Anda di halaman 1dari 15

TUGAS ILMU BUDAYA DASAR

UPACARA ADAT REBA LANGA

OLEH

Nama : Sirilus Keo


Noreg : 22119007

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA

KUPANG

2019
A. GAMBARAN UMUM LANGA
Langa merupakan salah satu kampung yang terletak dibagian selatan kota Bajawa. Langa
berada di kecamatan Bajawa, kabupaten Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur. Secara
geografis kampung Langa berada di antara kota bajawa pada bagian utara, Kecamatan
Jerebuu pada bagian selatan, Kecamatan Golewa Barat pada bagian timur dan Kecamatan
Aimere pada bagian Barat. Langa memiliki aset-aset pariwisata seperti Wolobobo, Gunung
Inerie, dan Bukit Watunariwowo atau yang lebih tren disebut Bukit Avatar dimana terdapat
tempat yang dinamakan Bedhi me Luna, dimana tempat ini memiliki sebuah kisah tentang
perjodohan yang dilarang adat masyarakat setempat. Langa memiliki 7 desa besar yakni:
Desa Borani, Desa Bomari, Desa Langa Gedha yang merupakan desa induk di Langa, Desa
Boradho, Desa Beja, Desa Bela dan Desa Wolokoro yang merupakan desa baru yang
dibentuk.
Kegiatan sehari-hari masyarakat Langa dari pagi hingga sore hari ada yang bertani,
kantoran, tukang ojek dan bersekolah untuk kalangan remaja dan anak-anak. Ada juga
aktifitas lain yang dilakukan oleh kaum laki-laki yaitu membuat bata merah untuk dijual,
sedangkan kaum perempuan yakni; membuat olahan benang dari bahan katun dan kepodang
untuk dijadikan suatu kain adat yang sangat khas dengan motif kuda (motif jara) dan motif
kaki ayam (wa’i manu) dengan warna khasnya biru panye (ngura), warna putih (bhara) dan
warna merah (toro hanya pada kain lawo bagi perempuan yang sudah dimodifikasi dengan
bahan-bahan baku baru sesuai dengan perkembangan zaman sekarang). Kain untuk laki-laki
dinamakan sapu-lu’e dan boku, sedangkan untuk perempuan dinamakan lawo,kasasese,keru
dan marangia. Hal ini sebagai bentuk kecintaan orang Ngada pada umumnya terlebih khusus
untuk masyarakat Langa dalam melestarikan suatu karya tenun ikat yang indah kepada
generasi kaum mileneal zaman sekarang ini. Selain itu juga untuk menjual kepada
masyarakat baik masyarakat lokal maupun masyarakat luar negri yang tertarik dengan kain
tersebut, guna untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Sebelum memulai membahas ritual upacara reba, saya sedikit mengulas cerita tentang
asal mula terjadinya upacara Reba. Langa memiliki ritual syukuran panen yang dinamai
upacara reba yang selalu diperingati selama kurang lebih 5  hari dan yang dimulai pada
tanggal 14 Januari setiap tahunnya. Peringatan reba ini awal mulanya dicetus oleh seorang
lelaki yang bernama Sili, sehingga setiap rangkaian upacara reba, para tetua adat selalu
menyebut " Sili ana wunga da nuka pera gua" ( Sililah orang pertama yang mengajarkan cara
bercocok tanam).
Pada masa itu,  wilayah Langa hanyalah  padang rumput yang subur. Tidak ada jenis
tanaman yang dapat dikonsumsi. Masyarakatnya juga  belum mengenal bercocok tanam dan
hidupnyapun berpindah-pindah,  sehingga  hanya mengkonsumsi ubi-ubian dan sayur-
sayuran yang diperoleh di hutan. Sili merupakan anak kandung dari seorang pengembara
asal India pedalaman yang bernama Bawa Rani. Sebelum Sili dan ketiga saudara kandungnya
dilahirkan, Bawa Rani sang Ayah pernah menjadi raja dipulau Jawa. Bawa Rani adalah sosok
lelaki yang gagah perkasa. Saat tiba di pulau Jawa, Bawa Rani mendapati sekumpulan
masyarakat  sedang dalam masa peperangan. Melihat kondisi yang demikian sulit dan
semakin bertambah korban jiwa setiap harinya, Bawa Rani pun mencoba menolong
semampunya. Karena kegigihannya, akhirnya musuh dapat dipukul mundur. Sebagai ucapan
terimakasih, masyarakat pada masa itu mengangkat Bawa Rani sebagai Raja. Kerajaan yang
diperintahnya diberi nama Majapahi.
Pada masa pemerintahannya, kerajaan Majapahi dipengaruhi oleh kebiasaan gaya hidup
masyarakat di tempat kelahirannya yakni India Pedalaman yang menganut kepercayaan
Dinamisme. Merasa cukup lama menetap di Jawa, akhirnya Bawa Ranipun meninggalkan
Kerajaan Majapahi dan melanjutkan perjalanan ke Bima. Setelah cukup lama di Bima, iapun
melanjutkan lagi ke Wio ( pulau Sumba). Perjalanan dilanjutkan lagi menuju Wae Meze
( Flores). Di tempat inilah Bawa Rani menemukan pujaan hatinya yang bernama Moi Nari.
Untuk menyambung hidup, mereka harus berburu dan meramu. Selain itu pula sesekali
berdagang ke pulau Sumba ( Wio). Berdagang saat itu dengan cara Barter atau menukarkan
barang dari wae Meze dengan barang dari Wio. Sili dan ketiga saudaranya membantu
ayahnya untuk mengumpulkan buah-buahan hutan, kayu manis dan rempah-rempah lainnya
untuk ditukarkan dengan kain, bahan makanan dan obat-obatan dari Wio.
Adalah seorang Dukun beranak bernama Ulu dan kedua temannya Dhake dan Sipa. Ketiga
orang ini juga merupakan penduduk Wae Meze, namun tujuannya bukan untuk berdagang.
Dhake yang memiliki fisik tinggi besar ini juga terkenal pekerja keras. Ia  menuju Wio untuk
mendapatkan upah dari jasa mengangkut beban dan kayu.  Sedangkan Sipa merupakan kaki
tangan dari Ulu yang adalah seorang dukun beranak yang sangat terkenal. Dari hasil menjadi
dukun beranak, Ulu dan Sipa berhasil membawa pulang Bubuk Emas dan kain  pemberian
masyarakat Wio, sedangkan Bawa Rani dan keempat anaknya membawa kain  sarung, obat-
obatan dan bahan makanan lainnya. Setelah semuanya selesai, Bawa Rani dan keempat
anaknya menunggu penduduk Wae Meze yang lainnya di tempat yang telah dijanjikan.
Sebelum meninggalkan Wio, semua mereka berkumpul untuk duduk makan bersama dan
saling mengevaluasi diri selama berada  di Wio. Upacara ini dipimpin oleh Bawa Rani
dengan cara memberikan sesajen berupa ubi bakar pada sebuah batu yang dibuat sebagai
altar atau mesbah persembahan. Ucapan rasa syukur ini disampaikan  kepada sang pemilik
langit dan bumi. Hal ini selalu dilakukan setiap mereka hendak pulang menuju ke Wae Meze.
Setibanya di Wae Meze, seperti biasa pada saat bangun pagi semua penduduk duduk
santai sambil menikmati ubi bakar dan buah-buahan lainnya sambil menghangatkan badan
dibawah sinar matahari. Masing-masing menggunakan seruas bambu sebagai tempat yang
aman untuk menyimpan jagung dan padi. Tidak terkecuali Ulu, Sipa dan Dhake juga
menyimpan Jagung dan Padi. Walaupun mendapatkan harta warisan yang lebih berupa ubi,
namun Sili tidak pernah sombong. Baik Bawa Rani maupun keempat anaknya masih sangat
ragu untuk menggunakan pemberian dari kedua burung yang diyakini sebagai penjelmaan
leluhur itu.
Hari semakin sore, langit menjadi gelap dan terjadi hujan deras. Rumah yang beratapkan
daun rumbia basah kuyub sehingga seisi rumah menjadi banjir. Bawa Rani sekeluarga tidak
tidur malam itu. Mereka duduk mengelilingi tungku api untuk menghangatkan badan.
Ketika sedang hanyut dalam cerita, tiba-tiba terdengar suara gemuruh datang dari arah barat.
Bersamaan dengan suara gemuruh, hujanpun berhenti. Serentak mereka berhamburan keluar
rumah dan mendapati penduduk yang lain juga melakukan hal yang sama. Tanpa dikomando,
semua mereka masuk kembali kedalam rumahnya masing-masing untuk mengambil barang-
barang yang diperlu diselamatkan. Timur merupakan jalur yang ditempuh karena menuju  ke
dataran tinggi yakni  Gunung Ata Ga'e. Menjelang matahari terbit, semua penduduk masih
melanjutkan perjalanan. Setibanya di dataran yang cukup tinggi, tepatnya di nua Ga’e
semuapun beristirahat. Dipandangnya kearah barat dan ternyata daerah yang mereka dirikan
rumah telah terendam air laut.
Beberapa penduduk lainnya termasuk Sipa, Ulu dan Dhake tetap melanjutkan perjalanan
untuk menemukan tempat yang cocok untuk bermalam. Sedangkan Bawa Rani dan
keluarganya memilih untuk mencoba menetap di Nua Ga’e. Kehidupan baru telah dimulai.
Bawa Rani dan keluarga harus menyesuaikan diri dengan hawa yang berbeda. Wae Meze
merupakan daerah panas karena dekat dengan hawa laut sedangkan di tempat baru itu
suhunya sangat dingin karena jauh dari laut. Sili dan Saudaranyapun kembali membantu
kedua orangtuanya untuk mendirikan rumah. Mereka mencari  alang-alang untuk dijadikan
atap dan beberapa batang kayu sebagai penyanggah sekaligus dinding. Untuk melindungi
dari ancaman binatang buas, rumah didirikan lebih tinggi diatas permukaan tanah.
Pada masa itu penduduk setempat belum mengenal penanggalan bulan dan musim,
sehingga mereka hanya menafsirkan secara alam berupa tanda-tanda yang ditampilkan di
langit berupa posisi bulan maupun bintang, awan  dan beberapa tanda lainnya.
Sewaktu mulai menetap di kaki gunung Ata Ga’e, cuaca mulai berubah dimana terasa sangat
dingin dimalam hari, dan panas disiang hari sehingga mereka menamainya sebagai musim
Fange Ze’e. untuk penanggalan bulan dimasa sekarang, Fange Ze’e sama persisnya dengan
keadaan alam  pada bulan Juli. Semua penduduk mengalami kelaparan karena cukup sulit
untuk menemukan ubi maupun buah-buahan di hutan karena semua tanaman kering.
Bawa Rani mengajak anak-anaknya untuk berdagang. Mereka membawa sarung yang
diperoleh dari Sumba untuk ditukarkan dengan bahan makanan di tempat lain. Sili bertugas
menjaga rumah dan ibunya. Sili mulai memutuskan untuk menebang hutan untuk dijadikan
lahan baru. Hutan yang baru ditebang dibiarkan menjadi kering untuk dibakar. Proses
menunggu keringnya Ranting kayu yang ditebang memakan waktu cukup lama.
 Sambil menunggu ranting-ranting kayu kering dibawah sinar matahari,  Sili dan ibunya
mulai membenamkan didalam tanah,beberapa sisa ubi, yang diperoleh dari hutan untuk
menjaga agar bahan makanan tidak habis. Sebab, ayah dan saudara-saudaranya tidak kunjung
pulang.
Setelah melewati beberapa siang dan malam, akhirnya ubi tersebut mulai bertunas.
Silipun mencoba memberanikan membenamkan Ubi yang dimilikinya itu. Meskipun tidak
hujan, ubi yang ditanamnya tersebut akhirnya mulai mengeluarkan akar dan bertunas. Sili
sangat gembira sekaligus penasaran untuk segera mengetahui akhir dari pertumbuhan Uwi.
Hari bertambah hari ubi tersebut terus mengeluarkan daun- daun yang kian rimbun, tumbuh
bercabang-cabang dan menjalar. Karena semakin panjang, Sili membuat tiang penyanggah
agar cabang-cabangnya tidak menyentuh tanah. Setelah cukup lama, awan hitampun mulai
menyelimuti langit. Menurut penafsiran Bawa Rani bahwa akan segera turun hujan.
Segeralah Sili dan ibunya  mengumpulkan ranting-ranting kayu yang ditebang untuk dibakar.
Sili memberanikan  untuk membenamkan jagung dan padi. Beberapa hari kemudian,
tanaman tersebut mulai mengeluarkan akar dan bertumbuh. Hampir setiap tahap
pertumbuhan  terus diawasi. Lahan yang dikelolanya dibagi menjadi beberapa bagian untuk
jagung, padi, dan ubi.
Suatu ketika, pada malam harinya, mereka memandang ke langit dan didapatinya  sebuah
Bintang Berwarna merah yang dinamai ( Dala Wawi). Bintang tersebut akan muncul hanya
pada saat-saat tertentu saja. Menurut keyakinan Bawa Rani di tempat asalnya di India, bahwa
dengan munculnya Bintang berwarna Merah tersebut merupakan sebuah tanda bagi
kehidupan manusia di bumi. Diapun segera  mengajak ketiga anaknya,Doko, Du’a dan
Dhingi untuk pulang setelah memperoleh Kelapa, Garam,Tebu, Ubi,Sayur dan Periuk yang
terbuat dari tanah. Perjalanan cukup jauh dan memakan waktu yang cukup lama.
Sesampainya di Wae Meze, Bawa Rani dan ketiga saudaranya keheranan melihat tanaman
disekeliling rumah. Bukan lagi pepohonan dan semak belukar, namun mereka menjumpai
tanaman lainnya yang dibagi dalam beberapa petak. Sili yang tidak mengetahui kedatangan
ayah dan saudaranya langsung berlari menghampiri dan segera menceritakan  seluruh
kegiatannya selama ayahnya tidak dirumah. Ayah dan saudaranyapun turut bahagia
mendengar cerita Sili. Semua menjadi tidak sabar menunggu akhir dari tumbuhnya ketiga
jenis tanaman tersebut. Setiap hari selalu diawasi sambil menyiangi rumput liar. Perhatian
benar- benar fokus pada ketiga jenis tanaman itu. Musim berganti, Bawa Rani dan keluarga
sedikit heran karena ubi yang awalnya tumbuh subur, perlahan mulai mengering. Daun- daun
yang berwarna kuning mulai berguguran. Setelah menggalinya maka mengertilah mereka
bahwa sudah saatnya ubi siap dipanen. Hasil ubi yang digali sangat banyak. Meskipun ubi
yang ditanam hanya satu pohon, namun tidak pernah habis mereka menggalinya.
Sementara menggali ubi, padi dan jagungpun mulai kering. Saat itu mereka sibuk untuk
memanen padi, jagung dan ubi. Panenanpun melimpah. Ubi yang tidak pernah habis digali,
dibiarkan begitu saja sehingga tumbuh tunas-tunas baru.
Bawa Rani kemudian mengajak istri dan anaknya untuk berkumpul. Semua mereka
berterimakasih kepada Sili yang telah melakukan sesuatu yang baru. Usai rembuk bersama,
akhirnya diputuskannya untuk merayakan panenan tersebut. Bawa Rani dan anak-anak
membuat Lesung dari sebatang pohon yang untuk menumbuk padi dan jagung.  Moi Nari
sibuk mengupas ubi untuk direbus dan dibakar. Setelah Ubi, Padi dan jagung dimasak, Bawa
Rani sebagai kepala keluarga memimpin upacara syukuran tersebut. Di ladang yang ditanami
ketiga jenis tanaman tersebut, mereka memberikan sejumput nasi dan ubi yang disimpan
diatas sebuah batu yang dijadikan altar persembahan. Hal ini dilakukan sebagai syukuran
kepada pemilik tanah ( mori watu tana) yang terdapat diladang. Di dalam rumah, mereka
memberikan sejumput nasi dan ubi yang disimpan dalam piring ( Ngeme) dan mengundang
arwah leluhur untuk hadir makan bersama mereka.
Setelah semua ritual dibuat, merekapun makan bersama dan selanjutnya mengevaluasi
diri untuk mengisi hidup di hari-hari selanjutnya. Dari kumpul bersama tersebut, mereka
sepakat untuk bergotong royong membuka lahan baru untuk memperluas ladang.
Ladang semakin luas, bibit padi dan jagung yang dimiliki Bawa Rani dan saudaranya diambil
dan ditambahkan dengan  bibit dari hasil pertama untuk dikembangkan dilahan baru.
Semakin luaslah ladang milik Bawa Rani sekeluarga. Pada panenan yang kedua, mereka
memutuskan untuk mengundang seluruh penduduk dimana saja berada untuk turut ambil
bagian dalam perayaan syukuran tersebut.
Pada hari yang ditentukan, tepatnya pada saat panen ubi yang jatuh pada Musim Reba
dan dalam kalender masehi jatuh pada bulan Januari. Semua penduduk berdatangan. Makan
bersama dan menari bersama. Disela-sela makan dan menari, Bawa Rani menceritakan apa
yang mereka alami. Sebelum seluruh penduduk kembali, Bawa Rani dan keluarga membagi-
bagikan bibit dan berpesan agar setiap panenan harus diawali dengan membuat ritual
syukuran seperti yang diajarkannya. Semua penduduk mengikuti pesan Bawa Rani. Mereka
mulai membuka lahan untuk bercocok tanam dan kemudian menetapkan waktu untuk
mengadakan syukuran yang dipimpin oleh Bawa Rani. Pesan Bawa Rani dituruti oleh semua
penduduk. Perlahan-lahan, baik Bawa Rani maupun penduduk lainnya mulai membuka lahan
hingga wilayah Langa. Ternyata wilayah Langa sangat subur dan letak geografisnya sangat
rata sehingga merekapun memilih untuk menetap di wilayah Langa.
Musim Reba merupakan saatnya bagi penduduk untuk memanen Ubi. Para pendudukpun
memutuskan untuk memperingati syukuran hasil panen pada musim panen ubi. Segala
persiapan dilakukan. Bawa Rani sekeluarga yang memulai terdahulu pada hari pertama
dengan cara memberikan sesajen berupa ubi, nasi, dan tuak di Loka ( tempat yang dijadikan
altar persembahan untuk mengundang leluhur), kemudian diikuti oleh seluruh penduduk.
Pada malam harinya, penduduk yang berdomisili diluar wilayah Langa dan masih memiliki
kekerabatan dengan masyarakat yang ada di wilayah Langa mulai berdatangan membawa
serta hasil panen yang dimiliki untuk turut merayakan syukuran panen tersebut.
Malam pembukaan diawali dengan makan dan minum bersama yang dilanjutkan dengan
sharing bersama tentang situasi yang dialami selama satu tahun. Pada malam berikutnya
dilanjutkan dengan evaluasi bersama tentang tindakan, tutur kata maupun perilaku yang
dilakukan selama hidup  dalam keluarga maupun bermasyarakat, kemudian dilanjutkan
dengan rencana tindak lanjut yang ingin dicapai pada hari – hari selanjutnya. Selama upacara
syukuran panen ini berlangsung, semua penduduk tidak diperkenankan untuk bekerja namun
hanya makan, minum dan menari bersama.
Hingga kini perayaan ritual adat Reba  Langa selalu diperingati selama kurang lebih 5
hari yang diawali dengan perayaan inkulturasi setiap tanggal 15 Januari setiap tahunnya.
Perayaan ini mampu menarik minat wisatawan lokal maupun Mancanegara setiap tahunnya,
karena saat itu para tamu dijamu layaknya seorang raja.
B. Tahapan-Tahapan Upacara Reba
Upacara reba memiliki tahapan-tahapan yang tidak boleh dilewatkan. Tahapan-tahapan ini
memiliki nilai mistik yang mana harus dipertahankan dalam Upacara reba. Adapun tahap-
tahap Upacara reba tersebut adalah sebagai berikut;
1. Reba Lanu/rebha
Reba lanu yakni sebagai pembuka seluruh rangkaian reba yang dilaksanakan pada
pagi hari pertama sebelum dheke reba/kobe dheke. Tahap ini bertujuan untuk
menghormati leluhur masyarakat di kampung dan untuk memohon berkat Tuhan melalui
arwah leluhur agar tanaman tumbuh subur dan menghasilkan panen yang berlimpah.
Reba lanu dilakukan pada tempat khusus yang terletak di luar kampung, yang disebut
lanu. Lanu adalah sebuah batu megalit pipih yang ditanam disalah satu bagian tubuh
(biasanya ditengah kebun) sebagai bukti yang sah kepemilikan kebun. Pada acara ini
akan dilakukan penyembelihan hewan kurban, darahnya dipercik pada Loka (batu) dan
dagingnya dimasak serta dimakan bersama dengan nasi bambu. Sebelum ayam dipotong
atau disembelih, terlebih dahulu salah satu yang hadir (yang tertua) mengucapkan
semacam mantra (zi’a ura manu) untuk menyatakan ujud pelaksanaan upacara tersebut,
syairnya berbunyi seperti berikut :
Zi’a ura manu dia : semoga dengan upacara pemotongan ayam ini
Dia kami da rebha uma : ini kami akan merebha kebun
Raba go ngaza lima zua wolo : agar ketujuh tanaman bertumbuh subur
Dia kami nge nuka reba : kami peresmbahkan darah ayam ini bagi keselamatan
perayaan reba di kampung
Manu kau ura zi’a : ayam semoga uratmu menunjukkan pertanda baik
Bhoko sewolo jali jo : tanama terbaris rapi
Da lewa noze nea : yang tinggi dipangkas segingga subur
Kiki kaba ne’e wea : dapat menghasilkan kerbau dan emas
Pedhu kau bodha wela alo : semoga penyakit tersingkir jauh
Setelah selesai pengucapan mantra zi’a ura manu lalu ayam dipotong, dibakar lalu
dibelah untuk melihat isi perutnya dan si pengucap mantar tadi harus melihat kondisi urat
hati dan empedu ayam, akan tampak petunjuk-petunjuk tertentu seperti akan terjadi
kelaparan, tanaman tumbuh subur atau berhasil, akan ada kematian di dalam keluarga
sendiri atau orang lain, dan lain-lain.
2. Tege kaju lasa
Setelah upacara rebha di kebun, siang atau sore harinya ada upacara tege kaju.
Secara harafiah, tege kaju artinya memasukan kayu api kedalam sa’o (rumah adat). Kayu
api ini sesudah dipotong dan dikeringkan kurang lebih sebulan menjelang pesta reba.
Kayu-kayu tersebut ditumpukan di padha sa’o yaitu jenjang pertama dalam sebuah rumah
adat. Pelaksanaan upacar tege kaju harus dimulai dari rumah adat tertentu (rumah adat
induk) yang mempunyai hak adat mengawali upacara tersebut, baru diikuti oleh sa’o
ngaza (nama rumah adat) lainnya. Kayu dimasukan kedalam rumah adat dan diletakan
diatas para-para (kae) yang berjarak kurang lebih satu setengah sampai dua meter diatas
tungku didalam rumah adat. Kayu apai tersebut disiapkan untuk dipakai selama upacara
reba yang bisa membutuhkan waktu selamat stu minggu atau lebih.
3. Reba bhaga
Sesudah upacara tege kaju lasa, dilanjutkan dengan upacara reba bhaga. Bhaga adalah
miniature rumah adat yang didirikan di tengah kampung. Reba bhaga dilaksanakan di
dalam bhaga, diawali dengan pengucapan mantra zi’a ura manu dengan ujud reba bhaga.
Peserta reba bhaga hanya beberapa orang saja yang diutus oleh kepala adat, dalam
upacara reba bhaga urat hati dan empedu ayam harus diamati dengan sungguh-sungguh
untuk mengetahui tanda-tanda atau ramalan. Setiap pemotongan ayam didahului dengan
pengucapan mantra zi’a ura manu dan harus diikuti dengan membaca tanda-tanda atau
ramalan melalui posisi urat hati dan empedu ayam, sedangkan pemotongan ayam untuk
makan biasa tanpa ujud tertentu, tidak perlu didahului dengan pengucapan mantra. Ayam
yang dipanggang atau dibakar, diamakan bersama nasi serta minumannya adalh tuak
(moke), sebelum menyantap nasi dan daging ayam, terlebih dahulumereka memberikan
sesajen berupa nasi dan hati ayam bagi para leluhur (kuwi). Demikian minuman, para
leluhur harus diberi minum terlebih dahulu yang biasa disebut fedhi tua. Tata upacara
pemotongan hewan dengan ujud tertentu yang diawali dengan pengucapan mantra dan
pemberian sesajen berlaku untuk semua upacara.
4. Dheke Reba
Dheke reba dilakukan pada malam pertama reba. Pada malam dheke reba semua
keluarga atau warga rumah adat, baik yang berada dikampung itu maupun yang datang
dari luar daerah karena bekerja sebagai perantauan akan berkumpul bersama. Dheke reba
diselenggarakan dirumah adat masing-masing yang merupakan malam reuni keluarga
secara paripurna. Setiap warga rumah adat yang datang akan membawa serta beras, ayam
dan moke (tuak). Hal-hal yang berkaitan dengan anggota suku seperti beretere oka pale
(upacara pertunangan), tege tua manu, pembagian warisan, dan hal lainnya didiskusikan
pada kesempatan ini.
5. Tarian Reba
Tarian reba merupakan kegiatan menari masal yang dilakukan oleh seluruh
masyarakat, baik anak-anak, orang muda, maupun orang tua sambil menyanyikan lagu
reba yang biasa disebut Kelo Ghae dan O Uwi. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada
siang hari setelah malam dheke reba bertempat di pelataran kampung. Peserta tarian yang
ingin mengikuti tarian wajib berpakaian adat yang lengkap. Para penari membentuk
lingkaran melakukan gerakan hentakan kaki dalam irama maju mundur selangkah
bergantian kaki kiri maju dan kaki kanan maju. Gerakan berputaran kekanan, sambil
menyanyi o uwi e refrein lagu tandak tersebut dinyanyikan bersama-sama oleh seluruh
peserta, sedangkan dibagian dalam lingkaran ada kelompok koor kecil yang masing-
masing terdiri atas 3 orang yang melantunkan bait-bait solonya. Syair-syair yang
dilantunkan kebanyakan menggambarkan tentang leluhur penjasa dan ungkapan puja-puji
tanaman ubi.
Contoh syair-syair tentang uwi antara lain:
Uwi meze go leba laba (ubi sebesar gong sepanjang gendang)
Uwi tebu toko,koba rao wolo (ubi merambat menutupi gunung)
Uwi ladu wai poso koba reko lizu (uwi penopang gunung poso merambat menutupi
langit)
Uwi kutu koe ana dhano koe (ubi digali babi landak tetap ada)
Awi hui moki, moki dhano bhai moli (ubi disungkur celeng tetap tak akan habis)
Uwi halo leza sedu peka rua wali(uwi biar musim paanas bertumbuh)
Contoh syair yang berkaitan dengan para leluhur peletak dasar budaya rebha sili
ana wunga da nuka pera gua (silih mengajarkanpertama adat budaya)
Sabe ne me ga’e ndoma ngape(sabe da gae peramal ulung )
Paba ule laje sasa rama dara(paba ule laja penyemangat)
Pati ne’e sina pojo pi’e ge hiwa(pati dan sina selalu berhasil tiap tahun)
Wiji ne’e wojo dhanga tau pagho(wiji dan wajo petani yang selalu berhasil)
Selama menari dan menyanyi ini kadang-kadang di selingi dengan ereleleo
dimana kelompok pemuda dan pemudi saling menyindir ditutup dengan sorakan gerileli
oleh atau juga sindiran yang berisi oleh nasihat orang tua sair sindiran atau pata neke
terhadap gadis-gadis yang hamil sebelum menikah misalnya pare mala nuza pu; beo lado
busa ha’e dhiri zala ata langi la’a uwi mwena repi ko’e beti ghoru beki
Selingan lain ialah gaka uwi (seruan peringatan uwi) dimana seorang laki-laki
meneriaki sebuah pengumuman tetap dalam nada irama ama tandak o...uwi misalnya heti
si riwu eeee sili ana wunga da nuka pera gua kau, kau, kau kau, kau, kau, kau e lalu
disambung oleh kaum perampuan, dengan meneriaki sambil menghentakan kaki lebih
keras dengan irama dobel yang lebih cepat hal ini dilakukan untuk lebih menggrirangkan
dan lebih menyemangati pesta. Selingan lain ereleleleooooo.......ruda ana dole (oleh
kelompok laki-laki/perempuan) lalu di balas zale jere boro e lalu di balaz lagi o, tekie
dibalas lagi o,le tewi e di balas lagi o,le tewie di balaz lagi o, le teki lalu geri leli oleh
perampuan ereleleleleo, bisa juga menggunakan solo-solo sindiran lain.
Untuk menggantikan suasana atau variasi bernyanyi dan menari, kadang-kadang
tandak ini diselingi dengan kelo ghae dimana seluruh penari bergabung bergerombol
menari berarak keliling kampung sambil menyani o, uwi, untuk mengajak orang-orang
lain yang masih menonton saja agar ikut menari. Sering kali rombongan itu ditahan oleh
warga rumah-rumah yang dilewati, untuk makan minum sesudah itu baru diteruskan lagi
menari tandak. Selama pesta reba orang hanya ingin makan dan menari, saling kunjung,
saling mengundang, bergembira bersama.
6. Su’i Uwi
Sui Uwi merupakan upacara memotong ubi dalam rumah pokok masing-masing
suku seraya mengkisahkan sejarah suku disamping menyampaikan pesan dan kesan
kepada anak cucu dan leluhur. Pada malam su’i uwi, seluruh warga suku/klan berkumpul
kembali di rumah adat masing-masing untuk mengikuti upacara su’i uwi. Sebelum ubi
dipotong, terlebih dahulu pemangku adat meriwayatkan kedatangan ubi dari empat arah
yaitu dari Selatan. Utara, Timur dan Barat. Periwayatan kedatangan ubi sebagai symbol
kedatangan para leluhur. Setiap menyebutkan nama tempat, atau bagian dari periwayatan
selalu diikuti dengan diikuti dengan seruan “Su’i oo uwi”. Su’i uwi mengandung makna
hukum adat atau kebenaran hukum tentang kepemilikan tanah yang harus diketahui oleh
seluruh warga klan.
Selama upacara su’i uwi berlangsung, pintu rumah adat harus ditutup dan tidak
boleh dibuka sedikitpun. Setelah selesai upacara pemotongan ubi kemudian dilanjutkan
dengan pemotongan ayam untuk ujud pengesahan upacara su’i uwi. Darah ayam
dioleskan pada beberapa bagian rumah adat, yaitu pene (pintu), nuke (tiang di bagian
dalam rumah), mataraga (bagian tengah dinding belakang yang berukiran tanduk kerbau)
dan pali wai (batu ceper dihalaman tempat menginjakkan kaki sebelum masuk ke dalam
rumah adat). Acara tersebut sekaligus juga menutup seluruh rangkaian ritual reba.
Su 'i Uwi selalu dimulai dengan ajakan yang sangat puitis agar setiap orang Langa
selalu ingat dengan upacara ini dan melaksanakannya setahun sekali. Ajakan itu
merupakan sebuah prolog untuk memasuki penuturan kisah perjalanan, yang
diungkapkan seperti berikut:
Teru ne'e Tena da pera kobho se'a : Teru dan Tena telah menunjukkan peralatan
Sili ana wunga da nuka pera gua : Sili anak sulung, telah mengajari upacara
Sesiwa sewa 'i, Reba wi ma 'e peta : Setahun sekali, supaya Reba tidak punah
Su'i ooo Uwi,... : Su'i ooo Uwi ....
Uwi meze go lewa laba : Ubi sumber kebahagiaan,
Ladu wai poso, koba rapo lizu : Bertongkatkan gunung, rambatannya menjulang ke
langit
Uwi lebe rae, sare su'a ga'e : Ubi bersayap garuda, lambang hak yang suci
Uwi tebu toko, ladu wai poso : Ubi bertumbuh subur, bertongkatkan gunung
Uwi soso buy, buy mara musi : Ubi dikupas, dibakar, dimakan tak pemah habis,
Uwi sui moi, mold bha 'i moli : Ubi disungkur celeng, sungkur tak kunjung pupus
Uwi kutu koe, hoe ano ko'e : Ubi digali landak, gali masih ada lagi
Uwi meze go lewa laba : Ubi yang agung sumber kebahagiaan,
Ladu wai poso, koba rapo lizu : Bertongkatkan gunung, rambatannya menjulang ke
langit
Uwi eee, : Uwi eee,
Go Ngadhu ne'e go Bhaga, rada kisa nata : Leluhur pria dan wanita, penaung seisi
kampung
Ne Dhiu ne'e Dhone, go maghi mema da oge one : Dhiu dan Dhone, bagai pucuk nira
yang terbungkus
Meko da tere tolo : Sumber terang yang berasal dari atas
Dara sa ulu roro : Menyinari seluruh penjuru kehidupan,
Puy loka oja : Bersihkan tempat keramat,
Pe'i tangi lewa : Sandarkan tangga yang tinggi
Dewa dhoro dhegha : Dewa berkenan turun bermain
C. MAKNA/ NILAI DARI UPACARA ADAT REBA
Makna dari upacara reba ini terdapat makna yang sangat berpegang teguh dari masyarakat
langa bajawa antara lain:
1. Makna historis
Makna ini mengisahkan tentang perjalanan panjang nenek moyang orang Langa dari
sinaone di India menuju tempat tujuannya di Langa. Makna ini di sampaikan melalui
upacara su’i uwi (upacara pemotongan ubi) dan juga upacara ooo uwi yang juga disebut
reba uwi.
2. Makna persaudaraan
Makna ini menunjuk kepada larangan untuk tidak saling bermusuhan kepada sesama,
baik kepada sesama orang Langa maupun orang dari luar wilayah Langa.
3. Makna perdamaian
Ini terdapat pada akhir upacara yang mengharuskan mereka yang bertikai untuk
berdamai. Mereka yang bersalah harus meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Hal
ini masih sangat kuat pengaruhnya dalam masyarakat Langa, karena mereka percaya
bahwa pada saat itu roh para leluhur hadir di tengah-tengah mereka dan melihat apa yang
mereka lakukan. Hal inilah yang dimanfaatkan masyarakat Langa untuk berkumpul
kembali dengan keluarga dan sanak saudara serta meluruskan kembali permasalahan
yang ada dan mengikat kembali tali persaudaraan yang pernah putus.
4. Nilai moral/ajaran hidup
Nilai moral ini tertuang dalam semua proses pelaksanaan upacara. Keharusan untuk
melakukan upacara reba ini setiap tahun, secara tidak langsung mengingatkan kita agar
tidak boleh melupakan tanah kelahiran kita, tidak boleh melupakan sanak saudara dan
untuk membina persaudaraan itu, kita perlu berkumpul bersama-sama dan bertukar
pikiran.
5. Nilai budaya
Dalam upacara adat ini, kita dapat belajar bahwa nilai-nilai budaya dapat membawa
manusia untuk semakin bertumbuh dan berkembang secara lebih manusiawi. Selain itu,
reba juga dapat menjadi sarana persatuan dan persaudaraan antar daerah yang juga
menjadi dasar untuk membangun kehidupan bermasyarakat dan berbangsa secara lebih
baik. Upacara adat reba membantu masyarakat Langa agar tidak hanyut dalam
perkembangan zaman namum perlu menyadari bahwa apa yang telah diwariskan oleh
para leluhur tersimpan filosofi hidup yang mendalam.
D. Penutup
Kesimpulan :
1. Langa memiliki ritual syukuran panen yang dinamai upacara reba yang selalu diperingati
selama kurang lebih 5  hari dan yang dimulai pada tanggal 14 Januari setiap tahunnya.
2. Upacara reba memiliki tahapan-tahapan yang tidak boleh dilewatkan. Tahapan-tahapan
ini memiliki nilai mistik yang mana harus dipertahankan dalam Upacara reba, tahapan-
tahapan upacara reba tersebut terdiri dari :
a. Reba Lanu/rebha
b. Tege kaju lasa
c. Dheke Reba
d. Tarian Reba
e. Su’i Uwi
3. Makna dari upacara reba ini terdapat makna yang sangat berpegang teguh dari
masyarakat Langa Bajawa antara lain:
a. Makna historis
b. Makna persaudaraan
c. Makna perdamaian
d. Nilai moral/ajaran hidup
e. Nilai budaya

Anda mungkin juga menyukai