Anda di halaman 1dari 20

TUGAS TERSTRUKTUR

MATAKULIAH ILMU DAN TEKNOLOGI EVALUASI PAKAN


Dosen Pengampu : Prof.Dr.Ir. Kusmartono

Disusun Oleh :

Siti Mufidah 206050101111006

Derana Tri Mustikawatie 206050101111007

Mahayu Sekarini Putri 206050101111011

Tangguh Rizal Asakof 206050101111012

Ilham Fitrah Hasanain 206050101111015

Dian Susi Susanti 206050101111016

PASCASARJANA FAKULTAS PETERNAKAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
Soal No 1.
Analisa proksimat merupakan teknik dasar untuk mengetahui kandungan zat nutrisi bahan
pakan, meliputi bahan kering (BK), protein kasar (PK), lemak kasar (LK), serat kasar
(SK) dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN).

Nama bahan pakan Kandungan zat nutrisi


Rumput segar: BK Abu PK SK LK BETN
R.Lapangan 24.2 14.5 8.2 31.7 1.1 44.5
R.Gajah 22.2 11.8 9.2 38.2 2.0 38.8
King grass 20.1 9.8 7.8 40.0 1.4 41.0

Limbah pertanian:
Jerami Padi 45.3 18.6 6.7 36.4 1.8 36.5
Jerami jagung 21.0 10.2 9.9 27.4 1.8 50.7
Pucuk tebu
Leguminosa:
Kaliandra 25.0 5.0 24.0 27.0 3.0 41.0
Glyricidia 25.0 6.3 18.8 15.5 3.7 55.7
Leucaena 24.8 7.5 24.2 21.5 3.7 43.1

Berilah ulasan terhadap data yang disajikan pada tabel di atas, mengapa dan faktor-
faktor apa yang menyebabkan perbedaan kandungan zat nutrisi dari ketiga kelompok
bahan pakan tersebut, terutama kandungan PK, SK dan BETN.

Jawaban :
Pada data yang ditampilkan, terdapat 3 kelompok bahan pakan, diantaranya rumput,
limbah pertanian dan leguminosa. Dari ketiga kelompok bahan pakan tersebut terdapat
beberapa perbedaan, salah satunya yaitu perbedaan kandungan zat nutrisi yang terkandung
pada masing-masing kelompok. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah
varietas, unsur hara, waktu pemanenan dan lain sebagainya.
Varietas ketiga kelompok bahan pakan ini berbeda satu sama lain, sehingga akan
mempengaruhi kandungan zat nutrisi yang dikandungnya, kelompok dengan kandungan
nutrisi paling tinggi yakni leguminosa dikarenakan Tanaman Legum merupakan tanaman
yang biasa digunakan untuk pakan ternak ruminansia dan juga non ruminansia. Legum ini
memiliki kandungan protein yang sangat tinggi, karena memiliki perakaran yang banyak
mengandung air, legume merupakan tanaman pakan yang sangat penting bagi ternak karena

2
kaya kandungan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan ternak. Indonesia merupakan daerah
tropis yang memiliki keayaan jenis tanaman pakan yang beragam, diantaranya Kaliandra,
Gliricidia dan Leucaena. Tanaman ini umunya memiliki karakteristik kandungan protein yang
tinggi, sehingga mampu mencukupi kebutuhan pokok nutrisi ternak. Morfologi pada bagian
tanaman legume memiliki kandungan nutrisi yang berbeda pada setiap bagiannya. Pada
bagian vegetatif tanaman mengandung 70% komponen bahan kering dari total tanaman,
sehingga akan berpengaruh juga terhadap kualitas hijauan dari legume (Danang dan Foekh,
2018).
Kemudian yang selanjutnya adalah rumput, dikarenakan rumput dapat tumbuh subur
di wilayah tropis seperti Indonesia maka ada beberapa hijauan pakan yang sangat potensial
dan sering diberikan pada ternak ruminansia ialah Rumput Lapang, Rumput Gajah dan
Rumput Raja. Ketiganya memiliki kandungan zat nutrisi yang berbeda namun tidak berselisih
jauh. Rumput segar dari lahan lebih sering diberikan kepada ternak sapi perah dengan cara
sebelum diberikan kepada ternak diangin-anginkan terlebih dahulu, lalu di chopper agar
palatabilitas meningkatkan dan menjadi efisien. Sekitar kurang lebih 90% pakan ternak
ruminansia berasal dari hijauan dengan konsumsi segar perhari sebanyak 10 - 15% dari total
berat badan, sedangkan sisanya adalah konsentrat dan pakan tambahan (Sirait et al., 2005).
Rumput akan tumbuh dengan baik apabila ditanam dilahan dengan tanah yang gembur dan
tidak kering, cuaca juga dapat berpengaruh terhadap kesuburan dari rumput.
Limbah pertanian merupakan kelompok yang kandungan nutrisinya paling rendah jika
dibandingkan dengan dua kelompok sebelumnya, dikarenakan limbah pertanian adalah hasil
samping tanaman pangan yang masih bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak, pemberian
limbah pertanian sebagai pakan ternak disarankan untuk dicampurkan dengan bahan lainnya
atau dilakukan perlakuan terlebih dahulu, contohnya dengan fermentasi agar menambah
nutrisi pada pakan dan meningkatkan kecernaan ternak.

A. Rumput Segar
Tanaman rumput segar pada tabel tersebut terdiri dari 3 jenis yaitu rumput lapang,
rumput gajah dan rumput raja (king grass). Kandungan zat nutrisi yang ada di dalam rumput
gajah dimulai dari PK sebesar (9,2%), SK sebanyak (38,2%) dan BETN sebanyak (38,8%).
Rumput gajah memiliki produksi sangat tinggi apabila dibandingkan dengan jenis rumput
yang lainnya. Rumput gajah ini juga dikenal sebagai rumput potongan, dan cocok untuk
diawetkan dalam bentuk silase. Pada musim hujan rumput gajah tumbuh subur dan bahkan
berlebih untuk digunakan sebagai pakan, tetapi pada musim kemarau pertumbuhan dan

3
produksinya menurun. Rumput gajah umumnya kualitas dan daya cernanya rendah bila
terlambat dipanen, maka untuk meningkatkan kualitasnya pada saat dibuat silase sebagai
cadangan pakan dimasa yang akan mendatang. Dosis pemupukan juga merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan perbedaan pada tiap kandungan nutrisi. Pemupukan pada rumput
gajah bisa diaplikasikan dengan menggunakan pupuk N,P,K hal ini didukung oleh Adiati et
al. (1995) yang menyatakan bahwa pertumbuhan serta produksi rumput gajah di Indonesia
sangat beragam. Akan lebih baik lagi jika pertumbuhan dan produksi rumput ini dengan
melakukan pemupukan dengan dosis yang tepat dan juga sesuai. Penggunaan dosis pupuk N,
P, dan K secara optimal dapat meningkatkan produksi rumput gajah. Tinggi rendahnya suatu
kandungan nutrisi, salah satunya bisa terjadi dikarenakan faktor umur panen dimana idealnya
rumput gajah dipotong pada umur tanaman 40 hingga 60 hari. Setelah tanaman mencapai
umur 60 hari makan rumput gajah dipanen. Pemanenan dilakukan dengan cara memotong
bagian batang sekitar 10 cm di atas permukaan tanah (Jamaran, 2006).
Kandungan zat nutrisi berupa protein kasar (PK), Serat Kasar (SK) dan BETN pada
Rumput raja ialah untuk PK (7,8%), SK (40%) dan BETN (41%) hal ini telah sesuai standar
yang didukung oleh pernyataan Bogdan (1997) yang menyatakan bahwa kandungan zat-zat
makanan rumput raja berdasarkan bahan kering yaitu protein kasar 5 – 19 %, serat kasar 23 –
44% dan BETN 33 – 52%. Rumput raja (Pennisetum purpurhoides) akan produktif apabila
diberikan perlakuan yang baik. Rumput ini sangat disukai oleh ternak dan cocok untuk
rumput potong (sistem cut and carry) dan sangat memungkinkan untuk dikembangkan pada
daerah peternakan dengan lahan hijauan yang semakin hari semakin sempit. Penanaman dapat
dilakukan dengan mudah, baik menggunakan stek, anakan maupun pols (Suarna et al., 2019).
Rumput raja memiliki sifat toleransi terhadap berbagai jenis tanah yang cukup luas, terutama
pada tanah yang teksturnya remah akan memberikan hasil produksi yang akan meningkat
dengan meningkatnya kebasahan tanah (Sufiriyanto, 2017). Untuk mempertahankan
pertumbuhan tanaman tetap baik ketersediaan hara tanaman mutlak diperlukan. Di daerah
marginal sistem intensif yang terdiri dari penggunaan spesies tanaman unggul serta
penggunaan pupuk yang dilakukan untuk mengurangi keterbatasan-keterbatasan unsur hara/
defisiensi mineral terhadap pertumbuhan pastura perlu dilakukan (Suarna et al. 2019).
Kandungan zat nutrisi berupa protein kasar (PK), Serat Kasar (SK) dan BETN pada
Rumput lapang ialah pada PK (8,2%), SK (31,7%) dan BETN yang tinggi dibandingkan
dengan tanaman rumput yang lainnya yaitu sebesar (44,5%). Rumput lapang merupakan salah
satu hijauan pakan ternak yang sering diberikan pada ternak ruminansia sebagai pakan utama.
Bahan pakan ini banyak dan mudah didapat, tetapi kualitas hijauan ini sangat bervariasi

4
tergantung dari jenis, umur, musim dan lokasi rumput tersebut tumbuh. Rumput yang masih
muda pada umumnya kualitasnya lebih baik. Begitu juga halnya dengan jenis tanah, pada
tanah yang subur kualitas rumput lapang lebih baik dari pada yang tumbuh di daerah tandus.
Rumput lapang salah satunya banyak tumbuh di daerah perkebunan dan perhutanan.
Kandungan nutrisi rumput lapang bergantung pada unsur hara yang terdapat dari tanah,
dikarenakan tidak adanya perawatan pada pertumbuhan rumput lapang. Hidayat N, dkk,
(2001) mengatakan bahwa fluktuasi perubahan iklim yang cukup besar mempengaruhi secara
langsung terhadap produktivitas rumput alam baik dalam jumlah maupun kualitas.
Perbedaan kadar PK selain karena perbedaan spesies juga dapat disebabkan oleh
pengaruh struktur tanah, pemupukan dan umur panen rumput (Kilic dan Gulecyuz, 2017).
Perbedaan komposisi bagian tanaman seperti batang, daun dan malai juga dapat
mempengaruhi kandungan PK yang dihasilkan. Kandungan unsur hara nitrogen dalam tanah
yang dapat diserap tanaman mempengaruhi produksi dan kualitas hijauan yang dihasilkan.
Salah satu cara untuk menentukan produksi hijauan yaitu melalui pengukuran produksi bahan
keringnya dan salah satu kualitas hijauan yang penting diperhatikan yaitu kandungan protein
kasarnya. Selain kandungan unsur hara, ketinggian tempat juga menjadi salah satu faktor yang
berpengaruh pada pertumbuhan tanaman dan kandungan unsur hara bagi tanaman. Di daerah
tropis secara umum dicirikan oleh keadaan iklim yang hampir seragam.

B. Limbah Pertanian
Sebagai salah satu hasil sampingan pertanian limbah dari hasil pertanian salah satunya
ialah limbah jerami padi sangat berpotensi sebagai pakan ruminansia yang sangat mudah
diperoleh khususnya pada musim kemarau. Kandungan zat nutrisi yang ada pada jerami padi
ditabel tersebut pada PK (6,7%), SK (36,4%) dan BETN (36,5%). Serat kasar yang ada pada
limbah pertanian khususnya jerami padi sangat tinggi. Dalam pemanfaatannya, beberapa
kendala perlu dipertimbangkan termasuk diantaranya adalah kandungan protein kasar yang
rendah 3--5%, serat kasar tinggi 28--33%, dan kandungan mineralnya yang tidak seimbang.
Hampir semua limbah pertanian mengandung serat kasar tinggi (Haryanto, 2003).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh BPTP Sumatera Barat (2011) menunjukkan
jerami jagung mengandung protein kasar 5,56%, serat kasar 33,58%, lemak kasar 1,25%, abu
7,28% dan BETN 52,33%. Analisis komposisi kimia tersebut jika dibandingkan dengan data
pada tabel bagian menunjukkan hasil variasi. Perbedaan komposisi tersebut dapat dipahami
karena setiap bagian tanaman akan menampilkan perbedaan morfologi sel sesuai dengan
fungsinya sehingga nilai nutrisinya juga akan berbeda. Perbedaan komposisi dapat juga

5
dipengaruhi oleh varietas, manajemen pengelolaan tanaman dan pengolahan lahan jenis atau
struktur tanah, stress kekeringan, kepadatan jarak tanam (Yanuartono dkk, 2020). Data yang
terdapat pada tabel sudah ideal, hal ini dikarenakan faktor pemotongan yang umurnya cukup
lama karena bersamaan dengan waktu panen jagung. Selain itu, kandungan hemiselulosa,
lignin dan selulosa sangat tinggi sehingga perlu untuk mencampurkan jerami jagung dengan
bahan pakan lain sebelum diberikan ke ternak atau dengan kata lain tidak disarankan untuk
menggunakan jerami jagung sebagai pakan utama ternak.

C. Leguminosa
Leguminosa merupakan hijauan pakan yang dapat meningkatkan kualitas nutrisi dan
dapat mensuplai protein. Kaliandra, Gliricidia dan Leucaena merupakan tanaman yang
tergolong dalam kelompok leguminosa dan banyak dimanfaatkan peternak sebagai pakan.
Kalindra merupakan sumber protein ternak sebesar 31,35% (Novia et al., 2015), meskipun
demikian Tangendjaja et al. (1992) melaporkan bahwa kandungan tannin sebesar 1,5-11,3%
pada kaliandra menyebabkan tingkat kecernaan rendah sebesar 30-60%. Menurut Hartadi et
al. (1993) kandungan nutrisi gliricidia 25%, Natalia et al. (2009) 20- 30% dan Mei et al.
(2013) 24,28%-25,98%. Kandungan nutrient yang sangat tinggi pada gliricidia sangat cocok
untuk suplemen pada hijauan berkualitas rendah, akan tetapi kualitas nutrisi pada gliricidia
memiliki kandungan yang berbeda pada setiap bagian tanamnnya. Sedangkan untuk Leucaena
memiliki kadar Pk sebesar 24,3%, kadar LK sebesar 2,6%, kadar SK lamtoro rataannya
sebesar 15,4% kemudian untuk kadar Abu dengan rataan sebesar 6,9%, kadar BETN
rataannya sebesar 82,0%; lebih besar dari berbagai sumber dengan nilai 41,3-77,4%
(Nafifa,2018)
Pertumbuhan dan produktivitas leguminosa dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya kesuburan tanah, iklim dan ketersediaan air. Jika ketersediaan air dalam tanah
menurun maka cekaman kekeringan pertumbuhannya akan terhambat karena ketersediaan air
dalam tanaman dan tanah dapat mempengaruhi penyerapan unsur hara dan laju fotosintesis
(Mustapa dkk,2013).
Umur pemotongan juga sangat berdampak signifikan terhadap kandungan zat nutrisi
leguminosa, berdasarkan data pada tabel diatas dapat diduga bahwasanya pemotongan
dilakukan pada saat tanaman sudah tua atau bisa dikatakan melebihi batas ideal waktu
pemanenan dikarenakan kandungan serat kasar hampir dan melebihi kandungan protein
tanaman leguminosa. Pertambahan umur tanaman juga menyebabkan kandungan nutrisi
menurun, terutama pada daun. Penurunan rasio daun dan batang dapat digambarkan sebagai

6
indikator menurunnya nilai nutrisi dan produksi. Hal ini sesuai dengan pendapat Abqoriyah,
dkk (2015) bahwa semakin tua umur pemotongan (sampai 12 minggu) kadar bahan keringnya
meningkat. Hal tersebut diduga karena pada umur pemotongan yang lebih pendek (umur
muda) kadar air tanaman lebih banyak dibandingkan dengan umur tua. Semakin tua umur
tanaman kadar serat kasarnya akan semakin meningkat sehingga kadar air semakin berkurang.
Umur tanaman juga dapat mempengaruhi kadar air dalam bahan tanaman, kadar bahan kering
semakin meningkat seiring dengan semakin tua umur tanaman tersebut.
Davies (1982) menyatakan bahwa kadar protein kasar menurun dengan umur tanaman
yang semakin meningkat, karena komponen dinding sel bertambah sedangkan isi sel
mengalami penurunan. Protein adalah bagian utama dari jaringan-jaringan yang aktif, dengan
demikian daun mengandung lebih banyak nutrisi tersebut daripada tangkainya, apabila
tanaman menjadi tua terjadi suatu perpindahan protein dari bagian vegetatif ke bijinya untuk
keperluan pertumbuhan biji. Kadar BETN diperoleh dari pengurangan kadar air, abu, protein,
lemak, dan serat kasar sehingga nilainya dipengaruhi oleh kandungan nutrien lain tersebut.
Berdasarkan analisa dapat ditunjukkan bahwa umur pemotongan tidak mempengaruhi kadar
BETN. Diduga bahwa turunnya kadar protein kasar pada suatu perlakuan diimbangi dengan
naik-nya kadar serat kasar pada perlakuan lain sehingga tidak mempengaruhi total hasil
pengurangan.

7
Soal No 2.
Kualitas bahan pakan didefinisikan sebagai fungsi dari kandungan zat nutrisi, nilai
kecernaan, tempat dicerna dan efisiensi penggunaan zat tercerna. Berilah narasi yang dan
baik dengan dukungan pustaka yang relevan tentang hubungan antara kandungan zat
nutrisi (PK, SK, NDF dan ADF) dengan nilai kecernaan baik secara in vitro maupun in
vivo.

Jawaban :
Bahan pakan yang baik mempunyai kualitas bahan pakan baik dimana kandungan dari
bahan pakan tersebut mempunyai nilai nutrisi yang dibutuhkan oleh ternak, nilai
kecernaannya tinggi dan efesien dalam mencerna zat yang ada dikandungan zat bahan pakan
tersebut. Untuk mengetahui kualitas bahan pakan perlulah diuji nilai zat nutrisi dari bahan
pakan tersebut. Maka dari itu perlulah kandungan zat nutrisi dengan nilai kecernaanya. Nilai
kecernaan merupakan suatu cerminan terhadap kemampuan suatu bahan pakan dimana bahan
pakan tersebut dapat dicerna dengan baik atau tidak oleh tubuh ternak. Untuk mengetahui
nilai suatu kecernaan bahan pakan dapat dilakukan pengujian dengan metode in vivo dan in
vitro.

 Metode Kecernaan In vivo


Metode kecernaan in vivo merupakan pengukuran nilai kecernaan yang konvensional
yaitu menggunakan ternak sebenarnya untuk mengukur nilai kecernaannya. Tingkat akurasi
nilai kecernaanya sangat akurat, karena kita bisa mengoleksi bahan pakan dari pemberian
yang diberikan kepada ternak hingga menjadi sisa dari metabolisme dari dalam tubuh ternak
(feses dan urin). Kita juga bisa mengukur ekspresi dari konsumsi pemberian pakan bahan
pakan tersebut ke ternak seperti berat badan maupun produktivitas ternak lainnya.
Pengukuran kecernaan Protein Kasar menggunakan metode kecernaan in vivo pada
penelitian Renee (2012) dalam tubuh ternak protein kasar dapat terdegradasi oleh beberapa
enzym sehingga antinutrisi yang melindungi protein dapat terkelupas sehingga hasil produk
protein berupa asam amino dapat diserap oleh usus halus. Selain itu pengukuran protein kasar
melalui bahan pakan pemberian dengan hasil ekskresi metabolis dapat diketahui dengan
cepat, sehingga dapat diketahui kandungan protein yang tercerna dari zat pakan tersebut. Hal
ini menurut (Pond et al, 2005) kandungan bahan pakan yang tercerna didalam usus halus
merupakan cerminan dari kecernaan sejati suatu bahan pakan.Kecernaan Serat Kasar pada

8
penilitian Thiasari, Hermanto dan Hartutik (2014) yang menggunakan metode in vivo terkait
kecernaan serat kasar pada jerami padi mengklarifikasikan bahwa ternak yang mengkonsumsi
kandungan bahan pakan yang memiliki serat kasar tinggi memiliki nilai kecernaan yang
rendah karena pada serat kasar yang tinggi mempunyai dinding sel yang tinggi sehingga
mikroba yang ada dirumen tidak mempu mendegradasi dinding sel dengan baik. Pada metode
in vivo untuk mengetahui NDF (selulosa, hemiselulosa dan lignin) digunakan untuk
mengetahui kemampuan daya cerna mikroba terhadap pendegradasi dalam NDF sedangkan
kandungan ADF (mengetahui lignin) dapat diketahui dengan menggunakan asam sulfat
(Goering and Van Soest, 1970)
Penelitian Kitessa, Flinn san Irish (1999) yang menggunakan metode in vitro dan in
vivo pada suatu bahan pakan seperti jerami dan beberapa serialia yang diberi perlakuan
menggunakan enzym pepsin selulase. Pada kecernaan in vivo ukuran partikel pada suatu
bahan mempengaruhi degadrasi mikroba yang ada di rumen, pencacahan pakan yang
memiliki ukuran partikel yang kecil mempercepat pendegradasian bahan pakan oleh mikroba
rumen, hal ini terjadi pada hijauan yang mempunyai serat yang tinggi seperti jerami yang
memiliki kualitas pakan yang buruk. Sedangkan serealia pada kecernaan in vivo tidak tercerna
secara optimal, harus menggunakan bantuan zat kimia seperti enzym pepsin selulase dan
amilase. Dapat diketahui bahwa nilai kecernaan serealia itu buruk karena terdapat beberapa
serealia yang masih utuh dalam feses yang dikeluarkan oleh ternak khususnya ruminansia.
Namun beberapa sereliasia dapat dianalisis dengan baik menggunakan metode kecernaan in
vivo karena dengan penambahan enzym pepsin selulase dan amilase serta pengulangan dalam
penelitian mengasilkan hasil kecernaan yang lebih baik daripada di inokulan sampel bahan
pakannya. Pengukuran bilai kecerenaan jerami pada metode in vitro mempunyai kekurangan
dalam akurasi kecernaannya, karena pengaruh dari tingkat rata-rata aliran daya cernanya,
intake dan spesies suatu ternak juga mempengaruhi nilai kecernaannya.

 Metode Kecernaan In vitro


Metode kecernaan lain yaitu metode kecernaan in vitro yaitu mengukur suatu
kecernaan didalam laboratorium. Metode ini merupakan metode yang cepat, mudah dan
murah daripada metode kecernaan in vivo. Menurut Omed et al.,(2000) teknik kecernaan in
vitro memiliki keuntungan mudah, ekonomis dan menyerupai in vivo supaya menghasilkan
nilai ysng relatif lebih besar 1 ± 2% sehingga memperkecil perbedaan dari standar Kecernaan
hijauan pakan dapat ditentukan melalui percobaan in vitro atau melalui rumen buatan dengan

9
tidak melibatkan ternak secara langsung. Kecernaan yang dicoba dengan cara in vitro
memiliki dua tahapan, yaitu tahap fermentasi dan enzimatis (McDonald et al., 2002).
Kecernaan bahan pakan berhubungan erat dengan komposisi kimiawi bahan pakan itu
seperti Serat Kasar dan Protein Kasar pada hijauan (Tillman et al., 1998). Kandungan Serat
Kasar yang tinggi mengakibatkan rendahnya kecernaan bahan pakan tersebut (Anggorodi,
1998) sebagai contohnya kandungan Serat Kasar yang tinggi pada hijauan D. cinereum sekitar
36,12 ± 39,74% menyebabkan Kecernaan Bahan kering menjadi rendah. Bagian batang
tanaman yang ikut dianalisis mengakibatkan Serat Kasar tinggi dan kecernaannya menjadi
rendah paling rendah. Faktor lain yang mempengaruhi kecernaan bahan kering menjadi
rendah yaitu kondisi mikrobia dalam cairan rumen tidak dapat memanfaatkan kandungan
nutrisi hijauan karena inokulum sudah mati (Setiyaningsih, 2012).
Pada kecernaan bahan organik pada penilitian Setiyaningsih (2012) populasi mikroba

kurang dari tidak dapat mendegradasi bahan pakan secara optimal sehingga kecernaan

bahan pakan menjadi rendah. Dalam suatu bahan pakan, semakin tinggi nilai kecernaan bahan
kering dan organiknya maka kualitas hijauan semakin baik.disisi lain nilai dari kecernaan
bahan kering pakan lebih tinggi daripada nilai kecernaan bahan organic karena adanya fraksi
abu dalam bahan pakan sehingga pada saat proses fermentasi di rumen, mineral yang
terkanung dari dalam fraksi abu pada umumnya berbentuk unsur bebas, terkadang berbentuk
garam ± garam mineral yang tidak terombak oleh bakteri fermentatif( Setiyaningsih, 2012).
Hal ini didukung oleh Soewardi (1974) yang disitasi oleh Hapsari (2007) dimana nilai
kecernaan bahan kering lebih tinggi dari kecernaan bahan organik karena degradasi abu
dalam komponen Bahan kering rendah dan kemampuan mikrobia dalam mendegradasi
komponen dalam BK lebih tinggi dibandingkan BO. Didukung pula oleh pernyataan
Wijayanti, dkk (2012) Kandungan serat ditentukan dari nilai NDS dan NDF, semakin tinggi
nilai NDF dalam pakan komplit maka faktor kesulitan dalam mencerna pakan akan tinggi.
NDF atau dinding sel merupakan bagian dari bahan pakan yang tidak larut dalam larutan
deterjen netral dan kurang dapat dicerna. NDF terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin, silika
dan kutin.
Selain kandungan serat kasar yang mempengaruhi kecernaan ransum juga ditentukan
oleh kandungan energi dan protein ransum. Suplai energi dan protein yang cukup dan
seimbang akan mengoptimalkan kondisi fermentasi dalam rumen. Bioproses rumen sangat
dipengaruhi oleh populasi dan aktifitas mikroba rumen dan fermentabilitas pakan. Mikroba
rumen merupakan ujung tombak pencernaan makanan dalam rumen, semakin tinggi populasi

10
mikroba dalam rumen semakin tinggi pula laju degradasi zat makanan dalam rumen. Laju
pertumbuhan mikroba maksimum dapat dicapai apabila pasokan semua nutrient yang
diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroba tersedia dalam konsentrasi
optimum (Elihasridas et al., 2011). Kecernaan bahan kering, bahan organik dan protein kasar
ransum nyata menurun dengan menurunnya proporsi konsentrat dalam ransum (Elihasridas
dan Herawati, 2014).
Faktor lain yang mempengaruhi kecernaan bahan organik adalah kandungan protein
kasar. Menurut Ørskov (1982), PK di dalam rumen akan mengalami hidrolisis menjadi
peptida oleh enzim proteolitis yang dihasilkan oleh mikrobia, kemudian dihidrolisis menjadi
asam-asam amino. Sebagian asam-asam amino dirombak menjadi amonia dalam proses
deaminasi, yang digunakan oleh mikrobia sebagai penyusun protein tubuh sehingga banyak
bahan organik yang dapat didegradasi. kecernaan bahan organik pakan komplit yang semakin
menurun dapat dikarenakan kemampuan mikrobia dalam mendegradasi rendah.

11
Soal No 3.
Jelaskan bagaimana hubungan antara nilai kecernaan yang diperoleh dengan metode in
vitro dan in vivo. Menurut saudara apakah metode in vitro itu bisa digunakan sebagai
prediktor nilai kecernaan secara in vivo. Berilah contoh hasil-hasil penelitian terdahulu
untuk menjawab pertanyaan ini.

Jawaban :
Terdapat korelasi nilai kecernaan yang diperoleh dengan metode in vitro dengan
metode in vivo. Para peneliti menggunakan uji kecernaan secara in vitro untuk mengetahui
kecernaan bahan pakan dengan melakukan uji in vitro sebelum dilakukan uji lanjutan (in
vivo).Dengan menggunakan uji in vitro sampel pakan yang diperlukan tidak perlu dalam
jumlah banyak, dapat menggunakan banyak sampel dalam satu waktu sehingga lebih efisien,
biaya untuk penelitian in vitro lebih murah karena menggunakan alat yang sederhana dan
tidak membutuhkan ternak (cukup mikroba rumen). Menurut Osfar, Natsir, Chuzaemi dan
Hartutik (2019) Penentuan kecernaan secara in vitro memiliki keuntungan sebagai berikut :
 Jumlah sampel sedikit
 Peralatan yang digunakan lebih sederhana
 Dapat mengevaluasi sampel banyak dalam satu waktu
 Membutuhkan sedikit biaya karena tidak menggunakan ternak dan pakan dalam
jumlah banyak.
 Terdapat korelasi hasil kecernaan in vitro dengan kecernaan in vivo, sebagai berikut :

Y = 0,99 X – 1,01

dimana : Y = kecernaan in vivo


X = kecernaan in vitro

Keuntungan utama teknik in vitro yaitu dapat mempelajari aktivitas rumen diluar
pengaruh ternak. Untuk meningkatkan validitas data agar setara dengan percobaan in vivo,
percobaan kecernaan in vitro harus disertakan sampel standar, yaitu sampel yang telah
diketahui nilai kecernaan in vivo nya.
Penggunaan metode In vitro dapat digunakan dalam penelitian dengan
membandingkan hasil analisis proximat untuk mengestimasi nilai kecernaan in vivo.
Parameter yang digunakan yaitu BK, Abu, PK, LK dan BETN. Pengunaan In vitro sering

12
digunakan karena lebih menguntungkan, tidak melibatkan ternak langsung, membutuhkan
lebih sedikit tenaga kerja dan ruang fisik serta lebih ekonomis.
Metode kecernaan In vitro dapat digunakan untuk memprediksi nilai kecernaan in
vivo, hal ini didukung oleh beberapa penelitian. Tilley and Terry (1963) menyatakan bahwa
melalui penelitian 148 hijauan yang terdiri dari 18 tanaman semanggi dan 130 tanaman
rumput menunjukkan persamaan regresi Y = 0,99 X – 1,01, SE = ± 2,31, Y = persentase
kecernaan in vivo dan X = persentase kecernaan in vitro yang ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Grafik kecernaan in vitro dan kecernaan in vivo


(Sumber: Tilley and Terry, 1963)

Selain itu juga didukung oleh penelitian Pujol and Torrallardona (2007) bahwa Uji
kecernaan barley yang diuji secara in vitro dan in vivo pada babi menunjukkan nilai
kecernaan in vitro dan in vivo kebanyakan menunjukkan nilai NS atau tidak berbeda nyata,
namun dalam beberapa nilai kecernaan menunjukkan nilai yang berbeda, hal ini dipengaruhi
oleh materi yang digunakan dan perbedaan metode sehingga mempengaruhi efektifitas
degradasi. Oleh karena itu nilai kecernaan in vitro dapat digunakan untuk mengestimasi
kecernaan in vivo. Hal ini juga didukung oleh Setiyaningsih, dkk. (2012) bahwa metode
kecernaan in vitro dapat mengestimasi kecernaan in vivo dengan menghasilkan nilai yang
mendekati nilai in vivo 1-2% sehingga memperkecil perbedaan dari standar.

13
Estimasi kecernaan in vivo menggunakan metode in vitro juga diuji oleh Mendez, et al
(2016) melalui pengujian pH drop method yang ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Grafik kecernaan in vitro dan kecernaan in vivo

(Sumber: Mendez et al, 2016)

Gambar 2. Menunjukkan bahwa estimasi in vivo melalui pH drop method menunjukkan


persamaan %D in vivo predict = 14.46 + 0,8297 x (%D in vitro) dengan r 2 = 86,12%
*Significant to 1%. Oleh karena dari persamaan yang diperoleh dapat dapat digunakan untuk
mengestimasi kecernaan in vivo.

 Hasil – hasil penelitian yang menunjukkan korelasi analisa kecernaan in vitro dan in
vivo
Hasil penelitian Tulung, Pendong dan Tulung (2020) menunjukkan bahwa uji
kecernaan in vitro digunakan sebagai indikator untuk memperdiksi pengaruh pakan sampel
dalam menunjang aktivitas mikroba rumen, dimana nilai koefisien cerna nutrient in vitro
menjadi indikator dalam memprediksi pengaruhnya dalam uji biologis pada sapi PO. Hasil
kecernaan bahan kering, bahan organik dan konsentrasi NH3 (In vitro) pada pakan percobaan
disajikan pada Tabel 1. Rataan kecernaan nutrient pakan in vivo disajikan pada Tabel 2.

14
Tabel 1. Kecernaan bahan kering, bahan organik dan konsentrasi NH3 pakan percobaan
(In vitro)

Tabel 2. Rataan kecernaan nutrient pakan in vivo

Hasil uji statistik pada Tabel 1. kecernaan KCBK dan KCBO in vitro pakan lengkap
berbasis tebon jagung (RA) berbeda nyata lebih rendah dari pada perlakuan berbasis rumput
campuran (RB). Kandungan bahan kering sampel pakan RB sedikit lebih tinggi dari sampel
pakan RA, namun bahan organik sampel pakan RA sedikit lebih tinggi dari sampel pakan RB.
Nilai kecernaan secara in vitro komponen bahan kering dan bahan organik pakan RB
diasumsikan lebih banyak diserap tubuh ternak. Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian dengan metode kecernaan nutrient pakan secara in vivo pada Tabel 2 dimana
sampel pakan RA secara in vitro maupun in vivo memiliki kecernaan yang lebih rendah dari
sampel pakan RB.
Pujol and Torrallardona (2007) melakukan 2 (dua) percobaan untuk mengetahui
kecocokan dari koefisien uji in vitro dan uji in vivo. Pada percobaan 1 (satu) enam babi jantan
yang dimodifikasi dengan pembedahan anastomosis ileo rektat ujung ke ujung (IRA) diberi
tujuh sampel pakan eksperimental (sesuai dengan tujuh barley) berdasarkan cross over desain
selama 7 periode . Pada percobaan 2 (dua) sebelas ekor babi jantan IRA dan sebelas babi
jantan utuh yang diberi pakan berdasarkan cross over desain selama 4 periode. Setiap periode
terdiri dari fase adaptasi selama 5 hari diikuti 2 hari koleksi kuantitatif. Untuk memastikan
keterwakilan sampel feses, ditambahkan 0,3% chromium oxide dalam pakan. Digesta ileal
dianalisis untuk CP (crude protein) dan AA (amino acid) sedangkan feses dianalisis untuk

15
DM (dry matter) dan OM (organic matter), untuk menghitung koefisien in vivo, AID (in
vitro apparent ileal digestibilities) dan AFD (apparent faecal digestibility) yang sesuai. Hasil
penelitian pada Tabel 3. menunjukkan adanya kecocokan yang baik (Pb0.05) dari koefisien in
vitro dan in vivo AID diamati untuk CP dan AA, seperti yang diuji dengan regresi bivariat
least-square (BLS) (Tabel 3). Hasil uji interval kepercayaan untuk membandingkan intersep
dan kemiringan dengan nilai teoritis (0,1) menunjukkan perbedaan yang signifikan secara
statistik (Pb0,05) antara AID in vitro dan in vivo untuk Met dan Thr, tetapi tidak untuk CP
dan AA lainnya.
Tabel 3. Rata-rata (%) Kecernaan nutrisi dari sampel barley dari percobaan 1 yang diukur
dengan teknik in vitro dan in vivo

Nilai dalam tanda kurung adalah standar deviasi. n = 7.


a
Nilai di bawah 2,21 menunjukkan kesesuaian yang baik (Pb0,05) dari nilai-nilai tersebut
regresi BLS seperti yang diuji oleh χ2.
b
Pb0.05: perbedaan yang signifikan secara statistik antara intersep dan kemiringan diperoleh
dengan persamaan BLS dan nilai teoritis dari (0,1).
NS: tidak berbeda nyata.
Nilai rataan kecernaan nutrisi dari sampel barley pada percobaan disajikan pada Tabel
4. Seperti pada percobaan 1, kecocokan yang baik (Pb0.05) dari in vitro dan koefisien AID in
vivo diamati untuk semua nutrisi (Tabel 4). Namun intersep dan kemiringan Thr, Cys, Val, Ile
dan DM berbeda nyata (Pb0.05) dari nilai teoritis (0,1).

16
Tabel 4. Rata-rata (%) Kecernaan nutrisi dari sampel barley dari percobaan 2 yang diukur
dengan teknik in vitro dan in vivo

Nilai dalam tanda kurung adalah deviasi standar. n = 11.


a
Nilai di bawah 1,88 menunjukkan kesesuaian yang baik (Pb0,05) dari nilai-nilai tersebut
regresi BLS seperti yang diuji oleh χ2.
b
Pb0.05: perbedaan yang signifikan secara statistik antara intersep dan kemiringan diperoleh
dengan persamaan BLS dan nilai teoritis dari (0,1).
NS: tidak berbeda nyata.

Uji kecernaan barley yang diuji secara in vitro dan in vivo pada babi jantan terhadap
kedua percobaan menunjukkan nilai kecernaan in vitro dan in vivo mayoritas menunjukkan
nilai NS (tidak berbeda nyata). Oleh karena itu nilai kecernaan in vitro dapat digunakan untuk
mengestimasi kecernaan in vivo.

17
DAFTAR PUSTAKA

Abqoriyah, Ristianto U. dan Bambang S. 2015. Produktivitas Tanaman Kaliandra (Calliandra


Calothyrsus) Sebagai Hijauan Pakan Pada Umur Pemotongan Yang Berbeda. Buletin
Peternakan. 39 (2): 103-108.
Adiati, U. S., Handiwirawan, E., Gunawan, A., & Anggraeni, D. 1995. Pengaruh Pemberian
Pupuk Kandang Terhadap Produksi Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) di
Kecamatan Puspo Kabupaten Pasuruan. In Prosiding Seminar Nasional Peternakan
dan Veteriner, Bogor : 7-8.
Anggorodi, R. 1998. Ilmu Makanan Ternak Umum. Cetakan Ke-5. Jakarta : Gramedia Press.
Bogdan, A.V., 1997. Tropical Pasture and Fodder Plants. Longman, London and New York.
BPTP Sumatera Barat. (2011). Teknologi Pembuatan Silase Jagung untuk Pakan Sapi Potong.
Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Danang, D.R.A dan B. Foekh. 2018. Evaluasi Produksi dan Kualitas Nutrisi pada Bagian
Daun dan Kulit Kayu Calliandra callotirsus dan Gliricidia sepium. Sains Peternakan.
16 (1): 7-11.
Davies, H. L. 1982. Nutrition and Growth Manual. Australian-Asian Universities
Cooperation Scheme, Canbera.
Elihasridas dan R.Herawati. 2014. Kecernaan in-Vitro Ransum Berbasis Limbah Jagung
Amoniasi dengan Berbagai Rasio Konsentrat untuk Ruminansia. Jurnal Peternakan
Indonesia. 16(3): 145-151.
Goering, H. K. and P. J. Van Soest. 1970. Forage fiber analysis (Apparatus, Reagents,
Procedures, and Some Applications). Handbook, No. 379.Agricultural Research
Service, United States Department of Agriculture.
Hapsari, P. I. 2007. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik secara In Vitro Hijauan
Alfafa (Medicago sativa) pada Pemupukan Fosfat dan Interval Defoliasi yang
Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.
Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo and A.D. Tillman. 1993. Tabel komposisi pakan untuk
Indonesia. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Haryanto, B. 2003. Jerami Padi Fermentasi sebagai Ransum Dasar Ruminansia. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Jamaran, N. (2006). Produksi dan kandungan gizi Rumput Gajah (P. purpureum) dan Rumput
Raja (P. purpupoides) yang ditumpangsarikan dengan tanaman jati. Jurnal Peternakan
Indonesia (Indonesian Journal of Animal Science). 11(2), 151-157.
Kilic, U. and E. Gulecyuz. 2017. Effects of some additives on in vitro true digestibility of
wheat and soybean straw pellets. Open Life Sciences 12: 206–213.

18
Kitessa, S., P. C. Flinn B., and G. G. Irish.1999. Comparison Of Methods Used To Predict
The In Vivo Digestibility Of Feeds In Ruminants. Aust. J. Agric. Res. 50, 825- 41.
McDonald, P., R. A. Edwards and J. F. D. Greenhalg. 2002. Animal Nutrition. 6th Edition.
Prentice Hall, London.
Mei, V.S., H. Sudarwati dan Hermanto. 2013. Pengaruh Umur Pemotongan Terhadap
Produktivitas Gamal (Gliricidia sepium). Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan. 23 (2):25-35.
Mendes, F. Q., M. G. D. A. Oliveira, N. B. Costa, C. V. Pires and F. R. Passos. 2016.
Capability of In Vitro digestibility Methods to Predict In Vivo Digestibility of Vegetal
and Animal Proteins. ANO, 66 (1) : -.
Mustapa, A. Nevy D.H. dan Iskandar S. 2013. Pengaruh Pemberian Berbagai Tingkat
Mikoriza Arbuskula Pada Tanah Ultisol Terhadap Produktivitas Tanaman
Leguminosa. Jurnal Peternakan Integratif. 3 (1): 84-95.
Nafifa, R.S. 2018. Kajian Nilai Nutrisi Tanaman Pada Program I-Jalapi Terhadap
Pertumbuhan Sapi di Labangka. Mataram: Fakultas Peternakan Universitas Mataram.
Natalia, H., D. Nista, dan S. Hindrawati. 2009. Keunggulan Gamal Sebagai Pakan Ternak.
http://bptusembawa. net/v1/data/download/20110928094232.pdf. Diakses tanggal 10
Desember 2020.
Novia, Q., Y, Retnani. dan I.G. Permana. 2015. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik
Wafer Daun Kaliandra Pada Kambing Peranakan Etawah. Jurnal Pertanian Agros.
17(01): 113-120.
Omed, H. M., D. K. Lovett, dan R. F. E. Axford. 2000. Faeces as a Source of Microbial
Enzymes for Estimating Digestibility. School of Agricultural and Forest Sciences,
University of Wales, Bangor.
Ørskov, E. R. 1982. Protein Nutrition in Ruminant. Academic Press, New York.
Osfar, S., M.H. Natsir, S. Chuzaemi, Hartutik. 2019. Ilmu Nutrisi Ternak Dasar. Malang : UB
Press. ISBN 978-602-432-910-5.
Pond, W. G., D. C. Church, K.R. Pond, and P.A. Schoknecht. 2005. Basic Animal Nutrition
and Feeding. Wiley, Hoboken, NJ.
Pujol, S. and D. Torrallardona. 2007. Evaluation of In vitro Methods to Estimate the In vivo
Nutrient Digestibility of Barley in Pigs. Livestock Science. 109: 186–188.
Renee, C. S. 2012. In Vivo And In Vitro Digestibility Of A Complete Pelleted Feed In
Horses. California Polytechnic State University. San Luis Obispo.
Setiyaningsih, K. D., M. Christiyanto dan Sutarno. 2012. Kecernaan Bahan Kering Dan
Bahan Organik Secara In Vitro Hijauan Desmodium Cinereum Pada Berbagai Dosis
Pupuk Organik Cair Dan Jarak Tanam. Animal Agriculture Journal. 1(2): 51-63.

19
Sirait, J., N. D. Purwantari dan K. Simanihuruk. 2005. Produksi dan Serapan Nitrogen
Rumput pada Naungan dan Pemupukan yang Berbeda. Jurnal Ilmu Ternak dan
Veteriner. 10 (3) : 175 - 181.
Suarna, I W., N.N. Suryani, dan K.M. Budiasa. 2019. Biodiversitas Tumbuhan Pakan Ternak.
Prasasti, Denpasar, Bali.
Sufiriyanto, S. Hastuti dan E. Yuwono. 2017. Efektivitas Pupuk Organik Cair “Usb” dan
Suplementasi Herbal terhadap Produktivitas Rumput Gajah. Jurnal Pastura. 6(2): 53-
58.
Tangendjaja, B., E. Wina, B. Palmer. dan T. Ibrahim. 1992. Kaliandra dan pemanfaatannya.
ACIAR dan Balitnak.
Thiasari, N., Hermanto Dan Hartutik. 2014. Pengaruh Kandungan Energi Dalam Konsentrat
Terhadap Kecernaan Secara In Vivo pada Domba Ekor Gemukj. Ternak Tropika.
15(2): 44-50.
Tilley, J. M. A. and R. A. Terry. 1963. A Two-Stage Technique for The In Vitro Digestion Of
Forage Crops. Grass and Forages Science, 104-111. DOI:
https://doi.org/10.1111/j.1365-2494.1963.tb00335.x.
Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo, dan S. Lebdosoekojo.
1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Edisi 6. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Tulung, Y. L.R, A., A.F. Pendong, B. Tulung. 2020. Evaluasi Nilai Biologis Pakan Lengkap
Berbasis Tebon Jagung dan Rumput Campuran Terhadap Kinerja Produksi Sapi
Peranakan Ongole (PO). Jurnal Zootec. 40 (1) : 363-379.
Wijayanti, E., F. Wahyono dan Surono. 2012. Kecernaan Nutrien Dan Fermentabilitas Pakan
Komplit Dengan Level Ampas Tebu Yang Berbeda Secara In Vitro. Animal
Agricultural Journal. 1(1): 167 -179.
Yanuartono, Soedarmanto I., Alfarisa N., Slamet R. dan Hary P. 2020. Metode Peningkatan
Nilai Nutrisi Jerami Jagung Sebagai Pakan Ternak Ruminansia. Jurnal Ternak
Tropika. 21, (1): 23-38.

20

Anda mungkin juga menyukai