Anda di halaman 1dari 31

ANALISIS MASALAH KONSERVASI: CAGAR ALAM

LEUWEUNG SANCANG

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata kuliah Biokonservasi, Jurusan
pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi

Disusun oleh :
Kelompok 9

Riska Rismawati 172154032


Risma Nur Almas 172154064
Anisa Alfathani Rahmawati 172154104

JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SILIWANGI
TASIKMALAYA
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan limpahan karuniaNya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah
dengan judul “ANALISIS MASALAH KONSERVASI: CAGAR ALAM
LEUWEUNG SANCANG” ini sebagai salah satu tugas mata kuliah
Biokonservasi.
Adapun tujuan kami menyusun makalah ini adalah supaya dapat
membantu dalam melakukan proses pembelajaran. Selama penyusunan makalah
ini, penulis mendapat banyak bantuan baik secara langsung maupun tidak
langsung. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Purwati Kuswarini, M. Si. Dan Bapak Diki Muhamad Chaidir, M.Pd.
selaku dosen mata kuliah Biokonservasi Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi.
2. Ibu Dr. Purwati Kuswarini, M. Si. selaku ketua Jurusan Pendidikan Biologi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi.
3. Bapak Dr. H. Cucu Hidayat, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Siliwangi.
4. Orang tua yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil serta
doa kepada penulis dalam penyelesaian makalah ini.
5. Sahabat-sahabat yang telah memberikan dukungan, dan masukan kepada kami
dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari banyak sekali kesalahan dan kekurangan dalam
pembuatan makalah ini. Sehubungan dengan hal ini, kami memohon kritik dan
saran yang membangun terhadap makalah yang kami susun. Kami berharap
semoga makalah ini bisa bermanfaat, khususnya bagi penulis sendiri dan
umumnya bagi pembaca makalah ini.

Tasikmalaya, 15 Desember 2020


Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................2
C. Tujuan ............................................................................................3
D. Manfaat Makalah ...........................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................4
A. Konservasi ......................................................................................4
B. Cagar Alam ....................................................................................5
C. Leuweung Sancang ........................................................................6
D. Wisata Religi ................................................................................11
E. Mata Pencaharian .........................................................................14
F. Permukiman Ilegal .......................................................................15
G. Perkebunan PT Mira Mare dan Pengembalaan Ternak................16
BAB III PEMBAHASAN
A. Kondisi Cagar Alam Leuweung Sancang ....................................18
B. Peran Masyarakat Sancang ..........................................................20
C. Permasalahan Konservasi ...........................................................21
D. Upaya untuk Mengatasi Peremasalahan.......................................24
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ......................................................................................26
B. Saran .............................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................27

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Indonesia memiliki potensi keanekaragaman spesies yang sangat
tinggi, mengingat hal tersebut sebenarnya Indonesia memiliki potensi yang
sangat besar yang dapat dikembangkan untuk kesejahteraan
masyarakatnya. Oleh karena itu kita wajib menjaga kelestarian alam kita
dengan konservasi.
Konservasi menurut Munro (1980) adalah aspek pengelolaan yang
memastikan bahwa keuntungan berkelanjutan sepenuhnya berasal dari
sumber daya alam hayati dan bahwa kegiatan terpusat dan dilakukan agar
sumber daya tetap terjaga. Sedangkan arti dari kawasan konservasi
merupakan kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai
fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya (Lazuardi, 2016). Istilah hutan konservasi merujuk pada
suatu kawasan hutan yang diproteksi atau dilindungi. Hal ini dimaksudkan
serta memiliki tujuan untuk melestarikan hutan dan kehidupan di
dalamnya supaya dapat menjalankan fungsinya secara maksimal.
Kawasan konservasi dalam kategori nasional mencakup dua
kelompok besar, yaitu Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan
Pelestarian Alam (KPA). Kawasan Suaka Alam terdiri atas Cagar Alam
dan Suaka Margasatwa bertujuan untuk perlindungan sistem penyangga
kehidupan dan pengawetan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
(Kementrian Kehutanan, 2013).
Cagar Alam menurut UU No.5 Tahun 1990 tentang konservasi
sumber daya alam hayati dan eksosistem adalah Kawasan suaka alam
karena keadaan alamnya yang mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan
ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan
perkembangannya berlangsung secara alami. Biasanya tumbuhan dan
satwa dalam kawasan cagar alam merupakan asli daerah tersebut.

1
2

Pengelola hanya memastikan hutan tersebut tidak diganggu oleh aktivitas


manusia yang menyebabkan kerusakan (Kemenhut, 2013).
Cagar Alam Leuweung Sancang merupakan salah satu wilayah yang
letaknya berada di daerah Garut, Jawa Barat. Kawasan ini ditetapkan
sebagai Cagar Alam berdasarkan SK Menteri Pertanian nomor
370/Kpts/Um/6/1978/ tanggal 9 Juni 1978, sedangkan Cagar Alam Laut
berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.682/Kpts-II/1990 tanggal 17
November 1990.
Kawasan-kawasan konservasi di berbagai daerah mempunyai
masalah konservasi yang mengancam kelestariannya. Permasalahn umum
salah satunya ialah aktifitas masyarakat sekitar dalam memenuhi
kebutuhan seperti dalam bidang kepariwisataan, perdagangan dan kegiatan
sosial kemasyarakatan lainnya di sekitar kawasan konservasi, begitupula
yang terjadi di Kawasan Konservasi Cagar Alam Leuweung Sancang.
Cagar Alam Leuweung Sancang masih terjaga ketersediaan flora dan
faunanya, akan tetapi masih banyak masyarakat yang melakukan aktifitas
di sekitar kawasan konservasi sehingga kelestariannya kini terlihat sedikit
terganggu. Maka dari itu penulis tertarik untuk membuat makalah dengan
judul, Analisis Masalah Konservasi: Cagar Alam Leuweung Sancang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka
penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana keadaan kawasan konservasi Cagar Alam Leuweung
Sancang?
2. Apa saja peran masyarakat sancang di kawasan konservasi?
3. Apa permasalahan konservasi yang terdapat di Cagar Alam Leuweung
Sancang?
4. Bagaimana upaya atau cara dalam mengatasi berbagai permasalahan
yang terdapat di Cagar Alam Leuweung Sancang?
C. Tujuan Makalah
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini ialah sebagai berikut:
3

1. Mengetahui keadaan Kawasan konservasi Cagar Alam Leuweung


Sancang.
2. Mengetahui peran masyarakat sancang di Kawasan konservasi.
3. Mengetahui permasalahan konservasi yang terdapat di Cagar Alam
Leuweung Sancang.
4. Mengetahui upaya atau cara dalam mengatasi berbagai permasalahan
yang terdapat di Cagar Alam Leuweung Sancang.
D. Manfaat Makalah
1. Manfaat Teoritis
Meningkatkan pengetahuan bagi pembaca agar dapat mengetahui
bagaimana kondisi Kawasan konservasi Cagar Alam Leuweung
Sancang dan permasalahan apa saja yang terdapat di Cagar Alam
Leuweung Sancang serta mengetahui apa saja upaya yang dapat
dilakukan untuk mengatasi permasalahan konservasi tersebut.
Diharapkan bisa digunakan untuk pengembangan penelitian tentang
konservasi di Cagar Alam Leuweung Sancang.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk penulis yaitu menambah pengetahuan serta dapat
menerapkan pengetahuan terhadap masalah nyata yang ditemui di
lapangan.
b. Untuk masyarakat sancang yaitu dapat mengetahui dan menjadi
masukan dalam menjaga serta melestarikan sekitar Kawasan
konservasi Cagar Alam Leuweung Sancang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konservasi
Konservasi itu sendiri berasal dari kata Conservation yang terdiri
atas kata con (together) dan servare (keep atau save) yang memiliki
pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep atau save
what you have), namun secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan
oleh Theodore Roosevelt (1902) yang merupakan orang Amerika pertama
yang mengemukakan tentang konsep konservasi. Konservasi dalam
pengertian sekarang, sering diterjemahkan sebagai the wise use of nature
resource atau pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana. (Joko
Christanto, modul)
Konservasi adalah segenap proses pengelolaan suatu tempat agar
makna kultural yang dikandungnya terpelihara dengan baik (Piagam Burra,
1981). Konservasi adalah pemeliharaan dan perlindungan terhadap sesuatu
yang dilakukan secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan
dengan cara pengawetan (Peter Salim dan Yenny Salim, 1991). Kegiatan
konservasi selalu berhubungan dengan suatu kawasan, kawasan itu sendiri
mempunyai pengertian yakni wilayah dengan fungsi utama lindung atau
budidaya (Undang-undang No. 32 Tahun 2009). (Joko Christanto, modul).
Biologi Konservasi adalah disiplin ilmu yang dikembangkan untuk
usaha pelestarian biodiversitas yang merupakan gabungan dari berbagai
macam ilmu untuk membahas krisis biodiversitas, atau ilmu multidisiplin
yang dikembangkan sebagai tanggapan untuk menghadapi krisis
biodiversitas. Berdasarkan lokasi atau tempatnya, konservasi dibedakan
menjadi konservasi in-situ atau konservasi yang dilakukan di habitat
alaminya dan konservasi ex-situ atau konservasi yang dilakukan di luar
habitat alaminya, sedangkan berdasarkan tingkat atau level organismenya,
dibedakan antara konservasi tingkat spesies atau populasi dan konservasi
tingkat komunitas atau ekosistem. (Saroyo Sumarto, et al. 2012).

4
5

B. Cagar Alam
Menurut Saroyo Sumarto, et al. (2012) Pengelolaan kawasan
konservasi Indonesia dimulai dengan menunjuk cagar alam tertua di
Indonesia, yaitu Cagar Alam Cibodas seluas 240 hektar pada tahun 1889.
Setelah itu sejumlah cagar alam ditetapkan oleh pemerintah Belanda,
terutama setelah dikeluarkan UU Cagar Alam 1916. Di Sulawesi Utara,
Cagar Alam Tangkoko Batuangus ditetapkan oleh Belanda berdasarkan GB
No. 6 Stbl 1919, tanggal 12 Februari 1919. Pada awal kemerdekaan,
Indonesia memiliki 99 cagar alam seluas 314.976,821 hektar dan 14 suaka
margasatwa seluas 1.969.583 hektar. Dalam perkembangan selanjutnya,
jumlah dan luas kawasan konservasi telah bertambah. Sampai dengan akhir
1999 kawasan konservasi di luar taman nasional dan taman hutan raya telah
berkembang menjadi 334 lokasi dengan luas seluruhnya 7.451.916,6 hektar
dengan perincian sebagai berikut:
a. Kawasan Konservasi Darat
- Cagar Alam: 2.533.332,18 hektar (174 lokasi)
- Suaka Margasatwa: 3.535.618,12 hektar (48 lokasi)
- Taman Wisata: 286.910,18 hektar (76 lokasi)
- Taman Buru: 238.392,70 hektar (15 lokasi)
b. Kawasan Konservasi Laut
- Taman Laut: 597.582,00 hektar (13 lokasi)
- Suaka Margasatwa: 65.220,00 hektar (3 lokasi)
- Cagar Alam Laut: 194.850,35 hektar (5 lokasi)
Menurut UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya yang dijabarkan dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1998 Tentang Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, kawasan konservasi di
Indonesia dibedakan menjadi dua, yaitu Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam.
Kawasan suaka alam terdiri dari : kawasan cagar alam, dan kawasan
suaka margasatwa. Suatu kawasan ditunjuk sebagai Kawasan Cagar Alam,
apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut :
6

a. mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan atau satwa dari tipe


ekosistem;
b. mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya;
c. mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli
dan tidak atau belum diganggu manusia;
d. mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang
pengelolaan yang efektif dari menjamin berlangsungnya proses
ekologis secara alami;
e. mempunyai ciri khas potensi, dan dapat merupakan contoh ekosistem
yang keberadaanya memerlukan upaya konservasi; dan atau
f. mempunyai komunitas tumbuhan dari atau satwa beserta ekosistemnya
yang langka atau yang keberadaannya terancam punah.
Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu,
yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya. terdiri dari berikut ini.
1. Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga
berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
2. Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu,
yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa,
serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya. Taman buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan
sebagai tempat wisata berburu.
C. Leuweung Sancang
Pulau Jawa merupakan satu pulau di Indonesia yang memiliki luas
wilayah 129.438,28 km2 (Kementrian Pekerjaan Umum, 2013), dengan
salah satu provinsinya adalah Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat berada pada
5o 50‟- 7o 50‟ Lintang Selatan dan 104o 48‟ – 108o 48‟ Bujur Timur yang
memiliki kawasan hutan dengan berbagai fungsi, yaitu hutan konservasi,
hutan lindung dan hutan produksi yang proporsinya mencapai 22,10%
7

(Pemerintah Provinsi Jawa Barat, 2015). Salah satu hutan konservasi yang
dimiliki Jawa Barat adalah Cagar Alam Leuweung Sancang dengan luas
2.157 ha yang berada di Kabupaten Garut. Kawasan Cagar Alam Leuweung
Sancang yang berada di Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat
ditetapkan sebagai kawasan Cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Pertanian No. 370/Kpts/Um/6/1978 pada tanggal 9 Juni 1978.
(Vasya Lufthi Zulfikar, 2018)
Kawasan hutan suaka alam yang terletak di pantai selatan Garut ini
meliputi beberapa wilayah desa, diantaranya yaitu : Desa Sancang, Sagara,
Karyamukti, dan Karyasari, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut. Cagar
alam ini terdiri dari hutan daratan rendah, hutan pantai dan hutan mangrove.
Keberadaan hutan mangrove dan adanya terumbu karang di perairan pesisir
cagar alam leuweung Sancang seluas 1150 Ha menjadi dasar terbentuknya
Cagar Alam Laut Sancang diperkuat dengan surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor : 682/Kpts-II/90 tanggal 17 November 1990 sebagai
dasar hukumnya. (Perdana Putra Kelana, et.al. 2015).
Hutan Sancang memiliki potensi yang cukup beragam terletak di
daerah Garut Selatan, menyimpan banyak misteri legenda yang
mempengaruhi sikap hidup masyarakat di sekitarnya. Beberapa potensi yang
dimiliki diantaranya adalah flora, fauna serta bentang alam yang masih
lestari dengan ketersediaan air dan udaranya. (Diana Hernawati., et. Al.
2019).
Flora dan fauna yang terdapat di kawasan Cagar Alam Leuweung
Sancang sangat beragam. Berdasarkan hasil penelitian Irawan (2015),
kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang memiliki 361 individu dari 44
jenis tumbuhan pantai. Vegetasi yang tumbuh di daerah hutan pantai Cagar
Alam Leuweung Sancang antara lain Guetarda speciosa, Morinda citrifolia,
Cerbera manghas, Pongamia pinata, Terminalia catappa, Thespesia
populnea, Crinum asiaticum, Arenga pinata, Calamus sp., Calophyllum
inophyllum, Bauhinia aureifolia, Protium javanicum, Dipterocarpus sp.,
Shorea sp., Diospyros littorea dan lain-lain. Sementara itu berdasarkan hasil
penelitian Maharadatunkamsi (2014), di Cagar Alam Leuweung Sancang
8

terdapat 21 jenis mamalia, antara lain Sus scrofa (Babi Hutan), Hylobates
moloch (Owa Jawa), Macaca fascicularis (Kera Ekor Panjang),
Paradoxurus hermaphroditus, Panthera pardus melas (Macan Tutul),
Cynopterus brachyotis, Cynopterus sphinx, Cynopterus titthaecheilus,
Eonycteris spelaea, Pteropus vampyrus, Rousettus amplexicaudatus,
Megaderma spasma. Salah satu mamalia yang termasuk ke dalam kelompok
primata dan tercatat termasuk ke dalam kategori dilindungi oleh pemerintah
adalah Lutung Jawa (Trachypithecus mauritius) (Vasya Lufthi Z, 2018).
Terdapat beberapa lokasi di leuweung Sancang :
1. Ranca Kalong
Terdapat suatu blok hutan yang berada di bagian tengah Leuweung
Sancang yang jarang didatangi manusia karena dianggap keramat, yaitu
Ranca Kalong. Ranca artinya rawa, dan kalong yaitu sejenis kelelawar
besar pemakan buah (Pteropus vampyrus). Blok hutan itu dinamai
Ranca Kalong karena pada waktu tertentu kawasan hutan tersebut
berupa rawa-rawa, terutama pada musim penghujan terdapat banyak
genangan air, pepohonannya dihuni ribuan kelelawar pada siang hari,
dan pada sore hari menjelang magrib, kelelawar tersebut terbang
meninggalkan pohon tempat bertengger (roosting trees) untuk mencari
makan berbagai jenis buah ke arah utara dari Leuweung Sancang. Di
Ranca Kalong terdapat suatu tempat yang dikenal lokasi pinang (jambe)
tumbuh berjajar karena terdapat tegakan pohon pinang hutan sebanyak
lebih 20 batang yang tumbuhnya teratur berjajar seperti sengaja ditanam
padahal pinang tersebut tumbuh alami. Lokasi pinang tumbuh berjajar
tersebut oleh masyarakat sekitar dipercayai ada kaitannya dengan
kerajaan mahluk halus di Leuweung Sancang. (Abdul Haris Mustari,
2019).
Salah seorang kuncen (pak Salim) mengisahkan bahwa di sebelah
utara Ranca Kalong terdapat batu yang disebut Batu Surade atau Batu
Suraga, tempat yang digunakan oleh Prabu Siliwangi melakukan ritual
Braga Sukma (olah jiwa), tempat manggung atau bertapa, ketika berada
9

di Leuweung Sancang. Batu Surade berupa batu besar, panjang, dan


terdapat aksara Sanskerta Kuno. (Abdul Haris Mustari, 2019).

Kaboa (Aegisceras corniculatum) salah satu spesies tumbuhan yang


terdapat di hutan mangrove Leuweung sancang. Sumber : Abdul Haris
Mustari.
2. Ciporeang dan Cipangisikan
Ciporeang terletak di sebelah timur Leuweung Sancang, memiliki
topografi terjal dan terdapat sungai yang airnya mengalir sepanjang
tahun, yaitu Sungai Cipangisikan. Untuk mencapai sungai ini,
seseorang harus menuruni tangga yang cukup curam. Di sekitar gigir
tebing terdapat formasi tebing karst dan beberapa petilasan yang
dianggap erat kaitannya dengan legenda Prabu Siliwangi. Setiap
petilasan dijaga oleh kuncen atau penjaga keramat. Di muara Sungai
Cipangisikan, berbatasan langsung dengan laut, di sebelah kanan
apabila seseorang berjalan menyusuri sungai terdapat formasi batu
karang. Di atas formasi karang tumbuh pandan laut (Pandanus
tectorius) dan pohon jambu-jambuan (Eugenia sp.) yang dipercayai
sebagai pusat “istana” Prabu Siliwangi. Di atas tebing pada bagian yang
agak mendatar terdapat petilasan yang disebut Ketapang Datar.
Petilasan ini beberapa kalangan menganggapnya sebagai “Pakuwon”
10

atau Aula Istana Prabu Siliwangi. Sekali lagi ini adalah legenda dan
mitos. (Abdul Haris Mustari, 2019).
3. Karang Gajah
Lokasi ini disebut Karang Gajah karena ukuran karang yang besar.
Hempasan ombak laut selatan dan hembusan angin kencang di
sepanjang pesisir pantai ini dapat menyiutkan nyali siapa saja yang
ingin mencapai batu karang tersebut. Saat air laut pasang, Karang Gajah
seolah terpisah dari pantai dan daratan utama Leuweung Sancang,
namun ketika air laut surut, karang gajah dapat dikunjungi melewati
karang datar yang berada di sisi utara. Lokasinya yang berada di pantai
selatan Leuweung Sancang, di muara kiri Sungai Cipangisikan, Karang
Gajah seolah benteng kokoh yang menahan hempasan ombak pantai
selatan. Dari cerita nelayan serta kondisi ombak di sekeliling Karang
Gajah, diketahui bahwa persis di kaki karang itu terdapat palung atau
gua bawah laut yang apabila seseorang terseret gelombang dan
tenggelam di sekitar perairan itu maka akan terjepit di sela-sela karang
yang tajam. Oleh karena itu, pengunjung dilarang keras mandi dan
berenang di pantai sekitar Karang Gajah. (Abdul Haris Mustari, 2019).

Pemandangan di pantai Cagar alam Leuweung Sancang :


Karang Gajah, Padang Lamun, rumput laut, dan pondok, serta
perahu nelayan. Sumber : Abdul Haris Mustari.
11

Terdapat berbagai legenda dan mitos terkait dengan cagar alam


yang terletak di pantai selatan Jawa Barat ini. Bila mendengar kata
„Leuweung Sancang‟ pikiran tertuju pada suatu kawasan hutan primer
yang dianggap keramat di mana berkembang berbagai legenda dan
mitos, suatu cerita yang terkait dengan „maung sancang‟ atau harimau
„jajaden‟ atau jadi-jadian serta legenda mengenai Prabu Siliwangi, raja
yang terkenal di tataran Sunda. Bagi penduduk lokal, cerita ini
senantiasa hidup dan dituturkan dari mulut ke mulut dan dari generasi
ke generasi. Namun seiring berjalannya waktu, Leuweung Sancang
senantiasa menghadapi berbagai tekanan, terutama perambahan hutan
untuk pemukiman dan perkebunan, penebangan kayu dan perburuan
liar, pengambilan hasil laut, serta aktivitas nelayan di dalam kawasan
Cagar Alam Laut Sancang yang berdampak negatif terhadap ekosistem
Leuweung Sancang. Leuweung Sancang harus dilestarikan melalui
berbagai upaya
D. Wisata Religi
Wisata berasal dari bahasa sansekerta VIS yang berarti tempat tinggal
masuk dan duduk. Kemudian kata tersebut berkembang menjadi Vicata
dalam bahasa Jawa Kawi kuno disebut dengan wisata yang berarti
bepergian. Kata wisata kemudian memperoleh perkembangan pemaknaan
sebagai perjalanan atau sebagian perjalanan yang dilakukan secara sukarela
serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata.
(Ramaini Khodiyat, 1992).
Wisata religi yang dimaksudkan disini lebih mengarah kepada wisata
ziarah. Secara etimologi ziarah berasal dari bahasa Arab yaitu zaaru,
yazuuru, Ziyarotan. Ziarah dapat berarti kunjungan, baik kepada orang yang
masih hidup maupun yang sudah meninggal, namun dalam aktivitas
pemahaman masyarakat, kunjungan kepada orang yang telah meninggal
melalui kuburannya. Kegiatannya pun lazim disebut dengan ziarah kubur.
Wisata religi dilakukan dalam rangka mengambil ibrah atau pelajaran dan
ciptaan Allah atau sejarah peradaban manusia untuk membuka hati sehingga
12

menumbuhkan kesadaran bahwa hidup di dunia ini tidak kekal. (Ridwan


Widagdo dan Sri Rokhlinasar, 2017).
Wisata religi dimaknai sebagai kegiatan wisata ke tempat yang
memiliki makna khusus, seperti:
a. Masjid sebagai tempat pusat keagamaan dimana masjid digunakan
untuk beribadah sholat, i‟tikaf, adzan dan iqomah.
b. Makam dalam tradisi Jawa, tempat yang mengandung kesakralan.
Makam dalam bahasa Jawa merupakan penyebutan yang lebih tinggi
(hormat) pesarean, sebuah kata benda yang berasal dan sare, (tidur).
Dalam pandangan tradisional, makam merupakan tempat peristirahatan.
c. Candi sebagai unsur pada jaman purba yang kemudian kedudukannya
digantikan oleh makam.
Wisata religi banyak di temukan di wilayah Indonesia, salah satunya di
leuweung Sancang atau hutan Sancang. Menurut Rosyadi (2013) Hutan
Sancang yang menjadi tempat persinggahan terakhir Prabu Siliwangi,
dipercaya oleh masyarakat di sekitarnya memiliki banyak lokasi yang
dikeramatkan dan sering dikunjungi para peziarah. Bahkan beberapa tempat
yang dilalui oleh Prabu Siliwangi pun, banyak yang dikeramatkan.
Contohnya adalah Kabuyutan Ciburuy, yang menurut legenda menjadi salah
satu tempat persinggahan Prabu Siliwangi, dan di tempat itu ia mendirikan
pendopo. Hingga kini kawasan Kabuyutan Ciburuy dijadikan sebagai
kawasan cagar budaya yang menyimpan naskah-naskah kuno, serta terdapat
tempat-tempat yang merupakan petilasan Prabu Siliwangi dan anaknya,
Keyan Santang.
Sudah umum diketahui bahwa beberapa tapak di kawasan Leuweung
Sancang dianggap keramat terkait dengan sejarah serta berbagai legenda dan
mitos mengenai leluhur Jawa Barat. Terdapat beberapa petilasan (keramat)
yang sering dikunjungi oleh peziarah karena dianggap ada kaitannya dengan
jejak Raja Padjajaran, Prabu Siliwangi. Beberapa petilasan tersebut di
antaranya Cikajayaan, Karang Gajah, Ciporeang, dan Cibako. Petilasan
tersebut umumnya berada di bagian timur Cagar Alam Leuweung Sancang.
Selain di bagian timur juga beberapa petilasan terdapat di bagian barat dan
13

tengah seperti blok hutan Meranti dan Cijeruk. Setiap petilasan dijaga oleh
juru kunci atau yang lebih dikenal dengan sebutan kuncen. Jumlah petilasan
semakin meningkat seiring dengan munculnya kuncen baru. Apabila
seorang kuncen meninggal maka tugas dan perannya diturunkan kepada
anaknya, dan seterusnya sehingga merupakan pekerjaan yang turun-
temurun. Setiap kuncen memiliki pengikut atau peziarah yang datang dari
berbagai daerah, terutama di wilayah Jawa bagian barat. Ada juga yang
datang dari luar Pulau Jawa. Peziarah datang karena berbagai tujuan dan
alasan. Ada yang bertujuan dengan alasan terkait spiritualisme, mencari
kekuatan rohani dan kanuragan, ada yang berkunjung karena alasan
kelancaran usaha dan bisnis, dan ada pula yang datang karena alasan politik,
menginginkan jabatan atau posisi tertentu. (Abdul Haris Mustari, 2019)
Di wilayah Sancang sendiri terdapat banyak juru kunci yang berada di
sepanjang jalan layaknya menyediakan jasa dengan adanya tanda pengenal
berupa papan nama. Terdapat kurang lebih 50 juru kunci dengan berbeda
keahlian untuk konsultasi dengan tamu yang datang ke juru kunci tersebut.
Adat dan kebiasaan yang ada di wilayah Sancang ini begitu sangat dikagumi
dan bisa dijadikan sebagai pembelajaran terkhusus bagi para kaum pendidik,
sebagai salah satu contohnya dengan menjaga adat budaya dan melestarikan
alam di sekitarnya atau bisa disebut juga dengan Genius Local. Salah satu
kuncen perempuan menjelaskan bahwa “dirinya hanya sebagai perantara
dan menanamkan budi pekerti yang baik ke setiap tamu yang datang”.
(Diana Hernawati., et. Al. 2019)
14

Salah satu lokasi ziarah tempat orang bermediasi di Gua Sancang.


Sumber : google

Petilasan Siliwangi. Sumber : goole

Kondisi di salah satu petilasan berupa airterjun dan tebing gua yang sering
dikunjungi peziarah di blok hutan Cikajayaan. Sumber: Abdul Haris
Mustari.
E. Mata Pencaharian
Bentang alam yang menarik yang terdapat di cagar alam Sancang
dengan ekosistem dan berbagai jenis flora dan fauna, serta gugusan-gugusan
batu menimbulkan panorama alam yang unik. Daya tarik utama ini tidak
sebanding dengan kondisi masyarakatnya. Kondisi sosial ekonomi
masyarakat di sekitar cagar alam leuweung Sancang relatif rendah. Warga
masyarakat di sekitar cagar alam leuweung Sancang sebagian besar bekerja
sebagai petani. Tingkat pendidikan mereka pun cukup rendah, dan mereka
15

tidak memiliki keterampilan dan keahlian cukup untuk meningkatkan taraf


hidupnya. Lapangan kerja masyarakat sangat terbatas dan tergantung pada
alam. Kurangnya lahan pertanian yang dimiliki oleh masyarakat setempat
menyebabkan terjadi penyerobotan lahan di dalam cagar alam. (Diana
Hernawati., et. Al. 2019).
Cagar Alam Laut Sancang memiliki potensi rumput laut yang tinggi
seperti jenis agaragar (Gracilaria spp.), kades (Gelidium sp.), paris
(Myriophylum brasiliense), rambu kasang (Afluda mutica), julung julung,
bulu kambing, bulu monyet, sarip, dan bembe. Jenis yang bernilai ekonomi
tinggi yaitu rumput laut merah dan rumput laut hijau karena digunakan
sebagai bahan baku pembuatan agar-agar dan untuk campuran dodol garut.
Lokasi pengambilan rumput laut di CA Laut Sancang terutama di pantai
Cipunaga. Para pengumpul rumputn laut umumnya berasal dari desa
Sancang dengan jumlah seluruhnya lebih 50 orang. Waktu pengambilan
rumput laut terutama pada musim kemarau yang berlangsung bulan Juli s/d
Desember di mana puncaknya berlangsung dalam bulan Agustus sampai
September. (Abdul Haris Mustari, 2019)
F. Permukiman ilegal
Dalam periode 1998–2003, terjadi perambahan hutan dan penebangan
liar secara besar-besaran di Leuweung Sancang yang hampir menghabiskan
seluruh kawasan hutan primer dataran rendah Leuweung Sancang. Bahkan
dalam periode tersebut sempat berdiri pemukiman ilegal dari kelompok
masyarakat yang berdiam di sebelah utara Leuweung Sancang. Mereka
mendirikan perkampungan baru dan mengolah lahan blok hutan Cijeruk.
Pemukim ilegal menanam berbagai komoditi pertanian dan perkebunan.
Periode itu, secara politik di Indonesia ditandai dikenal masa transisi
pemerintahan dan awal era reformasi. Euforia kegembiraan reformasi
disalahgunakan oleh kelompok masyarakat tertentu, mereka merambah
hutan dan mendirikan pemukiman ilegal di kawasan yang seharusnya
dilindungi. (Abdul Haris Mustari, 2019)
Di sepanjang pantai selatan cagar alam ini pada tahun 1997 tercatat 80
pondok liar nelayan yang tersebar di tujuh lokasi. Satu tahun kemudian,
16

dimulai pada tahun 1998, dalam era reformasi, pemukiman liar berlipat
mencapai ratusan, namun berhasil ditekan kembali setelah operasi Lodaya.
Pada tahun 2006, jumlah pondok liar sebanyak 72 buah. Namun sejak tahun
2009, terjadi peningkatan jumlah podok, yang saat ini (2018) jumlahnya
sekitar 121 pondok nelayan di sepanjang pantai selatan Leuweung Sancang.
Semua pemilik pondok memiliki rumah di desa atau di kampung yang
berada di sebelah utara Leuweung Sancang, seperti di Kecamatan Cibalong
dan Kecamatan Pamempeuk. Pondok tersebut ditempati ketika musim
menangkap ikan. Akan tetapi, beberapa keluarga nelayan berada di pondok
hampir setiap hari bahkan ada satu dua keluarga yang sudah menetap di
pondok tersebut seperti yang terdapat di blok hutan Cibako. Di ujung barat
Leuweung Sancang di blok Cimerak sebanyak 304 KK telah menduduki
kawasan secara ilegal. Di Cibaluk, di sekitar Tempat Pelelangan Ikan
terdapat 14 KK menduduki kawasan dengan membuat kios atau warung
sekaligus sebagai tempat tinggal sehari-hari. (Abdul Haris Mustari, 2019)

Pondok dan aktivitas nelayan di sepanjang pantai selatan Cagar Alam


Leuweung Sancang. Sumber : Abdul Haris Mustari.
G. Perkebunan PT Mira Mare dan Penggembalaan Ternak
PT Mira Mare terletak di sebelah utara cagar alam, dengan komoditi
utama adalah karet dan kelapa. Areal perkebunan berada di luar kawasan.
Antara kawasan cagar alam dengan perkebunan tidak terdapat hutan
17

penyangga sehingga areal PT Mira Mare berbatasan langsung dengan Cagar


Alam Leuweung Sancang di mana semakin banyak manusia yang masuk ke
hutan melintasi cagar alam ke arah pantai karena akses yang semakin baik
dan mudah dilalui. (Abdul Haris Mustari, 2019)
Pada bulan September 2006, blok hutan Cijeruk terbakar,
menghabiskan areal hutan seluas 68 ha bekas proyek GNRHL. Setelah
kebakaran ekosistem berubah menjadi padang rumput, alang-alang dan
semak belukar sehinga menarik para pemilik sapi untuk menggembalakan
ternaknya di area ini, terutama sapi dan kerbau. Pada tahun 2007, tercatat
247 ekor sapi yang digembalakan di blok hutan ini. Pada tahun 2008
sebanyak 25 ekor sapi dilepaskan oleh pemiliknya di blok Cijeruk. Pada
tahun 2012, terdapat 74 ekor kerbau rawa yang digembalakan bahkan
dikandangkan di Cijeruk (52 dewasa, 14 muda, dan 8 anak kerbau). Tahun
2018 dan 2019, jumlah sapi yang digembalakan di Cijeruk dan sekitarnya
semakin banyak. (Abdul Haris Mustari, 2019)
BAB III
PEMBAHASAN

A. Kondisi Cagar Alam Sancang


Hutan Sancang merupakan hutan alami, dan terletak di bagian
selatan Kabupaten Garut (berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya),
tepatnya di Desa Sancang, Kecamatan Cibalong. Kawasan ini memiliki
areal seluas ± 2.157 ha. Wilayah ini berada di ketinggian 0-3 m di atas
permukaan laut, dan mempunyai konfigurasi umum tanah yang datar,
hanya terdapat tebing-tebing curam di sebagian pesisir pantai, khususnya
di daerah sebelah timur, yaitu wilayah Karang Gajah. Temperatur rata-rata
di kawasan Sancang adalah antara 170C - 280C. Kondisi lingkungannya
termasuk ke dalam kategori bentang alam yang baik dan menarik serta
unik. Hutan Sancang juga merupakan cagar alam yang dilindungi dan
memiliki ekosistem hutan hujan tropis.
Batas alam dari hutan Sancang ini adalah sebagai berikut: sebelah
utara dibatasi oleh perkebunan karet Miramare; sebelah selatan berbatasan
dengan Samudera Indonesia; sebelah timur dibatasi oleh Sungai
Cikaengan, dan sebelah barat berbatasan dengan Samudera Indonesia dan
Sungai Cisanggiri. Hutan Sancang merupakan salah satu cagar alam di
Indonesia yang bertaraf Internasional. Sejak 1 Juli tahun 1959 kawasan
Sancang ditetapkan sebagai cagar alam dan suaka margasatwa. Landasan
hukumnya adalah: Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 116/Um/1959
tanggal 1 Juli dengan luas wilayah laut sekitar 150 ha dan ini dikelola oleh
Departemen Kehutanan.
Hutan Leuweung Sancang ditunjuk sebagai Cagar Alam berdasarkan
Keputusan Menteri Pertanian No. 370/Kpts/Um/6/1978 tanggal 9 Juni
1978 dengan luas 2.157 Ha, sedangkan penunjukan Cagar Alam Laut
berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.682/KptsII/1990 tanggal 17
Nopember 1990 dengan luas 1.150 Ha memanjang dari muara sungai
Cimerak sampai muara Sungai Cikaengang. Penetapan Kawasan Hutan
Cagar Alam Leuweung Sancang seluas 2.313,90 Ha berdasarkan

18
19

Keputusan Menteri Kehutana No. SK.1860/Menut-VII/KUH/2014 tanggal


25 Maret 2014 (BBKSDA JABAR 2017).
Kondisi Cagar Alam Hutan dan laut Sancang secara umum masih
terjaga, namun memang semakin lama terjadi banyak penurunan. Semakin
banyak masyarakat yang melakukan aktifitas baik di hutan maupun di
lautnya. Aktifitas - aktifitas tersebut banyak yang meninggakan jejak
sehingga kealamian Cagar Alam menurun. Kemudian banyak masyarakat
sekitar yang menggantungkan ekonominya pada hutan dan laut yang
masoh termasuk bagian daric agar alam. Berdasarkan pembicaraan pada
Rapat Pembahasan Pengelolaan dan Pengamanan Cagar Alam Leuweung
dan Laut Sancang yang dilaksanakan di Kantor Kecamatan Cibalong pada
hari Kamis 16 Januari 2020 bahwa di hutan konservasi masyarakat tidak
bisa mengambil apapun, karena ada pada tingkat perlindungan yang paling
tinggi.
Salah satu pengelolaan Cagar Alam adalah dengan membagi wilayah
cagar alama menjadi tiga blok yaitu Blok Perlindungan, Blok Rehabilitasi
dan Blok Khusus. Pada blok-blok tersebut ada kriteria kegiatan yang bisa
dilakukan, untuk Blok Perlindungan dan Blok rehabilotas kegiatannya
untuk Perlindungan & pengamanan, Inventarisasi dan monitoring Shade,
Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, Pemanfaatan sumber
plasma nutfah untuk penunjanh budidaya, Pendidikan dan peningkatan
kesadartahuan konservasi alam Penunjang sarana dan prasarana
pengelolaan terbatas untuk point 1-5. Untuk blok Khusus bisa dilakukan
kegiatan Penyelenggaraan upacara adat dan budaya serta Pemeliharaan
situs religi budaya dan atau sejarah.
Meskipun Cagar alam hutan dan laut sancang terbilang masih
terjaga, namun dibeberapa tempat di wilayah cagar alam terdapat beberapa
hal yang seharusnya tidak ada di cagar alam seperti sampah plastik,
bangunan, pembukaan jalan untuk masuk kendaraan bermotor sebagai
akses ke daerah pantai. Informasi dari BKSDA bahwa wilayah cagar alam
luasnya terus menurun dari semenjak ditetapkan dan hal ini sangat
berdampak baik untuk flora maupun fauna yang ada disana.
20

Beberapa potensi yang ada di Cagar Alam Leuweung dan Leuweung


Laut Sancang adalah Potensi Flora : Warejit (Excoecoria ocha) yang
beracun, Palahlar (Dipterocarpus sp.) yang merupakan satu-satunya
species Dipterocarpaceae yang masih asli dan tumbuh alami di Pulau Jawa
serta Kaboa (Lumnitzea racemosa) yang merupakan tumbuhan khas
sancang. Potensi Fauna : Rusa (Cervus timorensis), Merak (Pavo muticus),
Burung julang (Aceros undulatus), dan Macan tutul (Panthera pardus).
Jenis fauna karang yang ditemukan diantaranya Spongia sp., Leptosens
sp., Favia sp., Goniopora sp., dan jenis ikan hias antara lain Chaetodon sp.
dan Labroides sp. Potensi Hidrologi : Sungai Cibaluk, Cikira, Cijeruk,
Cikolomberan, Cipalawah, Cipunagar, Cipadarumj, Cipaleburan dan
Sungai Cikaengan. Potensi Wisata : Keindahan alam terutama saat
matahari terbenam (sun set), hal ini sering menjadi kunjungan secara
terbatas di muara sungai Cibaluk.bako, Cicukang Jambe, dan Wisata
budaya (spiritual) dan terdapat 20 tempat, diantaranya „Kajayaan” di Blok
Cipangisikan; Ciporeang, Cibako dan Blok Cijeruk (BBKSDA JABAR
2017). Untuk potensi wisata, pengembangannya memang akan sagat
riskan untuk keberlangsungan Cagar Alam.
B. Peran Masyarakat Sancang
Masyarakat sekitar Cagar Alam memang banyak yang
menggantungkan ekonominya ke cagar alam, berdasarkan Rapat dengan
BKSDA hal ini diduga karena masyarakat terlalu merasa memiliki.
Padahal cagara alam Sancang bukan hanya milik masyarakat sekitar sana,
buka hanya milik Garut, tetapi milik nasional bahkan internasional.
Karena rasa kepemilikan itu maka ada beberapa hal negative dan hal
positif yang timbul. Karena Cagar Alam Sancang sangat berbatasan
dengan pemukiman warga Desa Sancang, maka kebiasaan dan sikap
masyarakat terhadap Cagar alam akan sangat berpengaruh.
Masyarakat Sancang memang sangat menyadari pentingnya Cagar
Alam, namun ada yang sadar tanpa ada motif lain dan ada yang sadar
pentingnya Cagar alam untuk pemenuhan kebutuhan ekonominya. Hal ini
yang kemudian menjadi permasalahan, disisi lain masyarakat sekitar cagar
21

alam dapat diberdayakan agar senantiasa menjaga cagar alam, namun


disisi lain karena masyarakat memiliki tuntutan ekonomi maka tidak
jarang masyarakat yang justru memanfaatkan Cagar alam itu sendiri untuk
memenuhi kebutuhan ekonominya. Hal ini yang dapat disebut peran
negative, karena lama kelamaan meskipun pemanfaatan flora ataupun
fauna yang ada di Cagar alam msih adalam skla kecil, namun lama
kelamaan dampak yang timbul akan semakin besar. Cagar Alam tidak
akan se murni atau se alami sebelumnya, bahkan bisa saja aka nada
beberapa potensi flora maupun fauna yang asalnya melimpah menjadi
sedikit bahkan tidak ada/ hilang.
Peran postitif masyarakat sancang dalam menjaga Cagar alam adalah
masyarakat juga dapat berperan sebagai kaki tangan lain BKSDA karena
petuga BKSDA disana sebenarnya tidak cukup banyak untuk menjaga
kawasan konservasi seluas itu. Ketika ada penebangan illegal biasanya
masyarakat akan langsung melaporkan ke BKSDA. Selain itu, beberapa
budaya atau kepercayaan masyarakat sancang juga secara tidak langsung
menjaga Cagar Alam.
C. Permasalahan Konservasi
1. Pemukiman Ilegal
Pemukiman liar di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang
suda terjadi sejak tahun 1960-an (sebelum dikukuhkan sebagai
kawasan cagar alam), dimulai dengan penggarapan di Blok Cimerak
Desa Maroko (1 hektar) yang didukung dengan adanya Surat Kepala
Desa Maroko yang mengklaim tanah Blok Cimerak sebagai tanah
hakullah. Permasalahan tidak berhenti disana, sampai 2018 di tiga
lokasi (Blok Cimerak, Cihurang dan Plang) terdapat 288 bangunan
(189 kepala keluarga) dan luasan pemukiman sekitar 125,4 hektar
(Oesman et.al, 2002), dan terus bertambah sampai di tahun 2020 ini.
Masih banyak tanah yang masui kedalam wilayah Cagar Alam namun
dijadikan pemukiman oleh masyarakat, dan yang pemimpin di
masyarakatnya sudah mulai mengajukan untuk mendapatkan sertifikat
22

tanah, jika hal tersebut terwujud maka luas wilayah Cagar alam akan
semakin berkurang.
2. Gubuk Nelayan
Laut sancang juga merupakan wilayah Cagar Alam,
deharusnya bentuk pengambilan apapun tidak diperbolehkan, namun
banyak masyarakat Sancang yang bekerja sebagai nelayan. Banyaknya
komoditas seperti rumput laut dan ikan di pantai CA Laut Leuweung
Sancang memberi dampak, munculnya dubuk-gubuk liar di pesisir
pantai (terdapat sekitar 80 unit dengan luas areal sekitar 1.834 hektar
pada tahun 2018) dan 2020 ini kemungkinan semakin banyak. Karena
banyaknya pengunjung ke pantai, gubuk nelayan juga beberapa ada
yang dijadikan sebagai warung. hal ini tentu saja akan mebuat
banyaknya sampah rumah tangga di wilayah cagar alam. Karenan
tambat nelayan yang ada di kawasan CAL illegal, ada isu akan
dibuatkan pelabuhan namun anggarannya terlalu besar, sehingga
selalu tidak terealisasi.
3. Lahan Garapan
Pembukaan lahan garapan dimulai sejak tahun 1978 (Blok
cipunaga, Cibako, Ciporeang dan Cibuninggeulis), tahun 1999 (Blok
Sakad), tahun 2000 (Blok Cijeruk). Pembukaan alih fungsi lahan
sampai sekarang masih marak. Inventarisasi sampai tahun 2002, lahan
yang telah dialihfungsikan seluas 282,92 hektar dengan jumlah
penduduk sekitar 514 kepala keluarga. Perambah umumnya berasal
dari masyarakat desa Sancang. akibat perambahan, sepanjang pantai
Blok Cimerak sampai Cijeruk/ Cibaluk meluas ke Blok Cihorang dan
Blok Ciporeang telah banyak yang berubah menjadi sawah, ladang
dan pemukiman. Selain itu ada juga kasus di Cagar alam ditanami
pohon pohon yang nantinya bisa dimanfaatkan kayunya, hal ini tentu
saja mengganggu flora yang memang tumbuh secara alami disana.
4. Wisata Religi
Sudah menjadi rahasisa umum bahwa di Desa Sancang
terdapat banyak Juru Kunci yang nantinya akan mengarahkan ziarah
23

ke tepat atau petilasan yang sebenarnya ada di kawasan Cagar Alam.


Beberapa tempat di hutan sancang kerap ditemukan bangunan
bangunan yang sebenarnya tidak boleh ada disana. Selain itu sampah
yang ditiggalkan penziarah juga ditinggalkan sembarangan.
5. Pencurian Kayu dan Sumber Daya Alam Lain
Ada indikasi bahwa telah terbentuk sindikat pencuri kayu di
kawasan CALS dari mulai penebang/pengolah, penadah/pengangkut
sampai ke konsumen. Lokasi di CALS yang rawan adalah di Blok
Meranti dan Blok 20 serta Blok Bantar Limus. Dilihat dari jalur yang
disenangi kawanan pencuri kayu adalah Singajaya, Cipatujah (Kab.
Tasikmalaya) dan Cisompet. Tahun 2000 telah ditemukan dan disita
kayu sebanyak 11.926 m3 dan tunggak sebanyak 77 pohon. yahun
2001 kayu sebanyak 88.089 m3 dan tunggak sebanyak 24 tunggak.
Pencuri kayu juga sering tertangkap oleh para nelayan yang sedang
ada disekitar pantai, jadi sebenarnya nelayan yang illegal juga sedikit
banyaknya membantu polisi hutan untuk menjalankan tugasnya. Hal
ini yang kemudian menjadi perdebatan.
Di Cagar Alam Sancang juga terdapat pohon kaboa
(dipteroearpus gracilis), mirip dengan pohon bakau/mangrove, yang
menurut legenda adalah pohon peninggalan Prabu Siliwangi yang
ditulisi kalimat sebagai pesan terakhir Prabu Siliwangi, yang berbunyi
: “kaboa panggih, kaboa moal, tapak lacak kaula ku anak incu”.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, kulit kayu kaboa bisa
menjadi “jimat penangkal dari gangguan binatang harimau di dalam
hutan Sancang. Oleh karena itu hutan ini dipercaya sebagai hutan
keramat yang memiliki daya magis (Rosyadi, 2013). Dan hal ini juga
yang menarik masyarakat untuk mengambil pohon kaboa dan
menjadikannya aksesoris bernilai tinggi untuk dijual, sehingga
semakin lama jumlah pohon kaboa semakin berkurang.
6. Polemic Penurunan Status Konservasi
Pada saat Rapat pengamanan dan Pengelolaan Cagar Alam
Sancang memang terlihat sekali bahawa stakeholder masyarakat
24

sekitar Cagar Alam ingin memanfaatkan Cagar Alam lebih kearah


ekonomi (Untuk wisata misalnya), hal ini sebenarnya sudah terjadi
dengan adanya portal portal yang dibuat untuk masuk ke area yang
cocok dijadikan untuk tampat wisata, dan tentu saja hal ini illegal.
BKSDA mengatakan jika akan tetap dibuka wisata maka statusnya
harus diubah menjadi Taman Wisata atau status yang lebih rendah dari
Cagar Alam, namun BKSDA dan orang-orang yang memang bergerak
di bidang konservasi sangat tidak mengharapkan hal itu, karena itu
berarti terjadi penurunan yang signifikan, dan bisa saja lebih
mengancam flora dan fauna ataupun sumber daya lain yang terdapat di
Cagar Alam Sancang.
D. Upaya untuk Mengatasi Peremasalahan
Langkah-langkah untuk perlindungan dan konservasi sumber daya
hutan antara lain:
1. pengembangan sumber benih dan usaha perbenihan tanaman hutan;
2. pelaksanaan kerja sama bidang konservasi sumber daya alam dan
lingkungan hidup dengan lembaga masyarakat dan dunia usaha;
3. pelibatan masyarakat sekitar hutan dan peningkatan efektivitas
kawasan konservasi;
4. dibuatkan regulasi yang jelas berkaitan dengan cagar alam baik
untuk Juru kunci maupun untuk penziarah.
Demikian juga dengan upaya rehabilitasi dan pemulihan cadangan
sumber daya hutan perlu dilanjutkan dengan upaya sebagai berikut :
1. mengembangkan kerja sama dan koordinasi dengan para pihak
(investor, donor, dan sektor terkait);
2. pembersihan area cagar alam yang tercemar sampah;
3. meningkatkan kapasitas kelembagaan rehabilitasi hutan dan lahan.
Upaya peningkatan kapasitas kelembagaan pengelola lingkungan
hidup di pusat maupun daerah perlu dilakukan dengan menyinergiskan
pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dalam bentuk penegasan
pembagian urusan pemerintahan antarpusat, provinsi dan kabupaten/kota
untuk mengurangi potensi konflik kepentingan dan duplikasi penanganan
25

perencanaan. Perkuatan database dan akses informasi sumber daya alam


dan lingkungan hidup perlu dilakukan sebagai dasar perencanaan
pembangunan yang berbasis lingkungan dan diarahkan pada
mainstreaming pengelolaan lingkungan dalam perencanaan tata ruang dan
pengelolaan sumber daya alam, dengan memasukkan upaya mitigasi dan
adaptasi perubahan global. Upaya pengelolaan lingkungan juga perlu
dilakukan dengan peningkatan pendanaan alternatif dan memperkuat kerja
sama antara pemerintah, masyarakat dan swasta, seperti melalui Corporate
Social Responsibility (CSR), Domain Name Server (DNS), dan lain-lain.
Berdasarkan keputusan rapat mengenai pembahasan Pengelolaan dan
Pengamanan Cagar Alam Leweung dan Laut Leuweung Sancang
diputuskan beberapa hal sebagai upaya pemecahan masalah masalah yang
timbul, diantaranya:
1. patrol gabungan
2. restorasi ekosistem rehabilitasi
3. pendataan dan pemanggilan perambah
4. rehabilitasi masyarakat stekholder
5. penyuluhan
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Cagar Alam Leuweung Sancang masih terjaga meski terus mengalami
penurunan karena semakin banyaknya aktifitas masyarakat baik di area
hutan maupun lautnya. Hal ini berakibat pada kelestarian lingkungan,
seperti banyaknya sampah plastik, bangunan serta pembangunan jalan
untuk akses menuju daerah pantai. Adapun permasalahan yang terdapat di
Cagar Alam Leuweung Sancang ialah pemukiman illegal dimana
masyarakat mendirikan bangunan di wilayah yang masih termasuk
kawasan cagar alam, selanjutnya gubuk nelayan, lahan garapan, wisata
religi yang meninggalkan sampah, pencurian kayu serta sumber daya alam
lainnya dan terakhir ialah polemik penurunan status konservasi dimana
dalam kasus ini jika tetap dibuka sebagai wisata makan akan berubah
menjadi taman wisata yang mana tingkatannya lebih rendah dari cagar
alam. Dari uraian di atas maka upaya yang dapat dilakukan ialah patrol
gabungan, penyuluhan, restorasi ekosistem rehabilitasi, pendataan dan
pemanggilan perambah, dan rehabilitasi masyarakat stekholder.
B. Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan ialah perlunya usaha yang nyata
dalam menanggulangi masalah yang terjadi di Kawasan konservasi Cagar
Alam Leuweung Sancang agar kelestarian dan ketersediaan flora fauna di
dalam hutan tersebut dapat terjaga serta pelibatan masyarakat sancang
sekitar hutan dalam perlindungan dan konservasi sumber daya hutan.
Salah satu upaya pelibatan masyarakat sancang sekitar hutan dengan
adanya patrol gabungan dan penyuluhan.

26
DAFTAR PUSTAKA

Aulia, Fitria. (2016). Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Kawasan


Konservasi Perairan Daerah Karang Jeruk Di Desa Munjungagung
Kecamatan Kramat Kabupaten Tegal. Skipsi. FKIP, Pendidikan Georafi,
Univeristas Muhammadiyah Purwokerto.
Christanto, Joko. (tanpa tahun). Ruang Lingkup Konservasi Sumber Daya Alam
dan Lingkungan. Modul.
Haris, Mustari Aditya. (2019). Flora dan Fauna Cagar Alam Leuweung Sancang.
Bogor : PT Penerbit IPB Press.
Hernawati, Diana., Liah Badriah., dan Romy Faisal M. (2019). Perspektif Potensi
Lokal Sancang: Sebuah Refleksi untuk Meningkatkan Pemahaman
Etnopedagogik. Jurnal Pengabdian pada Masyarakat, Vol 1 No 4.
Khodiyat, Ramaini. (1992). Kamus Pariwisata dan Perhotelan. Jakarta :
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Lazuardi, Rangga Rifki. (2016). Struktur dan Komposisi Vegetasi di Kawasan
Cagar Alam Situ Patengan. Skripsi. Fakultas Sains dan Teknologi,
Biologi, UIN Sunan Gunung Djati.
Lufthi, Zulfikar Vasya. (2018). Aktivitas Harian Lutung Jawa (Trachypithecus
Mauritius, Geoffroy 1812) Di Kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang,
Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Skripsi,
Studi Biologi, Universitas Pendidikan Indonesia.
Oesman, M. Rialdi et.al., (2002). Pengelolaan dan Peningkatan Fungsi
Lingkungan Hidup bidang Pertambangan, Kehutanan, dan Pertanian di
Wilayah Kabupaten Garut. Kementrian Lingkungan Hidup.
Putra, Kelana Perdana., Isdrajad Setyobudi., dan Majariana Krisanti. (2015).
Kondisi Habitat Polymesoda erosa Pada Kawasan Ekosistem Mangrove
Cagar Alam Leuweung Sancang. Jurnal Akuatika, Vol.VI No.2.
Rosyadi. (2013). Legenda-legenda keramat di kawasan Sancang kabupaten garut
(studi tentang kearifan lokal). Patanjala Vol. 5 No. 1.
Sumarto, Saroyo., et.al. (2012). Biologi Konservasi. Bandung : CV. Patra Media
Grafindo.

27
28

Widagdo, Ridwan., dan Sri Rokhlinasari. (2017). Dampak Keberadaan


Pariwisata Religi terhadap Perkembangan Ekonomi Masyarakat Cirebon.
Jurnal Kajian Ekonomi dan Perbankan Syari‟ah, Volume 9, No. 1.
Tersedia : 10.24235/amwal.v9i1.1670

Anda mungkin juga menyukai