Anda di halaman 1dari 7

Potensi Gulma Semak Bunga Putih (Chromolaena odorata) Sebagai Pakan

Ternak

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Permasalahan utama dalam usaha peternakan di negara-negara tropis termasuk Indonesia adalah
faktor suhu lingkungan yang cukup tinggi. Kondisi ini berdampak langsung pada sistem
metabolisme dan termoregulasi dalam tubuh ternak. Lingkungan yang relatif panas menyebabkan
sebagian ternak akan ‘enggan makan’ sehingga secara kuantitas asupan zat makanan (nutrient)
yang masuk dalam tubuh jadi berkurang. Disamping faktor suhu, ketersediaan hijauan pakan
ternak yang berfluktuasi turut memperparah keadaan.
Berfluktuasi ketersediaan hijauan pakan ternak ini dipengaruhi oleh iklim, dimana pada musim
kemarau terjadi kekurangan hijauan pakan ternak dan sebaliknya di musim hujan jumlahnya
melimpah. Disamping itu, mutu hijauan pakan di daerah tropis ini cukup rendah dengan ditandai
kadar serat kasar yang tinggi dan protein kasar rendah. Padahal, asupan nutrient ini berperan
penting untuk mencukupi kebutuhan pokok (maintenance), perkembangan tubuh dan untuk
kebutuhan bereproduksi. Implikasi dari kondisi asupan gizi ternak yang kurang, tak jarang
dijumpai ternak dengan pertambahan berat hidup (average daily gain/ADG) yang masih sangat
jauh dari hasil yang diharapkan baik di tingkat peternakan rakyat maupun industri.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan produksi ternak ruminansia harus diikuti dengan
peningkatan penyediaan hijauan pakan yang cukup, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Hijauan pakan ternak yang umum diberikan pada ternak ruminansia adalah rumput-rumputan
yang berasal dari padang penggembalaan atau kebun rumput, tegalan, pematang serta pinggiran
jalan. Namun ketersediaan hijauan pakan ternak mulai berkurang seiring dengan terjadinya
perubahan fungsi lahan yang sebelumnya sebagai sumber hijauan pakan menjadi lahan
pemukiman, lahan untuk tanaman pangan dan tanaman industri.
Untuk mengatasi kekurangan hijauan pakan salah satunya adalah pemanfaatan limbah
pertanian/perkebunan sebagai pakan ternak. Limbah pertanian/perkebunan memiliki potensi yang
cukup besar sebagai sumber pakan ternak ruminansia. Namun demikian, dari potensi dan daya
dukung limbah pertanian/perkebunan tersebut ada beberapa hal yang menjadi faktor pembatas
pemanfaatan limbah pertanian/perkebunan sebagai pakan ternak seperti rendah kadar protein
kasar dan tinggi serat kasarnya serta ketersedian pakan yang tidak kontiniu.
Salah satu cara untuk mengatasi kekurangan hijauan makanan ternak terutama pada daerah yang
menghadapi permasalahan akibat kekurangan hijauan pakan ternak karena invasi gulma yang
sulit diatasi dengan memanfaatkan gulma itu sendiri. Salah satu gulma yang dapat digunakan
adalah ki runyuh atau semak bunga putih (Chromolaena odorata) dimana kehadirannya tidak
dikehendaki dalam suatu areal tertentu karena dianggap mengganggu tanaman pertanian maupun
rumput yang merupakan pakan ternak sehingga terus diupayakan pemusnahannya.
Bila dilihat dari ketersediaanya yang cukup berlimpah maka Ki rinyuh berpotensi sebagai pakan
ternak. Disamping itu sesuai pernyataan Marthen, (2007), Chromolaena odorata mengandung
protein yang tinggi (21-36%) setara dengan turi, lamtoro dan gamal; produksi protein kasar
sebesar 15 ton/thn, memiliki keseimbangan asam amino yang baik untuk ternak monogastrik,
palatabilitas lebih baik dari gamal, suplementasi sampai 30% dalam ransum meningkatkan
konsumsi dan pertumbuhan ternak kambing dan penelitian di Afrika dan Eropa menunjukkan
adanya senyawa anti helmintik/obat anti cacing.
Namun demikian pemanfaatan Chromolaena odorata ini perlu dikaji lebih jauh karena gulma ini
memiliki zat anti nutrisi. Sesuai pernyataan Ikhimioya (2003), Chromolaena odorata mengandung
zat antinutrisi. seperti Haemagglutinnin, Oxalate, Phytic acid, Saponin.
TINJAUAN LITERATUR

Sejarah Penyebaran Chromolaena odorata

Ki rinyuh berasal dari Amerika Tengah, tetapi kini telah tersebar di daerah-daerah tropis dan
subtropis. Gulma ini dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah dan akan tumbuh lebih baik
lagi apabila mendapat cahaya matahari yang cukup (Vanderwoude et al. 2005). Kondisi yang
ideal bagi gulma ini adalah wilayah dengan curah hujan > 1000 mm/tahun (Binggeli, 1997).
Dengan demikian, gulma ini tumbuh dengan baik di tempat-tempat yang terbuka seperti padang
rumput, tanah terlantar dan pinggir-pinggir jalan yang tidak terawat.

Mc Fadyen dalam Wilson dan Widayanto (2004) memperkirakan bahwa Ki rinyuh menyebar di
kepulauan Indonesia sejak Perang Dunia II. Dengan penyebaran itu kini Ki rinyuh dapat dijumpai
di semua pulau-pulau besar di Indonesia. Di lain pihak Sipayung et al. (1991) memperkirakan Ki
rinyuh telah ada di Indonesia sebelum tahun 1912. Namun demikian, laporan pertama yang
menyangkut kerugiannya terhadap ternak baru dilaporkan pada tahun 1971 (Soerohaldoko,
1971), yaitu mengenai keberadaan Ki rinyuh di cagar alam Pananjung, Jawa Barat, yang
merugikan banteng di suaka alam tersebut karena rumput pakannya berkurang akibat invasi
gulma berkayu ini.

Ki rinyuh tidak hanya ditemukan di Pulau Jawa, tetapi juga ditemukan di seluruh Indonesia
seperti di Sumatera (Sipayung et al., 1991), di Kalimantan (De Chenon et al., 2003), di Lombok,
Sumbawa, Flores, Timor (Wilson Dan Widayanto, 2004; De Chenon et al., 2003; Mcfayden,
2004), Sulawesi dan Irian Jaya (Sipayung et al., 1991; Wilson dan Widayanto, 2004).

Di Afrika, gulma padang rumput ini digolongkan pada gulma yang paling berbahaya selain dari
alangalang (Imperata cylindrica), puteri malu (Mimosa sp.), sadagori (Sida acuta), Commelina
sp., Hyptis sp. Dan saliara (Lantana camara) karena mengganggu padang rumput dengan
mengurangi produktivitas dan mengurangi diversitas jenis-jenis rumput (Opponganane Dan
Francais, 2002). Gulma berkayu ini tidak hanya tumbuh di daratan Afrika, tetapi juga di pulau-
pulau sekitarnya seperti Pulau Madagaskar dan Mascarene. Tidak hanya di Asia dan Afrika,
gulma ini juga ternyata sudah masuk ke Australia (Murphy (1997). Pheloung (2003)
menunjukkan bahwa pada tahun 1994 Ki rinyuh telah berada di Queensland, bahkan kini
digolongkan pada gulma kelas 1, yaitu gulma yang mendapat prioritas untuk dikendalikan
(Department Of Natural Resources, Mines And Water, 2006). Karantina Australia pada tahun
2003 telah menganggarkan dana sebanyak 200 juta AUD untuk mengendalikan berbagai hama
dan gulma. Untuk C. odorata saja selama tujuh tahun sejak 1994 telah dihabiskan dana sebanyak
1,1 juta AUD.

Menurut FAO (2006) gulma ini tidak tahan naungan sehingga tidak ditemukan di hutan-hutan
yang tertutup, namun walaupun demikian di Indonesia dan di berbagai negara lain di Asia, Ki
rinyuh banyak ditemukan di perkebunan-perkebunan seperti karet, kelapa sawit, kelapa, jambu
mente dan sebagainya (Muniappan Dan Marutani, 1988).

Gulma Ki Rinyuh atau Semak Bunga Putih (Chromolaena odorata)


Ki rinyuh (Sunda) atau dalam bahasa Inggris disebut siam weed (Chromolaena odorata (L) R.M.
King and H. Robinson) merupakan salah satu gulma padang rumput yang penting di Indonesia, di
samping saliara (Lantana camara). Gulma ini diperkirakan sudah tersebar di Indonesia sejak
tahun 1910-an (Sipayung et al., 1991), namun keberadaannya kurang mendapat perhatian, kecuali
oleh kalangan perkebunan karet, karena selain merupakan gulma di padang rumput, Ki rinyuh
juga gulma yang sangat merugikan perkebunan karet (Sipayung et al., 1991).

Keberadaan tumbuh-tumbuhan lain selain dari pakan ternak di padang rumput, terutama di
padang rumput alam, adalah sesuatu yang wajar karena hal ini erat kaitannya dengan keadaan
lingkungan (ekologi) baik pada masa lalu maupun pada saat sekarang. Namun apabila
populasinya sudah sangat tinggi sehingga menekan pertumbuhan dan populasi rumput pakan
yang ada, maka tumbuhan tersebut sudah berubah menjadi gulma (Binggeli, 1997). Yang
termasuk gulma di padang rumput adalah semua jenis tumbuhan yang merugikan produktivitas
ternak di padang rumput, baik secara langsung maupun tidak langsung. Biasanya gulma padang
penggembalaan merupakan tumbuhan yang tidak palatabel, berkayu dan atau beracun. Ki rinyuh
tergolong ke dalam gulma yang beracun dan berkayu (Ginting et al., 1981) karena kandungan
nitratnya yang sangat tinggi sehingga dapat menyebabkan aborsi bahkan kematian ternak
(Department Of Natural Resources,Mines And Water, 2006).

Prawiradiputra (2008), tanaman ini dianggap suatu gulma yang sangat merugikan karena: (1)
dapat mengurangi kapasitas tampung padang penggembalaan, (2) dapat menyebabkan keracunan,
bahkan mungkin sekali kematian ternak, (3) menimbulkan persaingan dengan rumput pakan,
sehingga mengurangi produktivitas padang rumput, dan (4) dapat menimbulkan bahaya
kebakaran terutama pada musim kemarau.

Karakteristik Bunga Semak Putih Atau Ki Rinyuh

Ki rinyuh termasuk keluarga Asteraceae/Compositae. Daunnya berbentuk oval, bagian bawah


lebih lebar, makin ke ujung makin runcing. Panjang daun 6 – 10 cm dan lebarnya 3 – 6 cm. Tepi
daun bergerigi, menghadap ke pangkal. Letak daun juga berhadap-hadapan. Karangan bunga
terletak di ujung cabang (terminal). Setiap karangan terdiri atas 20 – 35 bunga. Warna bunga
selagi muda kebiru-biruan, semakin tua menjadi coklat (Gambar 1).
Gambar 1. Bentuk daun dan bunga Ki rinyuh

Ki rinyuh berbunga pada musim kemarau, perbungaannya serentak selama 3 – 4 minggu


(Prawiradiputra, 1985). Pada saat biji masak, tumbuhan mengering. Pada saat itu biji pecah dan
terbang terbawa angin. Kira-kira satu bulan setelah awal musim hujan, potongan batang, cabang
dan pangkal batang bertunas kembali. Biji-biji yang jatuh ke tanah juga mulai berkecambah
sehingga dalam waktu dua bulan berikutnya kecambah dan tunas-tunas telah terlihat
mendominasi area.

Pengamatan Yadav dan Tripathi (1981) menunjukkan bahwa pada komunitas yang rapat,
kepadatan tanaman bisa mencapai 36 tanaman dewasa per m2 ditambah dengan tidak kurang dari
1300 kecambah, padahal setiap tanaman dewasa masih berpotensi untuk menghasilkan tunas.
Tumbuhan ini sangat cepat tumbuh dan berkembang biak. Karena cepatnya perkembangbiakan
dan pertumbuhannya, gulma ini cepat juga membentuk komunitas yang rapat sehingga dapat
menghalangi tumbuhnya tumbuhan lain melalui persaingan (FAO, 2006). Selanjutnya dinyatakan
bahwa Ki rinyuh dapat tumbuh pada ketinggian 1000 – 2800 m dpl, tetapi di Indonesia banyak
ditemukan di dataran rendah (0 – 500 m dpl) seperti di perkebunan-perkebunan karet dan kelapa
serta di padang-padang penggembalaan (FAO, 2006). Tinggi tumbuhan dewasa bisa mencapai 5
m, bahkan lebih (Department of Natural Resources, Mines and Water, 2006). Batang muda
berwarna hijau dan agak lunak yang kelak akan berubah menjadi coklat dan keras (berkayu)
apabila sudah tua (Gambar 2).
Gambar 2. Ki rinyuh dewasa

Letak cabang biasanya berhadap-hadapan (oposit) dan jumlahnya sangat banyak.


Percabangannya yang rapat menyebabkan berkurangnya cahaya matahari ke bagian bawah,
sehingga menghambat pertumbuhan spesies lain, termasuk rumput yang tumbuh di bawahnya
(Gambar 3).
Gambar 3. Ki rinyuh dewasa membentuk semak

Dengan demikian gulma ini dapat tumbuh sangat cepat dan mampu mendominasi area dengan
cepat pula. Kemampuannya mendominasi area dengan cepat ini juga disebabkan oleh produksi
bijinya yang sangat banyak. Menurut Department of Natural Resources, Mines and Water (2006),
Setiap tumbuhan dewasa mampu memproduksi sekitar 80 ribu biji setiap musim. Sifat-sifat inilah
yang mungkin ditakuti peneliti padang rumput Australia sehingga berupaya untuk menangkalnya
dengan berbagai cara.

Potensi Pemanfaatan Chromolaena Odorata Sebagai Pakan Ternak

Chromolaena odorata mempunyai potensi sebagai pakan ternak (Marthen, 2007). Semak bunga
putih memiliki potensi dimana mengandung protein yang tinggi (21-36%) setara dengan turi,
lamtoro dan gamal; produksi protein kasar sebesar 15 ton/thn, memiliki keseimbangan asam
amino yang baik untuk ternak monogastrik, palatabilitas lebih baik dari gamal, suplementasi
sampai 30% dalam ransum meningkatkan konsumsi dan pertumbuhan ternak kambing dan
penelitian di Afrika dan Eropa menunjukkan adanya senyawa anti helmintik/obat anti cacing
(Marthen, 2007).

Penelitian di Pakistan oleh Bamikole dan Osemwenkhoe (2004) menunjukkan bahwa tepung
daun Chromolaena odorata dapat ditambahkan dalam pakan kelinci sampai level 30% dari berat
kering pakan. Pemberian pada level 30% tersebut menghasilkan pertumbuhan terutama
pertambahan bobot badan yang baik pada pakan sebagai konsentrat.

Hasil penelitian Sagala (2009) menyatakan bahwa, tepung daun semak bunga putih dapat
digunakan sebagai bahan pakan burung puyuh sampai pada level 10% dalam ransum. Dan dari
hasil penelitian Ginting (2009) menyatakan bahwa pengaruh semak bunga putih (chromolaena
odorata) dalam ransum ayam pedaging memberikan pengaruh tidak nyata terhadap konsumsi
ransum dan konversi ransum hingga level 10%.

Kandungan asam amino semak bunga putih yaitu alanine (4,03%), arginine (4,96%), glysine
(4,61%), lysine (2,01%), methionine (1,58%), cystine (1,30%), leucine (7,01%), valine (6,20),
dan asam glutamic (9,38%) (Marthen, 2007). Hasil analisa proksimat tepung semak bunga putih
menunjukkan bahwa protein kasar (25,51%), bahan kering (89,94%), lemak kasar (1,88%), serat
kasar (11,17%), dan abu (15,92%) (Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak USU, 2008),
sedangkan kandungan energinya sebesar 3.583,5 kkal/kg (Loka Penelitian Kambing Sei Putih),
Ca (0,14%), dan P (0,42%) ( Lab. Sentral FP USU).

Kirinyu (Chromolaena odorata) adalah salah satu tumbuhan yang dapat digunakan sebagai
larvasida alami. Tumbuhan ini mengandung senyawa fenol, alkaloid, triterpenoid, tanin,flavonoid
(eupatorin) dan limonen. Kandungan tanin yang terdapat dalam daun kirinyuh adalah 2,56%
(Romdonawati, 2009).

Menurut Ikhimioya (2003), Chromolaena odorata mengandung zat antinutrisi. Kandungan


antinutrisi Chromolaena odorata adalah sebagai berikut: Haemagglutinnin 9.72 mg/g, Oxalate
1.89 %, Phytic acid 1.34 % dan Saponin 0.50 %

PEMBAHASAN

Tanaman Ki rinyuh atau semak bunga putih (Chromolaena odorata) dewasa ini merupakan
tanaman yang sangat ditakuti diberbagai belahan dunia karena dianggap tanaman semak yang
dapat tumbuh sangat cepat dan mampu mendominasi area dengan cepat pula. Namun bila dikaji
lagi dibalik tantangan ini ada peluang pemanfaatannya di sub sektor peternakan karena dapat
dijadikan sebagai sumber bahan pakan pengganti hijauan makanan ternak yang ketersediaannya
cukup terbatas/berfluktuasi akibat iklim tropis (musim kemarau dan musim penghujan).

pemanfaatan Chromolaena odorata sebagai pakan ternak perlu diteliti lagi karena beberapa
penelitian yang pernah dilakukan, tanaman ini dapat dimanfaatkan namun dalam level yang
rendah. Hal ini mungkin disebabkan kandungan anti nutrisinya. Berdasarkan hasil penelitian
(Marthen, 2007), suplementasi Chromolaena odorata sampai 30% dalam ransum meningkatkan
konsumsi dan pertumbuhan ternak kambing dan penelitian menunjukkan adanya senyawa anti
helmintik/obat anti cacing. Sedangkan berdasarkan penelitian Sagala (2009) dan Ginting (2009),
Chromolaena odorata dapat dimanfaatkan sampai level 10 % pada ternak puyuh dan broiler.

Bila dilihat dari ketersediannya yang cukup berlimpah maka hal ini merupakan suatu peluang
bagi daerah yang banyak terdapat gulma ini. Namun perlu diteliti lebih lanjut sejauh mana gulma
Chromolaena odorata dapat dimanfaatkan sebagai hijauan makanan ternak, karena disamping
memiliki beberapa keunggulan (seperti mengandung protein yang tinggi (21-36%) setara dengan
turi, lamtoro dan gamal; memiliki asam amino seimbang dan palatabilitas lebih baik dari gamal,
gulma Chromolaena odorata juga memiliki beberapa kelemahan (mengandung zat antinutrisi
seperti haemagglutinnin, oxalate, phytic acid dan saponin). Dengan mengetahui zat anti nutrisi
yang dikandungnya maka akan dapat dilakukan penelitian tentang pengolahan yang tepat pada
gulma ini sehingga dapat dimanfaatkan sebagai hijauan makanan ternak dan memberi
produktifitas yang optimal.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Chromolaena odorata merupakan gulma yang sangat berpotensi sebagai hijauan makanan ternak
karena ketersediaannya berlimpah sepanjang tahun. Chromolaena odorata memiliki beberapa
keunggulan seperti kandungan protein tinggi, memiliki asam amino seimbang serta palatabilitas
lebih baik dari pada gamal. Namun memiliki beberapa kelemahan (mengandung zat antinutrisi
seperti haemagglutinnin, oxalate, phytic acid dan saponin).

Saran
Untuk meningkatkan pemanfaatan Chromolaena odorata sebagai hijauan makanan ternak maka
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut berkaitan dengan cara penggolahannya guna mengurangi
zat antinutrisi yang terdapat didalamnya sehingga dapat dimanfaatkan oleh ternak lebih optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Ikhimiyoya,2003. Acceptability of selected common shrubs/tree leaves in Nigeria by West


African Dwarf Goats. Departement of Animal Science, Faculty of Agriculture, Ambrose Alli
University, Ekpoma, Nigeria.

Binggeli, P. 1997. Chromolaena Odorata. Woody Plant Ecology.


http://members.lycos.co.uk/WoodyPlant Ecology/docs/web-sp4.htm. (13 Januari 2006).

De Chenon, R.D., A. Sipayung And P. Subharto. 2003. Impact of Cecidochares connexa on


Chromolaena odorata in different habitats in Indonesia. Proc. of the 5th International Workshop
on Biological Control and Management of Chromolaena odorata.

Department Of Natural Resources, Mines And Water, 2006. Siam Weed Declared no 1. Natural
Resources, Mines and Water, Pesr Series, Queensland, Australia.pp. 1 – 4.

FAO. 2006. Alien Invasive Species: Impacts on Forests and Forestry - A Review.
http://www.fao.org//docrep/008/ j6854e/j6854e00.htm. (25 Oktober 2007)

Ginting, J. 2009. Pengaruh Semak Bunga Putih (Chromolaena odorata) Dalam Ransum Terhadap
Performans Ayam Pedaging Umur DOC - 42 Hari. USU, Medan

Ginting, Ng., Yuningsih Dan Indraningsih. 1981. Tanamtanaman beracun di daerah Jawa Barat.
Bull. Lembaga Penelitian. Penyakit Hewan 21: 63 – 72.

Mcfadyen, R.C. 2004. Chromolaena in East Timor: History, extent and control. In: Chromolaena
odorata in the Asia Pacific Region. DAY, M.D. and R.E.MC FADYEN (Eds.) ACIAR Technical
Report 55: 8 – 10.

Murphy, S.T. 1997. Protecting Africa's trees. Paper submitted to the Eleventh World Forestry
Congress. 13 – 22 October 1997, Antalya, Turkey.

Oppong-Anane, K. and Francais. 2002. Ghana Country Pasture/Forage Resource Profiles.


Ministry of Food and Agriculture, Accra-North, Ghana.

Pheloung, P. 2003. Contingency planning for plant pest incursions in Australia. Proc. of a
workshop in Braunschweig, Germany 22 – 26 September 2003. Food and Agriculture
Organization of the United Nations. www.fao.org/doctep/008/y5968e/y5968e Ov.htm. (13
Januari 2006)

Prawiradiputra, B.R. 1985. Perubahan Komposisi Vegetasi Padang Rumput Alam akibat
Pengendalian Ki Rinyuh (Chromolaena odorata (L) R.M. King and H. Robinson) di Jonggol,
Jawa Barat. Thesis, Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 79 hlm.

Prawiradiputra, B.R. 2007. Ki Rinyuh (Chromolaena odorata (L) R.M. King dan H. Robinson):
Gulma Padang Rumput yang Merugikan. Buletin Ilmu Peternakan Indonesia ( WARTAZOA),
Volume 17 No. 1 (2007)

Sagala, N.S. 2009. Pemanfaatan Semak Bunga Putih (Chromolena odorata) Terhadap
Pertumbuhan Dan IOFC Dalam Ransum Burung Puyuh (Cortunix-cortunix japonica) Umur 1
Sampai 42 Hari. USU, Medan.

Sipayung, A., R.D. De Chenon And P.S. Sudharto. 1991. Observations on Chromolaena odorata
(L.) R.M. King and H. Robinson in Indonesia. Second International Workshop on the Biological
Control and Management of Chromolaena odorata. Biotrop, Bogor.
http://www.ehs.cdu.edu.au/chromolaena/2/ 2sipay. (13 Januari 2006)

Soerohaldoko, S. 1971. On the occurrence of Eupatorium odoratum at the game reserve


Pananjung, West Java. Weeds in Indonesia. 2(2): 1 – 9.

Vanderwoude, C.S., J.C. Davis and B. Funkhouser. 2005. Plan for National Delimiting Survey
for Siam weed. Natural Resources and Mines Land Protection Services: Queensland Government.

Wilson, C.G. and E.B.Widayanto. 2004. Establishment and spread of Cecidochares connexa in
Eastern Indonesia. In: Chromolaena in the Asia-Pacific Region. DAY, M.D. and R.E. MC
FADYEN (Eds.) ACIAR Technical Reports No. 55. pp. 39-44.

Yadav, A.S. and R.S. Tripathi. 1981. Population dynamic of the ruderal weed Eupatorium
odoratum and its natural regulation. Oikos No. 36. Copenhagen.

Anda mungkin juga menyukai