Anda di halaman 1dari 21

PERAYAAN SEKATEN (ANTROPOLOGI)

MAKALAH (ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Antropologi)

Oleh

Riza Afita Surya 110210302030

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH UNIVERSITAS JEMBER 2013

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Keraton Yogyakarta merupakan sebuah kompleks bangunan tempat tinggal Sri Sultan Hamengkubwono dan bekas pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta yang memiliki latar belakang keagamaan Islam. Keraton Yogyakarta didirikan atas dasar perjanjian Giyanti atau disebut juga Palihan Nagari yang diadakan pada hari Kamis Kliwon, tanggal 29 Raibiul akhir 1680 Jawa atau tanggal 13 Februari tahun 1755 Masehi di Desa Giyanti (Punto H, 2001 : 1). Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi Sultan Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I, Senopati Ing Alaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatullah (Punto H, 2001 : 2). Gelar tersebut berarti Sultan berkewajiban menyiarkan agama Islam dalam kerajaan sesuai dengan kedudukan dan peranan Sultan sebagai Raja Yogyakarta. Adapun nama Kasultanan Yogyakarta yang sebenarnya adalah Ngayogyakarta Hadiningrat. Gambaran Keraton Ngayogyakarta Hadingrat menunjukkan bahwa istana (keraton) menjadi pusat kehidupan tradisional Masyarakat Jawa. Di sini bahasa Jawa yang paling halus dituturkan (Kromo Inggil) dan di sini adat dan tradisi Jawa lahir dan dikembangkan (Morrison, 2002 : 180). Khususnya pada tradisi Sekaten, acara ini menjadi rutinitas yang berpusatkan di Keraton dan dalam

pelaksanaannya menjadi momen ribuan umat Islam yang menanti datangnya pada bulan Maulud. Berakhirnya era Kerajaan Hindu dan berdirinya Kerajaan Islam memang memberi pengaruh, tetai tidak dalam pengertian Tradisi Sekaten. Pengaruh Islam dalam tradisi hanyalah dalam batas-batas tertentu secara implisit berupa ajaran (Fenanie, 2000 : 229). Tradisi Sekaten sebagai bagian dari aktivitas Keraton, akhirnya menjadi tradisi turun-temurun masyarakat Yogyakarta pada umumnya dan kerabat Keraton khususnya. Perayaan Sekaten sebagai upacara tradisional sebagai upacara tradisional keagamaan Islam merupakan ekspresi masuk dan terisolasinya Islam ke Bumi Nusantara. Tradisi Sekaten mengandung tiga dimensi penting, yaitu kultural, religius, dan historis (Sultan, 12 Mei 2004). Sebagai peristiwa budaya, Sekaten dijadikan memontum penitng untuk merekonstruksi letak koordinat budata Jawa yang diselenggarakan tiap tahun dalam rangka memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tradisi Sekaten merupakan salah satu aset budaya Jawa yang dipertahankan hingga sekarang. Upacara ini merupakan suatu peristiwa tradisional yang sangat populer serta senantiasa menarik antusias masyarakat. Upacara tradisi Sekaten juga merupakan bagian dari adat istiadat yang merupakan salah satu upaya masyarakat Jawa untuk menjaga keharmonisan dengan alam, dunia roh, dan sesamanya. Berdasarkan uraian di atas, penulis bermaksud menjelaskan sejarah, proses, dan pelaksanaan tradisi Sekaten di Keraton Yogyakarta sebagai bahan yang patut dikaji dan pelihara sert menambah pengetahuan terhadap budaya tradisional yang ada di Jawa.

1.2

Rumusan Masalah

1.

Bagaimana asal-usul dan sejarah tradisi Sekaten di Keraton Ngyogyakarat Hadiningrat ?

2.

Bagaimana prosesi atau pelaksanaan tradisi Sekaten di Keraton Ngyogyakarat Hadiningrat ?

3.

Bagaimana makna simbolis dari pelaksanaan tradisi Sekaten di Keraton Ngyogyakarat Hadiningrat ? BAB 2. PEMBAHASAN

2.1

Sejarah Lahirnya Tradisi Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Kerajaan Demak pada pemerintahan Raden Patah (Sultan Ngabdul Surya

Ngalam I) diadakan perubahan drastis tanpa disosialisasikan dengan para Wali terlebih dahulu, yaitu Selamatan Negara Tahunan ditiadakan karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Agama Islam. Hal tersebut menimbulkan keresahan bagi masyarakat yang tidak bisa menerima kehendak Sultan. Bersamaan dengan ditiadakannya upacara tersebut diseluruh wilayah Kerajaan Demak timbul wabah penyakit yang banyak menyebabkan kematian warga masyarakat. Atas nasihat Wali Sanga untuk membangkitkan lagi kepercayaan masyarakat, maka Sultan Demak berkenan mengadakan kembali Upacara Selamatan Negara Tahunan yang dikemas dan diselaraskan dengan ajaran Islam dibawah binaan Sunan Giri dan Sunan Bonang (Wignyasubrata : 2). Tidak lama kemudian, wabah penyakit reda dan rakyat hidup tentram. Sejak saat itulah Perayaan Sekaten diselenggarakan sebagai perwujudan pengganti serta pelestarian Selamatan Negara Tahunan yang selal diselenggarakan Raja Hindu-Budha secara turun temurun. Pada perkembangannya perayaan Sekaten (Garebeg Maulud) di Demak diikuti oleh daerah lain seperti Surakarta,

Yogyakarta, Cirebon, Banten dan Aceh. Khususnya di Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon perayaan Maulud disebut Sekaten (Mustafa, 2004 : 86). Sekaten diperkenalkan oleh Raden Patah di Demak abad 16. Saat itu orang Jawa beralih memeluk agama Islam dengan mengucapkan syahadatain. Oleh karena itu, penggunaan nama Sekaten pada perayaan tersebut menjadi terkenal. Perayaan Sekaten kemudian diteruskan oleh Sultan-sultan berikutnya sehingga menjadi perayaan tahunan yang diperingati oleh banyak masyarakat. Sekaten menjadi nilai peninggalan dari hasil interaksi antara budaya Hindu-Budha dan Islam yang berbentuk kebudayaan Non Fisik. Proses interaksi tersebut secara langsung mempercepat proses Islamisasi di Pulau Jawa. Istilah Sekaten berasal dari bahasa Arab kata syahadatain, pengakuan percaya kepada ajaran agama Islam, tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-nya (Mustafa, 2004 : 148). Sekaten selain berasal dari kata syahadatain, juga berasal dari kata: 1) Sahutain : menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng. 2) Sakhatain : menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan karena watak tersebut sumber kerusakan. 3) Sakhotain : menamankan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan. 4) Sekati : setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk. 5) Sekat : batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan. Kerajaan Mataram yang beribukota di Surakarta tahun 1755 pecah menjadi dua, ialah Kasunanan Surakarta yang beribukota di Surakarta (Sala) di bawah pimpinan Sri Sunan Pakubuwono III dan Kasultanan Yogyakarta yang beribukota di Ambarketawang Gamping, kemudian pindah di kota Yogyakarta yang sekarang

di bawah pimpinan Sultan Hamengkubuwono X. Pemecahan Kerajaan Mataram menjadi dua ditentukan dalam perjanjian Giyanti (Poerwokoesoemo, 1971 : 1). Pusaka Keraton dibagi menjadi dua, seperti halnya gamelan. Kasunanan Surakarta memperoleh Gamelan Kiai Guntursari dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat memperoleh Gamelan Kanjeng Kiai Gunturmadu. Sebagai imbangan supaya tetap dua perangkat lalu dibuat perangkat gamelan yang lain dan diberi nama Kanjeng Kiai Nagawilaga. Gamelan inilah yang nantinya digunakan dalam setiap perayaan Sekaten, yang kemudian menjadi khasnya alat musik perayaan Sekaten.

Garebeg Maulud (Sekaten) pada masa Hamengkubuwono I merupakan upacara Kerajaan yang melibatkan seisi Keraton, seluruh aparat Kerajaan, seluruh lapisan masyarakat dan mengharuskan para pembesar Pemerintah Kolonial berperan serta. Dari penyelenggaraan Sekaten, secara publik terlihatlah kehadiran Kasultanan Yogyakarta yang baru berdiri sebagai kehadiran tradisi Jawa Islam. Sekaten yang secara formal bersifat keagamaan dikaitkan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dari situ secara publik juga menjabarkan gelar Sultan yang bersifat kemusliman : Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah (Mondoyokusumo, 1977 : 9). Sekaten yang menurut sejarahnya merupakan upacara tradisional keagamaan Islam dalam membentuk akhlak dan budi pekerti luhur, tetap dilestarikan oleh para pengganti Sri Sultan Hamengkubuwono I (Soelarto, 1996 : 19). Jika Kerajaan dalam keadaan gawat, misalnya dalam keadaan perang maka penyelenggaraan Sekaten dapat ditiadakan. Disisi lain meski Kerajaan dalam keadaan gawat, namun jika memungkinkan Baginda atau Wakil Baginda tetap melangsungkan upacara Sekatenan. Misalnya yang terjadi antara bulan Desember 1810-September 1811 Kasultanan Yogyakarta dilanda kemelut. Gubernur

Jenderal Daendels menurunkan Sri Sultan Hamengkubuwono II (Sultan Sepuh) dari tahta Kerajaan dan menggantikannya dengan Putra Mahkota untuk menjadi Sultan yang ke-III. Meski dalam suasana kemelut tetapi Sekaten tetap diselenggarakan. Seperti waktu garebeg sijam Maulud dan Besar, Beliau (Sultan Sepuh) dipersilahkan datang, Beliau duduk disebelah anaknya (Soetanto, 1952 : 74-75). Terbentuknya tradisi Sekaten merupakan ekspresi masuk dan tersosialisasinya Islam kebumi Nusantara secara damai, karena memang Islam sendiri tidak mengenal kekerasan. Itulah sebabnya agama Islam mendapat banyak simpati dari masyarakat di Jawa. Dalam perjalanan sejarah tradisi Sekaten tidak lagi menjadi milik Kerajaan saja, tetapi rakyat DIY merasa ikut memilikinya (melu handarbeni). Bagi sebagian besar masyarakat di Propinsi DIY, baik masyarakat perkotaan maupun masyarakat pedesaan tradisi Sekaten selain dinilai sebagai upacara religius keislaman yang bercorak khas kejawen dengan segala hikmah dan berkah yang juga merupakan kebanggaan daerah yang selalu mengingatkan kepada sejarah zaman keemasan Kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Panembahan Senopati (Soelarto, 1996: 24).

2.2 Prosesi Tradisi Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Upacara Sekaten merupakan upacara dan perayaan Keraton terbesar, karena pergelarannya merupakan upacara memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW, sehingga dalam melaksanakan persiapan perayaan Sekatenan, khususnya Abdi Dalem Keparak Para Gusti harus benar-benar dalam keadaan suci. Ini dimaksudkan untuk menjaga kemurnian dan kekhusyukan nilai religius dalam peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 12 bulan Maulud. Pada peringatan upacara Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Abdi Dalem tetap mengenakan pakaian tradisional yaitu baju pranakan beserta perlengkapannya dan baju kebesaran yang lain sesuai dengan tugasnya waktu pelaksanaan Sekatenan. Pelaksanaan upacara Sekaten pada masa pemerintahan

Hamengkubuwono IX dan Hamengkubuwono X banyak terdapat kesamaan, baik dari rangkaian upacara maupun gunungan yang dipergunakan dalam upacara Garebeg Maulud itu. Penyelenggaraan upacara Sekaten ternyata masih dapat diterima baik oleh masyarakat setempat walaupun zaman banyak mengalami perubahan. Upacara Sekaten tidak hanya dipadati oleh kalangan pemuda-pemudi yang ingin mencari hiburan, tetapi juga masyarakat yang sudah lanjut usia juga memadati Alun-alun untuk mendapatkan berkah. Itu dapat diperhatikan ketika gunungan diperebutkan oleh masyarakat. Sebagian masyarakat berusaha untuk mendapatkan bagian dari gunungan itu, seperti hiasan telur ataupun hiasan kue-kue. Mereka percaya bahwa dengan mendapatkan bagian dari gunungan itu, mereka akan mendapatkan berkah (Artikel Theuraphy, 2005 : 1). Biasanya setelah mereka mendapatkan bagian dari gunungan itu, mereka meletakkan bagian dari gunungan itu di sawah mereka, tujuannya agar sawah yang mereka miliki dapat tumbuh subur dan panen dapat berhasil. Selain bagian dari gunungan, yang menjadi sasaran dari masyarakat ialah hiasan bunga melati yang dipakai pada keris Pandega atau Manggala Yuda GBPH. Drs.H. Prabu Yudaningrat, M.M diminta oleh masyarakat. Itu semua karena adanya rasa kepercayaan masyarakat Jawa terhadap kekuatan lain. Mereka percaya bahwa dengan mendapatkan sesuatu milik keluarga Keraton, mereka akan mendapatkan berkah dari benda yang dimilikinya. Secara garis besar, upacara Sekaten pada masa Hamengkubuwono IX dan Hamengkubuwono X melibatkan peranan Abdi Dalem dalam pelaksanaan dan perkembangannya serta banyak terdapat kesamaannya. Adapun rangkaian upacara Sekaten pada Hamengkubuwono IX dan Hamengkubuwono X melibatkan Abdi Dalem secara signifikan, diantaranya pada kegiatan : a. Perayaan Upacara Sekaten pertama kali diawali dengan diadakannya Slametan atau Wilujengan yang bertujuan untuk mencari ketentraman dan ketenangan. Slametan ini menandai dimulainya pembuatan ubo rampai atau perlengkapan gunungan (Setyastuti, 1999 : 106). Ini juga menandai kegiatan Pasar Malam

Perayaan Sekaten dimulai. Pasar Malam ini berlangsung kurang lebih 40 hari sebelum perayaan Garebeg Maulud tiba. Pada perayaan Sekaten ini masyarakat banyak yang berkunjung hanya sekedar untuk mencari hiburan atau membeli makanan khas yang dijual pada Pasar Malam itu. b. Satu minggu sebelum puncak acara Sekaten (jumat pahing) jam 21.00 WIB gamelan dikeluarkan dari Keraton dibawa ke Masjid Agung Yogyakarta untuk kemudian diletakkan di Pagongan Utara dan Pagongan Selatan atau Miyos Gongso oleh Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punokawan Kridhomardowo yang bertugas dalam bidang kesenian dan Abdi Dalem Konco Gladhag yang membawa gamelan serta perangkatnya dari Keraton ke Pagongan Utara dan Pagongan Selatan Masjid Agung Yogyakarta. Selama satu minggu gamelan dibunyikan terus kecuali pada jam-jam tertentu yaitu saat azan dikumandangkan dan hari jumat. Gamelan dibunyikan oleh Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punokawan Kridhomardowo. Instrumen Jawa atau gamelan dipakai sebagai bentuk kesenian yang paling digemari rakyat Jawa, karena dapat dipakai sebagai media atau alat untuk dakwah Islam dengan membunyikan gamelan Jawa dan segala macam bentuk keseniannya maka rakyat akan datang. c. Rangkaian upacara Sekaten yang kedua ialah Upacara Numplak Wajik, yang bertempat di Magangan Kidul Upacara Numplak Wajik sebagai awal dimulainya pembuatan gunungan wadon. Upacara Numplak Wajik diawali dengan iringan Gejog Lesung yang dilakukan oleh Abdi Dalem Konco Gladhag. Tujuannya agar dalam pembuatan gunungan wadon dapat berjalan lancar. Sebelum upacara ini dimulai biasanya diberikan sesaji oleh Abdi Dalem Keparak Para Gusti agar dalam pembuatan gunungan ini tidak mengalami hambatan. Pada upacara Numplak Wajik ini, Abdi Dalem Bupati Kawedanan Hageng Punokawan Widyobudoyo juga hadir untuk memimpin jalannya upacara Numplak Wajik. d. Acara selanjutnya, jam 18.30 WIB dilaksanakan Miyos Dalem di Masjid Agung Yogyakarta. Acara ini dihadiri oleh Sri Sultan, pembesar Keraton, para Bupati, Abdi Dalem Keraton dan masyarakat Yogya. Selain itu, juga ada banyak wisatawan mancanegara yang sengaja hadir untuk menyaksikan Miyos Dalem milik sejuta umat itu. Pada upacara Miyos Dalem, dihadapan Sri Sultan dan

pembesar Keraton Abdi Dalem Bupati Punokawan Kawedanan Hageng Pengulon membacakan Siratun Nabi (riwayat hidup Nabi Muhammad SAW). Sebelum Miyos Dalem dilaksanakan, Sri Sultan menyebar udhik-udhik yang telah disiapkan oleh Abdi Dalem Keparak Para Gusti di depan pintu Pagongan Selatan dan Pagongan Utara Masjid Agung Yogya dimana selama 7 hari berturut-turut kedua Gamelan sekaten dibunyikan yaitu Gamelan Kanjeng Kiai Guntur Madu dan Gamelan Kanjeng KiaiNagawilaga dihadapan masyarakat yang menghadiri upacara Miyos Dalem. Miyos Dalem berakhir ditandai dengan pelaksanaan Kondur Gongso atau gamelan dibawa masuk lagi ke Keraton jam 23.00 WIB oleh Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punokawan Kridomardhowo dan Abdi Dalem Konco Gladhag yang diiringi Abdi Dalem Tepas Keprajuritan sebanyak 4 bergodo Miyos Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono menuju ke Masjid Agung ini didahului 4 bergodo prajurit, para gusti bendera pangeran, serta para Abdi Dalem Sipat Bupati yaitu Abdi Dalem tingkat tinggi di Keraton (Abdi Dalem yang berpangkat Bupati Punokawan). Prosesi ini menandai berakhirnya pelaksanaan Upacara Sekaten yang akan mencapai puncak acara pada keesokan harinya. e. Sebagai rangkaian upacara terakhir dari Tradisi Sekatenan yaitu puncak acara Garebeg Maulud, yang ditandai dengan dikeluarkannya Hajad Dalem Pareden (gunungan) tepat tanggal 12 bulan Maulud jam 08.30 WIB. Dalam Garebeg Maulud ini Sri Sultan mengeluarkan Hajad Dalem berupa 6 gunungan diantaranya : 2 buah gunungan lanang (1 buah gunungan untuk berkatan ke Pakualaman), 1 buah gunungan wadon, 1 buah gunungan dharat, 1 buah gunungan gepak, dan 1 buah gunungan pawuhan. Urutanan jalannya upacara Garebeg Maulud masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono X sama dengan masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX , ialah : Pertama kali yang keluar adalah Prajurit Wirobraja, Prajurit Daheng, Prajurit Patangpuluh, Prajurit Jagokaryo, Prajurit Nyutro, Prajurit Ketanggung, dan Prajurit Mantrijero. Hampir semua kesatuan prajurit Abdi Dalem tepas Keprajuritan dikeluarkan sebagai tanda kelengkapan kebesaran Keraton. Tetapi apabila Prajurit keluar melalui Sitihinggil, Prajurit Nyutro dan Mantrijero

mendapat urutan paling belakang sendiri. Beberapa menit kemudian GBPH. Drs. H. Prabu Yudaningrat, M.M, miyos dari Sitihinggil diikuti oleh para Abdi Dalem, disini beliau berperan sebagai manggala yuda atau inspektur upacara. Setelah inspektur upacara sampai di alun-alun diadakan penghormatan oleh semua prajurit yang dipimpin seorang Pandega. Penghormatan dimaksudkan untuk menghormati kedatangan inspektur upacara di alunalun. Kemudian setelah penghormatan selesai dilakukan dimulailah upacara Garebeg Maulud di alun-alun. Setelah selesai mengadakan upacara pembukaan, beberapa jam kemudian Abdi Dalem prajurit Bugis keluar dari Kagungan dalem Sitihinggil mengawal keluarnya Hajad Dalem gunungan, di depan iring-iringan gunungan tersebut ada beberapa Abdi Dalem Bupati Nayoko dari Keraton Yogyakarta. Adapun urutan dibawanya gunungan (pareden) awalnya pareden disiapkan di Bangsal Ponconiti (Keben), kemudian diusung oleh Abdi Dalem ke Masjid Agung tepat jam 08.30 melalui halaman Sitihinggil, Gedhong Pagelaran, Alunalun Utara, dan berakhir di halaman depan Masjid Agung. Dari Abdi Dalem Tepas Keprajuritan mengeluarkan 8 bergodo prajurit Keraton yang melakukan display dari istana sampai alun-alun Utara. 2 bergodo prajurit Keraton yang lain menunggu di Keben dan seterusnya mengawal gunungan sampai kedepan Regol Masjid Agung. Setiap 1 bergodo prajurit terdiri dari 50 orang. Jadi semuanya kurang lebih ada 400 orang prajurit. Ketika arak-arakan yang membawa gunungan mendekati Alun-alun Utara, kesatuan prajurit Keraton melakukan 3 kali tembakan salvo sebagai tanda penghormatan. Kemudian 5 gunungan langsung dibawa ke Masjid Agung untuk didoakan yang dipimpin oleh Pengulu dari Abdi Dalem Kawedanan Pengulon, setelah itu kesemua gunungan menjadi rebutan bagi masyarakat yang hadir sebagai berkah dari Ngarso Dalem. Sedangkan 1 buah gunungan lanang dibawa ke Pakualaman sebagai Hajad Dalem dari Sri Sultan kepada warga Pakualaman. Adapun yang membawa gunungan ke Pakualaman adalah Prajurit Lombok Abang dan Prajurit Plangkir yang berseragam biru. Sesampainya di Pakualaman gunungan tersebut langsung dibawa ke Masjid Pakualaman untuk didoakan, setelah itu sama seperti kelima gunungan di Keraton Yogyakarta, gunungan yang

diberikan kepada Pakualaman inipun menjadi rebutan masyarakat sekitar yang hadir. Setelah semuanya berjalan lancar, kemudian pandega melapor kepada manggala yuda bahwa Upacara Garebeg Maulud telah selesai, lalu manggala yuda memberikan izin agar semua prajurit ditertibkan. Semua prajurit kembali ke Kagungan Dalem Pracimasana melalui Bangsal Siti Hinggil dan Bangsal Ponconiti. Dengan demikian, upacara Sekaten telah berakhir dengan ditandai pelaksanaan puncak acara Garebeg Maulud Upacara Sekaten dari zaman Sultan-sultan terdahulu sebagai upacara adat Keraton, dan sampai sekarangpun upacara Sekaten tersebut masih dianggap sebagai upacara yang sudah dimiliki oleh KeratonYogyakarta selama bertahuntahun.

2.3

Makna dan Nilai Simbolis Pelaksanaan Tradisi Sekaten di Keraton

Ngayogyakrta Hadiningrat Pelaksanaan tradisi Sekaten jika dihubungkan dengan teori Kebudayaan Malinowski dalam bukunya Roland Robertson (1992 : 53), yang mengemukakan bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat yang memiliki unsur kebudayaan itu. Dalam hal ini masyarakat Yogya yang setiap tahun tepatnya bulan Maulud selalu mengadakan tradisi Sekatenan menganggap Upacara Sekaten sangat perlu untuk dilaksanakan. Selain melaksanakan tradisi leluhur yang telah dilaksanakan selama berabad-abad lamanya, masyarakat juga yakin Sekaten bermanfaat dan mempunyai peran penting dalam proses pembentukan akhlak dan budi pekerti luhur masyarakat. Sekaten sebagai instrumen dalam memenuhi kebutuhan religius tetap dilaksanakan oleh masyarakat penerusnya dan mempunyai beberapa makna dan manfaat yang sangat penting sekali. Bagi Keraton tradisi Sekaten tidak hanya bermakna religius, tetapi juga bermakna historis dan kultural. Makna religius, berkaitan dengan kewajiban Sultan untuk mensyiarkan ajaran agama Islam dalam Kerajaannya, sesuai dengan kedudukan dan peranan Sultan sebagai yang

tercantum dalam rangkaian gelarnya : Sayidin Panatagama Kalifatullah. Makna historis, berkaitan dengan keabsahan Sultan dan Kerajaannya sebagai ahli waris sah dari Panembahan Senopati serta Kerajaan Mataram-Islam. Makna Kultural, berkaitan dengan Sultan sebagai pemimpin suku bangsa Jawa warisan para leluhur yang sangat kuat diwarnai oleh kepercayaan lama (Soelarto, 1996 : 24). Dalam Upacara Tradisi Sekaten terdapat gunungan yang merupakan simbol atau lambang yang bermakna positif. Berbagai jenis makanan yang disiapkan dalam gunungan tersebut mengandung nilai-nilai luhur dan harapan yang baik bagi masyarakat pendukungnya. Adapun nilai-nilai simbolis yang terkandung dalam setiap makanan atau sesaji yang terdapat dalam gunungan, canthangbalung, sirih, dan pecut yang terdapat pada Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta tersebut sebagai berikut: 1) Gunungan kakung; Gunungan selain bermakna kesuburan juga mempunyai arti simbolik lain, gunungan kakung melambangkan sifat baik, sedangkan gunungan putri melambangkan sifat buruk. Dua sifat ini bila berdiri sendiri akan menimbulkan sifat perusak, sehingga dua sifat ini harus disatukan. Disinilah peran raja untuk menyatukan dua kekuatan itu sehingga akan menjadi satu kekuatan yang besar untuk kejayaan keraton. Dari sinilah raja mengeluarkan sepasang gunungan pada waktu perayaan sekaten. Bentuk gunungan kakung dihubungkan dengan lingga atau alat vital laki-laki yang mengacu pada nilai-nilai kehidupan yang menggambarkan adanya proses penciptaan manusia atau dihubungkan dengan asal-usul manusia. Di samping itu gunungan kakung juga menggambarkan tentang dunia dan isinya yang mencakup berbagai unsur didalamnya, seperti bumi, langit, tumbuhtumbuhan, api, hewan, dan manusia itu sendiri dengan berbagai jenis dan sifat-sifatnya. Manusia yang dimaksud adalah seorang ksatria utama yang menggambarkan seorang figur manusia ideal bagi orang Jawa. 2) Bendera merah putih; Bendera ini ditempatkan pada ujung gunungan, berjumlah lima buah sebagai lambang dari sebuah negara atau kerajaan. Warna merah bermakna semangat atau kebenaran, sedangkan warna putih

berarti suci. Warna merah putih mengingatkan akan Kerajaan Majapahit dengan istilah gula klapa yang melambangkan bahwa orang harus mempunyai sifat dan semangat keberanian serta kesucian. 3) Cakra; Cakra sebagai puncak dari pangkal berdirinya gunungan yang mempunyai makna gaman atau pusaka milik dari Prabu Kresna yang mempunyai kekuatan dahsyat dalam menegakkan keutamaan. Selain itu cakra sebagai simbol dari hati yang merupakan petunjuk dan pemimpin dalam kehidupan. Perjalanan cakra adalah berputar yang bermakna bahwa roda kehidupan manusia itu selalu berputar, manusia harus selalu ingat kepada Tuhan dalam keadaan senang maupun susah. 4) Wapen; Wapen merupakan simbol yang digunakan sebagai lambang. Adapun wapen dalam gunungan yang dimaksud adalah petunjuk bagi keselamatan dan kekuasaan dari Raja Surakarta yang bertahta. 5) Kampuh; Kampuh adalah kain berwarna merah putih yang menutupi jodhang (tempat makanan) yang bermakna : kesusilaan : kampuh dibuat sebagus mungkin yang membuktikan kepribadian, pepatah Jawa mengatakan ajining salira saka busana yang berarti dihormatinya seseorang karena pakaiannya. sandang, yang berarti pakaian yang dipakai oleh manusia. Pakaian melambangkan kenyataan hidup (senang-susah, beja-cilaka). 6) Entho-entho; Makanan berbentuk bulat telur yang terbuat dari tepung beras ketan yang dikeringkan hingga keras, kemudian digoreng. Hal ini bermakna keteguhan hati dalam menghadapi masalah kehidupan dunia. 7) Telur asin; Melambangkan amal, adapun makna lain bahwa terbagi dua bagian, bagian kuning melambangkan laki-laki, dan bagian putih adalah perempuan. Kemudian keduanya bersatu dan terjadi manusia baru.

8)Nasi; Melambangkan kemakmuran dari sebuah kerajaan. 9) Bahan perlengkapan dalam gunungan kakung seperti tebu, cabe, daun pisang, terong, wortel, timun, kacang panjang dan daging yang kesemuanya merupakan hasil dari bumi yang dinikmati manusia. Dan juga dami (batang padi), jodhang, sujen, peniti, jarum bundel, dan samir jene. Bahan-bahan hasil bumi tersebut merupakan lambang dari kesuburan bumi. 10) Gunungan putri; Bentuk gunungan putri dihubungkan dengan yoni atau alat vital perempuan. Gunungan putri melambangkan putri sejati yang menggambarkan bahwa seorang wanita harus memiliki badan dan pikiran yang dingin. Sehingga dia mempunyai penangkal untuk menahan isu-isu yang datang dari luar, baik yang menjelek-jelekkan dirinya maupun keluarganya dan dapat menyimpan rahasia manusia atau keluarganya. Adapun isi dari gunungan putri merupakan makna dan lambang dari kewajiban wanita untuk menjaga dan mengerjakan urusan belakang atau kebutuhan rumah tangga. Gunungan putri berjalan di belakang gunungan kakung dan gunungan anakan, yang merupakan simbol bahwa istri bertugas sebagai pengasuh utama dari anak dan bertanggungjawab menjaga keselamatan rumah tangga. 11) Eter; Terbuat dari seng berbentuk jantung manusia atau bunga pisang (tuntut) yang bermakna sebagai api yang menyala, yaitu semangat hidup yang menyala terus ssebagaimana modang (dalam batik menggambarkan nyala api atau uriping latu). Eter juga berwujud jantung yang merupakan pusat kebatinan atau rohani, hal ini ada pertimbangan kewajiban lahir batin atau dengan Allah dan sesama manusia. 12) Bunga sebagai pengharum; Mempunyai dua makna yang terkandung di dalamnya, yaitu makna lahiriah dapat mendekatkan atau mendatangkan berkah bagi yang cocok dan menjauhkan bagi yang tidak cocok. Sedangkan makna batiniah yaitu kemuliaan atau keharuman jati diri manusia yang diperoleh dengan amal yang baik.

13) Jajan; Terdiri dari jadah, wajik, dan jenang sebagai isi dari jodhang yang menggambarkan hasil karya wanita dalam dapur atau rumah tangga. 14) Uang logam; Bermakna sebagai sarana memperoleh kebutuhan lahiriah manusia dalam hidup di dunia, dan bermakna batiniah sebagai simbol sebagai cobaan atau ujian hidup manusia yang dapat menggunakan dan mendatangkan keresahan bagi yang dapat menggunakan dan mendatangkan keresahan bagi yang tidak dapat menggunakan. 15) Gunungan anakan; Bermakna bahwa anak dari sebuah rumah tangga yang sudah tentu diharapkan oleh orang tuanya, anak dapat menyambung sejarah keluarga atau dapat mikul dhuwur mendhem jero, artinya menjunjung harkat dan martabat orang tua dengan cara menjaga nama baik orang tua atau dalam agama Islam dikenal dengan istilah anak sholeh yang berbakti dan mau mendoakan orang tuanya. 16) Ancak cantaka; Merupakan sedekah para abdi dalem dan kerabat keraton yang dikeluarkan oleh raja karena mereka ada di dalam lindungan-Nya. Melambangkan kehidupan yang makmur tercukupi kebutuhan jasmani dan rohani. Terbinanya kehidupan beragama dan tersedianya kebutuhan di dunia yaitu sandang, pangan, dan papan. 17) Sega uduk atau nasi gurih dengan perlengkapan daging ayam (ingkung), kedelai, dan pisang raja, maksudnya sebagai lambang kehidupan yang enak atau baik, sedang yang dituju adalah untuk para Nabi dan wali. 18) Sega janganan atau nasi sayuran; Melambangkan kehidupan tercukupi (duniawi), sedang yang dituju adalah para roh dan danyang. Dalam kejawen dikenal dengan kiblat papat lima pancer yang mempengaruhi kehidupan manusia. 19) Sega asahan; Bermakna untuk menyucikan lahir dan batin.

20) Buah-buahan atau jajan pasar; Bermakna sebagai penolak balak atau menyingkirkan segala sumber bahaya atau bencana yang akan terjadi. 21) Sirih; Menurut kepercayaan masyarakat, barang siapa yang memakan sirih tepat pada saat gamelan sekaten berbunyi untuk pertama kalinya akan awet muda. Maka banyak orang yang berjualan sirih pada perayaan sekaten. 22) Canthangbalung; Canthangbalung adalah abdi dalem yang bertugas membuat orang lain menjadi gembira. Disebut Canthangbalung karena mereka membawa kepyak dari tulang yang diselipkan pada jari-jari dan selalu dibunyikan dengan irama crek, crek, crek. Mengenai nama Canthangbalung, G.P.H. Puger mengatakan bahwa Canthangbalung adalah nama yang diberikan kepada brahmana yang memberi sesaji di tempat suci. Dan adanya pemakaian boreh pada badan Canthangbalung memberikan indikasi terhadap kebiasaan pendeta Hindu yang memboreh badannya dengan arak atau tuak sebagai syarat untuk mencapai kesuksesan. Kesuksesan yang dimaksud adalah agar tubuhnya dapat dimasuki roh halus, sehingga bisa membantu manusia. Canthangbalung dengan gayanya yang lucu dan menggelikan dimaksudkan untuk dua orang mengikuti konsep dualis yang berlaku menguji kesungguhan dan keteguhan iman pepatih dalem dalam mengemban perintah ingkang Sinuhun. 23) Pecut; Pecut adalah salah satu barang yang dijual dalam sekaten. Oleh masyarakat, pecut yang dibeli saat sekaten dipercaya dapat menghindarkan ternak dari penyakit dan berkembang biak bagi para peternak sapi/kambing.

BAB 3. PENUTUP

3.1

Kesimpulan Menurut Supanto (1982: 6), upacara tradisional sebagai pranata sosial

penuh dengan simbol-simbol yang berperanan sebagai alat komunikasi antar sesama warga masyarakat, dan juga merupakan penghubung antar dunia nyata dengan dunia gaib. Bagi para warga yang ikut berperan serta dalam penyelenggaraan upacara tradisional, unsur-unsur yang berasal dari dunia gaib

menjadi nampak nyata melalui pemahamannya terhadap simbol-simbol tersebut. Upacara tradisional biasanya diadakan dalam waktu-waktu tertentu. Ini berarti menyampaikan pesan yang mengandung nilai-nilai kehidupan itu harus diulangulang terus, demi terjaminnya kepatuhan para warga masyarakat terhadap pranatapranata sosial yang berlaku. Salah satu bentuk tradisi yang masih dipertahankan ialah Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sekaten berasal dari bahasa Arab, yaitu syahadatain yaitu kalimat syahadat yang merupakan suatu kalimat yang harus dibaca oleh seseorang untuk masuk Islam, yang mempunyai arti: Tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Sekaten selain berasal dari kata syahadatain juga berasal dari kata : (1) Sahutain : menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng; (2) Sakhatain : menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan, karena watak tersebut sumber kerusakan; (3) Sakhotain : menanamkan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan; (4) Sekati : setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk; (5) Sekat : batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan.(K.R.T. Haji Handipaningrat : 3).

DAFTAR PUSTAKA

Mulianingsih, Dwi Retno. 2005. Skripsi : Peranan Abdi Dalem dalam Pelaksanaan Tradisi Sekaten pada Pemerintahan Sri Sultan

Hamengkubuwono IX Sri Sultan Hamengkubuwono X di Keraton Nyayogyakrta Hadiningrat. Semarang : Universitas Negeri Semarang. Saddhono, Kundharu._. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan : Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta. Surakarta : Universitas Sebelas Maret. Agustina Noor Rahmawati. 2002. Sekaten Tahun Dal dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Masyarakat Surakarta. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS. Anton Moeliono (penyunting). 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. ________________________. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Herusatoto, Budiono. 1987. Simbolisme Dalam Budaya Jawa.Yogyakarta: Yayasan Kanisius.

Brongtodiningrat. 1978. Arti Kraton Yogyakarta. Yogyakarta : Museum Kraton Yogyakarta. Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah. Jakarta : Universitas Indonesia. Graaf, De. 1986. Puncak Kekuasaan Mataram (Politik Ekspansi Sultan Agung). Jakarta : PT Temprint.

Anda mungkin juga menyukai