Anda di halaman 1dari 49

Crop Livestock Systems Indonesia

Kamis, 31 Maret 2011


PEMANFAATAN SUMBERDAYA HIJAUAN

Pemeliharaan ternak ruminansia, skala kecil atau besar, selalu menuntut pasokan
hijauan pakan ternak yang cukup jumlah dan mutunya secara rutin setiap hari.
Untuk itu maka pemelihara ternak ruminansia harus mempunyai sumberdaya
pakan hijauan yang dapat menjamin kontinyuitas pasokan pakan untuk ruminansia
yang mereka pelihara. Hingga masa sekarang, pada semua benua masih didapatkan
pemanfaatan padang rumput sebagai sumberdaya pakan untuk produksi ternak
ruminansia dengan sistem penggembalaan. Namun, pola ini hanya dapat
berlangsung selama padang rumput tersedia secara ekstensif. Pada lokal-lokal
tertentu di dunia, padang rumput tidak lagi tersedia secara ekstensif sehingga
pemelihara ruminansia harus bergantung pada beragam sumberdaya hijauan pakan
selain padang rumput. Bagaimana beragam jenis sumberdaya hijauan yang ada
dimanfaatkan oleh penggunanya, aksesibilitas petani-ternak terhadap sumberdaya
yang tersedia serta implikasinya terhadap upaya perbaikan pasokan hijauan pakan
ternak merupakan suatu kompleksitas tersendiri. Untuk mengenal hal tersebut
maka diskripsi masing-masing cara pemberian pakan hijauan untuk ternak
ruminansia beserta sumberdaya yang digunakannya disajikan dalam uraian ini.

1. Pola pemberian pakan hijauan dan sumberdayanya


Secara umum, pola pemberian pakan hijauan untuk ternak ruminansia dibedakan
menjadi dua yaitu penggembalaan (grazing) dan tebas angkut (zero grazing atau
cut and carry). Diantara kedua cara pemberian pakan itu juga dijumpai cara
pemberian pakan kombinasi antara grazing dan tebas angkut yang dipraktekkan
oleh petani-ternak pada lokasi-lokasi tertentu. Masing-masing pola pemberian
pakan tersebut mempunyai hubungan dengan jenis-jenis sumberdaya yang tersedia
untuk dimanfaatkan seperti disajikan dibawah ini.

1.1. Penggembalaan.
Diskripsi
Penggembalaan, pada prinsipnya adalah cara pemberian pakan untuk ternak
ruminansia yang dilakukan dengan melepaskan ternak pada padang rumput alam
atau padang rumput buatan. Ternak bebas memilih sendiri atau melakukan seleksi
terhadap hijauan pakan yang tersedia di padang rumput untuk dikonsumsinya. Oleh
sebab itu, cara pemberian pakan secara digembalakan juga disebut dengan
pemberian pakan secara prasmanan (free choice).

Pemberian pakan ruminansia secara digembalakan merupakan ciri utama sistem


pemeliharaan ruminansia yang dilakukan oleh peternak di Australia, Amerika
ataupun di Eropa. Pastura yang digunakan dapat didominasi oleh jenis-jenis
rumput alam atau rumput introduksi. Cara penggembalaan yang dilakukan
beragam antar ranch atau antar wilayah sehingga dikenal beberapa cara
penggembalaan sebagai berikut:

1.1.1. Continuous grazing. Penggembalaan ini merupakan suatu sistim yang


ekstensif dimana kelompok ternak ruminansia berada di padang rumput atau
pastura dalam periode yang lama. Pola ini paling umum dijumpai di kawasan tropis
ataupun sub-tropis. Besarnya kelompok ternak relatif konstan dan jumlah anggota
kelompok biasanya disesuaikan dengan produksi hijauan maksimum pada musim
hujan. Pada musim kemarau, saat produksi hijauan menurun, maka jumlah
kebutuhan hijauan pakan ternak yang merumput dapat melebihi jumlah hijauan
yang tersedia di pastura. Kondisi ini dinamakan over-grazing(penggembalaan
berlebih) yang akibatnya ternak mengalami kekurangan pakan sehingga
produktivitasnya menurun. Berlawanan dengan over-grazing, pastura dapat
mengalami under-grazing (penggembalaan kurang) yaitu jika kebutuhan pakan
dari kelompok ternak yang digembalakan lebih rendah dari kemampuan pastura
menyediakan hijauan. Pada kondisi ini maka pertumbuhan hijauan pada pastura
menjadi tidak seragam karena ruminansia cenderung melakukan spot grazing yaitu
merumput pada area tertentu dari pastura. Hijauan pada bagian pastura yang biasa
dirumput akan mengalami pertumbuhan kembali (regrowth) sehingga mutunya
lebih tinggi (karena umurnya yang relatif muda) dibandingkan rumput di area yang
tidak dirumput. Jika tidak dirumput maka hijauan menjadi tua dan mutunya
menurun. Secara total maka terdapat bagian padang rumput yang hijauannya muda
dan bergizi tinggi dan bagian lain yang hijauannya sudah tua dan bergizi rendah.
Kondisi semacam itulah yang disebut dengan keadaan pastura yang tidak seragam.
Perlu dicatat juga bahwa continuous grazing pada kawasan lembab atau basah
(humid) dapat meningkatkan akumulasi parasit eksternal dan internal serta infestasi
cacing nematoda yang merugikan kesehatan ternak. Jika ternak muda merumput
bersama ternak dewasa pada pastura yang sama maka ternak yang muda dapat
mengalami infestasi parasit berat sehingga pertumbuhannya terhambat (retarded
growth).

1.1.2. Rotation grazing. Penggembalaan ini adalah cara penggunaan padang


rumput secara intensif dengan tujuan untuk memanfaatkan pastura secara lebih
optimal dibandingkan continuous grazing. Spot grazing seperti yang terjadi
padacontinuous grazing diupayakan untuk dikurangi dengan memaksa ternak
mengkonsumi semua hijauan yang tersedia pada pastura. Pada pola ini, pastura
dibagi menjadi unit-unit dan masing-masing unit disebut paddock. Antar unit itu
dipisahkan dengan pagar. Ternak dibiarkan merumput pada unit pertama secara
merata pada semua bagian paddock hingga tanaman hijauan yang tersisa
mempunyai ketinggian relatif homogen. Kemudian ternak dipindahkan ke unit
(paddock) yang kedua; demikian seterusnya. Pada saat ternak kembali lagi ke unit
pertama maka hijauan pada unit ini telah tumbuh dengan seragam sehingga
mutunya relatif homogen. Lama waktu ternak berada pada suatu paddock tidak ada
ketentuan yang standar. Waktu tersebut dapat beragam tergantung species hijauan,
kontinyuitas ketersediaan air untuk pertumbuhan tanaman, kesuburan lahan serta
pemupukan. Penerapan pola penggembalaan ini harus mempertimbangkan karakter
phenologis dan morphologis tanaman, tekanan penggembalaan serta potensi
tanaman untuk tumbuh kembali setelah dirumput (regrowth potential).
Pelaksanaan rotation grazing membutuhkan fleksibilitas yang mengatur periode
pastura untuk dirumput dan istirahat (tidak dirumput) sehingga pertumbuhan
kembali tanaman hijauan terjamin dengan baik. Pada periode istirahat, kegiatan-
kegiatan manajemen produksi hijauan pakan yang diperlukan seperti pemupukan,
peremajaan atau pemupukan dapat dikerjakan.

1.1.3. Leader-follower groups. Pada pola rotation grazing, kelompok ternak dibagi
menjadi dua grup yaitu yang berproduksi tinggi (misalnya sapi perah yang sedang
laktasi atau sapi yang sedang digemukkan) dan yang berproduksi rendah (misalnya
sapi perah yang sedang kering atau sapi-sapi cadangan untuk mengganti sapi yang
berproduksi tinggi). Grup berproduksi tinggi dimasukkan terlebih dahulu
ke paddock ke satu agar dapat mengkonsumsi bagian tanaman yang baru tumbuh
dan bermutu tinggi. Mereka dibiarkan merumput di paddock ke satu hingga sekitar
setengah bagian hijauan yang tersedia habis dikonsumsi. Kemudian mereka
dipindahkan ke paddock ke dua. Pada saat itu, grup ternak yang berproduksi
rendah dimasukkan ke paddock ke satu untuk mengkonsumsi sisa tanaman pakan
yang ada. Pola ini memungkinkan ternak-ternak ruminansia dengan produksi tinggi
untuk mengkonsumsi bagian hijauan bermutu tinggi yang tersedia di pastura.

Gambar 1. Pagar listrik di pastura


1.1.4. Strip grazing atau ration grazing. Pola ini adalah bentuk rotation
grazing yang paling ekstrim. Kelompok ternak dibiarkan merumput pada suatu unit
kecil pastura yang dibatasi dengan pagar listrik (electric fence) seperti disajikan
pada Gambar 1. Ternak diijinkan merumput hijauan yang tersedia hingga sisa
tanaman mencapai ketinggian tertentu. Kemudian pagar dipindahkan untuk
membentuk unit baru untuk dirumput; demikian seterusnya. Umumnya, unit baru
atau pemindahan pagar dilakukan setiap hari. Pada berbagai lokasi, seperti di
kawasan lembah Meksiko strip-grazing tidak menggunakan pagar listrik tetapi
ternak digembalakan oleh penggembala yang secara aktif terus memindahkan
ternak ke unit-unit pastura baru untuk merumput. Pola ini memungkinkan
pemanfaatan hijauan yang tersedia mendekati maksimum dan menghasilkan
pertumbuhan hijauan tanaman yang seragam.

1.1.5. Deferred grazing. Pada pola ini sebagian area pastura


atau paddockdialokasikan untuk mengakumulasi standing-hay yaitu tegakan
tanaman yang dibiarkan mengering di lahan. Cadangan hay ini disiapkan untuk
dirumput ternak jika diperlukan. Sebenarnya mutu standing-hay ini rendah karena
tanaman sudah tua. Praktek pola penggembalaan semacam ini lebih ditujukan
untuk memperbaiki padang rumput alam karena tanaman yang semakin tua
(sebagaistanding hay) mempunyai perakaran yang semakin kuat sehingga setelah
tanaman dirumput oleh ternak masih berpotensi tumbuh kembali (regrowth)
dengan baik.

Pola-pola penggembalaan seperti diatas, kecuali continuous grazing, hampir tidak


dijumpai di Indonesia. Hal ini mungkin dikarenakan belum adanya industri
produksi ternak ruminansia berbasis penggembalaan secara intensif. Walaupun
demikian, penggembalaan dalam arti melepas ruminansia untuk mencari sendiri
pakannya dipraktekkan juga oleh petani-ternak di berbagai kawasan Indonesia
seperti misalnya di Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara Timur dan
Papua. Pada kawasan-kawasan itu ruminansia dilepas pada padang rumput alam
dan/atau kawasan hutan serta kawasan lahan pertanian yang bera. Adapun yang
dimaksud dengan lahan pertanian bera adalah lahan pertanian tanaman pangan,
terutama di kawasan pertanian lahan kering, yang setelah panen kemudian
diistirahatkan sampai musim tanam yang akan datang. Selama periode istirahat itu
maka lahan pertanian bera secara alamiah ditumbuhi beragam jenis rerumputan.

Pengamatan diberbagai wilayah menunjukkan adanya dua pola penggembalaan


yang dilakukan petani-ternak yaitu melepas ternak tanpa pengawasan dan melepas
ternak dibawah pengawasan satu atau beberapa orang penggembala. Apabila
penggembalaan dilakukan dengan pengawasan maka hal itu dimaksudkan untuk
menentukan lokasi padang rumput dimana kawanan ternak akan dibiarkan
merumput serta menjaga agar tidak terjadi benturan antar kelompok ternak yang
digembalakan. Harapannya agar ternak dapat memperoleh pakan hijauan dengan
cukup pada lokasi penggembalaan yang dipilih.

Gambar 2. Penggembalaan terpancang pada lahan sempit


Pada kawasan-kawasan lahan sempit di Jawa terdapat cara penggembalaan
terpancang yang dilakukan oleh petani-ternak (lihat Gambar 2.). Pada berbagai
lokasi di luar Jawa, dimana area penggembalaan terbatas maka pola semacam ini
juga dapat dijumpai. Ternak ruminansia diikat dengan tali dilehernya atau keluh
dan ujung tali yang lain diikatkan pada patok (pancang) yang ditancapkan pada
area lahan marjinal relatif sempit yang ditumbuhi rumput. Penggembalaan
terpancang memungkinkan ternak ruminansia merumput pada area berupa
lingkaran dengan jari-jari sepanjang tali antara leher ternak dan pancangnya.
Ternak digembalakan secara terpancang mulai pagi hingga siang atau sore hari dan
setelah itu dikembalikan ke kandang. Selain penggembalaan terpancang, di
Indonesia maupun di negara-negara lain di Asia sering dijumpai adanya ternak
ruminansia yang digembalakan pada lahan pertanian setelah tanaman pertaniannya
dipanen (stuble grazing) atau pada lahan pertanian yang bera. Pada pola stuble
grazing, ruminansia mengkonsumsi sisa-sisa tanaman pertanian yang masih
tertinggal pada lahan pertanian. Sedangkan pada lahan pertanian yang bera, setelah
ditumbuhi beragam jenis rerumputan maka ruminansia dilepaskan untuk
merumputnya.
Gambar 3. Race untuk sapi dan timbangan
Pola penggembalaan di Australia, Eropa, Amerika dan juga di Indonesia umumnya
dioperasikan dengan orientasi untuk menghasilkan keturunan. Sebagai misal pada
peternakan sapi adalah untuk menghasilkan pedet (cow/calf operation) untuk
kemudian dipanen pada saat tertentu. Pada pola ini ternak jantan dan betina
dilepaskan di padang penggembalaan secara bersama-sama sehingga pada padang
itu terjadilah proses perkawinan secara alamiah. Perkembangan jumlah ternak
akibat perkawinan itu dimonitor dengan menghitung populasi ternak pada saat-saat
tertentu. Pada saat itu, kawanan ternak dikumpulkan pada lokasi tertentu yang
terbuka dan cukup ekstensif. Saat ternak dikumpulkan maka selain dihitung
perkembangan populasinya juga dilakukan pemeriksaan kesehatan dan pemberian
tanda pada ternak (branding) untuk menunjukkan pemilikan atas ternak.
Pemelihara ternak ruminansia yang maju seperti pada pola komersial tempat
pengumpulan ternak dilengkapi dengan race dan penjepit ternak untuk melakukan
pemeriksaan ternak dan branding (lihat Gambar 3). Race adalah semacam lorong
terbuat dari kayu atau pipa besi yang kuat. Lebar lorong itu cukup untuk satu ekor
sapi. Ternak didalam lorongrace dapat diamati dari luar lorong. Ternak
dimasukkan kedalam lorong itu secara berjajar untuk diamati kondisi fisik dan
kesehatannya serta diberi perlakuan pengobatan jika diperlukan. Sarana seperti itu
juga dimiliki petani-ternak pelaku penggembalaan di Indonesia meskipun sarana
itu dibuat dengan desain dan menggunakan bahan yang sederhana misalnya
bambu.

Sumberdaya untuk penggembalaan


Sumberdaya yang digunakan untuk penggembalaan di negara-negara maju
peternakannya meliputi padang rumput alam serta padang rumput buatan seperti
pastura pada suatu ranch. Adapun di Indonesia, padang rumput alam yang telah
diperbaiki pernah digunakan sebagai sumberdaya penggembalaan oleh perusahaan-
perusahaan perbibitan sapi seperti misalnya PT Bina Mulya Ternak yang pernah
ada di Sulawesi Selatan. Walaupun demikian penggembalaan di Indonesia pada
umumnya dapat dikatakan lebih bertumpu pada padang rumput alam, kawasan
hutan serta lahan-lahan pertanian yang bera. Lahan-lahan pertanian bera itu
ditumbuhi rerumputan yang dapat dirumput oleh ruminansia (lihat Gambar 4.).

Gambar 4. Sapi bali di Sulawesi Tenggara (1) dan domba Texel di Wonosobo Jawa
Tengah (2) yang sedang merumput pada lahan pertanian yang bera.

Mutu dan kuantitas produksi hijauan padang penggembalaan di Indonesia termasuk


dalam kategori rendah karena vegetasi yang ada terdiri atas jenis-jenis rerumputan
atau tanaman herba yang secara genetis produksi dan mutunya memang rendah.
Padang penggembalaan dimaksud umumnya didominasi oleh alang-alang
(Imperata cylindrica) dan Themeda australis yang mutunya rendah dan/atau jenis-
jenis rumput pendek seperti Axonopus compresus, Polytrias amaura, Cynodon
dactylon, Euleusine indica, Cyperus sp. dengan kepadatan jarang. Pada stuble
grazing di lahan persawahan maka jenis hijauan yang dikonsumsi ternak adalah
sisa tanaman padi bagian bawah yang mutunya juga rendah.

1.2. Tebas-angkut
Diskripsi
Pemberian pakan ternak secara tebas-angkut (zero grazing atau cut and carry)
dilakukan oleh petani-ternak pada kawasan yang tidak mempunyai area cukup luas
untuk memelihara ruminansia dengan cara digembalakan. Lahan yang tersedia di
kawasan ini telah digunakan secara intensif untuk budidaya tanaman pangan
dan/atau tanaman perkebunan. Pada kawasan semacam ini, ternak ruminansia
relatif terus-menerus ditempatkan dalam kandang disekitar rumah sedangkan
hijauan pakannya dicarikan oleh pemeliharanya setiap hari. Cara pemberian pakan
secara tebas-angkut seperti itu adalah ciri umum pola pemberian pakan ternak
ruminansia di Asia. Khususnya di Indonesia, tebas-angkut itu dioperasikan oleh
hampir semua petani-ternak di pulau Jawa, Madura dan Bali serta sebagian petani-
ternak di pulau-pulau lainnya.

Sumberdaya untuk tebas-angkut


Gambar 5. Pinggir jalan di pedesaan yang ditumbuhi rumput

Hijauan pakan ternak berupa rumput umumnya dicari


oleh peternak dari lahan-lahan marjinal seperti pematang sawah, pematang tegalan
(lihat boks 1) tepi sungai, tepi jalan atau tepi hutan. Contoh area pinggir jalan
sebagai sumberdaya hijauan ternak disajikan pada Gambar 5. Lahan-lahan tersebut
ditumbuhi berbagai jenis rumput alam seperti Cynodon dactylon, Eleusine indica,
Eragrostis amabilis, Oplismenus burmanni, Axonopus compressus, Panicum
repens, Imperata cylindrica, Eulalia amaura, Cyperus rotundus, Cyperus kyllingia,
Themeda arguens, Echinocloa colonum dan Digitaria argyrotahya. Kecuali
rumput, petani-peternak juga memanfaatkan daun-daunan sebagai pakan
ternaknya. Daun tersebut dapat berasal dari tanaman pohon atau perdu yang
tergolong leguminosa seperti Leucaena leucocephala, Gliricidia sepium,
Calliandra sp. dan Albizia sp atau daun dari tanaman buah-buahan seperti alpukat
(Persea sp), nangka (Artocarpus sp) dan pisang (Musa sp). Jenis-jenis pohon dan
perdu itu adalah tanaman untuk pagar, tanaman yang dibudidayakan di pekarangan
atau lahan-lahan milik negara. Selain jenis-jenis rumput dan daun-daunan tanaman
seperti disebutkan diatas, petani-ternak juga memanfaatkan limbah pertanian yang
banyak tersedia pada waktu musim panen. Adapun jenis limbah pertanian yang
digunakan sebagai pakan hijauan tergantung pada jenis-jenis tanaman pangan yang
dibudidayakan setempat. Adapun jenis-jenis tanaman pertanian di Indonesia yang
limbahnya digunakan sebagai pakan ternak meliputi padi, jagung, kacang kedelai,
kacang tanah, ketela pohon, ketela rambat, sorghum dan tebu.
Khususnya untuk tanaman jagung, ketela pohon dan tebu, seringkali dijumpai
bahwa daunnya diambil untuk pakan ternak ruminansia sebelum hasil pokok
tanamannya dipanen. Tanaman jagung misalnya, saat buah jagung mendekati
waktu dipanen maka batang diatas bagian buah dipotong oleh petani-ternak.
Bagian batang yang dipotong itu mempunyai daun yang telah tua berwarna
kekuningan. Batang dan daun ini diberikan kepada ruminansia sebagai pakan.
Demikian pula halnya dengan tanaman tebu. Sebelum tanaman tebu dipanen,
petani membersihkan daun yang telah tua, berwarna kekuningan yang
menggantung pada ujung tanaman. Hal itu sebenarnya bertujuan untuk
membersihkan ruang antar baris tanaman sehingga memudahkan panen namun
daun yang dihasilkan ada pula yang dikumpulkan untuk pakan ruminansia. Pada
saat panen tebu juga diperoleh hijauan pakan yaitu daun pada ujung batang tebu
yang masih berwarna hijau, disebut daun pucuk tebu. Pada kawasan dimana
tanaman tebu dipelihara secara ratoon (lihat boks 2), petani berusaha
mempertahankan anakan tanaman pada jumlah tertentu per rumpun. Petani di
kawasan Malang Selatan umumnya memelihara tidak lebih dari sepuluh anakan
per rumpun. Jika pada satu rumpun terdapat lebih dari sepuluh anakan maka
dilakukan pengurangan jumlah anakan. Anakan yang dibuang itu terdiri atas
batang serta daun muda dan digunakan sebagai pakan ternak.

Pada area-area tertentu, petani-ternak membudidayakan rumput unggul. Area


dimaksud adalah area lahan marjinal seperti galengan sawah, galengan tegalan atau
pada batas lahan sekitar rumah sebagai tanaman pagar. Penanaman pada galengan
sawah, tegal atau sekitar rumah itu merupakan upaya petani-ternak memanfaatkan
area atau lahan marjinal yang mereka miliki/kuasai. Hal itu dilakukan petani-ternak
untuk meningkatkan kecukupan hijauan pakan ternak. Namun demikian, area-area
yang ditanami rumput gajah tersebut relatif sempit sehingga hijauan yang
dihasilkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan untuk ternak yang dipelihara
sepanjang tahun. Oleh sebab itu mereka masih juga bergantung pada produksi
hijauan di lahan-lahan marjinal yang ada disekitar tempat tinggal. Pada musim
kemarau, produksi rumput yang ditanam juga menurun. Oleh karena itu, meskipun
petani-ternak telah membudidayakan tanaman rumput tetapi mereka tetap masih
bergantung pada sumber-sumber pakan hijauan yang lain. Adapun species tanaman
rumput yang umumnya dibudidayakan secara monokultur adalah Pennisetum
purpureum, Panicum Maximum, Digitaria decumbens, Euchlaena mexicana,
Setaria anceps, Setaria splendida dan Cynodon plectostachyus. Diantara jenis-
jenis hijauan ini, yang paling populer dibudidayakan di Indonesia adalah
Pennisetum purpureum. Budidaya rumput seperti dimaksud diatas lebih dominan
dilakukan oleh petani-peternak di kawasan produksi sapi perah dibandingkan di
kawasan produksi sapi potong atau ruminansia lainnya.

2. Perubahan penggembalaan menjadi tebas-angkut


Masing-masing cara pemberian pakan seperti diatas, yaitu grazing dan tebas-
angkut, merupakan bagian dari budaya pemeliharaan ruminansia yang berkembang
akibat interaksi faktor-faktor sosial-ekonomi dan agroekologi setempat. Faktor
demografi, misalnya, telah terekam sebagai penyebab berkembangnya pola
pemberian pakan secara tebas angkut serta sistem pertanian lahan kering di dataran
tinggi di pulau Jawa. Raffles (1817) dalam bukunya the History of
Java menjelaskan bahwa daerah konsentrasi penduduk, perdagangan dan pertanian
di Jawa pada awalnya berada di dataran rendah yang subur dan umumnya di daerah
delta. Perkembangan aktivitas ekonomi yang terjadi di daerah konsentrasi
penduduk itu mengakibatkan bertambahnya jumlah penduduk secara terus
menerus. Sejalan dengan itu, terjadi pula peningkatan kebutuhan lahan untuk
pemukiman dan sarana infrastruktur pendukung lainnya sehingga menurunkan
ketersediaan area lahan untuk aktivitas pertanian. Kemudian, Palte (1989)
menjelaskan bahwa tekanan demografi yang berlanjut semakin tinggi membuat
masyarakat petani di dataran rendah terpaksa harus bergerak ke dataran tinggi dan
membuka area-area hutan di dataran tinggi untuk menyediakan lahan pertanian dan
bertani. Aktivitas tersebut memicu berkembangnya pertanian lahan kering di
dataran tinggi di pulau Jawa yang terus berlangsung hingga saat ini. Pada tahun
1883 tercatat bahwa kawasan pertanian lahan kering di dataran tinggi adalah 0,6
juta hektar yang berkembang terus hingga mencapai 6,1 juta hektar pada tahun
1989. Peningkatan area pertanian lahan kering ini jauh lebih tinggi dari perluasan
kawasan persawahan untuk padi. Hal ini tergambarkan dari perubahan rasio luas
area persawahan dan pertanian lahan kering di dataran tinggi dari sebesar 2,9 pada
tahun 1883 menjadi 0,5 pada tahun 1989. (Palte, 1989; Manuwoto, 1991).

Pada awal perkembangan pertanian lahan kering di dataran tinggi di Jawa, aktivitas
pertanian dilakukan secara berpindah-pindah (shifting cultivation). Cara bertani
ekstensif ini dimungkinkan karena lahan masih tersedia luas. Masyarakat yang
berpindah dari dataran rendah ke dataran tinggi untuk bertani juga membawa
ternak ruminansia yang mereka miliki. Ternak tersebut dilepas merumput pada
lahan-lahan pangonan yang tersedia luas. Namun dengan semakin banyak
penduduk yang berpindah dari dataran rendah ke dataran tinggi untuk bertani maka
tekanan demografi di dataran tinggi meningkat hingga mencapai taraf tidak
dimungkinkannya lagi dilakukan pertanian secara berpindah-pindah. Sehingga
secara gradual terjadilah perubahan cara bertani dari berpindah-pindah menjadi
menetap pada suatu area tertentu. Pada pola pertanian menetap ini maka lahan
tertentu digunakan secara terus menerus untuk bercocok tanam sehingga kesuburan
lahannya menurun karena unsur hara tanah terus menerus dipanen. Untuk
mencegah terjadinya penurunan kesuburan lahan secara berkelanjutan maka lahan
harus dipupuk. Alternatif jenis pupuk yang tersedia adalah kotoran ternak. Cara
paling mudah untuk mengumpulkan kotoran adalah dengan mengandangkan
ruminansia. Kotoran ternak yang dikumpulkan dengan cara ini dikenal dengan
sebutan pupuk kandang. Selain mudah untuk mendapatkan pupuk kandang, dengan
mengandangkan ruminansia maka kemungkinan ternak lepas mengkonsumi
tanaman yang ada di lahan pertanian dapat dicegah. Oleh sebab itu ruminansia
yang semula bebas merumput kemudian dikandangkan. Ternak yang terus menerus
berada di kandang diberi pakan hijauan yang dicarikan oleh petani pemeliharanya
dari beragam sumber seperti pinggir jalan, pinggir hutan, pinggir sungai atau
lahan-lahan marjinal lainnya. Terjadilah perubahan pola pemberian pakan dari
penggembalaan pada ladang pangonan menjadi tebas angkut berbasis lahan lahan
marjinal.

3. Karakteristik pola pemberian pakan


Pola pemberian pakan secara digembalakan atau tebas-angkut mempunyai
beberapa karaketristik teknis yang kiranya perlu dipahami seperti diuraikan
dibawah ini.

3.1. Penggembalaan
Beberapa karakteristik teknis penting dari pola pemberian pakan secara
penggembalaan yang terkait dengan tatalaksana produksi ternak ruminansia adalah
sebagai berikut:
 Karena digembalakan, ternak mempunyai kebebasan memilih (melakukan
seleksi) terhadap jenis-jenis hijauan yang akan dikonsumsi sesuai kebutuhannya.
Pengamatan pada domba yang digembalakan di padang rumput alam didapatkan
bahwa ternak itu memilih hijauan atau bagian hijauan yang memiliki kandungan
protein tinggi untuk dikonsumsi terlebih dahulu. Terdokumentasi pula bahwa
jika kandungan protein hijauan di padang rumput berada dibawah tujuh persen
maka konsumsi terhadap hijauan itu akan menurun secara nyata. Hal itu
dikarenakan protein yang dikonsumsi ternak tidak optimal menyediakan nitrogen
yang dibutuhkan mikroba dalam rumen (perut depan ternak ruminansia) untuk
beraktifitas dan berkembangbiak. Akibatnya, karbohidrat struktural dari hijauan
yang dikonsumsi oleh ternak kurang dapat dicerna sehingga menghambat
pelepasan digesta (isi rumen) ke saluran pencernaan setelah rumen. Karena itu,
kecepatan pengosongan rumen juga menurun sehingga ternak terangsang untuk
menurunkan tingkat konsumsi pakannya.
 Disamping memilih jenis dan/atau bagian hijauan dengan kandungan protein
tinggi, didapatkan bahwa domba serta sapi yang digembalakan memilih dan
mengkonsumsi jenis atau bagian hijauan yang kandungan natrium serta
phospornya tinggi. Memperhatikan hal tersebut maka konsentrasi protein,
natrium dan phospor pada hijauan dapat digunakan sebagai kriteria memilih jenis
hijauan yang akan dibudidayakan sebagai pakan ruminansia.
 Kebebasan yang diberikan kepada ternak untuk melakukan seleksi dan
konsumsi terhadap hijauan seperti dimaksud diatas juga mempunyai sisi negatif.
Salah satu diantaranya berangkat dari kenyataan bahwa berbagai jenis hijauan
unggul, pada umur tertentu, mengandung substansi bersifat racun yang dapat
mengganggu stabilitas fisiologi ternak yang mengkonsumsinya. Sebagai misal,
seleksi dan konsumsi yang dilakukan ternak terhadap leguminosa berprotein
tinggi seperti white clover atau Leucaena sp. dapat menimbulkan kembung
(bloat) atau keracunan mimosin pada ternak. Demikian pula halnya dengan
konsumsi rumput unggul Paspalum dilatatum yang berlebihan dilaporkan dapat
menimbulkan paspalum staggers. Terkait dengan hal ini maka tatalaksana
pemanfaatan pastura menuntut kecermatan pengelolanya dalam hal memilih
jenis-jenis hijauan yang akan dibudidayakan serta umur dan komposisi botani
pastura saat akan digunakan untuk menggembalakan ternak.
 Konsumsi pakan ternak yang digembalakan dapat beragam antar waktu
sebagai akibat dari perubahan tingkat ketersediaan hijauan pada padang
penggembalaan karena pengaruh musim misalnya tinggi pada musim hujan dan
rendah pada musim kemarau. Konsentrasi zat makanan hijauan pada padang
rumput, khususnya karbohidrat terlarut, dapat berubah-ubah akibat perubahan
cuaca harian. Apabila kondisi gizi padang penggembalaan buruk maka
kebebasan ternak melakukan seleksi dan konsumsi sesuai dengan kebutuhannya
menjadi terbatas. Keragaman-keragaman ini membutuhkan perhatian dari
pengelola padang rumput untuk dapat memperoleh produksi ternak yang optimal.
Terdapat kemungkinan bahwa konsentrasi zat makanan dan energi yang
dikonsumsi ternak adalah kurang sehingga harus dikoreksi dengan memberikan
pakan suplemen atau konsentrat. Tindakan koreksi terhadap kekurangan nutrisi
dan energi ini relatif lebih sulit dilakukan pada pola penggembalaan
dibandingkan pada pola tebas-angkut dikarenakan ternak yang digembalakan
mempunyai kebebasan bergerak (mobile). Konsentrat harus diletakkan pada
tempat tertentu yang strategis, misalnya dekat lokasi air minum agar ternak dapat
mengenalinya. Jika ternak telah mengenali lokasi itu maka mereka akan
mendatangi tempat itu untuk minum dan juga mengkonsumsi konsentrat. Tetapi,
ada persoalan lain yang dapat timbul yaitu persaingan antar ternak dalam hal
mengkonsumsi konsentrat. Kemungkinan sebagian ternak mengkonsumsi
konsentrat dalam jumlah berlebih dan sebagian lainnya hanya mengkonsumsi
sedikit karena adanya persaingan antar individu ternak. Persaingan seperti itu
akan semakin besar jika umur dan/atau berat badan ternak yang digembalakan
beragam. Untuk mengatasi hal ini kiranya perlu disediakan beberapa tempat
konsentrat agar persaingan antar ternak dapat dikurangi atau dihindari.
 Faktor lain yang mempengaruhi seleksi dan konsumsi ternak di padang
penggembalaan adalah jumlah ternak per luas lahan yang secara teknis disebut
tekanan penggembalaan (stocking rate). Semakin banyak ternak pada area
penggembalaan maka kompetisi antar ternak untuk melakukan seleksi dan
mengkonsumsi hijauan dari padang penggembalaan menjadi semakin besar.
Keadaan itu, secara teknis disebut penggembalaan berlebihan (over-stocking)
yang dapat berakibat pada menurunnya tingkat konsumsi hijauan dan produksi
per individu ternak. Sebaliknya, dapat terjadi keadaan dimana jumlah ternak
pada padang penggembalaan terlalu sedikit yang secara teknis disebut
penggembalaan kurang (under-stocking). Pada situasi ini, pemanfaatan padang
rumput menjadi tidak efisien walaupun produksi per individu ternak adalah
tinggi karena masing-masing mempunyai kebebasan melakukan seleksi dan
mengkonsumsi hijauan secara berlebihan. Kedua situasi itu, over-
stocking dan under-stocking tidak dikehendaki karena mengakibatkan
pemanfaatan pastura menjadi tidak efisien. Agar efisien, jumlah ternak yang
dipelihara seharusnya seimbang dengan kemampuan padang rumput
menyediakan hijauan pakan ternak. Untuk itu maka pengelola padang rumput
dituntut mampu menentukan tekanan penggembalaan yang optimal untuk
dioperasikannya. Namun perlu dicatat bahwa kebanyakan peternak ruminansia di
Australia lebih memilih untuk beroperasi pada tingkat tekanan penggembalaan
sub-optimal dengan tujuan mengurangi resiko akibat menurunnya produksi
hijauan karena kekeringan yang sewaktu-waktu dapat terjadi.
 Terutama di kawasan tropika basah, kontrol terhadap endoparasit ataupun
ektoparasit pada ternak yang digembalakan membutuhkan perhatian intensif.
Larva endoparasit yang dikeluarkan bersama dengan feces, pada kondisi lembab,
mendapatkan lingkungan yang ideal untuk berkembang dan menginfeksi ternak.
Terkait hal ini maka dibutuhkan kontrol intensif terhadap infestasi endo- dan
ekto-parasit pada pastura.
 Pemeliharaan ternak dengan penggembalaan tidak membutuhkan tenaga
kerja yang banyak karena ternak dapat mencari sendiri pakan yang
dibutuhkannya. Rendahnya kebutuhan tenaga kerja ini menjadikan sistem
penggembalaan mempunyai nilai kompetitif yang tinggi.

3.2. Tebas-angkut
Beberapa karakteristik teknis penting dari pola pemberian pakan secara tebas-
angkut yang terkait dengan tatalaksana produksi ternak ruminansia adalah sebagai
berikut:

 Berbeda dari rekannya yang digembalakan maka ternak yang dipelihara


dengan cara pemberian pakan tebas-angkut mempunyai keterbatasan untuk
melakukan seleksi dan mengkonsumsi pakan hijauan. Keterbatasan itu
ditentukan oleh jenis dan jumlah hijauan yang diberikan pemelihara kepadanya.
Semakin banyak hijauan diberikan maka ternak mempunyai kesempatan yang
lebih besar untuk melakukan seleksi terhadap hijauan.Terkait dengan hal ini
maka pemelihara dituntut untuk selalu dapat menyediakan pakan hijauan yang
terdiri dari banyak komponen tanaman yang dapat dikonsumsi oleh ternak
(edible), mempunyai palatabilitas (lihat boks 3) tinggi dan bermutu. Pengamatan
pada ternak yang digembalakan menunjukkan bahwa daun merupakan komponen
yang edible dan palatabilitasnya tinggi dibandingkan batang. Terkait dengan hal
ini maka diharapkan petani-ternak dapat memberikan daun sebanyak mungkin
daripada batang kepada ternak mereka. Memperhatikan tingkah laku ternak yang
digembalakan, seperti telah disampaikan diatas, maka selain mampu
menyediakan bagian hijauan yang edible secara cukup, maka petani-ternak juga
dituntut menyediakan hijauan dengan kandungan protein, natrium dan phospor
yang cukup.
 Kemungkinan terjadinya gangguan fisiologis pada ternak akibat
mengkonsumsi hijauan yang mengandung racun lebih rendah daripada pada
sistem penggembalaan. Hal ini dikarenakan bahwa dengan tebas-angkut maka
pemelihara dapat mencarikan dan memberikan hijauan yang tidak toksik atau
sifat toksik suatu jenis hijauan dapat dieliminasi terlebih dahulu oleh pemelihara.
Petani-ternak umumnya mempunyai pengetahuan tentang jenis-jenis hijauan
yang mengandung racun (bersifat toksik) dan yang baik untuk ternak ruminansia.
Pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari cerita yang
diberikan orang tua, saudara serta kerabat tentang kualitas bahan pakan yang
diketahui melalui pengalaman mereka memelihara ruminasia. Berbekal
pengetahuan lokal itu, petani-ternak umumnya mampu memilih jenis hijauan
yang baik untuk diberikan kepada ternaknya. Sebagai misal, peternak-ternak
tidak memberikan daun ketela pohon segar dalam jumlah banyak atau jika
diberikan dalam jumlah banyak maka daun itu dilayukan terlebih dahulu. Hal ini
mereka lakukan dengan tujuan mencegah terjadinya keracunan pada ternak yang
dipelihara. Ilmu pengetahuan dapat mengkonfirmasi hal itu melalui pengamatan
laboratoris yang menunjukkan bahwa daun ketela pohon mengandung asam
sianida (HCN) yang bersifat toksik jika dikonsumsi dalam jumlah besar dan sifat
toksik asam itu akan hilang jika tanaman dilayukan.
 Jumlah pakan hijauan yang dikonsumsi oleh ternak, sebagai parameter
penting produksi ternak, relatif mudah diukur karena pakan ditempatkan dalam
palungan. Jumlah pakan yang diberikan maupun yang tersisa dapat ditimbang
setiap saat diperlukan. Jika data jumlah hijauan yang diberikan dikurangi dengan
yang tersisa maka diperoleh informasi tentang jumlah hijauan yang dikonsumsi
oleh ternak. Konsumsi itu dapat diekspresikan sebagai konsumsi zat makanan
ataupun energi. Melalui prosedur itu maka petani-ternak sebenarnya dapat
mendeteksi kekurangan atau kelebihan konsumsi zat makanan atau enersi yang
dilakukan oleh ternaknya. Seandainya terdapat kekurangan maka petani-ternak
dapat melakukan tindakan koreksi dengan memberikan pakan tambahan. Pakan
tambahan itu dapat diberikan pada ternak dengan relatif mudah yaitu
menempatkannya pada tempat tertentu di palungan sehingga ternak mudah
mengenalinya. Melalui cara ini maka tampilan ternak yang tidak sesuai harapan
akibat kekurangan pakan, secara teoritis, relatif lebih mudah untuk dikoreksi
dibandingkan jika ternak digembalakan. Karakteristik ini umumnya
dimanfaatkan oleh sistem penggemukan ternak komersial di dalam maupun luar
negeri. Peternak komersial di Amerika dan Indonesia yang menggemukan sapi
selalu menggunakan cara pemberian pakan secara zero grazing. Sedangkan
penggembalaan lebih umum dioperasikan oleh mereka yang memproduksi pedet
atau sapi bakalan untuk dijual kepada mereka yang menggemukkan sapi.
 Keragaman jumlah konsumsi pakan hijauan antar hari relatif lebih kecil
dibandingkan dengan ternak yang digembalakan. Meskipun produksi pakan
hijauan di lapangan berfluktuasi akibat musim namun dengan tebas-angkut maka
petani-ternak dapat berusaha memberi hijauan kepada ternak dengan jumlah
yang relatif konstan. Pada musim kemarau dimana produksi hijauan menurun
drastis, petani-ternak di Jawa dapat memberi pakan ruminansia yang
dipeliharanya dalam jumlah yang relatif sama dengan jumlah yang diberikan
pada musim hujan. Namun pada musim kemarau petani-ternak akan
menghabiskan waktu lebih lama untuk mencari hijauan pada area yang lebih luas
dibandingkan pada musim hujan. Bahkan, pada musim kemarau petani-ternak
seringkali terpaksa membeli hijauan dari kawasan lain dimana banyak tersedia
bahan pakan untuk memenuhi kebutuhan pakan ruminansia yang dipeliharanya.
 Kontrol terhadap endoparasit atau ektoparasit relatif lebih mudah dilakukan
daripada pada sistem penggembalaan. Pemberian antihelmetik relatif lebih
mudah dilakukan karena ternak stasioner di kandang.
 Sistem tebas angkut membutuhkan tenaga kerja lebih besar daripada sistem
penggembalaan, khususnya untuk mencari pakan hijauan. Tenaga kerja tersebut,
kecuali dituntut mempunyai kondisi fisik prima untuk mampu mencari dan
mengangkut hijauan juga diharapkan mempunyai cukup pengetahuan tentang
jenis-jenis dan kualitas hijauan. Mereka juga dituntut untuk mengetahui jumlah
pakan hijauan yang dibutuhkan oleh ternak yang dipeliharanya. Pengetahuan itu
diperlukan sebagai bekal tenaga kerja untuk dapat mencari pakan hijauan dalam
jumlah cukup sesuai kebutuhan ternak yang dipeliharanya. Pada umumnya
pengetahuan itu telah dimiliki petani-ternak dari informasi yang diberikan oleh
orangtua, teman atau petani ternak lain dalam komunitasnya.

4. Akses pada sumberdaya pakan hijauan


Pola pengadaan pakan hijuan tebas-angkut pada sistem peternakan rakyat adalah
unik. Petani-ternak yang jumlahnya ratusan ribu atau mungkin jutaan, setiap hari,
meninggalkan rumah untuk mengumpulkan hijauan dari beragam sumberdaya
hijauan yang ada disekitar tempat tinggal mereka. Terdapat suatu elemen penting
yang memungkinkan berlangsungnya penggunaan beragam sumberdaya hijauan
pakan oleh petani-ternak yaitu kebebasan aksesnya pada sumberdaya itu.

Kata akses berasal dari bahasa Inggris access yang artinya adalah hak untuk
menggunakan (right to use) atau hak untuk masuk (right of entry) dalam rangka
memanfaatkan suatu sarana atau fasilitas. Mengacu pada definisi itu maka akses
pada sumberdaya pakan hijauan dapat diartikan sebagai hak untuk menggunakan
sumberdaya itu. Pada cara pemberian pakan secara penggembalaan maupun tebas-
angkut, pemelihara ruminansia harus mempunyai hak yang terjamin untuk
menggunakan sumberdaya hijauan. Tanpa hak itu maka pengadaan hijauan untuk
menunjang sistem produksi ruminansia menjadi tidak terjamin. Penggembalaan di
Eropa, Amerika dan Australia, misalnya, yang dilakukan pada ranch sebagai
usahatani padang rumput maka pastura dikelola dengan batas-batas penguasaan
yang jelas. Pemilikan pastura per unit ranch bersifat individual dan statusnya
dijamin secara hukum sebagai hak milik atau sewa. Luas area pastura per unit
ranch adalah tertentu sesuai dengan kemampuan kapital pengelola untuk membeli
dan/atau menyewa pastura itu. Melalui kepemilikan yang jelas itu maka peternak
pengelola pastura dapat berupaya maksimal untuk mengadakan hijauan pakan
sesuai kebutuhan ternak yang dipeliharanya.

Berbeda dengan pola ranch, penggembalaan ternak di Indonesia umumnya


dilakukan pada beragam jenis lahan-lahan marjinal yang ditumbuhi rumput seperti
misalnya padang rumput alam, tepi sungai atau kawasan hutan negara. Akses
pemelihara ternak ruminansia terhadap sumberdaya pakan hijauan itu tidak
didasarkan pada pemilikan yang berkekuatan hukum formal seperti para pengelola
ranch. Pada komunitas peternakan rakyat di Indonesia terdapat semacam
konsensus sosial tidak tertulis, mungkin dapat disebut sebagai konvensi, bahwa
lahan-lahan marjinal boleh digunakan untuk menggembalakan ternak ruminansia.
Dengan kata lain, lahan-lahan marjinal yang ditumbuhi rumput diakui, atau
dianggap oleh komunitas peternakan rakyat sebagai milik umum (common
property) yang boleh digunakan oleh siapapun untuk menggembalakan ternak
ruminansianya. Suatu konsensus sosial yang unik dijumpai di Nusa Tenggara Barat
dimana area yang dibudidayakan untuk produksi tanaman pangan justru harus
dipagar supaya tidak diganggu oleh sapi yang dilepas bebas untuk merumput pada
area-area marjinal. Jika lahan pertanian tidak dipagar kemudian ruminansia
memasuki lahan itu dan mengkonsumsi tanaman pertanian yang dibudidayakan
maka pemilik ruminansia tidak dapat disalahkan.

Seperti para pemelihara ruminansia yang melakukan penggembalaan maka petani-


ternak yang mengoperasikan pola pemberian pakan tebas-angkut di Jawa, Bali,
Madura dan pulau-pulau lain di Indonesia mempunyai akses pada berbagai jenis
lahan marjinal seperti pematang sawah, tegalan, pinggir sungai, pinggir jalan,
pinggir hutan untuk mendapatkan pakan hijauan. Lahan-lahan itu menghasilkan
rumput dan daun-daunan yang dapat dikumpulkan untuk dibawa ke kandang dan
diberikan kepada ternak ruminansia. Akses petani-ternak pada jenis-jenis lahan
marjinal itu juga didukung oleh kesepakatan tidak tertulis yang menjamin mereka
untuk mengumpulkan pakan hijauan dari lahan marjinal yang ada disekitar tempat
tinggal. Adanya kesepakatan sosial itu memberikan kesempatan pada mereka yang
tidak mempunyai lahan untuk dapat memelihara ruminansia. Oleh karena itu tidak
dijumpai adanya hubungan yang nyata antara jumlah sapi yang dipelihara petani-
ternak dengan luas lahan yang mereka miliki seperti diamati oleh Ifar, Wibowo dan
Wardoyo (1984) didaerah peternakan rakyat sapi perah di Nongkojajar Kabupaten
Pasuruan dan daerah peternakan rakyat sapi non-perah di desa Putukrejo dan
Kedungsalam Kabupaten Malang. Mengacu pada realita itu seorang guru besar dari
Universitas Padjadjaran yaitu Prof. Didi Atmadilaga menyebut sistem peternakan
ruminansia di Jawa sebagai peternakan diawang-awang (flying herd systems)
Sebutan itu dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa sistem peternakan
ruminansia di Jawa tidak bertumpu pada lahan yang dimiliki pemeliharanya secara
pasti sehingga harus bergantung pada produktivitas hijuan yang tumbuh alamiah
pada lahan-lahan majinal. Pola itu telah berlangsung dari generasi ke generasi yang
memungkinkan para petani berlahan sempit memelihara ternak ruminansia dalam
bentuk sistem peternakan rakyat.

Terdapat perbedaan pola akses petani-


ternak pada limbah pertanian dibandingkan akses mereka pada rumput dan daun-
daunan yang tumbuh pada lahan-lahan marjinal. Pengamatan di wilayah Malang
Selatan dan Trenggalek di Jawa Timur (Ifar, 2006) serta di Lombok Timur dan di
daerah-daerah lain di Jawa yang menunjukkan bahwa limbah pertanian adalah hak
dari operator (lihat boks 4) lahan pertanian. Namun para operator umumnya
memberikan prioritas kepada pihak lain untuk mendapatkan akses secara bebas
terhadap limbah pertanian seperti jerami padi, jagung atau pucuk tebu yang
dihasilkan pada lahan yang dioperasikannya. Pihak lain itu adalah para pekerja
tetap yang bekerja pada operator lahan untuk melaksanakan kegiatan panen.
Pemberian prioritas kepada para pekerja tetap untuk memanfaatkan limbah
pertanian itu kiranya dapat diartikan sebagai insentip in-natura atas jerih payah
para pekerja melakukan panen. Para pekerja tetap untuk panen itu umumnya
adalah juga petani-ternak yang memelihara ruminansia milik operator lahan
dengan pola gaduhan (lihat boks 5). Ditinjau dari sisi ini maka pemberian prioritas
kepada pekerja tetap untuk mendapatkan limbah pertanian merupakan tindakan
logis para operator lahan untuk mengamankan pasokan pakan ternak yang mereka
gaduhkan. Apabila jumlah limbah yang dihasilkan berlimpah, melebihi jumlah
yang dapat dikumpulkan dan dibawa pulang masing-masing pekerja tetap maka
petani-ternak lain juga boleh mengumpulkannya. Petani-ternak lain itu dapat
mengumpulkan limbah pertanian dengan ijin dari para pekerja tetap dan umumnya
mereka juga harus membantu para pekerja tetap melakukan kegiatan panen. Pola
tersebut menunjukkan bahwa akses pada limbah pertanian mempunyai tatanan
tersendiri yang secara hirarkis melibatkan operator lahan dan tenaga kerja panen.
Adapun jumlah limbah yang dapat dibawa pulang oleh tiap pencari hijauan adalah
tergantung dari kemampuan tiap individu membawanya, jumlah pekerja tetap,
jumlah pekerja yang membantu pekerja tetap, luas area panen dan jumlah ternak
yang dipelihara masing-masing pekerja. Interaksi berbagai faktor itu membuat
limbah pertanian dari satu unit lahan pertanian terdistribusi pada komunitas
peternakan rakyat.

Kebebasan akses pada sumberdaya hijauan di kawasan-kawasan padat ternak tidak


selalu dapat menjamin kontinyuitas pengadaan pakan hijauan secara
berkesinambungan. Keadaan seperti itu umumnya dijumpai pada kawasan-
kawasan peternakan rakyat sapi perah. Khususnya pada musim kemarau dimana
produksi hijauan pada lahan marjinal sangat menurun maka petani-ternak harus
membeli hijauan untuk mencukupi kebutuhan pakan untuk ternak yang
dipeliharanya. Pada kawasan dimaksud, petani-ternak pemelihara sapi perah
umumnya juga menanam hijauan pakan ternak seperti rumput gajah (Pennisetum
purpureum) pada lahan-lahan yang dikuasainya. Tetapi, area produksi rumput
gajah per unit usahatani relatif sempit dan pada musim kemarau produksinya
menurun cukup drastis sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan hijauan
sepanjang tahun. Oleh sebab itu petani-ternak sapi perah masih harus membeli
pakan hijauan untuk mencukupi kekurangan pasokan hijauan dari lahan sendiri.
Jenis hijauan yang dibeli pada umumnya adalah rumput gajah dan tebon jagung.
Kemampuan petani-ternak sapi perah membeli pakan hijauan itu didukung oleh
adanya pendapatan rutin dari usaha memelihara sapi perah yang laktasi (diperah air
susunya). Pendapatan itu sebagian dapat digunakan untuk membeli hijauan serta
pakan konsentrat.

Pengadaan pakan hijauan melalui pembelian juga dijumpai pada sistem peternakan
rakyat non-sapi-perah di kawasan pertanian lahan kering. Pembelian hijauan itu
dilakukan terutama pada periode mendekati akhir musim kemarau saat
produktivitas hijauan pada lahan-lahan marjinal sangat menurun. Jenis hijauan
yang dibeli umumnya adalah jerami padi . Survei pada musim kemarau di kawasan
pertanian lahan kering di dataran tinggi Malang Selatan di Kabupaten Malang
mendapatkan bahwa kelompok-kelompok petani-ternak pemelihara sapi menyewa
truk untuk membeli jerami padi dari kawasan pertanian lahan basah di dataran
rendah (Ifar, 1996). Keseluruhan biaya ditanggung oleh setiap anggota kelompok.
Cukup menarik diperhatikan bahwa petani-ternak yang dapat dikategorikan
sebagai kelompok marjinal itu bersedia dan dapat mengalokasikan dana untuk
membeli jerami padi sebagai pakan ternak. Pengamatan lebih lanjut menunjukkan
bahwa para petani-ternak dimaksud memperoleh dana melalui penjualan sapi yang
mereka pelihara kepada kelompok elit yang ada di desa. Dana yang diperoleh
sebagian digunakan untuk membeli pakan berupa jerami padi dan sebagian
digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan . Sapi yang dijual tidak keluar dari
unit usahatani petani-ternak penjual tetapi statusnya berubah dari yang semula
adalah hak milik menjadi gaduhan. Melalui mekanisme itu maka keluarga petani-
ternak marjinal dapat mengamankan kebutuhan pangan, menyediakan pakan ternak
dan mengamankan aset berupa sapi secara simultan. Mekanisme tersebut juga
berperan menstabilkan populasi sapi pada tingkat desa karena penjualan sapi tidak
diikuti dengan keluarnya sapi dari desa (Ifar, Solichin, Udo dan Zemmelink; 1996).

Uraian diatas menunjukkan bahwa adanya keterkaitan antara lahan basah yang
berada di dataran rendah (lowland) untuk mendukung kebutuhan pakan hijauan
yang dibutuhkan oleh peternakan rakyat yang berada pada daerah pertanian lahan
kering (upland). Dengan demikian terdapat pertukaran (trade-off) sumberdaya
pakan hijauan antar wilayah. Keadaan itu menunjukkan bahwa sistem pengadaaan
pakan hijauan bersifat terbuka dan akses petani-ternak tidak terikat oleh suatu batas
administrasif atau agroekologi tertentu. Hal itu tentunya difasilitasi oleh
mekanisme pasar dan pemasaran yang berkembang setempat. Sebagai misal,
kawasan peternakan rakyat sapi perah di Kecamatan Pujon Kabupaten Malang di
Jawa Timur secara rutin bergantung pada pasokan hijauan dari berbagai kecamatan
di Kabupaten Kediri bahkan Pasuruan. Keadaan itu memberikan indikasi bahwa
daya dukung kawasan peternakan sapi perah untuk memasok pakan hijauan adalah
rendah atau sudah tepakai secara berlebihan. Namun terdapat sisi positif yang perlu
dicatat bahwa berkembangnya peternakan sapi perah pada suatu kawasan dapat
medorong berkembangnya usahatani hijauan pakan ternak pada kawasan lain. Hal
ini menunjukkan adanya efek-efek ganda (multiplier effects) yang diperoleh dari
upaya pengembangan suatu kawasan untuk usaha peternakan sapi perah. Meskipun
kawasan ini tidak mempunyai daya dukung yang memadai namun kawasan lain
dapat mendukungnya dengan mengembangkan kegiatan ekonomi yang relevan
seperti memproduksi hijauan.
Pada berbagai kawasan, terutama kawasan peternakan rakyat sapi perah, perhutani
mengalokasikan lahan hutan yang baru dibuka untuk ditanami rumput gajah oleh
petani-ternak setempat. Area ini disebut dengan area tumpangsari. Petani-ternak
anggota program tumpangsari diperbolehkan membudidayakan rumput namun juga
diberi kewajiban memelihara tanaman pohon yang ditanam oleh pihak perhutani.
Adanya area tumpangsari ini sangat membantu meningkatkan akses petani-ternak
anggota tumpangsari pada hijauan pakan ternak. Rumput yang dibudidayakan itu
menjadi hak milik penanam yaitu petani-ternak anggota program tumpangsari.
Adapun konsekuensi dari program tumpangsari diatas adalah bahwa akses petani-
ternak yang bukan anggota program tumpangsari terhadap hijauan pakan ternak
dikawasan hutan menjadi terbatas.

5. Perbaikan sumberdaya pakan hijauan


Produksi yang tinggi dari sumberdaya pakan hijauan secara kontinyu sepanjang
tahun selalu menjadi harapan dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan
pemeliharaan dan peningkatan produksi ternak ruminansia. Mereka meliputi
peternak, petani-ternak, penentu kebijakan maupun kosumen produk-produk
ruminansia. Pada kenyataannya, cukup banyak faktor saling terkait yang perlu
diperhatikan untuk memperbaiki sumberdaya pakan hijauan. Faktor-faktor itu
dapat dikelompokkan menjadi faktor-faktor teknis dan non-teknis.

- Faktor teknis
Perbaikan sumberdaya pakan hijauan dapat dilakukan melalui beragam cara seperti
mengganti jenis-jenis vegetasi yang tumbuh pada padang rumput alam dengan
jenis-jenis tanaman hijauan pakan hasil seleksi yang bermutu tinggi, menyediakan
sarana irigasi agar pada musim kemarau hijauan dapat memperoleh cukup air
sehingga dapat tetap berproduksi dengan baik, melakukan pemupukan untuk
menjaga stabilitas kesuburan lahan sehingga pasokan unsur hara yang dibutuhkan
tanaman untuk berproduksi dapat terjamin secara berkelanjutan,
mengintroduksikan leguminosa pada area pastura yang sudah ada serta
menentukan jumlah ternak yang sesuai dengan kemampuan sumberdaya hijauan
menyediakan hijauan pakan. Masing-masing upaya perbaikan sumberdaya pakan
hijauan itu dapat dipilih dengan memperhatikan kondisi sumberdaya yang ada
(existing condition), tujuan perbaikannya, biaya yang tersedia, kemampuan tenaga
pelaksananya serta ketersediaan sarana penunjang. Ladang penggembalaan yang
masih bersifat alamiah dapat diperbaiki melalui beragam program seperti
pengurangan dan kontrol tanaman semak, memilih dan menerapkan pola
penggembalaan yang paling sesuai dengan tujuan dan sarana tersedia atau
melakukan penanaman jenis-jenis hijauan pakan yang diingini dengan penebaran
benih atau biji (oversowing).

Untuk melakukan oversowing maka biji yang akan disebar harus dipersiapkan
terlebih dahulu melalui pembelian atau produksi sendiri. Diharapkan benih atau
biji tanaman tersebut mempunyai kualitas baik dengan tingkat perkecambahan
yang tinggi. Pada negara-negara dimana budidaya padang rumput merupakan hal
yang dipentingkan untuk menunjang sistem produksi peternakan ruminansia maka
pemerintah, dibawah departemen atau kementerian pertaniannya, mempunyai
sistem produksi biji tanaman hijauan pakan untuk didistribusikan kepada peternak
atau para ranchers yang membutuhkan. Melalui pola ini, peternak mengetahui
dengan pasti kemana harus mencari benih yang terjamin mutunya serta dapat
berkonsultasi tentang jenis tanaman yang sebaiknya digunakan untuk memperbaiki
tampilan pastura mereka.

Untuk memperbaiki pastura maka species atau kultivar tanaman pakan ternak yang
akan digunakan harus ditentukan dulu sebelum membeli atau mengadakan benih
atau bijinya. Terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk memilih
jenis rumput atau leguminosa baru yang akan digunakan untuk mengganti jenis
yang sudah yaitu [1] kemungkinan adaptasinya pada lingkungan setempat [2]
tujuan penggunaannya seperti apakah akan digunakan untuk penggembalaan secara
continuous atau rotation, untuk tebas-angkut, dibuat hayatau silase [3] karakterstik
species tanaman yang meliputi kemudahan penanamannya, palatabilitas, periode
vegetatifnya, responnya terhadap pemupukan, persistensi, ketahanan terhadap
tekanan penggembalaan dan/atau pemotongan serta potensi produksi biji atau
bibitnya [4] ketersediaan biji atau material untuk ditanam [5] nilai dari lahan yang
mungkin meningkat melalui perbaikan vegetasi penutup lahan [6] jenis dan
kualitas ternak yang akan digembalakan atau diberi pakan serta [7] kemampuan
menejerial pengelola padang rumput untuk melakukan perbaikan dan menjaga
stabilitas produksi selanjutnya.

Cukup banyak kiranya hal teknis yang harus dipertimbangkan untuk memperbaiki
padang rumput. Pada akhirnya semua berpulang pada ketersediaan modal serta
kemampuan pengelola dalam hal manajemen pengelolaan sumberdaya hijauan
pakan ternak. Kemampuan pengelola itu kiranya membutuhkan penguasaan teori
maupun praktek tentang prinsip-prinsip produksi hijauan pakan ternak yang dapat
diperoleh melalui pengalaman, informasi di pustaka atau melalui pelatihan serta
pendidikan formal.

- Faktor non-teknis
Terdapat satu faktor penting bersifat non-teknis yang menentukan keberhasilan
upaya perbaikan sumberdaya hijauan pakan ternak. Faktor itu ialah penguasaan
atas lahan sumberdaya hijauan yang menjadi target perbaikan. Telah disampaikan
pada uraian-uraian terdahulu bahwa di berbagai belahan dunia terdapat pola
usahatani padang rumput disebut ranch yang mengelola pastura dengan batas-batas
penguasaan yang jelas. Pemilikan pastura per unit ranch bersifat individual dan
statusnya dijamin secara hukum sebagai hak milik atau sewa. Aksesibilitas yang
pasti seperti itu memungkinkan para pengelola ranch untuk sepenuhnya melakukan
kontrol terhadap jenis dan mutu hijauan yang akan dibudidayakan serta
produktivitas pastura yang dikelolanya. Apabila pengelola ranch ingin mengganti
rumput alam pada pastura yang dimilikinya dengan rumput dan/atau leguminosa
hasil seleksi maka keputusan untuk melakukan hal itu dapat dibuat dengan relatif
mudah. Operasionalisasi keputusan itu hanya dibatasi oleh faktor modal yang
dimilikinya, ketersediaan bibit dan ketersediaan sarana pengolahan lahan dan
semua faktor itu sepenuhnya berada dibawah kontrol pengelola ranch. Penerapan
tatalaksana pengelolaan pastura seperti pemupukan, pengairan dan pemotongan
juga dapat ditentukan oleh pengelola dengan bebas. Produktivitas hijauan pastura
yang dikelola dapat dimonitor dan diperkirakan dengan baik. Pengetahuan ini
digabungkan dengan penerapan tatalakasana yang baik memungkinkan pengelola
untuk menentukan jumlah ternak yang akan dipelihara dan target produksi ternak
yang ingin dicapainya.

Berbeda dengan rekannya yang mengelola ranch, petani-ternak dalam sistem


peternakan rakyat di Indonesia umumnya tidak mempunyai sumberdaya hijauan
yang dikuasai pribadi secara formal. Petani-ternak hanya mendapat dukungan
sosial untuk menggunakan lahan marjinal yang ada disekitar sebagai area
penggembalaan atau mencari rumput untuk ternak ruminansia yang mereka
pelihara. Sumberdaya pakan hijauan itu dapat dikatakan sebagai milik umum atau
common property. Memperhatikan status sumberdaya hijauan pakan ini, yaitu
milik umum, maka terdapat kendala terhadap upaya perbaikan mutu sumberdaya
itu. Kendala ini menyangkut persoalan siapa yang akan melakukan perbaikan
sumberdaya hijauan itu dan siapa yang akan memanfaatkannya. Kedua pertanyaan
itu mungkin dapat diselesaikan melalui musyawarah yang melibatkan banyak
pihak seperti para petani-ternak, pengelola lahan marjinal, tokoh masyarakat dan
juga para pemangku kebijakan. Musyawarah dimaksud tentunya membahas
beragam isu seperti jenis hijauan apa yang akan diintroduksi, bagaimana
mengadakan bibit atau benih, mekanisme introduksi dan pengolahan lahan yang
diperlukan, siapa yang mengerjakan, siapa yang membiayai serta bagaimana
mekanisme pemanfaatannya. Menghasilkan kesepakatan atas beragam agenda
musyawarah seperti ini kiranya tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat atau
hanya melalui satu kali pertemuan. Oleh sebab itu, waktu dan biaya yang cukup
besar kiranya akan dibutuhkan sekedar hanya untuk menyepakati perlu tidaknya
dilakukan perbaikan sumberdaya hijauan milik umum. Seandainya kemudian dapat
terjadi kesepakatan atas agenda-agenda tersebut maka implementasinya harus
dilakukan secara ketat agar semua keputusan dapat dioperasikan seperti
seharusnya. Untuk itu kiranya juga diperlukan keputusan bersama tentang siapa
yang melakukan kontrol terhadap keseluruhan proses. Problematik diatas kiranya
dapat menjadi semakin kompleks jika menyangkut proses perbaikan mutu padang
rumput alam. Suatu area padang rumput alam yang telah diperbaiki kemungkinan
dapat diklaim oleh pihak-pihak tertentu yang menyatakan bahwa area tersebut
dibuka oleh sesepuh keluarga mereka sehingga berdasarkan adat mereka
mempunyai hak atas lahan itu. Penyelesaian atas persoalan ini akan menuntut
proses hukum yang membutuhkan waktu dan biaya. Timbul isu baru yang klasik
yaitu siapa yang harus membiayainya.

Tidak adanya pemilikan individual yang jelas terhadap padang penggembalaan di


Indonesia dapat menjadi kendala untuk menentukan jumlah ternak yang dapat
dipelihara. Walaupun jumlah ternak yang dapat didukung oleh suatu padang
rumput alam atau lahan marjinal dapat dihitung tetapi hasilnya mungkin tidak
operasional. Misalnya, terdapat suatu kawasan padang penggembalaan alam yang
secara tradisi telah digunakan oleh sebanyak K petani-ternak untuk
menggembalakan ternaknya. Kawasan padang penggembalaan itu dapat diestimasi
kemampuannya menyediakan pakan hijauan sepanjang tahun sehingga jumlah
ternak optimum yang dapat didukungnya dapat dihitung, misalnya sejumlah X ekor
sapi. Selanjutnya jika mengacu pada prinsip pemerataan maka setiap pemelihara
sapi boleh memelihara maksimal X/K ekor sapi. Artinya bahwa setiap pemelihara
ruminansia mendapatkan kuota jumlah ternak ruminansia yang boleh
dipeliharanya. Apakah kuota itu dapat diterima dan dioperasionalkan oleh masing-
masing pengelola ternak kiranya dapat dipertanyakan. Hal ini dikarenakan bahwa
secara mendasar tiap individu petani-ternak mempunyai hak memutuskan jumlah
ternak yang ingin dipeliharanya. Selain itu, kuota tersebut dapat menjadi
penghambat untuk hadirnya peternak baru yang akan ikut menggembalakan sapi
pada kawasan dimaksud.

Pada kawasan peternakan rakyat yang mengoperasikan cara pemberian pakan


tebas-angkut maka petani-ternak menggunakan lahan-lahan marjinal milik umum
untuk mendapatkan hijauan. Memperhatikan kondisi ini maka problematik non-
teknis untuk perbaikan sumberdaya hijauan pada kawasan tebas-angkut adalah
relatif sama dengan di kawasan penggembalaan seperti telah dibicarakan diatas. Isu
standar penting yang harus diselesaikan terlebih dahulu untuk memperbaiki
sumberdaya hijauan dimaksud adalah siapa yang akan melakukan perbaikan
sumberdaya alam pakan hijauan yang tersedia dan siapa yang akan
memanfaatkannya serta bagaimana pengelolaannya.

Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa area rumput-rumputan introduksi


cukup banyak tersebar di kawasan peternakan rakyat ruminansia di pedesaan-
pedesaan Jawa. Hal itu memberikan kesan bahwa banyak petani-ternak yang
berminat membudidayakan hijauan pakan ternak. Petani-ternak dimaksud
menanam rumput tentunya pada lahan yang mereka miliki atau sewa. Namun area
budidaya rumput itu relatif sempit sehingga belum dapat mencukupi kebutuhan
pakan hijauan sepanjang tahun. Oleh sebab itu petani-ternak masih harus mencari
hijauan pada lahan-lahan marjinal milik umum atau membeli. Situasi itu adalah
akibat dari praktek petani-ternak memprioritaskan penggunaan lahan yang
dioperasikannya untuk budidaya tanaman pangan yang hasilnya dapat menjamin
konsumsi pangan rumahtangga. Budidaya rumput masih bukan merupakan
prioritas sepanjang akses petani-ternak terhadap sumberdaya hijauan milik umum
masih terjamin. Belum diprioritaskannya penanaman rumput itu kiranya juga
terkait dengan orientasi pemeliharaan ruminansia yang bukan sebagai sumber
pendapatan utama atau untuk mendapatkan keuntungan finansial seperti layaknya
usaha peternakan komersial. Petani-ternak dalam peternakan rakyat umumnya
memelihara ruminansia dengan orientasi menghasilkan pupuk kandang,
menyediakan tenaga kerja untuk mengolah lahan dan sebagai tabungan yang
sewaktu-waktu dapat dijual untuk memperoleh dana guna menjamin kesejahteraan
rumahtangga. Orientasi pemeliharaan semacam ini tidak terlalu menuntut adanya
pasokan pakan hijauan bermutu secara kontinyu sepanjang tahun. Petani-ternak
dengan orientasi seperti itu menerima dengan baik situasi adanya waktu-waktu
dimana pasokan pakan hijauan berkurang yang dimanifestasikan dengan
menurunnya tampilan produksi ternak mereka. Mungkin, sepanjang ternak mereka
dapat diberi pakan dan hidup maka hal itu sudah dapat memenuhi tujuan
pemeliharaan yang ada. Hal ini merupakan problematik budaya atau tradisi yang
tidak sejalan dengan konsep produksi ternak ruminansia untuk menghasilkan susu
dan atau daging secara maksimal untuk mencukupi permintaan pasar.

Telah disampaikan diatas bahwa pekerja tetap untuk panen mempunyai prioritas
akses pada limbah pertanian. Mereka umumnya adalah petani-ternak yang
memelihara ternak milik operator lahan pertanian secara gaduhan. Adanya status
ternak yang dipelihara sebagai gaduhan ini kiranya juga dapat menjadi salah satu
kendala untuk perbaikan sumberdaya hijauan maupun introduksi teknologi bidang
pakan ternak lainnya seperti amoniasi jerami padi atau penggunaan konsentrat.
Problematiknya juga cukup klasik yaitu siapa yang akan membiayai aplikasi
teknologi ; apakah penggaduh dan pemilik. Penggaduh yang status ekonominya
relatif rendah enggan melakukan investasi untuk teknologi atau perbaikan
sumberdaya hijauan pakan karena mereka harus mencurahkan waktu, bahkan
mungkin dana, untuk mengoperasikan teknologi namun sebagian hasilnya akan
dinikmati oleh pemilik ternak. Sebaliknya, pemilik ternak juga dapat enggan
melakukan investasi untuk teknologi dengan pemikiran bahwa sebagian hasilnya
akan dinikmati oleh pengaduh. Seandainya jalan keluarnya adalah bahwa pemilik
dan penggaduh harus berbagi membiayai teknologi maka berapa proporsi biaya
yang harus ditanggung masing-masing menjadi isu lain yang membutuhkan
penyelesaian. Opsi ini kiranya dapat menjadi tidak operasional jika penggaduh
yang status ekonominya relatif rendah harus menanggung beban yang sama dengan
beban yang ditanggung pemilik ternak.

6. Mempertahankan keberadaan sumberdaya hijauan


Peternakan ruminansia adalah kegiatan berbasis lahan. Kontinyuitas pasokan pakan
pokok ruminansia berupa hijauan dapat dijamin hanya jika lahan sumberdaya
hijauan tersedia dengan pasti. Kenyataan di Indonesia menunjukkan bahwa
ketersediaan lahan untuk produksi ruminansia dan juga pakan hijauan harus
bersaing dengan penggunaan lahan untuk pembangunan industri-industri berbasis
pertanian maupun non-pertanian yang semakin meningkat dan terus berlangsung
secara paralel dengan pertambahan jumlah penduduk. Pada daerah perkotaan,
pemekaran daerah pemukiman secara nyata berlangsung dengan mengorbankan
area-area pertanian produktif seperti sawah dan tegalan. Apabila area produktif
untuk tanaman pertanian sumber bahan pangan pokok dapat dikorbankan untuk
pembangunan infrastruktur dan perumahan maka mengorbankan area marjinal
yang hanya ditumbuhi rumput kiranya tidak mustahil dilakukan. Konversi lahan
pertanian produktif maupun lahan marjinal untuk aktivitas non-pertanian secara
otomatis akan berdampak pada berkurangnya ketersediaan lahan basis pakan untuk
produksi ternak ruminansia. Apabila kondisi itu berlangsung terus hingga tidak ada
lagi area yang tersisa untuk ditumbuhi hijauan pakan ternak maka produktivitas
aset nasional berupa ternak ruminansia otomatis juga akan sangat menurun. Untuk
mencegah terjadinya hal tersebut maka pemeliharaan sumberdaya hijauan pakan
ternak yang ada saat ini tentunya harus menjadi prioritas agar kebutuhan pakan
untuk industri ruminansia dimasa mendatang dapat diyakini tercukupi secara
bekelanjutan. Industri dimaksud kiranya akan tetap dibutuhkan oleh generasi-
generasi baru bangsa Indonesia mendatang.

Mempertahankan dan membangun sumberdaya hijauan pakan ternak juga


membutuhkan ketentuan hukum yang dapat melindunginya. Terkait hal ini terdapat
suatu Undang Undang yang menjadi payung hukum sumberdaya hijauan pakan
ternak yaitu Undang-undang Republik Indonesia No. 18 tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan. Undang-undang itu secara eksplisit menyatakan
perlunya lahan untuk peternakan. Hal tersebut dapat diikuti dari Bab III tentang
Sumberdaya, di Bagian satu tentang lahan, pasal empat yang menyatakan ”Untuk
menjamin kepastian terselenggaranya peternakan dan kesehatan hewan diperlukan
ketersediaan lahan yang memenuhi persyaratan teknis peternakan dan kesehatan
hewan”. Selanjutnya pada pasal lima, ayat satu, disebutkan ”Penyediaan lahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dimasukkan ke dalam tata ruang wilayah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, kemudian ayat dua
menyatakan ”Dalam hal terjadi perubahan tata ruang wilayah yang mengakibatkan
perubahan peruntukan lahan peternakan dan kesehatan hewan, lahan pengganti
harus disediakan terlebih dahulu di tempat lain yang sesuai dengan persyaratan
peternakan dan kesehatan hewan dan agroekosistem”. Isi pasal-pasal tersebut jelas
menyatakan bahwa eksistensi lahan merupakan faktor esensial untuk peternakan.
Ketersediaan lahan itu harus menjadi bagian tata ruang suatu wilayah yang kiranya
wajib dijaga oleh penyelenggara negara. Kewajiban itu tertulis pada pasal enam
ayat satu yaitu “Lahan yang telah ditetapkan sebagai kawasan penggembalaan
umum harus dipertahankan keberadaan dan kemanfaatannya secara berkelanjutan”
dan diperkuat oleh ayat tiga yang menyebutkan “Pemerintah daerah
kabupaten/kota yang didaerahnya mempunyai persediaan lahan yang
memungkinkan dan memprioritaskan budi daya ternak skala kecil diwajibkan
menetapkan lahan sebagai kawasan penggembalaan umum”. Adapun kewajiban
dari pemerintah daerah untuk menjaga eksistensi lahan untuk pemeliharaan
ruminansia tercermin dari pasal enam ayat lima yang menyatakan “Ketentuan lebih
lanjut mengenai penyediaan dan pengelolaan kawasan penggembalaan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan peraturan daerah
kabupaten/kota”.

Kehadiran Undang Undang yang menjamin lahan untuk peternakan tentunya


merupakan satu langkah maju yang patut dihargai. Melalui Undang Undang itu
maka keberadaan sumberdaya hijauan yang dapat diakses petani-ternak dalam
komunitas peternakan rakyat menjadi dijamin oleh negara yang dalam hal ini
diselenggarakan oleh pemerintah daerah Kabupaten atau Kota. Sangat diharapkan
bahwa dengan Undang Undang ini maka lahan sumberdaya pakan hijauan tidak
akan mengalami pengurangan akibat pembangunan infrastruktur atau pemekaran
wilayah perumahan dan industri.

Walaupun keberadaan lahan sumberdaya hijauan pakan ternak terjamin namun


penggunaannya kiranya masih tetap membutuhkan kesepakatan sosial yang
kondusif. Hal itu dikarenakan bahwa lahan pangonan yang dimaksud oleh Undang
Undang kiranya akan masih tetap bersifat lahan milik umum (common property).
Keberlanjutan akses petani-ternak pada lahan umum kiranya menuntut
terpeliharanya situasi kondusif dalam komunitas peternakan rakyat. Keadaan tidak
kondusif seperti konflik sosial antar warga patut untuk dihindari karena hal itu
dapat berakibat pada terganggunya akses masyarakat petani-ternak terhadap
hijauan pada lahan-lahan milik umum. Gangguan terhadap akses petani-ternak
pada sumberdaya hijauan milik umum itu dapat mengakibatkan keengganan untuk
memelihara ruminansia. Apabila keengganan itu terjadi maka lebih lanjut dapat
berakibat pada penurunan populasi ternak ruminansia. Memperhatikan hal itu
maka kerukunan sosial menjadi suatu faktor penting untuk menjamin keberlanjutan
sistem peternakan rakyat ternak ruminansia yang sudah ada hingga saat ini.
Kiranya patut diingat bahwa lebih dari delapan puluh persen produksi ternak
ruminansia di Indonesia berupa peternakan rakyat yang cara pengadaan pakannya
berbasis pada sumberdaya bersifat marjinal milik umum. Dapat dikatakan bahwa
industri ruminansia di Indonesia berbasis pada peternakan rakyat. Terkait dengan
hal ini maka stabilitas hubungan sosial di kawasan peternakan rakyat menjadi suatu
faktor penting yang perlu dijaga untuk keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya
hijauan serta sistem industri peternakan ruminansia di Indonesia berbasis pada
peternakan rakyat.

Daftar Pustaka.
Subagiyo, I., Wibowo, S.H., Wardoyo. 1984. Pemilikan Ternak dan Lahan Dalam
Kaitannya Dengan Suplai Hijauan Pakan Ternak Pada Daerah Usaha Peternakan
Sapi Perah di Kecamatan Nongkojajar. Nuffic-Unibraw. Miscellaneous Paper No.
26.

Ifar, S. 1996. Relevance of Ruminants in The Upland Mixed Farming Systems in


East Java, Indonesia. PhD Thesis. Wageningen Agricultural University.

Ifar, A.W. Solichin, H.M.J. Udo, G. Zemmelink. 1996. Subsitence Farmers's Acces
to Cattle Via Sharing in Upland Farming Systems in East Java, Indonesia. Asian-
Australasian Journal of Animal Sciences (AJAS) Volume 9 No. 2.

Palte, J.G.L. 1989. Upland Farming on Java, Indonesia: A Socio-economic Study


of Upland Agriculture and Subsistence Under Population Pressure. Netherlands
Geographical Studies No. 97. Utrecht.

Raffles, T.S. 1817. The History of Java. Cox and Baylis. London.
Diposkan oleh Crop Livestock Systems di 20.22 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke
FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Lecture-2
Rabu, 23 Maret 2011
PADANG RUMPUT DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK
Sejak ribuan tahun yang silam telah terdapat interaksi kuat antara budaya umat
manusia, ruminansia, rumput serta padang rumput. Pada masa sekarang, ilmu
pengetahuan mengidentikasi adanya berbagai jenis padang rumput dan jenis-jenis
rumput yang baik untuk produksi ternak ruminansia. Perkembangan itu didukung
oleh adanya nilai ekonomi dari padang rumput, aktivitas-aktivitas penelitian yang
sistematis dan adanya organisasi-organisasi yang secara konsisten memperhatikan
keberadaan padang rumput sebagai aset produksi peternakan ruminansia. Hal-hal
tersebut merupakan bagian dari uraian ini dengan tidak mengesampingkan bahwa
hijauan juga berperan dalam perkembangan budaya maupun pemeliharaan
lingkungan hidup yang menjamin stabilitas kesejahteraan manusia. Diskripsi
tentang jenis-jenis hijauan pakan ternak yaitu rumput, leguminosa dan limbah
pertanian juga disajikan secara cukup ekstensif.

1. Sebelum masehi
Istilah padang rumput kiranya bukanlah hal yang asing untuk masyarakat.
Mendengar istilah itu kiranya akan timbul imajinasi tentang suatu area luas dan
datar yang ditumbuhi rumput-rumputan serta, mungkin, dilengkapi segerombolan
sapi yang sedang merumput. Dokumentasi sejarah memang menyebutkan bahwa
hewan ruminansia, sebelum dijinakkan dan diternakkan oleh manusia untuk
diambil hasil-hasilnya adalah hidup dengan bebas merumput di padang rumput.

Disampaikan oleh Rifkin (1993) bahwa rumput-rumputan dan berbagai bentuk


padang rumput selain mempunyai peran sebagai sumber pakan/nutrisi untuk
mendukung kehidupan ternak ruminansia juga merupakan faktor penyebab
perubahan budaya pertanian diberbagai belahan dunia. Disampaikan bahwa salah
satu pusat perkembangan budaya pemeliharaan sapi pada berbagai wilayah dunia,
termasuk Eropa, adalah kawasan padang rumput alam yang disebut stepa Eroasia
(Eurasia steppes). Padang rumput alam ini sangat luas, terbentang antara Eropa
Timur dan Ukraina di Barat serta Mongolia dan Mancuria di Timur (lihat Gambar
2.1.). Ribuan tahun sebelum masehi, kawasan stepa itu didiami suku bangsa Kurga
yang bersifat nomadik. Setelah mampu menjinakkan kuda sehingga dapat
ditunggangi dan mengembangbiakkannya kemudian maka suku bangsa Kurga
mulai menjinakkan kawanan sapi. Lebih lanjut, jumlah pemilikan sapi menjadi
ukuran kesejahteraan anggota masyarakat suku bangsa Kurga. Pemeliharaan sapi
itu bertumpu pada ketersediaan rerumputan pada padang rumput alam yang dapat
diaksesnya sebagai sumber pakan yaitu stepa Eroasia. Karena stepa Eroasia secara
periodik mengalami kekeringan yang berakibat pada berkurangnya produksi
rumput maka suku bangsa Kurga harus melakukan ekspansi untuk mencukupi
pakan untuk sapi mereka yang jumlahnya menjadi semakin banyak. Sejak 4.400 –
4.300 tahun sebelum masehi, dengan menunggang kuda, orang-orang Kurga
bersama kawanan sapinya melakukan perjalanan mengikuti jalur-jalur padang
rumput alam kearah selatan hingga India, ke Timur hingga wilayah Cina, ke Utara
hingga kepulauan Balkan dan Skandinavia serta ke Barat hingga wilayah Spanyol
dan Inggris. Suku bangsa Kurga, seperti layaknya cowboy Amerika pada abad
sembilan belas mempunyai superioritas militer yang bertumpu pada kemampuan
mereka berkuda. Menggunakan kekutan militer itu suku bangsa Kurga menguasi
teritori padang rumput di daerah arid di kawasan empat musim. Pada teritorial itu
mereka sekaligus mengintroduksi budaya penggembalaan sapi dalam skala besar.
Suku-suku bangsa asli kawasan Eropa yang semula bercocok tanam untuk
kehidupannya, dengan adanya intervensi orang-orang Kurga kemudian berubah
menjadi peternak sapi. Hingga saat ini, memelihara sapi yang dilepas merumput di
padang rumput menjadi budaya bangsa-bangsa di Eropa.

Gambar 2.1. Peta daerah bentangan stepa Eroasia dari Hongaria disebelah Barat
hingga Manchuria disebelah Timur serta suasana stepa tersebut yang berupa
bentangan padang rumput luas

2. Padang rumput
Kenyataan menunjukkan bahwa rerumputan adalah komponen vegetasi yang
menutupi lebih dari setengah permukaan lahan didaerah tropis dan sub-tropis.
Adapun padang rumput (dalam bahasa Inggris disebut grassland) adalah tipikal
dataran terbuka atau lahan yang ditumbuhi rumput-rumputan tinggi atau rendah
disertai tanaman-tanaman semak dengan tidak ada atau ada sedikit tanaman perdu
serta pohon-pohonan. Biasanya, perdu dan/atau pohon-pohonan itu berada
disepanjang daerah aliran air hujan atau tempat penampungan air hujan. Apabila
jenis rumput yang tumbuh pada padang rumput bersifat endemik atau asli setempat
maka rumput itu disebut dengan rumput alam. Jenis padang rumput alam ini masih
dapat dijumpai di semua benua: Afrika, Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa,
Asia dan Australia. Disamping itu, terdapat pula padang rumput buatan yang
sengaja dibuat dengan menanam jenis-jenis hijauan pakan ternak hasil seleksi atau
pemuliaan tanaman yang bermutu.

2.1. Terminologi
Pada tahun 1966, Pratt, Greenway dan Gwynne mengusulkan penggunaan luas
kanopi (canopy cover) dari pohon-pohonan dan tanaman semak serta perdu sebagai
kriteria padang rumput. Usulan itu mendefinisikan padang rumput sebagai area
yang didominasi rumput-rumputan namun terdapat pula pohon-pohonan, tanaman
perdu serta semak secara menyebar atau mengelompok dengan luas kanopi tidak
lebih dari dua persen dari total area. Apabila kanopi dimaksud luasnya berada
diantara dua sampai dua puluh persen maka area tersebut didefinisikan sebagai
padang rumput bertanaman kayu-kayuan dan semak (bushed and wooded
grasslands). Definisi ini dapat diterima oleh kalangan ahli padang rumput seperti
disampaikan dalam pustaka bidang hijauan pakan ternak yang disusun oleh
misalnya Mannetje (1978) serta Crowder dan Chheda (1982). Namun, antar lokasi
atau ekologi dijumpai hamparan padang rumput dengan komposisi antara rumput,
semak dan pepohonan yang beragam hingga memerlukan terminologi tertentu
untuk menyebutnya seperti dibawah ini.

- Sabana. Kawasan yang disebut sabana adalah kawasan dengan vegetasi rumput-
rumputan serta tanaman berkayu. Dikenal pula sebagai ekosistem tanam-tanaman
berkayu. Ruang antar pohon cukup luas karena kanopi antar pohon tidak saling
menutup. Ruang antar kanopi yang terbuka itu memungkinkan sinar matahari
mencapai permukaan lahan untuk menunjang kehidupan rerumputan. Seringkali
sabana dijumpai sebagai bentuk transisi antara ekosistem hutan dan padang pasir.
Istilah sabana (dalam bahasa Inggris disebut savana) pertama kali digunakan pada
tahun 1535 oleh Oviedo dengan mengacu pada suatu kata dari bahasa Spanyol
zavana yang dipakai untuk menggambarkan area terbuka dengan lembah-lembah
yang ditumbuhi rerumputan sperti llanos yang ada di kawasan Venezuela (Crowder
dan Chheda, 1982).
- Stepa. Pada awalnya, istilah stepa (dalam bahasa Inggris disebut steppe)
digunakan untuk menyebut kawasan di Rusia dan Asia yang ditumbuhi vegetasi
yang tidak membutuhkan banyak air untuk hidupnya. Stepa secara fisik
mempunyai persamaan dengan Prairie dibenua Amerika. Perbedaanya adalah
bahwa prairie didominasi oleh jenis-jenis rumput yang tumbuh tinggi sedangkan
rumput pada kawasan stepa adalah jenis-jenis yang tumbuh pendek.
Memperhatikan jenis-jenis vegetasi pada dua jenis padang rumput diatas, Keay
(1959) membuat diskripsi bahwa sabana adalah area yang ditumbuhi rumput-
rumputan mesophytic (membutuhkan pasokan air medium), bersifat perennial dan
tingginya minimum 80 cm. Sedangkan stepa adalah area yang ditumbuhi rumput-
rumputan xerophytic (membutuhkan pasokan air rendah), bersifat perennial dan
tingginya kurang dari 80 cm. Kedua definisi itu sekaligus menunjukkan bahwa
sabana berada pada kawasan yang relatif lebih basah (semi-arid) dibandingkan
kawasan stepa yang relatif lebih kering (arid). Namun kemudian, Pratt dkk (1966)
menyatakan bahwa definisi dari Keay diatas tidak sesuai untuk kondisi Afrika
Timur karena berbagai padang rumput yang ada disana dapat digolongkan sebagai
stepa maupun sabana. Namun karena istilah sabana dan stepa sudah lama
digunakan dengan maksud untuk membedakan dua ekosistem padang rumput maka
kedua terminologi yang mempunyai nilai sejarah itu tidak mungkin dihilangkan
dari sistem padang rumput secara global. Berakar pada persoalan ini maka Pratt
dkk (1966) mendefinisikan padang rumput secara lebih universal seperti telah
disampaikan pada alinea pertama uraian ini.

Selain definisi padang rumput seperti yang disampaikan oleh Pratt dkk (1966)
diatas, terdapat definisi lain yang disampaikan oleh Mannetje (1978). Penulis yang
disebutkan terakhir itu mendefinisikan padang rumput sebagai suatu ekosistem
sumber pakan hijauan untuk ternak ruminansia. Kata ekosistem dalam pengertian
ini mengandung arti bahwa manusia berkepentingan dengan seluruh komponen-
komponen sistem padang rumput seperti tanah, tanaman, faktor-faktor iklim
pendukungnya serta ruminansia yang pakannya bergantung pada padang rumput
itu secara langsung atau tidak langsung. Ketergantungan ruminansia terhadap
padang rumput terjadi secara langsung pada sistem ekstensip dimana ternak
merumput (grazing) pada padang rumput. Sedangkan pada sistem intensif dimana
pemberian pakan dilakukan secara cut and carry maka ternak tidak berinteraksi
langsung dengan padang rumputnya.

2.2. Pertanian Padang Rumput


Jika tidak ada aktivitas ekonomi, padang rumput sebagaimana diuraikan diatas
hanya akan menjadi bagian kekayaan ekosistem dunia. Ternyata manusia
memanfaatkan kekayaan ekosistem itu untuk peningkatan kesejahteraannya.
Seperti telah disampaikan pada sub-bab 2.1. bahwa ribuan tahun sebelum masehi
stepa Ero-Asia telah dimanfaatkan sebagai basis kegiatan pemeliharaan sapi.
Ternak ini menjadi ukuran kesejahteraan masyarakat suku bangsa Kurga.
Disamping itu, kebutuhan akan padang rumput untuk memelihara sapi yang
menjadi semakin banyak telah mendorong suku bangsa Kurga untuk melakukan
ekspansi guna memperluas penguasaan teritorialnya. Setelah sapi dan budaya
pemanfaatan padang rumput meluas hingga ke Eropa maka terjadilah periode
intensifikasi pemanfaatan padang rumput. Tercatat dalam sejarah budaya
pemeliharaan sapi bahwa pada tahun 1800-an, bangsa Irlandia dan Skotlandia
melakukan investasi demi mengintensifkan pemanfaatan padang rumput yang
mereka miliki sebagai sarana memelihara sapi untuk memproduksi daging (Rifkin,
1993). Konsumen utama daging itu adalah orang-orang Inggris yang dikenal
sebagai konsumen paling fanatik di Eropa. Kemudian, pada tahun 1870-an para
imigran Inggris tercatat mulai memanfaatkan padang rumput yang ada di benua
Amerika untuk memelihara sapi dan menghasilkan daging. Dari waktu ke waktu,
kegiatan itu semakin berkembang sehingga para pengusaha Bank di Amerika,
investor dari Edinburg-Scotland dan para spekulator lokal melakukan investasi
secara besar-besaran. Padang rumput dipandang sebagai tambang emas karena
dengan investasi yang dilakukan itu dapat diproduksi daging untuk memasok
kebutuhan masyarakat Eropa, terutama Inggris. Sebagai upaya mendukung
transportasi sapi dan daging yang dihasilkan padang rumput Amerika untuk
dikirim ke konsumennya di Eropa maupun di Amerika sendiri maka dibangunlah
sarana jalur-jalur kereta api.

Adanya keuntungan yang diperoleh dari memanfaatkan


padang rumput untuk memelihara sapi dan menghasilkan daging seperti
disampaikan diatas telah mendorong terbentuknya suatu bentuk pertanian padang
rumput (grassland agriculture). Pertanian ini bertumpu pada tata-laksana
pemanfaatan lahan untuk budidaya rumput-rumputan dan leguminosa dalam
rangka usaha produksi ternak ruminansia. Usahatani padang rumput (grassland
farming) kemudian berkembang sebagai salah satu bentuk kegiatan manusia.
Tujuan kegiatan pertanian itu adalah memanfaatan padang rumput untuk
menyediakan pakan murah dalam bentuk rumput-rumputan, hoi atau silase. Usaha
itu tidaklah mudah karena ternyata sistem produksi padang rumput adalah cukup
kompleks apalagi, setelah manusia berkeinginan memanfaatkannya secara lebih
efisien. Berbagai persoalan yang berkembang dalam tatalaksana pemanfaatan
padang rumput kemudian membutuhkan penanganan secara ilmiah. Bagaimana
mendapatkan produksi hijauan yang bermutu dalam jumlah banyak dan bagaimana
memanfaatkannya secara optimal merupakan contoh dari persoalan padang rumput
yang memerlukan jawaban empiris. Situasi itu telah mendorong berkembangnya
ilmu pengetahuan tentang padang rumput (science of grassland). Ilmu ini
merupakan ramuan dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan yaitu dari kompleks
ilmu tanah, ilmu iklim, ilmu tanaman, ilmu ternak dan ilmu ekonomi. Ramuan
ilmu pengetahuan itu diharapkan bukan hanya dapat mendasari mekanisme
produksi ternak yang efisien namun juga sekaligus mampu menjaga mutu lahan
sehingga tercipta sistem pertanian/peternakan yang berkelanjutan (sustainable
animal agriculture systems).

Disampaikan diatas bahwa faktor keuntungan dari kegiatan produksi daging


berbasis pada padang rumput telah mendorong berkembangnya pertanian padang
rumput (grassland agriculture). Secara formal, The American Forage and
Grassland Council, pada tahun 1959, mendefinisikan pertanian padang rumput
sebagai pemanfaatan rumput dalam pertanian secara tepat guna (the proper use of
grass in agriculture). Pada masa sekarang, pertanian padang rumput tidak hanya
membudidayakan rumput namun juga leguminosa. Integrasi kedua jenis tanaman
itu dalam pertanian padang rumput memberikan berbagai manfaat untuk petani
serta masyarakat luas. Manfaat itu meliputi hal-hal seperti terlindunginya tanah
dari erosi oleh air dan/atau angin, tersedianya pakan bermutu yang murah untuk
ternak ruminansia dan juga satwa liar, tersedianya habitat yang baik untuk satwa
liar (seperti halnya pada taman-taman safari) serta terjaganya kesuburan lahan
karena bahan organik lahan mengalami penambahan secara lebih berkelanjutan.

Perkembangan manajemen padang rumput (grassland) sebagai basis produksi sapi


lebih lanjut melahirkan terminologi lain yaitu pastura (pasture). Adapun yang
dimaksud dengan terminologi ini adalah lahan pada suatu unit usahatani atau ranci
(ranch) yang ditumbuhi vegetasi untuk dirumput ternak ruminansia. Pada tahun
1990-an dimana teknologi manajemen pastura semakin berkembang maka batas
pastura antar tiap unit usahatani semakin jelas dengan adanya pagar listrik
(electronic fence). Pastura semakin berkembang dinegara-negara yang maju
peternakannya seperti Amerika, Australia dan negara-negara di Eropa. Melalui
manajemen pastura yang bertujuan mendapatkan produksi ternak tinggi maka
padang rumput alam diperbaiki dengan melakukan introduksi jenis-jenis hijauan
yang unggul dari segi mutu maupun kuantitas produksinya disertai tata-laksana
pengelolaan lahan dan pengairan.

2.3. Riset dan Organisasi Pengembangan Padang Rumput


Padang rumput telah lama dirasakan sebagai bagian kehidupan yang memberikan
berbagai manfaat untuk pengelolanya serta masyarakat luas. Walaupun demikian
peningkatan pemanfaatannya dirasa perlu terus-menerus dikembangkan untuk
mendapatkan efisiensi sistem produksi ternak ruminansia yang lebih baik.
Diperkirakan pada abad enam belas peternak di Inggris mulai memperbaiki padang
rumput alam dengan rumput-rumput hasil seleksi. Hal ini diikuti dengan mulai
diterapkannya teknik pembuatan padang rumput campuran antara rumput dan
leguminosa pada abad tujuh belas. Seratus tahun kemudian, pola ley farmingyaitu
penggunaan lahan secara bergantian untuk produksi tanaman pangan dan rumput
diterapkan. Pemupukan padang campuran rumput dan leguminosa mulai dilakukan
pada sekitar tahun 1880-an.

Pengembangan teknik-teknik produksi padang rumput semakin menuntut


dukungan riset yang sistematis. Secara formal tercatat bahwa riset terkait dengan
bidang padang rumput dan pastura dimulai dengan pendirian Agricultural
Research Station di Rothamsted pada tahun 1843. Kemudian, penelitian
pemupukan pada pastura di Jerman dilakukan pada abad sembilan belas. Tercatat
berikutnya bahwa riset dalam bidang nutrisi ternak yang merumput di padang
rumput dimulai di Rowett Research Institute di Skotlandia pada tahun 1914. Riset
dalam bidang pemuliaan hijauan pakan ternak tercatat dimulai tahun 1919
olehWelsh Plant Breeding Station di Aberystwyth, Inggris.

Pada tahun 1920, para ilmuwan yang bekerja di negara-negara Eropa Utara dan
Eropa Tengah mendorong berdirinya International Grassland Congress.
Organisasi ini secara berkesinambungan berupaya mendorong interaksi antara
ilmuwan dan teknisi untuk perbaikan tatalaksana pemanfaatan dan peningkatan
produksi padang rumput. Hingga saat ini organisasi ini selalu aktif melakukan
pertemuan-pertemuan international. Jiwa untuk mengembangkan padang rumput
demi kepentingan umat manusia diungkapkan dalam website milik The
International Grassland Congress (2006) sebagai berikut “to promotes
interchange of information on all aspects of natural and cultivated grasslands and
forage crops for the benefit of mankind, including sustained development, food
production and the maintenance of biodiversity”. Selain organisasi yang
berkembang di Eropa seperti disampaikan diatas, di benua Amerika berkembang
The American Forage and Grassland Council. Organisasi berperan
mempromosikan riset dan pendidikan dalam bidang hijauan pakan ternak dan
efisiensi pemanfaatan padang rumput. Ada pula organisasi yang didirikan sekitar
tahun 1970-an dengan nama International Rangeland Congress yang berupaya
untuk meningkatkan pengetahuan dan apresiasi pemanfaatan ekosistem padang
rumput alam (rangeland) untuk kepentingan masyarakat luas. Adapun di Amerika
selatan berkembang lembaga riset dengan nama Centro Internacional de
Agriculture Tropical (CIAT). Lembaga ini, bekerjasama dengan Food and
Agriculture Organization (FAO) menyajikan website berisi profile dari lebih 600
species hijauan pakan ternak jenis rumput maupun leguminosa. Melalui website ini
(http://www.fao.org/ag/agp/agpc/doc/gbase/default.htm) dapat diketahui diskripsi
tiap jenis hijauan pakan ternak disertai dengan foto.

Sama dengan yang terjadi di Eropa dan Amerika, di Australia berkembang


organisasi yang mempromosikan riset dan pendidikan untuk pengembangan
padang rumput yang menamakan diri The Tropical Grassland Society. Organisasi
ini secara konsisten membiayai riset, kongres, penerbitan jurnal hasil-hasil
penelitian serta newsletter yang terkait dengan pengembangan hijauan pakan
ternak serta padang rumput. Disamping itu, lembaga riset Australia
yaituCommonwealth Scientific and Industrial Research Organization (CSIRO)
mengintroduksikan berbagai jenis hijauan ke Australia pada tahun-tahun antara
1930 sampai 1950. Riset untuk seleksi dan pemuliaan yang dilakukan lembaga ini
menghasilkan berbagai kultivar atas species-species hijauan pakan ternak yang
berasal dari Afrika.

Kecuali website yang memuat diskripsi berbagai jenis hijauan pakan ternak
tersebut diatas, pada saat ini upaya pengembangan dan peningkatan hijauan pakan
ternak serta pastura tropika juga difasilitasi oleh hadirnya website bernamaTropical
Forages (http://www.tropicalforages.info). Website ini adalah hasil kerjasama
berbagai lembaga yang berkecimpung dalam promosi serta riset hijauan pakan
ternak dan/atau pertanian padang rumput serta lembaga donor yang menaruh
perhatian dalam bidang itu yaitu FAO, CIAT, CSIRO, ILRI (International
Livestock Research Institute) dan DFID (Department for International
Development). Australian Centre for International Agricultural
Research serta Department of Primary Industires and Fisheries of the Queensland
Government.

3. Hijauan Pakan Ternak


Sejalan dengan kegiatan manusia untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya
dari ternak ruminansia, padang rumput alam diperbaiki mutunya dengan
melakukan introduksi jenis-jenis tanaman unggul sebagai hijauan pakan ternak.
Pastura, pada umumnya dikembangkan dengan membudidayakan jenis-jenis
rumput dan leguminosa pakan ternak yang unggul dari segi kualitas dan
produksinya. Hal itu dapat dilihat secara nyata pada peternakan ruminansia
berbasis pastura seperti yang ada di Australia, Amerika atau Eropa. Pola
peternakan ekstensif pada negara-negara itu umumnya bersifat monokultur.
Seorang peternak sapi potong atau sapi perah atau kambing, dapat dikatakan
bahwa pendapatannya sepenuhnya bergantung pada usaha peternakannya itu.
Lahan yang mereka miliki atau kuasai, dialokasikan secara khusus untuk produksi
ternak ruminansia. Untuk itu, lahan sepenuhnya digunakan untuk budidaya jenis-
jenis rumput dan/atau leguminosa pakan ternak hasil seleksi yang mempunyai
manfaat secara spesifik untuk ruminansia.

Berbeda dengan situasi diatas, pada kawasan pertanian campuran (mixed


farming) dimana ruminansia umumnya dipelihara secara intensip seperti halnya di
Jawa, Bali dan Madura, maka lahan yang dimiliki atau dikuasai oleh petani-ternak
umumnya diprioritaskan untuk budidaya tanaman pangan dan/atau tanaman
industri. Apabila ada diantara petani-ternak membudidayakan hijauan pakan ternak
maka hal itu dilakukan pada lahan-lahan marjinal seperti galengan sawah atau
tegalan, tanah miring atau datar yang kondisi fisik atau kesuburan lahannya tidak
layak untuk budidaya tanaman pangan dan/atau tanaman industri. Ternak
ruminansia diberi pakan secara zero grazing. Apabila kepada petani-ternak
ditanyakan tentang jenis pakan hijauan yang diberikan kepada ternak ruminansia
yang mereka pelihara maka umumnya mereka menyatakan bahwa ternak mereka
diberi pakan rumput. Tetapi, jika komposisi botani dari hijauan yang diberikan
kepada ternak diamati secara detil akan teridentifikasi bahwa rumput yang
dimaksud meliputi juga daun daunan tanaman semak atau pohon-pohonan serta
limbah pertanian seperti jerami padi, jerami jagung dan pucuk tebu.

Situasi diatas menunjukkan bahwa hijauan pakan ternak pada kawasan pertanian
campuran lebih beragam daripada di kawasan pastura. Beragam jenis hijauan itu,
oleh masyarakat petani-ternak di pedesaan di Jawa disebut dengan satu kata yaitu
rumput. Penyebutan beragam jenis vegetasi dengan istilah rumput juga dilakukan
ditingkat akademisi dan peternak negara-negara maju. Sebagai contoh, istilah
padang rumput yang dalam bahasa inggris disebut grassland sebenarnya tidak
menunjukkan suatu area yang hanya ditumbuhi rumput-rumputan saja. Kenyataan
menunjukkan bahwa padang rumput juga ditumbuhi beragam jenis vegetasi
termasuk rumput, leguminosa, tanaman semak maupun pohon-pohonan. Untuk
tidak terjebak dengan persoalan semantik, jenis-jenis hijauan yang dimanfaatkan
sebagai pakan ternak ruminansia atau hijauan pakan ternak pada kawasan yang
berbasis pada pastura, padang rumput atau pada kawasan dengan pemberian pakan
secara zero grazing dapat dikelompokkan atas rumput, leguminosa, daun-daunan
dan limbah pertanian.

Sebelum membicarakan lebih lanjut tentang masing-masing jenis hijauan pakan


ternak, terlebih dahulu akan disampaikan berbagai terminologi dalam pustaka-
pustaka asing yang seringkali membingungkan pembacanya. Terminologi tersebut
hadir sebagai hasil aktivitas manusia memanfaatkan padang rumput alam hingga
menjadi pastura yang difasilitasi oleh riset dan teknologi. Adapun terminologi
dimaksud yaitu:
- Forage. Terminologi ini menunjuk pada bagian-bagian tanaman yang dapat
dimakan oleh ternak (edible parts of plants) dengan cara dirumput (grazing) atau
dipanen sebagai pakan (zero grazing). Namun, biji dari tanaman dimaksud tidak
termasuk dalam pengertian forage.
- Herbage. Adapun yang dimaksud dengan herbage adalah biomasa tanam-
tanaman semak yang berada diatas tanah tempat tumbuhnya serta akar yang dapat
dimakan ternak dan umbi. Biji dari tanaman dimaksud tidak termasuk dalam
pengertian herbage.
- Browse. Adapun yang dimaksud dengan terminologi ini adalah daun dan tangkai
daun tanam-tanaman perdu, woody vines, pohon, kaktus serta vegetasi bukan
semak yang dapat dikonsumsi oleh ternak.
- Fodder. Terminologi ini menunjukkan jenis-jenis rumput kasar seperti jagung
serta sorghum yang dipanen saat daunnya masih hijau (segar) bersama-sama
bijinya dan mengalami perlayuan dilapangan sebelum semuanya diberikan kepada
ternak.
- Residue. Adapun yang dimaksud dengan residue adalah forage yang tinggal
dilahan pertanian sebagai konsekuensi dari panen tanaman.
- Silage. Adapun yang dimaksud dengan silage adalah forage yang diawetkan
dalam keadaan segar. Pengawetan dilakukan pada kondisi an-aerob atau kedap
udara.
- Hay. Adapun yang dimaksud dengan hay adalah rumput atau jenis tanaman lain
yang dipanen kemudian dikeringkan dan digunakan sebagai pakan ternak.
- Haylage. Adapun yang dimaksud dengan haylage adalah produk dari pembuatan
silase dengan kadar air sekitar 45%.
Selanjutnya, definisi dari rumput dan leguminosa disampaikan secara lebih
ekstensif seperti dapat diikuti dari uraian pada sub-bab dibawah ini.

3.1. Rumput
Rumput tergolong dalam Famili Gramineae yaitu tanaman monokotiledon (bijinya
terdiri atas satu kotiledon atau disebut juga berkeping satu). Struktur rumput relatif
sederhana, terdiri dari akar yang bagian atasnya silindris dan langsung
berhubungan dengan batang. Batangnya berbuku, helai daunnya keluar dari
pelepah daun (sheath) pada buku batang. Malai rumput terdiri atas beberapa bunga
yang nantinya menghasilkan biji. Hampir semua rumput adalah tanaman herba
(tidak berkayu) sedangkan ukuran, bentuk dan pola tumbuhnya sangat beragam.

Asal usul rumput sebagai suatu jenis tanaman spesifik belum diketahui dengan
pasti. Sejarah mencatat bahwa rumput sudah menjadi vegetasi di dunia sejak 20
juta tahun yang lampau. Penyebaran rumput pada seluruh benua mengalami
akselerasi pada jaman es Pleistocene sekitar satu juta tahun yang lalu.
Penyebarannya pada beragam lingkungan serta persilangan-persilangan yang
terjadi secara alamiah menyebabkan rumput-rumputan semakin beragam. Melalui
sistem klasifikasi tanaman yang dimiliki para ilmuwan bidang sistimatika
tumbuhan dapat diidentifikasi bahwa pola distribusi rumput-rumputan mempunyai
hubungan dengan distribusi iklim dunia. Pengelompokan genus dan species secara
regional dapat dilakukan. Kehadiran suatu jenis rumput pada kawasan tertentu
dianggap sebagai jenis asli kawasan itu. Hingga saat ini dikenal tiga kawasan
sebagai asal dari jenis-jenis rumput budidaya yaitu kawasan Ero-Asia, Afrika
Timur dan Amerika Selatan. Kawasan Ero-Asia tengah dan Mediteran dikenal
sebagai asal-usul berbagai species rumput temperate (empat musim). Sedangkan
rumput-rumput tropika yang dikenal berasal dari Afrika meliputi species-species
Adropogon, Brachiaria, Cenchrus, Chloris, Cynodon, Dichantium, Digitaria,
Eragrostis, Hyparrhenia, Melinis, Panicum, Pennisetum, Setaria, Sorghum dan
Urochloa. Sedangkan species-species yang dikenal berasal dari Amerika Selatan
adalah Axonopus, Paspalum, Tripsacum dan Zea.

Terdapat lebih dari 600 genus dan lebih dari 10.000 species rumput didunia ini
namun hanya sekitar puluhan sampai ratusan species yang dibudidayakan manusia.
Diantara berbagai species itu, yang paling populer di Indonesia adalah rumput
gajah (Pennisetum purpureum). Rumput ini memang paling menonjol
dipromosikan untuk dibudidayakan di kawasan pertanian campuran dimana lahan
yang dapat dialokasikan untuk menanam rumput relatif sempit. Pada satu unit
lahan maka rumput gajah memberikan biomasa yang besar dibandingkan jenis
rumput lain. Hal itu dikarenakan rumput itu tumbuh tegak dan tinggi, mencapai 1,5
meter, sehingga jumlah biomasa per unit tanamannya lebih tinggi daripada jenis-
jenis rumput yang tumbuh pendek. Pada Gambar 2.2. dapat dilihat bahwa rumput
gajah dapat melebihi tinggi manusia jika dibiarkan lama tidak dipotong atau
dipanen.
Gambar 2.2. Tanaman rumput gajah (Pennisetum purpureum) yang populer
dibudidayakan sebagai pakan hijauan untuk ruminansia di ndonesia

3.1.1 Sebagai Bahan Pangan


Kehadiran rumput didunia tidak hanya bermanfaat untuk kehidupan ruminansia.
Interaksi rumput dengan manusia secara langsung telah menjadikan rumput
sebagai bagian dari budaya pangan manusia. Dahulu kala, diperkirakan sebelum
13.000 tahun yang silam, manusia masih hidup secara nomadik. Migrasi yang
dilakukan manusia dari satu lokasi ke lokasi lain juga disertai dengan proses
mengumpulkan biji dari beragam jenis tanaman untuk dibawa sebagai persediaan
pangan. Sebagian besar biji tanaman yang dikumpulkan itu berasal dari rumput-
rumputan (Crowder dan Chheda, 1992). Beberapa jenis tanaman itu mengalami
perkawinan silang pada lingkungan barunya sehingga menambah keragaman jenis
tanaman penghasil pangan. Dalam perkembangan budaya manusia, sekitar 11.000
tahun yang silam, seleksi mulai dilakukan terhadap jenis-jenis tanaman yang paling
disukai manusia untuk dikembangkan demi mengamankan ketersediaan pangan
mereka. Proses ini menghasilkan jenis-jenis tanaman pangan seperti sorgum
(Sorghum), bulrush millet (Pennisetum americanum), finger millet (Eleusine
coracana), teff (Eragrostis abyssinia) di Afrika; padi (Oryza sativa) di Asia;
gandum (Triticum spp), rye (Secale cereale) dan barley (Hordeum spp) di Euro-
Asia serta jagung (Zea mays) di Amerika.

Budidaya jenis-jenis rumput sebagai tanaman pangan mulanya dilakukan dengan


pola berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lain sehingga budidaya dapat
selalu dilakukan pada lahan yang subur (slash and burn agriculture). Hal ini,
kecuali dapat menjamin produksi butiran untuk pangan juga memfasilitasi
penyebaran dan kehadiran jenis-jenis rumput lain. Karena, setelah biji tanaman
pangan dipanen untuk pangan kemudian lahan tempat tumbuhnya ditinggalkan
untuk berpindah ke lahan lain maka lahan yang ditinggalkan secara alamiah akan
ditumbuhi rumput-rumputan semusim, diikuti rumput-rumputan tahunan dan
kemudian tanaman-tanaman berkayu. Rumput-rumputan ini menjadi sumber pakan
alamiah untuk ruminansia.

Setelah melewati masa pola kehidupan mengumpulkan dan berburu (hunting and
gathering) untuk menjamin keamanan pangan kemudian pada periode antara
11.000 sampai 10.000 tahun yang lalu, pola hidup manusia yang nomadik mulai
berubah menjadi semi-menetap (Reed, 1969; Flannery, 1969). Pola hidup semi-
menetap atau menetap itu menuntut penangkaran dan budidaya tanaman pangan.
Hewan herbivora yang mulanya merumput bebas pada padang rumput alam yang
terbentuk akibat perladangan berpindah juga harus ditangkar agar dapat dipelihara
ditempat tertentu sehingga tidak mengganggu/ memakan tanaman pangan yang
sedang tumbuh pada lahan pertanian sampai bijinya dapat dipanen. Dengan
demikian, proses penangkaran hewan diperkirakan juga berlangsung pada kurun
waktu dimana orang mulai melakukan budidaya tanaman pangan secara semi-
menetap atau menetap. Selama proses penangkaran, hewan herbivora dipelihara
dengan diberi pakan rumput-rumputan, daun-daunan tanaman semak atau pohon-
pohonan serta daun dan batang limbah tanaman pertanian. Bahan-bahan dengan
ligno-selulosa tinggi ini tidak bersaing dengan kebutuhan konsumsi manusia dan
justru ternak herbivora dapat mengubahnya menjadi bahan-bahan yang dibutuhkan
manusia seperti susu, daging, kulit dan wool.

3.1.2. Sebagai Bahan Pakan


Telah disingung pada berbagai sub-bab diatas tentang adanya interaksi antara
rumput, padang rumput dan ruminansia sejak masa silam hingga saat ini. Padang
rumput alam di Eropa, Asia, Amerika dan Australia secara tradisional telah
menjadi sumber pakan ruminansia yang merumput di padang itu. Investor yang
berupaya mendapatkan keuntungan dengan memanfaatkan padang rumput alam
untuk memproduksi daging atau susu melakukan investasi memperbaiki
produktivitas padang rumput alam. Hal ini difasilitasi pula oleh riset yang
memungkinkan efisiensi tatalaksana pemanfaatan padang rumput serta seleksi
jenis-jenis rumput yang sesuai untuk dibudidayakan dalam rangka peningkatan
produktivitas. Sejalan dengan hal ini berbagai jenis rumput telah terseleksi dari
kawasan Ero-Asia, Afrika dan Amerika Selatan (lihat alinea 2 sub-bab 2.3.1.)
untuk dibudidayakan secara khusus dalam rangka menunjang peningkatan
produksi ternak ruminansia.
Tidak banyak dari belasan atau puluhan ribu species rumput yang kemudian
terpilih menjadi jenis-jenis rumput budidaya. Untuk tujuan memperbaiki padang
rumput alam, membangun pastura ataupun untuk keperluan pemuliaan hijauan
pakan ternak terdapat karakteristik yang diharapkan dari jenis-jenis rumput
ataupun leguminosa yang akan diseleksi. Karakteristik harapan itu dapat bersifat
umum atau spesifik. Adapun karakter harapan yang spesifik itu bergantung pada
situasi kondisi tertentu dimana rumput atau leguminosa terseleksi akan
dimanfaatkan. Sedangkan karakter yang secara umum diharapkan dari rumput atau
leguminosa adalah mampu berproduksi tinggi dengan kualitas baik, persisten,
mampu ber-asosiasi dengan jenis-jenis hijauan lain serta mudah untuk
dikembangbiakkan. Karakteristik tersebut pada akhirnya harus dapat memberikan
produksi ternak yang tinggi. Adapun diskripsi dari masing-masing karakter itu
adalah:
1. Kemampuan Produksi dan Kualitas Tinggi. Artinya, bahwa hijauan mampu
menghasilkan bahan kering yang tinggi, toleran terhadap cekaman air, temperatur
tinggi ataupun rendah, mempunyai tingkat kecernakan dan palatabilitas tinggi
sehingga dapat dikonsumsi ternak dalam jumlah tinggi pula.
2. Persisten. Berbeda dengan tanaman pangan maka hijauan pakan ternak, rumput
atau leguminosa, diharapkan untuk lebih permanen pada pastura. Untuk itu maka
mereka diharapkan untuk tahan terhadap pemotongan normal ataupun
penggembalaan, mampu menghasilkan biji, tahan kekeringan, temperatur ekstrim
dan api serta tahan terhadap penyakit dan serangan hama
3. Mampu berasosiasi dengan species lain. Berbagai pastura seringkali dibangun
dengan mencampur rumput dan leguminosa dengan tujuan menyediakan hijauan
berkualitas tinggi secara kontinyu, menyediakan ransum seimbang dalam hal
protein, energi dan mineral serta menekan kebutuhan pupuk nitrogen dengan
memanfaatkan transfer nitrogen dari leguminosa pada rerumputan. Terkait dengan
hal ini, beberapa faktor yang relevan dengan kemampuan ber-asosiasi yang perlu
diperhatikan adalah sifat tumbuh tanaman (membelit, merayap atau vertikal),
kemampuan berkompetisi atas unsur hara ataupun sinar matahari, mempunyai
palatabilitas baik dan mempunyai respon yang positip terhadap pemotongan
4. Mudah dikembangbiakkan. Meskipun diketahui berbagai jenis rerumputan
ataupun leguminosa dapat dikembangbiakkan dengan stek ataupun sobekan
rumpun (secara vegetatip) tetapi kemampuannya untuk menghasilkan biji perlu
mendapatkan perhatian. Hal tersebut untuk memastikan adanya regenerasi tanaman
seandainya terjadi keadaan alamiah yang tidak diharapkan seperti musim kering
yang panjang dan memungkinkan pembuatan padang rumput baru melalui cara
generatip. Apabila kemampuan hijauan pakan ternak menghasilkan biji adalah
buruk maka kemungkinan akan menimbulkan beberapa masalah seperti mahalnya
harga biji tanaman itu dan kegiatan seleksi serta pemuliaan dapat terhambat karena
biji yang tersedia untuk evaluasi hanya sedikit.

Untuk setiap kawasan selalu dijumpai jenis-jenis rumput yang dapat beradaptasi
dengan kondisi setempat. Beberapa jenis rumput budidaya yang sesuai untuk
kawasan dengan iklim tropika basah adalah Brachiaria mutica, Cynodon dactylon,
Digitaria decumbens, Melinis minutiflora, Pennistem clandestinum, Pennisetum
purpureum, Paspalum dilatatum, Paspalum plicatulum dan Setaria anceps.
Adapun untuk kawasan tropika kering maka terdapat jenis-jenis rumput budidaya
seperti Cenchrus ciliaris, Chloris gayana, Panicum coloratum, Panicum maximum,
Panicum antidotale.

3.2. Leguminosa
Leguminosa adalah tanaman dikotilledon (bijinya terdiri dari dua kotiledon atau
disebut juga berkeping dua). Famili tanaman leguminosa terbagi atas tiga sub-
famili yaitu Mimosaceae, Caesalpinaceae dan Papilionaceae. Mimosaceae adalah
tanaman perdu berkayu dengan bunga biasa sedangkan Caesalpinaceae mempunyai
bunga irregular. Adapun Papilionaceae adalah tanaman semak berkayu dengan
bunga papilionate atau berbentuk seperti kupu. Antar jenis leguminosa terdapat
perbedaan morfologi. Umumnya, sistem perakaran leguminosa terdiri atas akar
primer yang aktif dan mempunyai cabang-cabang sebagai akar sekunder. Akar
primer (tap root) tumbuh jauh kedalam tanah. Sistem perakaran itu umumnya
terinfeksi oleh bakteri dari species Rhizobium sehingga terbentuk bintil-bintil atu
nodul-nodul akar. Antara bakteri dan tanaman leguminosa terjadi simbiose
mutualistik. Untuk pertumbuhannya, bakteri menggunakan Nitrogen yang diserap
dari udara dan kemudian populasi bakteri yang mati menjadi sumber Nitrogen
untuk pertumbuhan tanaman leguminosa.

Sama seperti rumput, asal-usul leguminisa tidak diketahui dengan pasti. Fosil
tertua menunjukkan bahwa leguminosa, bersama rumput, hadir didunia sejak lebih
dari seratus tiga puluh juta tahun yang lalu, pada era mesozoic periode cretaceous
pada jaman neocomian. Bentuk dasar leguminosa yang ada saat itu seperti pohon-
pohon tropika. Kemudian, interaksinya dengan dengan mamalia primitif pada era
itu (seperti Dinosaurus) yang bersifat browser (meramban daun pepohonan) serta
injakan mamalia besar itu membuat pohon leguminosa mengalami penurunan
populasi dan evolusi. Struktur tanaman ini mengalami modifikasi menjadi tanaman
semak, tanaman pemanjat berkayu, tanaman musiman dan akhirnya menjadi
tanaman tahunan (Semple, 1970). Tanaman leguminosa ini tersebar diseluruh
benua namun tidak pernah menjadi tanaman yang dominan pada suatu kawasan
seperti layaknya rumput. Apabila rumput secara alamiah dapat menjadi tanaman
dominan pada suatu kawasan sehingga membentuk padang rumput (grassland)
tetapi, tidak ada suatu kawasan didunia yang dapat disebut sebagai padang
leguminosa (legumelands). Mungkin karena ada tenggang waktu yang lama
(sekitar 110 juta tahun) sejak hadirnya rumput di dunia (yaitu sekitar 130 juta yang
silam) dan baru digunakan oleh ruminansia pada jaman Miocene, sekitar 20 juta
tahun yang lalu (Stewart, 1956). Tenggang waktu itu memungkinkan rumput
tumbuh baik dan menyebar disemua bagian dunia. Sabana di Afrika saat ini,
misalnya, ditumbuhi rumput secara lebih merata walaupun pada sabana itu terdapat
juga pohon dan semak leguminosa. Umumnya jumlah leguminosa di padang
rumput tidak lebih dari 10 persen dari jenis-jenis tanaman di padang itu.

Seperti halnya rumput, melalui proses seleksi yang dilakukan manusia terhadap
biji-bijian sejak budaya hidup masih secara nomadik hingga menetap maka
sebagian jenis-jenis leguminosa berkembang menjadi bahan pangan. Jenis-jenis
leguminosa pangan yang kita kenal saat ini adalah seperti Glycine max, Arachis
hypogea, Vigna sinensis.

Peran penting dari leguminosa tropika sebagai hijauan pakan untuk pastura
maupun pakan ternak ruminansia baru mendapatkan perhatian sejak tiga dekade
yang lalu. Sebelum kurun waktu itu, ilmuwan lebih memperhatikan jenis-jenis
leguminosa temperate seperti species-species dari genus Medicago, Trifolium,
Vicia dan Melilotus. Melalui riset maka dari benua Afrika mulai dikenal manfaat
jenis-jenis leguminosa tropika seperti dari genus Glycine, Vigna, Indigofera,
Dolichos dan Alysicarpus. Sedangkan dari kawasan Amerika tropis dikenal jenis-
jenis leguminosa pakan ternak seperti dari genus Calopogonium, Centrosema,
Desmodium, Leucaena, Phaseolus, Stylosanthes dan Teramnus.

Pada masa silam, sejak jaman kekaisaran romawi, tanaman pohon atau perdu telah
dimanfaatkan manusia sebagai pakan ternak dengan cara dipotong dan daunnya
diberikan kepada ternak atau ternak dibiarkan meramban. Namun, manfaat penting
tanaman berkayu itu sebagai pakan ternak hanya diketahui kemudian (Baumer,
1992). Sebagai misal, perdu leguminosa Gliricidia maculatadan Gliricidia
sepium telah di-introduksi ke Afrika pada akhir abad kedelapan belas sebagai
tanaman naungan untuk perkebunan tanaman teh, kopi dan cokelat. Namun
manfaat penting kedua jenis leguminosa itu sebagai pakan hanya dikenal sejak
beberapa dekade yang lalu setelah diketahui bahwa daunnya mengandung 20-30%
protein kasar, 14% serat kasar dengan kecernaan antara 50 sampai 70%.

3.3. Daun-daunan
Adapun yang dimaksud dengan daun-daunan dalam sub-bab ini adalah daun-
daunan dari tanaman yang tidak tergolong sebagai jenis tanaman yang secara
konvensional dikenal sebagai hijauan pakan ternak seperti rumput-rumputan
ataupun leguminosa. Mereka dapat tergolong sebagai tanaman buah-buahan
ataupun tanam pohon dikawasan hutan. Penggunaan daun-daunan ini umumnya
dapat diamati dikawasan pertanian intensif dinegara-negara tropis, khususnya pada
musim kemarau yang merupakan periode dimana jenis-jenis hijauan pakan ternak
konvensional sulit didapatkan. Adapun beberapa jenis daun-daunan yang dimaksud
misalnya berasal dari tanaman alpukat (Persea sp), nangka (Artocarpus sp) serta
pisang (Musa sp). Jenis-jenis pohon yang daunnya dilaporkan digunakan sebagai
pakan ruminansia di kawasan asia meliputi Erythrina variegata, Ficus (F.
exasperata, F. bengalnensis, F. religiosa), Albizia lebbeck, Tamarindus indica,
Cajanus cajan (Devendra, 1990).

3.4. Limbah tanaman pertanian


Limbah tanaman pertanian yang dimaksud dalam sub-bab ini adalah bagian-bagian
dari tanaman yang dibudidayakan setelah produk utamanya dipanen untuk
kepentingan manusia. Khususnya pada kawasan tropis dimana pemeliharaan
ruminansia dilakukan oleh mereka yang mengoperasikan sistem pertanian
campuran maka petani-ternak pada kawasan itu juga memanfaatkan limbah
tanaman pertanian yang dibudidayakannya sebagai pakan untuk ternak ruminansia
mereka. Adapun jenis-jenis limbah tersebut beragam antar lokasi, tergantung pada
jenis tanaman pertanian yang dibudidayakan setempat. Pada kawasan Asia-Pasifik,
jenis-jenis limbah pertanian itu meliputi jerami padi, jerami kacang tanah, jerami
kacang kedelai, tebon jagung, jerami sorghum, daun ketela pohon, daun ketela
rambat, daun talas dan pucuk tebu. Jenis-jenis limbah dimaksud selaras dengan
jenis-jenis tanaman pertanian yang umum dibudidayakan.

Sejalan dengan penggunaan limbah pertanian seperti dimaksud diatas, petani


ternak juga mengembalikan kotoran ternak yang dihasilkannya ke lahan pertanian
sebagai pupuk. Kondisi itu menjadikan pola pertanian campuran pada sebagian
besar kawasan tropis bersifat terintegrasi antara tanaman dan ternak dengan tujuan
memaksimumkan sumberdaya pada tingkat rumahtanggatani (Schiere dan Kater,
2001). Integrasi semacam itu akhir-akhir ini menjadi semakin populer dikawasan
empat musim sebagai bagian sistem pertanian yang disebutNew Conservation
Agriculture.

Khususnya untuk jenis tanaman jagung, pada kawasan tropika, menghasilkan tebon
jagung setelah buah jagungnya dipanen untuk konsumsi manusia. Oleh petani-
ternak, tebon jagung dapat langsung diberikan kepada ternak dalam keadaan segar
atau terlebih dahulu dikeringkan matahari menjadi hoi (hay) kemudian disimpan
dan diberikan kepada ternak pada saat musim paceklik pakan (umumnya terjadi
pada musim kemarau). Pada berbagai negara dikawasan empat musim, tanaman ini
justru dibudidayakan sebagai hijauan pakan ternak. Tanaman jagung dipanen
sekaligus bersama buahnya untuk diberikan kepada ternak ruminansia sebagai
sumber zat makanan dan energi. Jenis tanaman ini juga dibudidayakan untuk
diawetkan dalam bentuk segar yang disebut silase untuk digunakan sebagai pakan
pada musim dingin (winter). Saat itu ternak tidak dapat merumput di padang
rumput yang bersalju dan harus dikandangkan dan diberi pakan silase jagung.

4. Apresiasi terhadap rumput


Masyarakat agraris seharusnya dapat menghargai pentingnya rumput dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagian besar pangan nabati seperti beras, jagung atau
kacang tanah adalah produk vegetasi kelompok rumput dan leguminosa. Bahan
pangan seperti daging, susu, keju, sosis daging sapi, es krim, yoghurt, kefir, susu
pasturisasi, susu bubuk, susu kental manis atau butter juga tidak akan hadir dalam
sistem pangan tanpa rumput. Wool dan kulit sebagai bagian budaya manusia
adalah hasil dari interaksi ruminansia dan rumput. Boleh dikatakan bahwa
memperkenankan ruminansia mengkonsumsi hijauan kiranya adalah pilihan
terbaik yang telah dilakukan peradaban manusia untuk memanfaatkan jenis-jenis
vegetasi yang tidak dapat dimanfaatkan manusia sebagai pangannya. Pilihan itu
memungkinkan bahan-bahan ligno-selulosik dikonversi menjadi produk-produk
yang berguna untuk kesejahteraan umat manusia.

Masyarakat konsumen modern mengenal daging dan susu serta segala bentuk
olahannya sebagai produk dari ternak ruminansia. Namun, kelompok masyarakat
ini umumnya tidak mengenal peran vital rumput untuk keberlanjutan sistem
produksi ternak ruminansia. Apresiasi pada rumput dan jenis hijauan pakan ternak
lainnya kiranya hanya dijumpai di pedesaan dimana masyarakat petani-ternak
terkonsterasi. Apabila populasi masyarakat ini semakin menurun seperti yang
terjadi di Amerika atau Belanda (dimana masyarakat petaninya hanya sekitar dua
persen) maka proses bagaimana produk-produk peternakan dihasilkan tidak lagi
dikenal oleh masyarakat konsumennya. Rumput untuk masyarakat konsumen
modern lebih dipersepsi sebagai asesoris keindahan lingkungan dalam bentuk
taman dan tempat rekreasi atau justru vital sebagai komponen sarana olahraga
seperti golf dan sepak bola. Keberadaan rumput seperti itu memang secara nyata
dihadapi dan dinikmati sehari-hari oleh masyarakat konsumen modern.

Peran vital jenis-jenis hijauan pakan ternak terhadap lingkungan sebenarnya tidak
hanya terbatas pada keindahan lingkungan sebagaimana dipersepsi oleh
masyarakat konsumen modern. Pendekatan akademik menunjukkan bahwa
komunitas jenis-jenis hijauan pakan ternak, dalam proses respirasinya,
menghasilkan oksigen yang menjamin kontinyuitas pasokan udara segar didunia.
Disamping itu, komunitas hijauan pakan ternak juga berkemampuan melindungi
lahan dari proses erosi akibat siraman air atau hembusan angin. Jenis-jenis
leguminosa pakan perdu seperti Gliricidia sp atau Leucaena sp, berpotensi
dimanfaatkan sebagai penahan angin (wind breaker) atau naungan yang
memberikan kenyamanan tempat tinggal. Secara umum dapat disimpulkan bahwa
rumput dan leguminosa bukan saja potensial sebagai pakan ruminansia namun juga
berperan, atau dapat diperankan, untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dan
kesejahteraan manusia.

Tidak mudah mengukur nilai ekonomi dari jenis-jenis hijauan yang tumbuh secara
alamiah dan yang sengaja dibudidayakan pada sebagian besar permukaan lahan di
Indonesia. Jika kontribusi sektor peternakan pada tahun 2002 bernilai sekitar 8,3
triliun rupiah maka sebagian tentunya dihasilkan dari sistem produksi ternak
ruminansia yang sampai saat ini masih belum optimal dalam hal pemanfaatan
sumberdaya pakan hijauan yang tersedia. Pada tahun yang sama, sekitar 60%
ruminansia di Indonesia berada di pulau Jawa yang luasnya hanya sekitar 7% dari
luas wilayah. Padahal, data statistik tahun 1999 menunjukkan bahwa luas area
padang rumput yang potensial digunakan sebagai basis produksi ternak ruminansia
di Kawasan Indonesia Timur diperkirakan tiga kali lipat dari yang tersedia di pulau
Jawa (Ifar dan Bambang, 2002). Jika sumberdaya ini dimanfaatkan secara optimal,
tentunya nilai ekonomis lahan rumput yang kosong dan idle itu akan meningkat.
Lebih lanjut, jika total produksi ternak ruminansia yang hidup dari padang rumput
alam atau buatan, termasuk tenaga kerja dan pupuk yang dihasilkannya dihitung
maka boleh diyakini bahwa padang rumput yang saat ini kosong dan idle itu adalah
sumberdaya bernilai tinggi dan sekaligus merupakan potensi ekonomi untuk masa
depan. Sejarah perkembangan produksi ternak ruminansia di Eropa, Amerika dan
Australia menunjukkan bahwa lahan berupa padang rumput alam yang dianggap
tidak produktif untuk pertanian tanaman ternyata adalah aset bernilai ekonomi
tinggi untuk produksi ternak ruminansia.

Daftar Pustaka
Crowder, L.V. and Chheda, H.R. 1982. Tropical Grassland Husbandry. Longman
Inc. New York.

Flannery, K.V. 1969. Origin and Ecological Effects of Early Domestication in Iran
and The Near East. In P.J. Ucko and G.W. Dimbleby (eds). The Domestication and
Exploitation of Plants and Animals. Gerald Duckworth. London, pp 12-100.
Ifar,S dan Bambang, A.N. 2002. Potensi dan Prospek Usaha Peternakan Sapi
Potong di Kawasan Timur Indonesia (KTI) Dalam Kerangka Pengembangan
Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET). Semiloka Strategi Pengembangan KAPET
di Kawasan Timur Indonesia dalam Menghadapi Era Global, 5-6 Juli, Universitas
Brawijaya.

Keay, R.W.J. 1959. Vegetation Map of Africa South of The Tropic of Cancer.
Oxford Univ. Press. London.

Mannetje, L.’t. 1978. The Role of Improved Pastures for Beef Production in The
Tropics. Trop. Grassland 12, 1-9

Pratt, D.J., Greenway, P.J. and Gwynne, M.D, 1966. A Classification of East
African Rangeland, With An Appendix on Terminology. J. Appl. Ecol. 3, 369-382

Rifkin, J. 1993. Beyond Beef. The Rise and Fall of The Cattle Culture. Penguin
Books USA Inc. New York.

Reed, C.A. 1969. The Pattern of Animal Domestication in the Prehistoric Near
East. In P.J. Ucko and G.W. Dimbleby (eds). The Domestication and Exploitation
of Plants and Animals. Gerald Duckworth: London, pp: 261-380

Ruthenberg, H. 1980. Farming Systems in The Tropics. Clarendon Press. Oxford.

Schiere, H dan Kater, L. 2001. Mixed Farming Systems. Mixed Crop-Livestock


Farming, A Review of Traditional Technologies. An FAO Report Based on
Literature and Field Experiences. FAO Rome.

Stewart, O.C. 1956. Fire as The First Great Force Employed by Man. In H.L.
Thomas (ed). Man’s Role in Changing the Face of the Earth. Univ. Chicago Press.
Pp: 115 -133.
Diposkan oleh Crop Livestock Systems di 03.00 1 komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke
FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Lecture-1
Posting LamaBeranda
Langganan: Entri (Atom)
Arsip Blog
 ▼ 2011 (3)
o ▼ Maret (3)
 TENTANG BLOG INI
 PADANG RUMPUT DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK
 PEMANFAATAN SUMBERDAYA HIJAUAN
Agribisnis Peternakan

Saya :
Crop Livestock Systems
Malang, Jawa Timur, Indonesia
Lihat profil lengkapku
Pengikut
Template Watermark. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai