Anda di halaman 1dari 11

Laporan Praktikum I

TEKNOLOGI REPRODUKSI TERNAK


“In Vitro Maturasi (IVM)”

Oleh

NAMA : LA ODE ROBBIQ ALBANY


NIM : L1A1 15 165
KELAS :A
KELOMPOK : V (Lima)
ASISTEN : MUH. KAUSAR NOVALDI

JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Memiliki keturunan merupakan salah satu ciri mahluk hidup. Untuk dapat
memiliki keturunan diperlukan sel gamet (ovum dan sperma) serta seperangkat
alat reproduksi yang memprasaranai proses pembentukan, pematangan sel gamet,
proses fertilisasi, hingga terjadinya kehamilan sampai akhirnya fetus dilahirkan.
Pada organ yang terlibat dan proses yang berjalan seringkali terjadi hambatan atau
permasalahan. Salah satu permasalahan yang menyebabkan seseorang maupun
ternak sulit atau tidak bisa memiliki keturunan secara alami adalah tidak
terjadinya fertilisasi antara sel telur dan sperma. Untuk mengatasi masalah
tersebut maka berkembanglah teknologi reproduksi berbantu (assisted
reproduction technology)yang bertujuan untuk menghasilkan zigot dari fertilisasi
antara sel telur dan sel sperma secara in vitro. Dalam upaya menjaga, sekaligus
membantu upaya peningkatan peran dan pengembangan jenis ternak, melalui
teknik fertilisasi in vitro (FIV) merupakan salah satu alternatif. Fertilisasi in vitro
merupakan suatu teknologi untuk memproduksi embrio dengan memanfaatkan
oosit-oosit dari ovarium yang diperoleh dari manusia maupun hewan. Fertilisasi
in vitro merupakan tiruan dari proses fertilisasi in vivo yang menghasilkan
penggabungan dua gamet, restorasi jumlah kromosom tubuh dan mulainya
perkembangan individu baru yang dilakukan di luar saluran reproduksi induk
(Sirard, 1988). Teknologi FIV terdiri dari beberapa tahapan, yaitu koleksi oosit,
pematangan oosit, preparasi sperma, kapasitasi sperma, proses fertilisasi dan
biakan embrio hasil fertilisasi, dilanjutkan dengan transfer embrio kepada
resipien. Proses pematangan oosit in vitro, diperlukan oosit yang dikumpulkan
dalam keadaan oosit primer atau masih dalam stadium pre-anthrum untuk
berkembang menjadi oosit tertier.IVM oosit manusia pertama ditunjukkan tahun
1965 oleh Edwards RG. Kelahiran manusia pertama yang dihasilkan dari suatu
oosit matang in vitro terjadi pada tahun 1991. Sejak saat itu, banyak modifikasi
dan perbaikan telah dilakukan untuk proses IVM dalam upaya untuk
meningkatkan efisiensi dan pada akhirnya hasil dari teknik ini. Sampai saat ini,
telah ada sekitar 500 kelahiran hidup di seluruh dunia sebagai akibat dari IVM.
Sampai saat ini keberhasilan teknologi FIV, khususnya di Indonesia masih
berbeda antar berbagai laboratorium. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh
perbedaan beberapa faktor yang membentuk lingkungan yang sesuai untuk
pematangan oosit yaitu kandungan gonadotropin, faktor penumbuh, hormon
steroid, media pematangan, kualitas oosit dan faktor yang disekresikan oosit dan
molekul-molekul yang belum diketahui (Lorenzo,et al., 1994). Dalam proses
pematangan oosit maupun perkembangan embrio in vitro, media yang digunakan
harus mempunyai fungsi mekanis, fisik dan kimiawi artinya media dapat
memberikan lingkungan yang optimum untuk menjamin kelangsungan hidup
oosit. Penggunaan media kultur lengkap TCM-199 dan bicarbonate atau HEPES
dan tambahan berbagai macam serum, dan atau gonadotropin (FSH dan LH) dan
steroid (Estradiol -17 B) telah banyak digunakan untuk mempelajari maturasi
oosit in-vitro sapi (Brackett dan Zuelke, 1993).Kualitas embrio yang dihasilkan
secara in vitro sangat dipengaruhi oleh kualitas oosit yang dihasilkan melalui
proses maturasi in vitro. Pematangan oosit sempurna adalah indikasi dari kualitas
embrio yang mempunyai viabilitas yangtinggi. Banyak faktor yang mempengaruhi proses
pematangan oosit in vitro, selainfaktor hormonal ternyata ada faktor-faktor lokal
dalam oosit yang dikenal dengan cytokine lokal yang secara molekuler
mempengaruhi proses pematangan oosit .(Karp, 2005; Nebreda and Ferby, 2000).

B. Tujuan dan Manfaat

Tujuan yang ingin dicapai pada praktikum In Vitro Maturasi adalah Untuk

mengetahui oosit yang maturasi dan yang tidak maturasi.

Manfaat yang ingin dicapai pada praktikum In Vitro Maturasi adalah

Dapat mengetahui oosit yang maturasi dan yang tidak maturasi.


BAB II
TINJAUN PUSTAKA

Maturasi In Vitro merupakan pemtangan oosit didalam suatu media aatau

diluar tubuh, tetapi dapat menghasilkan embrio baru seperti pematangan didalam

tubuh (In Vivo). Ovarium berbentuk oval yang terletak disebelah kaudal dari

ginjal dan tergantung dalam rongga peritonium yang terbungkus bursa ovari.

Ovarium terletak dekat dengan dinding tubuh dan tergantung ligamentum

suspensorium yang dikenal dengan mesovarium (Rasad dkk, 2015).

Ovarium mampu menyediakan oosit dalam jumlah banyak, sehingga

menjadi alternatif untuk memproduksi embrio secara in vitro. Oosit yang akan

dipergunakan untuk produksi embrio in vitro harus dimatangkan terlebih dahulu.

Maturasi in vitro merupakan pematangan oosit didalam suatu media atau diluar

tubuh, tetapi dapat menghasilkan embrio baru seperti pematangan dalam tubuh,

tetapi dapat menghasilkan embrio baru seperti pematangan dalam tubuh (in vivo).

Oosit dikatakan telah matang bila telah mencapai metafase II (M-II) dan ditandai

dengan pematangan pemekaran sel-sel kumulus yang mengelilingi oosit.pada fase

preovulasi, oosit dalam mengalami deferensiasi yaitu terjadi proses pematangan

oosit dengan pengertian terjadi perubahan inti (pematangan inti) disertai

perubahan plasma (pematangan sitiplasma). Sehingga ovum memperoleh

kemampuan fertilisasi dan kapasitasi perkembangan embrional. Fertilisasi in vitro

merupakan suatu proses perubahan dari sel spermatozoa dengan ovum yang

membentuk zigot didalam suatu media (Retnawati, 2006).


Oosit adalah sebuah sel germinal perempuan/betina atau sel prokreasi, sel

telur. Oosit dapat diperoleh dari betina yang masih hidup maupun yang sudah

disembelih. Pada ternak yang masih hidup digunakan teknologi tertentu untuk

memperoleh oosit sedangkan pada ternak yang telah disembelih ovariumnya

diambil kemudian dilakukan pencacahan untuk mengkoleksi oosit. Oosit hanya

bisa tumbuh dan mangalami pematangan lebih lanjut dalam ovarium bila oosit

dikelilingi oleh sel-sel somatik. Struktur oosit terbentuk ketika selapis sel

berkembang secara lengkap disebut folikel primer kemudian menjadi folikel

sekunder ketika sel-sel membelah menjadi beberapa lapis (Ciptono, 2013).

Tahap pematangan (maturation) oosit ditandai dengan perubahan

morfologi pada inti selnya, yaitu perubahan dari fase diploten ke M-II. Perubahan

ini di ikuti pula peristiwa perpindahan cortek granula menuju keperi vatelin serta

meningkatkan jumlah mitokondria. Beberapa inti mengandakan penyauan dengan

vesikel kemudian membran inti tersebut terlepas setelah beberapa saat greminal

vesicle break dwon (GVBD). Pada sapi, proses maturasi inti secara in vivo

membutuhkan waktu selama ± 24 jam. Oosit yang telah mengalami GVBD

selanjutnya akan mencapai tahap metaphase I (MI). Pada oosit sapi, metaphase I

terjadi setelah 12-14 jam inkubasi dan diikuti oleh tahap anaphase (AI) dan

telophase (TI) yang berlangsung relatif singkat (14-18 jam) setelah masa inkubasi.

Tahap selanjutnya yaitu metaphase II (MII) yang ditandai dengan terbentuknya

badan kutub I dan oosit yang telah matang siap untuk difertilisasi (Arif, 2017
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

A. Lokasi dan Waktu

Praktikum Mnajemen Reproduksi Ternak tentang In Vitro Maturasi

dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu tanggal 18-19 November 2017,

bertempat di Laboratorium Unit Fisiologi, Reproduksi dan Kesehatan Ternak.

Fakultas Peternakan Universitas Halu Oleo, Kendari.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada praktikum In Vitro Maturasi dapat dilihat pada

Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Alat dan kegunaan

No Nama Alat Kegunaan


1 Mikroskop Untuk mengamati oosit
2 Incubator CO2 Untuk menginkubasi oosit
3 Cawan Petri Sebagai tempat meletakan oosit dan membuat droop
4 Pipet pasteur Untuk mengambilkan oosit
5 Selang Untuk memindahkan oosit kedalam dropp
6 Mikropipet Untuk mengambil larutan
7 Kamera Untuk dokumentasi
8 Alat Tulis Untuk menulis hasil pengamatan
9. Gunting Untuk mengunting ovarium
10. Tisu Untuk melap cawan petri
Bahan yang digunakan pada praktikum In Vitro Maturasi dapat dilihat

pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Bahan dan Kegunaan

No Bahan Kegunaan
1 Ayam petelur Sebagai objek pengamatan
2 Larutan DBPS Sebagai larutan untuk mencuci oosit
3 NaCl fisiologis Sebagai pengawet ovarium

C. Prosedur Kerja

Prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum In Vitro Maturasi adalah

sebagai berikut:

1. Menyiapkan alat dan bahan

2. Mengoleksi ovarium dari RPH (NaCL fisiologis) suhu 38ºC

3. Menguting dan menyayat ovarium

4. Mengoleksi oosit

5. Mengamati oosit yang belum maturasi menggunakan mikroskop

6. Mencuci oosit menggunakan medium

7. Menyimpan oosit didalam inkubator selama kurang lebih 24 jam

8. Mengamati oosit yang sudah mautrasi dibawah mikroskop

9. Mencatat hasil pengamatan

10. Membuat laporan sementara


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan

Hasil pengamatan pada praktikum In Vitro Maturasi dapat dilihat pada

Tabel 3.

Tabel 3. Hasil pengamatan In Vitro Maturasi

Gambar Keterangan

Oosit sebelum dimaturasi

Oosit sudah dimaturasi

B. Pembahasan

Maturasi in vitro merupakan tahapan krusial pada fertilisasi secara in vitro,

karena pada tahap ini oosit akan melanjutkan perkembangan sampai tahap

metaphase II sehingga dapat difertilisasi dan mampu berkembang ke tahap lebih

lanjut. Pada proses IVM diperlukan media pematangan yang tepat sehingga nutrisi

dan komponen yang diperlukan untuk proses perkembangan oosit tersebut. Salah
satu komponen utama yang diperlukan dalam media pematangan adalah serum.

Serum mengandung beberapa komponen esensial seperti: protein, hormone,

faktor-faktor yang mendukung pertumbuhan ( growth factor) yang sangat

diperlukan oosit pada proses maturasi, fertilisasi, maupun perkembangan embrio

(Rasad, 2015).

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oosit belum maturasi yaitu

sel-sel kumulusnya masih rapat mengelilingi zona pelusida dan belum terjadi

ekspansi sel-sel kumulus dan belum terjadi pembentukan polar body pertama.

Sedangkan hasil pengamatan terhadap oosit yang sudah maturasi yaitu terjadi

adanya ekspansi sel-sel kumulus, zona pelusida mengkerut da, fregmentasi dalam

sitoplasma sudah terjadi pembelahan polar body kedua. Hal ini sesuia dengan

penelitian Retnawati (2006), yang menyatakan bahwah oosit yang mempunyai

kumulus lengkap menunjukan perkembangan yang lebih baik apabila

dibandingkan dengan oosit yang telah dihilangkan sel-sel kumulusnya. Hal ini

dikarenakan sel kumulus berfungsi menyediakn nutrisi untuk sel telur selama

perkembangan dan membantu sintensis protein untuk pembentukan zona pelusida.

Sonjaya, dkk (2013) menambahkan bahwa oosit yang sudah maturasi In

Vitro selama 23 jam kemudian diamati dengan bawah mikroskop stereo.

Terjadinya maturasi ditandai dengan pemekaran sel-sel kumulus atau sel-sel

kumulus terekspansi, zona pelusida terlihat makin jelas dan munculnya polar body

pertama. Hal ini membuktikan bahwa sel kumulus sangat penting fungsinya untuk

maturasi sitoplasma secara normal pada proses maturasi sel telur In Vitro.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari pembahasan praktikum In Vitro Maturasi (IVM)

maka dapat disimpulkan bahwa oosit yang belum maturasi yaitu sel-sel kumulus

masih rapat mengelilingi zona pelusida dan belum terjadi ekspansi sel-sel

kumulus dan belum terjadi pembelahan polar body pertam sedangkan hasil

pengamatan pada oosit yang sudah maturasi terjadi ekspansi sel-sel kumulus, zona

pelusida mengkerut dan fergmentasi dalam sito plasma.

B. Saran

Saran yang ingin saya sampaikan dalam praktikum In Vitro Maturasi ini

agar kedepannya bahan yang disediakan lebih efisien lagi agar praktikan dapat

melakukan penngamatan tiap kelompok.


DAFTAR PUSTAKA

Arif. A. N. A, 2017. Potensi oosit kualitas sapi C bali mencapai tingkat maturasi
dan vertilisasi secara In Vitro. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas
Hasanudin, Makassar.

Ciptono, dkk., 2013. Maturasi oosit dan fertilisasi In Vitro menggunakan kultur
sel granulosa folikel ovarium. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta.

Ciptadi G., T. dkk,. 2011. Efektifitas penambahan hormon gonadothropin pada


medium maturasi msof terhadap tingkat maturasi oosit. Jurnal Ternak
Tropika Vol. 12 No.1:108-115.
Rasad. D.S. dkk,. 2015. Tingkat kematangan inti oosit sapi setelah 24 jam
presevasi ovarium. Agripet : Vol (15)No.2: 72-78.

Retnawati. W. D. 2006. Tingkat kematangan oosit sapi secara In Vitro setelah


nkubasi pada kondisi temperatur dan komposisi gas CO2 berbeda. Skripsi.
Fakultas Kedokteran Hewan Institut pertanian bogor.

Sonjaya, H., M. dkk,. 2016. Pengaruh waktu maturasi oosit terhadap keberhasilan
produksi embrio sapi bali secara in vitro. Seminar Nasional Bioteknologi
IV. Universitas Gadjah Mada.
Widjiati, D. dkk,. 2011. Identifikasi growth differentiation factor-9 (gdf-9) dari
maturasi in vitro oosit sapi dengan teknik imunositokimia. Jurnal
Kedokteran Hewan Vol. 5 No. 2:1978-225.

Anda mungkin juga menyukai