Pemeliharaan ternak ruminansia, skala kecil atau besar, selalu menuntut pasokan
hijauan pakan ternak yang cukup jumlah dan mutunya secara rutin setiap hari.
Untuk itu maka pemelihara ternak ruminansia harus mempunyai sumberdaya
pakan hijauan yang dapat menjamin kontinyuitas pasokan pakan untuk ruminansia
yang mereka pelihara. Hingga masa sekarang, pada semua benua masih didapatkan
pemanfaatan padang rumput sebagai sumberdaya pakan untuk produksi ternak
ruminansia dengan sistem penggembalaan. Namun, pola ini hanya dapat
berlangsung selama padang rumput tersedia secara ekstensif. Pada lokal-lokal
tertentu di dunia, padang rumput tidak lagi tersedia secara ekstensif sehingga
pemelihara ruminansia harus bergantung pada beragam sumberdaya hijauan pakan
selain padang rumput. Bagaimana beragam jenis sumberdaya hijauan yang ada
dimanfaatkan oleh penggunanya, aksesibilitas petani-ternak terhadap sumberdaya
yang tersedia serta implikasinya terhadap upaya perbaikan pasokan hijauan pakan
ternak merupakan suatu kompleksitas tersendiri. Untuk mengenal hal tersebut
maka diskripsi masing-masing cara pemberian pakan hijauan untuk ternak
ruminansia beserta sumberdaya yang digunakannya disajikan dalam uraian ini.
1.1. Penggembalaan.
Diskripsi
Penggembalaan, pada prinsipnya adalah cara pemberian pakan untuk ternak
ruminansia yang dilakukan dengan melepaskan ternak pada padang rumput alam
atau padang rumput buatan. Ternak bebas memilih sendiri atau melakukan seleksi
terhadap hijauan pakan yang tersedia di padang rumput untuk dikonsumsinya. Oleh
sebab itu, cara pemberian pakan secara digembalakan juga disebut dengan
pemberian pakan secara prasmanan (free choice).
1.1.3. Leader-follower groups. Pada pola rotation grazing, kelompok ternak dibagi
menjadi dua grup yaitu yang berproduksi tinggi (misalnya sapi perah yang sedang
laktasi atau sapi yang sedang digemukkan) dan yang berproduksi rendah (misalnya
sapi perah yang sedang kering atau sapi-sapi cadangan untuk mengganti sapi yang
berproduksi tinggi). Grup berproduksi tinggi dimasukkan terlebih dahulu
ke paddock ke satu agar dapat mengkonsumsi bagian tanaman yang baru tumbuh
dan bermutu tinggi. Mereka dibiarkan merumput di paddock ke satu hingga sekitar
setengah bagian hijauan yang tersedia habis dikonsumsi. Kemudian mereka
dipindahkan ke paddock ke dua. Pada saat itu, grup ternak yang berproduksi
rendah dimasukkan ke paddock ke satu untuk mengkonsumsi sisa tanaman pakan
yang ada. Pola ini memungkinkan ternak-ternak ruminansia dengan produksi tinggi
untuk mengkonsumsi bagian hijauan bermutu tinggi yang tersedia di pastura.
Gambar 4. Sapi bali di Sulawesi Tenggara (1) dan domba Texel di Wonosobo Jawa
Tengah (2) yang sedang merumput pada lahan pertanian yang bera.
1.2. Tebas-angkut
Diskripsi
Pemberian pakan ternak secara tebas-angkut (zero grazing atau cut and carry)
dilakukan oleh petani-ternak pada kawasan yang tidak mempunyai area cukup luas
untuk memelihara ruminansia dengan cara digembalakan. Lahan yang tersedia di
kawasan ini telah digunakan secara intensif untuk budidaya tanaman pangan
dan/atau tanaman perkebunan. Pada kawasan semacam ini, ternak ruminansia
relatif terus-menerus ditempatkan dalam kandang disekitar rumah sedangkan
hijauan pakannya dicarikan oleh pemeliharanya setiap hari. Cara pemberian pakan
secara tebas-angkut seperti itu adalah ciri umum pola pemberian pakan ternak
ruminansia di Asia. Khususnya di Indonesia, tebas-angkut itu dioperasikan oleh
hampir semua petani-ternak di pulau Jawa, Madura dan Bali serta sebagian petani-
ternak di pulau-pulau lainnya.
Pada awal perkembangan pertanian lahan kering di dataran tinggi di Jawa, aktivitas
pertanian dilakukan secara berpindah-pindah (shifting cultivation). Cara bertani
ekstensif ini dimungkinkan karena lahan masih tersedia luas. Masyarakat yang
berpindah dari dataran rendah ke dataran tinggi untuk bertani juga membawa
ternak ruminansia yang mereka miliki. Ternak tersebut dilepas merumput pada
lahan-lahan pangonan yang tersedia luas. Namun dengan semakin banyak
penduduk yang berpindah dari dataran rendah ke dataran tinggi untuk bertani maka
tekanan demografi di dataran tinggi meningkat hingga mencapai taraf tidak
dimungkinkannya lagi dilakukan pertanian secara berpindah-pindah. Sehingga
secara gradual terjadilah perubahan cara bertani dari berpindah-pindah menjadi
menetap pada suatu area tertentu. Pada pola pertanian menetap ini maka lahan
tertentu digunakan secara terus menerus untuk bercocok tanam sehingga kesuburan
lahannya menurun karena unsur hara tanah terus menerus dipanen. Untuk
mencegah terjadinya penurunan kesuburan lahan secara berkelanjutan maka lahan
harus dipupuk. Alternatif jenis pupuk yang tersedia adalah kotoran ternak. Cara
paling mudah untuk mengumpulkan kotoran adalah dengan mengandangkan
ruminansia. Kotoran ternak yang dikumpulkan dengan cara ini dikenal dengan
sebutan pupuk kandang. Selain mudah untuk mendapatkan pupuk kandang, dengan
mengandangkan ruminansia maka kemungkinan ternak lepas mengkonsumi
tanaman yang ada di lahan pertanian dapat dicegah. Oleh sebab itu ruminansia
yang semula bebas merumput kemudian dikandangkan. Ternak yang terus menerus
berada di kandang diberi pakan hijauan yang dicarikan oleh petani pemeliharanya
dari beragam sumber seperti pinggir jalan, pinggir hutan, pinggir sungai atau
lahan-lahan marjinal lainnya. Terjadilah perubahan pola pemberian pakan dari
penggembalaan pada ladang pangonan menjadi tebas angkut berbasis lahan lahan
marjinal.
3.1. Penggembalaan
Beberapa karakteristik teknis penting dari pola pemberian pakan secara
penggembalaan yang terkait dengan tatalaksana produksi ternak ruminansia adalah
sebagai berikut:
Karena digembalakan, ternak mempunyai kebebasan memilih (melakukan
seleksi) terhadap jenis-jenis hijauan yang akan dikonsumsi sesuai kebutuhannya.
Pengamatan pada domba yang digembalakan di padang rumput alam didapatkan
bahwa ternak itu memilih hijauan atau bagian hijauan yang memiliki kandungan
protein tinggi untuk dikonsumsi terlebih dahulu. Terdokumentasi pula bahwa
jika kandungan protein hijauan di padang rumput berada dibawah tujuh persen
maka konsumsi terhadap hijauan itu akan menurun secara nyata. Hal itu
dikarenakan protein yang dikonsumsi ternak tidak optimal menyediakan nitrogen
yang dibutuhkan mikroba dalam rumen (perut depan ternak ruminansia) untuk
beraktifitas dan berkembangbiak. Akibatnya, karbohidrat struktural dari hijauan
yang dikonsumsi oleh ternak kurang dapat dicerna sehingga menghambat
pelepasan digesta (isi rumen) ke saluran pencernaan setelah rumen. Karena itu,
kecepatan pengosongan rumen juga menurun sehingga ternak terangsang untuk
menurunkan tingkat konsumsi pakannya.
Disamping memilih jenis dan/atau bagian hijauan dengan kandungan protein
tinggi, didapatkan bahwa domba serta sapi yang digembalakan memilih dan
mengkonsumsi jenis atau bagian hijauan yang kandungan natrium serta
phospornya tinggi. Memperhatikan hal tersebut maka konsentrasi protein,
natrium dan phospor pada hijauan dapat digunakan sebagai kriteria memilih jenis
hijauan yang akan dibudidayakan sebagai pakan ruminansia.
Kebebasan yang diberikan kepada ternak untuk melakukan seleksi dan
konsumsi terhadap hijauan seperti dimaksud diatas juga mempunyai sisi negatif.
Salah satu diantaranya berangkat dari kenyataan bahwa berbagai jenis hijauan
unggul, pada umur tertentu, mengandung substansi bersifat racun yang dapat
mengganggu stabilitas fisiologi ternak yang mengkonsumsinya. Sebagai misal,
seleksi dan konsumsi yang dilakukan ternak terhadap leguminosa berprotein
tinggi seperti white clover atau Leucaena sp. dapat menimbulkan kembung
(bloat) atau keracunan mimosin pada ternak. Demikian pula halnya dengan
konsumsi rumput unggul Paspalum dilatatum yang berlebihan dilaporkan dapat
menimbulkan paspalum staggers. Terkait dengan hal ini maka tatalaksana
pemanfaatan pastura menuntut kecermatan pengelolanya dalam hal memilih
jenis-jenis hijauan yang akan dibudidayakan serta umur dan komposisi botani
pastura saat akan digunakan untuk menggembalakan ternak.
Konsumsi pakan ternak yang digembalakan dapat beragam antar waktu
sebagai akibat dari perubahan tingkat ketersediaan hijauan pada padang
penggembalaan karena pengaruh musim misalnya tinggi pada musim hujan dan
rendah pada musim kemarau. Konsentrasi zat makanan hijauan pada padang
rumput, khususnya karbohidrat terlarut, dapat berubah-ubah akibat perubahan
cuaca harian. Apabila kondisi gizi padang penggembalaan buruk maka
kebebasan ternak melakukan seleksi dan konsumsi sesuai dengan kebutuhannya
menjadi terbatas. Keragaman-keragaman ini membutuhkan perhatian dari
pengelola padang rumput untuk dapat memperoleh produksi ternak yang optimal.
Terdapat kemungkinan bahwa konsentrasi zat makanan dan energi yang
dikonsumsi ternak adalah kurang sehingga harus dikoreksi dengan memberikan
pakan suplemen atau konsentrat. Tindakan koreksi terhadap kekurangan nutrisi
dan energi ini relatif lebih sulit dilakukan pada pola penggembalaan
dibandingkan pada pola tebas-angkut dikarenakan ternak yang digembalakan
mempunyai kebebasan bergerak (mobile). Konsentrat harus diletakkan pada
tempat tertentu yang strategis, misalnya dekat lokasi air minum agar ternak dapat
mengenalinya. Jika ternak telah mengenali lokasi itu maka mereka akan
mendatangi tempat itu untuk minum dan juga mengkonsumsi konsentrat. Tetapi,
ada persoalan lain yang dapat timbul yaitu persaingan antar ternak dalam hal
mengkonsumsi konsentrat. Kemungkinan sebagian ternak mengkonsumsi
konsentrat dalam jumlah berlebih dan sebagian lainnya hanya mengkonsumsi
sedikit karena adanya persaingan antar individu ternak. Persaingan seperti itu
akan semakin besar jika umur dan/atau berat badan ternak yang digembalakan
beragam. Untuk mengatasi hal ini kiranya perlu disediakan beberapa tempat
konsentrat agar persaingan antar ternak dapat dikurangi atau dihindari.
Faktor lain yang mempengaruhi seleksi dan konsumsi ternak di padang
penggembalaan adalah jumlah ternak per luas lahan yang secara teknis disebut
tekanan penggembalaan (stocking rate). Semakin banyak ternak pada area
penggembalaan maka kompetisi antar ternak untuk melakukan seleksi dan
mengkonsumsi hijauan dari padang penggembalaan menjadi semakin besar.
Keadaan itu, secara teknis disebut penggembalaan berlebihan (over-stocking)
yang dapat berakibat pada menurunnya tingkat konsumsi hijauan dan produksi
per individu ternak. Sebaliknya, dapat terjadi keadaan dimana jumlah ternak
pada padang penggembalaan terlalu sedikit yang secara teknis disebut
penggembalaan kurang (under-stocking). Pada situasi ini, pemanfaatan padang
rumput menjadi tidak efisien walaupun produksi per individu ternak adalah
tinggi karena masing-masing mempunyai kebebasan melakukan seleksi dan
mengkonsumsi hijauan secara berlebihan. Kedua situasi itu, over-
stocking dan under-stocking tidak dikehendaki karena mengakibatkan
pemanfaatan pastura menjadi tidak efisien. Agar efisien, jumlah ternak yang
dipelihara seharusnya seimbang dengan kemampuan padang rumput
menyediakan hijauan pakan ternak. Untuk itu maka pengelola padang rumput
dituntut mampu menentukan tekanan penggembalaan yang optimal untuk
dioperasikannya. Namun perlu dicatat bahwa kebanyakan peternak ruminansia di
Australia lebih memilih untuk beroperasi pada tingkat tekanan penggembalaan
sub-optimal dengan tujuan mengurangi resiko akibat menurunnya produksi
hijauan karena kekeringan yang sewaktu-waktu dapat terjadi.
Terutama di kawasan tropika basah, kontrol terhadap endoparasit ataupun
ektoparasit pada ternak yang digembalakan membutuhkan perhatian intensif.
Larva endoparasit yang dikeluarkan bersama dengan feces, pada kondisi lembab,
mendapatkan lingkungan yang ideal untuk berkembang dan menginfeksi ternak.
Terkait hal ini maka dibutuhkan kontrol intensif terhadap infestasi endo- dan
ekto-parasit pada pastura.
Pemeliharaan ternak dengan penggembalaan tidak membutuhkan tenaga
kerja yang banyak karena ternak dapat mencari sendiri pakan yang
dibutuhkannya. Rendahnya kebutuhan tenaga kerja ini menjadikan sistem
penggembalaan mempunyai nilai kompetitif yang tinggi.
3.2. Tebas-angkut
Beberapa karakteristik teknis penting dari pola pemberian pakan secara tebas-
angkut yang terkait dengan tatalaksana produksi ternak ruminansia adalah sebagai
berikut:
Kata akses berasal dari bahasa Inggris access yang artinya adalah hak untuk
menggunakan (right to use) atau hak untuk masuk (right of entry) dalam rangka
memanfaatkan suatu sarana atau fasilitas. Mengacu pada definisi itu maka akses
pada sumberdaya pakan hijauan dapat diartikan sebagai hak untuk menggunakan
sumberdaya itu. Pada cara pemberian pakan secara penggembalaan maupun tebas-
angkut, pemelihara ruminansia harus mempunyai hak yang terjamin untuk
menggunakan sumberdaya hijauan. Tanpa hak itu maka pengadaan hijauan untuk
menunjang sistem produksi ruminansia menjadi tidak terjamin. Penggembalaan di
Eropa, Amerika dan Australia, misalnya, yang dilakukan pada ranch sebagai
usahatani padang rumput maka pastura dikelola dengan batas-batas penguasaan
yang jelas. Pemilikan pastura per unit ranch bersifat individual dan statusnya
dijamin secara hukum sebagai hak milik atau sewa. Luas area pastura per unit
ranch adalah tertentu sesuai dengan kemampuan kapital pengelola untuk membeli
dan/atau menyewa pastura itu. Melalui kepemilikan yang jelas itu maka peternak
pengelola pastura dapat berupaya maksimal untuk mengadakan hijauan pakan
sesuai kebutuhan ternak yang dipeliharanya.
Pengadaan pakan hijauan melalui pembelian juga dijumpai pada sistem peternakan
rakyat non-sapi-perah di kawasan pertanian lahan kering. Pembelian hijauan itu
dilakukan terutama pada periode mendekati akhir musim kemarau saat
produktivitas hijauan pada lahan-lahan marjinal sangat menurun. Jenis hijauan
yang dibeli umumnya adalah jerami padi . Survei pada musim kemarau di kawasan
pertanian lahan kering di dataran tinggi Malang Selatan di Kabupaten Malang
mendapatkan bahwa kelompok-kelompok petani-ternak pemelihara sapi menyewa
truk untuk membeli jerami padi dari kawasan pertanian lahan basah di dataran
rendah (Ifar, 1996). Keseluruhan biaya ditanggung oleh setiap anggota kelompok.
Cukup menarik diperhatikan bahwa petani-ternak yang dapat dikategorikan
sebagai kelompok marjinal itu bersedia dan dapat mengalokasikan dana untuk
membeli jerami padi sebagai pakan ternak. Pengamatan lebih lanjut menunjukkan
bahwa para petani-ternak dimaksud memperoleh dana melalui penjualan sapi yang
mereka pelihara kepada kelompok elit yang ada di desa. Dana yang diperoleh
sebagian digunakan untuk membeli pakan berupa jerami padi dan sebagian
digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan . Sapi yang dijual tidak keluar dari
unit usahatani petani-ternak penjual tetapi statusnya berubah dari yang semula
adalah hak milik menjadi gaduhan. Melalui mekanisme itu maka keluarga petani-
ternak marjinal dapat mengamankan kebutuhan pangan, menyediakan pakan ternak
dan mengamankan aset berupa sapi secara simultan. Mekanisme tersebut juga
berperan menstabilkan populasi sapi pada tingkat desa karena penjualan sapi tidak
diikuti dengan keluarnya sapi dari desa (Ifar, Solichin, Udo dan Zemmelink; 1996).
Uraian diatas menunjukkan bahwa adanya keterkaitan antara lahan basah yang
berada di dataran rendah (lowland) untuk mendukung kebutuhan pakan hijauan
yang dibutuhkan oleh peternakan rakyat yang berada pada daerah pertanian lahan
kering (upland). Dengan demikian terdapat pertukaran (trade-off) sumberdaya
pakan hijauan antar wilayah. Keadaan itu menunjukkan bahwa sistem pengadaaan
pakan hijauan bersifat terbuka dan akses petani-ternak tidak terikat oleh suatu batas
administrasif atau agroekologi tertentu. Hal itu tentunya difasilitasi oleh
mekanisme pasar dan pemasaran yang berkembang setempat. Sebagai misal,
kawasan peternakan rakyat sapi perah di Kecamatan Pujon Kabupaten Malang di
Jawa Timur secara rutin bergantung pada pasokan hijauan dari berbagai kecamatan
di Kabupaten Kediri bahkan Pasuruan. Keadaan itu memberikan indikasi bahwa
daya dukung kawasan peternakan sapi perah untuk memasok pakan hijauan adalah
rendah atau sudah tepakai secara berlebihan. Namun terdapat sisi positif yang perlu
dicatat bahwa berkembangnya peternakan sapi perah pada suatu kawasan dapat
medorong berkembangnya usahatani hijauan pakan ternak pada kawasan lain. Hal
ini menunjukkan adanya efek-efek ganda (multiplier effects) yang diperoleh dari
upaya pengembangan suatu kawasan untuk usaha peternakan sapi perah. Meskipun
kawasan ini tidak mempunyai daya dukung yang memadai namun kawasan lain
dapat mendukungnya dengan mengembangkan kegiatan ekonomi yang relevan
seperti memproduksi hijauan.
Pada berbagai kawasan, terutama kawasan peternakan rakyat sapi perah, perhutani
mengalokasikan lahan hutan yang baru dibuka untuk ditanami rumput gajah oleh
petani-ternak setempat. Area ini disebut dengan area tumpangsari. Petani-ternak
anggota program tumpangsari diperbolehkan membudidayakan rumput namun juga
diberi kewajiban memelihara tanaman pohon yang ditanam oleh pihak perhutani.
Adanya area tumpangsari ini sangat membantu meningkatkan akses petani-ternak
anggota tumpangsari pada hijauan pakan ternak. Rumput yang dibudidayakan itu
menjadi hak milik penanam yaitu petani-ternak anggota program tumpangsari.
Adapun konsekuensi dari program tumpangsari diatas adalah bahwa akses petani-
ternak yang bukan anggota program tumpangsari terhadap hijauan pakan ternak
dikawasan hutan menjadi terbatas.
- Faktor teknis
Perbaikan sumberdaya pakan hijauan dapat dilakukan melalui beragam cara seperti
mengganti jenis-jenis vegetasi yang tumbuh pada padang rumput alam dengan
jenis-jenis tanaman hijauan pakan hasil seleksi yang bermutu tinggi, menyediakan
sarana irigasi agar pada musim kemarau hijauan dapat memperoleh cukup air
sehingga dapat tetap berproduksi dengan baik, melakukan pemupukan untuk
menjaga stabilitas kesuburan lahan sehingga pasokan unsur hara yang dibutuhkan
tanaman untuk berproduksi dapat terjamin secara berkelanjutan,
mengintroduksikan leguminosa pada area pastura yang sudah ada serta
menentukan jumlah ternak yang sesuai dengan kemampuan sumberdaya hijauan
menyediakan hijauan pakan. Masing-masing upaya perbaikan sumberdaya pakan
hijauan itu dapat dipilih dengan memperhatikan kondisi sumberdaya yang ada
(existing condition), tujuan perbaikannya, biaya yang tersedia, kemampuan tenaga
pelaksananya serta ketersediaan sarana penunjang. Ladang penggembalaan yang
masih bersifat alamiah dapat diperbaiki melalui beragam program seperti
pengurangan dan kontrol tanaman semak, memilih dan menerapkan pola
penggembalaan yang paling sesuai dengan tujuan dan sarana tersedia atau
melakukan penanaman jenis-jenis hijauan pakan yang diingini dengan penebaran
benih atau biji (oversowing).
Untuk melakukan oversowing maka biji yang akan disebar harus dipersiapkan
terlebih dahulu melalui pembelian atau produksi sendiri. Diharapkan benih atau
biji tanaman tersebut mempunyai kualitas baik dengan tingkat perkecambahan
yang tinggi. Pada negara-negara dimana budidaya padang rumput merupakan hal
yang dipentingkan untuk menunjang sistem produksi peternakan ruminansia maka
pemerintah, dibawah departemen atau kementerian pertaniannya, mempunyai
sistem produksi biji tanaman hijauan pakan untuk didistribusikan kepada peternak
atau para ranchers yang membutuhkan. Melalui pola ini, peternak mengetahui
dengan pasti kemana harus mencari benih yang terjamin mutunya serta dapat
berkonsultasi tentang jenis tanaman yang sebaiknya digunakan untuk memperbaiki
tampilan pastura mereka.
Untuk memperbaiki pastura maka species atau kultivar tanaman pakan ternak yang
akan digunakan harus ditentukan dulu sebelum membeli atau mengadakan benih
atau bijinya. Terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk memilih
jenis rumput atau leguminosa baru yang akan digunakan untuk mengganti jenis
yang sudah yaitu [1] kemungkinan adaptasinya pada lingkungan setempat [2]
tujuan penggunaannya seperti apakah akan digunakan untuk penggembalaan secara
continuous atau rotation, untuk tebas-angkut, dibuat hayatau silase [3] karakterstik
species tanaman yang meliputi kemudahan penanamannya, palatabilitas, periode
vegetatifnya, responnya terhadap pemupukan, persistensi, ketahanan terhadap
tekanan penggembalaan dan/atau pemotongan serta potensi produksi biji atau
bibitnya [4] ketersediaan biji atau material untuk ditanam [5] nilai dari lahan yang
mungkin meningkat melalui perbaikan vegetasi penutup lahan [6] jenis dan
kualitas ternak yang akan digembalakan atau diberi pakan serta [7] kemampuan
menejerial pengelola padang rumput untuk melakukan perbaikan dan menjaga
stabilitas produksi selanjutnya.
Cukup banyak kiranya hal teknis yang harus dipertimbangkan untuk memperbaiki
padang rumput. Pada akhirnya semua berpulang pada ketersediaan modal serta
kemampuan pengelola dalam hal manajemen pengelolaan sumberdaya hijauan
pakan ternak. Kemampuan pengelola itu kiranya membutuhkan penguasaan teori
maupun praktek tentang prinsip-prinsip produksi hijauan pakan ternak yang dapat
diperoleh melalui pengalaman, informasi di pustaka atau melalui pelatihan serta
pendidikan formal.
- Faktor non-teknis
Terdapat satu faktor penting bersifat non-teknis yang menentukan keberhasilan
upaya perbaikan sumberdaya hijauan pakan ternak. Faktor itu ialah penguasaan
atas lahan sumberdaya hijauan yang menjadi target perbaikan. Telah disampaikan
pada uraian-uraian terdahulu bahwa di berbagai belahan dunia terdapat pola
usahatani padang rumput disebut ranch yang mengelola pastura dengan batas-batas
penguasaan yang jelas. Pemilikan pastura per unit ranch bersifat individual dan
statusnya dijamin secara hukum sebagai hak milik atau sewa. Aksesibilitas yang
pasti seperti itu memungkinkan para pengelola ranch untuk sepenuhnya melakukan
kontrol terhadap jenis dan mutu hijauan yang akan dibudidayakan serta
produktivitas pastura yang dikelolanya. Apabila pengelola ranch ingin mengganti
rumput alam pada pastura yang dimilikinya dengan rumput dan/atau leguminosa
hasil seleksi maka keputusan untuk melakukan hal itu dapat dibuat dengan relatif
mudah. Operasionalisasi keputusan itu hanya dibatasi oleh faktor modal yang
dimilikinya, ketersediaan bibit dan ketersediaan sarana pengolahan lahan dan
semua faktor itu sepenuhnya berada dibawah kontrol pengelola ranch. Penerapan
tatalaksana pengelolaan pastura seperti pemupukan, pengairan dan pemotongan
juga dapat ditentukan oleh pengelola dengan bebas. Produktivitas hijauan pastura
yang dikelola dapat dimonitor dan diperkirakan dengan baik. Pengetahuan ini
digabungkan dengan penerapan tatalakasana yang baik memungkinkan pengelola
untuk menentukan jumlah ternak yang akan dipelihara dan target produksi ternak
yang ingin dicapainya.
Telah disampaikan diatas bahwa pekerja tetap untuk panen mempunyai prioritas
akses pada limbah pertanian. Mereka umumnya adalah petani-ternak yang
memelihara ternak milik operator lahan pertanian secara gaduhan. Adanya status
ternak yang dipelihara sebagai gaduhan ini kiranya juga dapat menjadi salah satu
kendala untuk perbaikan sumberdaya hijauan maupun introduksi teknologi bidang
pakan ternak lainnya seperti amoniasi jerami padi atau penggunaan konsentrat.
Problematiknya juga cukup klasik yaitu siapa yang akan membiayai aplikasi
teknologi ; apakah penggaduh dan pemilik. Penggaduh yang status ekonominya
relatif rendah enggan melakukan investasi untuk teknologi atau perbaikan
sumberdaya hijauan pakan karena mereka harus mencurahkan waktu, bahkan
mungkin dana, untuk mengoperasikan teknologi namun sebagian hasilnya akan
dinikmati oleh pemilik ternak. Sebaliknya, pemilik ternak juga dapat enggan
melakukan investasi untuk teknologi dengan pemikiran bahwa sebagian hasilnya
akan dinikmati oleh pengaduh. Seandainya jalan keluarnya adalah bahwa pemilik
dan penggaduh harus berbagi membiayai teknologi maka berapa proporsi biaya
yang harus ditanggung masing-masing menjadi isu lain yang membutuhkan
penyelesaian. Opsi ini kiranya dapat menjadi tidak operasional jika penggaduh
yang status ekonominya relatif rendah harus menanggung beban yang sama dengan
beban yang ditanggung pemilik ternak.
Daftar Pustaka.
Subagiyo, I., Wibowo, S.H., Wardoyo. 1984. Pemilikan Ternak dan Lahan Dalam
Kaitannya Dengan Suplai Hijauan Pakan Ternak Pada Daerah Usaha Peternakan
Sapi Perah di Kecamatan Nongkojajar. Nuffic-Unibraw. Miscellaneous Paper No.
26.
Ifar, A.W. Solichin, H.M.J. Udo, G. Zemmelink. 1996. Subsitence Farmers's Acces
to Cattle Via Sharing in Upland Farming Systems in East Java, Indonesia. Asian-
Australasian Journal of Animal Sciences (AJAS) Volume 9 No. 2.
Raffles, T.S. 1817. The History of Java. Cox and Baylis. London.
Diposkan oleh Crop Livestock Systems di 20.22 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke
FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Lecture-2
Rabu, 23 Maret 2011
PADANG RUMPUT DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK
Sejak ribuan tahun yang silam telah terdapat interaksi kuat antara budaya umat
manusia, ruminansia, rumput serta padang rumput. Pada masa sekarang, ilmu
pengetahuan mengidentikasi adanya berbagai jenis padang rumput dan jenis-jenis
rumput yang baik untuk produksi ternak ruminansia. Perkembangan itu didukung
oleh adanya nilai ekonomi dari padang rumput, aktivitas-aktivitas penelitian yang
sistematis dan adanya organisasi-organisasi yang secara konsisten memperhatikan
keberadaan padang rumput sebagai aset produksi peternakan ruminansia. Hal-hal
tersebut merupakan bagian dari uraian ini dengan tidak mengesampingkan bahwa
hijauan juga berperan dalam perkembangan budaya maupun pemeliharaan
lingkungan hidup yang menjamin stabilitas kesejahteraan manusia. Diskripsi
tentang jenis-jenis hijauan pakan ternak yaitu rumput, leguminosa dan limbah
pertanian juga disajikan secara cukup ekstensif.
1. Sebelum masehi
Istilah padang rumput kiranya bukanlah hal yang asing untuk masyarakat.
Mendengar istilah itu kiranya akan timbul imajinasi tentang suatu area luas dan
datar yang ditumbuhi rumput-rumputan serta, mungkin, dilengkapi segerombolan
sapi yang sedang merumput. Dokumentasi sejarah memang menyebutkan bahwa
hewan ruminansia, sebelum dijinakkan dan diternakkan oleh manusia untuk
diambil hasil-hasilnya adalah hidup dengan bebas merumput di padang rumput.
Gambar 2.1. Peta daerah bentangan stepa Eroasia dari Hongaria disebelah Barat
hingga Manchuria disebelah Timur serta suasana stepa tersebut yang berupa
bentangan padang rumput luas
2. Padang rumput
Kenyataan menunjukkan bahwa rerumputan adalah komponen vegetasi yang
menutupi lebih dari setengah permukaan lahan didaerah tropis dan sub-tropis.
Adapun padang rumput (dalam bahasa Inggris disebut grassland) adalah tipikal
dataran terbuka atau lahan yang ditumbuhi rumput-rumputan tinggi atau rendah
disertai tanaman-tanaman semak dengan tidak ada atau ada sedikit tanaman perdu
serta pohon-pohonan. Biasanya, perdu dan/atau pohon-pohonan itu berada
disepanjang daerah aliran air hujan atau tempat penampungan air hujan. Apabila
jenis rumput yang tumbuh pada padang rumput bersifat endemik atau asli setempat
maka rumput itu disebut dengan rumput alam. Jenis padang rumput alam ini masih
dapat dijumpai di semua benua: Afrika, Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa,
Asia dan Australia. Disamping itu, terdapat pula padang rumput buatan yang
sengaja dibuat dengan menanam jenis-jenis hijauan pakan ternak hasil seleksi atau
pemuliaan tanaman yang bermutu.
2.1. Terminologi
Pada tahun 1966, Pratt, Greenway dan Gwynne mengusulkan penggunaan luas
kanopi (canopy cover) dari pohon-pohonan dan tanaman semak serta perdu sebagai
kriteria padang rumput. Usulan itu mendefinisikan padang rumput sebagai area
yang didominasi rumput-rumputan namun terdapat pula pohon-pohonan, tanaman
perdu serta semak secara menyebar atau mengelompok dengan luas kanopi tidak
lebih dari dua persen dari total area. Apabila kanopi dimaksud luasnya berada
diantara dua sampai dua puluh persen maka area tersebut didefinisikan sebagai
padang rumput bertanaman kayu-kayuan dan semak (bushed and wooded
grasslands). Definisi ini dapat diterima oleh kalangan ahli padang rumput seperti
disampaikan dalam pustaka bidang hijauan pakan ternak yang disusun oleh
misalnya Mannetje (1978) serta Crowder dan Chheda (1982). Namun, antar lokasi
atau ekologi dijumpai hamparan padang rumput dengan komposisi antara rumput,
semak dan pepohonan yang beragam hingga memerlukan terminologi tertentu
untuk menyebutnya seperti dibawah ini.
- Sabana. Kawasan yang disebut sabana adalah kawasan dengan vegetasi rumput-
rumputan serta tanaman berkayu. Dikenal pula sebagai ekosistem tanam-tanaman
berkayu. Ruang antar pohon cukup luas karena kanopi antar pohon tidak saling
menutup. Ruang antar kanopi yang terbuka itu memungkinkan sinar matahari
mencapai permukaan lahan untuk menunjang kehidupan rerumputan. Seringkali
sabana dijumpai sebagai bentuk transisi antara ekosistem hutan dan padang pasir.
Istilah sabana (dalam bahasa Inggris disebut savana) pertama kali digunakan pada
tahun 1535 oleh Oviedo dengan mengacu pada suatu kata dari bahasa Spanyol
zavana yang dipakai untuk menggambarkan area terbuka dengan lembah-lembah
yang ditumbuhi rerumputan sperti llanos yang ada di kawasan Venezuela (Crowder
dan Chheda, 1982).
- Stepa. Pada awalnya, istilah stepa (dalam bahasa Inggris disebut steppe)
digunakan untuk menyebut kawasan di Rusia dan Asia yang ditumbuhi vegetasi
yang tidak membutuhkan banyak air untuk hidupnya. Stepa secara fisik
mempunyai persamaan dengan Prairie dibenua Amerika. Perbedaanya adalah
bahwa prairie didominasi oleh jenis-jenis rumput yang tumbuh tinggi sedangkan
rumput pada kawasan stepa adalah jenis-jenis yang tumbuh pendek.
Memperhatikan jenis-jenis vegetasi pada dua jenis padang rumput diatas, Keay
(1959) membuat diskripsi bahwa sabana adalah area yang ditumbuhi rumput-
rumputan mesophytic (membutuhkan pasokan air medium), bersifat perennial dan
tingginya minimum 80 cm. Sedangkan stepa adalah area yang ditumbuhi rumput-
rumputan xerophytic (membutuhkan pasokan air rendah), bersifat perennial dan
tingginya kurang dari 80 cm. Kedua definisi itu sekaligus menunjukkan bahwa
sabana berada pada kawasan yang relatif lebih basah (semi-arid) dibandingkan
kawasan stepa yang relatif lebih kering (arid). Namun kemudian, Pratt dkk (1966)
menyatakan bahwa definisi dari Keay diatas tidak sesuai untuk kondisi Afrika
Timur karena berbagai padang rumput yang ada disana dapat digolongkan sebagai
stepa maupun sabana. Namun karena istilah sabana dan stepa sudah lama
digunakan dengan maksud untuk membedakan dua ekosistem padang rumput maka
kedua terminologi yang mempunyai nilai sejarah itu tidak mungkin dihilangkan
dari sistem padang rumput secara global. Berakar pada persoalan ini maka Pratt
dkk (1966) mendefinisikan padang rumput secara lebih universal seperti telah
disampaikan pada alinea pertama uraian ini.
Selain definisi padang rumput seperti yang disampaikan oleh Pratt dkk (1966)
diatas, terdapat definisi lain yang disampaikan oleh Mannetje (1978). Penulis yang
disebutkan terakhir itu mendefinisikan padang rumput sebagai suatu ekosistem
sumber pakan hijauan untuk ternak ruminansia. Kata ekosistem dalam pengertian
ini mengandung arti bahwa manusia berkepentingan dengan seluruh komponen-
komponen sistem padang rumput seperti tanah, tanaman, faktor-faktor iklim
pendukungnya serta ruminansia yang pakannya bergantung pada padang rumput
itu secara langsung atau tidak langsung. Ketergantungan ruminansia terhadap
padang rumput terjadi secara langsung pada sistem ekstensip dimana ternak
merumput (grazing) pada padang rumput. Sedangkan pada sistem intensif dimana
pemberian pakan dilakukan secara cut and carry maka ternak tidak berinteraksi
langsung dengan padang rumputnya.
Pada tahun 1920, para ilmuwan yang bekerja di negara-negara Eropa Utara dan
Eropa Tengah mendorong berdirinya International Grassland Congress.
Organisasi ini secara berkesinambungan berupaya mendorong interaksi antara
ilmuwan dan teknisi untuk perbaikan tatalaksana pemanfaatan dan peningkatan
produksi padang rumput. Hingga saat ini organisasi ini selalu aktif melakukan
pertemuan-pertemuan international. Jiwa untuk mengembangkan padang rumput
demi kepentingan umat manusia diungkapkan dalam website milik The
International Grassland Congress (2006) sebagai berikut “to promotes
interchange of information on all aspects of natural and cultivated grasslands and
forage crops for the benefit of mankind, including sustained development, food
production and the maintenance of biodiversity”. Selain organisasi yang
berkembang di Eropa seperti disampaikan diatas, di benua Amerika berkembang
The American Forage and Grassland Council. Organisasi berperan
mempromosikan riset dan pendidikan dalam bidang hijauan pakan ternak dan
efisiensi pemanfaatan padang rumput. Ada pula organisasi yang didirikan sekitar
tahun 1970-an dengan nama International Rangeland Congress yang berupaya
untuk meningkatkan pengetahuan dan apresiasi pemanfaatan ekosistem padang
rumput alam (rangeland) untuk kepentingan masyarakat luas. Adapun di Amerika
selatan berkembang lembaga riset dengan nama Centro Internacional de
Agriculture Tropical (CIAT). Lembaga ini, bekerjasama dengan Food and
Agriculture Organization (FAO) menyajikan website berisi profile dari lebih 600
species hijauan pakan ternak jenis rumput maupun leguminosa. Melalui website ini
(http://www.fao.org/ag/agp/agpc/doc/gbase/default.htm) dapat diketahui diskripsi
tiap jenis hijauan pakan ternak disertai dengan foto.
Kecuali website yang memuat diskripsi berbagai jenis hijauan pakan ternak
tersebut diatas, pada saat ini upaya pengembangan dan peningkatan hijauan pakan
ternak serta pastura tropika juga difasilitasi oleh hadirnya website bernamaTropical
Forages (http://www.tropicalforages.info). Website ini adalah hasil kerjasama
berbagai lembaga yang berkecimpung dalam promosi serta riset hijauan pakan
ternak dan/atau pertanian padang rumput serta lembaga donor yang menaruh
perhatian dalam bidang itu yaitu FAO, CIAT, CSIRO, ILRI (International
Livestock Research Institute) dan DFID (Department for International
Development). Australian Centre for International Agricultural
Research serta Department of Primary Industires and Fisheries of the Queensland
Government.
Situasi diatas menunjukkan bahwa hijauan pakan ternak pada kawasan pertanian
campuran lebih beragam daripada di kawasan pastura. Beragam jenis hijauan itu,
oleh masyarakat petani-ternak di pedesaan di Jawa disebut dengan satu kata yaitu
rumput. Penyebutan beragam jenis vegetasi dengan istilah rumput juga dilakukan
ditingkat akademisi dan peternak negara-negara maju. Sebagai contoh, istilah
padang rumput yang dalam bahasa inggris disebut grassland sebenarnya tidak
menunjukkan suatu area yang hanya ditumbuhi rumput-rumputan saja. Kenyataan
menunjukkan bahwa padang rumput juga ditumbuhi beragam jenis vegetasi
termasuk rumput, leguminosa, tanaman semak maupun pohon-pohonan. Untuk
tidak terjebak dengan persoalan semantik, jenis-jenis hijauan yang dimanfaatkan
sebagai pakan ternak ruminansia atau hijauan pakan ternak pada kawasan yang
berbasis pada pastura, padang rumput atau pada kawasan dengan pemberian pakan
secara zero grazing dapat dikelompokkan atas rumput, leguminosa, daun-daunan
dan limbah pertanian.
3.1. Rumput
Rumput tergolong dalam Famili Gramineae yaitu tanaman monokotiledon (bijinya
terdiri atas satu kotiledon atau disebut juga berkeping satu). Struktur rumput relatif
sederhana, terdiri dari akar yang bagian atasnya silindris dan langsung
berhubungan dengan batang. Batangnya berbuku, helai daunnya keluar dari
pelepah daun (sheath) pada buku batang. Malai rumput terdiri atas beberapa bunga
yang nantinya menghasilkan biji. Hampir semua rumput adalah tanaman herba
(tidak berkayu) sedangkan ukuran, bentuk dan pola tumbuhnya sangat beragam.
Asal usul rumput sebagai suatu jenis tanaman spesifik belum diketahui dengan
pasti. Sejarah mencatat bahwa rumput sudah menjadi vegetasi di dunia sejak 20
juta tahun yang lampau. Penyebaran rumput pada seluruh benua mengalami
akselerasi pada jaman es Pleistocene sekitar satu juta tahun yang lalu.
Penyebarannya pada beragam lingkungan serta persilangan-persilangan yang
terjadi secara alamiah menyebabkan rumput-rumputan semakin beragam. Melalui
sistem klasifikasi tanaman yang dimiliki para ilmuwan bidang sistimatika
tumbuhan dapat diidentifikasi bahwa pola distribusi rumput-rumputan mempunyai
hubungan dengan distribusi iklim dunia. Pengelompokan genus dan species secara
regional dapat dilakukan. Kehadiran suatu jenis rumput pada kawasan tertentu
dianggap sebagai jenis asli kawasan itu. Hingga saat ini dikenal tiga kawasan
sebagai asal dari jenis-jenis rumput budidaya yaitu kawasan Ero-Asia, Afrika
Timur dan Amerika Selatan. Kawasan Ero-Asia tengah dan Mediteran dikenal
sebagai asal-usul berbagai species rumput temperate (empat musim). Sedangkan
rumput-rumput tropika yang dikenal berasal dari Afrika meliputi species-species
Adropogon, Brachiaria, Cenchrus, Chloris, Cynodon, Dichantium, Digitaria,
Eragrostis, Hyparrhenia, Melinis, Panicum, Pennisetum, Setaria, Sorghum dan
Urochloa. Sedangkan species-species yang dikenal berasal dari Amerika Selatan
adalah Axonopus, Paspalum, Tripsacum dan Zea.
Terdapat lebih dari 600 genus dan lebih dari 10.000 species rumput didunia ini
namun hanya sekitar puluhan sampai ratusan species yang dibudidayakan manusia.
Diantara berbagai species itu, yang paling populer di Indonesia adalah rumput
gajah (Pennisetum purpureum). Rumput ini memang paling menonjol
dipromosikan untuk dibudidayakan di kawasan pertanian campuran dimana lahan
yang dapat dialokasikan untuk menanam rumput relatif sempit. Pada satu unit
lahan maka rumput gajah memberikan biomasa yang besar dibandingkan jenis
rumput lain. Hal itu dikarenakan rumput itu tumbuh tegak dan tinggi, mencapai 1,5
meter, sehingga jumlah biomasa per unit tanamannya lebih tinggi daripada jenis-
jenis rumput yang tumbuh pendek. Pada Gambar 2.2. dapat dilihat bahwa rumput
gajah dapat melebihi tinggi manusia jika dibiarkan lama tidak dipotong atau
dipanen.
Gambar 2.2. Tanaman rumput gajah (Pennisetum purpureum) yang populer
dibudidayakan sebagai pakan hijauan untuk ruminansia di ndonesia
Setelah melewati masa pola kehidupan mengumpulkan dan berburu (hunting and
gathering) untuk menjamin keamanan pangan kemudian pada periode antara
11.000 sampai 10.000 tahun yang lalu, pola hidup manusia yang nomadik mulai
berubah menjadi semi-menetap (Reed, 1969; Flannery, 1969). Pola hidup semi-
menetap atau menetap itu menuntut penangkaran dan budidaya tanaman pangan.
Hewan herbivora yang mulanya merumput bebas pada padang rumput alam yang
terbentuk akibat perladangan berpindah juga harus ditangkar agar dapat dipelihara
ditempat tertentu sehingga tidak mengganggu/ memakan tanaman pangan yang
sedang tumbuh pada lahan pertanian sampai bijinya dapat dipanen. Dengan
demikian, proses penangkaran hewan diperkirakan juga berlangsung pada kurun
waktu dimana orang mulai melakukan budidaya tanaman pangan secara semi-
menetap atau menetap. Selama proses penangkaran, hewan herbivora dipelihara
dengan diberi pakan rumput-rumputan, daun-daunan tanaman semak atau pohon-
pohonan serta daun dan batang limbah tanaman pertanian. Bahan-bahan dengan
ligno-selulosa tinggi ini tidak bersaing dengan kebutuhan konsumsi manusia dan
justru ternak herbivora dapat mengubahnya menjadi bahan-bahan yang dibutuhkan
manusia seperti susu, daging, kulit dan wool.
Untuk setiap kawasan selalu dijumpai jenis-jenis rumput yang dapat beradaptasi
dengan kondisi setempat. Beberapa jenis rumput budidaya yang sesuai untuk
kawasan dengan iklim tropika basah adalah Brachiaria mutica, Cynodon dactylon,
Digitaria decumbens, Melinis minutiflora, Pennistem clandestinum, Pennisetum
purpureum, Paspalum dilatatum, Paspalum plicatulum dan Setaria anceps.
Adapun untuk kawasan tropika kering maka terdapat jenis-jenis rumput budidaya
seperti Cenchrus ciliaris, Chloris gayana, Panicum coloratum, Panicum maximum,
Panicum antidotale.
3.2. Leguminosa
Leguminosa adalah tanaman dikotilledon (bijinya terdiri dari dua kotiledon atau
disebut juga berkeping dua). Famili tanaman leguminosa terbagi atas tiga sub-
famili yaitu Mimosaceae, Caesalpinaceae dan Papilionaceae. Mimosaceae adalah
tanaman perdu berkayu dengan bunga biasa sedangkan Caesalpinaceae mempunyai
bunga irregular. Adapun Papilionaceae adalah tanaman semak berkayu dengan
bunga papilionate atau berbentuk seperti kupu. Antar jenis leguminosa terdapat
perbedaan morfologi. Umumnya, sistem perakaran leguminosa terdiri atas akar
primer yang aktif dan mempunyai cabang-cabang sebagai akar sekunder. Akar
primer (tap root) tumbuh jauh kedalam tanah. Sistem perakaran itu umumnya
terinfeksi oleh bakteri dari species Rhizobium sehingga terbentuk bintil-bintil atu
nodul-nodul akar. Antara bakteri dan tanaman leguminosa terjadi simbiose
mutualistik. Untuk pertumbuhannya, bakteri menggunakan Nitrogen yang diserap
dari udara dan kemudian populasi bakteri yang mati menjadi sumber Nitrogen
untuk pertumbuhan tanaman leguminosa.
Sama seperti rumput, asal-usul leguminisa tidak diketahui dengan pasti. Fosil
tertua menunjukkan bahwa leguminosa, bersama rumput, hadir didunia sejak lebih
dari seratus tiga puluh juta tahun yang lalu, pada era mesozoic periode cretaceous
pada jaman neocomian. Bentuk dasar leguminosa yang ada saat itu seperti pohon-
pohon tropika. Kemudian, interaksinya dengan dengan mamalia primitif pada era
itu (seperti Dinosaurus) yang bersifat browser (meramban daun pepohonan) serta
injakan mamalia besar itu membuat pohon leguminosa mengalami penurunan
populasi dan evolusi. Struktur tanaman ini mengalami modifikasi menjadi tanaman
semak, tanaman pemanjat berkayu, tanaman musiman dan akhirnya menjadi
tanaman tahunan (Semple, 1970). Tanaman leguminosa ini tersebar diseluruh
benua namun tidak pernah menjadi tanaman yang dominan pada suatu kawasan
seperti layaknya rumput. Apabila rumput secara alamiah dapat menjadi tanaman
dominan pada suatu kawasan sehingga membentuk padang rumput (grassland)
tetapi, tidak ada suatu kawasan didunia yang dapat disebut sebagai padang
leguminosa (legumelands). Mungkin karena ada tenggang waktu yang lama
(sekitar 110 juta tahun) sejak hadirnya rumput di dunia (yaitu sekitar 130 juta yang
silam) dan baru digunakan oleh ruminansia pada jaman Miocene, sekitar 20 juta
tahun yang lalu (Stewart, 1956). Tenggang waktu itu memungkinkan rumput
tumbuh baik dan menyebar disemua bagian dunia. Sabana di Afrika saat ini,
misalnya, ditumbuhi rumput secara lebih merata walaupun pada sabana itu terdapat
juga pohon dan semak leguminosa. Umumnya jumlah leguminosa di padang
rumput tidak lebih dari 10 persen dari jenis-jenis tanaman di padang itu.
Seperti halnya rumput, melalui proses seleksi yang dilakukan manusia terhadap
biji-bijian sejak budaya hidup masih secara nomadik hingga menetap maka
sebagian jenis-jenis leguminosa berkembang menjadi bahan pangan. Jenis-jenis
leguminosa pangan yang kita kenal saat ini adalah seperti Glycine max, Arachis
hypogea, Vigna sinensis.
Peran penting dari leguminosa tropika sebagai hijauan pakan untuk pastura
maupun pakan ternak ruminansia baru mendapatkan perhatian sejak tiga dekade
yang lalu. Sebelum kurun waktu itu, ilmuwan lebih memperhatikan jenis-jenis
leguminosa temperate seperti species-species dari genus Medicago, Trifolium,
Vicia dan Melilotus. Melalui riset maka dari benua Afrika mulai dikenal manfaat
jenis-jenis leguminosa tropika seperti dari genus Glycine, Vigna, Indigofera,
Dolichos dan Alysicarpus. Sedangkan dari kawasan Amerika tropis dikenal jenis-
jenis leguminosa pakan ternak seperti dari genus Calopogonium, Centrosema,
Desmodium, Leucaena, Phaseolus, Stylosanthes dan Teramnus.
Pada masa silam, sejak jaman kekaisaran romawi, tanaman pohon atau perdu telah
dimanfaatkan manusia sebagai pakan ternak dengan cara dipotong dan daunnya
diberikan kepada ternak atau ternak dibiarkan meramban. Namun, manfaat penting
tanaman berkayu itu sebagai pakan ternak hanya diketahui kemudian (Baumer,
1992). Sebagai misal, perdu leguminosa Gliricidia maculatadan Gliricidia
sepium telah di-introduksi ke Afrika pada akhir abad kedelapan belas sebagai
tanaman naungan untuk perkebunan tanaman teh, kopi dan cokelat. Namun
manfaat penting kedua jenis leguminosa itu sebagai pakan hanya dikenal sejak
beberapa dekade yang lalu setelah diketahui bahwa daunnya mengandung 20-30%
protein kasar, 14% serat kasar dengan kecernaan antara 50 sampai 70%.
3.3. Daun-daunan
Adapun yang dimaksud dengan daun-daunan dalam sub-bab ini adalah daun-
daunan dari tanaman yang tidak tergolong sebagai jenis tanaman yang secara
konvensional dikenal sebagai hijauan pakan ternak seperti rumput-rumputan
ataupun leguminosa. Mereka dapat tergolong sebagai tanaman buah-buahan
ataupun tanam pohon dikawasan hutan. Penggunaan daun-daunan ini umumnya
dapat diamati dikawasan pertanian intensif dinegara-negara tropis, khususnya pada
musim kemarau yang merupakan periode dimana jenis-jenis hijauan pakan ternak
konvensional sulit didapatkan. Adapun beberapa jenis daun-daunan yang dimaksud
misalnya berasal dari tanaman alpukat (Persea sp), nangka (Artocarpus sp) serta
pisang (Musa sp). Jenis-jenis pohon yang daunnya dilaporkan digunakan sebagai
pakan ruminansia di kawasan asia meliputi Erythrina variegata, Ficus (F.
exasperata, F. bengalnensis, F. religiosa), Albizia lebbeck, Tamarindus indica,
Cajanus cajan (Devendra, 1990).
Khususnya untuk jenis tanaman jagung, pada kawasan tropika, menghasilkan tebon
jagung setelah buah jagungnya dipanen untuk konsumsi manusia. Oleh petani-
ternak, tebon jagung dapat langsung diberikan kepada ternak dalam keadaan segar
atau terlebih dahulu dikeringkan matahari menjadi hoi (hay) kemudian disimpan
dan diberikan kepada ternak pada saat musim paceklik pakan (umumnya terjadi
pada musim kemarau). Pada berbagai negara dikawasan empat musim, tanaman ini
justru dibudidayakan sebagai hijauan pakan ternak. Tanaman jagung dipanen
sekaligus bersama buahnya untuk diberikan kepada ternak ruminansia sebagai
sumber zat makanan dan energi. Jenis tanaman ini juga dibudidayakan untuk
diawetkan dalam bentuk segar yang disebut silase untuk digunakan sebagai pakan
pada musim dingin (winter). Saat itu ternak tidak dapat merumput di padang
rumput yang bersalju dan harus dikandangkan dan diberi pakan silase jagung.
Masyarakat konsumen modern mengenal daging dan susu serta segala bentuk
olahannya sebagai produk dari ternak ruminansia. Namun, kelompok masyarakat
ini umumnya tidak mengenal peran vital rumput untuk keberlanjutan sistem
produksi ternak ruminansia. Apresiasi pada rumput dan jenis hijauan pakan ternak
lainnya kiranya hanya dijumpai di pedesaan dimana masyarakat petani-ternak
terkonsterasi. Apabila populasi masyarakat ini semakin menurun seperti yang
terjadi di Amerika atau Belanda (dimana masyarakat petaninya hanya sekitar dua
persen) maka proses bagaimana produk-produk peternakan dihasilkan tidak lagi
dikenal oleh masyarakat konsumennya. Rumput untuk masyarakat konsumen
modern lebih dipersepsi sebagai asesoris keindahan lingkungan dalam bentuk
taman dan tempat rekreasi atau justru vital sebagai komponen sarana olahraga
seperti golf dan sepak bola. Keberadaan rumput seperti itu memang secara nyata
dihadapi dan dinikmati sehari-hari oleh masyarakat konsumen modern.
Peran vital jenis-jenis hijauan pakan ternak terhadap lingkungan sebenarnya tidak
hanya terbatas pada keindahan lingkungan sebagaimana dipersepsi oleh
masyarakat konsumen modern. Pendekatan akademik menunjukkan bahwa
komunitas jenis-jenis hijauan pakan ternak, dalam proses respirasinya,
menghasilkan oksigen yang menjamin kontinyuitas pasokan udara segar didunia.
Disamping itu, komunitas hijauan pakan ternak juga berkemampuan melindungi
lahan dari proses erosi akibat siraman air atau hembusan angin. Jenis-jenis
leguminosa pakan perdu seperti Gliricidia sp atau Leucaena sp, berpotensi
dimanfaatkan sebagai penahan angin (wind breaker) atau naungan yang
memberikan kenyamanan tempat tinggal. Secara umum dapat disimpulkan bahwa
rumput dan leguminosa bukan saja potensial sebagai pakan ruminansia namun juga
berperan, atau dapat diperankan, untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dan
kesejahteraan manusia.
Tidak mudah mengukur nilai ekonomi dari jenis-jenis hijauan yang tumbuh secara
alamiah dan yang sengaja dibudidayakan pada sebagian besar permukaan lahan di
Indonesia. Jika kontribusi sektor peternakan pada tahun 2002 bernilai sekitar 8,3
triliun rupiah maka sebagian tentunya dihasilkan dari sistem produksi ternak
ruminansia yang sampai saat ini masih belum optimal dalam hal pemanfaatan
sumberdaya pakan hijauan yang tersedia. Pada tahun yang sama, sekitar 60%
ruminansia di Indonesia berada di pulau Jawa yang luasnya hanya sekitar 7% dari
luas wilayah. Padahal, data statistik tahun 1999 menunjukkan bahwa luas area
padang rumput yang potensial digunakan sebagai basis produksi ternak ruminansia
di Kawasan Indonesia Timur diperkirakan tiga kali lipat dari yang tersedia di pulau
Jawa (Ifar dan Bambang, 2002). Jika sumberdaya ini dimanfaatkan secara optimal,
tentunya nilai ekonomis lahan rumput yang kosong dan idle itu akan meningkat.
Lebih lanjut, jika total produksi ternak ruminansia yang hidup dari padang rumput
alam atau buatan, termasuk tenaga kerja dan pupuk yang dihasilkannya dihitung
maka boleh diyakini bahwa padang rumput yang saat ini kosong dan idle itu adalah
sumberdaya bernilai tinggi dan sekaligus merupakan potensi ekonomi untuk masa
depan. Sejarah perkembangan produksi ternak ruminansia di Eropa, Amerika dan
Australia menunjukkan bahwa lahan berupa padang rumput alam yang dianggap
tidak produktif untuk pertanian tanaman ternyata adalah aset bernilai ekonomi
tinggi untuk produksi ternak ruminansia.
Daftar Pustaka
Crowder, L.V. and Chheda, H.R. 1982. Tropical Grassland Husbandry. Longman
Inc. New York.
Flannery, K.V. 1969. Origin and Ecological Effects of Early Domestication in Iran
and The Near East. In P.J. Ucko and G.W. Dimbleby (eds). The Domestication and
Exploitation of Plants and Animals. Gerald Duckworth. London, pp 12-100.
Ifar,S dan Bambang, A.N. 2002. Potensi dan Prospek Usaha Peternakan Sapi
Potong di Kawasan Timur Indonesia (KTI) Dalam Kerangka Pengembangan
Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET). Semiloka Strategi Pengembangan KAPET
di Kawasan Timur Indonesia dalam Menghadapi Era Global, 5-6 Juli, Universitas
Brawijaya.
Keay, R.W.J. 1959. Vegetation Map of Africa South of The Tropic of Cancer.
Oxford Univ. Press. London.
Mannetje, L.’t. 1978. The Role of Improved Pastures for Beef Production in The
Tropics. Trop. Grassland 12, 1-9
Pratt, D.J., Greenway, P.J. and Gwynne, M.D, 1966. A Classification of East
African Rangeland, With An Appendix on Terminology. J. Appl. Ecol. 3, 369-382
Rifkin, J. 1993. Beyond Beef. The Rise and Fall of The Cattle Culture. Penguin
Books USA Inc. New York.
Reed, C.A. 1969. The Pattern of Animal Domestication in the Prehistoric Near
East. In P.J. Ucko and G.W. Dimbleby (eds). The Domestication and Exploitation
of Plants and Animals. Gerald Duckworth: London, pp: 261-380
Stewart, O.C. 1956. Fire as The First Great Force Employed by Man. In H.L.
Thomas (ed). Man’s Role in Changing the Face of the Earth. Univ. Chicago Press.
Pp: 115 -133.
Diposkan oleh Crop Livestock Systems di 03.00 1 komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke
FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Lecture-1
Posting LamaBeranda
Langganan: Entri (Atom)
Arsip Blog
▼ 2011 (3)
o ▼ Maret (3)
TENTANG BLOG INI
PADANG RUMPUT DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK
PEMANFAATAN SUMBERDAYA HIJAUAN
Agribisnis Peternakan
Saya :
Crop Livestock Systems
Malang, Jawa Timur, Indonesia
Lihat profil lengkapku
Pengikut
Template Watermark. Diberdayakan oleh Blogger.