LEUWEUNG SANCANG
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata kuliah Biokonservasi, Jurusan
pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi
Disusun oleh :
Kelompok 9
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan limpahan karuniaNya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah
dengan judul “ANALISIS MASALAH KONSERVASI: CAGAR ALAM
LEUWEUNG SANCANG” ini sebagai salah satu tugas mata kuliah
Biokonservasi.
Adapun tujuan kami menyusun makalah ini adalah supaya dapat
membantu dalam melakukan proses pembelajaran. Selama penyusunan makalah
ini, penulis mendapat banyak bantuan baik secara langsung maupun tidak
langsung. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Purwati Kuswarini, M. Si. Dan Bapak Diki Muhamad Chaidir, M.Pd.
selaku dosen mata kuliah Biokonservasi Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi.
2. Ibu Dr. Purwati Kuswarini, M. Si. selaku ketua Jurusan Pendidikan Biologi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi.
3. Bapak Dr. H. Cucu Hidayat, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Siliwangi.
4. Orang tua yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil serta
doa kepada penulis dalam penyelesaian makalah ini.
5. Sahabat-sahabat yang telah memberikan dukungan, dan masukan kepada kami
dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari banyak sekali kesalahan dan kekurangan dalam
pembuatan makalah ini. Sehubungan dengan hal ini, kami memohon kritik dan
saran yang membangun terhadap makalah yang kami susun. Kami berharap
semoga makalah ini bisa bermanfaat, khususnya bagi penulis sendiri dan
umumnya bagi pembaca makalah ini.
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................2
C. Tujuan ............................................................................................3
D. Manfaat Makalah ...........................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................4
A. Konservasi ......................................................................................4
B. Cagar Alam ....................................................................................5
C. Leuweung Sancang ........................................................................6
D. Wisata Religi ................................................................................11
E. Mata Pencaharian .........................................................................14
F. Permukiman Ilegal .......................................................................15
G. Perkebunan PT Mira Mare dan Pengembalaan Ternak................16
BAB III PEMBAHASAN
A. Kondisi Cagar Alam Leuweung Sancang ....................................18
B. Peran Masyarakat Sancang ..........................................................20
C. Permasalahan Konservasi ...........................................................21
D. Upaya untuk Mengatasi Peremasalahan.......................................24
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ......................................................................................26
B. Saran .............................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................27
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
A. Konservasi
Konservasi itu sendiri berasal dari kata Conservation yang terdiri
atas kata con (together) dan servare (keep atau save) yang memiliki
pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep atau save
what you have), namun secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan
oleh Theodore Roosevelt (1902) yang merupakan orang Amerika pertama
yang mengemukakan tentang konsep konservasi. Konservasi dalam
pengertian sekarang, sering diterjemahkan sebagai the wise use of nature
resource atau pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana. (Joko
Christanto, modul)
Konservasi adalah segenap proses pengelolaan suatu tempat agar
makna kultural yang dikandungnya terpelihara dengan baik (Piagam Burra,
1981). Konservasi adalah pemeliharaan dan perlindungan terhadap sesuatu
yang dilakukan secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan
dengan cara pengawetan (Peter Salim dan Yenny Salim, 1991). Kegiatan
konservasi selalu berhubungan dengan suatu kawasan, kawasan itu sendiri
mempunyai pengertian yakni wilayah dengan fungsi utama lindung atau
budidaya (Undang-undang No. 32 Tahun 2009). (Joko Christanto, modul).
Biologi Konservasi adalah disiplin ilmu yang dikembangkan untuk
usaha pelestarian biodiversitas yang merupakan gabungan dari berbagai
macam ilmu untuk membahas krisis biodiversitas, atau ilmu multidisiplin
yang dikembangkan sebagai tanggapan untuk menghadapi krisis
biodiversitas. Berdasarkan lokasi atau tempatnya, konservasi dibedakan
menjadi konservasi in-situ atau konservasi yang dilakukan di habitat
alaminya dan konservasi ex-situ atau konservasi yang dilakukan di luar
habitat alaminya, sedangkan berdasarkan tingkat atau level organismenya,
dibedakan antara konservasi tingkat spesies atau populasi dan konservasi
tingkat komunitas atau ekosistem. (Saroyo Sumarto, et al. 2012).
4
5
B. Cagar Alam
Menurut Saroyo Sumarto, et al. (2012) Pengelolaan kawasan
konservasi Indonesia dimulai dengan menunjuk cagar alam tertua di
Indonesia, yaitu Cagar Alam Cibodas seluas 240 hektar pada tahun 1889.
Setelah itu sejumlah cagar alam ditetapkan oleh pemerintah Belanda,
terutama setelah dikeluarkan UU Cagar Alam 1916. Di Sulawesi Utara,
Cagar Alam Tangkoko Batuangus ditetapkan oleh Belanda berdasarkan GB
No. 6 Stbl 1919, tanggal 12 Februari 1919. Pada awal kemerdekaan,
Indonesia memiliki 99 cagar alam seluas 314.976,821 hektar dan 14 suaka
margasatwa seluas 1.969.583 hektar. Dalam perkembangan selanjutnya,
jumlah dan luas kawasan konservasi telah bertambah. Sampai dengan akhir
1999 kawasan konservasi di luar taman nasional dan taman hutan raya telah
berkembang menjadi 334 lokasi dengan luas seluruhnya 7.451.916,6 hektar
dengan perincian sebagai berikut:
a. Kawasan Konservasi Darat
- Cagar Alam: 2.533.332,18 hektar (174 lokasi)
- Suaka Margasatwa: 3.535.618,12 hektar (48 lokasi)
- Taman Wisata: 286.910,18 hektar (76 lokasi)
- Taman Buru: 238.392,70 hektar (15 lokasi)
b. Kawasan Konservasi Laut
- Taman Laut: 597.582,00 hektar (13 lokasi)
- Suaka Margasatwa: 65.220,00 hektar (3 lokasi)
- Cagar Alam Laut: 194.850,35 hektar (5 lokasi)
Menurut UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya yang dijabarkan dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1998 Tentang Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, kawasan konservasi di
Indonesia dibedakan menjadi dua, yaitu Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam.
Kawasan suaka alam terdiri dari : kawasan cagar alam, dan kawasan
suaka margasatwa. Suatu kawasan ditunjuk sebagai Kawasan Cagar Alam,
apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut :
6
(Pemerintah Provinsi Jawa Barat, 2015). Salah satu hutan konservasi yang
dimiliki Jawa Barat adalah Cagar Alam Leuweung Sancang dengan luas
2.157 ha yang berada di Kabupaten Garut. Kawasan Cagar Alam Leuweung
Sancang yang berada di Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat
ditetapkan sebagai kawasan Cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Pertanian No. 370/Kpts/Um/6/1978 pada tanggal 9 Juni 1978.
(Vasya Lufthi Zulfikar, 2018)
Kawasan hutan suaka alam yang terletak di pantai selatan Garut ini
meliputi beberapa wilayah desa, diantaranya yaitu : Desa Sancang, Sagara,
Karyamukti, dan Karyasari, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut. Cagar
alam ini terdiri dari hutan daratan rendah, hutan pantai dan hutan mangrove.
Keberadaan hutan mangrove dan adanya terumbu karang di perairan pesisir
cagar alam leuweung Sancang seluas 1150 Ha menjadi dasar terbentuknya
Cagar Alam Laut Sancang diperkuat dengan surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor : 682/Kpts-II/90 tanggal 17 November 1990 sebagai
dasar hukumnya. (Perdana Putra Kelana, et.al. 2015).
Hutan Sancang memiliki potensi yang cukup beragam terletak di
daerah Garut Selatan, menyimpan banyak misteri legenda yang
mempengaruhi sikap hidup masyarakat di sekitarnya. Beberapa potensi yang
dimiliki diantaranya adalah flora, fauna serta bentang alam yang masih
lestari dengan ketersediaan air dan udaranya. (Diana Hernawati., et. Al.
2019).
Flora dan fauna yang terdapat di kawasan Cagar Alam Leuweung
Sancang sangat beragam. Berdasarkan hasil penelitian Irawan (2015),
kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang memiliki 361 individu dari 44
jenis tumbuhan pantai. Vegetasi yang tumbuh di daerah hutan pantai Cagar
Alam Leuweung Sancang antara lain Guetarda speciosa, Morinda citrifolia,
Cerbera manghas, Pongamia pinata, Terminalia catappa, Thespesia
populnea, Crinum asiaticum, Arenga pinata, Calamus sp., Calophyllum
inophyllum, Bauhinia aureifolia, Protium javanicum, Dipterocarpus sp.,
Shorea sp., Diospyros littorea dan lain-lain. Sementara itu berdasarkan hasil
penelitian Maharadatunkamsi (2014), di Cagar Alam Leuweung Sancang
8
terdapat 21 jenis mamalia, antara lain Sus scrofa (Babi Hutan), Hylobates
moloch (Owa Jawa), Macaca fascicularis (Kera Ekor Panjang),
Paradoxurus hermaphroditus, Panthera pardus melas (Macan Tutul),
Cynopterus brachyotis, Cynopterus sphinx, Cynopterus titthaecheilus,
Eonycteris spelaea, Pteropus vampyrus, Rousettus amplexicaudatus,
Megaderma spasma. Salah satu mamalia yang termasuk ke dalam kelompok
primata dan tercatat termasuk ke dalam kategori dilindungi oleh pemerintah
adalah Lutung Jawa (Trachypithecus mauritius) (Vasya Lufthi Z, 2018).
Terdapat beberapa lokasi di leuweung Sancang :
1. Ranca Kalong
Terdapat suatu blok hutan yang berada di bagian tengah Leuweung
Sancang yang jarang didatangi manusia karena dianggap keramat, yaitu
Ranca Kalong. Ranca artinya rawa, dan kalong yaitu sejenis kelelawar
besar pemakan buah (Pteropus vampyrus). Blok hutan itu dinamai
Ranca Kalong karena pada waktu tertentu kawasan hutan tersebut
berupa rawa-rawa, terutama pada musim penghujan terdapat banyak
genangan air, pepohonannya dihuni ribuan kelelawar pada siang hari,
dan pada sore hari menjelang magrib, kelelawar tersebut terbang
meninggalkan pohon tempat bertengger (roosting trees) untuk mencari
makan berbagai jenis buah ke arah utara dari Leuweung Sancang. Di
Ranca Kalong terdapat suatu tempat yang dikenal lokasi pinang (jambe)
tumbuh berjajar karena terdapat tegakan pohon pinang hutan sebanyak
lebih 20 batang yang tumbuhnya teratur berjajar seperti sengaja ditanam
padahal pinang tersebut tumbuh alami. Lokasi pinang tumbuh berjajar
tersebut oleh masyarakat sekitar dipercayai ada kaitannya dengan
kerajaan mahluk halus di Leuweung Sancang. (Abdul Haris Mustari,
2019).
Salah seorang kuncen (pak Salim) mengisahkan bahwa di sebelah
utara Ranca Kalong terdapat batu yang disebut Batu Surade atau Batu
Suraga, tempat yang digunakan oleh Prabu Siliwangi melakukan ritual
Braga Sukma (olah jiwa), tempat manggung atau bertapa, ketika berada
9
atau Aula Istana Prabu Siliwangi. Sekali lagi ini adalah legenda dan
mitos. (Abdul Haris Mustari, 2019).
3. Karang Gajah
Lokasi ini disebut Karang Gajah karena ukuran karang yang besar.
Hempasan ombak laut selatan dan hembusan angin kencang di
sepanjang pesisir pantai ini dapat menyiutkan nyali siapa saja yang
ingin mencapai batu karang tersebut. Saat air laut pasang, Karang Gajah
seolah terpisah dari pantai dan daratan utama Leuweung Sancang,
namun ketika air laut surut, karang gajah dapat dikunjungi melewati
karang datar yang berada di sisi utara. Lokasinya yang berada di pantai
selatan Leuweung Sancang, di muara kiri Sungai Cipangisikan, Karang
Gajah seolah benteng kokoh yang menahan hempasan ombak pantai
selatan. Dari cerita nelayan serta kondisi ombak di sekeliling Karang
Gajah, diketahui bahwa persis di kaki karang itu terdapat palung atau
gua bawah laut yang apabila seseorang terseret gelombang dan
tenggelam di sekitar perairan itu maka akan terjepit di sela-sela karang
yang tajam. Oleh karena itu, pengunjung dilarang keras mandi dan
berenang di pantai sekitar Karang Gajah. (Abdul Haris Mustari, 2019).
tengah seperti blok hutan Meranti dan Cijeruk. Setiap petilasan dijaga oleh
juru kunci atau yang lebih dikenal dengan sebutan kuncen. Jumlah petilasan
semakin meningkat seiring dengan munculnya kuncen baru. Apabila
seorang kuncen meninggal maka tugas dan perannya diturunkan kepada
anaknya, dan seterusnya sehingga merupakan pekerjaan yang turun-
temurun. Setiap kuncen memiliki pengikut atau peziarah yang datang dari
berbagai daerah, terutama di wilayah Jawa bagian barat. Ada juga yang
datang dari luar Pulau Jawa. Peziarah datang karena berbagai tujuan dan
alasan. Ada yang bertujuan dengan alasan terkait spiritualisme, mencari
kekuatan rohani dan kanuragan, ada yang berkunjung karena alasan
kelancaran usaha dan bisnis, dan ada pula yang datang karena alasan politik,
menginginkan jabatan atau posisi tertentu. (Abdul Haris Mustari, 2019)
Di wilayah Sancang sendiri terdapat banyak juru kunci yang berada di
sepanjang jalan layaknya menyediakan jasa dengan adanya tanda pengenal
berupa papan nama. Terdapat kurang lebih 50 juru kunci dengan berbeda
keahlian untuk konsultasi dengan tamu yang datang ke juru kunci tersebut.
Adat dan kebiasaan yang ada di wilayah Sancang ini begitu sangat dikagumi
dan bisa dijadikan sebagai pembelajaran terkhusus bagi para kaum pendidik,
sebagai salah satu contohnya dengan menjaga adat budaya dan melestarikan
alam di sekitarnya atau bisa disebut juga dengan Genius Local. Salah satu
kuncen perempuan menjelaskan bahwa “dirinya hanya sebagai perantara
dan menanamkan budi pekerti yang baik ke setiap tamu yang datang”.
(Diana Hernawati., et. Al. 2019)
14
Kondisi di salah satu petilasan berupa airterjun dan tebing gua yang sering
dikunjungi peziarah di blok hutan Cikajayaan. Sumber: Abdul Haris
Mustari.
E. Mata Pencaharian
Bentang alam yang menarik yang terdapat di cagar alam Sancang
dengan ekosistem dan berbagai jenis flora dan fauna, serta gugusan-gugusan
batu menimbulkan panorama alam yang unik. Daya tarik utama ini tidak
sebanding dengan kondisi masyarakatnya. Kondisi sosial ekonomi
masyarakat di sekitar cagar alam leuweung Sancang relatif rendah. Warga
masyarakat di sekitar cagar alam leuweung Sancang sebagian besar bekerja
sebagai petani. Tingkat pendidikan mereka pun cukup rendah, dan mereka
15
dimulai pada tahun 1998, dalam era reformasi, pemukiman liar berlipat
mencapai ratusan, namun berhasil ditekan kembali setelah operasi Lodaya.
Pada tahun 2006, jumlah pondok liar sebanyak 72 buah. Namun sejak tahun
2009, terjadi peningkatan jumlah podok, yang saat ini (2018) jumlahnya
sekitar 121 pondok nelayan di sepanjang pantai selatan Leuweung Sancang.
Semua pemilik pondok memiliki rumah di desa atau di kampung yang
berada di sebelah utara Leuweung Sancang, seperti di Kecamatan Cibalong
dan Kecamatan Pamempeuk. Pondok tersebut ditempati ketika musim
menangkap ikan. Akan tetapi, beberapa keluarga nelayan berada di pondok
hampir setiap hari bahkan ada satu dua keluarga yang sudah menetap di
pondok tersebut seperti yang terdapat di blok hutan Cibako. Di ujung barat
Leuweung Sancang di blok Cimerak sebanyak 304 KK telah menduduki
kawasan secara ilegal. Di Cibaluk, di sekitar Tempat Pelelangan Ikan
terdapat 14 KK menduduki kawasan dengan membuat kios atau warung
sekaligus sebagai tempat tinggal sehari-hari. (Abdul Haris Mustari, 2019)
18
19
tanah, jika hal tersebut terwujud maka luas wilayah Cagar alam akan
semakin berkurang.
2. Gubuk Nelayan
Laut sancang juga merupakan wilayah Cagar Alam,
deharusnya bentuk pengambilan apapun tidak diperbolehkan, namun
banyak masyarakat Sancang yang bekerja sebagai nelayan. Banyaknya
komoditas seperti rumput laut dan ikan di pantai CA Laut Leuweung
Sancang memberi dampak, munculnya dubuk-gubuk liar di pesisir
pantai (terdapat sekitar 80 unit dengan luas areal sekitar 1.834 hektar
pada tahun 2018) dan 2020 ini kemungkinan semakin banyak. Karena
banyaknya pengunjung ke pantai, gubuk nelayan juga beberapa ada
yang dijadikan sebagai warung. hal ini tentu saja akan mebuat
banyaknya sampah rumah tangga di wilayah cagar alam. Karenan
tambat nelayan yang ada di kawasan CAL illegal, ada isu akan
dibuatkan pelabuhan namun anggarannya terlalu besar, sehingga
selalu tidak terealisasi.
3. Lahan Garapan
Pembukaan lahan garapan dimulai sejak tahun 1978 (Blok
cipunaga, Cibako, Ciporeang dan Cibuninggeulis), tahun 1999 (Blok
Sakad), tahun 2000 (Blok Cijeruk). Pembukaan alih fungsi lahan
sampai sekarang masih marak. Inventarisasi sampai tahun 2002, lahan
yang telah dialihfungsikan seluas 282,92 hektar dengan jumlah
penduduk sekitar 514 kepala keluarga. Perambah umumnya berasal
dari masyarakat desa Sancang. akibat perambahan, sepanjang pantai
Blok Cimerak sampai Cijeruk/ Cibaluk meluas ke Blok Cihorang dan
Blok Ciporeang telah banyak yang berubah menjadi sawah, ladang
dan pemukiman. Selain itu ada juga kasus di Cagar alam ditanami
pohon pohon yang nantinya bisa dimanfaatkan kayunya, hal ini tentu
saja mengganggu flora yang memang tumbuh secara alami disana.
4. Wisata Religi
Sudah menjadi rahasisa umum bahwa di Desa Sancang
terdapat banyak Juru Kunci yang nantinya akan mengarahkan ziarah
23
A. Simpulan
Cagar Alam Leuweung Sancang masih terjaga meski terus mengalami
penurunan karena semakin banyaknya aktifitas masyarakat baik di area
hutan maupun lautnya. Hal ini berakibat pada kelestarian lingkungan,
seperti banyaknya sampah plastik, bangunan serta pembangunan jalan
untuk akses menuju daerah pantai. Adapun permasalahan yang terdapat di
Cagar Alam Leuweung Sancang ialah pemukiman illegal dimana
masyarakat mendirikan bangunan di wilayah yang masih termasuk
kawasan cagar alam, selanjutnya gubuk nelayan, lahan garapan, wisata
religi yang meninggalkan sampah, pencurian kayu serta sumber daya alam
lainnya dan terakhir ialah polemik penurunan status konservasi dimana
dalam kasus ini jika tetap dibuka sebagai wisata makan akan berubah
menjadi taman wisata yang mana tingkatannya lebih rendah dari cagar
alam. Dari uraian di atas maka upaya yang dapat dilakukan ialah patrol
gabungan, penyuluhan, restorasi ekosistem rehabilitasi, pendataan dan
pemanggilan perambah, dan rehabilitasi masyarakat stekholder.
B. Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan ialah perlunya usaha yang nyata
dalam menanggulangi masalah yang terjadi di Kawasan konservasi Cagar
Alam Leuweung Sancang agar kelestarian dan ketersediaan flora fauna di
dalam hutan tersebut dapat terjaga serta pelibatan masyarakat sancang
sekitar hutan dalam perlindungan dan konservasi sumber daya hutan.
Salah satu upaya pelibatan masyarakat sancang sekitar hutan dengan
adanya patrol gabungan dan penyuluhan.
26
DAFTAR PUSTAKA
27
28