Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KRIOPRESERVASI UNTUK PLASMA NUTFAH SECARA IN VITRO

Dosen Pengampu : Dr. Mayta Novaliza Isda, M.Si

DISUSUN OLEH :

M. ALWI (11980214299)

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

PEKANBARU

2021
1
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
“KRIOPRESERVASI UNTUK PLASMA NUTFAH SECARA IN VITRO”.
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan
tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan juga tidak terlepas dari bantuan Ibu Dr. Mayta Novaliza
Isda, M.Si. sebagai dosen pengampu dan berbagai pihak lainnya yang turut menjadi sumber
dalam pembuatan laporan ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat
dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan
makalah ini.
Dalam proses penulisan makalah ini belum bisa dikatakan sempurna, baik materi maupun
cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan
pengetahuan yang dimiliki sehingga makalah ini dapat selesai dengan baik. Oleh karena itu,
penulis dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan, saran, dan usul, yang
berguna dalam penyempurnaan laporan ini.Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Kampar,12 Desember 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................. .................................................................................. 2

DAFTAR ISI.................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 4

1.1 Latar belakang ................................................................................................ 4


1.2 Rumusan masalah .......................................................................................... 5
1.3 Tujuan ............................................................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 6

2.1 Defenisi Kriopreservasi .................................................................................. 6


2.2 Teknik Kriopreservasi ..................................................................................... 7
2.2.1 Teknik Lama (Klasik) ............................................................................. 7
2.2.2 Teknik Baru ............................................................................................. 7
2.3 Kriopreservasi dalam Penyimpanan Plasma Nutfah ....................................... 9
2.4 Prosedur Kerja Kriopreservasi ........................................................................ 10
2.5 Beberapa Penelitian Tentang Kriopreservasi .................................................. 12
2.5.1 Kriopreservasi Mata Tunas Ubi Kayu Lokal Indonesia .......................... 12
2.5.2 Kriopreservasi pada Tanaman Kakao (Theobroma Cacao L.) ............... 14

BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 15

3.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 15


3.2 Saran ................................................................................................................ 115

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 16

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan wilayah yang padat keragaman hayatinya termasuk keragaman flora.
Dengan luas area 1,3% luas daratan dunia, Indonesia menyimpan 11% spesies tumbuhan dunia
(FWI-GFW 2001). Kekayaan ini sebagian besar tersimpan dalam hutanhutan sebagai spesies liar
dan lainnya berada pada lahan-lahan pertanian serta perkebunan yang tersebar pada lebih kurang
17 ribu pulau.
Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, eksploitasi hutan yang tak terkendali,
serta meningkatnya jumlah varietas unggul hasil pemuliaan tanaman, kekayaan keragaman
hayati yang tersedia dewasa ini mengalami penyusutan dengan sangat pesat. Berbagai
pendekatan telah diupayakan guna mempertahankan keragaman yang ada agar dapat digunakan
secara berkelanjutan dari generasi ke generasi. Selain pendekatan konservasi in situ yang
berupaya melestarikan organisme beserta lingkungannya dalam bentuk hutan lindung, taman
nasional, dan sebagainya, pendekatan ex situ yang berupaya melestarikan organisme diluar
habitat aslinya telah pula diupayakan dalam beberapa bentuk termasuk kebun raya, koleksi
lapang maupun bank gen.
Dari 6 juta koleksi ex situ yang dikelola di berbagai bank gen di dunia, 39% di antaranya
berasal dari tanaman biji-bijian dan 15%-nya tanaman kacangkacangan. Kelompok tanaman lain
seperti golongan sayuran, umbian, rerumputan, dan lain-lain, berjumlah 8% atau kurang
(Scarascia-Mugnozza dan Perrino 2002). Data statistik tersebut dapat dimengerti karena kedua
kelompok tanaman, serealia dan kacangkacangan, umumnya berbiji orthodox sehingga
memungkinkan penyimpanan dengan metode konvensional (penyimpanan biji) yang sudah lama
berkembang. Penggunaan metode koleksi lapang, in vitro serta kriopreservasi untuk pelestarian
tanaman golongan lainnya yang umumnya berbiji rekalsitran, semirekalsitran atau berbiak
vegetatif, membutuhkan lahan yang luas, tenaga kerja yang tinggi (untuk koleksi lapang dan in
vitro), serta penelitian dan pengujian (untuk koleksi in vitro dan kriopreservasi).
Kriopreservasi, suatu metode penyimpanan eksplan pada suhu ekstrim dingin, biasanya
pada nitrogen cair (-196°C) (Kartha dan Engelmann 1994), telah digunakan pada tanaman sejak

4
tahun 1937 (Luyet 1937). Akan tetapi penelitian dan pemanfaatannya secara rutin berlangsung
intensif mulai dekade 1990an. Diawal dekade 1990an kriopreservasi telah diteliti pada lebih dari
100 spesies tanaman (Takagi 2000). Saat ini lebih dari 3000 aksesi dari 20 genera tanaman telah
disimpan secara kriopreservasi di beberapa negara di dunia (Reed 2002).

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah :
1) Apa Pengertian Kriopreservasi?
2) Apa saja Teknik Kriopreservasi?
3) Bagaimana Kriopreservasi dalam Penyimpanan Plasma Nutfah?
4) Bagaimana Prosedur Kerja Kriopreservasi?
5) Bagaimana Penelitian Dalam Kriopreservasi

1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah:
1) Mengetahui Pengertian Kriopreservasi
2) Mengetahui Teknik Kriopreservasi
3) Mengetahui Kriopreservasi dalam Penyimpanan Plasma Nutfah
4) Mengetahui Prosedur Kerja Kriopreservasi
5) Mengetahui Beberapa Penelitian Dalam Kriopreservasi

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Kriopreservasi


Secara teoritis, kriopreservasi berasal dari kata krio yang berarti beku, dan preservasi yang
berarti penyimpanan pada temperatur rendah. Jadi kriopreservasi adalah teknik penyimpanan
materi genetik dalam keadaan beku pada temperatur rendah atau suatu teknik penyimpanan sel
hewan, tumbuhan dan materi genetika lainnya dalam keadaan beku melalui reduksi aktivitas
metabolisme tanpa mempengaruhi organel-organel di dalam sel, fungsi fisiologi, biologi, dan
morfologi (Suprianata dan Pasaribu, 1992).
Teknik kriopreservasi merupakan teknik penyimpanan pada suhu yang sangat rendah (-
196°C) dalam nitrogen cair. Teknik ini potensial dikembangkan untuk penyimpanan plasma
nutfah tumbuhan dalam jangka panjang (Bajaj 1979; Withers 1980; Towill dan Jarret 1992).
Dengan teknik kriopreservasi, pembelahan sel dan proses metabolisme dalam sel, jaringan, atau
organ bahan tanaman yang disimpan dapat dihentikan sehingga tidak terjadi modifikasi atau
perubahan dalam waktu yang tidak terbatas (Bhojwani dan Razdan 1983; Ashmore 1997).
Menurut Grout (1995), kondisi suhu penyimpanan bahan tanaman dengan teknik kriopreservasi
sangat rendah, yaitu -160 hingga -180°C (nitrogen fase uap) bahkan sampai -196°C (nitrogen
fase cair).
Setiap teknik penyimpanan mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pada penyimpanan in
vitro jangka pendek dan jangka menengah diperlukan tindakan subkultur yang berulang-ulang
sehingga kurang efisien dalam hal waktu, tenaga, ruangan, dan biaya. Tindakan tersebut juga
dapat menyebabkan kultur mengalami kontaminasi dan kehilangan vigoritas karena kehabisan
unsur hara yang terdapat dalam media dan berpeluang terjadinya perubahan genetik akibat
penggunaan zat penghambat tumbuh dalam jangka waktu yang relatif lama (Kartha 1985).
Dengan teknik kriopreservasi, kekurangan dari metode penyimpanan in vitro tersebut dapat
ditekan seminimal mungkin karena bahan tanaman disimpan dalam ruangan bersuhu sangat
rendah. Pada suhu yang sangat rendah, sel-sel tanaman tidak mempunyai aktivitas metabolik
dengan viabilitas yang tetap terpelihara sehingga bahan tanaman dapat disimpan dalam jangka

6
waktu yang sangat lama (hingga 20 tahun) tanpa memerlukan tindakan subkultur yang berulang-
ulang (Kartha 1985).
Secara defenisi, kriopreservasi diasumsikan menjaga kesamaan genetik sebelum dan
sesudah penyimpanan dalam nitrogen cair. Akan tetapi karena protokol kriopreservasi
melibatkan berbagai perlakuan termasuk pemanfaatkan kultur in vitro maupun krioprotektan
yang memungkinkan terjadinya mutasi atau variasi somaklonal, maka materi hasil kriopreservasi
perlu dibuktikan stabilitas genetiknya. Pengujian stabilitas genetik setelah kriopreservasi
sekaligus merupakan validasi terhadap protokol yang dikembangkan. Validasi protokol melalui
pengujian materi hasil kriopreservasi dapat dilakukan pada tingkat fenotipe, biokimia
(protein/enzim), kromosom (genom, jumlah kromosom), maupun pada tingkat molekuler (DNA,
RNA). Untuk memungkinkan pertukaran protokol secara nasional, regional atau internasional,
protokol yang dikembangkan dapat diuji validitasnya pada beberapa laboratorium atau dapat
juga didahului dengan suatu lokakarya penyeragaman teknik pengembangan protokol (Reed at
al. 2001).

2.2 Teknik Kriopreservasi


Teknik kriopreservasi dapat dibedakan atas teknik lama (klasik) dan teknik baru :
2.2.1 Teknik lama (klasik)
Teknik ini didasarkan pada freeze-induced dehydration, yaitu dehidrasi yang diinduksi
dengan pembekuan pada suhu di bawah titik beku air hingga -40°C. Teknik lama juga disebut
teknik pembekuan lambat atau teknik pembekuan dua tahap. Teknik pembekuan dua tahap
meliputi inkubasi sel pada krioprotektan dengan total konsentrasi 1-2 M yang menyebabkan
dehidrasi moderat dan diikuti oleh pembekuan lambat, misalnya dengan kecepatan 1°C per menit
hingga suhu -35°C, lalu pembekuan dalam nitrogen cair dan selanjutnya thawing (pelelehan) (Ika
dan Ika, 2003).
2.2.2 Teknik baru
Teknik ini didasarkan pada vitrification, yaitu dehidrasi yang diinduksi pada suhu di atas
titik beku air. Vitrification (vitrifikasi) adalah fase transisi air dari bentuk cair menjadi bentuk
nonkristalin atau amorf, tembus pandang (glassy) karena elevasi ekstrim dari larutan yang viskos
selama pendinginan. Teknik vitrifikasi didasarkan pada dehidrasi sel pada suhu non-

7
freezing (tidak beku), yaitu dengan merendam bahan dalam larutan krioprotektan dengan total
konsentrasi 5-8 M pada suhu 0-25°C dan diikuti oleh pembekuan dan selanjutnya pelelehan.
Macam-macam teknik baru antara lain (1) vitrifikasi, (2) enkapsulasidehidrasi, (3) enkapsulasi-
vitrifikasi, (4) desikasi, (5) pratumbuh, (6) pratumbuh-desikasi, dan (7) dropplet-freezing (Ika
dan Ika, 2003).
Adapun penjelasannya sebagai berikut:
 Pada teknik vitrifikasi, bahan diperlakukan dengan senyawa krioprotektif dan dehidrasi
dengan larutan vitrifikasi, lalu diikuti dengan pembekuan cepat, pelelehan, dan
pembuangan krioprotektan serta pemulihan kultur.
 Teknik enkapsulasidehidrasi didasarkan pada teknologi yang telah dikembangkan pada
produksi benih sintetik. Pada teknik tersebut, bahan dienkapsulasi pada kapsul alginat,
lalu ditumbuhkan pada medium yang diperkaya dengan sukrosa dan dikeringkan secara
parsial dalam laminar air flow cabinet atau gel silika hingga kandungan air sekitar 20%
dan diikuti oleh pembekuan cepat (Ika dan Ika, 2003).
 Teknik enkapsulasi-vitrifikasi merupakan kombinasi antara teknik vitrifikasi dan
enkapsulasidehidrasi, yaitu bahan dienkapsulasi dengan kapsul alginat, lalu dibekukan
dengan teknik vitrifikasi.
 Teknik desikasi merupakan teknik yang paling sederhana, yaitu mengeringkan bahan
dalam laminar air flow cabinet, gel silika atau flash drying hingga kandungan air 10-
20%, kemudian diikuti oleh pembekuan cepat (Ika dan Ika, 2003).
 Teknik pratumbuh meliputi penanaman bahan ke dalam media yang mengandung
krioprotektan, lalu diikuti oleh pembekuan cepat.
 Teknik pratumbuh-desikasi dilakukan dengan menanam bahan ke dalam media yang
mengandung krioprotektan, lalu mengeringkannya dalam laminar air flow cabinet atau
gel silika dan diikuti oleh pembekuan cepat.
 Droplet-freezing diawali dengan pra-perlakuan bahan ke dalam media cair yang
mengandung krioprotektan, lalu meletakkan pada Al-foil yang disertai dengan droplet
krioprotektan dan diikuti oleh pembekuan cepat (Ika dan Ika, 2003).

8
Teknik lama memerlukan peralatan terprogram yang cukup mahal harganya, sedangkan
teknik baru tidak memerlukan peralatan canggih dan prosedurnya relatif lebih mudah. Teknik
lama memerlukan peralatan pembekuan, digunakan pada kultur sel, dan lebih sulit diaplikasikan
pada unit sel yang lebih besar seperti tunas apikal atau embrio. Teknik lama berhasil diterapkan
pada sistem kultur yang tidak terdiferensiasi (suspensi sel dan kalus) dan spesies yang toleran
terhadap suhu dingin, namun tidak berhasil diterapkan pada spesies tropis. Teknik vitrifikasi
telah berhasil diterapkan pada spesies dengan skala yang lebih luas (tropis dan subtropis) dan
sistem kultur yang lebih kompleks (embriosomatik, suspensi sel, dan meristem apikal) (Ika dan
Ika, 2003).

2.3 Kriopreservasi dalam Penyimpanan Plasma Nutfah


Penyimpanan plasma nutfah dengan teknik kriopreservasi tidak membutuhkan ruangan
yang besar karena tabung nitrogen cair cukup memadai untuk menyimpan bahan tanaman dalam
ragam dan jumlah yang banyak. Selain itu, teknik kriopreservasi tidak menyebabkan perubahan
tanaman yang disimpan karena tidak menggunakan zat penghambat tumbuh. Menurut Sakai
(1993), kriopreservasi yang dilakukan terhadap sel dan meristem menjadi metode penting dalam
penyimpanan plasma nutfah untuk jangka panjang karena hanya diperlukan ruang yang
minimum dan tidak terjadinya perubahan genetik. Dalam implementasinya, teknik kriopreservasi
memerlukan keterampilan khusus dan nitrogen cair perlu tersedia secara kontinu.
Koleksi plasma nutfah tidak hanya bermaksud mempertahankan hidupnya materi tetapi
juga kesamaan susunan genetik materi sebelum dan sesudah koleksi. Hal ini memungkinkan
pemanfaatannya sesuai potensi genetik yang dimiliki dikemudian hari. Koleksi plasma nutfah
secara in vitro memungkinkan ketersediaan materi sepanjang tahun, proteksi terhadap risiko
lingkungan dan patogen, kemudahan dalam duplikasi materi untuk disimpan pada lokasi
berbeda, observasi materi secara berkala terhadap penurunan vigor, kualitas, serta serangan
patogen (Dodds 1991, Kartha 1985, Taylor dan Murikami 2000).
Penggunaan metode kriopreservasi dapat mengatasi masalah keterbatasan ruang melalui
penyimpanan dalam tangki (cryo container). Sebagai contoh sebuah tabung kriopreservasi yang
memuat enam rak dengan kapasitas 11 kotak per rak dan 120 tabung per kotak akan menampung

9
7920 tabung. Apabila satu tabung diisi dengan 20 eksplan tanaman koleksi maka satu container
dapat menampung sekitar 158 ribu eksplan.
Melalui penyimpanan pada nitrogen cair (suhu -196o C), koleksi materi kriopreservasi
dapat bertahan hingga waktu tak terbatas dan diasumsikan dapat menjaga konsistensi genetik
ketika dipanaskan kembali. Hal ini dimungkinkan karena pada suhu yang ekstrim rendah, seluruh
proses biologis materi berada pada kondisi stand still atau berlangsung sangat lambat (Kartha
dan Engelmann 1994). Pertumbuhan kembali (recovery) setelah kriopreservasi akan berlangsung
dari hanya sejumlah kecil sel yang mampu bertahan hidup (survive), dengan demikian akan
dihasilkan tanaman in vitro bebas virus dan patogen lainnya bahkan melebihi efektifitas kultur
meristem (Brison et al. 1997, Helliot et al. 2002). Selanjutnya koleksi kriopreservasi dapat
mengurangi ketergantungan pada aliran listrik karena nitrogen cair dapat ditambahkan secara
manual. Kemungkinan penyimpanan untuk jangka waktu tak terhingga dengan kriopreservasi
(dengan catatan masukan nitrogen cair dilakukan secara rutin) akan meniadakan perlunya
penanaman kembali atau subkultur, memungkinkan pemanfaatan yang efisien dari tenaga teknisi
yang terbatas serta mengurangi biaya operasional sebagaimana terjadi pada koleksi lapang dan
koleksi in vitro. Kelebihan lain dari kriopreservasi adalah koleksi dapat dilakukan pada berbagai
eksplan meliputi protoplas, suspensi sel, kalus, tunas/ pucuk, embrio, serbuk sari hingga biji
(Bajaj 1995, Ng dan Daniel 2000; Reinhoud et al. 2000, Stanwood 1985, Towill dan Walters
2000).
Memahami keterbatasan dan kelebihan masingmasing metode koleksi, maka koleksi lapang
dan koleksi in vitro umumnya untuk koleksi jangka pendek/ koleksi aktif, yaitu untuk pertukaran
plasma nutfah atau pemanfaatan langsung, sedangkan kriopreservasi untuk koleksi jangka
panjang/koleksi dasar.

2.4 Prosedur Kerja Kriopreservasi


Penelitian dan pemanfaatan kriopreservasi dalam koleksi plasma nutfah tanaman
meningkat pesat sejak dikembangkannya metode sederhana seperti vitrifikasi oleh para peneliti
Jepang dan USA (Langis et al. 1989, Uragami et al. 1989), enkapsulasi-dehidrasi oleh para
peneliti Perancis (Dereuddre et al. 1990) serta droplet (Schäfer-Menuhr et al. 1994) oleh para
peneliti German. Metode tersebut dikenal dengan metode berbasis vitrifikasi (Engelmann 2000).

10
Vitrifikasi adalah pembentukan struktur menyerupai kaca (meta-stable glass) pada suhu yang
sama dengan atau di bawah titik beku larutan tertentu. Meskipun metode lama yakni pendinginan
lambat atau pendinginan bertahap tetap digunakan, pemanfaatannya hanya terbatas pada
beberapa laboratorium misalnya di USA (Reed 2002) dan CIAT-Columbia (Escobar et al. 1997).
Terbatasnya penggunaan metode lama disebabkan karena beberapa alasan termasuk tingkat
kerumitan prosedur, penggunaan eksplan yang terbatas, kurang ekonomis, serta kurang sesuai
untuk eksplan yang kompleks seperti tunas/pucuk atau embrio.
Spesifikasi metode vitrifikasi dibandingkan dengan kedua metode lainnya termasuk
pemanfaatan larutan vitrifikasi/dehidrasi yakni campuran beberapa krioprotektan (sukrosa,
gliserol, etilen glicol-EG, dimetilsulfocida-DMSO) yang dikenal dengan‚ plant vitrivication
solution-PVS1, 2, 3, dan 4. Sebagai contoh, PVS2 mengandung 13,7% (w/v) sukrosa, 30% (w/v)
gliserol, 15% (w/v) EG, dan 15% (w/v) DMSO (Sakai et al. 1990). Dalam metode enkapsulasi-
dehidrasi, eksplan dibungkus dengan kapsul gel alginat sebelum didehidrasi dengan
menggunakan eksikator atau pada laminar flow box. Pada metode droplet, eksplan dibungkus
dengan tetesan krioprotektan DMSO pada aluminium foil sebelum dimasukkan kedalam nitrogen
cair. Dalam pengembangan lebih lanjut, spesifikasi tiap metode dapat dikombinasikan untuk
mendapatkan protokol yang sesuai pada tanaman tertentu (Hirai dan Sakai 2003, Leunufna dan
Keller 2005, Mandal 2000, Pennycooke dan Towill 2001).
Tahapan lengkap suatu protokol kriopreservasi (contoh pada metode vitrifikasi) umumnya
meliputi perlakuan/pengkondisian tanaman sumber eksplan, kultur awal, pemuatan (loading),
dehidrasi, pendinginan pada nitrogen cair, pemanasan kembali, pelepasan muatan/pencucian
serta kultivasi lanjut untuk pengamatan pertumbuhan kembali (Steponkus et al. 1992). Meskipun
demikian, telah dikembangkan juga beberapa metode sederhana yang hanya menggunakan
sebagian tahapan protokol di atas. Termasuk dalam metode tersebut adalah pendinginan dua
tahap (Reinhoud et al. 2000). Penyederhanaan protokol dapat mengurangi kerusakan pada sel-sel
eksplan sebagai akibat berbagai perlakuan, dengan tetap memberikan perlindungan maksimal
pada sel terhadap suhu ekstrim dingin, yang dinyatakan dengan persentase pertumbuhan kembali
yang cukup memadai, di samping sedikit penghematan terhadap waktu dan biaya operasional.

11
2.5 Beberapa Penelitian Tentang Kriopreservasi
2.5.1 Kriopreservasi Mata Tunas Ubi Kayu Lokal Indonesia
Ubi kayu (Manihot esculenta Grantz.) merupakan salah satu sumber pangan penting di
Indonesia yaitu termasuk tiga besar sebagai sumber karbohidrat. Penggunaan stek mini ubi kayu
(5-10 cm) sudah terbukti dapat diregenerasikan menjadi tanaman dewasa dan menghasilkan
umbi. Namun, ukuran tersebut masih terlalu besar bila disimpan dengan metoda kriopreservasi
karena masih terdapat kandungan air di dalam organ yang menyebabkan terjadinya kristalisasi es
semakin tinggi.
Beberapa hasil penelitian terkait penyimpanan ubi kayu telah dilaporkan, umumnya
menggunakan tunas apikal atau tunas samping (leaf bud) planlet in vitro yang ukurannya sudah
kecil. Selain itu, kriopreservasi ubi kayu di Indonesia yang dilakukan pada tunas pucuk dari
planlet in vitro dengan menggunakan teknik vitrifikasi. Kriopreservasi ubi kayu dengan organ
mata tunas hingga saat ini belum pernah dilaporkan. Penggunaan mata tunas akan melengkapi
keterbatasan jumlah tunas apikal atau aksilar plantlet in vitro. Keberhasilan penyimpanan dalam
jangka panjang akan mengurangi biaya sub kultur dan media in vitro karena dapat ditanam
langsung di tanah.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh prosedur penyimpanan jangka panjang
ubi kayu yang praktis menggunakan stek super mini dan mata tunas dari batang tanaman ubi
kayu Manggu, Mentega 2, dan Kristal Merah dengan teknik kriopreservasi pembekuan cepat.
Penelitian dilakukan dalam rangka mendukung penyediaan bibit unggul lokal Indonesia.
Bagian tanaman ubi kayu lokal (Manggu, Mentega 2, Kristal Merah) yang akan dipreservasi
adalah stek super mini (1 dan 2 ruas buku) yang mempunyai satu mata tunas berjarak 0,5; 1; dan
2 cm, mata tunas belum dan yang sudah merekah. Sampel ubi kayu genotip Manggu dan
Mentega 2 berjumlah satu buku dipotong dengan jarak dari mata tunas yaitu 0,5; 1; 2 cm. Sampel
ubi kayu berjumlah dua buku dipotong dengan jarak dari mata tunas yaitu 1 cm.
krioprotektan yang digunakan mempunyai komposisi (1) 87% gliserol, 5% DMSO, 10%
DMSO; (2) 87% gliserol dan 10 % DMSO; (3) 87% gliserol dan 5% DMSO. Larutan
krioprotektan komposisi 1 digunakan untuk stek super mini yang oleh beberapa peneliti
digunakan untuk tunas pucuk in vitro sedangkan komposisi 2 dan 3 digunakan untuk mata tunas.

12
Kriopreservasi stek super mini berbagai ukuran. Sampel yang telah ditiriskan 1 jam (kering
angin) di atas tisu setelah perendaman dalam larutan krioprotektan selama 1 jam, kemudian
direndam dalam larutan fungisida Agrep (20 g/L) dan Dithane M-45 (40 g/L) dalam 1 L aquades
selama 1 jam. Selanjutnya pencucian dilakukan dengan akuades. Sampel dibungkus dengan
aluminium foil dan dimasukkan ke tabung berisi nitrogen cair selama 1 jam dan 1 hari dengan
uap nitrogen cair minimal suhu - 40℃.
Kriopreservasi mata tunas tanpa bagian batang utama. Mata tunas direndam dalam larutan
krioprotektan yang mengandung kombinasi 87% gliserol dan 10% DMSO atau dalam larutan 5%
DMSO hingga seluruh bagian tanaman terendam selama 1 jam. Mata tunas dibungkus dengan
aluminium foil dan ditetesi larutan krioprotektan. Selanjutnya, sampel dicelupkan dalam tangki
nitrogen cair, masingmasing ada yang direndam selama 45 menit dan ada yang direndam selama
3 minggu.
Pengamatan dilakukan pada umur tanam 3, 6, 12, 24 hingga 48 Hari Setelah Tanam (HST).
Parameter pengamatan meliputi persentase daya hidup dan tinggi tunas semua perlakuan dan
kontrol. Pada media tumbuh tisu basah. Berdasarkan pengamatan, hasil menunjukkan bahwa stek
super mini ukuran 0,5 cm dapat hidup 100% pada semua genotip sehingga secara ideal, ukuran
ini yang akan bertahan hidup setelah penyimpanan di nitrogen cair. Mata tunas tanpa bagian stek
batang dari semua genotip yang dicoba dapat hidup pada tisu lembab, baik yang dibasahi dengan
air atau larutan hara makro, sehingga menjadi bagian tanaman terkecil yang ideal untuk
penyimpanan jangka panjang. Oleh karena stek super mini masih berukuran besar, untuk
memperkecil kerusakan sel akibat pembentukan kristal es, penyimpanan hanya dilakukan dengan
uap nitrogen cair dalam tangki nitrogen.
Keberhasilan kriopreservasi mata tunas ubi kayu tergantung genotip, ukuran dan bagian
mata tunas, komposisi larutan krioprotektan, lamanya perendaman, media, dan prosedur
regenerasi setelah perendaman dalam nitrogen cair sehingga apabila faktor tersebut tidak optimal
akan menyebabkan persentase daya hidup rendah. Ukuran mata tunas dan kondisi mata tunas
menentukan prosedur kriopreservasi yang paling sesuai. Semakin besar ukuran, metode
penyimpanan hanya dalam uap nitrogen cair sedangkan mata tunas saja tanpa bagian stek batang,
dapat direndam di nitrogen cair hingga tiga minggu yang mengindikasikan dapat disimpan
selama tidak waktu terbatas. Hasil yang diperoleh merupakan terobosan penyimpanan jangka

13
panjang bahan tanaman ubi kayu atau tanaman berkayu tropis yang berbiak vegetatif lainnya
yang tidak perlu secara in vitro dan lebih praktis. Agar daya hidup mata tunas yang merekah
setelah kriopreservasi semakin meningkat yaitu mencapai lebih dari 40%, diperlukan penelitian
lebih lanjut antara lain pra perlakuan mata tunas pada suhu
2.5.2 Kriopreservasi pada Tanaman Kakao (Theobroma Cacao L.)
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang
mendukung perkembangan sektor ekonomi serta berkelanjutannya ekologi, baik peranannya
sebagai tanaman untuk konservasi maupun sebagai sumber karbon.
Metode kriopreservasi dalam bidang bioteknologi merupakan suatu peluang yang baik
untuk penyimpanan bahan tanaman kakao sebagai tanaman yang bijinya tergolong rekalsitran.
Metode ini juga bermanfaat untuk kepentingan konservasi plasma nutfah. Kriopreservasi
menggunakan encapsulation-dehydration untuk jangka panjang telah dikembangkan untuk
konservasi plasma nutfah kakao. Kemampuan hidup dari tiap individu embrio somatik yang
dienkapsulasi setelah desikasi dan kriopreservasi dapat dicapai melalui optimasi larutan
cryoprotectant (ABA dan gula), lama waktu osmosis dan evaporasi dehidrasi, serta tahapan
perkembangan embrio (Fang et al., 2004). Menggunakan teknik kriopreservasi, suatu organ atau
jaringan dapat disimpan dalam waktu lama tanpa adanya penurunan viabilitas, sehingga dapat
menunjang kelestarian sumber daya hayati, dan lebih spesifik akan menunjang keberlanjutan
produksi kakao dunia. Dalam perkembangannya, menggunakan teknik terbaru, kriopreservasi
telah diterapkan untuk menyimpan kalus embriogenik kakao. Dengan metode ini kalus tersebut
dapat disimpan dalam waktu lama dan masih mampu diekspresikan untuk menghasilkan embrio
somatik (Florin et al., 2000).
Dengan keberhasilan kriopreservasi pada beberapa spesies tanaman, khususnya kakao,
maka membuka jalan untuk penerapan teknik ini di Indonesia. Penerapan tersebut dapat
ditujukan untuk menyimpan benih kakao, sehingga dapat memperpanjang waktu dormansi benih
sehingga menunda perkecambahannya. Penundaan ini bermanfaat dalam pengelolaan pengiriman
benih dari sumber benih ke lokasi penanaman serta bermanfaat untuk tujuan penyimpanan
material genetik kakao. Disamping itu metode ini juga dapat digunakan untuk menyimpan kalus
embriogenik, maupun embrio somatik kakao, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai materi
perbanyakan tanaman kakao secara klonal, sehingga tidak mengubah sifat genetik tanaman.

14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
kriopreservasi adalah teknik penyimpanan materi genetik dalam keadaan beku pada
temperatur rendah atau suatu teknik penyimpanan sel hewan, tumbuhan dan materi genetika
lainnya dalam keadaan beku melalui reduksi aktivitas metabolisme tanpa mempengaruhi
organel-organel di dalam sel, fungsi fisiologi, biologi, dan morfologi
Secara umum, kriopreservasi dibedakan menjadi 2 metode yaitu kriopreservasi klasik
yang didasarkan pada dehidrasi sel yang diinduksi pada 0 suhu rendah (di bawah 0°C) atau
freeze-induced dehydration dan metode baru yang didasarkan 0 pada dehidrasi sel pada suhu di
atas 0°C atau vitrifikasi
Melalui penyimpanan pada nitrogen cair (suhu -196°C), koleksi materi kriopreservasi
dapat bertahan hingga waktu tak terbatas dan diasumsikan dapat menjaga konsistensi genetik
ketika dipanaskan kembali. Hal ini dimungkinkan karena pada suhu yang ekstrim rendah, seluruh
proses biologis materi berada pada kondisi stand still atau berlangsung sangat lambat
Tahapan lengkap suatu protokol kriopreservasi (contoh pada metode vitrifikasi)
umumnya meliputi perlakuan/pengkondisian tanaman sumber eksplan, kultur awal, pemuatan
(loading), dehidrasi, pendinginan pada nitrogen cair, pemanasan kembali, pelepasan
muatan/pencucian serta kultivasi lanjut untuk pengamatan pertumbuhan kembali

3.2 Saran
Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam penulisan makalah ini.
Untuk itu saya selaku penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yaitu kritik dan
saran yang membangun, agar kedepannya saya selaku penulis lebih baik lagi dalam menulis
makalah. Dan dalam melakukan pengamatan kriopreservasi harus mengutamakan keselamatan
kerja dalam ruangan yang sangat dingin.

15
DAFTAR PUSTAKA

Bajaj, Y.P.S. 1979. Technology and prospects of cryopreservation of germplasm. Euphytica


28:267- 285.
Charoensub R, Phansiri S, Yongmanitchai W, Sakai A (2003) Kriopreservasi rutin pada apeks
ketiak yang ditanam secara in vitro (Manihot esculenta Crantz) dengan vitrifikasi:
pentingnya kultur mononodal sederhana. Scientia Horticulturae 98 (4): 485-492.
Escobar RH, Mafla G, Roca WM (1997) A methodology for recovering cassava plants from
shoot tips maintained in liquid nitrogen. Plant Cell Reports 16:474–478
Florin B., E. Brulard & V. Pétiard (2000). In vitro cryopreservation of cacao genetic resources.
pp 344-347. In: F. Engelman & H. Tagaki (eds) Cryopreservation of tropical plant
germplasm. Japanese International Research Centre for Agricultural Sciences and IPGRI,
Rome, Italy
Hirai, D. and A. Sakai. 1999a. Cryopresrvation of in vitrogrown axillary shoot-tip meristems of
mint (Mentha spicata L.) by encapsulation vitrification. Plant Cell Report 19:150-155.
Ika Roostika Tambunan dan Ika Mariska. 2003. Pemanfaatan Teknik Kriopreservasi dalam
Penyimpanan Plasma Nutfah Tanaman. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya
Genetik Pertanian. Bogor
Kartha KK. 1985. Meristem culture and germplasma preservation. In: KK Kartha (Ed.).
Cryopreservation of Plant Cells and Organics. 116-134. Cre Press. Florida,.
Reed, B.M. (2011). Choosing and applying cryopreservation protocols to new plant species or
tissues. Acta Horticulturae908:363-372.
Suprianata, I. dan F.H. Pasaribu. 1992. In Vitro Fertization, Transfer Embrio dan Pembekuan
Embrio. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.
Takagi H, NT Thinh, OM Isulam, T Senboku and A Sakai. 1997. Cryopreservation of In Vitro-
Gtovm Shoot Tips of Taro (Colocasia esculenta L. Schott) by Vitrification. Plant Cell
Report 16, 594-599

16

Anda mungkin juga menyukai