Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT UNTUK

LAHAN PERTANIAN

Dosen Pengampu :

OLEH :
EVI TIODORA BR GINTING
193020408027

JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2021
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat
dan hidayah-Nya, penulis bisa menyelesaikan karya makalah yang berjudul
"Pengelolaan Lahan Gambut Untuk Lahan Peertanian." Tidak lupa penulis
mengucapkan terima kasih kepada Bapak M. Saleh selaku dosen mata kuliah
Pengelolan Lahan Gambut Dan Pasang surut yang telah membantu penulis dalam
mengerjakan makalah ilmiah ini.
Karya ilmiah ini memberikan informasi yang mengandung wawasan
tentang bagaimana cara mengolah lahan gambut agar dapat dijadikan sebagai
lahan pertanian. Bagi pembaca sekiranya makalah ini dapat mebantu menambah
pengetahuan tentang pengelolaan lahan gambut.
Penulis menyadari ada kekurangan pada makalah ini. Oleh sebab itu, saran
dan kritik senantiasa diharapkan demi perbaikan karya penulis. Penulis juga
berharap semoga makalah ini mampu memberikan pengetahuan tentang
pengelolaan lahan gambut.

Palangka Raya, 17 September 2021


Penulis,

Evi Tiodora Br Ginting

i
Daftar Isi

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan 2
BAB II ISI
2.1 Pengertian Lahan Gambut 3
2.2 Karakteristik Lahan Gambut 3
2.3 Proses Terbentuknya Lahan Gambut 4
2.4 Proses Pengelolaan Lahan Gambut Menjadi Lahan Pertanian 5
2.5 Potensi Lahan Gambut Sebagai Lahan Pertanian 7

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan 8
3.2 Saran 8

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lahan gambut adalah lapisan tanah yang tersusun oleh bahan organik
(Corganik > 18%) yang memiliki ketebalan ±50 cm yang terbentuk dari sisa-sisa
tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan
sedikit unsur hara (Agus, 2008: 3). Pembentukan lahan gambut diduga terjadi
antara 10.000 - 5000 tahun lalu yang memerlukan waktu dengan kecepatan antara
0-3 mm per tahun. Berdasarkan data Wetlands Internasional (2008) bahwa luas
lahan gambut global adalah 381,4 juta ha yang tersebar di kaasan Eropa dan Rusia
(44,08%), Amerika (40,50%), Afrika (3,4%), Indonesia (6,95%), Asia lainnya
(2,74%), Australia dan pasifik (1,91%) dan Antartika (0,41%). Empat negara yang
memiliki lahan gambut terbesar di dunia adalah Rusia (137,5 juta ha), Kanada
(113,4 juta ha), USA (22,4 juta ha), dan Indonesia (18,5 juta ha).
Kondisi kritis pada lahan gambut disebabkan oleh dua faktor yaitu penyebab
secara langsung dan penyebab secara tidak langsung. Penyebab secara langsung
diakibatkan oleh penebangan kayu untuk pembukaan lahan dan kebakaran hutan.
Menurut Wahyunto (2005: 227) cara pembukaan lahan gambut yang tidak
memperhatikan sifat lahan mengakibatkan secara nyata terjadinya perubahan
hidrofilik-reduktif menjadi hidrofobik-oksidatif sehingga menyebabkan
pemasaman lahan dan lingkungan. Sedangkan penyebab secara tidak langsung
dipicu oleh perubahan iklim dan kebijakan tata guna lahan. Hal tersebut
berdampak terhadap berkurangnya luas tutupan hutan rawa gambut, peningkatan
emisi karbon, dan berkurangnya keanekaragaman hayati.
Lahan gambut Indonesia memiliki nilai penting bagi dunia, karena
menyimpan 57 miliar ton karbon. Menurut penelitian oleh International Peatland
Society, lahan gambut Indonesia menempati peringkat pertama terluas di wilayah
tropika yaitu sebesar 22,5 juta ha. Berdasarkan catatan Balitbangtan (Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian) pada tahun 2019, luas lahan gambut di
Indonesia sebesar 13,43 juta ha turun sebesar 1,5 juta ha dengan sebuah kajian
bahwa lahan gambut sebesar 10 juta ha ditemukan sudah terdegradasi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Pengertian Lahan Gambut ?
2. Bagaimana karakteristik lahan gambut ?
3. Bagaimana Proses Terbentuknya Gambut ?

1
4. Bagaimana proses pengolahan lahan gambut untuk menjadi lahan
pertanian?
5. Apa potensi lahan gambut sebagai lahan pertanian?

1.3 Tujuan Penelitian


Untuk mengetahui pengertian dari lahan gambut, bagaimana karakteristik
tanah gambut, proses tebentuknya tanah gambut, proses pengolahan lahan gambut
menjadi lahan pertanian dan mengetahui potensi lahan gambut untuk lahan
pertanian.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Lahan Gambut


Gambut adalah bahan organik tumbuhan yang menumpuk pada kondisi
reduksi. Lama waktu penumpukan tidak sebanding yaitu lebih cepat daripada
waktu penguraiannya sehingga bahan organik tersebut tidak mengalami
dekomposisi secara sempurna. Hasil pelapukan bahan organik yang membentuk
gambut memiliki warna hitam kecoklatan, kemerah-merahan, cokelat kehitaman,
seperti warna-warna pada teh dan sebagainya (Augusta 2012).
Lahan gambut merupakan ekosistem lahan basah yang tergenang air sehingga
materi-materi tanaman tidak bisa membusuk sepenuhnya. Hal ini membuat
produksi bahan organik menjadi lebih banyak dari proses pembusukan yang
terjadi sehingga terjadi akumulasi bahan gambut. AtauLLahan adalah suatu
sumber daya dalam suatu wilayah dalam bentuk daratan yang di dalamnya
mencakup semua karakteristik yang berperan dalam pembentukan lahan tersebut
serta lingkungannya. Karakteristik tersebut berupa tanah, geologi, hidrologi,
atmosfer, timbulan, populasi flora dan fauna dalam suatu siklus atau non-siklus
termasuk kegiatan manusia yang terjadi diatasnya sehingga dapat dikatakan
bahwa lahan memiliki karakteristik tidak hanya secara ekologi tetapi juga budaya
(Yuwono 2009).

2.2 Karakteristik Lahan Gambut


Lahan gambut memiliki ciri-ciri atau karakteristik yang berbeda dari jenis
lahan lainnya. Lahan gambut memiliki penyusun lapisan berupa tanah gambut.
Tanah gambut sendiri memiliki karakteristik yang dapat dibedakan secara fisik,
kimia dan biologi.

Secara fisik, tanah gambut memiliki kadar air kisaran 100% hingga 1300%
dari berat keringnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa air yang mampu diserap
oleh gambut mencapai 13 kali dari bobotnya. Sehingga air masih mampu mengalir
ke areal sekelilingnya oleh kubah gambut hingga batas tertentu. Kadar air tinggi
menjadikan gambut memiliki kepadatan tanah atau bulk density yang rendah
sehingga kemampuan untuk menahan bebannya rendah dan tanahnya menjadi
lunak atau lembek. Gambut dapat mengalami penyusutan volume bila mengalami
drainase dan dapat menyebabkan penurunan permukaan tanah atau subsiden.
Penurunan permukaan tanah dapat terjadi bukan hanya disebabkan oleh
penyusutan volume, tetapi juga erosi dan proses dekomposisi. Gambut tidak bisa
menyerap air lagi apabila telah mengering dan kadar airnya dibawah 100%,

3
sehingga bahan organiknya dapat dengan mudah terbakar apabila dalam kondisi
kering.

Secara kimia, tanah gambut sangat dipengaruhi oleh kandungan mineral yang
menyusunnya termasuk dalam ketebalan dan jenis mineralnya pada setiap
substratum serta tingkat dekomposisinya. Di Indonesia, kandungan mineral pada
gambut hanya berkisar 5% dan sisanya merupakan bahan organik. Bahan
organiknya juga terbagi menjadi beberapa fraksi seperti senyawa humat yang
terdiri 10% hingga 20% dan sisanya merupakan senyawa selulosa, lilin,
hemiselulosa, suberin, lignin, protein, resin, dan lain-lain. Tanah gambut juga
memiliki pH yang tergolong asam dengan tingkat kemasaman yang relatif tinggi
berkisar antara 3 sampai 5 misalnya pada gambut oligotropik dengan pH 3,25
hingga 3,75 yang terdapat substratum pasir kuarsa. Gambut oligotropik juga
sering ditemukan di Pulau Kalimantan.

Sifat biologi Gambut mempunyai peranan penting dalam kelangsungan


ekosistem. Selain itu gambut juga mempunyai fungsi-fungsi biologis yang sangat
penting dalam menjaga kualitas lingkungan (Sarwani et al. 2006). Ketersediaan
hara dan degradasi senyawasenyawa yang sulit terurai seperti lignin pada
lingkungan dapat terjadi karena bantuan mikroorganisme (Tan 1994).
Kebakaran lahan gambut menyebabkan sebagian, bahkan mikroorganisme
tertentu dapat mengalami kepunahan. Oleh karena itu jenis mikroorganisme dalam
gambut yang terdegradasi lebih sedikit (Agustina et al. 2001). Kondisi ini
menyebabkan aktivitas mikroorganisme menjadi kurang intensif. Kemampuan
mikroorganisme pelarut P mempengaruhi kelarutan P dalam gambut ditentukan
oleh populasi mikroorganisme pelarut P (Tan 1994). Agustina et al. (2001)
melaporkan bahwa populasi mikroorganisme pelarut P dalam tanah gambut yang
terdegradasi dari Bereng Bengkel dan Pangkoh, Kalimantan Tengah hanya sekitar
10.000 sel per gram gambut, padahal untuk menjamin agar ketersediaan dan
serapan P tanaman jagung maksimal, tanah harus diinokulasi dengan Aspergillus
niger mengguna-kan konsentrasi 1.000.000 sel per gram tanah.

2.3 Proses Terbentuknya Gambut


Terbentuknya gambut terdiri dari beberapa proses. Gambut sendiri diduga
terbentuk pada masa Holosin yaitu sekitar 10.000 hingga 5000 tahun SM,
sedangkan di Indonesia terjadi pada tahun 6.800 sampai 4.200 SM. Bahkan di
Kalimantan Tengah umur gambutnya mencapai 6,239 tahun di kedalaman 100 cm
dan 8.260 tahun di kedalaman 5 m jika ditelusuri menggunakan teknik radio
isotop atau carbon dating. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa untuk gambut
terbentuk memerlukan waktu yang sangat panjang. Kecepatan pembentukan
gambut adalah sekitar 0,3 mm/tahun.

4
Pada awalnya merupakan danau dangkal yang kemudian ditumbuhi oleh
vegetasi lahan basah serta tanaman air lainnya secara perlahan. Kemudian,
vegetasi yang tumbuh sebelumnya mati dan mengalami proses pelapukan secara
bertahap. Proses pelapukan tersebut membentuk lapisan transisi dengan lapisan di
bawahnya atau lapisan substratum berupa tanah mineral. Kemudian, tumbuh lagi
tanaman berikutnya di bagian yang lebih tengah dari danau dangkal dan
membentuk lapisan-lapisan gambut lainnya hingga memenuhi danau tersebut.

Bagian yang mengisi danau dangkal dikenal dengan nama gambut topogen.
Gambut topogen memiliki proses pembentukan akibat topografi yaitu berupa
daerah cekungan dan tergolong eutrofik sehingga termasuk tanah yang subur
karena adanya pengaruh dari tanah mineral. Jika terjadi banjir besar akan
meningkatkan mineral di dalamnya. Penambahan mineral juga turut dalam
meningkatkan kesuburan tanahnya.

Di atas jenis gambut topogen masih dapat ditumbuhi dengan subur oleh
tanaman tertentu. Kemudian terbentuklah lapisan gambut yang baru dari hasil
pelapukannya sehingga semakin banyak pelapukan membentuk permukaan yang
cembung yang disebut sebagai kubah gambut. Di atas jenis gambut topogen
muncul kembali jenis gambut yang disebut dengan jenis gambut ombrogen dan
dipengaruhi oleh air hujan dalam proses pembentukannya. Kesuburan dari jenis
gambut ombrogen lebih rendah apabila dibandingkan dengan gambut topogen.
Hal ini dapat terjadi karena pada jenis gambut ombrogen tidak mengalami
penambahan mineral.

2.4 Proses Pengolahan Lahan Gambut Menjadi Lahan Pertanian


Diperlukan langkah-langkah yang tepat untuk sampai pada kondisi lahan
gambut yang baik, mulai dari wilayah mana saja yang akan direstorasi, siapa yang
akan melakukan restorasi, hingga tahap pencapaian tujuan dari restorasi itu
sendiri. Berikut ini adalah beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam restorasi
gambut:

- Memetakan Lahan Gambut


Pemetaan gambut perlu dilakukan untuk menentukan lokasi gambut
terdegradasi dan mengetahui tipe serta kedalaman lahan gambut yang
terdegradasi. Pemetaan merupakan langkah awal yang krusial karena tipe gambut
yang berbeda memerlukan jenis restorasi yang berbeda pula, seperti penentuan
letak pembuatan sekat kanal untuk mengatur kadar air memiliki. Selain itu,
metodologi yang seragam, akurat, dan murah saat mengukur kedalaman gambut
juga penting untuk menentukan upaya pemulihan yang tepat. Untuk memastikan
akurasi, pemetaan ini perlu dilengkapi dengan verifikasi langsung di lahan
gambut.

5
- Menentukan jenis restorasi, pelaku restorasi, dan rentang waktu pelaksannan
restorasi
Setelah melakukan pemetaan gambut, pelaku restorasi dapat menentukan
jenis restorasi yang sesuai dengan kondisi gambut. Ada gambut yang perlu
melewati siklus pembasahan terlebih dahulu, dan ada pula yang dapat langsung
ditanam ulang (revegetasi). Setelah menentukan jenis restorasi, baru dapat
ditentukan waktu pelaksanaanya dan pemangku kepentingan mana saja yang
terlibat di dalamnya.
- Membasahi gambut (rewetting)
Pembasahan gambut (rewetting) diperlukan untuk mengembalikan
kelembapannya. Penataan air pada tahap ini dapat dilakukan dengan membangun
sekat kanal (canal blocking), penimbunan saluran (back filling), sumur bor,
dan/atau penahan air yang berfungsi menyimpan air di sungai atau kanal. Target
pembasahan lahan gambut yang layak bukanlah menaikkan muka air setinggi
mungkin, melainkan menaikkan muka air tanah sedemikian rupa sehingga dapat
meningkatkan kelembapan gambut (terutama di musim kemarau) agar tidak
mudah teroksidasi dan/atau terbakar.
- Menanam di lahan Gambut
Ketika sudah kembali lembap, lahan gambut dapat kembali ditanami
(revegetasi) dengan tanaman yang tidak mengganggu siklus air dalam ekosistem
gambut. Proses vegetasi akan menjaga keberlangsungan ekosistem gambut dan
juga memperkokoh sekat kanal, serta melindungi lahan gambut agar tidak
terkikis aliran air kanal. Beberapa jenis tanaman asli ekosistem gambut adalah
jelutung, ramin, pulau rawa, gaharu, dan meranti. Selain itu, beberapa tanaman
seperti kopi, nanas, dan kelapa juga merupakan tanaman yang ramah gambut
dan mempunyai nilai ekonomi bagi masyarakat lokal.
- Memberdayakan Ekonomi Masyarakat Lokal (Revitalisasi)
Restorasi lahan gambut tidak hanya berhenti pada pemulihan ekologi dan
revegetasi, tetapi juga harus memikirkan pemberdayaan ekonomi masyarakat
lokal (revitalisasi). Jika masyarakat setempat tidak mempunyai alternatif
penghidupan, mereka akan menggunakan cara mudah untuk mengeringkan lahan
gambut dan menanam tumbuhan yang kaya akan nilai ekonomi, tetapi tidak
ramah dengan gambut. Pelaku restorasi harus senantiasa berdiskusi dengan warga
untuk mencari cara dalam meningkatkan taraf kehidupan melalui pengolahan
lahan gambut, seperti penanaman sagu, karet, kopi, dan kelapa atau
mennggalakkan perikanan dan pariwisata alam.Dengan menjaga lahan gambut,
maka keseimbangan ekosistem akan terjaga sehingga masyarakat dapat tetap
hidup berdampingan dan memperoleh penghidupan dari beternak maupun
bertani. 

6
2.5 Potensi Lahan Gambut Sebagai Lahan Pertanian
Potensi lahan gambut dangkal/tipis di Indonesia diperkirakan sekitar
5.241.473 ha atau 35,17% dari total luas lahan gambut Indonesia, tersebar di
Pulau Papua (2.425.523 ha), Pulau Sumatera (1.767.303 ha), dan Pulau
Kalimantan (1.048.611 ha). Lahan tersebut baru sebagian kecil dimanfaatkan
petani untuk budidaya tanaman pangan, dan hortikultura dengan produktivitas
yang tergolong rendah. Kebakaran lahan gambut dan faktor lainnya menyebabkan
terjadinya dinamika luas lahan gambut tipis. Potensi gambut tipis dapat
dimanfaatkan untuk budidaya tanaman pangan seperti padi, jagung, dan kedelai,
tanaman hortikultura buah-buahan seperti nenas, pisang, pepaya, melon, dan
tanaman hortikultura sayuran berupa tomat, pare, mentimun, cabai, kangkung, dan
bayam. Kontribusi lahan gambut tipis terhadap produksi tanaman pangan dan
hortikultura diperkirakan 50-60% dari total produksi lahan gambut.

7
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan sekitar 14,95 juta hektar dimana
sekitar 6,66 juta hektar telah terdegradasi. Degradasi lahan gambut terjadi
antaranya disebabkan oleh kebakaran lahan, kesalahan dalam pengelolaan air, dan
kegiatan penambangan. Lahan gambut terdegradasi merupakan lahan gambut
yang mengalami penurunan fungsi hidrologi, produksi, dan ekologi akibat
memburuknya sifat kimia, fisika dan biologi gambut, sehingga produktivitasnya
menurun, bahkan sebagian menjadi tidak produktif dan dibiarkan menjadi semak
belukar dan lahan terbuka, bekas tambang sebagai lahan terlantar.
Perlu di lakukan pengolahan lahan gambut agar siap untuk dijadikan sebagai
laha pertanian yaitu: memetakan lahan gambut, menentukan jenis restorasi, pelaku
restorasi, dan rentang waktu pelaksannan restorasi, membasahi gambut
(rewetting), menanam di lahan gambut dan Memberdayakan Ekonomi Masyarakat
Lokal (Revitalisasi).
Potensi lahan gambut dangkal/tipis di Indonesia dimanfaatkan untuk budidaya
tanaman pangan seperti padi, jagung, dan kedelai, tanaman hortikultura buah-
buahan seperti nenas, pisang, pepaya, melon, dan tanaman hortikultura sayuran
berupa tomat, pare, mentimun, cabai, kangkung, dan bayam.

3.2 Saran
Sebaiknya diperhatikan teliti dengan seksama saat mengolah lahan gambut
meenjadi lahan pertanian, dan diperlukan langkah-langkah yang tepat untuk tidak
mengganggu keseimbangan ekosistem juga.

8
Daftar Pustaka

Tan, K. H. 1994. Environmental Soil Science. Marcel Dekker Inc., New York.

304 halaman.

Agustina, S.E.R., B.M. Rachmawati, dan Sustiyah. 2001. Inventarisasi micoriza

vesicular arbuskula (MVA) pada tanah gambut Kalimantan Tengah. J.

AgriPeat 2(2):46-52

Agus F, Subiksa IGM. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek

Lingkungan. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanah dan World Agorforestry

Centre (ICRAF).

Augusta TS. 2012. Aklimatisasi Benih Ikan Nila (Oreochromis spp) dengan

pencampuran air gambut. Jurnal Ilmu Hewani Tropika. 1 (2): 78-82.

Yuwono NW. 2009. Membangun kesuburan tanah di lahan marginal. Jurnal Ilmu

Tanah dan Lingkungan. 9 (2): 137-141.

9
10

Anda mungkin juga menyukai