Anda di halaman 1dari 20

Biografi Pendiri Budi Utomo

Profil dr Soetomo – dr Sutomo


Nama : dr Soetomo (dr Sutomo)
Nama kecil : Subroto
Tanggal Lahir : 30 Juli 1888
desa Ngepeh, Loceret, Nganjuk, Jawa
Tempat Lahir :
Timur,
30 Mei 1938 (umur 49) di Surabaya, Jawa
Meninggal :
Timur, Indosesia (Hindia Belanda)
Indonesia (Hindia Belanda nama negara saat
Kebangsaan :
itu)
STOVIA (School tot Opleiding van
Inlandsche Artsen), Batavia.-Sekolah dokter
untuk anak-anak pribumi Hindia Belanda
Pendidikan :
1903-1911). Pada tahun 1919 sampai 1923,
Soetomo melanjutkan studi kedokteran di
Belanda.
dokter sejak tahun 1911 bekerja sebagai
Pekerjaan : dokter pemerintah di berbagai daerah di
Jawa dan Sumatra.
tahun 1917, Soetomo menikah dengan
Keluarga :
seorang perawat Belanda.
pendiri Budi Utomo tahun 1908, sebuah
: organisasi pergerakan yang pertama di
Indonesia.
Organisasi tahun 1924, Soetomo mendirikan
Indonesian Study Club (dalam bahasa
Belanda Indonesische Studie Club atau
Kelompok Studi Indonesia) di Surabaya,
pada tahun 1930 mendirikan Partai Bangsa
Indonesia dan pada tahun 1935 mendirikan
Parindra (Partai Indonesia Raya).

Organisasi Budi Utomo

Budi Utomo adalah organisasi pergerakan yang pertama berdiri di Indonesia.


Didirikan tanggal 20 Mei 1908 oleh para pelajar STOVIA (School tot Opleiding
van Inlandsche Artsen) di Batavia, yaitu sekolah dokter untuk anak-anak
pribumi Hindia Belanda, sebagai ketua yang pertama adalah dr Sutomo.

Berdirinya Budi Utomo tak lepas dari anjuran dr. Wahidin Sudiro Husodo yang
datang ke Batavia, untuk menemui para pelajar STOVIA dan memberikan
ceramah yang inti isinya menggugah para pemuda untuk memajukan
pendidikan sebagai jalan untuk membebaskan bangsa dari penjajahan. Cara
yang akan ditempuh menurut gagasan dr Wahidin adalah dengan mendirikan
Studie Fond (Dana Bea Siswa).

Selain Sutomo, para pelajar STOVIA yang aktif dalam organisasi BU


diantaranya: Gunawan, Suraji dibantu oleh Suwardi Surjaningrat, Saleh,
Gumbreg, dan lain-lain.

Tujuan perkumpulan Budi Utomo adalah kemajuan nusa dan bangsa yang
harmonis dengan jalan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan,
perdagangan, teknik dan industri, kebudayaan, mempertinggi cita-cita
kemanusiaan untuk mencapai kehidupan bangsa yang terhormat.

Pada tanggal 05 Oktober 1908 Budi Utomo menyelenggarakan Kongres


Pertama BU di Yogjakarta. Dalam kongres ini memutuskan Susunan Pengurus
Besar Budi Utomo sbb.
Ketua : Tirtokusumo (bupati Karanganyar)
Wakil ketua : Wahidin Sudirohusodo (dokter Jawa)
Penulis : Dwijosewoyo dan Sosrosugondo (kedua-duanya guru
Kweekschool),
Bendahara : Gondoatmodjo (opsir Legiun Pakualaman)
Komisaris: : Suryodiputro (jaksa kepala Bondowoso), Gondosubroto
(jaksa kepala Surakarta), dan Tjipto Mangunkusumo (dokter
di Demak)

Pengambil alihan kepengurusan Budi Utomo oleh kaum tua ini malah
berdampak positif, karena dana Studie Fond yang dirancang sedari semula lebih
lancar mengalir dalam tujuan pemberian beasiswa untuk memajukan pendidikan
pemuda Indonesia.

dr Sutomo sendiri itu saat lebih fokus pada pelajarannya/pendidikannya, hingga


akhirnya berhasil lulus dari STOVIA tahun 1911, Kemudian setelah itu dr
Sutomo bertugas sebagai dokter, mula-mula di Semarang, lalu pindah ke Tuban,
pindah lagi ke Lubuk Pakam (Sumatera Timur) dan akhirnya ke Malang. Saat
bertugas di Malang, ia membasmi wabah pes yang melanda daerah Magetan.

Tahun 1919 – 1923 dr Sutomo memperoleh kesempatan memperdalam


pengetahuan melanjutkan sekolah dokter di negeri Belanda.

Sekembalinya di tanah air, pada tahun 1924, ia mendirikan Indonesische Studie


Club (ISC) yang merupakan wadah bagi kaum terpelajar Indonesia. ISC
berhasil mendirikan sekolah tenun, bank kredit, koperasi, dan sebagainya. Pada
tahun 1931 ISC berganti nama menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Di
bawah pimpinannya, PBI berkembang pesat.

Sejak tahun 1930-an KebijakanPemerintah Kolonial Belanda semakin keras


tekanan terhadap pergerakan nasional di Indonesia.

Pada tahun 1934 ada upaya menggabungkan (fusi) antara BU dan PBI, tepat di
bulan Januari tahun itu dibentuklah Komisi BU-PBI. Upaya ini mendapat
tanggapan positif dan disetujui oleh kedua Pengurus Besar BU dan PBI pada
tahun 1935.

Di tahun akhir tahun 1935 tepatnya berlangsung tanggal 24-26 Desember


diselenggarakan Kongres Peresmian Penggabungan (fusi) BU-PBI, juga
merupakan kongres terakhir BU, melahirkan Partai Indonesia Raya
(PARINDRA), dengan dr Sutomo secara aklamasi diangkat menjadi ketua
PARINDRA.

Kali ini tujuan organisasi sangat jelas dan tegas, Parindra berjuang untuk
mencapai Indonesia merdeka.

dr Sutomo selain sebagai dokter, dr Sutomo juga aktif di bidang politik dan
kewartawanan dengan mendirikan surat kabar & majalah Panyebar
Semangat di Surabaya sebagai media sarana perjuangannya. Begitulah hingga
dr Sutomo tutup usia di Surabaya pada tanggal 30 Mei 1938.

Hari kelahiran BU tanggal 20 Mei, yang kemudian diperingati sebagai Hari


Kebangkitan Nasional.
Biografi HOS Cokroaminoto - Pahlawan Nasional
Beliau dikenal sebagai Salah satu Pahlawan Nasional. Nama lengkap
beliau adalah Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto atau H.O.S
Cokroaminotolahir di Ponorogo, Jawa Timur, 16 Agustus 1882 dan meninggal
di Yogyakarta, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Tjokroaminoto adalah
anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah
seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati
Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai bupati Ponorogo. Sebagai salah
satu pelopor pergerakan nasional, ia mempunyai beberapa murid yang
selanjutnya memberikan warna bagi sejarah pergerakan Indonesia, yaitu Musso
yang sosialis/komunis, Soekarno yang nasionalis, dan Kartosuwiryo yang
agamis. Namun ketiga muridnya itu saling berselisih. Pada bulan Mei 1912,
Tjokroaminoto bergabung dengan organisasi Sarekat Islam.

Sebagai pimpinan Sarikat Islam, HOS dikenal dengan kebijakan-kebijakannya


yang tegas namun bersahaja. Kemampuannya berdagang menjadikannya
seorang guru yang disegani karena mengetahui tatakrama dengan budaya yang
beragam. Pergerakan SI yang pada awalnya sebagai bentuk protes atas para
pedagang asing yang tergabung sebagai Sarekat Dagang Islam yang oleh HOS
dianggap sebagai organisasi yang terlalu mementingkan perdagangan tanpa
mengambil daya tawar pada bidang politik. Dan pada akhirnya tahun 1912 SID
berubah menjadi Sarekat Islam.

Seiring perjalanannya, SI digiring menjadi partai politik setelah mendapatkan


status Badan Hukum pada 10 September 1912 oleh pemerintah yang saat itu
dikontrol oleh Gubernur Jenderal Idenburg. SI kemudian berkembang menjadi
parpol dengan keanggotaan yang tidak terbatas pada pedagang dan rakyat Jawa-
Madura saja. Kesuksesan SI ini menjadikannya salah satu pelopor partai Islam
yang sukses saat itu.

Perpecahan SI menjadi dua kubu karena masuknya infiltrasi komunisme


memaksa HOS Cokroaminoto untuk bertindak lebih hati-hati kala itu. Ia
bersama rekan-rekannya yang masih percaya bersatu dalam kubu SI Putih
berlawanan dengan Semaun yang berhasil membujuk tokoh-tokoh pemuda saat
itu seperti Alimin, Tan Malaka, dan Darsono dalam kubu SI Merah. Namun
bagaimanapun, kewibaan HOS Cokroaminoto justru dibutuhkan sebagai
penengah di antara kedua pecahan SI tersebut, mengingat ia masih dianggap
guru oleh Semaun. Singkat cerita jurang antara SI Merah dan SI Putih semakin
lebar saat muncul pernyataan Komintern (Partai Komunis Internasional) yang
menentang Pan-Islamisme (apa yang selalu menjadi aliran HOS dan rekan-
rekannya). Hal ini mendorong Muhammadiyah pada Kongres Maret 1921 di
Yogyakarta untuk mendesak SI agar segera melepas SI merah dan Semaun
karena memang sudah berbeda aliran dengan Sarekat Islam. Akhirnya Semaun
dan Darsono dikeluarkan dari SI dan kemudian pada 1929 SI diusung sebagai
Partai Sarikat Islam Indonesia hingga menjadi peserta pemilu pertama pada
1950.

HOS Cokroaminoto hingga saat ini akhirnya dikenal sebagai salah satu
pahlawan pergenakan nasional yang berbasiskan perdagangan, agama, dan
politik nasionalis. Kata-kata mutiaranya seperti “Setinggi-tinggi ilmu,
semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat” akhirnya menjadi embrio
pergerakan para tokoh pergerakan nasional yang patriotik, dan ia menjadi salah
satu tokoh yang berhasil membuktikan besarnya kekuatan politik dan
perdagangan Indonesia. H.O.S. Cokroaminoto meninggal di Yogyakarta pada
17 Desember 1934 pada usia 52 tahun.

Biografi KH. Ahmad Dahlan - Pendiri Muhammadiyah


Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868, Nama
kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Ia merupakan anak
keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan,
kecuali adik bungsunya. Pendiri Muhammadiyah ini termasuk keturunan yang
kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di
antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.

Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana


'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana
Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan,
Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad
Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).

Biografi dan Profil KH. Ahmad Dahlan


Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada
periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran
pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha
dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia
berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke
Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada
Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada
tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.

Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri,


anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad
Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari
perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang
anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti
Zaharah.

Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda
H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir
Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya
dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama
Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.

Masuk Organisasi Budi Utomo


Dengan maksud mengajar agama, pada tahun 1909 Kiai Dahlan masuk Boedi
Oetomo - organisasi yang melahirkan banyak tokoh-tokoh nasionalis. Di sana
beliau memberikan pelajaran-pelajaran untuk memenuhi keperluan anggota.
Pelajaran yang diberikannya terasa sangat berguna bagi anggota Boedi Oetomo
sehingga para anggota Boedi Oetomo ini menyarankan agar Kiai Dahlan
membuka sekolah sendiri yang diatur dengan rapi dan didukung oleh organisasi
yang bersifat permanen.

Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari nasib seperti pesantren tradisional


yang terpaksa tutup bila kiai pemimpinnya meninggal dunia. Saran itu
kemudian ditindaklanjuti Kiai Dahlan dengan mendirikan sebuah organisasi
yang diberi nama Muhammadiyah pada 18 November 1912 (8 Dzulhijjah
1330). Organisasi ini bergerak di bidang kemasyarakatan dan pendidikan.
Melalui organisasi inilah beliau berusaha memajukan pendidikan dan
membangun masyarakat Islam.

Bagi Kiai Dahlan, Islam hendak didekati serta dikaji melalui kacamata modern
sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara tradisional. Beliau
mengajarkan kitab suci Al Qur'an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat
tidak hanya pandai membaca ataupun melagukan Qur'an semata, melainkan
dapat memahami makna yang ada di dalamnya.
Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan
yang diharapkan Qur’an itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan
masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam dari kulitnya tanpa
mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam hanya merupakan suatu
dogma yang mati.

Di bidang pendidikan, Kiai Dahlan lantas mereformasi sistem pendidikan


pesantren zaman itu, yang menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif
metodenya lantaran mengutamakan menghafal dan tidak merespon ilmu
pengetahuan umum. Maka Kiai Dahlan mendirikan sekolah-sekolah agama
dengan memberikan pelajaran pengetahuan umum serta bahasa Belanda.

Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S. met de Qur'an.


Sebaliknya, beliau pun memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah
umum. Kiai Dahlan terus mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah.
Sehingga semasa hidupnya, beliau telah banyak mendirikan sekolah, masjid,
langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu.

Kegiatan dakwah pun tidak ketinggalan. Beliau semakin meningkatkan dakwah


dengan ajaran pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau
mengajarkan bahwa semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya
dari Nabi Muhammad SAW.

Beliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan


yang berlebihan terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan
tombak. Di samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari percampuran
ajaran agama Hindu, Budha, animisme, dinamisme, dan kejawen.

Di bidang organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus
untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari
Muhammadiyah ini, karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan
perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria.

Sementara untuk pemuda, Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu - sekarang dikenal
dengan nama Pramuka - dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda
diajari baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi. Hizbul
Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka sekarang.
Pembentukan Hizbul Wathan ini dimaksudkan sebagai tempat pendidikan para pemuda yang
merupakan bunga harapan agama dan bangsa. Sebagai tempat persemaian kader-kader
terpercaya, sekaligus menunjukkan bahwa Agama Islam itu tidaklah kolot melainkan progressif.
Tidak ketinggalan zaman, namun sejalan dengan tuntutan keadaan dan kemajuan zaman.

Karena semua pembaruan yang diajarkan Kyai Dahlan ini agak menyimpang dari tradisi yang
ada saat itu, maka segala gerak dan langkah yang dilakukannya dipandang aneh. Sang Kiai
sering diteror seperti diancam bunuh, rumahnya dilempari batu dan kotoran binatang.

Ketika mengadakan dakwah di Banyuwangi, beliau diancam akan dibunuh dan dituduh sebagai
kiai palsu. Walaupun begitu, beliau tidak mundur. Beliau menyadari bahwa melakukan suatu
pembaruan ajaran agama (mushlih) pastilah menimbulkan gejolak dan mempunyai risiko.
Dengan penuh kesabaran, masyarakat perlahan-lahan menerima perubaban yang diajarkannya.
Tujuan mulia terkandung dalam pembaruan yang diajarkannya.

Segala tindak perbuatan, langkah dan usaha yang ditempuh Kiai ini dimaksudkan untuk
membuktikan bahwa Islam itu adalah Agama kemajuan. Dapat mengangkat derajat umat dan
bangsa ke taraf yang lebih tinggi. Usahanya ini ternyata membawa dampak positif bagi bangsa
Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Banyak golongan intelektual dan pemuda yang
tertarik dengan metoda yang dipraktekkan Kiai Dahlan ini sehingga mereka banyak yang
menjadi anggota Muhammadiyah. Dalam perkembangannya, Muhammadiyah kemudian menjadi
salah satu organisasi massa Islam terbesar di Indonesia.

Melihat metoda pembaruan KH Ahmad Dahlan ini, beliaulah ulama Islam pertama atau mungkin
satu-satunya ulama Islam di Indonesia yang melakukan pendidikan dan perbaikan kehidupan
um’mat, tidak dengan pesantren dan tidak dengan kitab karangan, melainkan dengan organisasi.

Sebab selama hidup, beliau diketahui tidak pernah mendirikan pondok pesantren seperti halnya
ulama-ulama yang lain. Dan sepanjang pengetahuan, beliau juga konon belum pernah
mengarang sesuatu kitab atau buku agama.

Muhammadiyah sebagai organisasi tempat beramal dan melaksanakan ide-ide pembaruan Kiai
Dahlan ini sangat menarik perhatian para pengamat perkembangan Islam dunia ketika itu. Para
sarjana dan pengarang dari Timur maupun Barat sangat memfokuskan perhatian pada
Muhammadiyah.

Nama Kiai Haji Akhmad Dahlan pun semakin tersohor di dunia. Dalam kancah perjuangan
kemerdekaan Republik Indonesia, peranan dan sumbangan beliau sangatlah besar. Kiai Dahlan
dengan segala ide-ide pembaruan yang diajarkannya merupakan saham yang sangat besar bagi
Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20.

Kiai Dahlan menimba berbagai bidang ilmu dari banyak kiai yakni KH. Muhammad Shaleh di
bidang ilmu fikih; dari KH. Muhsin di bidang ilmu Nahwu-Sharaf (tata bahasa); dari KH. Raden
Dahlan di bidang ilmu falak (astronomi); dari Kiai Mahfud dan Syekh KH. Ayyat di bidang ilmu
hadis; dari Syekh Amin dan Sayid Bakri Satock di bidang ilmu Al-Quran, serta dari Syekh Hasan
di bidang ilmu pengobatan dan racun binatang.

Pada usia 54 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Akhmad Dahlan wafat di
Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di kampung Karangkajen, Brontokusuman, wilayah
bernama Mergangsan di Yogyakarta. Atas jasa-jasa Kiai Haji Akhmad Dahlan maka negara
menganugerahkan kepada beliau gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Gelar kehormatan tersebut dituangkan dalam SK Presiden RI No.657 Tahun 1961, tgl 27
Desember 1961.

KH. Hasyim Asy’ari - Pendiri Nahdlatul Ulama

KH. Hasyim Asy’ari lahir pada tanggal 10 April 1875, di Desa Gedang, Kecamatan Diwek,
Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Dan pada tanggal 25 Juli 1947 (72 tahun) beliau dimakamkan
di Tebu Ireng, Jombang. Beliau merupakan pendiri Nahdhatul Ulama, organisasi massa Islam
terbesar di Indonesia serta putra dari Kyai Asy’ari. Beliau adalah ulama sekaligus pemimpin dari
Pondok Pesantren Keras, berada di selatan Jombang. Sementara ibunda beliau bernama Halimah,
memiliki silsilah keturunan dari Raja Brawijaya VI, yang dikenal dengan Lembung Peteng,
ayahanda dari Jaka Tingkir (Raja Pajang). Sedangkan keturunan ke delapan dari Jaka Tingkir
adalah kakenya, Kyai Ustman yang memimpin Pondok Pesantren Gedang, dengan seluruh santri
berasal dari Jawa pada akhir 19. Ayah dari kakek beliau yaitu Kyai Sihah yang merupakan
pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang. Di kalangan Nahdhiyin dan ulama
pesantren KH. Hasyim Asy’ari dijuluki Hadratus Syeikh yang berarti maha guru.

KH. Hasyim merupakan putra ketiga dari sebelas bersaudara. Sejak beliau berumur 14 tahun telah
banyak mendapat wejangan serta pengajaran tentang ilmu agama langsung dari ayah dan kakek
beliau. Berbagai motivasi besar yang beliau dapatkan dari kalangan keluarga, serta minat besar
dalam menuntut ilmu yang beliau miliki, membuat KH. Hasyim Asy’ari muda tumbuh menjadi
seorang yang pandai. Beliau juga pernah mendapat sebuah kesempatan yang diberikan sang ayah
untuk membantu mengajar di pesantrennya, karena kepandaian beliau.

Ketika usia menginjak 15 tahun, beliau berkelana (mondok) di pesantren lain. Hal ini karena
beliau merasa belum cukup menimba ilmu yang diterima sebelumnya. Tak hanya satu pondek
pesantren saja beliau singgahi, tapi banyak pondok pesantren yang disinggahinya, antara lain
menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren
Trenggilis (Semarang), Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Ketika beliau merantau di Ponpes
Siwalan beliau belajar kepada Kyai Jakub, dan akhirnya beliau dijadikan menantu Kyai Jakub.

Pada tahun 1892, KH. Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah Haji, beliau di Mekkah sekaligus
menimba ilmu kepada Syech Ahmad Khatib dan Syech Mahfudh At-Tarmisi, merupakan guru di
bidang Hadist. Ketika pulang, KH. Hasyim Asy’ari menyempatkan diri untuk singgah ke Johor,
Malaysia. Di sana beliau mengajar kepada para santri sampai tahun 1899.

Kyai Hasyim Asy’ari mendirikan ponpes di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan
terpenting di tanah Jawa pada abad ke-20. Mulai tahun 1900, beliau memosisikan Pesantren
Tebuireng menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam Tradisional.

Dalam pesantren tersebut bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, namun juga pengetahuan
umum ikut mengiringi pengajaran agama Islam. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis
dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Cara
demikian mendapat sambutan tidak mengenakkan dirinya, karena dikecam bid’ah. Meskipun
kecamatan itu terus bergulir tapi beliau tetap teguh dalam pendiriannya.

Menurutnya, mengajarkan agama Islam berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan
menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan Kyai
Hasyim Asy’ari. Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para
santri angkatan pertama berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan ikut manjadi
besar.

Biografi Dewi Sartika Pahlawan Pendidikan Indonesia


Raden Dewi Sartika adalah seorang tokoh wanita pelopor pendidikan yang ada di
Indonesia. Ia berjuang keras dalam mewujudkan pendidikan yang layak bagi kaum
wanita pada saat itu, yang di mana pada saat itu wanita masih belum mendapatkan
pendidikan yang layak sehingga menyebabkan kaum wanita pada saat itu sering
dipandang remeh oleh kaum laki-laki yang berpendidikan tinggi.

Dewi Sartika lahir pada tanggal 4 Desember di Bandung, Jawa Barat. Orang tuanya
berasal dari priyayi Sunda, yang bernama Raden Somanagara dan Raden Ayu
Rajapermas. Ayahnya merupakan pejuang kemerdekaan pada masa itu. Kedua
orang tuanya bersikeras untuk menyekolahkannya Sartika di Sekolah Belanda
walaupun hal tersebut bertentangan dengan budaya adat pada waktu itu.

Saat menjadi patih di Bandung, Raden Somanagara menentang Pemerintah Hindia-


Belanda, yang menyebabkan istrinya dibuang di Ternate. Dewi diasuh oleh
pamannya yang merupakan kakak dari ibunya, yang bernama Arya yang pada saat
itu menjabat sebagai Patih di Cicalengka. Ia diasuh oleh pamannya lantaran
ayahnya meninggal dunia dan juga ibunya yang telah diasingkan ke Ternate.

myindischool.com

Dewi Sartika mendapatkan pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda dari


pamannya. Ia juga berwawasan kebudayaan Barat yang didapatkannya dari seorang
nyonya Asisten Residen berkebangsaan Belanda. Ia menunjukkan potensinya dalam
dunia pendidikan saat masih kecil. Hal tersebut didukung oleh kegemarannya yang
sering memperagakan praktik yang ia terima di sekolah, belajar membaca-menulis,
dan bahasa Belanda, yang ia ajarkan kepada anak-anak pembantu di kepatihan, ia
melakukannya sambil bermain di belakang gedung kepatihan. Sederhana saja, alat
yang ia gunakan adalah papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting
yang dijadikannya sebagai alat bantu belajar.

Anak-anak pembantu yang ada di Kepatihan mampu untuk membaca, menulis


beberapa kata dalam bahasa Belanda yang membuat masyarakat di Cicalengka
gempar. Masyarakat di sana kaget karena pada waktu itu belum ada anak (anak
rakyat jelata) yang mempunyai kemampuan seperti itu. Mereka memiliki
kemampuan tersebut karena diajari oleh Dewi Sartika.

Saat remaja, Dewi Sartika kembali ke Bandung dan tinggal bersama ibunya. Ia
semakin yakin untuk mewujudkan cita-citanya selama ini, yaitu mendirikan sebuah
sekolah yang bertujuan untuk memajukan pendidikan untuk kaum wanita. Cita-
citanya tersebut sejalan dengan cita-cita yang dimiliki oleh pamannya. Namun cita-
citanya tersebut sulit untuk diwujudkan karena hukum adat pada saat itu yang
mengekang kaum wanita untuk berpendidikan.

Baca juga: Biografi Ki Hajar Dewantara Bapak Pendidikan Nasional.

Kegigihan dalam berusaha tidak akan pernah menghianati, hasilnya Dewi Sartika
berhasil mendidirikan sebuah sekolah yang dikhususkan untuk kaum wanita. Materi
yang ia ajarkan masih sedikit hanya meliputi: merenda, memasak, jahit-menjahit,
membaca, menulis, yang bertujuan untuk membuat wanita mempunyai
keterampilan.

Pada tanggal 16 Januari 1904, setelah berkonsultasi dengan Bupati R.A.A


Martanagara, Dewi Sartika membuka sebuah sekolah yang bernama Sakola
Istri (Sekolah Perempuan) pertama yang ada di Hindia-Belanda. Sakolah Istri yang
bertempat di ruangan pendopo kabupaten Bandung, ia dibantu oleh dua saudara
sepupunya, yaitu Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid dalam mengajar. Murid angkatan
pertamanya terdiri dari 20 orang.

Pada tahun 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga membuatnya pindah


lokasi ke Jalan Ciguariang, Kebon cau. Tempat ini dibeli oleh Dewi Sartika dengan
uang tabungannya dan bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Tahun 1906,
Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawati. Suaminya juga
seorang guru di sekolah Karang Pamualang, yang saat itu merupakan sekolah
Latihan Guru. Dari pernikahan tersebut mereka memiliki putra bernama R. Atot,
yang merupakan Ketua Umum BIVB, sebuah klub sepak bola yang merupakan cikal
bakal dari Persib Bandung.

Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa


Sakola Istri, yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-
cita yang sama dengan Dewi Sartika. Lulusan pertama dari Sakola Istri, yaitu pada
tahun 1909.

Pada tahun 1912, sudah berdiri sembilan Sakola Istri di setengah dari seuruh kota-
kota kabupaten Pasundan. Tahun 1914, Sakola Istri berganti nama menjadi Sakola
Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah
Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri hanya tinggal 3/4. Pada
tahun 1920 seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri.
Sakola Istri juga didirikan di Bukittinggi, yang didirikan oleh Encik Rama Saleh.

Pada bulan September 1929, tepat saat Sakola Kautamaan Istri berusia 25 tahun,
Dewi Sartika mengadakan peringatan atas pendirian sekolah tersebut dan juga pada
saat itu Sakola Kautamaan Istri berganti nama menjadi Sakola Raden Dewi. Atas
dedikasinya dalam bidang ini, ia dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-
Belanda.

Dewi Sartika meninggal pada tanggal 11 September 1947 di Tasikmalaya. Di


makamkan di pemakamanan Cigagadon Desa Rahayu Kecamatan Cincem. Tiga
tahun kemudia di makamkan kembai di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di
Jalan Karang Anyar, Kabupaten Bandung.

Dedikasinya dalam mencerdaskan bangsa dan perjuangannya dalam pendidikan di


Indonesia. Ia diberi gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Gelar kehormatan tersebut diberikan pada tanggal 1 Desember 1966.

Biografi Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara adalah salah satu tokoh pendidikan nasional yang lahir di Yogyakarta, 2 Mei
1889. Terlahir dari keluarga bangsawan Yogyakarta, ia mempunyai nama asli Raden Mas Suwardi
Suryaningrat lalu berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara seperti yang kita kenal saat ini pada
saat usianya 33 tahun.

Sebagai seorang yang lahir dari keluarga bangsawan, Ki Hajar Dewantara termasuk beruntung
karena bisa mengenyam pendidikan pada masa itu. Ia menamatkan sekolah dasar di ELS
(Europeesche Lagere School) dan sempat melanjutkan pendidikannya di sekolah kedokteran
STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) meskipun tidak sampai tamat lantaran sakit.

Suwardi muda bekerja sebagai penulis dan wartawan di berbagai surat kabar seperti Sediotomo,
Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Sebagai
seorang penulis, ia dikenal karena tulisannya yang peka terhadap masalah-masalah sosial, terutama
tentang masalah kolonialisme Belanda di tanah air.

Pada tahun 1913, pemerintah kolonial Hindia Belanda berniat mengumpulkan uang sumbangan dari
penduduk pribumi dalam rangka merayakan hari kemerdekaan Belanda dari Perancis. Hal tersebut
langsung menimbulkan banyak kritikan pedas dari para kaum nasionalis, termasuk Suwardi. Ia lalu
membuat tulisan berjudul "Als ik een Nederlander was" (Seandainya Aku Seorang Belanda) yang
dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker.

Akibat dari tulisannya ini, Suwardi yang saat itu berusia 24 tahun ditangkap dan diasingkan ke Pulau
Bangka. Keputusan sepihak pemerintah kolonial ini langsung mendapat protes dari dua sahabat
Suwardi yaitu Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Akhirnya, Suwardi dan kedua rekannya
yang kemudian dikenal sebagai Tiga Serangkai itu diasingkan ke Negeri Belanda.

Sepulang dari pengasingan pada bulan September 1919, Suwardi yang saat itu berusia 33 tahun
memilih untuk menghilangkan gelar kebangsawanan dari namanya dan berganti nama menjadi Ki
Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara kemudian bergabung dengan sekolah untuk anak-anak pribumi
yang dibina oleh saudaranya. Berbekal pengalaman mengajar tersebut, Ki Hajar Dewantara
kemudian mendirikan Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta pada tanggal 3 Juli 1922.

Prinsip-prinsip ajaran Ki Hajar Dewantara yang menjadi pedoman di Taman Siswa antara lain:

1. Ing ngarsa sung tuladha (yang di depan memberikan teladan).

2. Ing madya mangun karsa (di tengah membangun semangat).

3. Tut wuri Handayani (dari belakang memberi dukungan).


Setelah zaman kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara sempat menjabat sebagai Menteri Pendidikan,
Pengajaran, dan Kebudayaan Indonesia yang pertama. Pada tahun 1957, beliau mendapatkan gelar
Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada. Sekitar dua tahun setelah menerima gelar
tersebut, Ki Hajar Dewantara meninggal dan di makamkan di kota kelahirannya Yogyakarta pada
tanggal 28 April 1959.

Ki Hajar Dewantara ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada tanggal 28 November 1959 melalui
surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959. Untuk menghormati jasa-jasa beliau sebagai bapak
pendidikan nasional, tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantara yaitu 2 Mei diperingati sebagai Hari
Pendidikan Nasional.
Biodata

Nama Ki Hajar Dewantara

Nama Asli Raden Mas Suwardi Suryaningrat

Lahir Yogyakarta, 2 Mei 1889

Wafat Yogyakarta, 26 April 1959 (umur 69 tahun)

Agama Islam

 ELS (Sekolah Dasar Belanda)


Pendidikan  STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera)

 Wartawan di Sediotomo, Midden Java, De Expres,


Oetoesan Hindia, Tjahaja Timoer, dan Poesara.
 Pendiri dan pengajar di Perguruan Taman Siswa.
 Anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha
Karir Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
 Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia ke-
1.

 Boedi Oetomo (BO)


 Indische Partij
Organisasi
 Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia)

 Mendapat ijazah pendidikan Europeesche


Akte (1918).
 Gelar doctor honoris causa, Dr.H.C. dari Universitas
Gajah Mada (1957).
 Dianugerahi gelar Bapak Pendidikan Nasional
Indonesia dan pahlawan nasional, hari kelahirannya
Penghargaan
2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional
(Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959,
tanggal 28 November 1959).
 Foto potret Ki Hajar Dewantara diabadikan dalam
uang kertas Rp 20.000.

Tiga Serangkai
Tiga Serangkai umumnya adalah sebuah julukan untuk sebuah perkumpulan atau kelompok
yang beranggotakan tiga orang. Julukan ini dapat merujuk pada:
- Tiga Serangkai pelopor nasionalisme Indonesia: E.F.E. Douwes Dekker (Eduard Douwes
Dekker), Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara yang mendirikan Indische
Partij, partai politik pertama di Hindia Belanda.

Dr Tjipto Mangunkusumo
Nama Lengkap : Tjipto Mangunkusumo
Profesi : -

Tempat Lahir : Pecangakan, Ambarawa, Semarang

Tanggal Lahir : Senin, 0 -1 1886

Warga Negara : Indonesia

BIODATA

Tjipto Mangoenkoesoemo dikenal sebagai salah satu tokoh pergerakan kemerdekaan


Indonesia yang juga dijuluki sebagai anggota Tiga Serangkai bersama Ernest Douwes Dekker
dan Ki Hajar Dewantara. Selain mengabdikan hidupnya sebagai seorang dokter, Tjipto juga
bergerak di bidang politik guna menentang penjajahan Belanda. Ketika kedua rekannya
dalam Tiga Serangkai berubah haluan bergerak di bidang pendidikan, ia tetap setia berada di
jalur politik hingga akhir hayatnya.

Tjipto tldaklah berasal dari keluarga priyayi yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi.
Namun karena kecerdasannya, ia mampu bersekolah di STOVIA atau Sekolah Pendidikan
Dokter Hindia. Ketidakpuasannya terhadap peraturan-peraturan di STOVIA serta
keprihatinannya terhadap kondisi masyarakat Indonesia di bawah jajahan kolonial Belanda
saat itu membuat dirinya aktif menuangkan segala pemikiran dan kritisinya dalam harian De
Locomotief sejak tahun 1907. Ia juga menyebarkan pandangan-pandangannya yang sarat
akan nilai-nilai politik dengan bergabung dalam organisasi Budi Utomo. Tetapi pada
akhirnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari Budi Utomo karena adanya
perpecahan ideologi dalam tubuh organisasi yang terbentuk pada tanggal 20 Mei 1908 ini. Ia
kemudian mendirikan Indische Partij bersama Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar
Dewantara pada tanggal 25 Desember 1912. Saat itu Indische Partij merupakan satu-satunya
organisasi yang secara terang-terangan bergerak di bidang politik dan bertujuan mencapai
Indonesia merdeka. Pada tahun 1913, ketiga tokoh pendiri Indische Partij tersebut ditangkap
dan dibuang ke Belanda karena aksi propaganda anti Belanda yang mereka tuangkan dalam
artikel di harian De Express yang berisi penentangan mereka terhadap perayaan kemerdekaan
Belanda di Indonesia. Kehadiran mereka di Belanda memberikan pengaruh penting terhadap
Indische Vereeniging, perkumpulan mahasiswa Indonesia di Belanda, dalam mendukung
pergerakan kemerdekaan.

Karena sakit, Tjipto dipulangkan ke Jawa pada tahun 1914. Setelah ia kembali, ia bergabung
dengan Insulinde, suatu perkumpulan yang menggantikan Indische Partij yang kemudian
berubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP). Di tahun 1918, ia menjadi anggota
Volksraad (Dewan Rakyat) bentukan Belanda. Ia memanfaatkan Volksraad sebagai tempat
untuk menyatakan aspirasi dan kritik kepada pemerintah mengenai masalah sosial dan politik.
Karena dianggap berbahaya, pemerintah Hindia Belanda pun membuang Tjipto ke Bandung.
Di sana ia bertemu dengan Soekarno. Tjipto juga dibuang untuk kesekian kalinya pada tahun
1928 karena didakwa turut andil dalam pemberontakan yang dilakukan kaum komunis. Ia
dibuang ke pulau Banda namun akhirnya dikembalikan ke pulau Jawa karena kondisi
kesehatannya yang memburuk.

Dauwes dekker

Lahir : Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820

Meninggal : Ingelheim am Rhein, Jerman, 1 Ingelheim am Rhein, Jerman, 19


Februari 1887 pada umur 66 tahun

Douwes Dekker atau yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli (dari bahasa
Latin multa tuli "banyak yang aku sudah derita") , adalah penulisBelanda yang terkenal
dengan Max Havelaar (1860), novel satirisnya yang berisi kritik atas perlakuan buruk para
penjajah terhadap orang-orangpribumi di Hindia Belanda.
ki hajar dewantara

Biodata

Nama Ki Hajar Dewantara


Nama Asli Raden Mas Suwardi Suryaningrat
Lahir Yogyakarta, 2 Mei 1889
Wafat Yogyakarta, 26 April 1959 (umur 69 tahun)
Agama Islam
 ELS (Sekolah Dasar Belanda)
Pendidikan  STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera)

 Wartawan di Sediotomo, Midden Java, De


Expres, Oetoesan Hindia, Tjahaja Timoer, dan
Poesara.
 Pendiri dan pengajar di Perguruan Taman
Siswa.
Karir  Anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
 Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia ke-1.

 Boedi Oetomo (BO)


 Indische Partij
Organisasi
 Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia)

 Mendapat ijazah pendidikan Europeesche


Akte (1918).
 Gelar doctor honoris causa, Dr.H.C. dari
Penghargaan Universitas Gajah Mada (1957).
 Dianugerahi gelar Bapak Pendidikan Nasional
Indonesia dan pahlawan nasional, hari
kelahirannya 2 Mei diperingati sebagai Hari
Pendidikan Nasional (Surat Keputusan
Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28
November 1959).
 Foto potret Ki Hajar Dewantara diabadikan
dalam uang kertas Rp 20.000.

Pembela Tanah Air (PETA)


Tentara Sukarela Pembela Tanah Air atau PETA (郷土防衛義勇軍 kyōdo bōei giyūgun?)
adalah kesatuan militer yang dibentuk Jepang di Indonesia dalam masa pendudukan Jepang.
Tentara Pembela Tanah Air dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943 berdasarkan maklumat
Osamu Seirei No 44 yang diumumkan oleh Panglima Tentara Ke-16, Letnan Jendral
Kumakichi Harada sebagai Tentara Sukarela. Pelatihan pasukan Peta dipusatkan di kompleks
militer Bogor yang diberi nama Jawa Bo-ei Giyûgun Kanbu Resentai.
Tentara PETA telah berperan besar dalam Perang Kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh
nasional yang dulunya tergabung dalam PETA antara lain mantan presiden Soeharto dan
Jendral Besar Soedirman. Veteran-veteran tentara PETA telah menentukan perkembangan
dan evolusi militer Indonesia, antara lain setelah menjadi bagian penting dari pembentukan
Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan
Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI) hingga akhirnya TNI. Karena hal ini, PETA
banyak dianggap sebagai salah satu cikal bakal dari Tentara Nasional Indonesia.
Latar belakang
Pembentukan PETA dianggap berawal dari surat Raden Gatot Mangkoepradja kepada
Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang) pada bulan September 1943 yang antara lain
berisi permohonan agar bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintahan Jepang di
medan perang. Pada pembentukannya, banyak anggota Seinen Dojo (Barisan Pemuda) yang
kemudian menjadi anggota senior dalam barisan PETA. Ada pendapat bahwa hal ini
merupakan strategi Jepang untuk membangkitkan semangat patriotisme dengan memberi
kesan bahwa usul pembentukan PETA berasal dari kalangan pemimpin Indonesia sendiri.
Pendapat ini ada benarnya, karena, sebagaimana berita yang dimuat pada koran "Asia Raya"
pada tanggal 13 September 1943, yakni adanya usulan sepuluh ulama: K.H. Mas Mansyur,
KH. Adnan, Dr. Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Guru H. Mansur, Guru H. Cholid. K.H.
Abdul Madjid, Guru H. Jacob, K.H. Djunaedi, U. Mochtar dan H. Mohammad Sadri, yang
menuntut agar segera dibentuk tentara sukarela bukan wajib militer yang akan
mempertahankan Pulau Jawa .Hal ini menunjukkan adanya peran golongan agama dalam
rangka pembentukan milisi ini. Tujuan pengusulan oleh golongan agama ini dianggap untuk
menanamkan paham kebangsaan dan cinta tanah air yang berdasarkan ajaran agama. Hal ini
kemudian juga diperlihatkan dalam panji atau bendera tentara PETA yang berupa matahari
terbit (lambang kekaisaran Jepang) dan lambang bulan sabit dan bintang (simbol kepercayaan
Islam).
Pemberontakan Batalion PETA di Blitar
Pada tanggal 14 Februari 1945, pasukan PETA di Blitar di bawah pimpinan Supriadi
melakukan sebuah pemberontakan. Pemberontakan ini berhasil dipadamkan dengan
memanfaatkan pasukan pribumi yang tak terlibat pemberontakan, baik dari satuan PETA
sendiri maupun Heiho. Supriadi, pimpinan pasukan pemberontak tersebut, menurut sejarah
Indonesia dinyatakan hilang dalam peristiwa ini. Akan tetapi, pimpinan lapangan dari
pemberontakan ini, yang selama ini dilupakan sejarah, Muradi, tetap bersama dengan
pasukannya hingga saat terakhir. Mereka semua pada akhirnya, setelah disiksa selama
penahanan oleh Kempeitai (PM), diadili dan dihukum mati dengan hukuman penggal sesuai
dengan hukum militer Tentara Kekaisaran Jepang di Eevereld (sekarang pantai Ancol) pada
tanggal 16 Mei 1945.
Pembubaran PETA
Pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia,
berdasarkan perjanjian kapitulasi Jepang dengan blok Sekutu, Tentara Kekaisaran Jepang
memerintahkan para daidan batalion PETA untuk menyerah dan menyerahkan senjata
mereka, dimana sebagian besar dari mereka mematuhinya. Presiden Republik Indonesia yang
baru saja dilantik, Sukarno, mendukung pembubaran ini ketimbang mengubah PETA menjadi
tentara nasional, karena tuduhan blok Sekutu bahwa Indonesia yang baru lahir adalah
kolaborator Kekaisaran Jepang bila ia memperbolehkan milisi yang diciptakan Jepang ini
untuk dilanjutkan. [2][3][4]. Sehari kemudian, tanggal 19 Agustus 1945, panglima terakhir
Tentara Ke-16 di Jawa, Letnan Jendral Nagano Yuichiro, mengucapkan pidato perpisahan
pada para anggota kesatuan PETA.
Pemuda Indonesia dalam pelatihan di Seinen Dojo yang kemudian menjadi anggota PETA
Peran dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Sumbangsih dan peranan tentara PETA dalam masa Perang Kemerdekaan Indonesia
sangatlah besar. Demikian juga peranan mantan Tentara PETA dalam kemerdekaan
Indonesia. Beberapa tokoh yang dulunya tergabung dalam PETA antara lain mantan presiden
Soeharto dan Jendral Besar Soedirman. Mantan Tentara PETA menjadi bagian penting
pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), mulai dari Badan Keamanan Rakyat (BKR),
Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia
(TRI) hingga TNI. Untuk mengenang perjuangan Tentara PETA, pada tanggal 18 Desember
1995 diresmikan monumen PETA yang letaknya di Bogor, bekas markas besar PETA.
Tokoh Indonesia yang merupakan lulusan PETA antara lain:
Jenderal Besar Sudirman (Panglima APRI)
Jenderal Besar Soeharto (Mantan Presiden RI ke-2)
Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani (Mantan Menteri/Panglima Angkatan Darat)
Soepriyadi (Mantan Menhankam Kabinaet I in absentia)
Jenderal TNI Basuki Rahmat (Mantan Mendagri)
Letnan Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo (Mantan Komandan Kopassus)
Jenderal TNI Umar Wirahadikusumah (Mantan Wapres RI)
Jenderal TNI Soemitro (Mantan Pangkopkamtib)
Jenderal TNI Poniman (Mantan Menhankam)
Letjend TNI Kemal Idris
Letjend TNI Supardjo Rustam
Letjend TNI GPH Djatikoesoemo (Mantan KASAD, sesepuh Zeni, pejuang kemerdekaan,
putra ke-23 dari Susuhunan Pakubuwono X Surakarta,dan lain-lain)

Anda mungkin juga menyukai