Berdirinya Budi Utomo tak lepas dari anjuran dr. Wahidin Sudiro Husodo yang
datang ke Batavia, untuk menemui para pelajar STOVIA dan memberikan
ceramah yang inti isinya menggugah para pemuda untuk memajukan
pendidikan sebagai jalan untuk membebaskan bangsa dari penjajahan. Cara
yang akan ditempuh menurut gagasan dr Wahidin adalah dengan mendirikan
Studie Fond (Dana Bea Siswa).
Tujuan perkumpulan Budi Utomo adalah kemajuan nusa dan bangsa yang
harmonis dengan jalan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan,
perdagangan, teknik dan industri, kebudayaan, mempertinggi cita-cita
kemanusiaan untuk mencapai kehidupan bangsa yang terhormat.
Pengambil alihan kepengurusan Budi Utomo oleh kaum tua ini malah
berdampak positif, karena dana Studie Fond yang dirancang sedari semula lebih
lancar mengalir dalam tujuan pemberian beasiswa untuk memajukan pendidikan
pemuda Indonesia.
Pada tahun 1934 ada upaya menggabungkan (fusi) antara BU dan PBI, tepat di
bulan Januari tahun itu dibentuklah Komisi BU-PBI. Upaya ini mendapat
tanggapan positif dan disetujui oleh kedua Pengurus Besar BU dan PBI pada
tahun 1935.
Kali ini tujuan organisasi sangat jelas dan tegas, Parindra berjuang untuk
mencapai Indonesia merdeka.
dr Sutomo selain sebagai dokter, dr Sutomo juga aktif di bidang politik dan
kewartawanan dengan mendirikan surat kabar & majalah Panyebar
Semangat di Surabaya sebagai media sarana perjuangannya. Begitulah hingga
dr Sutomo tutup usia di Surabaya pada tanggal 30 Mei 1938.
HOS Cokroaminoto hingga saat ini akhirnya dikenal sebagai salah satu
pahlawan pergenakan nasional yang berbasiskan perdagangan, agama, dan
politik nasionalis. Kata-kata mutiaranya seperti “Setinggi-tinggi ilmu,
semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat” akhirnya menjadi embrio
pergerakan para tokoh pergerakan nasional yang patriotik, dan ia menjadi salah
satu tokoh yang berhasil membuktikan besarnya kekuatan politik dan
perdagangan Indonesia. H.O.S. Cokroaminoto meninggal di Yogyakarta pada
17 Desember 1934 pada usia 52 tahun.
Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda
H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir
Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya
dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama
Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.
Bagi Kiai Dahlan, Islam hendak didekati serta dikaji melalui kacamata modern
sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara tradisional. Beliau
mengajarkan kitab suci Al Qur'an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat
tidak hanya pandai membaca ataupun melagukan Qur'an semata, melainkan
dapat memahami makna yang ada di dalamnya.
Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan
yang diharapkan Qur’an itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan
masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam dari kulitnya tanpa
mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam hanya merupakan suatu
dogma yang mati.
Di bidang organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus
untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari
Muhammadiyah ini, karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan
perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria.
Sementara untuk pemuda, Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu - sekarang dikenal
dengan nama Pramuka - dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda
diajari baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi. Hizbul
Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka sekarang.
Pembentukan Hizbul Wathan ini dimaksudkan sebagai tempat pendidikan para pemuda yang
merupakan bunga harapan agama dan bangsa. Sebagai tempat persemaian kader-kader
terpercaya, sekaligus menunjukkan bahwa Agama Islam itu tidaklah kolot melainkan progressif.
Tidak ketinggalan zaman, namun sejalan dengan tuntutan keadaan dan kemajuan zaman.
Karena semua pembaruan yang diajarkan Kyai Dahlan ini agak menyimpang dari tradisi yang
ada saat itu, maka segala gerak dan langkah yang dilakukannya dipandang aneh. Sang Kiai
sering diteror seperti diancam bunuh, rumahnya dilempari batu dan kotoran binatang.
Ketika mengadakan dakwah di Banyuwangi, beliau diancam akan dibunuh dan dituduh sebagai
kiai palsu. Walaupun begitu, beliau tidak mundur. Beliau menyadari bahwa melakukan suatu
pembaruan ajaran agama (mushlih) pastilah menimbulkan gejolak dan mempunyai risiko.
Dengan penuh kesabaran, masyarakat perlahan-lahan menerima perubaban yang diajarkannya.
Tujuan mulia terkandung dalam pembaruan yang diajarkannya.
Segala tindak perbuatan, langkah dan usaha yang ditempuh Kiai ini dimaksudkan untuk
membuktikan bahwa Islam itu adalah Agama kemajuan. Dapat mengangkat derajat umat dan
bangsa ke taraf yang lebih tinggi. Usahanya ini ternyata membawa dampak positif bagi bangsa
Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Banyak golongan intelektual dan pemuda yang
tertarik dengan metoda yang dipraktekkan Kiai Dahlan ini sehingga mereka banyak yang
menjadi anggota Muhammadiyah. Dalam perkembangannya, Muhammadiyah kemudian menjadi
salah satu organisasi massa Islam terbesar di Indonesia.
Melihat metoda pembaruan KH Ahmad Dahlan ini, beliaulah ulama Islam pertama atau mungkin
satu-satunya ulama Islam di Indonesia yang melakukan pendidikan dan perbaikan kehidupan
um’mat, tidak dengan pesantren dan tidak dengan kitab karangan, melainkan dengan organisasi.
Sebab selama hidup, beliau diketahui tidak pernah mendirikan pondok pesantren seperti halnya
ulama-ulama yang lain. Dan sepanjang pengetahuan, beliau juga konon belum pernah
mengarang sesuatu kitab atau buku agama.
Muhammadiyah sebagai organisasi tempat beramal dan melaksanakan ide-ide pembaruan Kiai
Dahlan ini sangat menarik perhatian para pengamat perkembangan Islam dunia ketika itu. Para
sarjana dan pengarang dari Timur maupun Barat sangat memfokuskan perhatian pada
Muhammadiyah.
Nama Kiai Haji Akhmad Dahlan pun semakin tersohor di dunia. Dalam kancah perjuangan
kemerdekaan Republik Indonesia, peranan dan sumbangan beliau sangatlah besar. Kiai Dahlan
dengan segala ide-ide pembaruan yang diajarkannya merupakan saham yang sangat besar bagi
Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20.
Kiai Dahlan menimba berbagai bidang ilmu dari banyak kiai yakni KH. Muhammad Shaleh di
bidang ilmu fikih; dari KH. Muhsin di bidang ilmu Nahwu-Sharaf (tata bahasa); dari KH. Raden
Dahlan di bidang ilmu falak (astronomi); dari Kiai Mahfud dan Syekh KH. Ayyat di bidang ilmu
hadis; dari Syekh Amin dan Sayid Bakri Satock di bidang ilmu Al-Quran, serta dari Syekh Hasan
di bidang ilmu pengobatan dan racun binatang.
Pada usia 54 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Akhmad Dahlan wafat di
Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di kampung Karangkajen, Brontokusuman, wilayah
bernama Mergangsan di Yogyakarta. Atas jasa-jasa Kiai Haji Akhmad Dahlan maka negara
menganugerahkan kepada beliau gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Gelar kehormatan tersebut dituangkan dalam SK Presiden RI No.657 Tahun 1961, tgl 27
Desember 1961.
KH. Hasyim Asy’ari lahir pada tanggal 10 April 1875, di Desa Gedang, Kecamatan Diwek,
Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Dan pada tanggal 25 Juli 1947 (72 tahun) beliau dimakamkan
di Tebu Ireng, Jombang. Beliau merupakan pendiri Nahdhatul Ulama, organisasi massa Islam
terbesar di Indonesia serta putra dari Kyai Asy’ari. Beliau adalah ulama sekaligus pemimpin dari
Pondok Pesantren Keras, berada di selatan Jombang. Sementara ibunda beliau bernama Halimah,
memiliki silsilah keturunan dari Raja Brawijaya VI, yang dikenal dengan Lembung Peteng,
ayahanda dari Jaka Tingkir (Raja Pajang). Sedangkan keturunan ke delapan dari Jaka Tingkir
adalah kakenya, Kyai Ustman yang memimpin Pondok Pesantren Gedang, dengan seluruh santri
berasal dari Jawa pada akhir 19. Ayah dari kakek beliau yaitu Kyai Sihah yang merupakan
pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang. Di kalangan Nahdhiyin dan ulama
pesantren KH. Hasyim Asy’ari dijuluki Hadratus Syeikh yang berarti maha guru.
KH. Hasyim merupakan putra ketiga dari sebelas bersaudara. Sejak beliau berumur 14 tahun telah
banyak mendapat wejangan serta pengajaran tentang ilmu agama langsung dari ayah dan kakek
beliau. Berbagai motivasi besar yang beliau dapatkan dari kalangan keluarga, serta minat besar
dalam menuntut ilmu yang beliau miliki, membuat KH. Hasyim Asy’ari muda tumbuh menjadi
seorang yang pandai. Beliau juga pernah mendapat sebuah kesempatan yang diberikan sang ayah
untuk membantu mengajar di pesantrennya, karena kepandaian beliau.
Ketika usia menginjak 15 tahun, beliau berkelana (mondok) di pesantren lain. Hal ini karena
beliau merasa belum cukup menimba ilmu yang diterima sebelumnya. Tak hanya satu pondek
pesantren saja beliau singgahi, tapi banyak pondok pesantren yang disinggahinya, antara lain
menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren
Trenggilis (Semarang), Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Ketika beliau merantau di Ponpes
Siwalan beliau belajar kepada Kyai Jakub, dan akhirnya beliau dijadikan menantu Kyai Jakub.
Pada tahun 1892, KH. Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah Haji, beliau di Mekkah sekaligus
menimba ilmu kepada Syech Ahmad Khatib dan Syech Mahfudh At-Tarmisi, merupakan guru di
bidang Hadist. Ketika pulang, KH. Hasyim Asy’ari menyempatkan diri untuk singgah ke Johor,
Malaysia. Di sana beliau mengajar kepada para santri sampai tahun 1899.
Kyai Hasyim Asy’ari mendirikan ponpes di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan
terpenting di tanah Jawa pada abad ke-20. Mulai tahun 1900, beliau memosisikan Pesantren
Tebuireng menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam Tradisional.
Dalam pesantren tersebut bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, namun juga pengetahuan
umum ikut mengiringi pengajaran agama Islam. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis
dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Cara
demikian mendapat sambutan tidak mengenakkan dirinya, karena dikecam bid’ah. Meskipun
kecamatan itu terus bergulir tapi beliau tetap teguh dalam pendiriannya.
Menurutnya, mengajarkan agama Islam berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan
menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan Kyai
Hasyim Asy’ari. Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para
santri angkatan pertama berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan ikut manjadi
besar.
Dewi Sartika lahir pada tanggal 4 Desember di Bandung, Jawa Barat. Orang tuanya
berasal dari priyayi Sunda, yang bernama Raden Somanagara dan Raden Ayu
Rajapermas. Ayahnya merupakan pejuang kemerdekaan pada masa itu. Kedua
orang tuanya bersikeras untuk menyekolahkannya Sartika di Sekolah Belanda
walaupun hal tersebut bertentangan dengan budaya adat pada waktu itu.
myindischool.com
Saat remaja, Dewi Sartika kembali ke Bandung dan tinggal bersama ibunya. Ia
semakin yakin untuk mewujudkan cita-citanya selama ini, yaitu mendirikan sebuah
sekolah yang bertujuan untuk memajukan pendidikan untuk kaum wanita. Cita-
citanya tersebut sejalan dengan cita-cita yang dimiliki oleh pamannya. Namun cita-
citanya tersebut sulit untuk diwujudkan karena hukum adat pada saat itu yang
mengekang kaum wanita untuk berpendidikan.
Kegigihan dalam berusaha tidak akan pernah menghianati, hasilnya Dewi Sartika
berhasil mendidirikan sebuah sekolah yang dikhususkan untuk kaum wanita. Materi
yang ia ajarkan masih sedikit hanya meliputi: merenda, memasak, jahit-menjahit,
membaca, menulis, yang bertujuan untuk membuat wanita mempunyai
keterampilan.
Pada tahun 1912, sudah berdiri sembilan Sakola Istri di setengah dari seuruh kota-
kota kabupaten Pasundan. Tahun 1914, Sakola Istri berganti nama menjadi Sakola
Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah
Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri hanya tinggal 3/4. Pada
tahun 1920 seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri.
Sakola Istri juga didirikan di Bukittinggi, yang didirikan oleh Encik Rama Saleh.
Pada bulan September 1929, tepat saat Sakola Kautamaan Istri berusia 25 tahun,
Dewi Sartika mengadakan peringatan atas pendirian sekolah tersebut dan juga pada
saat itu Sakola Kautamaan Istri berganti nama menjadi Sakola Raden Dewi. Atas
dedikasinya dalam bidang ini, ia dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-
Belanda.
Ki Hajar Dewantara adalah salah satu tokoh pendidikan nasional yang lahir di Yogyakarta, 2 Mei
1889. Terlahir dari keluarga bangsawan Yogyakarta, ia mempunyai nama asli Raden Mas Suwardi
Suryaningrat lalu berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara seperti yang kita kenal saat ini pada
saat usianya 33 tahun.
Sebagai seorang yang lahir dari keluarga bangsawan, Ki Hajar Dewantara termasuk beruntung
karena bisa mengenyam pendidikan pada masa itu. Ia menamatkan sekolah dasar di ELS
(Europeesche Lagere School) dan sempat melanjutkan pendidikannya di sekolah kedokteran
STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) meskipun tidak sampai tamat lantaran sakit.
Suwardi muda bekerja sebagai penulis dan wartawan di berbagai surat kabar seperti Sediotomo,
Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Sebagai
seorang penulis, ia dikenal karena tulisannya yang peka terhadap masalah-masalah sosial, terutama
tentang masalah kolonialisme Belanda di tanah air.
Pada tahun 1913, pemerintah kolonial Hindia Belanda berniat mengumpulkan uang sumbangan dari
penduduk pribumi dalam rangka merayakan hari kemerdekaan Belanda dari Perancis. Hal tersebut
langsung menimbulkan banyak kritikan pedas dari para kaum nasionalis, termasuk Suwardi. Ia lalu
membuat tulisan berjudul "Als ik een Nederlander was" (Seandainya Aku Seorang Belanda) yang
dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker.
Akibat dari tulisannya ini, Suwardi yang saat itu berusia 24 tahun ditangkap dan diasingkan ke Pulau
Bangka. Keputusan sepihak pemerintah kolonial ini langsung mendapat protes dari dua sahabat
Suwardi yaitu Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Akhirnya, Suwardi dan kedua rekannya
yang kemudian dikenal sebagai Tiga Serangkai itu diasingkan ke Negeri Belanda.
Sepulang dari pengasingan pada bulan September 1919, Suwardi yang saat itu berusia 33 tahun
memilih untuk menghilangkan gelar kebangsawanan dari namanya dan berganti nama menjadi Ki
Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara kemudian bergabung dengan sekolah untuk anak-anak pribumi
yang dibina oleh saudaranya. Berbekal pengalaman mengajar tersebut, Ki Hajar Dewantara
kemudian mendirikan Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta pada tanggal 3 Juli 1922.
Prinsip-prinsip ajaran Ki Hajar Dewantara yang menjadi pedoman di Taman Siswa antara lain:
Ki Hajar Dewantara ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada tanggal 28 November 1959 melalui
surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959. Untuk menghormati jasa-jasa beliau sebagai bapak
pendidikan nasional, tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantara yaitu 2 Mei diperingati sebagai Hari
Pendidikan Nasional.
Biodata
Agama Islam
Tiga Serangkai
Tiga Serangkai umumnya adalah sebuah julukan untuk sebuah perkumpulan atau kelompok
yang beranggotakan tiga orang. Julukan ini dapat merujuk pada:
- Tiga Serangkai pelopor nasionalisme Indonesia: E.F.E. Douwes Dekker (Eduard Douwes
Dekker), Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara yang mendirikan Indische
Partij, partai politik pertama di Hindia Belanda.
Dr Tjipto Mangunkusumo
Nama Lengkap : Tjipto Mangunkusumo
Profesi : -
BIODATA
Tjipto tldaklah berasal dari keluarga priyayi yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi.
Namun karena kecerdasannya, ia mampu bersekolah di STOVIA atau Sekolah Pendidikan
Dokter Hindia. Ketidakpuasannya terhadap peraturan-peraturan di STOVIA serta
keprihatinannya terhadap kondisi masyarakat Indonesia di bawah jajahan kolonial Belanda
saat itu membuat dirinya aktif menuangkan segala pemikiran dan kritisinya dalam harian De
Locomotief sejak tahun 1907. Ia juga menyebarkan pandangan-pandangannya yang sarat
akan nilai-nilai politik dengan bergabung dalam organisasi Budi Utomo. Tetapi pada
akhirnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari Budi Utomo karena adanya
perpecahan ideologi dalam tubuh organisasi yang terbentuk pada tanggal 20 Mei 1908 ini. Ia
kemudian mendirikan Indische Partij bersama Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar
Dewantara pada tanggal 25 Desember 1912. Saat itu Indische Partij merupakan satu-satunya
organisasi yang secara terang-terangan bergerak di bidang politik dan bertujuan mencapai
Indonesia merdeka. Pada tahun 1913, ketiga tokoh pendiri Indische Partij tersebut ditangkap
dan dibuang ke Belanda karena aksi propaganda anti Belanda yang mereka tuangkan dalam
artikel di harian De Express yang berisi penentangan mereka terhadap perayaan kemerdekaan
Belanda di Indonesia. Kehadiran mereka di Belanda memberikan pengaruh penting terhadap
Indische Vereeniging, perkumpulan mahasiswa Indonesia di Belanda, dalam mendukung
pergerakan kemerdekaan.
Karena sakit, Tjipto dipulangkan ke Jawa pada tahun 1914. Setelah ia kembali, ia bergabung
dengan Insulinde, suatu perkumpulan yang menggantikan Indische Partij yang kemudian
berubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP). Di tahun 1918, ia menjadi anggota
Volksraad (Dewan Rakyat) bentukan Belanda. Ia memanfaatkan Volksraad sebagai tempat
untuk menyatakan aspirasi dan kritik kepada pemerintah mengenai masalah sosial dan politik.
Karena dianggap berbahaya, pemerintah Hindia Belanda pun membuang Tjipto ke Bandung.
Di sana ia bertemu dengan Soekarno. Tjipto juga dibuang untuk kesekian kalinya pada tahun
1928 karena didakwa turut andil dalam pemberontakan yang dilakukan kaum komunis. Ia
dibuang ke pulau Banda namun akhirnya dikembalikan ke pulau Jawa karena kondisi
kesehatannya yang memburuk.
Dauwes dekker
Douwes Dekker atau yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli (dari bahasa
Latin multa tuli "banyak yang aku sudah derita") , adalah penulisBelanda yang terkenal
dengan Max Havelaar (1860), novel satirisnya yang berisi kritik atas perlakuan buruk para
penjajah terhadap orang-orangpribumi di Hindia Belanda.
ki hajar dewantara
Biodata