Anda di halaman 1dari 20

Makalah

KOSERVASI EX-SITU
Di Presentasikan Pada Mata Kuliah Keanekaragaman Sumber Daya Alam
(KSDA)

Oleh :
Sugiyanti Slamet ( 431419067 )
Kelas B

PRODI PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur marilah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat
dan rahmatnya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Konservasi
Ex-situ”. Tak lupa pula kita haturkan kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad Saw. Semoga percikan rahmatnya dapat sampai kepada kita semua.
penulis menyajikan makalah ini dengan sangat sederhana agar mudah dipahami.
Semoga makalah ini dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi pembaca.
Akhir kata, tiada gading yang tak retak, demikian pula dengan makalah ini,
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun
tetap kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini. Sehingga dalam pembuatan
Makalah selanjutnya dan dalam kehidupan penulis agar tetap terus barusaha untuk
lebih baik.

                                                        Gorontalo, 10 November, 2021

                                                                                                 
                                                                      Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................1
1.3 Tujuan........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1 Prinsip – Prinsip Konservasi Ex-Situ........................................................3
2.2 Tata Cara Pengendalian Konservasi Ex-Situ.............................................4
2.3 Kategori Konservasi Ex-Situ...................................................................10
2.4 CITES Konservasi...................................................................................12
BAB III PENUTUP..............................................................................................15
3.1 Kesimpulan..............................................................................................15
3.2 Saran........................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konservasi ex-situ merupakan metode konservasi yang mengonservasi
spesies di luar habitat atau sebaran alami populasi tetuanya. Jenis metode ini
merupakan proses melindungi spesies mahluk hidup (langka) dengan
mengambilnya dari habitat yang tidak aman atau terancam dan
menempatkannya di bawah perlindungan manusia. Secara in vivo konservasi
ex-situ dilakukan dengan mempertahankan hidup populasi aktif di luar
lingkungan asal spesies. Sedangkan secara in vitro konservas ex-situ dapat
berupa konservasi semen, oosit, embrio atau sel somatik dalam nitrogen cair.
Konservasi jenis ex-situ ini dapat dilakukan di gene bank atau kebun raya. Di
dalam gene bank, koleksi dapat disimpan dalam bentuk benih, jaringan secara
in vitro, atau dalam bentuk kalus yang belum terdeferensiasi dalam nitrogen
cair.
Metode konservasi ex-situ lain misalnya penyimpanan benih pada
lingkungan yang terkendali. Dengan pengendalian temperatur dan kondisi
kelembaban, benih beberapa spesies yang disimpan akan tetap hidup untuk
beberapa dekade. Metode ini merupakan konservasi yang utama pada
tanaman pertanian dan mulai dipergunakan untuk spesies pohon hutan. Bank
gen, bank klon merupakan jenis konservasi statis yang menghidarkan
perubahan genetik. Kultur jaringan merupakan metode konservasi yang baik.
Metodenya tergolong mahal namun bila penyimpanan secara kriogentik
(cryogenic storage), maka teknik ini merupakan metode konservasi yang
terjamin. Penyimpanan kriogenik merupakan preservai bahan biologis dalam
cairan nitrogen pada suhu 150oC – 196oC. Bentuk yang paling umum untuk
konservasi ex situ untuk pohon adalah tegakan hidup. Hewan langka juga
dapat dikonservasi melalui bankgen, dengan kriogenik untuk menyimpan
sperma, telur atau embrio.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa sajakah prinsip – prinsip konservasi ex-situ ?

1
2. Bagaimana tata cara pengendalian konservasi ex-situ ?
3. Bagaimana kategori konservasi Ex-situ
4. Apakahh CITES konservasi ?
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui prinsip – prinsip konservasi ex-situ
2. Mahasiswa dapat mengetahui tata cara pengendalian konservasi ex-situ
3. Mahasiswa dapat mengetahui kategori konservasi Ex-situ
4. Mahasiswa dapat mengetahui CITES

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Prinsip – Prinsip Konservasi Ex-Situ
UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan
Ekosistem, selanjutnya disebut KSDH berazaskan pelestarian kemampuan
dan pemanfaatan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya secara serasi
dan seimbang, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.
UU ini terdiri 14 bab yaitu yang mengatur tentang pengertian
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, kawasan suaka alam,
pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, pemanfaatan secara lestari sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya, kawasan pelestarian alam, pemanfaatan
jenis tumbuhan dan satwa liar, peran serta masyarakat, penyerahan urusan
dan tugas pembantuan, penyidikan, ketentuan pidana, ketentuan peralihan dan
ketentuan penutup.
Dalam pengelolaan konservasi di Indonesia setidaknya terdapat Prinsip-
prinsip dasar Konservasi yang perlu diperhatikan antara lain :
1. Proses ekologis seharusnya dapat dikontrol
2. Tujuan dan sasaran hendaknya dibuat dari sistem pemahaman ekologi.
3. Ancaman luar hendaknya dapat diminimalkan dan manfaat dari luar
dapat dimaksimalkan
4. Proses evolusi hendaknya dapat dipertahankan
5. Pengelolaan hedaknya bersifat adaptif dan meminimalkan kerusakan
SDA dan lingkungan
Unsur-unsur daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling
tergantung antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi
sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat
terganggunya ekosistemnya.

3
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan
tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat, yang dilakukan
melalui 3 kegiatan yaitu:
1) Perlindungan sistem penyangga kehidupan
2) Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya; dan
3) Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
2.2 Tata Cara Pengendalian Konservasi Ex-Situ
1. Mengumpulkan status kajian tentang spesies, termasuk analisa ancamanya
(threat analysis).
Kajian yang rinci harus dilakukan dengan menggabungkan informasi pada
spesies tersebut, baik di alam bebas maupun pada ex situ, dengan tujuan
memperkirakan kelangsungan populasinya dan mengenali serta memahami
ancaman yang dihadapi spesies tersebut. Langkah ini lazim dilakukan dalam
sebuah proses perencanaan konservasi, dimana mungkin sudah ada beberapa
strategi konservasi atau rencana kerja sebelumnya. Apabila belum, proses ini
cocok untuk dilaksanakan di lingkup yang lebih luas sebagai rekayasa strategi
konservasi terpadu untuk suatu jenis spesies.
a. Kajian status tentang spesies harus memuat semua aspek yang sesuai
tentangsejarah kehidupan dan klasifikasi, status populasi terkini serta
faktor-faktor yang mendukung kelangsungan demografi dan genetika
maupun fungsi ekosistem dari spesies yang bersangkutan. Susunan kajian
tersebut (sekaligus analisa terhadap ancaman - mengacu pada poin b di
bawah ini) harus sesuai dengan proses IUCN yang mana merangkum
informasi status seperti penilaian daftar merah (red list) IUCN3) dan
pendekatan Rencana Konservasi Spesies IUCN/SSC (Species
Conservation Planning approach1). Karakteristik dan skala kajian akan
beragam, tergantung pada situasi, data yang ada, serta relevansinya.
Penting untuk dicatat jika adanya celah/kekurangan informasi sehubungan
dengan status tersebut.

4
b. Analisa terhadap ancaman harus dilakukan untuk mengenali ancaman-
ancaman yang bersifat khusus terkait dengan sejarah, kondisi terkini, dan
masa depan baik secara langsung maupun tidak langsung, bersifat
stokastik yang langsung mengancam di alam liar dan membatasi
kelangsungan hidup dan proses pelestarian. Analisis ini harus
menggunakan analisis data yang berkembang dengan cepat untuk
mengantisipasi rekayasa perubahan iklim dalam memprediksi perubahan
status kajian.
c. Rancangan genetik dan demografi sebaiknya dilakukan untuk menilai
kelayakan populasi di alam bebas. Hal ini berguna sebagai acuan
pengendalian populasi dengan mengenali bagaimana ancaman satu dan
lainnya berdampak pada populasi tersebut (termasuk ancaman yang acak)
dan strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi ancaman tersebut
secara efektif.
2. Menentukan peranan manajemen ex-situ dalam upaya pelestarian spesies
secara menyeluruh.
Peranan manajemen ex-situ dengan strategi yang diusulkan harus
mengatasi sekurang kurangnya satu ancaman dan berpotensi untuk
mengurangi ancaman yang sangat spesifik yang membatasi kelangsungan
hidup dan pelestarian spesies. Ancaman tersebut dimuat dalam analisa
ancaman (threat analysis) yang menjabarkan target khusus dari pelestarian
spesies terhadap ancaman tersebut.
a. Harus ada kejelasan tentang bagaimana program ex-situ yang diusulkan
akan memberikan manfaat yang besar bagi pelestarian spesies dan mampu
mengatasi ancaman-ancaman dan/atau kendala tertentu terhadap
kelangsungan hidupnya seperti yang dimaksud dalam kajian status dan
analisa ancaman sebelumnya. Hal ini harus mencakup target dan sasaran
yang terperinci serta bagaimana keberhasilan akan tercapai dapat terukur
dan dinilai. Apabila data yang memadai dan keahlian tersedia, rekayasa
populasi akan menjadi efektif dalam penilaian dampak yang berpotensi dari
program ex-situ terhadap kelangsungan hidup populasi di alam bebas.

5
b. Peranan penting di mana program ex situ akan mendukung tujuan/fungsi
untuk mencapai manfaat yang besar bagi pelestarian dapat dikategorikan
menjadi empat kategori: Mengatasi penyebab dari ancaman utama,
Menanggulangi dampak dari ancaman tersebut, Mengulur waktu, dan
Mengembalikan populasi di alam bebas pada keadaan semula (lihat Bagian
3) dan secara spesifik termasuk, tetapi tidak terikat pada manfaat lain
sebagai berikut:
a) Jaminan terhadap populasi (menjaga kelangsungan hidup spesies guna
mencegah kepunahannya dalam skala lokal, regional maupun global yang
telah diprediksi sebelumnya);
b) Penyelamatan sementara (dengan cara memindahkan spesies untuk
sementara waktu dari alam bebas agar terlindung dari bencana atau
ancaman besar yang telah diprediksi, misalnya cuaca ekstrem, penyakit,
tumpahan minyak, perdagangan satwa liar). Hal ini dapat terjadi dalam
skala lokal maupun global;
c) Pemeliharaan populasi ex-situ dalam jangka panjang setelah punahnya
populasi liar yang telah diketahui dan sebagai persiapan untuk
memperkenalkan kembali atau membantu spesies untuk mendiami daerah
baru apabila memungkinkan;
d) Manipulasi demografi (program ini diawali dengan memindahkan masing-
masing individu dari alam bebas untuk mengurangi angka kematian
selama tahapan hidup tertentu pada saat terancam dan kemudian pada
akhirnya dikembalikan pada alam);
e) Sumber restorasi populasi, baik untuk pemulihan spesies ke dalam
lingkungan di saat spesies tersebut sudah hilang, atau untuk memperkuat
populasi yang ada (contoh untuk tujuan demografi, perilaku atau genetis);
f) Sumber daya pengganti lingkungan/ekologi guna menumbuhkan kembali
fungsi ekologi yang hilang dan/atau lingkungan hidup yang berubah. Hal
ini mungkin melibatkan spesies yang tidak secara langsung terancam
namun dapat mendukung pelestarian taxa lain melalui peran ekologis
mereka;

6
g) Sumber untuk koloni bantuan (assisted colonisation), guna
memperkenalkan spesies di luar habitat aslinya untuk menghindari
kepunahan;
h) Penelitian dan/atau pelatihan yang bermanfaat langsung bagi pelestarian
spesies tersebut (misalnya dengan metode pemantauan, informasi tentang
sejarah kehidupan, kebutuhan nutrisi, penyebaran penyakit serta
penanggulangannya); dan
i) Landasan untuk program pendidikan dan kesadaran lingkungan yang
mengangkat informasi ancaman-ancaman atau batasan khusus terhadap
pelestarian spesies tersebut atau terhadap habitatnya.
c. Satu program ex-situ dapat digunakan dibeberapa peran pelestarian − baik
secara terus-menerus maupun berurutan. Perlu diketahui bahwa suatu
populasi ex-situ juga mampu mencegah kepunahan dari suatu spesies, disaat
spesies tidak lagi mampu bertahan dalam dunia yang penuh ancaman di
masa mendatang (contohnya menghadapi perubahan iklim).
3. Menentukan karakteristik dan jumlah populasi ex-situ yang diperlukan untuk
memenuhi peranan konservasi yang telah diidentifkasi sebelumnya.
Target dan fungsi konservasi dari sebuah program ex-situ akan
menentukan kebutuhan alam, skala dan jangka waktu.
a. Faktor biologis sangatlah penting dalam penilaian persyaratan untuk
mencapai tujuan dan sasaran program, yakni termasuk:
a) Jumlah cikal bakal/founders (masing-masing individu yang secara genetic
tidak saling berhubungan berasal dari alam yang asli) diperlukan untuk
mencapai tujuan genetis dan demografi terhadap populasi ex-situ. Hal ini
melibatkan pemanfaatan cikal bakal tersebut (beserta keturunannya) dari
populasi ex-situ yang ada dan/atau percontohan/sampling (sebagai
tambahan) individu (dan tunas ataupun bahan-bahan biomaterial) dari alam
bebas, dari berbagai jenis habitat, populasi dan lain-lain;
b) Jumlah individu atau sampel cikal bakal yang diperlukan atau yang harus
diproduksi di lingkup ex-situ;

7
c) Perlu tidaknya reproduksi atau pengembang-biakan selama program
berlangsung;
d) Waktu yang diperlukan untuk berlangsungnya program bila
memungkinkan;
e) Risiko akan seleksi/adaptasi buatan (secara genetika, fenotofik, dan lain-
lain) selama generasi turun-temurun di dalam kondisi ex situ;
f) Apakah aksi pelestarian ex-situ yang direncanakan, diikuti oleh dilepas
liarkan (adanya konsekuensi untuk menyediakan lingkungan khusus di
lingkup ex-situ);
g) Jenis lingkungan yang dibutuhkan untuk menjaga individu tersebut di
dalam kondisi yang cocok selama program berlangsung.
4. Menentukan sumber daya dan keahlian yang diperlukan agar program
manajemen ex-situ dapat tepat sasaran serta memperkirakan kelayakan dan
risikonya.
Tidak hanya sekedar mengetahui pentingnya potensi ex situ dalam sebuah
program konservasi, perlu juga dilakukan peninjauan sumber daya yang
dibutuhkan, kelayakan pengelolaan program, dan kemungkinan keberhasilan
pada tiap-tiap langkah. Termasuk hal-hal yang berkenaan dengan
pengembalian ke alam bebas serta risikonya termasuk risiko terhadap spesies
tersebut di alam nantinya, serta risiko terhadap kegiatan pelestarian lain yang
sudah ada di kawasan tersebut. Harus ada keseimbangan antara risiko
kegagalan dengan tindakan pelestarian yang diambil.
a. Penting dilakukan penilaian terhadap sumber daya yang dibutuhkan untuk
pembentukan dan perawatan populasi ex-situ dengan karakteristik yang
ditentukan. Beberapa faktor penting yang dapat menentukan skala
kebutuhan sumber daya adalah:
a) Fasilitas, infrastruktur, dan ruang yang diperlukan;
b) Sumber daya manusia yang memadai (dalam jumlah, ketrampilan dan
kesinambungan);

8
c) Risiko penyebaran penyakit (kebutuhan akan biosecurity, karantina,
pengamatan, penelitian tentang penyebab penyakit, dan penyakit itu
sendiri)
d) Risiko bencana yang berdampak pada program ex-situ (bencana alam
maupun yang disebabkan oleh manusia seperti kebakaran, pergolakan
masyarakat.
e) Pendanaan yang dibutuhkan untuk seluruh kegiatan dalam kurun waktu
yang tertentu (berbanding terhadap keseluruhan waktu saat program
berlangsung).
b. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan untuk melihat kelayakan dan risiko
dari proyek yang akan dilakukan antara lain:
a) Kemungkinan untuk mendapatkan sumber daya yang dibutuhkan,
termasuk staf ahli dan manager proyek dengan kemampuan yang layak.
Pengelolaan ex-situ yang efektif untuk pelestarian membutuhkan tim dari
berbagai keahlian yang efektif dalam bidang biologi, teknik dan sosial;
b) Persaingan terhadap sumber daya yang mungkin berkaitan dengan
program lain untuk jenis taxa yang sama maupun berbeda sekaligus
kesempatan untuk berbagi biaya;
c) Adanya keahlian dalam bidang perawatan/pengendalian
penyakit/pengolahan/pengembang-biakan/penyimpanan untuk tahap-tahap
kehidupan bagi jenis tersebut dan / atau taxa yang berhubungan
/sebanding.
d) Tingkat kestabilan atau tingkat persetujuan tentang klasifikasi dan
taksonomi dari jenis yang masih belum jelas, pengetahuan tentang evolusi
spesies terentu, struktur genetika populasi dan risiko inbreeding dan
outbreeding;
e) Pentingnya andil institusi baik pemerintah maupun non-pemerintah dan
kolaborasi demi keberhasilan antara semua pihak terkait (termasuk
rekanan yang bertanggung jawab pada konservasi di lapangan);

9
5. Membuat keputusan yang berbasis informasi (berdasarkan data dari
langkah-langkah di atas) yang transparan (menunjukkan bagaimana dan
mengapa keputusan tersebut diambil).
Keputusan untuk melakukan pengelolaan ex-situ ke dalam strategi
pelestarian untuk suatu spesies harus menimbang potensi keuntungan dan
keberhasilan pelestarian pada spesies tersebut dan seluruh biaya serta risiko
yang tidak hanya dilihat dari program ex-situ, namun tindakan pelestarian
yang lain seperti in situ atau lainnya yang sedang berlangsung. Bobot
kepentingan, potensi dan keuntungan pelestarian vs kemungkinan
keberhasilan, harga dan risiko, akan sangat bervariasi bagi tiap-tiap spesies.
Hal ini bergantung pada situasi dan faktor-faktor dibawah ini, walaupun tidak
terbatas hanya pada:
a) Tingginya ancaman dan/atau risiko punah dari populasi liar;
b) Pentingnya peranan spesies tersebut (secara ekologis, budaya,
sosiologis, ekonomis atau kekhasan evolusi, nilai spesies dalam
mengangkat pelestarian habitat dalam skala yang besar, dan lain-lain);
dan
c) Peraturan secara hukum dan politik.
Pada umumnya, strategi pengelolaan pelestarian apapun, termasuk ex-situ,
dapat dijamin apabila ada manfaat pelestarian yang tinggi dan keberhasilan
yang menjanjikan. Sebaliknya, manajemen ex-situ tidak dapat dijamin
keberhasilannya jika hanya terdapat sedikit manfaat pada pelestarian,
kelayakannya rendah, dan biaya serta risiko (khususnya pada populasi liar)
sangat tinggi.
2.3 Kategori Konservasi Ex-Situ
Kategori Status konservasi IUCN Red List merupakan kategori yang
digunakanoleh IUCN (International Union for the Conservation of Nature
and Natural Resources) dalam melakukan klasifikasi terhadap spesies-
spesies berbagai makhluk hidup yang terancamkepunahan. Dari status
konservasi ini kemudian IUCN mengeluarkan IUCN Red List of Threatened
Species atau disingkat IUCN Red List yaitu daftar status kelangkaan suatu

10
spesies. Kategori status konservasi dalam IUCN Red List pertama kali
dikeluarkan pada tahun 1984.
1. Extinct (EX; Punah) adalah status konservasi yag diberikan kepada spesies
yang terbukti (tidak ada keraguan lagi) bahwa individu terakhir spesies
tersebut sudah mati. Dalam IUCN Redlist tercatat 723 hewan dan 86
tumbuhan yang berstatus Punah. Contoh satwa Indonesia yang telah punah
diantaranya adalah; Harimau Jawa dan Harimau Bali.
2. Extinct in the Wild (EW; Punah Di Alam Liar) adalah status konservasi
yang diberikan kepada spesies yang hanya diketahui berada di tempat
penangkaran atau di luar habitat alami mereka. Dalam IUCN Redlist
tercatat 38 hewan dan 28 tumbuhan yang berstatus Extinct in the Wild.

3. Critically Endangered (CR; Kritis) adalah status konservasi yang diberikan


kepada spesies yang menghadapi risiko kepunahan di waktu dekat. Dalam
IUCN Redlist tercatat 1.742 hewan dan 1.577 tumbuhan yang berstatus
Kritis. Contoh satwa Indonesia yang berstatus kritis antara lain; Harimau
Sumatra, Badak Jawa, Badak Sumatera, Jalak Bali, Orangutan Sumatera,
Elang Jawa, Trulek Jawa, Rusa Bawean.
4. Endangered (EN; Genting atau Terancam) adalah status konservasi yang
diberikan kepada spesies yang sedang menghadapi risiko kepunahan di
alam liar yang tinggi pada waktu yang akan datang. Dalam IUCN Redlist
tercatat 2.573 hewan dan 2.316 tumbuhan yang berstatus Terancam.

11
Contoh satwa Indonesia yang berstatus Terancam antara lain; Banteng,
Anoa, Mentok Rimba, Maleo, Tapir, Trenggiling, Bekantan, dan Tarsius.
5. Vulnerable (VU; Rentan) adalah status konservasi yang diberikan kepada
spesies yang sedang menghadapi risiko kepunahan di alam liar pada waktu
yang akan datang. Dalam IUCN Redlist tercatat 4.467 hewan dan 4.607
tumbuhan yang berstatus Rentan. Contoh satwa Indonesia yang berstatus
Terancam antara lain; Kasuari, Merak Hijau, dan Kakak Tua Maluku.
6. Near Threatened (NT; Hampir Terancam) adalah status konservasi yang
diberikan kepada spesies yang mungkin berada dalam keadaan terancam
atau mendekati terancam kepunahan, meski tidak masuk ke dalam status
terancam. Dalam IUCN Redlist tercatat 2.574 hewan dan 1.076 tumbuhan
yang berstatus Hampir Terancam. Contoh satwa Indonesia yang berstatus
Terancam antara lain; Alap-alap Doria, Punai Sumba,
7. Least Concern (LC; Berisiko Rendah) adalah kategori IUCN yang
diberikan untuk spesies yang telah dievaluasi namun tidak masuk ke dalam
kategori manapun. Dalam IUCN Redlist tercatat 17.535 hewan dan 1.488
tumbuhan yang berstatus Contoh satwa Indonesia yang berstatus Terancam
antara lain; Ayam Hutan Merah, Ayam Hutan Hijau, dan Landak.
8. Data Deficient (DD; Informasi Kurang), Sebuah takson dinyatakan
“informasi kurang” ketika informasi yang ada kurang memadai untuk
membuat perkiraan akan risiko kepunahannya berdasarkan distribusi dan
status populasi. Dalam IUCN Redlist tercatat 5.813 hewan dan 735
tumbuhan yang berstatus Informasi kurang. Contoh satwa Indonesia yang
berstatus Terancam antara lain; Punggok Papua, Todirhamphus
nigrocyaneus,
9. Not Evaluated (NE; Belum dievaluasi); Sebuah takson dinyatakan “belum
dievaluasi” ketika tidak dievaluasi untuk kriteria-kriteria di atas. Contoh
satwa Indonesia yang berstatus Terancam antara lain; Punggok Togian,
2.4 CITES Konservasi
Badan Konservasi Dunia atau IUCN (International Union for
Conservation of Nature and Natural Resources) memasukkan hewan kukang

12
dalam kategori vulnerable(rentan), yang artinya memiliki peluang untuk
punah 10% dalam waktu 100 tahun sehingga kukang tidak dapat
diperdagangkan secara bebas. Sebelum tahun 2007, kukang masuk dalam
Appendix II CITES, yang berarti perdagangan internasionalnya
diperbolehkan, termasuk penangkapan kukang dari. Seiring dengan maraknya
perdagangan hewan dan tumbuhan liar secara ilegal, maka negara-negara
sepakat untuk menandatangani CITES (Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora). CITES adalah sebuah
perjanjian internasional yang bersifat multinasional, yang disusun untuk
memberikan perlindungan spesies satwa. Selain itu, CITES juga mengatur
perdagangan satwa internasional dantumbuhan liar yang terancam punah.
CITES merupakan inisiatif IUCN melalui pertemuanyang ke-7 di Polandia
pada tahun 1960. Pada waktu itu, negara-negara anggota IUCN menganjurkan
pembatasan perdagangan satwa langka dan penetapan kuota negara untuk
memperdagangkan satwa langka. Indonesia terdaftar sebagai negara ke-48
peserta CITES. Pemerintah membutuhkan waktu 12 tahun untuk membuat
peraturan perundang-undangan pelaksana atas proses ratifikasi CITES.
Peraturan perundangan-undangan tersebut adalah Undang-Undang No. 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem.
Pemerintah membutuhkan waktu 9 tahun untuk mengesahkan peraturan
pelaksana dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dalam pengaturan satwa
liar yang dilindungi. Peraturan pelaksana antara lain Peraturan Pemerintah
No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan JenisTumbuhan dan Satwa
Pengawetan dan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
Indonesia juga telah mendelegasikan satu badan pengelolaan yang
bertanggung jawab untuk melaksanakan sistem perizinan (management
authority) yaitu Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH),
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan satu lagi badan
ilmiah untuk memberikan nasehat mengenai dampak perdagangan terhadap
status spesies (scientific authority) yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan

13
Indonesia (LIPI). Hal ini sangat perlu dilakukan sebagai bentuk pertanggung
jawaban atas ratifikasi CITES oleh Indonesia yang dimana menyebutkan
bahwa negara anggota yang menerapkan CITES wajib mendelegasikan satu
badan sebagai management authority dan scientific authority untuk
memastikan bahwa aturan CITES diimplementasikan pada tingkat nasional
Sebagaimana yang disebutkan oleh Chayes, dalam Guzman (2002), ada
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi compliance dan non-compliance
suatu negara. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan atau
compliance Indonesia terhadap aturan CITES sebagai sebuah rezim
internasional adalah :
1) Ambiguitasi dalam Rezim Internasional CITES dimana ditemukan
perbedaan dalam penilaian nilai-nilai yang ditafsirkan, misalnya perbedaan
pemahaman dalam suatu terminologi, yaitu specimen sebagai "any animal
or plant or any recognizable part or derivative there of" yang tercantum
dalam suatu pasal dalam aturan CITES. Pertama, apabila terminologi ini
tidak dapat didefinisikan lebih detail, maka negara anggota harus
menyediakan dokumen yang sangat lengkap serta dibutuhkan proses
inspeksi yang sangat panjang. Kedua: beberapanegara anggota tidak ingin
adanya intervensi dengan perdagangan internasionalnya,sehingga
membuat tetap menjadi sebuah celah.
2) Dinamisnya perkembangan politik dan sosial. Perkembangan teknologi
yang semakin kuat ini yang belum dapat diantisipasi secara maksimal
dalam aturan CITES. Selain itu, perbedaan kondisi politik dan sosialnegara
juga turut memperngaruhi implementasi CITES. Fakta yang terjadi adalah
keadaanakan menjadi sulit karena masing-masing negara memiliki
kepentingan-kepentingan tertentu atas kepentingan terhadap satwa. Hal ini
akan berdampak pada komitmen suatu negara terhadap aturan CITES.
3) Ketegasan dan komitmen dari aktor. Permasalahan implementasi CITES
adalah pada ketidaksanggupan negara anggota untuk menerapkan
ketentuannya. Umumnya, negara-negara anggota CITES masih

14
beranggapan bahwa masalah lingkungan hidup bukan merupakan masalah
penting.
4) Dimensi temporal yang berkaitan dengan lamanya waktu yang dibutuhkan
untuk meratifikasi rezim CITES ke dalam peraturan perundang-undangan
suatu negara. Aturan CITES juga tidak berlaku secara global. Hal ini
ditunjukkan dalam "pasal VIII" yang hanya membuat upaya pelaksanaan
aturan bersifatumum dan mengembalikannya pada masing- masing negara
anggota di dalam merumuskannya.

15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konservasi ex-situ merupakan metode konservasi yang mengonservasi
spesies di luar habitat atau sebaran alami populasi tetuanya. Jenis metode ini
merupakan proses melindungi spesies mahluk hidup (langka) dengan
mengambilnya dari habitat yang tidak aman atau terancam dan
menempatkannya di bawah perlindungan manusia.
Tidak hanya sekedar mengetahui pentingnya potensi ex-situ dalam sebuah
program konservasi, perlu juga dilakukan peninjauan sumber daya yang
dibutuhkan, kelayakan pengelolaan program, dan kemungkinan keberhasilan
pada tiap-tiap langkah. Kategori Status konservasi IUCN Red List
merupakan kategori yang digunakanoleh IUCN (International Union for the
Conservation of Nature and Natural Resources) dalam melakukan klasifikasi
terhadap spesies-spesies berbagai makhluk hidup yang terancamkepunahan.
CITES adalah sebuah perjanjian internasional yang bersifat multinasional,
yang disusun untuk memberikan perlindungan spesies satwa. Selain itu,
CITES juga mengatur perdagangan satwa internasional dantumbuhan liar
yang terancam punah.
3.2 Saran
Dalam makalah ini kami sadari masih banyak kesalahan dan jauh dari kata
sempurna oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran para
pembaca untuk mengembangkan makalah ini kedepanya.

16
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, Solichin. (2008). Analisis Kebijakan dari Formulasi ke
Implementasi Kebjakan Negara Edisi Kedua. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
Chayes, Abram and Antonia Handler Chayes. (1993). On Compliance.
International Organization, Vol. 47, No. 2, 175-205.
Downs, George W and Michael A. (2002). Jones. Reputation, Compliance,
and International Law. Journal of Legal Studies, Vol. XXXI, 95-114.
Yulianda fredinan. 2010. Lima prinsip dasar pengelolaan konservasi.
Jakarta : Erlangga
Guzman, Andrew T. (2002). A Compliance-based theory of international law.
California Law Review, Vol. 90, No. 6, 1823-1887

17

Anda mungkin juga menyukai