Anda di halaman 1dari 21

23

MODUL II

MODEL PEMBANGUNAN EKONOMI PERTANIAN DAN


PERANAN PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI

2.1 PENDAHULUAN
Deskripsi singkat
Modul ini membahas mengenai model dalam teori pembangunan pertanian.
Selanjutnya, dijelaskan kontribusi utama sektor pertanian, pertanian sebagai sektor
pemimpin, dan peternakan sebagai salah satu sumber pertumbuhan baru.

Kompetensi khusus
Mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskan model dalam teori
pembangunan pertanian. Selain itu, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan
kontribusi utama sektor pertanian. Mahasiswa diharapkan juga mampu menjelaskan
tentang pertanian sebagai sektor pemimpin dan peternakan sebagai salah satu sumber
pertumbuhan baru.

2.2 PENYAJIAN
Uraian materi dalam modul ini yaitu:
 Model dalam teori pembangunan pertanian
 Kontribusi utama sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi
 Pertanian sebagai sektor pemimpin
 Peternakan sebagai salah satu sumber pertumbuhan baru

2.2.1 Model dalam Teori Pembangunan Pertanian

Untuk memahami peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu


negara secara keseluruhan, perlu dibedakan antara pertanian di negara maju dan di negara
sedang berkembang (NSB). Kedudukan dan peran pertanian sektor pertanian akan sangat
berbeda performansmya antara pertanian yang maju dan pertanian yang belum maju
24

(tradisional atau subsisten). Di negara maju, proses integrasi ekonomi dan sosial antara
sektor pertanian dan sektor ekonomi lainnya telah terjadi secara hampir sempurna,
usahatani yang dijalankan sudah bersifat bisnis, dan petani berperilaku sebagai pengusaha
(businessman). Integrasi sektor pertanian tersebut berupa keterkaitan ke belakang
(backward linkage) dengan semua sektor penyedia sarana produksi pertanian dan
keterkaitan ke depan (foreward linkage) dengan semua sektor pengguna produk pertanian.
Semua sektor berorientasi komersial dan memiliki akses informasi yang cukup baik.
Selain itu, petani mudah terjangkau oleh jaringan pelayanan finansial, pemasaran, badan
penasehat/pembina, dan badan penelitian pemerintah/swasta. Secara umum, keadaan
petani tidak lebih buruk daripada penduduk dalam sektor lainnya, bahkan mempunyai
kelebihan lainnya dalam hal kebebasan individu, kenyamanan tinggal di pedesaan,
lingkungan alamiah dan bersih, serta kehidupan sosial yang rukun dan damai.

Sebaliknya, di negara berkembang dengan pertanian tradisionalnya justru


memiliki tingkat integrasi yang lemah atau terbatas dengan sektor ekonomi lainnya
(terlebih dengan industri). Pertanian tradisional merupakan ciri umum dari usahatani di
negara dengan pertanian yang dominan dalam bidang pekerjaan (terkait penyerapan
tenaga kerja), tetapi tidak selalu dominan dalam pendapatan nasional (terkait pendapatan
dari sektor pertanian). Kondisi sektor pertanian tidak uniform atau sangat bervariasi
dalam kondisi ekonomi dan sosialnya.

Dalam pertanian semi-subsisten, petani menghasilkan sebagian produk untuk


konsumsi sendiri dan sebagian lagi untuk dipasarkan (dijual). Surplus produk yang dijual
ke pasar merupakan kelebihan dari konsumsi keluarga (sering disebut sebagai market
surplus), kecuali untuk cash crop. Tujuan utamanya bukanlah semata-mata untuk
memaksimumkan keuntungan, melainkan jaminan keamanan ekonomi dengan
meminimumkan risiko usahatani.

Tentunya, sangat diharapkan agar terjadi perubahan pertanian suatu negara dari
yang tradisional/subsisten menjadi semi-subsisten dan mencapai maju/modern sebagai
tujuan ideal. Namun, pada kenyataannya pembangunan pertanian suatu negara tidak
selalu identik dengan pertanian modern di negara maju, karena terdapat berbagai tujuan
antara yaitu untuk peningkatan produksi, pemerataan konsumsi, dan sebagainya.
25

Oleh karena itu, berdasarkan tujuan atau dampak yang ingin dicapai, maka
terdapat beberapa model pembangunan pertanian yang menjadi dasar untuk menentukan
apakah pertanian suatu negara sudah berkembang atau maju, seperti yang dikemukakan
Hayami & Ruttan (1971, 1985) dan Ruttan (1984) yaitu:
1. the resource exploitation atau the frontier
2. the conservation
3. the locationalatau the urban industrial impact
4. the diffusion
5. the high pay-off input
6. the induced agricultural development atau induced innovation.

The resource exploitation model menggambarkan naiknya produksi karena adanya


peluang pasar baru (vent for surplus yang dicetuskan Hla Myint), namun dalam kondisi
tidak ada perkembangan teknologi atau teknologi tetap. Produksi yang meningkat terjadi
hanya karena adanya pembukaan lahan baru (ekstensifikasi). Di masa depan, model ini
sangat sulit dikembangkan dan menjadi dasar pembangunan pertanian, karena semakin
terbatasnya ketersediaan sumber daya lahan. Ketiadaan teknologi dan degradasi kualitas
lahan tentunya akan berdampak pada menurunnya secara gradual produktivitas lahan dan
tenaga kerja pertanian. Di sini akan terlihat bahwa sumber daya lahan dan tenaga kerja
akan mengalami eksploitasi berlebihan untuk produksi yang tidak mengalami peningkatan
yang signifikan. Akibatnya, model ini tidak sustainable khususnya terkait dengan
pemanfaatan lahan.

The conservation model mengutamakan pemeliharan kesuburan tanah dengan


kombinasi ternak dan tanaman. Model ini memanfaatkan hubungan timbal-balik di antara
kedua komoditas, dimana ternak memanfaatkan produk tanaman sebagai pakan.
Sebaliknya, tanaman memanfaatkan sisa produk ternak sebagai pupuk untuk peningkatan
produksi. Dengan demikian, terjadi suatu siklus tetap di antara kedua usahatani tersebut.
Bentuk ini sangat menekan biaya produksi dan menciptakan pendapatan rata-rata yang
baik. Namun, model ini tidak menghasilkan pertumbuhan yang tinggi, yaitu hanya sekitar
1.0 persen, sehingga tidak dapat memecahkan masalah kekurangan pangan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat di NSB.
26

The urban industrial impact model atau the locational model mengutamakan
pengaruh permintaan pasar dari sektor industri pada pembangunan pertanian. Semakin
maju industri yang menggunakan produk pertanian sebagai bahan baku proses
produksinya, maka semakin banyak dibutuhkan produk pertanian. Dengan demikian,
sektor pertanian harus mampu memproduksi bahan baku lebih banyak dan memenuhi
permintaan pasar industri tersebut. Hubungan yang kuat antara kedua sektor ini menjadi
suatu indikator berkembangnya sektor pertanian dan kemajuan perekonomian suatu
negara. Model ini dapat berbentuk sektor pertanian menjadi pendukung sektor industri
atau sebaliknya sektor industri menjadi pendukung sektor pertanian, yang penting ada
keterkaitan atau ketergantungan satu sama lainnya. Integrasi sektor pertanian berupa
keterkaitan ke belakang (backward linkage) dengan semua sektor penyedia sarana
produksi pertanian dan keterkaitan ke depan (foreward linkage) dengan semua sektor
pengguna produk pertanian merupakan suatu keharusan untuk kesesuaian dan
keberhasilan model ini.

The diffusion model mengutamakan tingkat penyebaran dan pemanfaatan


teknologi dan cara-cara bertani yang lebih produktif. Masalahnya adalah bahwa ada
perbedaan yang besar antar petani, daerah dan negara; sehingga sangat mempengaruhi
kecepatan proses difusi inovasi itu sendiri. Dalam hal ini tentunya peranan community
development program sangat berperan atau menentukan keberhasilan ataupun kegagalan
dalam mempercepat proses modernisasi dan pertumbuhan.Ketekunan para tutor
pendidikan dan pelatihan serta kemampuan mentransfer ilmu dan teknologi oleh para
penyuluh pertanian sebagai ujung tombak proses difusi inovasi sangat menentukan
keberhasilan adopsi teknologi. Fakta menunjukkan bahwa kurangnya pembinaan dan
pendampingan yang serius dan terus menerus dari para penyuluh di lapangan telah
memberikan kontribusi terhadap berbagai kegagalan adopsi teknologi baru.

The high pay-off input model mulai dikembangkan setelah hasil penelitian TW
Schultz (1964) dalam bukunya “Transforming Traditional Agriculture” menyatakan
bahwa petani di NSB yang kecil dan miskin, ternyata secara ekonomi rasional dalam
mengalokasikan pada keadaan ketersediaan sumber daya dan teknologi yang ada. Hal ini
terkenal dengan ungkapan pendek atau istilah rational but poor. Pemikiran dalam buku
ini mengakibatkan terjadinya perubahan besar ke arah investasi public sector dalam
27

penelitian pertanian untuk menghasilkan berbagai teknologi unggul, pendidikan/pelatihan,


dan penyuluhan pertanian yang lebih efektif. Kondisi ini sangat penting untuk
menyiapkan masyarakat tani mengadopsi teknologi baru hasil penelitian dan industri
penghasil input pertanian. Hal inilah yang dikenal sebagai high pay-off input model yang
menghasilkan revolusi hijau pada akhir dasawarsa 1960-an.

The induced agricultural development model yang dikembangkan Hayami &


Ruttan (1971, 1985) mengemukakan bahwa ada berbagai arah perkembangan teknologi
untuk pertumbuhan pertanian yang disesuaikan dengan keadaan tersedianya sumber daya
yang ada (resource endowment) dan bahwa harga relatif antar faktor produksi dapat
mengarahkan penelitian ke arah perkembangan teknologi yang paling efisien. Dengan
demikian, negara atau daerah dengan keadaan ketersediaan sumber daya (resource
endowment) yang berbeda akan mempunyai arah dan memerlukan teknologi yang
berbeda pula.

The sustainable development model yang dicetuskan Dixon & de Los Reyes
(1990) dan FAO (1990) yang memberikan perhatian besar pada kelestarian dan
pengelolaan sumber daya alam. Akibatnya, istilah sustainability banyak diadopsi dalam
berbagai disiplin ilmu sesuai tingkat kesesuaian dan kepentingannya. Konsep
sustainability (berkelanjutan) ini berasal dari kekhawatiran para pakar ekolog mengenai
akibat jangka panjang dari tekanan yang terus menerus dan meluas terhadap natural
support system. Konsep ini juga menyatakan adanya saling keterkaitan antara alam dan
aspek sosial-ekonomi-budaya.Sustainable development (pembangunan berkelanjutan)
adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan
kebutuhan generasi yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan adalah pengelolaan
dan pengawetan/konservasi sumber daya alam dan orientasi teknologi dan kelembagaan
sedemikian rupa sehingga dapat menjamin kebutuhan manusia secara kontinyu atau
berkesinambungan untuk generasi masa kini dan masa mendatang.

Pembangunan berkelanjutan tidak hanya menekankan pada pelestarian sumber


daya alam, melainkan juga pada pertumbuhan produksi dan pendapatan jangka panjang.
Dapat dianalogkan sebagai optimasi berkendala (constrainted optimization) untuk
memaksimumkan manfaat dengan kendala pemeliharaan natural resource base (Dixon
28

&de Los Reyes 1990). Kegagalan sustainability terjadi apabila terdapat perbedaan antara
social cost dan private cost dari pengguna sumber daya atau diseconomics externalities.

2.2.2 Kontribusi UtamaPertanian dalam Pembangunan Ekonomi


Sektor pertanian di NSB merupakan salah satu sektor ekonomi paling potensial
dengan empat kontribusi utamanya terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
nasional (Kuznets 1964), yaitu:

2.2.2.1. Kontribusi produk


Kuznets (1964) mengembangkan suatu analisis terkait kontribusi outputatau
produk dari sektor pertanian terhadap pertumbuhan PDB, dengan melihat bagaimana
keterkaitan antara pangsa output dari sektor pertanian terhadap pertumbuhan PDB dengan
hasil dari pangsa awalnya dan laju pertumbuhan relatif dari produk-produk neto pertanian
dan non-pertanian. Fakta menunjukkan bahwa ekspansi dari sektor ekonomi non
pertanian sangat tergantung pada produk-produk dari sektor pertanian, bukan saja untuk
kelangsungan pertumbuhan suplai makanan, tetapi juga untuk penyediaan bahan baku
untuk keperluan kegiatan produksi khususnya di sektor-sektor non pertanian, terutama
industri pengolahan (seperti industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian jadi,
barang dari kulit, dan farmasi.

Bank Dunia (1980) melakukan studi di sejumlah NSB dengan memakai formula
Kuznets dan hasilnya mendukung data hipotetis yaitu bahwa pangsa output dari sektor
pertanian dalam PDB menurun mengikuti waktu sebagai suatu konsekuensi dari
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Pangsa tersebut berkorelasi terbalik dengan
tingkat pembangunan ekonomi yang diukur dalam bentuk produk nasional bruto (PNB)
atau PDB per kapita.

Laju tertinggi dari penurunan peranan relatif sektor pertanian dalam ekonomi
cenderung berasosiasi dengan kombinasi dari tiga hal berikut yakni: a) pangsa awal dari
output non pertanian yang relatif lebih tinggi daripada pangsa awal dari output pertanian,
b) laju pertumbuhan output pertanian yang relatif lebih rendah, dan c) laju pertumbuhan
output dari sektor-sektor non pertanian yang relatif tinggi (yang membuat suatu
29

perbedaan positif yang besar antara pangsa output non pertanian dengan pangsa output
pertanian).

Di dalam suatu ekonomi yang sedang berkembang, dimana pendapatan per kapita
meningkat, pertumbuhan output di sektor pertanian dapat diharapkan lebih rendah
dibandingkan pertumbuhan output di sektor non pertanian dengan tiga alasan (Ghatak dan
Ingersent, 1984):

1. Pertama,elastisitas pendapatan dari permintaan untuk makanan dan produk-produk


pertanian lainnya pada umumnya lebih kecil dibandingkan dengan permintaan untuk
produk-produk non pertanian, sesuai efek Angel.
2. Kedua, sesuai kemajuan ilmu pengetahuan dan inovasi teknologi di pertanian, petani
menjadi semakin tergantung pada input-input yang dibeli dari sektor-sektor ekonomi
non pertanian. Ini disebut efek perubahan struktur sumberdaya dari pertanian.
3. Ketiga, karena permintaann terhadap jasa-jasa pemasaran di luar kegiatan pertanian
(seperti distribusi, penyimpanan, dan pengolahan) lebih elastis daripada permintaan
terhadap produk-produk pertanian di tingkat petani, maka pangsa pengeluaran
makanan pada harga eceran menurun dengan bertambahnya waktu (disebut efek
urbanisasi)

2.2.2.2. Kontribusi pasar


Di negara seperti Indonesia dengan proporsi populasi pertanian (petani dan
keluarganya) yang sangat besar, maka sektor pertanian merupakan sumber yang sangat
penting bagi pertumbuhan pasar dalam negeri bagi sektor-sektor non pertanian,
khususnya industri. Pengeluaran petani untuk produk-produk industri baik barang-barang
konsumsi (pakaian, meubel, alat bangunan, dan peralatan rumah tangga) maupun barang-
barang produksi (pupuk, pestisida, mesin, alat pertanian, dan input lain) memperlihatkan
satu aspek yang sangat penting dari kontribusi pasar sektor pertanian terhadap
pembangunan ekonomi (melalui diversifikasi sektoral).
Tentu peranan sektor pertanian lewat kontribusi pasarnya terhadap diversifikasi
dan pertumbuhan output dari sektor-sektor non pertanian itu sangat tergantung pada dua
faktor penting yang dapat dianggap sebagai prasyarat yaitu:
30

1. Pertama, dampak dari keterbukaan ekonomi dimana pasar domestik tidak hanya diisi
oleh barang-barang buatan dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri (impor). Industri
dalam negeri menghadapi persaingan dari barang impor. Dengan perkataan lain,
pertumbuhan konsumsi petani yang tinggi tidak menjamin adanya pertumbuhan yang
tinggi di sektor-sektor non pertanian di dalam negeri.
2. Kedua, jenis teknologi yang digunakan di sektor pertanian sangat menentukan tinggi
rendahnya tingkat mekanisasi atau moderenisasi dari sektor tersebut. Permintaan
terhadap barang-barang produksi dari sektor pertanian tradisional lebih kecil (baik
dalam jumlah maupun komposisinya menurut jenis barang) dibandingkan permintaan
dari sektor pertanian moderen. Pertanian tradisional tidak memakai (memerlukan)
traktor dan pupuk buatan pabrik (non organik), hanya memakai pacul dan alat
pertanian sederhana lainnya.

2.2.2.3. Kontribusi faktor-faktor produksi


Ada dua faktor produksi yang dapat dialihkan (ditransfer) dari sektor pertanian ke
sektor-sektor non pertanian, tanpa harus mengurangi volume produksi (produktivitas) di
sektor pertanian, yaitu faktor tenaga kerja dan modal(Ghatak dan Ingersents, 1984).
1. Pertama, tenaga kerja. Kajian mencoba membuktikan (paling tidak secara teoritis)
bahwa secara absolut banyaknya tenaga kerja di sektor pertanian tidak akan menurun
sampai pada suatu titik di mana laju pertumbuhan tenaga kerja di sektor non pertanian
melewati tingkat pertumbuhan jumlah tenaga kerja, disebut titik balik. Titik balik ini
dalam pertumbuhan tenaga kerja di sektor pertanian dapat dijelaskan dengan suatu
perhitungan sederhana. Kesimpulan pertama bahwa lebih gampang bagi suatu negara
untuk mencapai pertumbuhan tenaga kerja nol persen di sektor pertanian, jika jumlah
tenaga kerjadi sektor non pertanian sudah mencapai suatu pangsa yang relatif besar,
dibandingkan apabila pertanian masih merupakan sektor yang dominan dalam
penyerapan tenaga kerja. Jadi, di banyak NSB kondisi titik balik tidak mungkin
dicapai selama pembangunan ekonomi belum mencapai suatu tahap ‘akhir’
(kematangan). Kesimpulan kedua, semakin tinggi laju pertumbuhan jumlah tenaga
kerja, semakin sulit mencapai titik balik yang dimaksud di atas. Implikasinya,
semakin tinggi laju pertumbuhan populasi semakin sulit kondisi tersebut tercapai.
31

2. Kedua, modal. Modal yang bisa ditransfer dari sektor pertanian ke sektor non
pertanian adalah yang bersumber dari market surplus (MS) sektor pertama tersebut.
MS dapat didefinisikan sebagai surplus produk dikali dengan harga jual. Transfer
modal dari sektor pertanian bisa dalam berbagai bentuk dan menurut Yamada (1997)
ada dua sumber arus modal yakni ‘government-based flows’ dan ‘market-based
flows’. Arus government-based dibedakan menjadi transfer langsung dan tidak
langsung. Transfer langsung misalnya berupa pajak ekspor terhadap komoditas ekspor
tertentu, investasi pemerintah di sektor tersebut, dan kredit pertanian yang diberikan
bank pemerintah. Transfer tidak langsung adalah hasil dari kebijakan harga, kebijakan
perdagangan, dan intervensi terhadap komoditas tertentu vis-a-vis produsen.
Selanjutnya, arus market-based yang juga dibedakan atas dua jenis yakni lewat bank
komersial dan investasi langsung oleh sektor pertanian di sektor non pertanian. Lewat
bank diihitung dari perbedaan antara jumlah deposito di bank dari sektor pertanian
dan jumlah kredit dari bank ke sektor pertanian. Perbedaan antara deposito dan
pinjaman dari bank komersial di kawasan pertanian dapat memberikan suatu ide
umum mengenai besarnya transfer modal dari sektor pertanian berdasarkan
mekanisme pasar.

Apakah dalam realitas transfer modal dari sektor pertanian ke sektor non pertanian
akan berpengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan nasional? Jawabannya
tergantung pada pola alokasi dan jenis investasi di dalam sektor penerima dan sistem
distribusi pendapatan di dalam ekonomi. Efek positifnya hanya akan ada apabila
transfer tersebut dilakukan secara efisien ke sektor yang produktif atau digunakan
untuk investasi yang tidak hanya menghasilkan keuntungan pribadi yang tinggi, tetapi
juga sangat menguntungkan masyarakat luas (tidak hanya menguntungkan sektor
penerima atau perusahaan pelaksana investasi itu sendiri), dan didukung oleh suatu
sistem distribusi pendapatan di dalam ekonomi yang relatif seimbang. Jadi, adanya
efek positif dari alokasi modal dari pertanian terhadap ekonomi secara keseluruhan,
sangat tergantung pada mekanisme dari alokasi di dalam sektor dan mekanisme dari
alokasi antarsektor. Kedua mekanisme alokasi ini terkait satu sama lainnya (Ranis
dkk, 1990).
32

Di Indonesia keterkaitan investasi antara sektor pertanian sektor non pertanian sangat
lemah. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan terutama mengingat Indonesia adalah
negara agraris, sehingga sektor pertanian harus menjadi sumber utama modal investasi
di sektor-sektor lain. Tetapi, agar peranan sektor pertanian dapat direalisasikan, ada
beberapa kondisi yang harus dipenuhi terlebih dahulu (Griffin, 1979) yaitu: Pertama,
petani harus menjual sebagian dari output-nya keluar sektornya atau harus ada surplus
pasar (MS) dari produk pertanian. Kedua, petani harus merupakan penabung netto,
yakni pengeluaran mereka untuk konsumsi harus lebih kecil daripada produksi/
pendapatan mereka. Ketiga, tabungan petani harus lebih besar daripada kebutuhan
investasi di sektor pertanian.

2.2.2.4. Kontribusi devisa


Kontribusi sektor pertanian di suatu negara terhadap pendapatan devisa adalah
lewat pertumbuhan ekspor dan/atau pengurangan impor negara tersebut atas komoditas
pertanian. Tentu, kontribusi sektor itu terhadap ekspor juga bisa bersifat tidak langsung.
Misalnya lewat peningkatan ekspor atau pengurangan impor produk-produk berbasis
pertanian, seperti makanan dan minuman, tekstil dan produk-produknya, barang-barang
dari kulit, ban mobil, obat-obatan, dan lain-lain.

Tetapi, peranan sektor pertanian sebagai sumber pendapatan devisa bisa


berlawanan dengan peranannya sebagai kontributor terhadap pasar domestik (konsumen
dan produsen). Suplai dari pertanian ke pasar domestik bisa menjadi kecil karena
sebagian besar dari hasil produksinya diekspor. Dengan perkataan lain, usaha memenuhi
kebutuhan pasar dalam negeri bisa menjadi suatu faktor penghambat bagi pertumbuhan
ekspor pertanian. Untuk menghindari gejala trade-off ini, maka ada dua hal yang perlu
dilakukan di sektor pertanian, yakni menambah kapasitas produksi di satu pihak dan
meningkatkan daya saing produk-produknya di pihak lain. Tetapi, bagi banyak NSB
termasuk Indonesia, melaksanakan dua pekerjaan ini tidak mudah, terutama karena
keterbatasan teknologi, SDM, dan modal.
33

2.2.3 Pertanian sebagai Sektor Pemimpin

2.2.3.1 Sektor ‘Pemimpin’


Pentingnya pertanian di dalam perekonmian nasional tidak hanya diukur dari
konribusinya terhadap pembentukan atau pertumbuhan PDB atau pendapatan nasional,
kesempatan kerja, dan sebagai salah satu sumber pendapatan devisa negara. Tetapi
potensinya juga harus dilihat sebagai salah satu motor penggerak pertumbuhan output
atau nilai tambah dan diversifikasi produk di sektor-sektor ekonomi lainnya. Pertanian
disebut sebagai sektor pemimpin karena semakin besarnya ketergantungan dari
pertumbuhan nilai tambah di sektor lain terhadap pertumbuhan nilai tambah di sektor
pertanian, maka semakin besar peran pertanian sebagai sektor pemimpin.

Pentingnya sektor pertanian sebagai motor penggerak pembangunan atau


pertumbuhan ekonomi (Adelman 1989) yang terutama melalui keterkaitan antara
pendapatan dan konsumsi. Pandangan strategis ini didasarkan pada asumsi bahwa pasar
lokal akan berkembang apabila pendapatan masyarakat setempat meningkat, dimana
faktor ini bisa terjadi jika ada peningkatan produktivitas di sektor pertanian. Fokus yang
lebih baik diberikan kepada perkembangan pertanian skala kecil dan menengah, karena
hal ini lebih cocok untuk daerah yang pembangunannya masih terbelakang.

Konsep dasar dari pentingnya pertanian sebagai sektor pemimpin di dalam


pembangunan ekonomi nasional dapat dilihat dalam pernyataan Simatupang dan Syafaat
(2000) bahwa: Sektor andalan perekonomian adalah sektor yang memiliki keunggulan
dan kemampuan tinggi. Sektor andalan merupakan tulang punggung (backbone) dan
mesin penggerak perekonomian (engine of growth), sehingga dapat pula disebut sebagai
sektor kunci atau sektor pemimpin (leading sector) perekonomian nasional. Ada lima
syarat sebagai kriteria dalam mengevaluasi pertanian sebagai sektor kunci dalam
perekonomian nasional, yakni:
1. Strategis, artinya esensial dan besar kontribusinya dalam mewujudkan sasaran dan
tujuan pembangunan ekonomi nasional, seperti pertumbuhan ekonomi (PDB),
kesempatan kerja, peningkatan devisa negara, pembangunan ekonomi daerah, dan
sebagainya.
34

2. Tangguh, artinya unggul dalam persaingan ( baik di dalam negeri maupun di pasar
global) dan mampu menghadapi gejolak sosial, ekonomi, politik, maupun alam.
Pertanian sebagai sektor andalan harus memiliki keunggulan kompetitif, berbasis pada
kemampuan sendiri (domestik) atau kemandirian dan dapat menyesuaikan terhadap
perubahan keempat lingkungan strategis (sosial, ekonomi, politik, dan alam).
3. Artikulatif, artinya pertanian sebagai sektor andalan harus memiliki kemampuan besar
sebagai dinamisator dan fasilitator bagi pertumbuhan output di sektor ekonomi
lainnya dalam spektrum yang luas.
4. Progresif, artinya pertanian dapat tumbuh secara berkelanjutan tanpa menimbulkan
efek negatif terhadap kualitas lingkungan hidup. Hanya jika output pertanian tumbuh
positif dan berkelanjutan, maka sektor tersebut dapat berfungsi sebagai motor
pertumbuhan bagi perekonomian nasional.
5. Responsif, artinya pertanian sebagai sektor andalan mampu memberi respon yang
cepat dan besar terhadap setiap kebijakan pemerintah.

2.2.3.2 Keterkaitan Ekonomi


Kemampuan sektor pertanian sebagai lokomotif penarik pertumbuhan output di
sektor ekonomi lainnya sebagai suatu keterkaitan ekonomi, melalui keterkaitan produksi,
konsumsi, pendapatan, dan investasi. Dalam bentuk keterkaitan ekonomi, sektor pertanian
mempunyai tiga fungsi utama. Pertama, sebagai sumber investasi di sektor non pertanian:
surplus uang di sektor pertanian menjadi sumber dana investasi di sektor lain. Kedua,
sebagai sumber bahan baku atau input bagi sektor lain, khususnya agroindustri dan sektor
perdagangan. Ketiga, melalui peningkatan permintaan di pasar output berfungsi sebagai
sumber diversifikasi produksi di sektor ekonomi lainnya.

Keterkaitan produksi antara sektor pertanian dengan sektor lain dapat dianalisis
dengan metode input-output (I-O analysis). Keterkaitan produksi menunjukkan
ketergantungan dalam proses produksi antara satu sektor dengan sektor lainnya. Ada dua
bentuk keterkaitan produksi yaitu keterkaitan produksi ke depan dan keterkaitan produksi
ke belakang. Misalnya, dalam suatu ekonomi hanya ada dua sektor yakni sektor A dan
sektor B yang saling tergantung satu sama lain dalam produksi. Sektor A menghasilkan
35

output yang akan menjadi input bagi sektor B, sedangkan sektor B membuat barang
konsumsi untuk permintaan akhir. Arus output dari sektor A ke sektor B dapat dilihat
sebagai keterkaitan produksi ke depan dari sektor A ke sektor B (penawaran output dari
sektor A ke sektor B), yang per definisi sama dengan keterkaitan produksi ke belakang
dari sektor B ke sektor A (merupakan permintaan antara dari sektor B terhadap input dari
sektor A).

Apabila untuk memenuhi kebutuhan inputnya, sektor B mengimpor dari luar negeri,
maka jelas tidak ada keterkaitan produksi antara kedua sektor tersebut. Sektor A menjadi
tidak penting bagi proses produksi atau pertumbuhan output di sektor B. Dengan kata
lain, pentingnya pertanian sebagai sumber pertumbuhan bagi sektor lainnya sangat
tergantung pada besarnya keterkaitan produksi antara pertanian dengan sektor ekonomi
tersebut. Intensitas dari keterkaitan produksi itu sendiri pada akhirnya sangat ditentukan
oleh tingkat ketergantungan impor dari masing-masing sektor.

2.2.3.3 Keterkaitan Pertanian dengan Industri Pengolahan


Salah satu penyebab krisis ekonomi Indonesia tahun 1997/1998 adalah kesalahan
pemerintah orde baru dalam memilih pola industrialisasi yang tidak berbasis pada
pertanian. Selama krisis itu pun terbukti bahwa sektor pertanian masih mampu
mengalami laju pertumbuhan yang positif, walaupun sangat kecil; sedangkan industri
pengolahan mengalami suatu laju pertumbuhan yang negatif di atas satu digit.
Pengalaman di negara maju di Eropa dan Asia Timur menunjukkan bahwa mereka
memulai industrialisasi setelah atau bersamaan dengan pembangunan di sektor pertanian.
Di Inggris revolusi industri diawali revolusi pertanian. Di Jepang, industrialisasi
berlangsung bersamaan dengan revolusi pertanian melalui reformasi agraria pada periode
restorasi Meiji. Di Taiwan, industrialisasi berbasis pertanian melalui pengembangan
industri berskala kecil di pedesaan yang mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi
yang kuat dan merata seta struktur ekonomi yang tangguh.

Beberapa alasan sektor pertanian yang kuat sangat esensial dalam proses
industrialisasi di Indonesia yaitu:
1. Sektor pertanian yang kuat berarti ketahanan pangan terjamin, dimana hal ini
merupakan salah satu prasyarat penting agar proses industrialisasi pada khususnya
36

dan pembangunan ekonomi umumnya dapat berlangsung terus. Ketahanan pangan


juga berarti tidak ada kelaparan dan ini menjamin kestabilan soosial dan politik.
2. Dari sisi permintaan agregat, pembangunan pertanian yang baik membuat tingkat
pendapataan riil per kapita di sektor tersebut tinggi, yang merupakan salah satu
sumber permintaan terhadap barang non makanan, terutama produk industri.
Keterkaitan ini bukanlah keterkaitan produksi, tetaapi keterkaitan konsumsi atau
pendapatan yaitu: peningkatan pendapatan di sektor pertanian membuat permintaan
akhir terhadap output di sektor industri juga meningkat.
3. Dari sisi penawaran agregat, sektor pertanian merupakan salah satu sumber input bagi
industri pengolahan makanan dan minuman, tekstil dan pakaian jadi, kulit, dan
sebagainya.
4. Masih dari sisi penawaran agregat, pembangunan di pertanian dapat menghasilkan
surplus uang dan dapat menjadi sumber investasi di sektor lain, terutama industri
pengolahan.

2.2.4 Faktor-faktor Penentu


Pada kenyataannya pertanian di Indonesia belum berfungsi sebagai motor
penggerak bagi perekonomian nasional. Banyak faktor penyebabnya antara lain:
1. Pertama yaitu pola pembangunan sektor pertanian yang diarahkan pada tiga tujuan
yaitu pemasok makanan, ekspor langsung, dan pentingkan pertumbuhan kesempatan
kerja.
a. Sebagai pemasok makanan (khususnya beras) sehingga kurang usaha diversifikasi
produksi. Selain itu, memberikan perhatian kepada pengembangan komoditas non
makanan atau yang memiliki nilai komersial yang tinggi. Rendahnya tingkat
diversifikasi produksi di sektor pertanian membuat kecil atau tidak adanya
keterkaitan produksi ke depan dan ke belakang dengan sektor lain.
b. Kebijakan lebih mendorong atau merangsang sektor pertanian untuk melakukan
ekspor langsung, bukan diolah terlebih dahulu di dalam negeri menjadi produk
setengah jadi dan jadi.
c. Secara implisit pemerintah lebih mementingkan aspek pertumbuhan kesempatan
kerja daripada aspek penciptaan nilai tambah dari pembangunan sektor pertanian.
37

2. Kedua, pola industrialisasi dengan kebijakan substitusi impornya, lebih


mengedepankan pembangunan industri yang menghasilkan barang jadi yang bahan
bakunya (input) utamanya bukan dari sektor pertanian. Strategi substitusi impor
merupakan salah satu penyebab tingginya tingkat ketergantungan terhadap impor
selama ini, bahkan bukan hanya pada barang modal, alat produksi dan input lain;
tetapi juga pada impor sejumlah komoditas pertanian yang sebenarnya bisa dihasilkan
di dalam negeri. Strategi industrialisasi yang didasarkan pada pengembangan ekspor
tapi tidak selalu menjamin pembangunan sektor pertanian yang kuat lewat keterkaitan
produksi dengan sektor lain, khususnya ndustri pengolahan.
3. Ketiga, strategi pembangunan ekonomi atau industrialisasi yang sangat mendukung
fungsi pertanian sebagai sektor pemimpin adalah yang berorientasi atau berbasis
pertanian. Hal ini sangat erat dengan strategi yang berorientasi ekspor.
4. Keempat, alokasi investasi masih sedikit sekali di sektor pertanian, karena lebih
difokuskan pada sektor non pertanian, khususnya industri pengolahan dan bangunan.
Hasil kajian sebelumnya menyimpulkan bahwa rendahnya laju pertumbuhan output
pertanian, khususnya di subsektor bahan makanan, antara lain disebabkan oleh kurang
investasi, baik modal asing (PMA) maupun modal dalam negeri (PMDN)

2.3 Peternakan sebagai salah satu sumber pertumbuhan baru sektor pertanian
Berdasarkan berbagai fenomena, fakta, dan data yang ada; untuk membangkitkan
pembangunan ekonomi di Indonesia setiap sektor harus mampu berkontribusi terhadap
pengentasan kemiskinan serta merespon berbagai kendala dan permasalahan itu dengan
fokus utama meningkatkan daya beli. Berbagai upaya yang akan dilakukan pemerintah
daerah (contoh Jawa Barat diambil karena subsektor peternakannya sangat baik
perkembangannya) untuk mengatasi masalah tersebut tercermin dalam common goals-
nya, yaitu: peningkatan kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia; ketahanan
pangan yang fokus pada beras, jagung, kedelai, dan ketersediaan protein hewani;
peningkatan daya beli masyarakat; peningkatan kinerja aparatur, penanganan pengelolaan
bencana; pengendalian dan pemulihan kualitas lingkungan; pengembangan infrastruktur;
serta kemandirian energi dan air baku.
38

Mampukah subsektor peternakan berkiprah dalam pembangunan pertanian dan


pembangunan ekonomi? Melihat berbagai fenomena itu, sebenarnya subsektor peternakan
akan dan harus mampu menjawab sebagian besar amanat atau harapan common goals tiap
daerah (khususnya Jawa Barat). Hal ini didasarkan pada berbagai pertimbangan sejarah,
fakta, dan data yang tercipta dalam beberapa tahun terakhir, bahwa subsektor peternakan
mampu memberikan kontribusi pendapatan terhadap sektor pertanian sebesar 12 persen
dengan pangsa tenaga kerja sekitar 30 persen.

Sektor industri dan jasa diandalkan memberikan pangsa pendapatan sebesar 51


persen, tetapi pangsa tenaga kerjanya hanya sekitar 18 persen. Berdasarkan data tersebut,
ternyata subsektor peternakan telah memberikan kesempatan kerja yang jauh lebih luas
daripada sektor industri dan jasa. Hal ini dibuktikan pula dengan data Bappeda Jabar
(2008) bahwa ternyata pada subsektor peternakan tidak ada seorang pun masuk kategori
kelompok masyarakat miskin. Hal ini sangat mudah dimengerti karena seorang peternak
tentu memiliki aset ternak yang bisa dikonsumsi kapan saja jika diperlukan.

Jika dilihat, kontribusi subsektor peternakan terhadap pembentukan produk


domestik regional bruto (PDRB) sektor pertanian di Jawa Barat dari tahun 2000-2008
ternyata menunjukkan tren meningkat (r= 12.25 persen). Walaupun pangsa subsektor
peternakan terhadap PDRB pertanian di Jawa Barat masih sangat kecil (8-15 persen),
setiap tahun jumlahnya menunjukkan peningkatan sangat berarti, khususnya bila
dibandingkan dengan subsektor tanaman pangan (r = -1.68), perkebunan (r= 0.6),
kehutanan (r= -10.20), dan perikanan (r= -3.95).

Hal ini perlu diingat ialah bahwa pangsa peternakan mulai “take-off”, sedangkan
subsektor lainnya menuju “landing”. Mengapa semua hal tersebut terjadi? Fenomena ini
sebenarnya sangat alamiah dan rasional karena subsektor peternakan dalam pembangunan
pertanian merupakan unsur kuno yang tidak boleh ditinggalkan.

Selama ini tampaknya fungsi ternak di tengah masyarakat tani mulai bergeser,
pupuk kandang diganti dengan pupuk anorganik yang bersubsidi, sedangkan pupuk
kandang tidak disubsidi sehingga lahan mulai miskin hara. Ternak dipandang sebagai
komoditas atau sumber pangan, bukan sebagai sumberdaya. Salah kaprah cara pandang
39

seperti inilah yang membuat para penentu kebijakan di lapangan memisahkan ternak dari
fungsinya sebagai sumberdaya sektor pertanian yang harus dijaga kelestariannya.

Berdasarkan kenyataan tersebut, tidak berlebihan jika peternakan disebut sebagai


salah satu sumber pertumbuhan baru sekktor pertanian di Jabar yang harus tetap dijaga
untuk membangunan ekonomi, khususnya masyarakat pedesaan.

2.3 RANGKUMAN

RANGKUMAN

Tentunya, sangat diharapkan agar terjadi perubahan pertanian suatu negara


dari yang tradisional/subsisten menjadi semi-subsisten dan mencapai maju/modern
sebagai tujuan ideal. Namun, pada kenyataannya pembangunan pertanian suatu
negara tidak selalu identik dengan pertanian modern di negara maju, karena terdapat
berbagai tujuan antara yaitu untuk peningkatan produksi, pemerataan konsumsi, dan
sebagainya.

Oleh karena itu, berdasarkan tujuan atau dampak yang ingin dicapai, maka
terdapat beberapa model pembangunan pertanian yang menjadi dasar untuk
menentukan apakah pertanian suatu negara sudah berkembang atau maju, yaitu: a) the
resource exploitation atau the frontier, b) the conservation, c) the locational atau the
urban industrial impact, d) the diffusion, e) the high pay-off input, dan f) the induced
agricultural development atau induced innovation.

Sektor pertanian di NSB merupakan salah satu sektor ekonomi paling


potensial dengan empat kontribusi utamanya terhadap pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi nasional (Kuznets 1964), yaitu: kontribusi produk, pasar,
faktor produksi, dan devisa.

Konsep dasar dari pentingnya pertanian sebagai sektor pemimpin di dalam


pembangunan ekonomi nasional bahwa sektor andalan perekonomian adalah sektor
yang memiliki keunggulan dan kemampuan tinggi. Sektor andalan merupakan tulang
punggung (backbone) dan mesin penggerak perekonomian (engine of growth),
sehingga dapat pula disebut sebagai sektor kunci atau sektor pemimpin (leading
sector) perekonomian nasional. Ada lima syarat sebagai kriteria dalam mengevaluasi
pertanian sebagai sektor kunci dalam perekonomian nasional yaitu strategis, tangguh,
artikulatif, progresif, dan responsif.

Hal ini perlu diingat ialah bahwa pangsa peternakan mulai “take-off”,
sedangkan subsektor lainnya menuju “landing”. Fenomena ini sebenarnya sangat
alamiah dan rasional karena subsektor peternakan dalam pembangunan pertanian
merupakan unsur kuno yang tidak boleh ditinggalkan. Berdasarkan kenyataan
40

tersebut, tidak berlebihan jika peternakan disebut sebagai salah satu sumber
pertumbuhan baru sekktor pertanian di Jabar yang harus tetap dijaga untuk
membangunan ekonomi, khususnya masyarakat pedesaan.

2.4 PENUTUP
2.4.1 Tes Formatif
1. Jelaskan beberapa model model pembangunan pertanian yang menjadi dasar untuk
menentukan apakah pertanian suatu negara sudah berkembang atau maju! (35)
2. Jelaskan empat kontribusi utamasektor pertanian di NSB terhadap pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi nasional (Kuznets 1964)! (35)
3. Jelaskan konsep dasar dari pentingnya pertanian sebagai sektor pemimpin di dalam
pembangunan ekonomi nasional! (30)

1.3.2 Umpan balik


Jawaban dalam bentuk essay dijelaskan kembali berdasarkan materi yang telah
diuraikan serta pustaka yang terkait. Angka didalam kurung pada pertanyaan adalah
angka yang menunjukkan nilai yang akan didapatkan apabila anda menjawab dengan
benar.

Arti tingkat penguasaan


Apabila jawaban No. 13 semua benar, maka nilai yang akan didapat adalah 100,
dan arti tingkat penguasaan anda adalah : Sangat baik. Apabila jawaban tidak lengkap,
salah atau kurang sempurna dan nilai yang anda dapatkan :
 8070, arti tingkat penguasaan : baik
 6070, arti tingkat penguasaan : cukup
 <50, arti tingkat penguasaan : kurang/tidak baik

2.4.2 Tindak lanjut


Bagi mahasiswa yang jawabannya tidak memuaskan diajurkan untuk mempelajari
kembali dengan membaca referensi terkait, mencari informasi di media elektronik atau
bertanya langsung kepada dosen yang bersangkutan. Bagi mahasiswa yang sudah
41

memberikan jawaban yang benar, dianjurkan untuk berdiskusi dan mempelajari materi
selanjutnya.

2.4.3 Kunci jawaban dan ulasan


1. Beberapa model pembangunan pertanian yang menjadi dasar untuk menentukan
apakah pertanian suatu negara sudah berkembang atau maju, yaitu: a) the resource
exploitation atau the frontier, b) the conservation, c) the locational atau the urban
industrial impact, d) the diffusion, e) the high pay-off input, dan f) the induced
agricultural development atau induced innovation.Penjelasannya:The resource
exploitation model menggambarkan naiknya produksi karena adanya peluang pasar
baru, namun dalam kondisi tidak ada perkembangan teknologi atau teknologi tetap.
Produksi yang meningkat terjadi hanya karena adanya pembukaan lahan baru
(ekstensifikasi).The conservation model mengutamakan pemeliharan kesuburan tanah
dengan kombinasi ternak dan tanaman. Model ini memanfaatkan hubungan timbal-
balik di antara kedua komoditas, dimana ternak memanfaatkan produk tanaman
sebagai pakan.The urban industrial impact model atau the locational model
mengutamakan pengaruh permintaan pasar dari sektor industri pada pembangunan
pertanian.The diffusion model mengutamakan tingkat penyebaran dan pemanfaatan
teknologi dan cara-cara bertani yang lebih produktif.The high pay-off input model
mulai dikembangkan setelah hasil penelitian TW Schultz (1964) dalam bukunya
“Transforming Traditional Agriculture” menyatakan bahwa petani di NSB yang kecil
dan miskin, ternyata secara ekonomi rasional dalam mengalokasikan pada keadaan
ketersediaan sumber daya dan teknologi yang ada.The induced agricultural
development model yang dikembangkan Hayami & Ruttan (1971, 1985)
mengemukakan bahwa ada berbagai arah perkembangan teknologi untuk pertumbuhan
pertanian yang disesuaikan dengan keadaan tersedianya sumber daya yang ada
(resource endowment). The sustainable development model yang dicetuskan Dixon &
de Los Reyes (1990) dan FAO (1990) yang memberikan perhatian besar pada
kelestarian dan pengelolaan sumber daya alam.

2. Kontribusi produk.Kuznets (1964) mengembangkan suatu analisis terkait kontribusi


output atau produk dari sektor pertanian terhadap pertumbuhan PDB, dengan melihat
bagaimana keterkaitan antara pangsa output dari sektor pertanian terhadap
pertumbuhan PDB dengan hasil dari pangsa awalnya dan laju pertumbuhan relatif dari
produk-produk neto pertanian dan non-pertanian. Fakta menunjukkan bahwa ekspansi
dari sektor ekonomi non pertanian sangat tergantung pada produk-produk dari sektor
pertanian, bukan saja untuk kelangsungan pertumbuhan suplai makanan, tetapi juga
untuk penyediaan bahan baku untuk keperluan kegiatan produksi khususnya di sektor-
sektor non pertanian, terutama industri pengolahan (seperti industri makanan dan
minuman, tekstil dan pakaian jadi, barang dari kulit, dan farmasi.Kontribusi pasar.
Di negara seperti Indonesia dengan proporsi populasi pertanian (petani dan
keluarganya) yang sangat besar, maka sektor pertanian merupakan sumber yang
sangat penting bagi pertumbuhan pasar dalam negeri bagi sektor-sektor non pertanian,
khususnya industri. Pengeluaran petani untuk produk-produk industri baik barang-
42

barang konsumsi (pakaian, meubel, alat bangunan, dan peralatan rumah tangga)
maupun barang-barang produksi (pupuk, pestisida, mesin, alat pertanian, dan input
lain) memperlihatkan satu aspek yang sangat penting dari kontribusi pasar sektor
pertanian terhadap pembangunan ekonomi (melalui diversifikasi sektoral).
Kontribusi faktor produksi. Ada dua faktor produksi yang dapat dialihkan
(ditransfer) dari sektor pertanian ke sektor-sektor non pertanian, tanpa harus
mengurangi volume produksi (produktivitas) di sektor pertanian, yaitu faktor tenaga
kerja dan modal. Kontribusi devisa. Kontribusi sektor pertanian di suatu negara
terhadap pendapatan devisa adalah lewat pertumbuhan ekspor dan/atau pengurangan
impor negara tersebut atas komoditas pertanian. Tentu, kontribusi sektor itu terhadap
ekspor juga bisa bersifat tidak langsung. Misalnya lewat peningkatan ekspor atau
pengurangan impor produk-produk berbasis pertanian, seperti makanan dan minuman,
tekstil dan produk-produknya, barang-barang dari kulit, ban mobil, obat-obatan, dan
lain-lain.

3. Konsep dasar dari pentingnya pertanian sebagai sektor pemimpin di dalam


pembangunan ekonomi nasional dapat dilihat dalam pernyataan Simatupang dan
Syafaat (2000) bahwa: Sektor andalan perekonomian adalah sektor yang memiliki
keunggulan dan kemampuan tinggi. Sektor andalan merupakan tulang punggung
(backbone) dan mesin penggerak perekonomian (engine of growth), sehingga dapat
pula disebut sebagai sektor kunci atau sektor pemimpin (leading sector)
perekonomian nasional. Ada lima syarat sebagai kkriteria dalam mengevaluasi
pertanian sebagai sektor kunci dalam perekonomian nasional, yakni: Strategis,
artinya esensial dan besar kontribusinya dalam mewujudkan sasaran dan tujuan
pembangunan ekonomi nasional, seperti pertumbuhan ekonomi (PDB), kesempatan
kerja, peningkatan devisa negara, pembangunan ekono mi daerah, dan sebagainya.
Tangguh, artinya unggul dalam persaingan ( baik di dalam negeri maupun di pasar
global) dan mampu menghadapi gejolak sosial, ekonomi, politik, maupun alam.
Pertanian sebagai sektor andalan harus memiliki keunggulan kompetitif, berbasis pada
kemampuan sendiri (domestik) atau kemandirian dan dapat menyesuaikan terhadap
perubahan keempat lingkungan strategis (sosial, ekonomi, politik,dan alam).
Artikulatif, artinya pertanian sebagai sektor andalan harus memiliki kemampuan
besar sebagai dinamisator dan fasilitator bagi pertumbuhan output di sektor ekonomi
lainnya dalam spektrum yang luas.Progresif, artinya pertanian dapat tumbuh secara
berkelanjutan tanpa menimbulkan efek negatif terhadap kualtas lingkungan hidup.
Hanya jika output pertanian tumbuh positif dan berkelanjjutan, maka sektor tersebut
dapat berfungsi sebagai motor pertumbuhan bagi perekonomian nasional.Responsif,
artinya pertanian sebagai sektor andalan mampu memberi respon yang cepat dan besar
terhadap setiap kebijakan pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Dirjen PKH. 2007. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014. Ditjen
Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta.
43

Tambunan TTH. 2003. Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia: Beberapa Isu


Penting. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta.

Widodo S. 2011. Politik Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta.

Bechtold KH. 1988. Politik dan Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta.

Mubyarto. 1987. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Penerbit Sinar Harapan.
Jakarta.

Sumodiningrat G. 2000. Pembangunan Ekonomi Melalui Pengembangan Pertanian. PT


Bina Rena Pariwara. Jakarta.

Solahudin S. 1999. Pembangunan Pertanian ERA Reformasi. Departemen Pertanian.


Jakarta.

Arintadisastra S. 2001. Membangun Pertanian Modern.Yayasan Pengembangan Sinar


Tani. Jakarta.

Arsyad L. 1999. Ekonomi Pembangunan (edisi keempat). Penerbit STIE YKPV. Jakarta.

Norton GW, J Alwang. 1993. Introduction to Economics of Agricultural Development.


McGraw-Hill Int’l Edition. New York.

Rustiadi E dan S Pranoto. 2007. Agropolitan: Membangun Ekonomi Perdesaan. Crestpent


Press. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai