UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MEI 2018
DAFTAR ISI
Halaman Sampul...............................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
2.1 Kriopreservasi...................................................................................................................3
4.1 Hasil..................................................................................................................................9
4.2 Pembahasan.....................................................................................................................10
BAB V PENUTUP........................................................................................................................12
5.1 Kesimpulan.....................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................13
LAMPIRAN-LAMPIRAN............................................................................................................15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia yang terdiri lebih dari 17.000 pulau dan terletak di antara dua benua dan dua
samudera membentuk keanekaragaman ekosistem sekurang-kurangnya 42 ekosistem daratan
alami dan 5 ekosistem lautan. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki plasma
nutfah tumbuhan terbesar di dunia. Namun, perhatian untuk menyimpan, melestarikan atau
bahkan menyelematkan plasma nutfah tumbuhan yang hampir punah masih sangat minim
dibandingkan dengan Negara lain yang sudah gencar melakukan penyelamatan pada plasma
nutfah tumbuhan yang mereka miliki sejak bertahun-tahun yang lalu. Teknik preservasi dapat
dilakukan untuk pelestarian dan penyelamatan plasma nutfah di Indonesia. Teknik preservasi
yang bisa dilakukan adalah secara In-situ , Ex-situ dan In-vitro. Teknik preservasi secara in-vitro
dapat dilakukan dengan metode kriopreservasi. Kriopreservasi adalah penyimpanan tumbuhan
pada suhu ultra beku dengan menggunakan nitrogen cair. Tujuan utama konservasi in vitro
adalah mereduksi laju pertumbuhan yang dilakukan dengan manipulasi. Metode yang
dikembangkan untuk tujuan ini adalah penyimpanan pada suhu rendah dan dengan pengurangan
pencahayaan. Metode ini sangat praktis berbagai tanaman. Untuk itu, pada praktikum kali ini
mahasiswa melakukan metode kriopreservasi pada tanaman mawar. Untuk mengetahui dan
memahami lebih mendalam mengenai teknik kriopreservasi.
1
1.2. Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum kriopreservasi ini adalah sebagai berikut:
a. Mahasiswa dapat mengetahui secara langsung dan rinci teknik kriopreservasi.
b. Mahasiswa dapat memahami dan mengikuti tahapan pada teknik kriopreservasi.
c. Mahasiswa dapat melakukan analisis pada tumbuhan hasil kriopreservasi.
d. Mahasiswa dapat memberikan evaluasi hasil teknik kriopreservasi.
e. Mahasiswa dapat melakukan metode kriopreservasi secara mandiri untuk menyelamatkan
plasma nutfah tumbuhan yang ada di Indonesia.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kriopreservasi
Teknik kriopreservasi merupakan teknik penyimpanan pada suhu sangat rendah dengan
menggunakan nitrogen. Pembelahan sel dan proses metabolism di dalam sel, jaringan, atau
organ tanaman dapat dihentikan dalam waktu yang tidak terbatas melalui kriopreservasi
(Ashmore,1997). Kondisi suhu penyimpanan secara kriopreservasi dalam nitrogen sangat
rendah, yaitu -160° C hingga -180°C pada fase uap, bahkan sampai -196°C pada fase cair dan
di bawah -200°C pada fase terpadatkan (solidified) (Grout, 1995). Teknik kriopreservasi
sangat potensial dikembangkan untuk penyimpanan plasma nutfah tanaman dalam jangka
panjang hingga puluhan tahun (Towill dan Jarret, 1992).
Secara teknis, kriopreservasi telah berkembang dari teknik klasik yang didasarkan pada
free-induced dehydration of the cell melalui pembekuan lambat dan teknik baru yang
didasarkan pada vitrification melalui pembekuan cepat (Ashmore, 1997). Berbagai macam
teknik baru tersebut telah berkembang (Roostika dan Mariska, 2004), antara lain vitrifikasi,
enkapsulasi-dehidrasi, enkapsulasi-vitrifikasi, desikasi, pratumbuh-desikasi, droplet, dan
droplet-vitrifikasi. Secara umum, tahapan teknik kriopreservasi meliputi pratumbuh,
prakultur, pemuatan (loading), dehidrasi, pembekuan, pelelehan, penggantian muatan
(deloading atau unloading), pemulihan, dan regenerasi.
Teknik kriopreservasi tidak hanya menjadi bahan yang menarik untuk diteliti, namun
telah diterapkan secara rutin di beberapa pusat penelitian di berbagai negara. International
Transit Center (ITC) yang dahulu dikenal sebagai INIBAB (International Network for the
Improvement of Banana and Plantain) di Belgia telah menerapkan teknik kriopreservasi
secara rutin terhadap tanaman pisang (Panis, 2009). Demikian pula, International Centre for
Tropical Agriculture (CIAT) di Kolombia, Institut fur Pflanzengenetik
undKulturpflanzenforschung (IPK) di Jerman, International Potato Center (CIP) di Peru,
National Institut of Agrobiological Science (NIAS) di Jepang, dan National Clonal
Germplasm Repository di Amerika Serikat telah rutin menyimpan ubi kayu, kentang, dan
tanaman buah-buahan secara kriopreservasi di bank gen (Keller et al., 2008).
3
Dari sisi aplikasi, kriopreservasi telah mengalami perkembangan yang nyata.
Kriopreservasi tidak hanya diterapkan untuk penyimpanan koleksi pasif. Dewasa ini, teknik
tersebut dikembangkan untuk penerapan yang lebih luas, antara lain penyimpanan koleksi
aktif, penyediaan materi untuk persilangan, rekayasa seluler dan transformasi genetik, juga
untuk eradikasi pathogen dan penyimpanan materi hasil perbaikan genetik (Ika, 2013).
Permasalahan yang muncul pada penyimpanan dalam keadaan pertumbuhan aktif adalah
penuaan fisiologis, kehilangan vigoritas, dan totipotensi (total potential genetic) serta
munculnya keragaman somaklonal (Kaeppler et al., 2000). Melalui kriopreservasi, biakan
tidak perlu disubkultur secara frekuentif atau dikulturkan dalam periode yang lama sehingga
totipotensi sel tetap terjamin dan risiko terjadinya kontaminasi akan menurun yang berakibat
pada terpeliharanya koleksi tanpa kekhawatiran akan rusak atau hilangnya materi genetik
yang disimpan. Selain itu, pengurangan frekuensi subkultur akan menurunkan risiko
terjadinya perubahan genetik bahan tanaman yang disimpan (Sakai, 1993). Untuk
menghindari perubahan genetik, disarankan menggunakan struktur yang telah terdiferensiasi
sebagai bahan yang disimpan secara kriopreservasi. Menurut Sakai (1993), kriopreservasi
jaringan meristematik merupakan teknologi penting dalam penyimpanan plasma nutfah
jangka panjang karena hanya diperlukan ruang yang minimum dan tidak terjadinya
perubahan genetik. Leunufna dan Keller (2003) juga menjelaskan bahwa kriopreservasi
meristem pucuk memungkinkan diperolehnya tanaman yang true-to-type (sesuai dengan
induknya).
4
banyak dalam waktu singkat, seragam, dan bebas penyakit. Keberhasilan teknik kultur
jaringan dipengaruhi antara lain oleh jenis eksplan, yaitu bagian tanaman yang digunakan
sebagai bahan untuk inisiasi suatu kultur, dan komposisi media yang digunakan. Pada
dasarnya, semua tanaman dapat diregenerasikan menjadi tanaman sempurna bila
ditumbuhkan pada media yang sesuai. Salah satu komponen media yang menentukan
keberhasilan kultur jaringan adalah jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang
digunakan. Sitokinin digunakan untuk menumbuhkan dan menggandakan tunas aksiler atau
merangsang pertumbuhan tunas adventif (Yusnita 2004).
Kultur kalus merupakan salah satu teknik kultur in vitro yang banyak digunakan untuk
menghasilkan bibit tanaman bebas penyakit. Terdapat banyak keuntungan dalam penggunaan
kultur kalus, diantaranya dapat diproduksi dalam jumlah banyak dengan kondisi lingkungan
yang terkontrol, tidak memerlukan lahan yang luas, dan dapat menghasilkan metabolit yang
lebih tinggi dari tanaman aslinya (Yustina, 2003).
Kalus adalah kumpulan masa sel yang belum terorganisasi (amorphous) yang terjadi dari
sel-sel jaringan yang membelah diri secara terus menerus. Secara in vitro, kalus dapat
terbentuk pada bekas-bekas luka irisan karena sebagian sel pada permukaan irisan tersebut
akan mengalami proliferasi (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
5
eksplan dapat terkontaminasi oleh mikrooganisme karena kedua-duanya dapat berfungsi
sebagai subsrat yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme termasuk bakteri (Doods dan
Roberts, 1983) dan jamur (Gunawan, 1987).
Tingginya tingkat kontaminasi pada koleksi in vitro di negara tropis kemungkinan
berkaitan dengan kondisi iklim yang memudahkan perkembangan patogen selain sterilisasi
yang kurang memadai baik terhadap materi, bahan, dan alat maupun ruang koleksi. Taylor
(1996) melaporkan bahwa di negara-negara Pasifik Selatan, kontaminasi koleksi in vitro
meningkat pada saat musim hujan. Tingginya tingkat kontaminasi mengharuskan koleksi
materi dalam jumlah relatif tinggi untuk mengurangi kemungkinan hilangnya materi dalam
koleksi secara in vitro.
Kultur jaringan memerlukan kecermatan yang tinggi dan keadaan yang aseptik baik
tempat kerja, alat-alat dan bahan-bahan serta tangan orang yang mengerjakannya, sebab
dapat terjadi kontaminasi dengan mikroorganisme antara lain bakteri dan jamur yang akan
nampak berupa koloni-koloni di permukaan medium. Pandiangan (2003), mengatakan
kontaminasi dapat terjadi dari eksplan baik eksternal maupun internal, mikroorganisme yang
masuk kedalam media, botol kultur atau alat-alat tanam yang kurang steril, ruang kerja dan
kultur yang kotor (mengandung spora di udara ruangan laboratorium) dan kecerobohan
dalam pelaksanaan. Untuk membuat kondisi aseptik dapat dipakai pemanasan autoklaf,
desinfektan atau lampu ultraviolet, sehingga mikroba-mikroba pengganggu dapat dimatikan.
Pengamatan dari berbagai macam hasil kultur jaringan, banyak media kultur dan eksplan
yang terkontaminasi, dengan menunjukkan koloni yang berwarna putih atau biru untuk jamur
dan menampakkan gejala busuk untuk bakteri. Menurut Gunawan (1987), untuk
mendeskripsikan bakteri dan jamur diawali dengan pengamatan morfologi. Berdasarkan
uraian tersebut, perlu untuk mengetahui jenis-jenis bakteri dan jamur yang terdapat pada
medium kultur jaringan dengan eksplan yang terkontaminasi.
6
BAB III
METODE PRAKTIKUM
7
d. Cryo tube dimasukkan Erlenmeyer berisi aquadest steril bersuhu 40◦C dan diletakkan
dalam water bath bersuhu 40◦C selama 5 menit
e. Cryo tube dibawa ke laminar aur flow dan kalus dikeluarkan dari cryo tube untk
kemudian ditanam dalam botol berisi media steril.
f. Kalus diikubasi dalam ruang biakan selama 2 minggu sampai kelihatan kalus yang hidup
(putih) dan yang mati (hitam)
8
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Pengamatan pada praktikum ini dilakukan sebanyak dua kali. Pengamatan dilakukan pada
presentase banyaknya kalus atau embrio yang hidup dan mati hasil kriopreservasi. Pengamatan I
dilakukan pada tujuh hari setelah kultur yakni 26 April 2018. Pengamatan II dilakukan pada 14
hari setelah kultur yakni, 3 Mei 2018. Adapun Tabel 1 akan menjelaskan hasil pengamatan
minggu pertama pada 26 April 2018.
Tabel 1. Pengamatan Tujuh Hari Setelah Kultur Pada Embrio dan Kalus Mawar Hasil
Kriopreservasi
No Pengamatan Hidup Mati
1 Jumlah Embrio (45 Botol) 26 19
2 Jumlah Kalus (14 Botol) 9 5
3 Presentase Embrio 57,77% 42,22%
4 Presentase Kalus 64,28% 35,71%
Dari 45 botol embrio, 19 embrio dikategorikan mati karena adanya kontaminasi yang
disebabkan oleh jamur yang mengakibatkan eksplan tidak bias bertahan. Embrio yang masih
dikategorikan hidup ada 26 embrio. Pada embrio tersebut todak ada indikasi kontaminasi baik
dari jamur atau bahkan bakteri. Sehingga eksplan masih bias melanjutkan proses pertumbuhan
dan perkembangannya. Hingga presentase embrio dengan kategori hidup adalah 57,77% dan
embrio dengan kategori mati 42,22 % dari 45 embrio yang ada.
Jumlah kalus yang didapatkan lebih sedikit dibandingkan embrio. Jumlah kalus pada
praktikum ini adalah 15 botol kalus. Kalus dengan kategori hidup berjumlah 9 botol dan kalus
dengan kategori mati berjumlah 5 botol. Presentase kalus dengan kategori hidup 64,28% dan
kalus dengan kategori hidup 35,71%. Hasil pengamatan kalus dan embrio pada minggu pertama
menjadi dasar pengamatan berikutnya. Sehingga diperoleh Tabel 2 yang menjelaskan hasil
pengamatan minggu kedua 3 Mei 2018.
9
Tabel 2. Pengamatan 14 Hari Setelah Kultur Pada Embrio dan Kalus Mawar Hasil
Kriopreservasi
No Pengamatan Hidup Mati
1 Jumlah Embrio (26 Botol) 25 1
2 Jumlah Kalus (9 Botol) 9 -
3 Presentase Embrio 96,15% 3,85%
4 Presentase Kalus 100% -
Dari 26 embrio dengan kategori hidup pada pengamatan I, satu embrio dikategorikan
mati karena adanya kontaminasi pada pengamatan minggu kedua. Sehingga, presentase embrio
dengan kategori hidup pada pengamatan II adalah 96,15% dan 3,85% dengan kategori mati.
Namun, untuk kalus dari hasil pengamatan minggu pertama tidak ada indikasi kontaminasi.
Sehingga presentase kalus dengan kategori hidup 100%.
4.2 Pembahasan
Pada proses kultur atau penanaman kembali setelah kriopreservasi, terdapat beberapa kalus
dan embrio mengalami kontaminasi yang menghambat pertumbuhan eksplan tersebut bahkan
eksplan tersebut mati. Kontaminasi merupakan permasalahan mendasar yang sering terjadi pada
kultur in-vitro. Pada kondisi media yang mengandung sukrosa dan hara, serta kelembaban dan
suhu yang relatif tinggi, memungkinkan mikroorganisme serta spora jamur tumbuh dan
berkembang dengan pesat.
Komposisi media tumbuh ternyata sangat menguntungkan bagi pertumbuhan cendawan dan
bakteri. Bila diberi kesempatan maka mikroorganisme tersebut akan tumbuh dengan cepat dan
dalam waktu yang singkat akan menutupi permukaan medium serta eksplan yang ditanam.
Selanjutnya, mikroorganisme tersebut akan menyerang eksplan melalui luka-luka akibat
pemotongan dan menanganan pada saat sterilisasi sehingga mengakibatkan kematian eksplan.
Disamping itu, beberapa jenis mikroorganisme melepaskan senyawa beracun ke dalam medium
kultur yang dapat menyebabkan kematian jaringan (Dzulkarnain, 2017).
10
a. Medium sebagai akibat proses sterilisasi yang tidak sempurna
b. Lingkungan kerja dan pelaksanaan penanaman yang kurang hati-hati dan kurang telliti.
c. Eksplan
- Secara internal (kontaminan terbawa dalam jaringan)
- Secara eksternal (kontaminan berada pada permukaan eksplan) akibat proses sterilisasi yang
kurang sempurna
d. Dari serangga atau hewan kecil yang berhasil masuk ke dalam botol kultur setelah
diletakkan di dalam ruang kultur atau ruang stok.
Pada praktikum ini kontaminasi terjadi oleh fungi ditandai dengan munculnya benang-
benang halus yang berwarna putih, yang merupakan miselium fungi. Fungi dapat menginfeksi
jaringan secara sistemik sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan jaringan eksplan akan
mati.Selain itu, apabila kita melakukan gerakan-gerakan selama bekerja di dalam laboratorium,
akan megakibatkan timbulnya suatu awan debu yang hampir tidak tampak. Debu tersebut
mengandung spora yang sangat besar jumlahnya. Bila spora ini kontak dengan media kultur yang
digunakan dalam pekerjaan tersebut, spora kan tumbuh dengan cepat. Dalam beberapa hari spora
akan tumbuh menjadi koloni yang terlihat oleh mata biasa (Wetherel, 1982).
11
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pemanfaatan kriopreservasi dalam koleksi rutin plasma nutfah tumbuhan di Indonesia dapat
dimulai dengan penggunaan peralatan sederhana dan lebih ekonomis untuk spesies dengan
tingkat pertumbuhan kembali (shoot recovery) yang telah cukup memadai sambil terus
mengintensifkan penelitian pengembangan protokol yang memungkinkan pertumbuhan kembali
yang memadai bagi spesies lainnya. Kondisi infrastruktur termasuk kemungkinan suplai nitrogen
cair serta peralatan lainnya, adanya laboratorim kultur jaringan tanaman pada berbagai instansi
serta dimulainya penelitian pengembangan protokol kriopreservasi, sangat memungkinkan bagi
pemanfaatan metode ini di Indonesia.
Proses kriopreservasi hendaknya dilakukann dengan baik dalam keadaan streril untuk
meminimalisir kemungkinan kontaminasi yang akan terjadi. Proses, pemilihan eksplan serta sifat
steril pada pada pelaku kultur juga harus diperhatikan. Karena cendawan yang ada tidak bisa
dilihat dengan kasat mata.
12
DAFTAR PUSTAKA
Ashmore, S.E. 1997. Status Report on the Development and Application of In Vitro Techniques
for the Conservation and Use of Plant Genetic Resources. International Plant Genetic
Resources Institute. Rome. Italy. 67 p.
BCI and Nehem. 1987. Investment Study of Indonesia Flower and Ornamental Plant Sector. BCI
and Nehem, Jakarta.
Grout, B.W.W. 1995. Introduction to the in vitro preservation of plant cells, tissues and organs.
p. 1-17. In B. Grout (ed.) Genetic Preservation of Plant Cells In Vitro. Springer Lab
Manual. Berlin-Heidelberg.
Kaeppler, S.M., H.F. Kaeppler, and Y. Rhee. 2000. Epigenetic aspects of somaclonal variation in
plants. Plant Mol. Biol. 43:179-188.
Keller, E.R., A. Kaczmarczyk, and A. Senula. 2008. Cryopreservation for plant genebanksa
matter between high expectations and cautious reservation. Cryo Letters 29:53-62.
Leifert, C. and Cassells, A.C. 2001. Microbial Hazards in Plant Tissue and Cell Cultures. In
Vitro Cellular Developmental Biology Plant, 37, 133-138.
Leunufna, S. and E.R.J. Keller. 2003. Investigating a new cryopreservation protocol for yams
(Dioscorea spp.). Plant Cell Rep. 21:1159-1166.
13
Panis, B. and N.T. Thinh. 2009. Cryopreservation of Musa germplasm. INIBAB Technical
Guidelines. 44 p.
Roostika, I., I. Mariska, G.A. Wattimena, N. Sunarlim, dan M. Kosmiatin. 2004c. Kriopreservasi
ubi jalar (Ipomea batatas (L) Lam.) secara enkapsulasi-vitrifikasi. J. Penelitian
Pertanian 22(3):159-166
Roostika, Ika. 2013. Perkembangan Aplikasi Teknik Kriopreservasi untuk Konservasi dan
Mendukung Program Pemuliaan Tanaman. Jurnal AgroBiogen. 9(1):39-48
Sakai, A. 1993. Cryogenic strategies for survival of plant culture cells and meristem cooled to-
196oC. Cryopreservation of Plant Genetic Resources. Japan International Cooperation
Agency. p. 5-26.
Santika, A. 1996. Arah dan strategi penelitian tanaman hias untuk menunjang sistem usaha
pertanian berwawasan agribisnis. Seminar Penelitian Tanaman Hias, Jakarta, 20 Maret
1996. Balai Penelitian Tanaman Hias, Jakarta.
Taylor, M. 1996b. In vitro conservation of root and tuber crop in the South Pacific. In Engelman,
F. (Ed.). Management of Field and In Vitro Germplasm Collections. IPGRI-FAO, Cali,
Columbia. p. 93-95.
Towill, L.E. and R.L. Jarret. 1992. Cryopreservation of sweet potato (Ipomea batatas (L.) Lam.)
shoot tips by vitrification. Plant Cell Rep. 11:175-178.
Yustina. 2003. Kultur Jaringan: Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Agro Medika
Pustaka. Jakarta.
_______. 2004. Kultur Jaringan: Cara memperbanyak tanaman secara efisien. Agromedia
Pustaka, Jakarta. 105 hlm.
Wetherel. D. F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman Secara In vitro. Semarang: IKIP Semarang
14
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Gambar 1. Peletakan kalus dan embrio pada Gambar 2. Peletakan cryo tube pada
cryo tube cryo tank
15
Gambar 7. Embrio hidup pada Pengamatan Gambar 8. Kontaminasi jamur pada
I embrio pada Pengamatan I
Gambar 9. Kontaminasi jamur pada kalus Gambar 10. Kalus hidup pada
pada Pengaman II Pengamatan II
Gambar 11. Embrio hidup pada Gambar 12. Kontaminasi jamur pada
Pengamatan II embrio pada Pengamatan II
16