LAHAN PERTANIAN
Dosen Pengampu :
OLEH :
EVI TIODORA BR GINTING
193020408027
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat
dan hidayah-Nya, penulis bisa menyelesaikan karya makalah yang berjudul
"Pengelolaan Lahan Gambut Untuk Lahan Peertanian." Tidak lupa penulis
mengucapkan terima kasih kepada Bapak M. Saleh selaku dosen mata kuliah
Pengelolan Lahan Gambut Dan Pasang surut yang telah membantu penulis dalam
mengerjakan makalah ilmiah ini.
Karya ilmiah ini memberikan informasi yang mengandung wawasan
tentang bagaimana cara mengolah lahan gambut agar dapat dijadikan sebagai
lahan pertanian. Bagi pembaca sekiranya makalah ini dapat mebantu menambah
pengetahuan tentang pengelolaan lahan gambut.
Penulis menyadari ada kekurangan pada makalah ini. Oleh sebab itu, saran
dan kritik senantiasa diharapkan demi perbaikan karya penulis. Penulis juga
berharap semoga makalah ini mampu memberikan pengetahuan tentang
pengelolaan lahan gambut.
i
Daftar Isi
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan 2
BAB II ISI
2.1 Pengertian Lahan Gambut 3
2.2 Karakteristik Lahan Gambut 3
2.3 Proses Terbentuknya Lahan Gambut 4
2.4 Proses Pengelolaan Lahan Gambut Menjadi Lahan Pertanian 5
2.5 Potensi Lahan Gambut Sebagai Lahan Pertanian 7
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
4. Bagaimana proses pengolahan lahan gambut untuk menjadi lahan
pertanian?
5. Apa potensi lahan gambut sebagai lahan pertanian?
2
BAB II
PEMBAHASAN
Secara fisik, tanah gambut memiliki kadar air kisaran 100% hingga 1300%
dari berat keringnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa air yang mampu diserap
oleh gambut mencapai 13 kali dari bobotnya. Sehingga air masih mampu mengalir
ke areal sekelilingnya oleh kubah gambut hingga batas tertentu. Kadar air tinggi
menjadikan gambut memiliki kepadatan tanah atau bulk density yang rendah
sehingga kemampuan untuk menahan bebannya rendah dan tanahnya menjadi
lunak atau lembek. Gambut dapat mengalami penyusutan volume bila mengalami
drainase dan dapat menyebabkan penurunan permukaan tanah atau subsiden.
Penurunan permukaan tanah dapat terjadi bukan hanya disebabkan oleh
penyusutan volume, tetapi juga erosi dan proses dekomposisi. Gambut tidak bisa
menyerap air lagi apabila telah mengering dan kadar airnya dibawah 100%,
3
sehingga bahan organiknya dapat dengan mudah terbakar apabila dalam kondisi
kering.
Secara kimia, tanah gambut sangat dipengaruhi oleh kandungan mineral yang
menyusunnya termasuk dalam ketebalan dan jenis mineralnya pada setiap
substratum serta tingkat dekomposisinya. Di Indonesia, kandungan mineral pada
gambut hanya berkisar 5% dan sisanya merupakan bahan organik. Bahan
organiknya juga terbagi menjadi beberapa fraksi seperti senyawa humat yang
terdiri 10% hingga 20% dan sisanya merupakan senyawa selulosa, lilin,
hemiselulosa, suberin, lignin, protein, resin, dan lain-lain. Tanah gambut juga
memiliki pH yang tergolong asam dengan tingkat kemasaman yang relatif tinggi
berkisar antara 3 sampai 5 misalnya pada gambut oligotropik dengan pH 3,25
hingga 3,75 yang terdapat substratum pasir kuarsa. Gambut oligotropik juga
sering ditemukan di Pulau Kalimantan.
4
Pada awalnya merupakan danau dangkal yang kemudian ditumbuhi oleh
vegetasi lahan basah serta tanaman air lainnya secara perlahan. Kemudian,
vegetasi yang tumbuh sebelumnya mati dan mengalami proses pelapukan secara
bertahap. Proses pelapukan tersebut membentuk lapisan transisi dengan lapisan di
bawahnya atau lapisan substratum berupa tanah mineral. Kemudian, tumbuh lagi
tanaman berikutnya di bagian yang lebih tengah dari danau dangkal dan
membentuk lapisan-lapisan gambut lainnya hingga memenuhi danau tersebut.
Bagian yang mengisi danau dangkal dikenal dengan nama gambut topogen.
Gambut topogen memiliki proses pembentukan akibat topografi yaitu berupa
daerah cekungan dan tergolong eutrofik sehingga termasuk tanah yang subur
karena adanya pengaruh dari tanah mineral. Jika terjadi banjir besar akan
meningkatkan mineral di dalamnya. Penambahan mineral juga turut dalam
meningkatkan kesuburan tanahnya.
Di atas jenis gambut topogen masih dapat ditumbuhi dengan subur oleh
tanaman tertentu. Kemudian terbentuklah lapisan gambut yang baru dari hasil
pelapukannya sehingga semakin banyak pelapukan membentuk permukaan yang
cembung yang disebut sebagai kubah gambut. Di atas jenis gambut topogen
muncul kembali jenis gambut yang disebut dengan jenis gambut ombrogen dan
dipengaruhi oleh air hujan dalam proses pembentukannya. Kesuburan dari jenis
gambut ombrogen lebih rendah apabila dibandingkan dengan gambut topogen.
Hal ini dapat terjadi karena pada jenis gambut ombrogen tidak mengalami
penambahan mineral.
5
- Menentukan jenis restorasi, pelaku restorasi, dan rentang waktu pelaksannan
restorasi
Setelah melakukan pemetaan gambut, pelaku restorasi dapat menentukan
jenis restorasi yang sesuai dengan kondisi gambut. Ada gambut yang perlu
melewati siklus pembasahan terlebih dahulu, dan ada pula yang dapat langsung
ditanam ulang (revegetasi). Setelah menentukan jenis restorasi, baru dapat
ditentukan waktu pelaksanaanya dan pemangku kepentingan mana saja yang
terlibat di dalamnya.
- Membasahi gambut (rewetting)
Pembasahan gambut (rewetting) diperlukan untuk mengembalikan
kelembapannya. Penataan air pada tahap ini dapat dilakukan dengan membangun
sekat kanal (canal blocking), penimbunan saluran (back filling), sumur bor,
dan/atau penahan air yang berfungsi menyimpan air di sungai atau kanal. Target
pembasahan lahan gambut yang layak bukanlah menaikkan muka air setinggi
mungkin, melainkan menaikkan muka air tanah sedemikian rupa sehingga dapat
meningkatkan kelembapan gambut (terutama di musim kemarau) agar tidak
mudah teroksidasi dan/atau terbakar.
- Menanam di lahan Gambut
Ketika sudah kembali lembap, lahan gambut dapat kembali ditanami
(revegetasi) dengan tanaman yang tidak mengganggu siklus air dalam ekosistem
gambut. Proses vegetasi akan menjaga keberlangsungan ekosistem gambut dan
juga memperkokoh sekat kanal, serta melindungi lahan gambut agar tidak
terkikis aliran air kanal. Beberapa jenis tanaman asli ekosistem gambut adalah
jelutung, ramin, pulau rawa, gaharu, dan meranti. Selain itu, beberapa tanaman
seperti kopi, nanas, dan kelapa juga merupakan tanaman yang ramah gambut
dan mempunyai nilai ekonomi bagi masyarakat lokal.
- Memberdayakan Ekonomi Masyarakat Lokal (Revitalisasi)
Restorasi lahan gambut tidak hanya berhenti pada pemulihan ekologi dan
revegetasi, tetapi juga harus memikirkan pemberdayaan ekonomi masyarakat
lokal (revitalisasi). Jika masyarakat setempat tidak mempunyai alternatif
penghidupan, mereka akan menggunakan cara mudah untuk mengeringkan lahan
gambut dan menanam tumbuhan yang kaya akan nilai ekonomi, tetapi tidak
ramah dengan gambut. Pelaku restorasi harus senantiasa berdiskusi dengan warga
untuk mencari cara dalam meningkatkan taraf kehidupan melalui pengolahan
lahan gambut, seperti penanaman sagu, karet, kopi, dan kelapa atau
mennggalakkan perikanan dan pariwisata alam.Dengan menjaga lahan gambut,
maka keseimbangan ekosistem akan terjaga sehingga masyarakat dapat tetap
hidup berdampingan dan memperoleh penghidupan dari beternak maupun
bertani.
6
2.5 Potensi Lahan Gambut Sebagai Lahan Pertanian
Potensi lahan gambut dangkal/tipis di Indonesia diperkirakan sekitar
5.241.473 ha atau 35,17% dari total luas lahan gambut Indonesia, tersebar di
Pulau Papua (2.425.523 ha), Pulau Sumatera (1.767.303 ha), dan Pulau
Kalimantan (1.048.611 ha). Lahan tersebut baru sebagian kecil dimanfaatkan
petani untuk budidaya tanaman pangan, dan hortikultura dengan produktivitas
yang tergolong rendah. Kebakaran lahan gambut dan faktor lainnya menyebabkan
terjadinya dinamika luas lahan gambut tipis. Potensi gambut tipis dapat
dimanfaatkan untuk budidaya tanaman pangan seperti padi, jagung, dan kedelai,
tanaman hortikultura buah-buahan seperti nenas, pisang, pepaya, melon, dan
tanaman hortikultura sayuran berupa tomat, pare, mentimun, cabai, kangkung, dan
bayam. Kontribusi lahan gambut tipis terhadap produksi tanaman pangan dan
hortikultura diperkirakan 50-60% dari total produksi lahan gambut.
7
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan sekitar 14,95 juta hektar dimana
sekitar 6,66 juta hektar telah terdegradasi. Degradasi lahan gambut terjadi
antaranya disebabkan oleh kebakaran lahan, kesalahan dalam pengelolaan air, dan
kegiatan penambangan. Lahan gambut terdegradasi merupakan lahan gambut
yang mengalami penurunan fungsi hidrologi, produksi, dan ekologi akibat
memburuknya sifat kimia, fisika dan biologi gambut, sehingga produktivitasnya
menurun, bahkan sebagian menjadi tidak produktif dan dibiarkan menjadi semak
belukar dan lahan terbuka, bekas tambang sebagai lahan terlantar.
Perlu di lakukan pengolahan lahan gambut agar siap untuk dijadikan sebagai
laha pertanian yaitu: memetakan lahan gambut, menentukan jenis restorasi, pelaku
restorasi, dan rentang waktu pelaksannan restorasi, membasahi gambut
(rewetting), menanam di lahan gambut dan Memberdayakan Ekonomi Masyarakat
Lokal (Revitalisasi).
Potensi lahan gambut dangkal/tipis di Indonesia dimanfaatkan untuk budidaya
tanaman pangan seperti padi, jagung, dan kedelai, tanaman hortikultura buah-
buahan seperti nenas, pisang, pepaya, melon, dan tanaman hortikultura sayuran
berupa tomat, pare, mentimun, cabai, kangkung, dan bayam.
3.2 Saran
Sebaiknya diperhatikan teliti dengan seksama saat mengolah lahan gambut
meenjadi lahan pertanian, dan diperlukan langkah-langkah yang tepat untuk tidak
mengganggu keseimbangan ekosistem juga.
8
Daftar Pustaka
Tan, K. H. 1994. Environmental Soil Science. Marcel Dekker Inc., New York.
304 halaman.
AgriPeat 2(2):46-52
Centre (ICRAF).
Augusta TS. 2012. Aklimatisasi Benih Ikan Nila (Oreochromis spp) dengan
9
10