bebas Penyakit Mulut dan Kuku.
• Pelaksanaan pembangunan peternakan dilaksanakan melalui 3 evolusi pendekatan yaitu :
teknis, terpadu dan agribisnis
• Panca Usaha Ternak menjadi Sapta Usaha Ternak
• Penerapan teknologi produksi, ekonomi dam sosial melahirkan program yang dikenal sebagai
:
• Pilot Proyek Bimas unggas
• Panca Usata Ternak Potong ( PUTP )
• Pengembangan Usaha Sapi Perah ( PUSP )
• Intensifikasi Ayam Buras ( INTAB )
• Intensifikasi Ternak Kerja ( INTEK )
• Industri Peternakan Rakyat ( INNAYAT )
• Perusahan Inti Rakyat (PIR) Ternak Potong
• Perusahan Inti Rakyat (PIR) Bakalan
• Perusahan Inti Rakyat (PIR) Penggemukkan
• Perusahan Inti Rakyat (PIR) Pakan
• Perusahan Inti Rakyat (PIR) Saham.

4.2.7.3. Masa Reformasi

Lahir UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.


Daftar Pustaka.
Demchick, M. dan E. Streed. 2002. Non-timber Forest Products and Implication for Forest
Managers : Use, Collection, and Growth of Berriers, Fruits, and Nuts. University of
Minnesota Extention Service, 405 Coffey Hall.
Ditjen Peternakan Jakarta, Sekelumit Sejarah Usaha Peternakan Di Indonesia
Evans, L.T. 1996. Crops Evolution, Adaptation, and Yield. Combridge Univ.
Press.http://en.wikipedia.org/wiki/Wildcraftinghttp://www.na.fs.fed.us/stewardship/faq/
04standimprove.html)
Keraf, A.S. dan M.Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan; Sebuah Tinjauan Fisolofis. Penerbit
Kanisius. p: 158.
King, J. dan D. Stabinsky.1998. Biotechnology under globalisation: The Corporate
Expropriation of Plant, Animal and Microbial Species. http://hornacek.coa.edu/
dave/Reading/race.html.
Leakey, R.B.B. 1999. Potential for Novel Food Products From Agroforestry Trees : A Review.
Food Chemistry 66 : 1 – 14.
Mandey, C.F.T. 2000. Pengetahuan. http://www.sulutlink.com/ termpaper3.htm.
Nasoetion, A.H. 1999. Pengantar ke Filsafat Sains. Litera Antar Nusa. Jakarta.
Pullin, R.S.V. 1994. Exotic Species and Genetically Modified Organisms in Aquaculture and
Enchanced Fisheries : ICLARM’s Position. NAGA, the ICLARM Quarterly. 17(4): 19 – 24.
Simon, A.J. 1996. ICRAF’s Strategy for Domestication of Non-Wood Tree Products.
http://.www.fao.org/docrep/w3735e/3735eo7.htm.
Suriasumantri, J.S. 2000. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Cetakan XIII. Pustaka
Sinar Harapan.
Temu, S.T.; H.P. Nastiti; H.T. Handayani; H.T.Pangestuti; D.B. Osa.,2017. Kualitas
Rumput pada Padang Penggembalaan Alam di Kecamatan Katiku Tana Selatan
Kabupaten Sumba Tengah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Nasional
Peternakan III.Neo Hotel Kupang.
Thoyibi, M. 1999. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya. Mohammadiyah University Press.
Surakarta. p:105
Wallack, B. 2001. The Great Mirror : An Introduction to Human Geography.
http://geography.ou.edu/courses/1103bw/domestication.html.
Wapedia.mobi/id/Domestikasi
Williamson, G. dan W. J. A. Payne. 1994. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah
Mada University Press, Yoyakarta (Diterjemahkan oleh SGN Djiwa Darmadja).
Zairin, M.Jr. 2003. Endokrinologi dan Perannya Bagi Masa Depan Perikanan Indonesia.
Orasi Ilmiah Gurubesar FPIK IPB.

A. KAITAN PETERNAKAN DENGAN DISIPLIN ILMU LAIN DI UNIVERSITAS NUSA


CENDANA
1. Kaitan peternakan dengan disiplin ilmu di Fakultas Hukum Undana
Contohnya:
a. Regulasi peternakan diIndonesia
b. Regulasi pemisahan wilayah peternakan dengan pertanian dan pariwisata
c. Regulasi lainnya:Perdes, Perda Kabupaten/Kota, BUMDES/koperasi dibidang
peternakan
d. Undang-undang No.18 Tahun 2009, tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
e. Undang-UndangNo.6Tahun1967,tentangPeternakandanKesehatan
f. PeraturanPemerintahNo:16tahun1977tentangUsahaPeternakan
g. Permentan Nomor 54Tahun2006 tentang Pedoman Pembibitan Sapi Potong Yang
Baik(Good Breeding Practice)

2. Kaitan peternakan dengan disiplin ilmu diFakultas Ekonomi dan Bisnis Undana
Contohnya:
a. Bagaimana peranternak dalam meningkatkan ekonomi masyarakat,PAD
Kabupaten/Kota dilahan kering
b. Mendirikan BUMDES dan koperasi dari sektor peternakan dan yang lainnya.
c. Kredit UKM dan Utdari berbagai bank (BNI,BRI,dan lain-lain untuk modal
Pemeliharaan ternak tanpa agunan atau dengan agunan)
d. Industri Pariwisata seperti pacuan kuda yang dapat mendatangkan
pendapatan untuk berbagai pihak
e. Ternak adalah tabungan yang tak kelihatan tapi tetap ada baik itu di padang
penggembalaan maupun di pekarangan.
f. Promosi pangan lokal seperti daging Sei,abon sapi,dendeng manis,
dendeng kering dari sumba,kerupuk kulit

3. Kaitan peternakan dengan disiplin ilmu pada Fakultas Pertanian


Contohnya:
a. Bagaimana hasil pertanian dalam bentuk limbah digunakan untuk makanan ternak
b. Limbah tersebut seperti jerami padi, jagung, kacang kedele,kacang hijau,kacang nasi dan
lain-lain
c. Urin dan kotoran ternak digunakan sebagai pupuk kandang untukproduk-produk pertanian
tanaman pangan,sayur-sayuran,buah-buahan.

4. Kaitan peternakan dengan disiplin ilmu pada Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan
Contohnya:
a. Bagaimana alumni FKIP nantinya mengajarkan ke siswa SD,SMP, SMA atau perguruan
tinggi mengenai peranlahan kering dan peternakan untuk siswa-siswi tersebut seperti
daging ternak merupakan sumber protein hewani untuk anak didik,balita dan yang
lainnya
b. Menjadikan ternak sebagai alat peraga berupa gambar maupun fisik
ternak untuk diperkenalkan keanak didik
c. Membuat animasi dari ternak untuk berbagai kepentingan proses belajar mengajar di
kelas maupun di luar kelas.

5. Kaitan peternakan dengan disiplin ilmu pada Fakultas Kesehatan Masyarakat


Contohnya:
a. Ternak dipelihara dijadikan sebagai sumber gizi keluarga yang seimbang(Preventif)
b. Ternak dijadikan hiburan bagi anak-anak maupun orang dewasa seperti pacuan
kuda,kontes ternak
b. Untuk kesehatan lingkungan ternak yang dipelihara harus tetap dijaga kebersihannya.

6. Kaitan peternakan dengan disiplin ilmu pada fakultas kedokteranManusia


Contohnya:
a. Agar tidak sakit misalnya makan daging yang secukupnya bagi pasien darah tinggi
b. Memelihara ternak di pekarangan harus selalu bersih karena akan mendatangkan penyakit
pada manusia
c. Bagi manusia yang sudah lanjut usia agar jangan mengkonsumsi jeroan ternak karena akan
menyebabkan asam urat

7. Kaitanpeternakandengandisiplinilmupadafakultas KedokteranHewan
Contohnya:
a. Tindakan kuratif terhada pternak
b. Tindakan preventif terhadap ternak

8. Kaitan peternakan dengan disiplin ilmu pada Fakultas Sains danTeknik


Contohnya:
a. Kimia: daging ternak agar sehat tidak boleh memberikan pakan yang berbahan
kimia sintetik
b. Pencemaran terhadap daging dari bahan B3 perlu dikelola
c. Fisika:kalau pelihara ternak hindari kebisingan dikandang maupun sekitarnya dapat
diukur dengan menggunakan deteksi kebisingan dengan sound level meter kira-kira
berapa desibel(dBA),kualitasu darah arus sesuai standart baku mutu
d. Sipil: bahan kandang ternak yang sesuai dan ternak nyaman berada dikandang
tersebut misalnya ventilasi, kemiringan lantai,bahan bangunan dan lain-lain
e. Arsitektur:gambar kandang sesuai kebutuhan dan jenis ternak dilahan
kering,pemetaan wilayah peternakan dan pertanian serta peruntukan lainnya

9. Kaitan peternakan dengan disiplin ilmu pada fakultas ilmu sosial dan politik Sosiologi:
pendekatan sosial untuk memotivasi masyarakatdalammemelihara ternak.
Contohnya :
a. Tata Niaga: perhitungan penyusutan berat badan ternak yang diantar pulaukan
dari pelabuhan tenau atau NTT kepulau Jawa termasuk tataniaga peternakan
dengan ekaligus perhitungan biaya-biayanya.
b. Politik:ternak dijadikan prestise dalam kegiatan-kegiatan politik dipedesaan
maupun perkotaan
c. Budaya: dalam upacara adat ternak selalu digunakan sebagai alat dan
bahan untuk persembahan

10.Kaitan peternakan dengan disiplin ilmu pada Fakultas Perikanan dan Kelautan
Contohnya :
a. Ternak dapat merusak ekosistem bakau di pesisir
b. Limbah ikan yang tidak dikonsumsi oleh manusia dapat dijadikan tepung
ikan untuk ransum ternak
c. Kolaborasi antara perikanan, peternakan,dan pertanian seperti mina padi ayam
d. Sistem peternakan terpadu.
GAMBAR TERNAK
1 Ayam Bangkok Ayam Hutan Kelabu
Ayam Hutan Hijau
Ternak Ayam

Ayam Hutan Merah

Ayam Pelung

Ayam Walik
Ternak Babi
Babi Yorkshire

Babi Bali Babi Nias


Ternak Domba

Domba Ekor Gemuk


Ternak Itik

Domba Ekor Gemuk

Itik Manila Itik Bali

Itik Tegal Itik Rauan


Ternak Kambing

KambingPeranakanEtawahJa Kambing Etawah


Kambing Kacang
waranduBligon Jamunapari
Ternak Kelinci

Kelinci Himalaya Kelinci Angora Kelinci Rex


Ternak Kuda

Kuda Palamino Kuda Shire Kuda Appalosa


KudaThoroughbred KudaArab
KudaWelshPony
Ternak Merpati
Ternak Merpati

Sapi Peternakan Ongole Sapi Madura Jantan

Sapi Ongole Murni Sapi Bali Betina


Sapi Bali Jantan SapiBrahmanCross(BX)jantan

Sapi Brahman Jantan SapiGratPeranakanFH


Daftar Pustaka
Maranatha, G., Riwu. A. R., Lestari, G. A. Y., Modul Pengantar Ilmu Peternakan fakultas
Peternakan Universitas Nusa Cendana, 2010.

Temu, S.T., Makalah Materi Peternakan Untuk Penyempurnaan Bahan Ajar Blok Pertanian Pada
Pertemuan Mata Kuliah Penciri Universitas Nusa Cendana Budaya Lahan Kering
Kepulauan Dan Pariwisata. Hotel T-More 29-30 November 2017. Kupang.
BAGIAN II. MATERI KEPULAUAN
BAB V. POTENSI SUMBERDAYA PERAIRAN

5.1 Wilayah Pesisir dan Lautan

Menurut Dahuri, dkk (1996), wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara daratan
dan lautan. Selanjutnya menurut Bengen (2001), wilayah pesisir adalah wilayah dimana
daratan berbatasan dengan laut. Batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air
maupun tidak tergenang air yang masih dipengaruhi proses-proses laut seperti pasang
surut, angin laut dan intrusi garam, sedangkan batas di laut ialah daerah-daerah yang
dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air
tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di
daratan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki
dua macam batas (boundaries), yaitu batas sejajar garis pantai (longshore) dan batas tegak
lurus terhadap garis pantai (crossshore).
Menurut Damar (2006), batas wilayah pesisir kearah darat secara ekologis dimana
kawasan daratannya dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang surut, interusi air
laut, dan lain-lain. Secara administratif batas terluar sebelah hulu dari desa pantai atau jarak
definitif secara arbitrer (2km, 20km, dan seterusnya dari garis pantai), sedangkan dari segi
perencanaan tergantung pada permasalahan atau substansi yang menjadi fokus pengelolaan
wilayah pesisir.
Batas kearah laut dimana secara ekologis termasuk kawasan laut yang masih
dipengaruhi oleh proses-proses alamiah di darat (aliran air sungai, run off, aliran air tanah, dan
lain-lain), atau dampak kegiatan manusia di darat (bahan pencemar, sedimen, dan lain-lain);
atau kawasan laut yang merupakan paparan benua (continental shelf). Secara administratif
mempunyai batas 4 mil, 12 mil, an setreusnya dari garis pantai ke arah laut, sedangkan dari
segi perencanaan tergantung pada permasalahan atau substansi yang menjadi fokus
pengelolaan wilayah pesisir.
Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah yang unik karena merupakan tempat
percampuran pengaruh antara darat, laut dan udara (iklim). Pada umumnya wilayah pesisir
dan khusunya perairan estuaria mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi, kaya akan unsur
hara dan menjadi sumber zat organik yang penting dalam rantai makanan di laut. Namun
demikian, perlu dipahami bahwa sebagai tempat peralihan antara darat dan laut, wilayah pesisir
ditandai oleh adanya gradient perubahan sifat ekologi yang tajam, dan karenanya merupakan
wilayah yang peka terhadap gangguan akibat adanya perubahan lingkungan dengan fluktuasi di
luar normal. Dari segi fungsinya, wilayah pesisir merupakan zona penyangga (buffer zone) bagi
hewan-hewan migrasi.
Laut adalah kumpulan air asin dalam jumlah yang banyak dan luas yang menggenangi
dan membagi daratan atas benua atau pulau. Jadi laut adalah merupakan air yang menutupi
permukaan tanah yang sangat luas dan umumnya mengandung garam dan berasa asin
(Suwito, 2012)

5.2 Klasifikasi Wilayah Pesisir dan Laut


Batasan wilayah pesisir terbagi menjadi dua subsistem, yaitu daratan pesisir
(shoreland), dan perairan pesisir (coastal water), keduanya berbeda tetapi saling berinteraksi.
Secara ekologis daratan pesisir sangat kompleks dan mempunyai nilai sumberdaya yang
tinggi. Namun demikian yang perlu diperhatikan adalah sistem perairan pesisir dan
pengaruhnya terhadap daya dukung (carrying capacity) ekosistem wilayah pesisir. Pengaruh
daratan pesisir terhadap perairan pesisir terutama terjadi melalui aliran air (runoff).
Klasifikasi daratan pesisir berdasarkan susunan vegetasi , maka daratan pesisir terdiri
atas :
1. Formasi Pes-Carpae
Daratan pesisir berupa pantai pasir atau batu karang. Komunitas pes-carpae terdiri dari
tumbuhan merayap atau berimpang seperti Canavalia obtusifolia, Spinifex littoreus,
Euphorbia atoto.
2. Formasi Baringtonia seperti katapang, dan lain-lain
Klasifikasi perairan pesisir secara fungsional terdiri atas (a) perairan estuari : sungai
pasang surut (tidal river), teluk, embayment, laguna; (b) perairan pantai, dan (c) perairan
samudera.
Klasifikasi wilayah pesisir menurut komunitas hayati terdiri atas : (a) ekosistem litoral
seperti pantai pasir dangkal, pantai berbatu, pantai berkarang, pantai berlumpur, (b) hutan
payau (mangrove), (c) vegetasi terna rawa payau (salt marsh) terletak di belakang hutan
mangrove, (d) hutan rawa air tawar tergenang sepanjang tahun terdapat pada hilir sungai,
dan (e) hutan rawa gambut.
Menurut Romimohtarto dan Juwana (2009), lingkungan laut dapat dibagi menjadi 2
bagian utama yaitu lingkungan pelagik meliputi seluruh kolom air dimana tumbuh-tumbuhan
dan hewan mengapung atau berenang, sedangkan lingkungan bentik meliputi semua
lingkungan dasar laut dimana biota laut bisa hidup melata, membenamkan diri atau meliang,
mulai dari pantai sampai ke dasar laut yang paling dalam.
Menurut Nybakken (1988), klasifikasi ekosistem laut terdiri atas dua bagian yaitu ke
arah vertikal dan horisontal. Seluruh daerah perairan terbuka disebut kawasan pelagik.
Organisme pelagik adalah organisme yang hidup di laut terbuka lepas dari dasar laut,
sedangkan kawasan bentik adalah wilayah dasar laut mulai dari pinggir pantai sampai dasar
laut yang paling dalam di samudera. Secara horizontal kawasan pelagik dibagi menjadi dua
darah (zona) yaitu laut pesisir (zona neritik) mencakup massa air yang terletak di atas paparan
benua, dan laut lepas (lautan/zona oseanik) adalah seluruh perairan di atas dasar laut yag
terletak di luar landas benua. Secara vertikal terdiri atas (a) zona fotik/zona epipelagis
berada pada kedalaman antara 50 -150 m dimana zona ini masih dapat ditembusi oleh cahaya,
dan zona afotik pada kawasan permukaan/pelagis terdiri atas zona mesopelagis dengan
kedalaman antara 700 -1000 m, zona batipelagis berada pada kedalaman antara antara 700 -
1000 m dan 2000 - 4000 m, zona abisal pelagis terletak pada kedalaman kurang 6000 m , dan
zona hadal pelagis terletak pada kedalaman 6000 – 10.000 m; (b) zona bentik terdiri atas (1)
zona fotik meliputi zona litoral/intertidal dan zona sublitoral/paparan , (2) zona afotik pada
kawasan dasar laut/bentik meliputi zona batial dengan kedalaman 4000 m, zona abisal
terletak pada kedalaman 4000 - 6000 m, dan zona hadal terletak pada kedalaman 6000-10.000
m.
Klasifikasi Jenis laut berdasarkan sebab terjadinya, maka laut dibagi atas (1)
laut Ingresi adalah laut yang terjadi karena penurunan dasar laut dengan kedalaman 200
meter lebih, (2) laut transgresi adalah laut yang terjadi karena terjadi peninggian permukaan
air laut yang memiliki kedalaman kurang dari 200 meter, dan (3) laut regresi adalah laut yang
terjadi ada karena proses sedimentasi lumpur daratan yang masuk ke laut akibat erosi daratan.
Selanjutnya klasifikasi laut berdasarkan letak, maka laut dibagi atas (1) laut tepi adalah
laut yang ada di tepi benua, (2) laut pedalaman adalah laut yang dikelilingi oleh daratan benua
yang hampir seluruhnya terkepung benua, dan (3) laut tengah adalah laut yang ada di
tengah-tengah antara benua.
5.3 Pulau – Pulau Kecil Terluar di Indonesia

Berdasarkan UNCLOS, 1982, Pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami,
dikelilingi oleh air dan selalu berada/muncul di atas air pasang (IHO, 1993). Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia dikatakan pulau adalah daratan yang dikepung/terendam air.
Kepulauan adalah gugusan beberapa pulau/ gugusan pulau-pulau. NTT disebut sebagai
provinsi kepulauan karena provinsi NTT terdiri dari gugusan pulau-pulau baik pulau besar
maupun kecil. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Tahun 2000 Tentang
Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Dan Berbasis Masyarakat
menyebutkan bahwa ” Pulau-Pulau Kecil / Gugusan Pulau-Pulau Kecil adalah kumpulan pulau-
pulau yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi, sosial dan budaya,
baik secara individual maupun sinergis dapat meningkatkan skala ekonomi dan pengelolaan
sumberdayanya”. Menurut UU RI No. 27 Tahun 2007, Pulau Kecil adalah pulau dengan luas
lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan
ekosistemnya.
Hasil inventarisasi pulau-pulau kecil terluar oleh DISHIDRO TNI AL, ditemukan Indonesia
memiliki 92 pulau terluar. Pulau-pulau terluar tersebut berbatasan langsung dengan negara-
negara tetangga mulai dari Malaysia, Vietnam, Filipina, Palau, Australia, Timor Leste, India,
Singapura, dan Papua Nugini. Daftar 92 pulau terluar di Indonesia ditetapkan berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar. Pulau
– pulau kecil terluar tersebut dapat di lihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pulau – Pulau Kecil Terluar di Indonesia
Titik Koordinat Berbatasa
No Daftar Pulau Lintang (LS) Letak n Dengan
dan Bujur (BT) Neggara
8° 13′ 50″
1 Pulau Alor Selat Ombai (Kabupaten Alor, NTT) Timor Leste
125°7′55″
5° 35′ 42'' Laut Aru; (Kabupaten Maluku
2 Pulau Ararkula Australia
134°49′5″ Tenggara, Maluku)
8° 3′ 7″ Laut Timor; (Kabupaten Maluku
3 Pulau Asutubun Timor Leste
131°18′2″ Tenggara Barat, Maluku)
1° 2′ 52″ Laut Sulawesi; (Kabupaten Bolaang
4 Pulau Bangkit Filipina
123°6′45″ Mongondow, Sulawesi Utara)
8° 30′ 30″ Samudra Hindia; (Kabupaten
5 Pulau Barung Australia
113°17′37″ Jember, Jawa Timur).
8° 20′ 30″ Laut Timor; (Kabupaten Maluku
6 Pulau Batarkusu Timor Leste
130°49′16″ Tenggara Barat, Maluku).
9° 15′ 30″ Laut Sawu; (Kabupaten Kupang,
7 Pulau Batek Timor Leste
123°59′30″ NTT)
Laut Sulawesi; (Kabupaten
Pulau Batu 4° 44′ 46″
8 Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara); Filipina
Bawaikang 125°29′24″
Filipina
Pulau Batu 1° 11′ 6″ Selat Singapura; (Kota Batam,
9 Singapura
Berhanti 103°52′57″ Kepulauan Riau)
7° 57′1″ Laut Aru; (Kabupaten Maluku
10 Batu Goyang Australia
134°11′38″ Tenggara, Maluku)
5°53′45″ Samudra Hindia; (Kabupaten
11 Pulau Batu Kecil India
104°26′26 Tanggamus, Lampung)
2° 52′ 10″ Selat Malaka; (Kabupaten Bintan,
12 Pulau Batu Mandi Malaysia
100° 41′ 5″ Kepulauan Riau)
5° 47′ 34″ Samudra Hindia; (Kota Sabang,
13 Pulau Benggala India
94° 58′ 21″ Nanggroe Aceh Darussalam)
0° 23′ 38″ Samudra Pasifik; (Kabupaten Biak
14 Pulau Bepondi Palau
135° 16′ 27″ Numfor, Papua)
3° 46′ 38″ Selat Malaka; (Kabupaten Deli
15 Pulau Berhala Malaysia
99° 30′ 3″ Serdang, Sumatra Utara)
0° 55′ 57″ Samudra Pasifik; (Kabupaten Biak
16 Pulau Bras Palau.
134° 20′ 30″ Numfor, Papua)
0° 32′ 8″ Samudra Pasifik; (Kabupaten
17 Pulau Budd Palau
130° 43′ 52″ Sorong, Irian Jaya Barat)
2° 44′ 29″ Laut Natuna; (Kabupaten Natuna,
18 Pulau Damar Malaysia
105° 22′ 46″ Kepulauan Riau)
Pulau Dana 11° 0′ 36″ Samudra Hindia; (Kabupaten
19 Australia
(Ndana) 122° 52′ 37″ Kupang, Nusa Tenggara Timur)
10° 50′ 0″ Samudra Hindia; (Kabupaten
20 Pulau Dana Australia
121° 16′ 57″ Kupang, Nusa Timur)
7° 1′ 0″ Samudra Hindia; (Kabupaten
21 Pulau Deli Australia
105° 31′ 25 Pandeglang, Banten)
1° 22′ 40″ Laut Sulawesi; (Kabupaten Toli-Toli,
22 Pulau Dolangan Malaysia
120° 53′ 4″ Sulawesi Tengah)
5° 31′ 13″ Samudra Hindia; (Kabupaten
23 Pulau Enggano India
102° 16′ 0″ Bengkulu Utara, Bengkulu)
7° 6′ 14″ Laut Arafuru; (Kabupaten Maluku
24 Pulau Enu Australia
134° 31′ 19″ Tenggara, Maluku)
1° 4′ 28″ Samudra Pasifik; (Kabupaten
25 Pulau Fani Palau
131° 16′ 49″ Sorong, Irian Jaya Barat)
0° 56′ 22″ Samudra Pasifik; (Kabupaten Biak
26 Pulau Fanildo Palau
134° 17′ 44″ Numfor, Papua)
Pulau Gosong 3° 59′ 25″ Laut Sulawesi; (Kabupaten Nunukan,
27 Malaysia
Makasar 117° 57′ 42″ Kalimantan Timur
4° 38′ 38″ Laut Sulawesi; (Kabupaten
28 Pulau Intata Filipina
127° 9′ 49″ Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara)
1° 11′ 30″ Selat Malaka; (Kabupaten Karimun,
29 Pulau Iyu Kecil Malaysia
103° 21′ 8″ Kepulauan Riau)
0° 43′ 39″ Laut Halmahera; (Halmahera,
30 Pulau Jiew Palau
129° 8′ 30″ Maluku Utara)
4° 37′ 36″ Samudra Pasifik; (Kabupaten
31 Pulau Kakarutan Filipina
127° 9′ 53″ Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara)
7° 1′ 8″ (Kabupaten Maluku Tenggara,
32 Pulau Karang; Australia
134° 41′ 26″ Maluku)
6° 0′ 9″ Laut Aru; (Kabupaten Maluku
33 Pulau Karaweira Australia
134° 54′ 26″ Tenggara, Maluku)
Pulau Karimun 1° 9′ 59″ Selat Malaka; Kabupaten Karimun,
34 Malaysia
Kecil 103° 23′ 20″ Kepulauan Riau
35 Pulau Kawalusu 4° 14′ 6″ Laut Sulawesi; (Kabupaten Filipina
125° 18′ 59″ Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara)
4° 40′ 16″ Laut Mindanao; (Kabupaten
36 Pulau Kawio Filipina
125° 25′ 41″ Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara)
2° 38′ 42″ Laut Natuna; (Kabupaten Natuna,
37 Pulau Kepala Malaysia
109° 10′ 4″ Kepulauan Riau)
8° 6′ 10″ Selat Wetar; (Kabupaten Maluku
38 Pulau Kisar Timor Leste
127° 8′ 36″ Tenggara Barat, Maluku)
8° 12′ 49″ Laut Aru; (Kabupaten Merauke,
39 Pulau Kolepon Australia
137° 41′ 24″ Papua)
Pulau Kultubai 6° 49′ 54″ Laut Aru; (Kabupaten Maluku
40 Australia
Selatan 134° 47′ 14″ Tenggara, Maluku)
Pulau Kultubai 6° 38′ 50″ Laut Aru; (Kabupaten Maluku
41 Australia
Utara 134° 50′ 12″ Tenggara, Maluku)
5° 23′ 14″
42 Pulau Laag Laut Aru; (Irian Jaya Timur, Papua) Australia
137° 43′ 7″
7° 14′ 26″ Laut Aru; (Kabupaten Maluku
43 Pulau Larat Australia
131° 58′ 49″ Tenggara Barat, Maluku)
8° 14′ 20″ Laut Timor; (Kabupaten Maluku
44 Pulau Leti Timor leste
127° 37′ 50″ Tenggara Barat, Maluku)
1° 34′ 26″ Samudra Pasifik; (Kabupaten Papua
45 Pulau Liki
138° 42′ 57″ Jayapura, Papua) Nugini
0° 59′ 55″ Selat Makasar; (Kabupaten Toli-Toli,
46 Pulau Lingian Malaysia
120° 12′ 50″ Sulawesi Tengah)
8° 3′ 50″ Selat Wetar; (Kabupaten Maluku
47 Pulau Liran; Timor Leste
125° 44′ 0″ Tenggara Barat, Maluku)
2° 44′ 15″ Laut Sulawesi; (Kabupaten
48 Pulau Makalehi Filipina
125° 9′ 28″ Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara)
3° 5′ 32″ Laut Natuna; (Kabupaten Natuna,
49 Pulau Mangkai; Malaysia
105° 35′ 0″ Kepulauan Riau)
10° 20′ 8″ Samudra Hindia; (Kabupaten Sumba
50 Pulau Mangudu Australia
120° 5′ 56″ Timur, Nusa Tenggara Timur)
1° 45′ 47″ Laut Sulawesi; (Kabupaten Bolaang
51 Pulau Manterawu Filipina
124° 43′ 51″ Mongondow, Sulawesi Utara)
7° 49′ 11″ Samudra Hindia; (Kabupaten
52 Pulau Manuk Australia
108° 19′ 18″ Tasikmalaya, Jawa Barat)
4° 46′ 18″ Laut Sulawesi; (Kabupaten
53 Pulau Marampit Filipina
127° 8′ 32″ Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara)
2° 15′ 12″ Laut Sulawesi; (Kabupaten Berau,
54 Pulau Maratua Malaysia
118° 38′ 41″ Kalimantan Timur)
4° 44′ 14″ Laut Sulawesi; (Kabupaten
55 Pulau Marore Filipina
125° 28′ 42″ Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara)
8° 13′ 29″ Laut Timor; (Kabupaten Maluku
56 Pulau Masela Timor Lest
129° 49′ 32″ Tenggara Barat, Maluku)e
Pulau 8° 21′ 9″ Laut Timor; (Kabupaten Maluku
57 Timor Leste
Meatimiarang 128° 30′ 52″ Tenggara Barat, Maluku)
4° 1′ 12″ Samudra Hindia; (Kabupaten
58 Pulau Mega; India
101° 1′ 49″ Bengkulu Utara, Bengkulu)
5° 34′ 2″ Laut Sulawesi; (Kabupaten
59 Pulau Miangas Filipina
126° 34′ 54″ Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara)
0° 20′ 16″ Samudra Pasifik; (Kabupaten
60 Pulau Miossu Palau
132° 9′ 34″ Sorong, Irian Jaya Barat)
1° 9′ 13″ Selat Singapura; (Kota Batam,
61 Pulau Nipa Singapura
103° 39′ 11″ Kepulauan Riau)
1° 12′ 29″ Selat Singapura; (Kota Batam,
62 Pulau Nongsa Singapura
104° 4′ 47″ Kepulauan Riau)
Pulau 7° 47′ 5 Samudra Hindia; (Kabupaten
63 Australia
Nusakambangan 109° 2′ 34 Cilacap, Jawa Tengah)
6° 19′ 26″ Laut Aru; (Kabupaten Maluku
64 Pulau Panambulai Australia
134° 54′ 53″ Tenggara, Maluku)
8° 22′ 17″ Samudra Hindia; (Kabupaten
65 Pulau Panehan Australia
111° 30′ 41″ Trenggalek, Jawa Timur)
1° 7′ 44″ Selat Singapura; (Kota Batam,
66 Pulau Pelampong Singapura
103° 41′ 58″ Kepulauan Riau)
4° 52′ 33″ Samudra Hindia; (Kabupaten Aceh
67 Pulau Raya India
95° 21′ 46″ Barat, Nanggroe Aceh Darussalam)
6° 4′ 30″ Samudra Hindia; (Kota Sabang,
68 Pulau Rondo India
95° 6′ 45″ Nanggroe Aceh Darussalam)
5° 16′ 34″ Samudra Hindia; (Kabupaten Aceh
69 Pulau Rusa India
95° 12′ 7″ Besar, Nanggroe Aceh Darussalam)
1° 20′ 16″ Laut Sulawesi; (Kabupaten Toli-Toli,
70 Pulau Salando Malaysia
120° 47′ 31″ Sulawesi Tengah)
Pulau Salaut 2° 57′ 51″ Samudra Hindia; (Kabupaten Aceh
71 India
Besar 95° 23′ 34″ Utara, Nanggroe Aceh Darussalam)
1° 46′ 53″ Laut Sulawesi; (Kabupaten Berau,
72 Pulau Sambit Malaysia
119° 2′ 26″ Kalimantan Timur)
4° 10′ 0″ Selat Makasar; (Kabupaten
73 Pulau Sebatik Malaysia
117° 54′ 0″ Nunukan, Kalimantan Timur)
4° 42′ 25″ Laut China Selatan; (Kabupaten
74 Pulau Sebetu Vietnam
107° 54′ 20″ Natuna, Kepulauan Riau)
4° 47′ 45″ Laut China Selatan; (Kabupaten
75 Pulau Sekatung Vietnam
108° 1′ 19″ Natuna, Kepulauan Riau)
8° 24′ 24″ Samudra Hindia; (Kabupaten
76 Pulau Sekel Australia
111° 42′ 31″ Trenggalek, Jawa Timur)
8° 10′ 17″ Laut Timor; (Kabupaten Maluku
77 Pulau Selaru Australia
131° 7′ 31″ Tenggara Barat, Maluku)
4° 31′ 9″ Laut Natuna; (Kabupaten Natuna,
78 Pulau Semiun Malaysia
107° 43′ 17″ Kepulauan Riau)
1° 2′ 52″ Selat Singapura; (Kabupaten
79 Pulau Sentu Malaysia
104° 49′ 50″ Kepulauan Riau, Kepulauan Riau)
4° 0′ 48″ Laut China Selatan; (Kabupaten
80 Pulau Senua Malaysia
108° 25′ 4″ Natuna, Kepulauan Riau)
Samudra Hindia; (Kabupaten
3° 17′ 48″
81 Pulau Sibarubaru Kepulauan Mentawai, Sumatra India
100° 19′ 47″
Barat)
Pulau 2° 31′ 47″ Samudra Hindia; (Kabupaten Aceh
82 India
Simeuleuceut 95° 55′ 5″ Barat, Nanggroe Aceh Darussalam)
0° 5′ 33″ Samudra Hindia; (Kabupaten Nias,
83 Pulau Simuk India
97° 51′ 14″ Sumatra Utara)
Samudra Hindia; (Kabupaten
1° 51′ 58″
84 Pulau Sinyaunyau Kepulauan Mentawai, Sumatra India
99° 4′ 34″
Barat)
Samudra Hindia; (Kabupaten
Pulau 8° 55′ 20″
85 Lombok Barat, Nusa Tenggara Australia
Sophialouisa 116° 0′ 8″
Barat)
3° 1′ 51″ Laut Natuna; (Kabupaten Natuna,
86 Pulau Subi Kecil Malaysia
108° 54′ 52″ Kepulauan Riau)
Pulau Tokong 3° 27′ 4″ Laut Natuna; (Kabupaten Natuna,
87 Malaysia
Belayar 106° 16′ 8″ Kepulauan Riau)
Pulau Tokong 2° 18′ 0″ Laut Natuna; (Kabupaten Natuna,
88 Malaysia
Malang Biru 105° 35′ 47″ Kepulauan Riau)
Pulau Tokong 3° 19′ 52″ Laut Natuna; (Kabupaten Natuna,
89 Malaysia
Nanas 105° 57′ 4″ Kepulauan Riau)
4° 4′ 1″ Laut Natuna; (Kabupaten Natuna,
90 Pulau Tokongboro Malaysia
107° 26′ 9″ Kepulauan Riau)
7° 56′ 50″ Laut Banda; (Kabupaten Maluku
91 Pulau Wetar Timor Leste
126° 28′ 10″ Tenggara Barat, Maluku)
1° 12′ 47″ Samudra Hindia; (Kabupaten Nias,
92 Pulau Wunga India
97° 4′ 48″ Sumatra Utara)

NTT memiliki 1192 pulau yang baru bernama 430 pulau. Dari 1192 pulau terdapat
sebanyak 15 pulau terluar atau terdepan. Berikut 10 pulau terluar di NNT yang baru diberi
nama oleh Gubernur NTT dan FORUM KOMUNIKASI PEMERINTAH DAERAH ( FORKOPIMDA)
Provinsi NTT pada tanggal, 14 Mei 2016 disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. 10 Pulau terluar di NNT
No. Kabupaten Nama Pulau P. Yang Berpenghuni
1. Rote Ndao Pulau Usu 800 jiwa (103 KK)
Nusa Boti Tidak berpenghuni
Pia Bilba Sda
Huni Ama Sda
Bolotelu Fola Sda
Pia Fula Sda
Namo Dere Sda
2. Manggarai Barat Nusa Dua Sda
Nusa Tiga Sda
Singo Edan Sda
Sumber : Victory News (Bagian Politik dan Hukum), Senin, 16 Mei 2016

5.4. Potensi Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan


Potensi sumberdaya pesisir dan lautan terdiri atas 3 (tiga) kelompok
diantaranyasSumberdaya dapat pulih (renewable resources), sumberdaya tidak dapat pulih
(non-renewable resources), dan Jasa-jasa lingkungan /jasling (Environmental services) terdiri
atas :

5.4.1 Sumberdaya Dapat Pulih


1.Terumbu Karang
Terumbu karang dalam istilah Inggris di sebut coral reefs atau dalam istilah Perancis :
recif corallies. Terumbu karang merupakan masyarakat organisme yang hidup di dasar perairan
dangkal terutama di daerah tropis. Terumbu karang disusun oleh karang-karang jenis anthozoa
dari klas Scleractinia, termasuk karang hermatipik atau jenis-jenis karang yang mampu
membuat bangunan atau kerangka karang dari kalsium karbonat (Vauhan dan Wells, 1943
dikutip oleh Supriharyono, 2000).
Struktur bangunan batuan kapur kapour tersebut (CaCO3) cukup kuat , sehingga koloni
karang mampu menahan gaya gelombang air laut, sedangkan asosiasi organisme-organisme
yang dominan hidup disini disamping scleractinia corals adalah algae yang banyak diantaranya
juga mengandung kapur (Dawes, 1981, dikutip oleh Supriharyono, 2000).
Berdasarkan perkembangannya, karang dapat dibagi atas dua kelompok yaitu karang
hermatipik dan ahermatipik. Karang hermatipik merupakan karang pembentuk terumbu karena
bersimbiosis dengan zooxanthellae, dan hanya ditemukan di daerah tropis. Karang ahermatipik
merupakan karang yang tidak membentuk terumbu, dan ditemukan di seluruh dunia.
Perbedaan pada keduanya yaitu adanya fenomena simbiosis mutualisma antara karang
hermatipik dengan zooxanthellae pada jaringan endoderm. Kandungan zooxanthellae pada
jaringan karang sangat bervariasi, tergantung pada jenis inangnya dan faktor-faktor
lingkungan. Ordo Scleractinia terdiri atas 15 famili (suku); 79 genus (marga).
Terumbu karang sebagian tersebar di daerah tropis dan sebagian di sub tropis. Karang
pembentuk terumbu hidup pada garis lintang 300 LU dan 300 LS. Garis lintang tersebut
merupakan batas maksimum dimana karang masih dapat tumbuh (Suharsono, 1996). Menurut
Bengen (2001), perkembangan terumbu karang dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik
lingkungan yang dapat menjadi pembatas bagi karang untuk membentuk terumbu . Adapun
faktor-faktor fisik lingkungan yang berperan dalam perkembangan terumbu karang antara laiun
: (1) Suhu air > 18 0C, tapi bagi perkembangan yang optimal diperlukan suhu rata-rata
tahunan berkisar antara 23 – 25 0C, dengan suhu maksimal yang masih dapat ditolerir berkisar
antara 36 – 40 0C, (2) Kedalamn perairan < 50 m, dengan kedalaman bagi perkembangan
optimal pada 25 m atau kurang, (3) Salinitas air yang konstan berkisar antara 30 – 30 ppm,
dan (4) Perairan yang cerah, bergelombang besar dan bebas dari sedimen.
Sebaran terumbu karang tergantung pada temperatur air, salinitas, kedalaman,
sedimentasi, dan cahaya matahari (Nybakken, 1988). Menurut Supriharyono (2000) sebaran
terumbu karang tergantung pada cahaya, suhu, salinitas, dan sedimentasi.
Terumbu karang merupakan habitat bagi beragam biota terdiri dari (1) Beraneka ragam
avertebrata (hewan tak bertulang belakang) terutama karang batu (stony coral), juga
berbagai krustasea, siput dan kerang-kerangan, ekhinodermata (bulu babi, anemon laut,
teripang, bintang laut dan leli laut); (2) Berabeka ragam ikan : 50 – 70 % ikan karnivora
oportunistik, 15 % ikan herbivora dan sisanya omnivora; (3) Reptil umumnya ukat laut dan
penyu laut; dan (4) Ganggang (algae) : algae koralin, algae hijau berkapur dan lamun
(Koesbiono, 1996; Bengen , 2001).
Selanjutnya menurut Timotius (2003), organisme yang hidup di terumbu karang terdiri dari
tumbuhan seperti algae dan lamun dan hewan yang terdiri dari hewan invertebrata seperti
Protozoa, porifera, Cnidaria, Platyhelminthes dan Annelida, moluska, krustacea, dan
echinodermata dan vertebrata seperti ikan reptil dan mamalia.
Fungsi terumbu karang antara lain :
1. Biologi : sebagai tempat berlindung, mencari makan dan tempat tinggal berbagai
jenis ikan karang dan udang karang (lobster) serta menyokong reproduksi dan
pertumbuhan berbagai jenis organisme laut.
2. Ekologi : melindungi pantai dari erosi , degradasi serta memperkecil tingginya
kekuatan ombak, gelombang, dan badai, penghasil utama O2 bagi kehidupan di
laut, membantu mengisap CO2 yang diproduksi oleh bumi dan sebagai laboratorium
alami.
3. Ekonomi : penghasil berbagai jenis ikan hias dan produksi perikanan lainnya yang
bernilai ekonomis penting. Jenis-jenis karang yang bagus digunakan untuk
kepentingan bisnis akuarium laut, dan sebagai bahan baku bioaktif dalam bidang
kedokteran dan farmasi.Sosial : menyediakan lapangan kerja bagi sebagian
masyarakat kecil terutama nelayan.
Menurut Bengen (2001), terumbu karang dapat dimanfaatkan baik secara langsung
maupun tidak langsung diantaranya (1) Sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota laut
konsumsi, dan berbagai jenis ikan hias; (2) Bahan konstruksi bangunan dan pembuatan kapur;
(3) Bahan perhiasan ; dan (4) Bahan baku farmasi.

10. Mangrove
Kata mangrove berasal dari dua bahasa yaitu bahasa Portugis disebut Mangue dan
bahasa Inggri disebut grove. Jadi mangrove adalah satu varietas komunitas atau semak-semak
yang mempunyai kemampuan tumbuh dan berkembang di perairan asin. Menurut Nybakken
(1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu
varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang
khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau
masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air
laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dikutip oleh Supriharyono, 2000).
Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut hutan bakau atau hutan payau.

Mangrove sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas tumbuh di pantai
daerah tropis dan sub tropis yang terlindung (Saenger et al, 1973 dikutip oleh Noor et al,
1999). Mangrove termasuk salah satu hutan pantai yang tumbuh pada tanah lumpur aluvial di
daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut (Soerianegara, 1987
dikutip oleh Noor et al, 1999).
Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi
gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird,
1967 dikutip oleh Idawaty, 1999). Selanjutnya menurut IUCN (1993), mengatakan bahwa
spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan
pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.
Menurut Bengen (2001), adaptasi mangrove dibagi dalam bentuk bentuk :
1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki
bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora
seperti Avecennia sp., Xylocarpus sp, dan Sonneratia sp, untuk mengambil oksigen
dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (contoh :
Rhyzophora spp.).
2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi :antara lain : a. Memiliki sel-sel khusus
dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. b. Berdaun kuat dan tebal yang
banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam. c. Daunnya memiliki
struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara
mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan
horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga
berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
Hutan mangrove tersusun dari berbagai jenis mangrove meliputi pohon-pohon dan
semak tergolong dalam 8 famili, 12 genera tumbuhan berbunga dan 202 jenis terdiri atas 89
pohon, 5 jenis palem, 19 liana, 44 epifit dan 1 jneis paku. Jenis-jenis mangrove terdiri atas api-
api (Avicennie sp), pedada (Sonneratia sp ), bakau (Rhizophora sp), tanjang (Bruguiera sp),
tengar (Ceriops sp), nyirih (Xylocarpus sp), Lummitzera sp, buta-buta (Exoecaria ap), Aegiceras
sp, Aegiatilis annulata, Pemphis aculdua, Osbornea octodonta, Acanthus ilicifolius , Acroctichum
aureum, Scypphyphora dan Nypa.
Penyebaran dan zonasi hutan mangrove menurut Bengen (2001) sebagai berikut :
1. Mangrove terbuka
Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering
ditumbuhi oleh Sonneratia alba, sementara Avicennia marina dan Rhizophora
mucronata dominan tumbuh di daerah berlumpur. Pada zona ini Sonneratia sering
berasosiasi dengan Avicennia.
2. Mangrove tengah
Terletak dibelakang mangrove terbuka. Didominasi oleh Rhizophora sp, namun biasa
ditemukan juga Bruquiera sp, dan Xylocarpus sp.
3. Mangrove payau
Tumbuh di sepanjang sungai berair payau sampai tawar. Di dominasi oleh Nypa atau
Sonneratia
4. Mangrove daratan
Jenis-jenis mangrove yang tumbuh di zona ini meliputi Ficus microcarpus, F. retusa,
Intsia bijuga, Nypa fruticans, Lumnizera sp, Pandanus sp dan Xylocarpus sp.
Mangrove memiliki beberapa fungsi diantaranya : (1) Fungsi ekologis dan biologis
sebagai pelindung garis pantai dari abrasi, mempercepat perluasan pantai melalui
pengendapan, mencegah intrusi air laut ke daratan, tempat berpijah aneka biota laut, tempat
berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan serangga, dan
sebagai pengatur iklim mikro.
Selanjutnya fungsi ekonomis dan sosial meliputi penghasil keperluan rumah tangga
(kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan), penghasil keperluan
industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna), penghasil bibit ikan,
nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung, dan pariwisata, penelitian, dan
pendidikan.

Masyarakat mengkonversi lahan mangrove untuk pembuatan tambak, perluasan lahan


pantai untuk membuat pelabuhan, pengambil mangrove untuk kayu bakar, tempat pendaratan
perahu nelayan, dan lain-lain. Aktivitas manusia menyebabkan terjadi perubahan pada struktur
substrat yang mengakibatkan formasi mangrove menjadi berubah. Selain akibat ulah manusia,
tetapi kerusakan mangrove juga terjadi secara alami karena umur mangrove yang sudah tua.
Menurut Bengen (2001), hutan mangove dimanfaatkan terutama sebagai pengahasil
kayu untuk bahan konstruksi bangunan, kayu bakar, bahan baku untuk membuat arang, dan
untuk membuat bubur kertas (pulp). Disamping itu ekosistem mangrove dimanfaatkan juga
sebagai pemasok larva ikan dan udang.
3.Lamun
Lamun adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang tumbuh dengan baik di
lingkungan laut dangkal. Lamun termasuk tumbuhan berbiji satu (monokotil). Lamun memiliki
akar, rimpang (rhizoma), daun, bunga dan buah. Lamun sekitar 50 jenis, terdiri dari dua
suku (famili) yaitu famili Potamogetonaceae ( 9 genus, 35 spesies), dan famili
Hydrochoraticeae (3 genus, 15 jenis). Dari 50 jenis ada 12 jenis lamun telah ditemukan di
Indonesia yaitu Syringodium isoetifolium,, Thalsssodendron ciliatum, Halodule univervis, H.
pinifolia, Cymodocea serrulata, dan C. rotundata termasuk famili Potsmogetonaceae;
sedangkan Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, H spinulosa, H. minor, dan
H. decipiens termasuk famili Hydrocharitaceae.

Sifat lamun antara lain : (1) mampu hidup di media air asin; (2) mampu berfungsi
normal dalam keadaan terbenam; (3) mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang
baik; (4) mampu melaksanakan penyerbukan dan daur generatif dalam keadaan
terbenam.Lamun memiliki sistem perakaran yang nyata, dedaunan, sistem transportasi internal
untuk gas dan nutrien, serta stomata berfungsi untuk pertukaran gas. Akar berfungsi dalam
pengambilan air, dan daun menyerap nutrien.
Lamun tumbuh subur di daerah terbuka pasang surut dan pantai atau goba yang
dasarnya berlumpur, pasir, kerikil, dan patahan karang mati dengan kedalaman sampai 4 m.
Pada perairan yang jernih , beberapa jenis lamun dapat tumbuh sampai pada kedalam 8 – 15
m dan 40 m.Lamun dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sangat tergantung dari
beberapa faktor antara lain : (1) kecerahan : lamun butuh cahaya yang tinggi untuk
fotosintesis; (2) temperatur : kisaran temperatur optimal untuk sebaran lamun antara 28 – 30º
C; (4) kemampuan proses fotosintesis akan menurun dengan tajam bila temperatur di luar
temperatur optimal; (5) salinitas : kisaran salinitas antara 10 sampai 40 ppm dan salinitas
optimal 35 ppm; dan (6) substrat : tipe substrat lumpur berpasir dan berbatu.
Fungsi lamun antara lain : (1) Produsen primer : lamun memiliki produktivitas tinggi
dibandingkan dengan ekosistem lain seperti mangrove dan terumbu karang; (2) Habitat biota :
lamun sebagai tempat berlindung dan menempel berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan
(algae), daerah asuhan, padang pengembalaan dan makanan dari berbagai jenis ikan herbivora
dan ikan karang; (3) Penangkap sedimen : daun lamun yang lebat dapat memperlambat air
yang disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan disekitarnya tenang. Rimpang dan
akar dapat menahan dan mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan
dasar permukaan mencegah erosi; dan (4) Pendaur zat hara : lamun berperan dalam
pendauran berbagai zat hara dan elemn-elemn langka dilingkungan laut khususnya zat-zat
hara yang dibutuhkan algae epifitik.
Aktivitas masyarakat dalam memanfaatkan ekosistem lamun di kecamatan Riung
sebagai tempat pendaratan perahu, tempat budidaya, dan pengerukan untuk membuat
pelabuhan. Menurut Bengen (2001), pemanfaatan lamun oleh masyarakat yang tinggal di
wilayah pesisir digunakan antara lain : (1) sebagai tempat kegiatan budidaya laut berbagai jenis
ikan, kerang-kerangan dan tiram; (2) tempat rekreasi atau parawisata; dan (3) sumber pupuk
hijau.

4.Sumberdaya Ikan
Potensi kelautan dan perikanan yang diimiliki terdiri atas beragam sumberdaya alam laut
seperti ikan dan non ikan. Sumberdaya ikan terdiri atas ikan pelagis besar seperti tuna,
cakalang, tenggiri,dan lain-lain, ikan pelagis kecil seperti layang, lemuru, sardin, kembung, dan
lain-lain, serta ikan demersal termasuk ikan karang seperti kakap, kerapu, napoleon,
bambangan, biji nangka, dan lain-lain. Sumberdaya non ikan seperti crustacea, mokuska,
rumput laut dan lain-lain.

Ikan Pelagis
Menurut hasil penelitian Risamasu, dkk (2011), jenis-jenis ikan pelagis yang dikonsumsi
oleh masyarakat di Kabupaten Kupang dan Kota Kupang berdasarkan hasil penelitian disajikan
pada Tabel 4.
Tabel 4. Daftar jenis ikan pelagis yang dikonsumsi oleh Masyarakat Kabupaten Kupang dan
Kota Kupang
Famili Jenis Jumlah Prosentase
SCOMBRIDAE Thunnus tonggol, Katsuwonus pelamis, 8 19,1
Euthynnus affinis, Auxis thazard,
Rastrelliger kanagurta, R. faughni, R.
brachysoma, Scomberomorus commerson
CARANGIDAE Decapterus russlli, D. macrosoma, 14 33,3
Scomberoides tol, Megalaspis cordial,
Elagatis bippinulatus, Alepes melanoptera,
A. vari, Carangoides dinema, C.
orthogrammus, C. malabaricus, ,Caranx
melapygus, C.sexfasciatus, C. ferdau,
Alectis indicus
TRICHIURIDAE Trichiurus japonicus 1 2,4
MENIDAE Mene maculate 1 2,4
CLUPEIDAE Amblygaster clupeiodes, A. sirm, Sardinella 6 14,2
gibbosa, Dussumiera elosoides, Hilsa Kelle,
Illisha ap
ENGRAULIDIDAE Stoleporus divisi, S. waite.S. commersonnii, 4 9,5
S. Indicus
EXOCOETIDAE Cypselurus noresii 1 2,4
BELONIDAE Tylosurus crocodiles crocodiles 1 2,4
HEMIRAMPHIDAE Hyporhamphus quoyi 1 2,4
SPHYRAENIDAE Sphyraena putnamiae 1 2,4
CORYPHARNIDAE Coruphaena hippurus 1 2,4
LEIOGNATHIDAE Leiognathus splendes. L. bindus, L. 3 7,1
Leuciscus
Total 42 100

Data tersebut memperlihatkan bahwa kelompok ikan pelagis yang dikonsumsi oleh
masyarakat Kabupaten Kupang dan Kota Kupang secara keseluruhan ada 42 spesies ( jenis)
yang tergolong dalam 27 genus dan 12 famili. Famili yang memiliki jumlah jenis (spesies)
tertinggi yakni Famili Carangidae dengan presentase sebesar 33,3%, kemudian Scombridae
sebesar 19,1% dan diikuti oleh famili lainnya. Jenis-jenis ikan pelagis ditampilkan pada Gambar
1.
SCOMBRIDAE : SCOMBRIDAE: SCOMBRIDAE:
Thunnus tonggol Katsuwonus pelamis Euthynnus affinis

SCOMBRIDAE : SCOMBRIDAE: SCOMBRIDAE:


Auxis thazard Rastrelliger kanagurta Rastrelliger faughni
Gambar 1. Jenis-jenis ikan pelagis yang dikonsumsi oleh masyarakat
Kabupaten Kupang dan Kota Kupang

Ikan Demersal
Jenis-jenis ikan demersal yang dikonsumsi oleh masyarakat di Kabupaten Kupang dan Kota
Kupang berdasarkan hasil penelitian disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Daftar jenis ikan demersal yang dikonsumsi oleh Masyarakat Kabupaten Kupangdan
Kota Kupang
Famili Jenis Jumlah Prosentase
(%)
PLOTOSIDAE Plotosus lineatus 1 1,3
POLYNEMIDAE Eleutheronema tetradactylum, 2 2,7
Polydactylus sextarius
SCIAENIDAE Nibea soldado 1 1,3
CARCHARHINIDAE Carcharhinus melanopterus 1 1,3
MYLIOBATIDIDAE Aetomyleus nichofii 1 1,3
KYPHOSIDAE Kyphosus cinerascens 1 1,3
TERAPONIDAE Terapon theraps, T. jarbua 2 2,7
ACANTHURIDAE Acanthurus olivaceus, A. striatus, A. 3 4,0
Lineatus
POMACANTHIDAE Pomacanthus annularis, P. 2 2,7
Semicirculatus
DASYATIDAE Himantura undulata 1 1,3
EPHYPPIDIDAE Deprane punctata, Platax batavianus 2 2,7
MULLIDAE Upeneus sulphureus, Parupeneus 5 6,7
macronema, P. pleurostigma, P.
multifasciatus, P. Chrysopleuron
IRIIDAE Aurius macualatus 1 1,3
PSETTODIDAE Psettodes erumei 1 1,3
HOLOCENTRIDAE Myripristis kuntee, M. hexagona, 3 4,0
Sargocentron caudimaculatum
HAEMULLIDAE Plectorhinchus lineatus, P. picus, P. 6 8,0
goldmanni, P. oerientalis,
P.polytaenia, Pomadasys kaakan
SIGANIDAE Siganus guttatus, S. virgatus, S. 5 6,7
argenteus, S. canaliculatus,
S.punctatus
MUGILIDAE Moolgarda buchanani 1 1,3
SOLEIDAE Dexillichthys muelleri 1 1,3
NEMIPTERIDAE Nemipterus hexodon, Nemipterus sp, 6 8,0
Scolopsis auratus, S. margaritifer, S.
hexochrous, Pentapodus caninus
LUTJANIDAE Symphorus spilurus, Lutjanus 20 27.0
fulviflamma, L.vitta, L. gibbus, L.
kasmira, Luttjanus sp1. Lutjanus sp2,
Lutjanus sp3, L. erythropterus, L.
carponotatus,L. bohar, Aprion
virescens, Pristopomoides
filamentosus, Paracaesio kusakarii,
Aphareus sp, Pinjalo lewisi, Aprion
virescens, Caesio pisang, C. lunaris,
dan Pterpcaesio pisang
LETHRINIDAE Lethrinus rubrioperculatus, L. 4 5,3
olivaceus, Lethrinus sp, Monotaxis
grandoculus
LABRIDAE Cheilinus chlorurus 1 1,3
PRIACANTHIDAE Priacanthus macracanthus 1 1,3
SCARIDAE Scarus niger, S.bleekeri, S.ghobban 3 4,0
Total 75 100

Data tersebut memperlihatkan bahwa kelompok ikan pelagis yang dikonsumsi oleh
masyarakat Kabupaten Kupang dan Kota Kupang secara keseluruhan ada 75 spesies ( jenis )
yang tergolong dalam 42 genus dan 25 famili. Famili yang memiliki jumlah jenis (spesies)
tertinggi yakni Famili Lutjanidae dengan presentase sebesar 27,0%, kemudian famili
Nemipteridae sebesar 8,0% dan diikuti oleh famili lainnya. Jenis-jenis ikan demersal yang
terinventarisasi berdasarkan hasil penelitian disajikan pada Gambar 2.

PLOTOSIDAE: POLYNEMIDAE: POLYNEMIDAE:


Plotosus lineatus Eleutheronema tetradactylum Polydactylus sextarius
SCIAENIDAE: CARCHARHINIDAE: MYLIOBATIDIDAE:
Nibea Soldado Carcharhinus melanopterus Aetomyleus nichofii

SCARIDAE: SCARIDAE: SCARIDAE:


Scarus niger Scarus bleekeri Scaus ghobban

Gambar 2. Jenis-jenis ikan demersal yang dikonsumsi oleh masyarakat


Kabupaten Kupang dan Kota Kupang
Sumberdaya ikan yang tertangkap di Kabupaten Kupang baik ikan pelagis maupun
demersal terdiri atas ikan tenggiri, ekor kuning, tuna, cakalang, kembung, tongkol, selar,
tembang, lalosi, pararng-parang, gergaheng, kakap, ikan teri dan lain-lain (DKP Kabupaten
Kupang, 2007).

5.Sumberdaya Non Ikan


Sumberdaya non ikan yang ditemukan berdasarkan hasil penelitian terdiri atas kerang-
kerangan, kepiting, udang-udangan, algae dan cumi-cumi, sedangkan laporan DKP Kabupaten
Kupang, 2007 terdiri atas cumi-cumi, lobster, udang, penyu, rumput laut, kepiting, kerang-
kerangan dan gurita (Octopus). Berikut disajikan jenis-jenis sumberdaya non ikan antara lain :
1. Moluska
Jenis-jenis moluska yang dikonsumsi masyarakat Kabupaten Kupang seperti kerangan-
kerangan disajikan pada Gambar 3. Cyclotellina remis disebut juga kerang tahu termasuk class
Bivalva family Tellinidae, memiliki daging halus dan berwarna kuning muda. Dipasarkan dalam
keadaan hidup dan biasanya digunakan sebagai campuran masakan Tam Yam, sedangkan
Anadara granosa termasuk family Arcidae merupakan produk perikanan yang disukai karena
penampilan matangnya dapat meningkatkan selera makan, menambah citarasa, dan
berkontribusi sebagai sumber protein yang ekonomis ( Bahar, 2006 dikutip oleh Risamasu, dkk,
2011).
Cyclotellina remis Anadara granosa
Gambar 3.Cyclotellina remis (Nama Lokal: Pakpak) dan Anadara granosa (Nama
Lokal : Kerang darah) dijual di desa Noelbaki Kecamatan Kupang Tengah

Crustacea
Kepiting
Selanjutnya jenis kepiting yang dikonsumsi oleh masyarakat Kabupaten Kupang dan
Kota Kupang diantaranya kepiting bakau (Scylla serrata) dan Portunus sanguinolentus,
P.pelagicus dan Portunus sp (Gambar 4). Scylla serrata dan Portunus sp tergolong dalam famili
Portunidae. Jenis kepiting yang paling banyak dijual di pasaran adalah Scylla serrata dan
Portunus pelagicus. Kepiting termasuk makanan bergizi berkalori rendah mengandung protein
65,72%, mineral 7,5% dan lemak 0,88%. Kepiting bisa diperoleh dari kegiatan penangkapan
maupun budidaya (Soim, 1997 dikutip oleh Risamasu, dkk, 2011).

Scylla serrata Portunus sanguinolentus

Gambar 4. Jenis-jenis Kepiting yang dikonsumsi masyarakat Kabupaten


Kupang dan Kota Kupang

Udang
Jenis-jenis udang yang dikonsumsi masyarakat Kabupaten Kupang dan Kota Kupang
yang dijual di beberapa pasar ikan Kota Kupang disajikan pada Gambar 5.
Panaeus indicus Paneus japonicus

Gambar 5. Jenis-jenis Udang yang dijual pada beberapa pasar ikan


Kota Kupang
Udang termasuk bahan makanan bernutrisi tinggi. Udang bisa diolah menjadi berbagai
masakan lezat dan gurih serta kaya akan kalsium dan protein. Udang memiliki kadar asam
amino yang tinggi, berprofil lengkap dan sekitar 85-95% mudah dicerna tubuh. 100 gr udang
mentah mengandung 20,3 gr protein atau cukup untuk memenuhi kebutuhan protein harian
sebanyak 41 %. Profil asam amino udang (per 100 gr) berturut-turut yang termasuk tinggi
adalah asam gulamat (3465 mg), asam aspartat (2100 mg), arginine (1775 mg), lysine (1768
mg), leucine (1612 mg), glycine (1225 mg), isoleucine (985 mg), dan valine (956 mg). Kalori
udang yang sangat rendah (hanya 106 kalori per 100 gr udang) menjadikannya salah satu
makanan diet yang sangat baik. U dang juga hanya mengandung sedikit asam lemak jenuh.
Kadar asam lemak sehat pada udang yakni Omega-3 dan Omega-6 masing-masing mencapai
540 mg dan 28 mg per 100 gr udang segar. Udang juga mengandung beberapa vitamin seperti
vitamin D (38%), vitamin B12 (19%), Niacin (13%), vitamin E (5%), vitamin B6 (5%), vitamin
A (4%), vitamin C (3%), serta beberapa mineral seperti selenium dalam 100 gr udang segar
cukup untuk memenuhi 54% kebutuhan harian, fosfor (20%), besi dan tembaga (masing-
masing 13%), magnesium (9%), zinc (7%), sodium (6%), potassium dan kalsium (masing-
masing 5%), serta berbagai mineral penting lainnya (Santoso, 2011 dikutip oleh Risamasu, dkk,
2011).

Cephalopoda
Jenis-jenis cumi-cumi yang dikonsumsi masyarakat Kabupaten Kupang dan Kota Kupang
yang dijual di beberapa pasar ikan di Kota Kupang disajikan pada Gambar 6. Cumi-cumi
merupakan salah satu hewan laut dari keluarga Loliginidae, kelas Cephalopoda. Cumi-cumi
dalam bahasa Latin disebut Loligo spp, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut squid. Cumi-
cumi sering dijadikan menu utama restoran/warung seafood atau chinesefood mengandung gizi
17,9g /100g cumi segar dan juga kaya akan asam amino esensial yang sangat diperlukan oleh
tubuh. Asam amino esensial yang dominan adalah leusin, lisin, dan fenilalanin. Sementara
kadar asam amino nonesensial yang dominan adalah asam glutamat dan asam aspartat. Kedua
asam amino tersebut berkontribusi besar terhadap timbulnya rasa sedap dan gurih. Mineral
penting yang terkandung dalam daging cumi-cumi adalah natrium, kalium, fosfor, kalsium,
magnesium, dan selenium. Selain kaya akan protein, cumi-cumi juga merupakan sumber
vitamin yang baik, seperti vitamin B1 (tiamin), B2 (riboflavin), B12, niasin, asam folat, serta
vitamin larut lemak (A, D, E, K). (Irawan, 2008 dikutip oleh Risamasu, dkk, 2011 ).
Loligo sp Sepia sp

Gambar 6. Jenis-jenis Cumi-cumi yang dijual pada beberapa pasar ikan


Kota Kupang

Alga (Rumput Laut)


Berdasarkan hasil penelitian ditemukan sebanyak 3 jenis rumput laut yang
dibudidayakan di perairan Desa Tablolong, Tuadale dan Bolok seperti Eucheuma cottonii, E.
spinosum, dan Gelidium latifolium (Gambar 7). Yang berperan dalam melakukan budidaya
rumput laut adalah laki-laki dan perempuan. Kendala dalam budidaya rumput laut yang
dihadapi pembudidaya saat ini adalah penyakit ice-ice.

Eucheuma cottonii Eucheuma serra Gelidium latifolium

Gambar 7. Jenis-jenis rumput laut yang dibudidayakan di desa Tablolong, Tuadale dan Bolok

Jenis-jenis alga yang biasanya dikonsumsi oleh masyarakat di Kabupaten Kupang dan
Kota Kupang ada tiga jenis seperti Eucheuma cottonii dan E. striatum. Rumput laut mentah
biasanya dibuat lawar (salat), dan ditumis seperti menumis sayur. Rumput laut yang sudah
kering kemudian diolah juga menjadi beberapa jenis makanan seperti cendol, dodol, manisan,
dan puding. Jenis-jenis rumput laut yang dikonsumsi sebagai sumber pangan disajikan pada
Gambar 8. Hambali, dkk (2004) dikutip oleh Risamasu, dkk (2011) mengemukakan bahwa
rumput laut kering dapat diolah menjadi berbagai macam makanan seperti manisan, dodol,
cendol, puding dan permen jelly. Proses pengolahannya mudah dan sederhana, tidak
memerlukan prosedur dan peralatan yang rumit.
Eucheuma cottonii Eucheuma striatum (Sakol) Codium gepii

Gambar 8. Jenis-jenis rumput laut/algae yang dikonsumsi masyarakat di


Kabupaten Kupang dan Kota Kupang

5.4.2 Sumberdaya Tidak Dapat Pulih


Menurut Bengen (2004, sumberdaya tidak dapat di pulih ( non-renewable resources)
berupa sumberdaya mineral di kawasan perairan laut Indonesia relatif besar seperti minyak dan
gas bumi, bauksit, timah, biji besi, dan bahan tambang seperti pasir laut serta mineral lainnya.
Termasuk sumberdaya tidak dapat pulih antara lain :
1. Minyak bumi dan gas lepas pantai
Sumberdaya tidak dapat pulih terpenting dan terbesar saat ini adalah minyak bumi.
Jumlah produksi minyak bumi di Indonesia sampai tahun 2000 tercatat mencapai
4,872 juta barel dengan nilai penjualan total mencapai USS 20,45 milyar. Dari jumlah
tersebut, ternyata baru sekitar 32 % produksi minyak bumi berasal dari
penambangan lepas pantai.
2. Emas dan Perak
Mineral emas dan perak dalam bentuk mineral letakan ditemukan pada endapan
dasar laut di perairan Lampung, Kalimantan Selatan, Sukabumi Selatan, teluk Tomini
dan laut Arafura. Dari data petrografi mineral, umumnya mineral emas ini berasosiasi
dengan mineral perak terutama pada contah day mineral.
3. Pasir Kuarsa
Pasir kuarsa yang di kenal sebagai mineral silika (bahan kaca) merupakan sedimen
lapukan dan letakan dari batuan induk yang bersifat granitik atau pun rombakan dari
urat – urat kuarsa atau kristalin. Potensi pasir kuarsa umumnya terdapat di sepanjang
jalur granit kepulaun Riau, Bangka dan Belitung. Umumnya pasir laut di perairan Riau
mempunyai kandungan kuarsa di atas 80%. Selain itu, umumnya pasir kuarsa ini
juga mengandung mineral zirkon dan rutil. Rutil merupakan salah satu mineral
pembawa unsur radioaktif Torium. Oleh sebab itu, ekspor pasir laut sebagai material
reklamsi pantai Singapur yang di tambangkan di kawasan perairan Riau, sebenarnya
dapat diklasifikasikan sebagai komoditi mineral yang mempunyai harga jual yang jauh
lebih tinggi dari pada harga pasir laut atau agregat.
4. Monazit, Zirkon, dan Rutil
Monazit, Zirkon, dan Rutil merupakan produk sampingan ( by product) dari endapan
letakan, monazit dan zirkon merupakan mineral yang penting dan langka karena
mengandung unsur Torium yang bersifat radioaktif. Umumnyanya mineral ini di
manfaatkan sebagai produk sampingan penambangan timah di Bangka dan Belitung.
5. Pasir besi
Pasir besi yang umumnya berwarna hitam terdiri dari mineral magnetik dan ilmenik,
banyak ditemukan hampir di seluruh kawasan pantai Indonesia terutama yang telah
terangkut dari endapan vulkanik yang bersifat basa. Penambangan pasir besi telah di
lakukan di pantai Cilacap, Jampang Kulon, dan Yogyakarta dan di gunakan sebagai
bahan dasar logam besi dan sebagai mineral pencampur dalam industri semen.
Kawasan busur vulkanik merupakan sumber pasir besi yang berlimpah seperti di
sepanjang pantai selatan Jawa dan Sumatera, Nusa Tenggara, Maluku Utara dan
Sulawesi Utara.

6. Agregat Bahan Konstruksi


Agregat merupakan bahan konstruksi terdiri dari kerikil dan pasir yang tersebar dalam
jumlah berlimpah di kawasan pantai dan lepas pantai. Kawasan perairan Kerimun dan
Kundur merupakan kawasan penambangan pasir laut terbesar saat ini, karena jenis
dan komposisi pasir yang di tambang memenuhi persyaratan untuk material
konstruksi dan bahan reklamasi.
7. Fosporit
Endapan fosporit berumur Resen berupa fospat kalium dalam bentuk nodul atau
butiran telah di temukan di dasar laut paparan Sahul yaitu antara Pulau Timor dan
Australia
8. Nodul dan Kerak Mangaan
Endapan mangaan umumnya ditemukan dalam bentuk nodul ( nodule), kerak (
crust), atau hamparan ( pavement). Indikasi sumberdaya mineral mangaan ini di
temukan di Laut Banda, Laut Selat Lombok, perairan pulau Damar dan Misool.
Perairan Sula, Sulawesi Utara, dan Halmahera. Jenis miniral mangaan yang di
temukan di perairan Indonesia Timur umumnya berbentuk nodul yang kaya akan
mangaan besi. Kerak mangaan di temukan pada sistem punggungan lucipara dan
sekitar punggungan tampomas di cekungan Banda Utara.
9. Kromit
Letak dan sebaran endapan kromit rombakan (detrial) selalu ditemukan berdekatan
dengan batuan induknya (ultrabasa). Oleh sebab itu, penyebaran endapan kromit ini
umumnya ditemukan di sekita gawir pantai (coastal cliff) yang berdekatan dengan
singkapan batuan ultrabasa di Kalimantan Timur dan Tenggara, Pulau Laut dan
Sabuku, Sulawesi Tenggara dan Timur Laut, Halmahera, Waigeo dan Timor.
10. Gas Biogenik Kelautan (Methan)
Gas Biogenik merupakan salah satu sumber energi alternatif untuk kawasan pesisir
yang terpencil. Pemetaan geologi sistematik di wilayah perairan Laut Jawa dan Selat
Sumatera yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan,
Balitbang Energi dan Sumberdaya Mineral, Depertemen Energi dan Sumberdaya
Mineral sejak tahun 1990 memperlihatkan indikasi sumber gas biogenik yang
terperangkap pada sedimen Holocene. Lapisan pembawa gas ini umumnya ditemukan
pada kedalan antara 20-50 m di bawah dasar laut.
Pemetaan secara horizontal menunjukan bahwa hampir seluruh kawasan perairan
dangkal terutama di muara-muara sungai besar ditemukan indikasi sedimen
mengandung gas (gas charged sediment) yang diduga merupakan akumulasi gas
biogenik yang berasal dari maturasi tumbuhan rawa purba yang tertimbun sedimen
resen.
Gas biogenik ini umumnya didominasi oleh gas methan yang dikenal sebagai salah
satu sumber energi alternatif yang ramah lingkungan. Gas biogenik telah dieksploitasi
dan dimanfaatkan sebagai energi pembangkit listrik mikro dan industri kecil di muara
sungai Yangtze, China (Mc Caffrey et al, 1985). Umumnya,, dari satu sumur gas di
kawasan ini dapat dieksploitasi 5000 m3 gas per hari dengan tekanan maksimum 6,1
kg/cm2.
Sepanjang kawasan perairan pantai Utara Jawa, pantai Selatan Kalimantan, pantai
Timur Kalimantan, dan pantai Barat Sumatera merupakan kawasan yang potensial
menjadi sumber gas biogenik, karena memiliki sejarah terbentuknya sungai dan rawa
purba yang mirip dengan terbentuknya gas biogenik di muara sungai Yangtze.
11. Mineral Hydrothermal
Indekasi adanya mineral hydrotermal deposito di perairan Indonesia ditemukan
diperairan Sulawasi Utara , teluktomini,selat sunda dan perairan wetar(gunung api
bawah laut komba ,dan ibu komba). Lubang hydrotermal (hydrothermal veni) atau di
kenal dengan sebutan “ black smoker” dan” white smoker” merupakan ekosistem
laut yang unik, karena air yang panas yang dikeluarkan mengandung ikatan sulfur
yang digunakan oleh bakteri sebagai energi. Dengan demikan dasar laut, kawasan ini
mempunyai kelimpahan biota laut yang tinggi. Selain itu, ahli goelogi kelautan
menaruh perhatian karena diyakini bahwa lubang hydrotermal ini membawa larutan
mineral yang selanjutnya mengawali proses mineralisasi pada suatu jebakan mineral
dasar laut. Kawasan black smoker biasa berpotensi mineral tembaga dan white
smoker berpotensi mineral emas.

12. Sumberdaya energi yang berasal dari dinamika lautan


Sumberdaya enrgi yang berasal dari dinamika laut samapi saat ini masih terbatas
pemanfaatanya pada beberapa negara maju yang menguasia teknologi
pengenbnganya . sementara di Indonesia masih belum banyak yang bisa
dikembangkan. Hal disebabkan oleh keterbatasan teknologi yang dikuasai. Misalnya
sumber energi pasut di dunia yang diperkirakan mencapai 65 ribu Mw. Hingga saat
ini baru sebagian kecil saja yang di manfaatkan. Beberapa negara yang telah mulai
memanfatkan seperti , Prancis yang memelapori bidang ini dengan membangun
beberapa PLT-pasut yang berkapisitas 240 Mw di Rance dan berfungsi dengan baik.
Negara- negara lain yang telah memanfaatkan energi gelombang ini Amerika
Serikat, Inggris, Kanada, Korea Selatan dan Australia.
Selanjutnya aktivitas pertambangan banyak juga dilakukan di negara-negara pulau
kecil di dunia maupun di Indonesia pada propinsi-propinsi tertentu. Dalam
pemanfaatan potensi mineral di kawasan pulau-pulau kecil harus dilakukan dengan
perencanaan yang ketat dan dilakukan secara berkelanjutan sesuai peraturan
perundangan yang berlaku. Struktur batuan dan geologi pulau-pulau kecil di
Indonesia adalah struktur batuan tua yang diperkirakan mengandung deposit bahan-
bahan tambang/mineral penting seperti emas, mangan, nikel dan lain-lain. Beberapa
aktivitas pertambangan baik pada tahap penyelidikan umum, eksplorasi maupun
eksploitasi di pulau-pulau kecil antara lain : timah di P. Kundur, P. Karimun (Riau);
nikel di P. Gag (Papua), P. Gebe (Maluku Utara), P. Pakal (Maluku); batubara di P.
Laut, P. Sebuku (Kalsel); emas di P. Wetar, P. Haruku (Maluku) dan migas di P.
Natuna (Riau).
Dengan luas wilayah laut yang lebih besar dibandingkan darat maka potensi energi
kelautan memiliki prospek yang baik sebagai energi alternatif untuk mengantisipasi
berkurangnya minyak bumi, LNG, batubara, dan lain-lain sepanjang kemampuan
negara diarahkan untuk pemanfaatannya. Sumberdaya kelautan yang mungkin
digunakan untuk pengelolaan pulau-pulau kecil adalah Konversi Energi Panas
Samudera/Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), Panas Bumi (Geothermal),
Ombak dan Pasang Surut.

5.4.3 Jasa-jasa Lingkungan


Menurut Dahuri, dkk (1996), wilayah pesisir dan lautan Indonesia memiliki berbagai
macam jasa-jasa lingkungan yang sangat penting untuk pembangunan dan kelangsungan
hidup manusia meliputi fungsi kawasan pesisir dan laut sebagai tempat rekreasi dan
pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan
penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim, kawasan perlindungan
(konservasi dan preservasi), dan sistem penunjang kehidupan, dan fungsi ekologis lainnya.
Wilayah pesisir dan lautan juga memiliki potensi sumberdaya energi yang cukup besar . Sumber
energi yang dapat dimanfaatkan seperti arus pasang surut sebagai energi pembangkit listrik,
gelombang sebagai energi pembangkit listrik,perbedaan salinitas, angin serta pemanfaatan
perbedaan suhu air laut di lapisan permukaan dan lapisan dalam perairan dikenal dengan
OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion) sebagai energi pembangkit listrik.

Pulau-pulau kecil juga memberikan jasa-jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya
yaitu sebagai kawasan berlangsungnya kegiatan kepariwisataan, media komunikasi, kawasan
rekreasi, konservasi dan jenis pemanfaatan lainnya. Jenis-jenis pariwisata yang dapat
dikembangkan di kawasan pulau-pulau kecil adalah :
a. Wisata Bahari
Kawasan pulau-pulau kecil merupakan aset wisata bahari yang sangat besar yang
didukung oleh potensi geologis dan karaktersistik yang mempunyai hubungan
sangat dekat dengan terumbu karang (Coral Reef), khususnya hard corals.
Disamping itu, kondisi pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni, secara logika akan
memberikan kualitas keindahan dan keaslian dari bio-diversity yang dimilikinya.
Berdasarkan rating yang dilakukan oleh lembaga kepariwisataan internasional,
beberapa kawasan di Indonesia dengan sumberdaya yang dimilikinya mempunyai
rating tertinggi bila ditinjau dari segi daya tarik wisata bahari dibandingkan dengan
kawasan-kawasan lain di dunia. Beberapa kawasan wisata bahari yang sangat
sukses di dunia antara lain adalah kawasan Great Barrier Reef, kawasan negara-
negara di Karibia, seperti Bahama, Kawasan Pasifik seperti Hawai, serta Kawasan
Meditterranean. Belajar dari pengalaman di kawasan tersebut, ternyata negara-
negara tersebut merupakan “Negara Pulau-pulau Kecil (Small Islands State)”,
kecuali di Great Barrier Reef dan Meditterranea.
Sebagian besar pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki potensi wisata bahari yang
cukup potensial. Beberapa diantaranya telah dikembangkan sebagai daerah tujuan
wisata bahari seperti Taman Nasional (TN) Taka Bone Rate (Sulsel), TN Teluk
Cendrawasih, TN Kep. Wakatobi (Sultra), Taman Wisata Alam (TWA) Kep.
Kapoposang (Sulsel), TWA Tujuh Belas Pulau (NTT), TWA Gili Meno, Ayer,
Trawangan (NTB), TWA P. Sangiang (Jabar), dan lain-lain.
b. Wisata Terestrial
Pulau-pulau kecil mempunyai potensi wisata terestrial yaitu wisata yang merupakan
satu kesatuan dengan potensi wisata perairan laut. Wisata terestrial di pulau-pulau
kecil misalnya TN Komodo (NTT), sebagai lokasi Situs Warisan Dunia (World
Herritage Site) merupakan kawasan yang memiliki potensi darat sebagai habitat
komodo, serta potensi keindahan perairan lautnya di P. Rinca dan P. Komodo.
Contoh lain adalah Pulau Moyo yang terletak di NTB sebagai Taman Buru (TB),
dengan kawasan hutan yang masih asri untuk wisata berburu dan wisata bahari
(diving). Kondisi Pulau Moyo tersebut dimanfaatkan oleh para pengusaha pariwisata
sebagai kawasan “Ekowisata Terestrial”. Dikawasan tersebut terdapat resort yang
tarifnya relatif mahal, dengan fasilitas yang ditawarkan berupa tenda-tenda,
sehingga merupakan “wisata camping” yang dikemas secara mewah. Paket wisata
di Kawasan Pulau Moyo ini sudah sangat terkenal di mancanegara sehingga dapat
memberikan devisa bagi negara.
c. Wisata Kultural
Pulau-pulau kecil merupakan suatu prototipe konkrit dari suatu unit kesatuan utuh
dari sebuah ekosistem yang terkecil. Salahsatu komponennya yang sangat signifikan
adalah komponen masyarakat lokal. Masyarakat ini sudah lama sekali berinteraksi
dengan ekosistem pulau kecil, sehingga secara realitas di lapangan, masyarakat
pulau-pulau kecil tentunya mempunyai budaya dan kearifan tradisional (local
wisdom) tersendiri yang merupakan nilai komoditas wisata yang tinggi.
Kawasan yang dapat dijadikan sebagai obyek wisata kultural, misalnya, di Pulau
Lembata. Masyarakat suku Lamalera di Pulau Lembata mempunyai budaya heroik
“Berburu Paus secara tradisional” (traditional whales hunter). Kegiatan berburu paus
secara tradisional tersebut dilakukan setelah melalui ritual-ritual budaya yang
sangat khas, yang hanya di miliki oleh suku Lamalera tersebut. Keunikan budaya
dan kearifan tradisional tersebut, menjadi daya tarik bagi para wisatawan.

Daftar Pustaka
Bengen, DG , 2001. Sinopsis ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut. PKSPL Institut
Pertanian Bogor. Halaman : 32 – 37.
Bengen, DG, 2004. Ragam Pemikiran Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan
Berbasis Eko-Sosiosistem. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut.
Dahuri, R; J. Rais, SP, Ginting dan MJ, Sitepu, 1996. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir
dan lautan secara terpadu. PT Pratnya Pratama, Jakarta. Halaman : 80 – 82.
Dahuri, R; J. Rais, S.P, Ginting dan M.J, Sitepu, 1996. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir
dan lautan secara terpadu. PT Pratnya Pratama, Jakarta.
Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove Di
Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat (Tesis). Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
IUCN - The Word Conservation Union. 1993. Oil and Gas Exploration and Production in
Mangrove Areas. IUCN. Gland, Switzerland.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41 Tahun 2000 Jo Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan No. 67 Tahun 2002 (Definis Pulau – Pulau Kecil).
Koesbiono, 1996. Ekologi wilayah pesisir
. Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PPLH
Lembaga Penelitian ,IPB bekerjasama dengan Direktorat jenderal Pembangunan
Derah Departemen Dalam Negeri RI dan Bank Pembangunan Asia (ADB).
Noor, Y.R, M. Khazali, dan I.N.N. Suryadipura, 1999. Panduan pengenalan Mangrove di
Indonesia. Wetlands International Indonesia programme, Ditjen PKA, Jakarta.
Nybakken, JW, 1988. Biologi Laut : Suatu pendekatan ekologi. Alih bahasa oleh M. Eidman.,
Koesoebiono., D.G. Bengen., M. Hutomo., dan S. Sukardjo. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta, Indonesia.
Nybakken, J.W, 1992. Biologi Laut : Suatu pendekatan ekologi. Alih bahasa oleh M. Eidman.,
Koesoebiono., D.G. Bengen., M. Hutomo., dan S. Sukardjo. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta, Indonesia.
Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar;
Wikipedia. http://www.suaramanado.com. Diakses Tanggal 27 Oktober Tahun 2015.
Pukul 19.00 Wita.
Risamasu, F,J.L, A. Tjendanawangi, Franchy Ch. Liufeto, Jotham S.R Ninef, dan Judiana
Jasmanindar. Kajian potensi sumberdaya ikan dan non ikan sebagai sumber pangan di
Kabupaten Kupang (laporan Penelitian) Lemlit Undana.
Romimohtarto, K dan S. Juwana, 2009. Biologi Laut Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut.
Penerbit Djambatan, Jakarta. 540 halaman.
Sugiarto, A. 1976. Pedoman Umum Pengelolaan Wilayah Pesisir. Lembaga Oseanologi Nasional,
Jakarta.
Suharsono, 1996. Jenis-jenis karang yang umum di jumpai di Indonesia.
Supriharyono, 2000. Pengelolaan ekosistem terumbu karang. Penerbit Djambatan, Jakarta.
Halaman : 3 – 5.
Suwito, V.A, 2012. Pencemaran pesisir dan laut. vivienanjadi.blogspot.com. Diakses tanggal, 25
Nopember 2014.
Timotius, S, 2003. Biologi terumbu karang, Makalah Training Course Karakteristik Niologi
Karang. Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI).
Tim Teknis, 2014. Penetapan Batas Maritim RI. Materi Audiens dengan Presiden RI.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil.
Victory News, 2016. 10 pulau terluar di NNT yang baru diberi nama oleh Gubernur NTT dan
FORUM KOMUNIKASI PEMERINTAH DAERAH (FORKOPIMDA) Provinsi NTT (Bagian
Politik dan Hukum), Senin, 16 Mei 2016
BAB VI. KARAKTERISTIK MASYARAKAT PESISIR

6.1 Perbedaan Masyarakat Nelayan dan Petani

Secara sosiologis, karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan masyarakat agraris


terutama sumberdaya yang dihadapi. Masyarakat agraris (kaum petani) menghadapi
sumberdaya yang terkontrol yaitu pengelolaan lahan untuk produksi suatu komoditas dengan
output yang relatif dapat diprediksi.Sifat produksi ini memungkinkan tetapnya lokasi produksi
sehingga mobilitas usaha relatif rendah dan elemen resiko tidak terlalu besar.

Karakteristik nelayan berbeda dengan petani. Nelayan menghadapi sumberdaya yang


sampai saat ini masih bersifat open access. Karateristik sumberdaya ini menyebabkan nelayan
harus berpindah-pindah untuk mendapatkan hasil yang maksimal sehingga elemen resikonya
tinggi sehingga masyarakat nelayan memiliki karakter keras, tegas dan terbuka. Kesamaan
masyarakat nelayan dengan petani terutama sifat usaha berskala kecil dengan peralatan dan
organisasi pasar sederhana. Eksploitasi sering terjadi terkait dengan masalah kerjasama dan
sebagian besar bergantung pada produksi yang bersifat subsisten serta memiliki keragaman
dalam perilaku ekonomi.

6.2 Karakteristik Sosial Masyarakat Pesisir


Masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, cukup lama
hidup bersama, mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan sama, dan sebagian
besar kegiatannya di dalam kelompok (Horton, et al, 1991). Ralph Linton (1956) dalam Sitorus
et al, 1998), mengartikan masyarakat sebagai kelompok manusia yang telah hidup dan
bekerjasama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur dan menganggap diri sebagai suatu
kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan secara jelas. Menurut SoejonoSoekanto
(1990) dalam Satria (2002), mencirikan unsure-unsur masyarakat yakni masyarakat yang hidup
bersama, bercapur dalam waktu yang lama, sadar sebagai suatu kesatuan, dan sadar sebagai
sustu sistem hidup bersama.

Satuan-satuan sosial meliputi kerumunan, golongan sosial, kategori sosial, jaringan


sosial, kelompok, himpunan dan komunitas. Selanjutnya unsur pengikat meliputi pusat
orientasi, sarana interaksi, aktivitas interaksi, kesinambungan, identitas, lokasi, sistem adat,
norma, organisasi tradisional, organisasi buatan dan pimpinan. Menurut Redfield (1941) dalam
Satria (2002), terdapat 4 tipe komunitas masyarakat yaitu city (kota), town (kota kecil),
peasant village (desa petani) dan tribel village (desa terisolir). Setiap komunitas memiliki
karakteristik kebudayaan yang berbeda satu dengan lainnya. Proses transformasi dari desa
terisolir ke kota ditandai dengan :

a. Kendurnya ikatan adat istiadat


b. Sekularisasi
c. Individualisasi
Masyarakat pesisir berada pada setiap tipe komunitas. Masyarakat pesisir di Indonesia
merupakan representasi tipe kominitas desa petani dan terisolir. Masyarakat pesisir (bergerak
dalam bidang perikanan) umumnya mencirikan sesuatu oleh Redfield disebut suatu kebudayaan
(folk). Komunitas kecil termasuk masyarakat pesisir, masyarakat terisolasi (masyarakat pulau
kecil) dan masyarakat desa pantai. Komunitas kecil memiliki beberapa ciri antara lain :

1. Mempunyai identitas yang khas


2. Terdiri dari jumlah penduduk dengan jumlah yang cukup terbatas, sehingga masih
saling mengenal sebagai individu yang berkepribadian
3. Bersifat seragam (homogen)
4. Kebutuhan hidup terbatas dan dapat dipenuhi sendiri tanpa bergantung pada pasar di
luar
Komunitas kecil merupakan bagian yang terintegrasi dari lingkungan alam tempat
komunitas kecil berada. Komunitas kecil merupakan suatu sistem ekologi dengan masyarakat
dan kebudayaan penduduk serta lingkungan alam setempat sebagai dua unsur pokok dalam
suatu lingkaran pengaruh timbal balik yang mantap. Jadi komunitas kecil masyarakat pesisir
merupakan sistem ekologi yang dapat menggambarkan beta kuat interaksi antara masyarakat
pesisir dan lingkungan pesisir dan laut. Masyarakat pesisir yang berjenis desa pantai dan desa
terisolasi dicirikan oleh sikap mereka terhadap mereka sendiri, terhadap alam dan manusia.
Terhadap alam mereka tunduk dengan berusaha menjaga keselarasan dengan alam, dengan
pandangan alam memiliki kekuatan magis, dan ciri dari tahap perkembangan teologis
masyarakat. Contoh : memberikan sedekah laut (nadran) ciri sikap tunduk kepada alam. Contoh
lain seperti Awig-awig di Lombok dan sasi di Maluku merupakan sikap masyarakat pesisir yang
hendak selaras dengan alam. Ciri masyarakat pesisir pada dua jenis komunitas berbeda
dengan kota kecil dan besar yang masyarakatnya cenderung menguasai dan merusak alam
serta indivdualisme tinggi.

Solidaritas masyarakat folk (kebudayaan) ada dua yaitu (1) Solidaritas mekanik ditandai
dengan masih kuat kesadaran kolektif sebagai basis ikatan sosial. Sistem hukum bersifat
represif dan belum berlaku hukum formal dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Contoh
maraknya pembakaran kapal/perahu yang menggunakan alat tangkap yang dilarang nelayan
lokal; dan (2) Solidaritas organik lebih menekankan pada hukum restitutif yang bersifat
memulihkan berfungsi mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan yang
kompleks antar berbagai individu yang khusus atau kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Sanksi yang diberikan bersifat memulihkan bukan balas dendam.

Karakteristik masyarakat pesisir meliputi (1). Sistem pengetahuan : pengetahuan tentang


teknik penangkapan ikan umumnya didapati dari warisan orang tua atau pendahulu.; (2) Sistem
kepercayaan : nelayan masih memiliki kepercayaan yang kuat bahwa laut memiliki kekuatan
magis sehingga perlu perlakukan-perlakuan khusus dalam melakukan aktivitas penangkapan
ikan agar terjamin keselamatan dan hasil tangkapan terjamin. Contoh : DiKirdowono perawatan
perahu dilakukan secara magis dimana perahu dipersonifikasi sebagai manusia yang dapat
sakit dan harus diobati, dll; (3) Peran wanita : Isteri nelayan juga melakukan aktivitas ekonomi
dalam kegiatan penangkapan di perairan dangkal,pengolahan ikan, kegiatan jasa dan
perdagangan; (4) Posisi sosial nelayan : Posisi sosial nelayan dalam masyarakat memiliki status
yang relative rendah.

6.3 Klasisfikasi Nelayan

Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam oprasi
penangkapan ikan atau binatang air lainnya. Berdasarkan status, maka nelayan dibagi atas :
1. Juragan darat adalah orang yang memiliki perahu dan alat tangkap ikan di laut
2. Juragan laut adalah orang yang tidak memiliki perahu dan alat tangkap dan diberi
tanggung jawab dalam oprasi penangkapan ikan di laut
3. Juragan darat laut adalah orang yang memiliki perahu dan alat tangkap sekali-sekali
turut serta dalam melakukan operasi penangkapan ikan di laut.
4. Pendega adalah orang yang tidak memiliki perahu dan alat tangkap ikan dan hanya
berfungsi sebagai anak buah kapal
Menurut waktu operasi penangkapan nelayan terdiri atas :
1. Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk
melakukan operasi penangkapan ikan
2. Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya
digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan
3. Nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya
digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan
Berdasarkan tingkat usaha nelayan terdiri atas :
1. Nelayan besar (large scale fishermen)
2. Nelayan kecil (small scale fishermen)
Berdasarkan kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada) orientasi pasar dan
karakteristik hubungan produksi terdiri atas (1) Peasant fisher (nelayan tradisional) lebih
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri (sub- sistence). (2) Berkembang
motorisasi perikanan, nelayan pun berubah dari peasant fisher menjadi post peasant yang
dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju seperti motor
tempel atau kapal motor; (3) Commersial fisher (nelayan berorientasi pada peningkatan
keuntungan); dan (4) Industrial fisher yang dicrikan dengan tata cara organisasi mirip
dengan perusahaan, relative padat modal, pendapatan lebih tinggi dan menghasilkan ikan
olahan (ikan kaleng dan beku) untuk diekspor.

6.5 Struktur Sosial Masyarakat Pesisir

Struktur sosial merupakan pola perilaku berulang-ulang yang memunculkan hubungan


antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat. Status adalah suatu kumpulan hak dan
kewajiban. Peran adalah aspek dinamis dari status.

Patron-Klien merupakan ciri umum struktur sosial masyarakat pesisir. Struktur sosial
masyarakat nelayan dicirikan dengan kuatnya ikatan patron klien. Kuatnya ikatan patron klien
merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan yang penuh resiko dan ketidakpastian.
Patron klien merupakan institusi jaminan sosial ekonomi. Tata hubungan patron klien meliputi
(1) Hubungan antar pelaku yang menguasai sumberdaya tidak sam; (2) Hubungan yang
bersifat khusus merupakan hubungan pribadi dan mengandung keakraban; dan (3) Hubungan
yang didasarkan pada azas saling menguntungkan.

Arus patron klien meliputi (1) Penghidupan subsisten dasar, berupa pinjaman pekerjaan
tetap, penyediaan sarana produksi, jasa pemasaran dan bantuan teknis; (2)Jaminan krisis
subsisten berupa pinjaman yang diberikan pada saat klien menghadapi kesulitan ekonomi; ((3)
Perlindungan terhadap klien dari ancaman pribadi maupun ancaman umum ; dan (4) Memberi
jasa kolektif berupa bantuan mendukung sarana umum setempat serta acara perayaan desa.
Klien adalah milik, sedangkan patron adalah penyedia tenaga dan keahlian untuk kepentingan
patron seperti jasa pekerjaan, dan lain-lain. Hubungan antara nelayan dengan patron yang
menguasai sumberdaya tidak sama, artinya patron menguasai sumberdaya modal jauh lebih
besar daripada nelayan. Ketidaksamaan penguasaan sumberdaya terjalinlah ikatan patron klien.
Patron klien ini lebih banyak berhubungan dengan bantuan modal kepada nelayan.

6.6 Stratifikasi Sosial Masyarakat Nelayan


Stratifikasi sosial berarti pembedaan populasi berdasarkan kelas secara hirarkis. Basis
pembedaan kelas adalah hak dan privilege, kewajiban dan tanggung jawab, nilai sosial dan
privasi serta kekuasaan dan pengaruhnya terhadap masyarakat.
Bentuk stratifikasi sosial terdiri atas (1) Stratifikasi berdasarkan ekonomi yaitu jika dalam suatu
masyarakat terdapat perbedaan atau ketidaksetaraan status ekonomi; (2) Stratifikasi
berdasarkan politik jika terdapat ranking sosial berdasarkan otoritas, prestise, kehormatan, dan
gelar, atau jika ada pihak yang mengatur dan yang diatur; (3) Stratifikasi berdasarkan
pekerjaan jika masyarakat terdiferensiasi kedalam berbagai pekerjaan dan beberapa diantara
pekerjaan itu lebih tinggi statusnya dibandingkan pekerjaan lain.
Modernisasi akan terjadi diferensiasi sosial yang dilihat dari semakin bertambahnya
posisi sosial atau jenis pekerjaan sekaligus terjadi pula perubahan stratifikasi karena sejumlah
posisi sosial tersebut tidak bersifat horisontal, melainkan vertikal atau berjenjang. Ukuran
penjenjangan bervariasi seperti ukuran ekonomi, prestise atau kekuasaan.
Stratifikasi sosial suatu masyarakat dipelajari dari tiga pendekatan antara lain (1)
Pendekatan objektif yaitu menggunakan ukuran objektif berupa variabel yang mudah diukur
secara statistik seperti pendidikan, pekerjaan atau penghasilan; (2) Pendekatan subjektif yaitu
kelas yang dilihat sebagai kategori sosial dan disusun dengan meminta para responden survei
untuk menilai status sendiri dengan jalan menempatkan diri pada skala kelas tertentu; dan
(3)Pendekatan reputasional yaitu subjek penelitian diminta untuk menilai status orang lain
dengan menempatkan orang lain pada skala tertentu.

6.7 Budaya Bahari


6.7.1 Pengertian

Budaya bahari adalah sistem-sistem gagasan/ide, prilaku/tindakan dan sarana/


prasarana fisik yang digunakan oleh masyarakat pendukungnya (masyarakat bahari) dalam
rangka pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan merekayasa jasa-jasa lingkungan laut
bagi kehidupannya. Budaya bahari mengandung isi/unsur-unsur berupa sistem-sistem
pengetahuan, kepercayaan, nilai, norma/aturan, simbol komunikatif, kelembagaan, teknologi
dan seni berkaitan kelautan. A.P. Vayda (1988; 1992).

Sistem budaya bahari mencakup (1) Sistem pengetahuan . Nelayan harus memiliki
pengetahuan tentang biota laut ekonomis, lokasi penangkapan dan rumah ikan, musim, tanda
- tanda alam, dan lingkungan lingkungan sosial budaya; (2) Gagasan/ide . Potensi laut
melimpah dan diperuntukkan bagi semua, sumberdaya laut untuk semua tetapi hanya sebagian
bisa memanfaatkannya, laut luas tetapi tidak semua bisa dimasuki; dan (3) Keyakinan/
kepercayaan : Pemanfaatan sumberdaya laut, khususnya perikanan, di banyak tempat di dunia
nelayan mempraktekkan keyakinan-keyakinan dari agama atau kepercayaan dianutnya sebagai
mekanisme pemecahan persoalan-persoalan lingkungan pisik dan sosial dihadapinya sehari-
hari; dan (4) Nilai, dan norma/aturan berkenaan dengan pemanfaatan sumberdaya dan jasa-
jasa laut.

6.7.2 Sistem Kelembagaan Bahari


Komuniti-komuniti bahari negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia,
memiliki sekurang-kurangnya empat kelembagaan/pranata tradisional (traditional institution)
yang tetap bertahan antara lain :

1. Pranata kekerabatan (kinship/domestic institution),


2. Pranata agama/kepercayaan (religious institution),
3. Pranata ekonomi (economic institution),
4. Pranata politik (political institution)
5. Pranata pendidikan (educational institution).
Contoh beberapa kelembagaan bahari seperti kelembagaan Sawi-sawi pada masyarakat
nelayan Bugis, Makasar dan Bajo dari Sulawesi Selatan misalnya kelompok ponggawa-sawi.
Kelembagaan pemilikan hak atas sumberdaya dan wilayah perikanan. Di Maluku, institusi
pemilikan komunal atas wilayah darat dan pantai disebut ‘sasi .

6.7.3 Budaya Bahari Masyarakat NTT


Beberapa komunitas adat di NTT yang memiliki kebudayaan laut yang unik. (Beraf, C,
2015) seperti di Lewolein, Lembata, ada budaya Re’wa Ik’e, budaya penangkapan ikan yang
diwariskan secara turun-temurun. Ikan, bagi masyarakat Lewolein, adalah sahabat, yang bisa
dipanggil kapan pun ketika dibutuhkan. Di Lamalera ada tradisi Tena Laja (Perahu Layar). Di
Mingar, Pasir Putih, ada budaya tangkap Nale (sejenis cacing laut yang muncul tiap tahun pada
bulan Pebruari), yang melibatkan hampir semua suku dalam kampung itu.

Makna tradisi yang dibangun antara lain (1) Tradisi-tradisi semacam itu menjadi aktivitas
kultural, sosial dan religius masyarakat; (2) Tradisi itu juga membangun interaksi dan kohesi
sosial antar suku; (3) Membina relasi intersubjektif dengan siapa saja; (4)Menemukan dan
mendefinisikan identitas mereka sendiri di hadapan suatu entitas sosial atau kultural tertentu;
(5) Dimensi spasial semacam itulah menjadi alasan mengapa beberapa masyarakat adat di
pesisir NTT tetap memilih dan menghidupi tradisi laut karena Laut adalah lokus kultural,
tempat mereka menghidupi dan menginternalisasi religiositas, solidaritas, kohesi sosial.

Suku Alor percaya akan adanya kekuasan tertinggi di laut disebut Dewa Laut (Lahatala).
Pemujaan roh atau benda alam menjadi simbol pemujaan terhadap dewa Lahatala. Melalui
pemujaan tersebut doa diterus kepada Dewa Mou Maha Maha agar dijauh dari marabahaya
selama berlayar dan mendapatkan berkah tangkapan ikan. Diiringi lagu dan tarian suku Orang
Alor mempersembahkan ritual berupa tarian Handek dan Heeloro sambil menarik sampan ke
laut diiringi alat musik trandisional. Di Kabupaten Kupang khusus di desa Bolok terdapat tradisi
Lilifuk.

Daftar Pustaka

Beraf, C, 2015. Budaya Bahari Belajarlah dari NTT-Flores Bangkit.


www.floresbangkit.com/2015/07.

Lampe, M, 2003. Budaya Bahari dalam konteks (Dalam konteks global dan modern) (Kasus
Komuniti-komuniti nelayan di Indonesia). Makalah ini disampaikan pada Kongres
Kebudayaan V, Bukittinggi, Sumatra Barat Tgl. 20-23 Oktober 2003.

Pramono, Dj, 2005. Budaya Bahari. Penerbit PT Gramedia

Satria K.A, 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. PT Pustaka Cidesindo


BAB VII. INTEGRASI PENGELOLAAN POTENSI DARAT DAN PESISIR SERTA LAUTAN
SECARA BERKELANJUTAN DI WILAYAH KEPULAUAN

7.1 Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Penerapan Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam pengelolaan wilpes dan lautan


secara terpadu. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan
hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED, 1987 dalam Dahuri, dkk, 1996). Pembangunan
berkelanjutan merupakan strategi pembangunan yang membrikan semacam ambang batas
pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada didalamnya.

Ambang batas bersifat luwes (flexible) tergantung pada kondisi teknologi dan sosial
ekonomi pemanfaatan sumberdaya alam dan kemampuan biosfir untuk menerima dampak
kegiatan manusia.Pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem
alamiah sedemikian rupa sehingga kapasitas fungsional untuk memberikan manfaat bagi
kehidupan manusia tidak rusak. Konsep pembangunan berkelanjutan memiliki 4 dimensi antara
lain :

1. Dimensi ekologis
Pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir agar total dampak tidak melebihi kapasistas
fungsionalnya. Setiap ekosistem alamiah memiliki 4 fungsi pokok bagi kehidupan manusia a.l :
1. Jasa-jasa pendukung kehidupan (udara, air bersih dan ruang tempat hidup) ; 2. Jasa-jasa
kenyamanan ( lokasi yang indah untuk berekreasi); 3. Penyedia sumberdaya alam dapat
diproduksi); 4. Penerima limbah (kemampuan menyerap limbah dari kegiatan manusia, hingga
menjadi kondisi yang aman) (Ortolano, 1984 dalam Dahuri, dkk, 1996). Berdasarkan 4 fungsi
tsb, maka terdapat 3 persyaratan yang dapat menjamin tercapainya pembangunan
berkelanjutan a.l

1. Keharmonisan spasial : tidak seluruh wilayah bisa dijadikan zona pemanfaatan, tapi harus
diperuntukan untuk zona preservasi dan konservasi.

2. Kapasitas asimilasi : kemampuan ekosistem pesisir untuk menerima sejumah limbah


sebelum ada indikasi terjadi kerusakan lingkungan dan atau kesehatan yang tidak dapat
ditoleransi

3. Pemanfaatan berkelanjutan : pemanfaatan harus memperhatikan kemampuan daya dukung


sumberdaya agar bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan

2. Dimensi Sosial Ekonomi

Total permintaan terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan tidak melampaui
kemampuan suplai. Pemanfaatan wilpes dan sumberdaya alamnya dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
3. Dimensi Sosial Politik

Permasalahan kerusakan lingkungan bersifat eksternalitas dimana pihak yang menderita


bukan si pembuat kerusakan tapi masyarakat miskin dan lemah (penebangan hutan mangrove
secara tidak bertanggung jawab). Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan membutuhkan
suasana politik yang demokratis dan transparan.

4. Dimensi Hukum dan Kelembagaan

Pembangunan berkelanjutan mengisyaratkan perlu pengendalian diri dari setiap manusia


untuk tidak merusak lingkungan
Penerapan sistem peraturan dan perundang-undangan yang berwibawa dan kosisten
Menanam etika pembangunan berkelanjutan bagi seluruh manusia di muka bumi melalui nilai-
nilai keagamaan.

6.2 Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan


Perikanan adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan ikan dan budidaya
hewan dan tanaman air. Perikanan tangkap adalah kegiatan ekonomi yang mencakup
penangkapan/pengumpulan hewan dan tanaman air yang hidup di laut/perairan umum secara
bebas. Perikanan budidaya adalah kegiatan ekonomi yang terkait dengan pemeliharaan hewan
dan tanaman air yang hidup di laut/perairan umum secara bebas.
Permasalahan pengelolaan perikanan meliputi :
1. Kurangnya informasi tentang data perikanan (data ekologi, stok ikan,
produksi/pendaratan hasil tangkapan, jumlah alat tangkap dan jumlah nelayan.
2. Penurunan hasil tangkapan karena berkurangnya jumlah nelayan, stok ikan menurun ,
tangkap lebih, penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak dan rusaknya
lingkungan habitat
3. Dukungan pemerintah masih terbatas ( kurangnya respons pemerintah terhadap
kemunduran hasil tangkapan)
4. Meningkatnya kesadaran masyarakat dalam melindungi sumberdaya perikanan
5. Pendidikan formal tentang lingkungan hidup
6. Memberdayakan dan meningkatkan partisipasi

7.3 Konsep Dasar Pengelolaan


Pengelolaan sumberdaya perikanan membutuhkan informasi sebagai dasar untuk
menetapkan berbagai rencana dan aturan untuk menata pemanfaatan sumberdaya ikan
1. Data biologi dan ekonomi setiap kegiatan perikanan
2. Penanggulangan penyusutan stok
3. Rancangan kelembagaan dan regulasi
Pertanyaannya sebenanrnya ikan di laut itu milik siapa. Jawaban sederhana ikan di laut
milik bersama (common property). Milik bersama artinya sumberdaya ikan milik bersama dan
menajdi tanggung jawab bersama dalam mengurus, memelihara dan mempertahankan
kelestariannya. Mengapa ikan harus dikelola agar pemanfaatan sumberdaya ikan tidak
dilakukan secara sembarangan.
7.4 Pengelolaan Perikanan
Pengertian pengelolaan perikanan merupakan rangkaian tindakan yang terorganisasi
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan terutama untuk memanfaatkan dan memelihara
sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Menurut FAO pengelolaan perikanan adalah
proses yang terpadu antara pengumpulan informasi, melakukan analisis, membuat
perencanaan, melakukan konsultasi, pengambilan keputusan, menentukan alokasi sumberdaya,
perumusan dan pelaksanaan. Adapun tujuan pengelolaan perikanan meliputi :
1. Mempertahankan kelestarian sumberdaya ikan dan kelanjutan kegiatan produksi
2. Meningkat kesejahteraan ekonomi dan sosial nelayan
3. Menjamin upaya pemenuhan kebtuhan masyarakat dan industri sumber makanan.
Dalam praktek pelaksanaan pengelolaan pihak pengelola harus dapat menentukan pilihan
terbaik mengenai : tingkat perkembangan perikanan yang diijinkan, tingkat pemanfaatan,
ukuran ikan yang boleh ditangkap, lokasi penangkapan yang dapat dimanfaatkan, bagaimana
mengatur alokasi keuangan untuk menyusun aturan/regulasi pengelolaan, penegakan hukum
(law inforcement), pengembangan produksi, dsb.
Tujuan pengelolaan dibedakan atas 4 macam yaitu aspek biologi (jumlah tangkapan
optimum), ekonomi (tingkat pendapatan), soasial (sumber mata pencaharian) dan rekreasi
(pemancingan komersial, hiburan dan pariwisata). Pengelolaan sumberdaya perikanan terdiri
atas tiga bagian yaitu
a. Pemerintah (Command and Control)
b. Community Based Management (CBM)
c. Co-management

1. Model Command and Control merupakan model konvensional


Artinya pemerintah yang memegang seluruh kendali pengelolaan sumberdaya perikanan
(pengelolaan secara sentralistik). Model pengelolaan ini tidak memberikan kesempatan bagi
nelayan atau pelaku usaha perikanan tidak diberi kesempatan dalam mengelolaa sumberdaya
perikanan.Pengelolaan oleh pemerintah didasarkan pada tiga fungsi : fungsi alokasi, distribusi
dan stabilisasi.
Fungsi alokasi melalui regulasi.Fungsi distribusi merupakan upaya untuk mewujudkan keadilan
dan kewajaran sesuai pengorbanan dan biaya yang dibebankan pada setiap orang atau
kelompok. Fungsi keadilan(stabilisasi) dilakukan dalam bentuk keberpihakan pada yang
posisinya lemah
Kelemahan dari pengelolaan sumberdaya yang berpusat pada pemerintah
1. Kelemahan pemerintah dalam menegakkan aturan
2. Kesulitan dalam penegakan hukum
3. Ketidaksesuaian antara aturan yang dibuat dan kenyataan di lapangan
4. Muncul berbagai aturan yang saling bertentangan
5. Tingginya biaya transaksi
6. Banyaknya wewenang yang tersebar dibanyak instansi
7. Ketidakaturan data untuk mengambil keputusan
8. Kegagalan dalam merumuskan keputusan manajemen

2. Community Based Management/CBM (Pengelolaan Berbasis Masyarakat)


Pengelolaan Berbasis Masyarakat (CBM) merupakan pengelolaan sumberdaya perikanan
yang dilakukan sepenuhnya oleh nelayan atau pelaku usaha perikanan melalui organisasi yang
sifatnya informal. Contoh : Sistem Sasi di Maluku; Awig-Awig di Lombok
Kelebihan Model CBM sebagai berikut :
1. Tingginya rasa kepemilikan terhadap sumberdaya
2. Aturan-aturan yang dibuat realistis secara sosial dan ekologi, sehingga dapat diterima
dan dijalankan masyarakat
3. Rendahnya biaya transaksi dalam pengelolaan sumberdaya karena dilakukan oleh
masyarakat sendiri seperti kegiatan pengawasan
Kelemahan Model CBM sebagai berikut :
1. Tidak mampu mengatasi masalah interkomunitas
2. Bersifat lokal
3. Sulit mencapai skala ekonomi karena bersifat lokal dan hanya dianut suatu masyarakat
4. Tingginya biaya institusionalisasi utnuk proses edukasi, penyadaran dan sosialisasi
kepada masyarakat

3. Model Co-Management
Co-Management adalah pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan
wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya perikanan
Dalam model ini pemerintah dan masyarakat turut bertanggung jawab dalam seluruh tahapan
pengelolaan sumberdaya perikanan. Dalam hal ini pemerintah dan masyarakat adalah mitra
sejajar.
Co-management perikanan terdiri dari beberapa bentuk pola kemitraan serta derajat
pembagian wewenang dan tanggung jawab antara masyarakat dan pemerintah. Hirarki dimulai
dari 1. pemerintah hanya berkonsultasi dengan masyarakat nelayan sebelum suatu peraturan
pengelolaan sumberdaya perikanan dirumuskan dan dijalankan. 2. Nelayan merancang,
mengimplementasi, dan menegakkan hukum dan aturan dengan dibantu oleh pemerintah.
Variasi Co-management antara lain :
1. Peranan pemerintah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan
2. Bentuk tugas dan fungsi manajemen
3. Tahap proses manajemen ketika kerjasama pengelolaan terwujud.

Daftar Pustka

Dahuri, R; J. Rais, SP, Ginting dan MJ, Sitepu, 1996. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir
dan lautan secara terpadu. PT Pratnya Pratama, Jakarta. Halaman : 80 – 82.

Nikijuluw,V. 2002. Rezim Pengelolaan Perikanan. Penerbit P3R dan Casindo Jakarta
BAB VIII. PELUANG BISNIS

8.1 . Potensi Sumberdaya Wilpes Dan Laut Sebagai Peluang Bisnis

Indonesia sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia sesungguhnya


memiliki potensi pembangunan ekonomi dalam bidang kelautan yang cukup besar. Dahuri
(2008), potensi perikanan dan kelautan tersebut secara garis besar dapat dikelompokkan ke
dalam empat kategori.

1. Sumberdaya dapat pulih


Sumber dapat pulih terdiri dari sumberdaya perikanan tangkap, budidaya pantai
(tambak), budidaya laut, dan bioteknologi kelautan. Perairan Indonesia memiliki potensi
lestari ikan laut terdiri dari ikan pelagis besar , ikan pelagis kecil , ikan demersal , ikan
karang konsumsi, udang peneid, lobster , dan cumi-cumi.
Pengembangan budidaya, baik budidaya pantai maupun budidaya laut. Dengan kondisi
pantai yang landai, kawasan pesisir Indonesia memiliki potensi budidaya pantai
(tambak) seperti budidaya ikan bandeng dan udang windu. Sementara itu, potensi
pengembangan budidaya laut untuk berbagai jenis ikan (kerapu, kakap, beronang, dan
lain-lain), kerang-kerangan dan rumput laut.
Potensi sumberdaya hayati (perikanan) laut lainnya yang dapat dikembangkan adalah
ekstrasi senyawa-senyawa bioaktif (natural products), seperti squalence, omega-3,
phycocolloids, biopolymers, dan sebagainya dari microalgae (fitoplankton), macroalgae
(rumput laut), mikroorganisme, dan invertebrata untuk keperluan industri makanan
sehat (healthy food), farmasi, kosmetik, dan industri berbasis bioteknologi lainnya.
2. Sumberdaya tidak dapat pulih
Sumberdaya kelautan tidak dapat pulih seperti minyak dan gas bumi, bauksit, timah,
bijih besi, dan bahan tambang serta mineral lainnya. Menurut Deputi Bidang
Pengembangan Kekayaan Alam, BPPT dari 60 cekungan minyak yang terkandung dalam
alam Indonesia, sekitar 70 persen atau sekitar 40 cekungan terdapat di laut. Dari 40
cekungan itu 10 cekungan telah diteliti secara intensif, 11 baru diteliti sebagian,
sedangkan 29 belum terjamah. Diperkirakan ke-40 cekungan itu berpotensi
menghasilkan 106,2 milyar barel setara minyak, namun baru 16,7 milyar barel yang
diketahui dengan pasti, 7,5 milyar barel diantaranya sudah dieksploitasi. Sedangkan
sisanya sebesar 89,5 milyar barel berupa kekayaan yang belum terjamah. Cadangan
minyak yang belum terjamah itu diperkirakan 57,3 milyar barel terkandung di lepas
pantai, yang lebih dari separuhnya atau sekitar 32,8 milyar barel terdapat di laut dalam.
3. Jasa-jasa Lingkungan
Energi Kelautan merupakan energi non-konvensional dan termasuk sumberdaya
kelautan non hayati yang dapat diperbaharui yang memiliki potensi untuk dikembangkan
di kawasan pesisir dan lautan Indonesia. Jenis energi kelautan yang berpeluang
dikembangkan adalah Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), energi kinetik dari
gelombang, pasang surut dan arus, konversi energi dari perbedaan salinitas.
Pengembangan pariwisata. Upaya untuk mengembangkan dan memanfaatkan objek dan
daya tarik wisata bahari yang terdapat di seluruh pesisir dan lautan Indonesia, terwujud
dalam bentuk kekayaan alam yang indah (pantai), keragaman flora dan fauna seperti
terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias.
Potensi pengembangan sumber energi pasang surut di Indonesia paling tidak terdapat di
dua lokasi, yaitu Bagan Siapi-Api dan Merauke.
Potensi jasa lingkungan kelautan lainnya yang masih memerlukan sentuhan
pendayagunaan secara profesional agar potensi ini dapat dimanfaatkan secara optimal
adalah jasa transportasi laut (perhubungan laut).

8.2 Jenis-jenis Usaha Bisnis Perikanan

Usaha perikanan mencakup setiap usaha perseorangan atupun badan hukum dalam
menangkap ataupun membudidayakan ikan demi menciptakan nilai tambah ekonomi bagi para
pelaku usaha. 3 Jenis bisnis atau usaha perikanan meliputi :

1. Usaha Perikanan Tangkap


Bisnis atau bidang usaha perikanan tangkap merupakan sebuah kegiatan bisnis yang
berfokus pada produksi ikan melalui cara penangkapan ikan yang berasal dari sungai,
danau, muara sungai, waduk dan rawa (perairan darat) atau lantai dan laut lepas
(perairan laut).

Contoh : usaha perikanan tangkap ikan sardin, ikan tuna, ikan bawal laut dan lain
sebagainya yang menggunakan peralatan penangkapan ikan serta perahu sebagai
media transportasi.

2. Usaha Perikanan Budidaya/Akuakultur


Bidang usaha perikanan budidaya/akuakultur merupakan sebuah kegiatan usaha dengan
tujuan guna memproduksi ikan di dalam sebuah wadah atau tempat pemeliharaan.
Contoh : usaha perikanan budidaya meliputi budidaya ikan lele, budidaya ikan nila,
budidaya ikan gurami, budidaya ikan patin, budidaya ikan hias serta budidaya laut (ikan,
mutiara, teripang, rumput laut, dll).

3. Usaha Pengolahan Hasil Perikanan


Usaha perikanan pengolahan merupakan usaha perikanan dengan tujuan utama
meningkatkan nilai tambah yang sudah dimiliki oleh sebuah produk perikanan (berasal
dari usaha perikanan budidaya/akuakultur maupun usaha perikanan tangkap).
Contoh : pembuatan nugget berbahan dasar ikan, pengolahan kerupuk ikan, pembuatan
bakso ikan, abon ikan, dan lain-lain.
8.3 Promosi Potensi Dalam Pengembangan Bisnis

Dahuri dalam Sanjaya (2015), 10 sektor ekonomi kelautan yang memiliki prospek bisnis
cerah untuk dikembangkan dan berpotensi untuk memajukan dan memakmurkan Indonesia
antara lain :

(1) Perikanan tangkap,

(2) Perikanan budidaya

(3) Industri pengolahan hasil perikanan

(4) Industri bioteknologi. Contoh : industri bioproses yang memanfaatkan organisme untuk
menghasilkan berbagai produk dan jasa seperti bioenergi dari rumput laut dan mikroalga,
(2) industri budidaya organisme perairan dan turunannya, seperti budidaya rumput laut
untuk bahan obat dan kosmetik, (3) industri pengujian bahan-bahan berbahaya pada
produk seafood melalui metode bioteknologi untuk meningkatkan keamanan dan daya
saing ekspor

(5) Pertambangan dan energi,

(6) Pariwisata bahari, (7) transportasi laut,

(8) Industri dan jasa maritim. Contoh :industri pembuatan galangan kapal, mesin, peralatan
kapal, industri alat untuk menangkap ikan (seperti jaring, pancing,fish finders, tali
tambang, dan sebagainya), industri kincir air tambak, pompa air,offshore engineering,
coastal engineering, kabel bawah laut danfiber optics,

(9) Pembangunan pulau-pulau kecil seperti perikanan dan pariwisata ,

(10) Sumberdaya non-konvensional (non-conventional resources). Contoh : industri air laut


dalam, gas hidrat, air tawar di bawah dasar laut, energi gelombang, energi pasang
surut,current energy, OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), sumber daya laut dalam,
mineral dan pertambangan, perikanan laut dalam.

8.4 Peluang Bisnis Yang Cocok Untuk Daerah Pesisir Pantai


1. Usaha Kecil Rumahan Industri Pengolahan Ikan
Jika ikan yang banyak tersebut diolah lagi menjadi beberapa jenis makanan lain, tentu ikan
tersebut menjadi lebih bernilai lagi dan harga jualnya bisa lebih mahal. Untuk pengolahan
ikan kita tidak perlu yang muluk-muluk seperti pengolahan ikan menjadi makan ikan yang
dikaleng .
Produk olahan ikan biasanya akan laku dipasaran karena bisa dijadikan camilan atau
makanan ringan, oleh-oleh, ciri khas suatu wilayah pantai, dan juga untuk konsumsi
sebagai lauk pauk
2. Peluang Usaha Penyaluran atau Pendistribusian Ikan
Ikan yang ditangkap nelayan nanti akan dibeli dan akan dibawa kedaerah lain untuk dijual.
Bisnis ini bagus, hanya saja rawan terjadi tindak kejahatan yang merugikan nelayan.
Tindak kejahatan tersebut berupa pendistribusi atau bandar (pengumpul) membeli ikan
dengan harga yang sangat murah dan terkadang malah merugikan nelayan
3. Bisnis budidaya dan pengolahan rumput laut
4. Peluang Usaha Aksesoris dari Cangkang Hewan Laut
5. Peluang Usaha Pendistribusian dan Pengolahan Kelapa
Pohon kelapa sering dijumpai diwilayah pantai, k memiliki banyak manfaat mulai dari
batang, daun, buah, cangkang, serabut kelapa dan juga air bisa kita manfaat sebagai
peluang bisnis.
6. Peluang Usaha Budidaya Mutiara
Mutiara merupakan salah satu hasil laut yang memiliki nilai yang tinggi dan harganya
mahal. Mutiara sering dijadikan perhiasan dihasilkan oleh kerang mutiara yang bisa
dibudidayakan.
7. Bisnis dan Peluang Usaha Home Stay, Wisma atau Penginapan
8. Peluang Usaha di Wilayah Pantai Wisata
Pantai wisata merupakan tempat yang banyak memiliki peluang bisnis. Di pantai wisata kita
bisa membuka berbagai macam kegiatan bisnis seperti Perhotelan, penginapan, wisma dan
home stay, Restoran, rumah makan, warung atau kedai makan, Wisata air seperti
menyelam, berenang, wisata penyu, dan lain-lain.
Oleh-oleh pantai wisata, Penyewaaan peralatan wisata air seperti perahu, peralatan
menyelam, berenang dan banyak lagi

Anda mungkin juga menyukai