PANGAN
Dari total produksi DOC 5.000 ekor/bulan tersebut, bibit betina yang
dihasilkan , sebanyak 40 % dijual secara umum dan 60 % digulirkan kepada
mitra. Sebab saat ini kelompok ternak ini sudah semakin meluaskan usahanya
dengan melibatkan beberapa ternak lainnya.
Saat ini total ayam buras indukan disini berjumlah 1.000 ekor. Dari jumlah
tersebut, ayam yang bertelur mencapai 500 ekor dan sisanya merupakan
cadangan. Inti utama usaha yang dilakukan adalah penghasil bibit ayam buras.
Meskipun dapat juga dilakukan penjualan telur dan dagingnya.
Menurut Mugi, daging pejantan umur 2 bulan dengan berat 7 ons dapat
dijual seharga Rp. 8.500/ekor. Sedangkan ayam indukan yang sudah afkir
berumur 2 tahun dengan berat 1,5 Kg dapat dijual seharga Rp. 17 ribu/ekor.
”Untuk mendapatkan hasil yang bagus dan berkualitas, kita harus
memperhatikan kebersihan kandang dan pakan yang berkualitas. Selain itu, kita
harus rajin melakukan vaksinasi supaya terhindar dari segala penyakit,” lanjut
Mugi.
Dalam memberikan vaksinasi, ada beberapa tahapan yang harus
diperhatikan. Hari ke-1 ayam diberi vaksin jenis Marek, hari ke-4 vaksin Hitcher
B1, hari ke-8 vaksin Gumboro A, hari ke-13 vaksin ND 1B, hari ke-18 vaksin
Gumboro B, hari ke-22 vaksin AI, hari ke-26 vaksin Cacar, hari ke-34 vaksin ND
Clone, hari ke-48 vaksin Gumboro B, hari ke-53 vaksin ND dan hari ke-70 vaksin
A I. Untuk vaksin selanjutnya AI dilakukan setiap 91 hari dan ND setiap 60 hari.
Menurut pengalaman Pak Mugi, usaha pembibitan (starter) DOC 1.000
ekor umur 0 hingga 2,5 bulan, dibutuhkan total biaya sebesar Rp. 9,3 juta.
Namun setelah dijual akan diperoleh hasil sebesar Rp. 12,5 juta. Sehingga total
hasil usaha yang didapatkan selama 2,5 bulan sebesar Rp. 3,1 juta. Untuk usaha
pembesaran (grower) 1.000 ekor umur 2 hingga 4,5 bulan, dibutuhkan total biaya
sebesar Rp. 29,9 juta. Namun setelah dijual akan diperoleh hasil sebesar Rp.
37,5 juta. Sehingga total hasil usaha yang didapatkan selama 4,5 bulan sebesar
Rp. 7,5 juta. Sedangkan untuk usaha ayam petelur 1.000 ekor umur 4,5 hingga
16 bulan, dibutuhkan total biaya sebesar Rp. 180,1 juta. Namun setelah dijual
akan diperoleh hasil sebesar Rp. 246 juta. Sehingga total hasil usaha yang
didapatkan selama 16 bulan sebesar Rp. 65,9 juta.
Usaha ternak ayam ini betul-betul membantu masyarakat dalam
meningkatkan pendapatan. Selain itu, juga dapat menyerap tenaga kerja, yang
diharapkan dapat ikut mengurangi pengangguran.
MANFAAT MEMELIHARA AYAM KAMPUNG
Sumber: tumbuh.wordpress.com/2008/04/14/...kampung/
Sumber: bapeluh.blogspot.com/2009/03/tip...yam.html
Agar ayam kampung yang kita pelihara sehat, cepat besar dan mampu berproduksi
secara optimal, maka perlu diberikan makanan tambahan juga pelaksanaan program
vaksinasi yang tepat. Apalagi?
Walaupun demikian, ternak ini memiliki potensi yang cukup besar dalam mendukung
ekonomi dan konsumsi protein hewani masyarakat. Untuk menjadikan ayam kampung
ini sebagai ternak komersial, maka produksinya perlu ditingkatkan. Bagaimana
caranya ?
Paling tidak ada empat tindakan yang harus dilaksanakan bila ingin mendapatkan ayam
kampung yang berproduksi tinggi, yaitu :
1. Vaksinasi ND secara teratur
2. Beri makanan tambahan
3. Membuatkan kandang
4. Penanganan khusus pada anak dan induk
AGROINDUSTRI AYAM YANG TETAP KAMPUNG
Pada awal tahun 1970an, harga daging dan telur ayam ras (ayam negeri), lebih
mahal daripada harga daging dan telur ayam kampung. Sebab populasi ayam
ras pedaging maupun petelur masih sangat kecil. Waktu itu menggoreng telur
atau memasak daging ayam ras, merupakan sesuatu yang sangat prestisius.
Sebab untuk kondisi sosial ekonomi saat itu, makan telur dan daging ayam bagi
masayarakat menengah bawah, masih merupakan hal yang sangat mewah.
Lauk utama di warung tegal (warteg), saat itu hanyalah tahu dan tempe. Kalau
saja ada ikan, maka bisa dipastikan ikan laut atau tambak air payau. Misalnya
ikan kembung atau ikan bandeng.
Sumber: foragri.blogsome.com/agroindustr...kampung/
Sekarang, harga telur dan daging ayam kampung (ayam bukan ras = ayam
buras); jauh lebih mahal dibanding dengan harga telur dan daging ayam ras.
Kalau harga ayam ras per ekor @ 1,5 kg. Rp 15.000,- maka harga ayam
kampung dengan bobot sama sudah sekitar Rp 25.000,- di tingkat konsumen.
Kalau harga telur ayam ras di tingkat konsumen Rp 6.000,- per kg. isi 18 butir
(bobot @ 55 gram) atau per butir Rp 333,- maka harga telur ayam kampung
mencapai Rp 1.100,- per butir. Tingginya harga telur dan ayam kampung hidup,
telah mengilhami para petarnak untuk mengambil jalan pintas.
Cara untuk memacu produktivitas ayam kampung adalah, dengan menerapkan
teknologi peternakan ayam ras, baik broiller maupun petelur. Ada yang
menerapkan teknologi ini secara penuh, ada pula yang hanya sebagian. Pada
produksi ayam pedaging, peternakan dibagi menjadi tiga. Pertama pemeliharaan
induk (produksi telur) dalam kandang ren dan penetasan (dengan mesin tetas)
serta pemeliharaan DOC dengan indukan (pemanas). Kedua, Pemeliharaan
anak ayam pasca indukan, sd. umur 2 bulan. Ketiga, pembesaran ayam
konsumsi dan calon induk. Tiga tahap pemeliharaan inilah yang dilakukan
sepenuhnya atau sebagian dengan teknologi dan pakan broiller. Pada produksi
telur konsumsi, induk betina ayam kampung dipelihara dalam kandang batery (1
ekor induk 1 kandang seukuran tubuhnya), dan diberi pakan layer (pakan khusus
petelur). Hasilnya, berupa telur ayam kampung, tetapi produktivitasnya sangat
tinggi. Namun pola pemeliharaan ayam ras yang diterapkan pada ayam
kampung ini, telah menurunkan harga ayam hidupmaupun telurnya. Dengan
penerapan teknologi ayam ras 100%, harga ayam potong dan telurnya hanya
sedikit diatas harga daging dan telur ayam ras. Dengan penerapan sebagian
teknologi ayam ras, maka harga produknya bisa lebih tinggilagi, namun tetap di
bawah harga produk ayam kampung yang dipelihara secara kampung 100%.
Ayam buras yang disebut sebagai dipelihara secara kampung 100%, sebenarnya
hanya menyangkut pakan dan pembesaran dengan cara diumbar dalam
kandang ren yang cukup luas. Sementara pembenihannya tetap bisa
menggunakan teknologi broiller. Sebab pembenihan dengan mengandalkan cara
alami, tidak akan pernah mencapai populasi yang diinginkan oleh pasar.
Sementara pembesaran dengan menggunakan poer dan dengan cara
dikandangkan, akan menurunkan nilai daging ayam tersebut.
Para pedagang ayam, pasti segera tahu apakah ayam kampung tersebut
dipelihara secara alami denganpakan alami atau dengan pakan poer. Meskipun
pada pembenihan bisa menggunakan teknologi broiller, namun induk betina
tetap tidak boleh diberi pakan layer. Lebih-lebih diberi egg stimulant. Hingga
pakan untuk induk jantan maupun betinanya hanyalah dedak, jagung, gabah,
ampas tahu, hijauan dan untuk protein hewaninya bisa cacing, bekicot, belalang
dll. atau tepung ikan. Pemberian pakan layer, lebih-lebih dengan egg stimulant,
memang akan memacu produktivitas telur. Namun anak ayam yang dihasilkan
akan benyak yang cacat atau daya tetasnya rendah. Induk-induk penghasil telur
tetas ini dipelihara dalam kandang ren (sebagian beratap sebagian terbuka)
dengan luas total minimal 3 X 6 m, dengan bagian yang beratap 2 m. Satu petak
kandang berisi maksimal 9 induk betina dan 1 jago. Bagian yang beratap diberi
tempat nangkring dan kotak untuk bertelur. Konstruksi kandang dari kayu dan
bambu.
Dengan pakan bernutrisi cukup, produksi telur minimal 30 % per hari dari total
populasi induk betina. Dengan jumlah induk 100 ekor, tiap hari harus ada 30 butir
telur. Dari 30 butir telur tadi, yang memenuhi syarat untuk ditetaskan hanya
sekitar 80 %. Umur telur untuk masuk ke mesin tetas, paling lama 1 minggu.
Kapasitas mesin tetas berenergi listrik atau minyak tanah, disesuaikan dengan
jumlah telur yang akan ditetaskan. Dengan produksi telur 30 butir dan layak tetas
80%, maka diperlukan 4 mesin tetas kapasitas 160 butir, atau 8 mesin tetas
berkapasitas 80 butir. Kalau mesin tetas berenergi listrik PLN, diperlukan
generator untuk cadangan apabila listrik PLN padam. Dari 160 butir telur per
minggu atau 640 per bulan, akan dihasilkan minimal 125 ekor DOC per minggu
atau 500 ekor per bulan. Untuk itu diperlukan kandang indukan berpemanas
dengan dengan kapasitas 500 ekor DOC. Sebab kandang indukan akan
diperlukan untuk jangka waktu 1 bulan. Indukan bisa berupa lampu minyak atau
kompor batubara yang biasa digunakan dalam pemeliharaan broiller. Sampai
dengan umur 1 minggu, anak ayam bisa diberi pakan starter buatan pabrik.
Namun secara bertahap mereka harus diberi dedak, menir dan bahan pakan
alami lainnya.
Setelah umur 2 bulan, anak ayam harus mulai ditaruh dalam lahan umbaran.
Luas lahan umbaran minimal 500 m2 untuk 100 ekor ayam. Berarti dengan
produksi 500 ekor per bulan dan dengan umur panen 6 bulan, maka populasi
total ayam umbaran adalah 2.000 ekor. Luas lahan umbaran yang diperlukan,
minimal 1 hektar. Hingga idealnya, pemeliharaan ayam kampung murni
umbaran dengan pakan alami, digabung dengan penanaman jati, albisia dll.
Pakan untuk ayam umbaran ini harus 100 % alami. Prosentase terbesar dari
pakan alami ini adalah gabah dan jagung.Untuk menjaga agar ketersediaan
pakan terjamin, maka harus ada gudang dan cadangan dana untuk stok pakan.
Karena biasanya kekosongan jagung dan gabah akan terjadisekitar 3 bulan,
maka stok pakan yang diperlukan untuk 2.000 ekor ayam mencapai 13,5 ton
gabah atau jagung pipilan. Dengan harga sekitar Rp 1.000,- per kg. maka dana
cadangan pakan yang diperlukan untuk jangka waktu 3 bulan mencapai Rp
13.500.000,- atau Rp 27.000.000,- untuk jangka waktu 6 bulan. Dengan investasi
dan modal kerja sekitar Rp 30.000.000,- dana cadangan pakan Rp 27.000.000,-
dan dana cadangan lukuiditas Rp 13.000.000,- maka total modal yang diperlukan
untuk pemeliharaan ayam kampung skala induk 100 ekor adalah Rp
70.000.000,-
Persiapan yang diperlukan untuk "proyek" demikian akan memakan waktu paling
cepat 3 bulan. Yakni mencari lahan, membangun kandang, mengebor sumur,
mencari bibit ayam dll. Hingga operasi pemeliharaan baru akan berjalan paling
cepat pada bulan IV. Sekitar 2 bulan kemudian, produksi telur baru akan normal.
Hingga penetasan baru akan berlangsung pada bulan VI. Hingga praktis,
penjualan panen perdana ayam kampung umur 6 bulan, baru akan terjadi
setelah 1 tahun semenjak kegiatan awal dimulai. Dengan mortalitas 5 %, maka
hasil ayam umur 6 bulan yang bisa dijual sekitar 475 ekor per bulan setelah satu
tahun sejak start awal. Harga ayam kampung demikian, sekitar Rp 18.000,- per
ekor hingga pendapatan kotor per bulan dari penjualan panen ayam Rp
8.550.000,- Pendapatan kotor ini belum memperhitungkan pendapatan dari
penjualan telur afkir yang tidak layak tetas. Biaya pakan, tenaga kerja, listrik,
penyusutan kandang dll. per bulan sekitar Rp 6.500.000,- Hingga pendapatan
bersih (keuntungan) per bulan Rp 2.000.000,- atau Rp 24.000.000,- per tahun
atau 34% dari total modal. Angka ini masih cukup baik kalau kita perhitungkan
suku bunga pinjaman komersial sebesar 20% per tahun.
Agrobisnis seperti sumur yang tak pernah kering. Ini bukan omong
kosong.ketika industri lain ambruk diterjang badai krisis moneter, sektor ini
terbukti tetap tegar. Benarkah ? bagi yang komponen lokalnya dominan,
jawabannya : benar. Di bidang peternakan, misalnya, usaha ayam ras(ayam
pedaging) langsung terkapar ketika krisis berlangsung. Maklum ayam jenis ini
banyak menelan dollar, mulai dari bibit, bahan baku pakan, obat-obatan
hinggaperalatan. Lain cerita kalau yang diternakan ayam kampung atau ayam
buras(bukan ras) yang 100 % asli Indonesia. Menurut data Ditjen Peternakan,
tahun 1998 populasi ayam kampung mengalami peningkatan sekitar 1 %
dibanding tahun sebelumnya, jauh berbeda dengan ayam ras yang anjlok
sampai 70 %. Produksi telur ayam ras (leghorn) petelur misalnya bisa mencapai
300 butir setahun. Sementara ayam kampung yang dipelihara secara khusus
paling banter hanya 100 butir telur. Begitu juga dengan ayam ras pedaging
(broiler). Tubuhnya cepat bongsor, dalam 30 hari bisa mencapai 1 kg.
Sementara ayam kampung membutuhkan 3 bulan untuk mencapai bobot hidup
yang sama . Hanya saja harga daging dan telur ayam kampung lebih tinggi, itu
kelebihannya.
Keuntungannya jelas
Mencari telur
Pada dasarnya tidak sulit asal mau telaten. Sebab, telur bisa diperoleh di
kampung-kampung. Pada pemeliharaan trdisional, umumnya setiap induk
melakukan perkawinan dengan ayam pejantan. Sehingga telur yang dihasilkan
merupakan telur yang bertunas atau yang bisa di tetaskan. Bisa juga melalui
penjual jamu gendong, dipasar-pasar lokal juga mudah ditemukan.
Mesin penetas
Mesin tetas bisa didapat dengan dua cara. Jika punya uang bisa membeli
mesin tetas sendiri. Harganya antara Rp 700 ribu hingga Rp 5 juta, tergantung
daya tampungnya. Untuk alat yang satu ini, banyak yang dijual di pasar kota.
Kalau mau menyewa bisa dicari sekitar Rawa Belong, Jakarta Barat. Akan
lebih untung kalau memiliki mesin penetas sendiri dengan kapasitas yang besar.
Selain dipakai sendiri, juga bisa disewakan.
Pemasaran
Tak usah bingung memasarkan anak ayam. Banyak jalannya. Antara lain melalui
Koperasi Peternak ayam buras Jakarta. Atau bisa langsung bekerja sama
dengan peternak ayam buras. Kalau belum puas dengan hasil anak ayam, bisnis
ini bisa dikembangkan sebagai bisnis terpadu. Artinya, selain anak ayam, juga
beternak ayam pedaging (broiler) dan telur.
Dari 1000 ekor ternaknya, minimal setiap bulan mengantungi keuntungan Rp. 1,4
juta. Itu baru dari hasil penjualan ayam kampung pedaging. Jadi belum termasuk
telur, ayam afkiran dan kotoran ayam yang belakangan ini jadi rebutan petani
karena harga pupuk kimia sangat mahal.
Analisis Keuntungan
A. Investasi
B. Biaya Lancar
Pakan
a. Starter1 1000 kg @ Rp. 1.824,5/kg Rp. 1.824.500.
b. Starter2 1500 kg @ Rp. 1.657,5/kg Rp. 2.486.250.
D. Analisis Keuntungan
Keuntungan bersih = Pendapatan - Biaya Lancar = Rp. 4.303.420
Catatan :
Pakan untuk starter 1 digunakan dari umur 0 hari sampai 4 minggu. Selanjutnya
gunakan starter 2 hingga panen sekitar umur 3 bulan. Pada saat tersebut bobot
hidup sekitar 0,9 kg/ekor.
Analisis Keuntungan
TELUR TETAS
Biaya Lancar :
Pendapatan :
500 butir x 80 % x 2000 = Rp. 800.000
Keuntungan :
Rp 800.000 – Rp 500.000 = Rp. 300.000
INTENSIFIKASI TERNAK AYAM BURAS
1. PENDAHULUAN
2. BIBIT
a. Ayam jantan
3. PEMELIHARAAN
Mengumpulkan Telur
Ayam buras kebanyakan bertelur setelah ada cahaya matahari. Pada sore hari,
telur- telur tersebut sudah terkumpul. Sebelum pemberian pakan pada sore hari,
telur-telur tersebut dikumpulkan. Letakkan telur dalam rak telur (egg tray)dengan posisi
telur bagian tumpul diletakkan diatas. Kemudian pada page hari berikutnya sebelum
pemberian pakan, sisa telur yang belum diambil dikumpulkan.
Membersihkan Telur
Setelah diambil dari kandang, telur tersebut segera dibersihkan. Ada dua cara
membersihkan :
1. Membersihkan dengan cara kering Cara ini, telur cukup dilap satu persatu
dengan kain atau amplas. Pembersihan cara ini lebih disukai dan mudah, tetapi
membutuhkan waktu dan tenaga
2. Membersihkan dengan Cara Basah:
· Telur dicuci dengan air suam-suam kuku
· Untuk mencegah pencemaran bakteri dapat digunakan NaOH 0,35% artinya
35 ml NaOH + 1 liter air
· NaOH dapat dibeli diapotik, tiap 1 liter air dapat mencuci 12 butir telur
· Untuk melindungi tangan, gunakan sarung tangan.
· Masukkan telur yang akan dicuci
· Telur yang sudah dicuci segera dikeringkan dan letakkan dalam egg tray
· Air pencuci diganti secara berkala untuk mencegah pencemaran.
Memilih Telur
Apabila ingin melihat kualitas (mutu) telur lebih jauh dapat dilakukan dengan cara
1. Meneropong Telur
Dapat menggunakan sinar matahari atau lampu pijar. Telur yang masih segar/ baru
akan terlihat :
- rongga udara (ada di Ujung telur) kecil
- kulit telur mulus, pori-pori kerabang kecil
- tidak ada nods di dalam isi telur
- kuning telur di tengah, tidak bebas bergerak
3. Memecahkan Telur
Untuk mengetahui keadaan isi telur, dapat dilakukan pemecahan. Cara ini cocok
dilakukan dalam rumah tangga sebelum telur digunakan. Caranya adalah telur
dipecahkan di atas cawan piring.
Telur yang baik akan terlihat
- permukaan kuning telur tinggi dan bentuknya bulat.
- kuning telur terletak di tengah putih telur
- putih telur kental
4. Mengepak Telur
- Telur yang sudah dipilih kemudian dikemas dalam plastik tipis berbentuk
kotak (banyak dijual di toko plastik)
- Lubangi kotak-kotak tersebut di beberapa tempat untuk sirkulasi udara.
- Masukkan telur-telur yang besarnya seragam ke dalam kotak plastik. Telur
bagian tumpul letakkan di atas.
- Setiap kotak plastik yang kecil dapat berisi 8-10 butir
- Beri label dengan nama peternak atau nama kelompok, kemudian tutup
- Telur ayam slap untuk dipasarkan.
5. Menyimpan Telur.
Dalam skala rumah tangga telur yang sudah dibeli kadang-kadang tidak
langsung dikonsumsi, tetapi disimpan. Untuk itu perlu diketahui beberapa hal :
- Menyimpan telur dalam suhu kamar sebaiknya tidak lebih dari 7 hari (sejak
ditelurkan). Telur ditaruh pada egg tray dengan meletakkan telur bagian
tumpul di atas.
- Menyimpan telur dalam lemari es, dapat bertahan sampai 7 minggu. Posisi
telur sama dengan yang ditaruh pada egg tray.
Sumber: http://www.pustaka-deptan.go.id/agritek/dkij0103.pdf
TELUR PINDANG
Telur adalah salah satu sumber protein hewani yang memilik rasa yang lezat,
mudah dicerna, dan bergizi tinggi. Selain itu telur mudah diperoleh dan
harganya murah. Telur dapat dimanfaatkan sebagai lauk, bahan pencampur
berbagai makanan, tepung telur, obat, dan lain sebagainya. Telur terdiri dari
protein 13 %, lemak 12 %, serta vitamin, dan mineral. Nilai tertinggi telur
terdapat pada bagian kuningnya.
Kuning telur mengandung asam amino esensial yang dibutuhkan serta mineral
seperti : besi, fosfor, sedikit kalsium, dan vitamin B kompleks. Sebagian protein (50%)
dan semua lemak terdapat pada kuning telur. Adapun putih telur yang jumlahnya sekitar
60 % dari seluruh bulatan telur mengandung 5 jenis protein dan sedikit karbohidrat.
Kelemahan telur yaitu memiliki sifat mudah rusak, baik kerusakan alami, kimiawi
maupun kerusakan akibat serangan mikroorganisme melalui pori-pori telur. Oleh sebab
itu usaha pengawetan sangat penting untuk mempertahankan kualitas telur.
Telur akan lebih bermanfaat bila direbus setengah matang dari pada direbus
matang atau dimakan mentah. Telur yang digoreng kering juga kurang baik,
karena protein telur mengalami denaturasi/rusak, berarti mutu protein akan
menurun.
Macam-macam telur adalah : telur ayam (kampung dan ras), telur bebek, puyuh
dan lain-lain. Kualitas telur ditentukan oleh :
1) kualitas bagian dalam (kekentalan putih dan kuning telur, posisi kuning
telur, dan ada tidaknya noda atau bintik darah pada putih atau kuning telur)
dan
2) kualitas bagian luar (bentuk dan warna kulit, permukaan telur, keutuhan,
dan kebersihan kulit telur).
1. BAHAN
2. ALAT
1) Panci
2) Kompor atau alat pemanas lain.
3. CARA PEMBUATAN
1) Cuci telur segar atau mentah sebanyak 3 0 butir;
2) Buat larutan garam 6%~10% (60 sampai 100 gram dalam 1 liter air);
3) Rebus telur dalam larutan garam, kemudian masukkan daun salam dan daun
jambu biji atau serabut kelapa sebanyak yang telah ditentukan. Apabila telur
sudah setengah matang (kira-kira 10 menit perebusan), lakukan peretakan
kulit telur (dengan cara memukul-mukulnya) sehingga kulit telur menjadi
retak;
4) Teruskan perebusan sampai 20 menit. Pemasakan tersebut dilakukan
sampai warna permukaan kulit telur menjadi coklat kehitaman lalu dinginkan.
Sumber: http://www.warintek.ristek.go.id/pangan_kesehatan/pangan/piwp/telur_pindang.pdf
TELUR BERKUALITAS
Bila anda perhatikan, pada setiap telur yang dipasarkan di Eropa tertera
kode-kode yang terdiri dari angka dan huruf misalnya: 3-DE-1271059
Apa artinya? angka pertama menunjukan cara peternakan ayam:
0 = Ökologische Erzeugung (peternakan alamiah dan ramah lingkungan)
Untuk peternakan cara ini dilarang menggunakan teknologi gen. Bagi
ayam petelur disediakan lahan untuk berkeliaran bebas selama 6
sampai 8 jam per hari, sebagaimana habitat ayam aslinya.
1 = Freilandhaltung. Mirip dengan cara pertama, ayam petelur mempunyai
lahan untuk berkeliaran di peternakan. Setiap ayam mempunyai kira-
kira jatah 4 m2.
2 = Bodenhaltung. Beternak dengan cara ini, ayam petelur hanya hidup
dalam kandang. Namun demikian, masih tersisa ruang bagi ayam
petelur untuk makan pakan ayam, tersedia juga unsur-unsur alami
seperti jerami, sebagaimana habitat ayam. Hanya saja sangat terbatas.
3 = Käfighaltung. Cara yang ketiga seringkali dikritik kelompok pecinta
binatang. Sebab sangat tidak sesuai dengan habitat asli ayam, disebut
menyiksa binatang. Ayam petelur hanya hidup dalam kandang, ruang
geraknya sangat terbatas. Layaknya, hanya cukup tempat berdiri dan
makan pakan. Cara ini mulai tahun 2007 nanti akan dihapus. Namun bila
dilihat dari segi higienis, sebetulnya cara ini yang paling
menguntungkan peternak. Dengan cara ini lebih mudah menjaga
kesehatan ayam petelur, tidak perlu biaya pencegahan penyakit yang
tinggi. Sebab, kotoran dan ayam petelur tidak menyatu. Ayam petelur
hidup dalam kandang yang bawahnya hanya beralaskan jeruji besi,
sedangkan kotorannya akan jatuh dalam wadah di bawah kandang.
Dengan begitu 3-DE-1271059 berarti: telur berasal dari ayam petelur yang
diternak secara Käfighaltung di Jerman dengan nomor peternakan
1271059.
Kode di atas sama sekali tidak menunjukkan apakah telur segar atau tidak.
Hanya menunjukkan darimana telur berasal!
Di Jerman telur yang dipasarkan hanya boleh telur kualitas G? sse A
artinya telur segar, tapi usianya bisa lebih dari tujuh hari. Sedangkan A-
frisch, usia telur tidak lebih dari tujuh hari.
Telur yang sudah lewat dari masa kadaluarsa (28 hari setelah ayam
bertelur) bukan berarti sama sekali harus dibuang. Bila tanggal kadaluarsa
belum terlalu lama lewat, anda boleh mengonsumsinya, dengan syarat
betul-betul memasaknya hingga matang.
Produsen tidak perlu pusing memikirkan lokasi usaha apakah strategis atau
tidak, sewa toko, gaji pegawai toko dan berbagai biaya lainnya. Produsen hanya
menitipkan barang dagangan ke pemilik toko/warung. Mereka yang akan
melakukan dan membayar semua itu untuk anda. Bisa dikatakan, dengan satu
gudang, kita memiliki berbagai toko/warung yang tersebar di berbagai lokasi.
Usaha peternakan unggas (ayam dan itik) merupakan jenis usaha yang
cukup menjanjikan. Hal ini didasari oleh jumlah permintaan produk hewani asal
unggas baik telur maupun daging tiap tahun makin meningkat. Dilihat dari data
permintaan tersebut prospek usaha agribisnis unggas yang salah satunya adalah
ayam buras cukup potensial. Keunggulan lain usaha agribisnis unggas adalah
tidak memerlukan biaya yang besar, tergantung dari kemampuan peternak dan
ditentukan oleh skala usahanya. Selain itu jenis ternak ini telah lama dikenal
masyarakat sehingga teknik budidayanya tidak terlalu rumit. Dalam upaya
memacu usaha peternakan unggas perlu adanya sentuhan teknologi tepat dan
mudah diterapkan oleh peternak. Dari sisi ketersediaan bibit, teknologi
penetasan telur buatan dengan penggunaan mesin tetas telur sangat cocok
diterapkan.
Keunggulan teknologi ini adalah menghilangkan periode mengeram pada
induk sehingga induk mampu menghasilkan telur lebih banyak selama hidupnya,
selain itu anak ayam dapat di produksi dalam jumlah yang besar pada waktu
yang bersamaan. Prinsip kerja dari mesin tetas ini adalah menciptakan situasi
dan kondisi yang sama pada saat telur dierami oleh induk. Kondisi yang perlu
diperhatikan adalah suhu dan kelembaban. Suhu optimal adalah 38,8o C atau
101oF. Kondisi suhu tersebut dapat direkayasa dengan penggunaan sumber
panas listrik maupun lampu minyak dan untuk kelembaban optimal digunakan air
yang ditempatkan dalam mesin tetas.
Mesin tetas TELUR dapat dibedakan atas dasar sumber panas yang
digunakan. Pertama, mesin tetas elektrik dengan menggunakan listrik yang
dihubungkan dengan lampu pijar sebagai sumber panas. Ke dua, mesin tetas
yang menggunakan sumber panas lampu minyak yang dihubungkan dengan
silinder yang terbuat dari seng plat sebagai sumber panas. Ke tiga, mesin tetas
kombinasi yaitu gabungan dari sumber panas yang berbeda (listrik dan lampu
minyak), jenis mesin tetas ini sangat efektif pada daerah yang sering mengalami
pemadaman lampu, sehingga pada saat lampu padam maka digunakan lampu
minyak sebagai sumber panas.
Model mesin tetas telur ini dapat diperoleh di toko poultry shop atau
membuat sendiri dengan bahan yang mudah dan tersedia di tempat. Besarnya
mesin tetas telur yang digunakan disesuaikan dengan kapasitas telur yang akan
ditetaskan seperti ; 200 butir, 400 butir dan 600 butir.
A. Persiapan
Sebelum digunakan, mesin tetas harus dibersihkan dahulu dari
mikroorganisma pengganggu dengan jalan penyemprotan bahan pembunuh
kuman / desinfektan. Pemanas dihidupkan 24 jam sebelum telur dimasukan ke
dalam mesin tetas.
Telur dibersihkan dengan menggunakan lap basah hangat dan tiriskan.
Suhu mesin tetas harus konstan, diusahakan 38,8oC. Nampan air diisi air
secukupnya (tidak sampai penuh), penggunaan air ini untuk menjaga
kelembaban mesin tetas, untuk itu selama penetasan harus diperhatikan
stabilitas volume air.
Setelah telur bersih dan kering, telur diberi tanda pada kedua belah sisi
dengan spidol atau alat tulis lain, misal ; huruf A dan B di kedua belah sisi.
Pemberian tanda ini berguna untuk memudahkan dalam pemutaran telur agar
lebih merata.
Telur yang sudah ditandai dimasukan secara perlahan ke dalam mesin
tetas dengan posisi tanda seragam. Tutuplah mesin tetas setelah semua telur
dimasukan.
B. Operasional Penetasan
Setelah 48 jam telur dalam mesin tetas, mulai dilakukan pemutaran telur
setiap pagi dan sore. Pemutaran telur dilakukan sampai hari ke 18. Pemeriksaan
telur sebaiknya dilakukan 2 kali, yaitu pada hari ke 7 dan hari ke 18. Telur yang
bertunas (tanda telur hidup) tampak terang dan tidak terdapat bintik-bintik merah.
Telur yang bertunas ditandai dengan adanya titik merah di bagian
petengahan, ukurannya kira-kira sebesar biji kacang hijau dan tampak bergerak.
Apabila titik merah tersebut tidak bergerak pertanda embrio dalam telur mati,
maka telur yang mati tersebut harus dibuang agar telur tidak membusuk dalam
mesin.
Telur akan memenetas pada hari ke 20 atau 21.
Anak ayam yang keluar dari telur dibiarkan dahulu dalam mesin selama
kurang lebih 24 jam, sampai bulu anak ayam kering dan kondisi anak ayam
normal. Setelah kering dan normal, anak ayam bisa dikeluarkan dari mesin tetas.
Sumber : http://sultra.litbang.deptan.go.id
PEMELIHARAAN AYAM BURAS USIA
PERTUMBUHAN
(SISTEM UMBARAN)
Pada usia ini yang paling berpengaruh adalah faktor suhu lingkungan dan
makanan. Asalkan ayam hidup pada suhu lingkungan yang nyaman, dan diberi
makanan yang bergizi baik, ayam akan tumbuh sesuai harapan. Pada masa ini,
saya merekomendasikan pemberian pakan /ransum komersil (produksi Charoen
Phokp., Sirad, Confeed, dll.) yang biasa dinamakan BR-1 atau BR-2 (voer),
karena selain mengandung imbangan gizi yang seimbang, pada ransum ini juga
terdapat antibiotik yang dapat melindungi ayam dari penyakit-penyakit pada
masa awal. Kecukupan gizi yang baik akan menjamin pembentukan antibodi
alami berlangsung dengan sempurna.
Mengenai cara pemeliharaan, apakah disapih atau tetap dicampurkan
dengan induk, tidak jadi masalah. Namun yang harus diperhatikan, jika peternak
berniat memelihara dalam jangka panjang (usia panen di atas 12 bulan),
sebaiknya ayam usia pertumbuhan diberi ruang gerak yang lebih leluasa.
Ayam kampung adalah ayam asli Indonesia yang sudah dipelihara oleh
masyarakat sejak dahulu. Jenis ayam ini memiliki potensi mampu memberikan
kontribusi bagi pemenuhan kebutuhan pangan keluarga, setidaknya sebagai
penghasil daging dan telur. Kebanyakan ayam kampung bersifat dwifungsi, yaitu
sebagai penghasil daging dan penghasil telur, dan biasanya tergantung
bagaimana tujuan peternak memelihara ayam kampung.
Ayam kampung yang ada di Indonesia morfologinya (bentuk-bentuk fisik)
sangat beragam, sulit sekali dibedakan dan dikelompokkan ke dalam klasifikasi
tertentu. Karena tidak memiliki ciri yang khusus dan tidak adanya ketentuan
tujuan dan arah usaha peternakannya, ayam kampung dinamakan juga sebagai
ayam buras (bukan ras), untuk membedakan dengan ayam yang sudah jelas
tujuan dan arah usahanya, misalnya khusus petelur atau pedaging) yang disebut
dengan ayam ras.
Produktivitas ayam kampung yang dipelihara secara ala kadarnya
memang masih rendah. Produksi telur per tahunnya sekitar 60 butir dan berat
badan ayam jantan dewasa tidak melebihi dari 2 kg. Apa lagi ayam betina dan
ayam-ayam yang sudah tua maka berat badannya jauh lebih rendah lagi. Namun
demikian, bila ayam kampung dipelihara secara benar, tepat dan intensif maka
produktivitasnya dapat ditingkatkan, khususnya bila diarahkan untuk petelur.
Pemilihan Bibit
Sekalipun ayam kampung tidak memiliki ciri khas dalam hal bentuk badan
dan warna bulunya, bila dipelihara secara teratur dan terarah, ayam kampung
akan memberikan hasil yang cukup baik. Sebaiknya dalam beternak dan
mengembangbiakkan ayam kampung petelur ini, terlebih dahulu dilakukan
pemilihan/seleksi bibit/induk dengan seksama.
Pemilihan bibit dapat dilakukan dengan memilih calon indukan yang
sejenis, yaitu bentuk badan seragam, besar kecilnya seukuran dan umurnya
tidak terpaut jauh. Sebaiknya calon induk telah berumur paling tidak 7 bulan.
Calon bibit tersebut sebaiknya secara turun temurun memiliki sifat-sifat
pembawaan yang baik dan sehat, tidak terdapat bagian tubuh yang cacat,
berasal dari kelompok atau kawanan ayam yang terpilih, pertumbuhan badannya
baik dan hasil telurnya banyak. Calon bibit yang baik memiliki beberapa sifat
yang khas. Di antaranya adalah tingkah lakunya yang gembira, gerakannya kuat
dan tangkas, tidak taku didekati orang, suaranya agak ramai apabila didekati dan
diberi makan, nafsu makannya baik dan aktf mencari makan sepanjang hari,
keluar kandang pagi-pagi dan baru masuk kandang setelah matahari terbenam.
Ayam yang baik untuk bibit juga berbulu mengkilap dan cerah. Ayam yang
sehat dan normal dapat ditilik dengan melihat tanda-tanda fisiknya sebagai
berikut:
1. Bagian tubuh. Bangun tubuhnya tidak ada kelainan, selaras dan
sesuai dengan jenis ayamnya.
2. Pertulangan. Tulang harus kuat dan normal.
3. Perototan. Otot gempal, padat, berisi dan tidka berlemak. Ini dapat
diperkirakan dengan meraba tulang dada dan paha. Cara ini juga
dapat diginakan untuk menafsirkan keadaan umum tubuh, eksehatan
dan gaya hidup ayam yang bersangkutan.
4. Kulit. Keadaan kulit bila diraba terasa lembut, agak basah, dan tidak
ada bagian yang rusak atau cacat. Warnanya segar agak mengkilap.
5. Bulu. Bentuk bulu mencerminkan keadaan kulit, kesehatan dan gaya
hidup ayam bersangkutan. Bulu ayam yang haslus letaknya teratur
pada tubuh, menghimpit rapat seolah-olah tidak ada ruang kosong
diantara bulu-bulu tersebut. Bentuk dan besar bulu harus sesuai
dengan jenis puspa ragam dari jenis ayam bersangkutan. Semkain
mengkilap maka semakin kuat dan sehat ayam bersangkutan.
6. Suhu badan. Suhu badan normal, sekitar 41-42 oC.
7. Berat badan. Berat badan harus sesuai dengan jenis ayam
bersangkutan.
8. Kepala. Kepala berbentuk bulat panjang, tidak terlalu gepeng dan
berbangun kasar. Jengger kokoh dan kuat, tidak tipis dan tidak
terlalu besar. Warnanya merah menyala, agak mengkilap. Bila
dipegang terasa hangat, lentur dan berjaringan halus. Gelang kuping
dan daun telinga bentuknya bulat panjang atau jorong, warnanya
tegas, tidak suram.
9. Mata. Mata bewrbentuk bulat, agak melotot sedikit, membuka luas
kurang lebih di tengah pipi (samping kepala), bebas dari jarigan
tubuh yang mengganggu penglihatan. Pemandangan cerah ceria,
penuh perhatian, dan gemar melakukan sesuatu. Ghelang mata
segar, berwarna kuning kemerah-merahan dan tidak lemah. Selaput
lender mata jernih, mengkilap, dan selalu basah. Selaput bening
mata jernih dan selalu basah.
10. Leher. Jangan terlalu panjang dan terlalu pendek, kecuali jenis
tertentu seperti pelung.
11. Dada. Bentuk dada agak montok ke depan, lebar dan kuat. Leher
dan dada harus merupakan satu kesatuan yang kokoh. Tembolok
terisi penuh, regang, tapi tidak terlalu keras.
12. Badan dan tubuh bagian belakang. Badan agak panjang, lebar dan
dalam. Hal ini menandakan bahwa alat-alat tubuhnya berada pada
posisi yang tepat dan seharusnya. Tubuh bagian belakang harus
penuh dan dalam. Tubuh belakang ayam yang terbesar terletak
terletak di belakang garis melintang antara kedua kaki ayam.
Punggung panjang, lebar, dan lurus. Punggung datar, tidak
melengkung.
13. Perut penelur. Perut penelur terletak dia natara di belakang garis
melintang antara kedua kaki, dengan jarak anatara kedua kaki cukup
lebar. Jarak antara ujung utlang dada dan tulang kelangkang sekitar
3 – 4 jari orang dewasa. Perut penelur ini kalau diraba tarasa halus
dan lunak seperti beludru, bentuknya bulat cembung.
14. Sayap. Sayap harus normal dan kuat. Tidak boleh tergantung atau
terkulai lemah, harus menghimpit tepat pada badan.
15. Dubur. Dubur ayam yang sehat bentuknya lebar, bulat dan basah.
Kulit di sekitar dubur tidak berkerut atau berwarna kuning tua, tetapi
keputih-putihan dan tidak kotor oleh tahi ayam yang mongering. Bulu
di sekitar dubur kering dan bersih.
16. Kaki. Kaki harus kuat dan kokoh. Tidak terlalu besar atau kecil. Jari-
jarinya menghampar, dengan bentuk kuku tidak terlalu panjang atau
bengkok. Taji tidak panjang tetapi kuat. Sisik kaki menghimpit rata,
tersusun teratur, dan keadaannya licin mengkilap. Warna sesuai
dengan jenis ayam bersangkutan.
17. Ekor. Ekor terbangun sesuai dengan jenis ayamnya. Bulu pangkal
sampai ujungnya tidak cacat.
Perkandangan
1. Untuk anak ayam dalam indukan setiap meter persegi cukup 30 ekor.
2. Untuk ayam remaja sebelum memasuki masa bertelur, per meter
persegi cukup untuk 14 – 16 ekor, bisa dikurangi sesuai dengan
peningkatan umur dan ukuran tubuh.
3. Untuk ayam yang siap dan telah memasuki masa bertelur adalah 6
ekor per meter persegi.
1. Air.
Biasanya ayam mengkonsumsi air sebanyak 2 – 2,5 gram air untuk setiap
pakan yang dikonsumsi selama masa awal dan pertumbuhan. Pada masa
bertelur (petelur), ayam meminum sebanyak 1,5 – 2 gram air untuk setiap gram
pakan yang dikonsumsi. Karena rata-rata ransum ayam yang diberikan
mengandung tidak lebih dari 10% air maka penyediaan air minum yang bersih
mutlak diberikan secara ad libitum.
2. Protein.
Protein merupakan nutrisi utama yang dibutuhkan bagi ayam kampung
petelur. Rata-rata kebutuhan protein untuk petelur adalah berkisar antara 16 –
17%. Selain secara kuantitatif, protein pakan juga harus mengandung asam
amino yang lengkap, terutama asam amino esensial, yaitu yang tidak dapat
disintesis di dalam tubuh ayam.
3. Karbohidrat.
Fungsi utama karbohidrat dalam pakan ayam adalah sebagai sumber
energy. Biji-bijian sereal dan turunannya merupakan sumber karbohidrat yang
baik.
4. Lemak.
Ayam petelur memerlukan asam lemak esensial seperti asam linoleat.
Selain itu lemak juga menyumbangkan energy bagi ternak. Pada umumya bahan
pakan seperti dedak mengandung 2,5% lemak.
5. Mineral.
Mineral penting bagi ayam petelur terutama adalah kalsium (Ca), Fosfor
(P), Natrium (Na), Magnesium (Mg) dan lain-lain. Mineral-mineral tersebut
penting karena terkait dengan pembentukan telur.
6. Vitamin.
Vitamin pada umumnya berperan sebagai ko-enzim dan regulator
metabolism. Pakan yang defisiensi vitamin akan menurunkan produktivitas telur.
Jenis pakan dapat dikelompokkan menjadi 3 tipe berdasarkan periode umur
ayam, yaitu:
1. Pakan starter, yaitu pakan yang diberikan untuk DOC hingga berumur
8 minggu dan dalam bentuk remahan (mash).
2. Pakan grower, yaitru diberikan kepada ayam berumur 8 – 20 minggu
atau hingga mulai bertelur.
3. Pakan layer, yaitu diberikan untuk ayam periode bertelur.
Manajemen Pemeliharaan
Ayam buras (bukan ras) merupakan salah satu ternak unggas penghasil
telur dan daging. Sebagai seorang petani, terutama petani di pedesaan yang
serba terbatas, baik ilmu, modal maupun lahan, maka pilihan satu-satunya akan
jatuh pada ayam buras yang dikenal masyarakat pada umumnya dengan nama
ayam kampung.
Ayam buras merupakan potensi di daerah yang selalu ada dan hampir
dimiliki oleh setiap rumah tangga serta mempunyai beberapa keunggulan
dibanding dengan jenis unggas lain antara lain:
1) mudah dipelihara dan sudah sering dilakukan oleh masyarakat di
pedesaan,
2) cepat beradaptasi dengan lingkungan dan umumnya tahan terhadap
penyakit tertentu,
3) daging dan telur ayam buras lebih disukai masyarakat, sehingga
peluang pasar masih terbuka lebar dan harganya tetap stabil,
4) dapat dilaksanakan dengan modal kecil-kecilan dan penggunaan lahan
terbatas serta dapat diusahakan secara bertahap,
5) memiliki variasi keunggulan tertentu sesuai dengan daerah asalnya.
Ayam buras dapat menjadi sumber ekonomi rakyat petani bilamana ada
perubahan peranan dari sekedar sebagai sampingan yang dipelihara secara
tradisional kemudian dirubah menjadi usaha komersil dan dikelola secara intensif
atau semi intensif. Kuncinya dalam pengembangan ayam buras yaitu merubah
sistem lama (tradisional) dengan mengadopsi teknologi yang mudah
dilaksanakan dan diharapkan dalam waktu yang relatif singkat pengembangan
ayam buras sudah dapat ditingkatkan. Dengan perubahan ini yaitu dengan
adopsi teknologi yang mudah dan murah biayanya akan memberikan
keuntungan yang memadai, berarti akan dirasakan setiap petani akan
pendapatan yang diperoleh dengan harapan bahwa ayam burasnya dikelola
dengan baik sesuai anjuran teknis maupun ekonomisnya.
1. Budidaya Pertama
Induk tidak mengasuh anak (sesudah menetas anak dipisahkan dari induknya)
maka 1-2 bulan, induknya dapat bertelur kembali asalkan tetap didampingi
pejantan.
2. Budidaya Ke dua
Induk tidak mengasuh anak dan tidak diberi kesempatan mengerami telurnya.
Jadi masa bertelur lebih panjang waktunya yaitu 20 hari dan masa istirahat akan
lebih pendek yaitu 14-21 hari.
3. Budidaya Ketiga
Yaitu mengeramkan telur dengan menggunakan mesin tetas. Namun harus
diikuti/ dibarengi dengan keterampilan dalam penetasan telur. Dalam hal ini telur
tetas harus berasal dari induk yang sudah bertelur satu periode atau setelah
ayam bertelur 2 bulan dengan umur induk sekitar 8 bulan dengan jantan umur 10
bulan.
1. Periode Starter
- Pemeliharaan intensif dengan menggunakan induk pemanas boleh
menggunakan box, boleh juga dalam kandang kecil.
- Lantai box tutup kertas, agar anak ayam tidak dingin.
- Siapkan makanan dan air minum.
- Air minum tambah gula sedikit (asal sudah terasa manis).
- Masukkan anak ayam yang baru menetas
- Nyalakan lampu. Patokan 10 ekor/ 10 watt, selama 1 minggu, setelah
1 minggu bohlamnya diganti menjadi 5 watt dan hanya malam
menyala (apabila sudah umur lebih dari 1 minggu) jika daerahnya
terang.
- Box dipasang dalam kandang yang sudah tersedia.
- Umur 3 minggu, keluarkan ayam dari box dan lepas dalam kandang
yang sudah siap pakai.
- Umur 2 hari air minum ditambah antikoksi sebanyak 1 cc per liter air
selama 3-5 hari berturut-turut.
- Pemberian pakan tetap harus tersedia sepanjang hari.
- Umur 4 hari, vaksinasi ND (tetes mata), 1 gram vaksin (ampul) + 3 cc
larutan aquades. Tetes mata kiri atau kanan.
- Umur 4 minggu dilakukan lagi vaksinasi ND (tetes mata).
- Bila kelihatan ada berak warna putih (terjadi pada umur 5-6 minggu)
maka berikan Neo Meditril melalui air minum sebanyak 0,5 cc per liter
air. Apabila tidak ada berak putih/ hijau tidak perlu diberikan.
- Setelah anak ayam berumur 8 minggu (2 bulan) berarti anak ayam
sudah masuk phase dara (periode grower).
2. Periode Grower
- Anak ayam setelah umur 2 bulan sudah memerlukan kandang yang
lebih luas yaitu 8-10 ekor per meter (tergantung besarnya ayam),
usahakan pemeliharaannya semi intensif agar supaya anak ayamnya
dapat berjemur dan makan hijauan dan untuk itu diperlukan adanya
umbaran.
Misalnya ayamnya ada 20 ekor maka kandang yang disediakan 2-3
m2 (1,5 x 2 m) ditambahkan umbaran di luar 1,5 x 4 m.
- Pemberian pakan kontinyu setiap hari dan tingkatkan jumlahnya mulai
40-70 gram.
- Siapkan air minum (jangan kosong tempat air minum)
- Berikan hijauan setiap hari sesuai kebutuhan. Misalnya rumput
lapangan, limbah sayur-sayuran yang tidak dimanfaatkan, ubi dan lain-
lain.
- Hijauan sebelum diberikan dipotong halus baru dihambur pada
umbaran.
- Lakukan seleksi, pilih yang bagus untuk bibit dan yang kerdil dipelihara
tersendiri, gemukkan dan jual.
- Setelah ayam berumur 4 bulan, vaksinasi dengan vaksin ND-Lasota
melalui suntikan pada bagian dada.
- Sesudah umur 5,5 bulan ayam mulai berkotek-kotek berarti sudah/
hampir bertelur. Berarti ayamnya sudah dikategorikan dewasa. Pakan
diganti dari pakan grower (14 % protein) menjadi pakan ayam layer
(ayam dewasa dengan protein 15,5-16 %).
- Berikan obat cacing pada umur 3 bulan.
3. Periode Layer
Ayam buras merupakan salah satu unggas lokal yang umumnya dipelihara petani di
pedesaan sebagai penghasil telur tetas, telur konsumsi, dan daging. Selain dapat
diusahakan secara sambilan, mudah dipelihara dengan teknologi sederhana, dan
sewaktu-waktu dapat dijual untuk keperluan mendesak, unggas ini mempunyai prospek
yang menjanjikan, baik secara ekonomi maupun sosial, karena merupakan bahan
pangan bergizi tinggi serta permintaannya cukup tinggi. Pangsa pasar nasional untuk
daging dan telur ayam buras masing-masing mencapai 40% dan 30%. Hal ini dapat
mendorong peternak kecil dan menengah untuk mengusahakan ayam buras sebagai
penghasil daging dan telur.
Produktivitas ayam buras yang dipelihara secara tradisional masin rendah, antara lain
karena tingkat mortalitas tinggi, pertumbuhan lambat, produksi telur rendah, dan biaya
pakan tinggi. Produksi telur ayam buras yang dipelihara secara tradisional berkisar
antara 40−45 butir/ekor/tahun, karena adanya aktivitas mengeram dan mengasuh anak
yang lama, yakni 100-110 hari.
Untuk meningkatkan populasi, produksi, produktivitas, dan efisiensi usaha tani ayam
buras, pemeliharaannya perlu ditingkatkan dari tradisional ke arah agribisnis.
Pengembangan ayam buras secara semiintensif dan intensif dengan pemberian pakan
yang berkualitas serta pencegahan dan pengendalian penyakit, terutama tetelo (ND),
cacingan, dan kutu, cukup menguntungkan. Perbaikan tata laksana pemeliharaan dari
tradisional ke intensif dapat meningkatkan daya tetas sampai 80%, frekuensi bertelur
menjadi 7 kali/tahun, dan menurunkan kematian hingga sekitar 20%.
Permasalahan dalam pengembangan ayam buras di pedesaan antara lain adalah skala
usaha kecil (pemilikan induk betina kurang dari 10 ekor), produksi telur rendah, berkisar
antara 30−40 butir/tahun, pertumbuhan lambat, mortalitas tinggi penyakit ND, biaya
pakan tinggi, dan diusahakan secara perorangan dengan pemeliharaan tradisional.
Peningkatan produktivitas ayam buras dapat dilakukan melalui perbaikan pakan dan
peningkatan mutu genetik serta pengendalian penyakit secara periodik, terutama ND,
cacingan, dan kutu.
Penurunan produktivitas ayam buras berkaitan erat dengan kinerja reproduksi, yang
menurun secara nyata akibat perkawinan in breeding secara terus-menerus.
Produktivitas ayam buras sangat beragam, bergantung pada sistem pemeliharaan dan
keragaman individu. Upaya meningkatkan produktivitas ayam buras dapat dilakukan
melalui introduksi teknologi pemeliharaan dari ekstensif-tradisional menjadi semiintensif
atau intensif. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan melaksanakan "Sapta Usaha”
ayam buras, yang meliputi pemilihan bibit, pencegahan penyakit, perkandangan,
pemberian pakan dengan gizi seimbang, sistem reproduksi, pascapanen, pemasaran,
dan manajemen usaha.
Peningkatan produksi dan reproduksi ayam buras antara lain dipengaruhi oleh pakan
yang diberikan, terutama kandungan asam lemak esensial yang berhubungan dengan
integritas struktur membran mitokondria dalam organ-organ reproduksi dan fosfolipid
sebagai prekusor pembentukan kolesterol. Perkembangan populasi ayam buras di
Indonesia relatif lamban.
Karakteristik umum ayam buras adalah bobot badannya ringan, hidup soliter, dan
sikapnya cepat stres. Ayam buras yang dipelihara secara ekstensif umumnya
mencapai dewasa kelamin pada umur 6−7 bulan, bobot badan dewasa 1.400−1.600
g/ekor, produksi telur 40−45 butir/ekor/tahun, bobot telur 40 g, persentase karkas 75%,
mortalitas anak (DOC) sekitar 30%, daya tetas 85%, dan lama mengeram sekitar 21
hari. Ciri-ciri kuantitatif ayam buras antara lain bobot badan rata-rata jantan umur 5
bulan 1.222 g, betina 916 g, bertelur pertama pada umur 6,37 bulan, bobot telur 41,60 g,
dan daya tetas telur 84,60% (Septiwan 2007).
Produksi telur ayam buras yang dipelihara secara intensif dapat mencapai 150
butir/tahun, bahkan setelah mengalami seleksi yang ketat, produksi telur meningkat
menjadi 170−230 butir/tahun (Syamsari 1997). Pertambahan bobot badan dan
persentase karkas ayam buras pada umur 12 minggu masing-masing sebesar 704 g
dan 62,89%, lebih rendah dibanding silangannya yang mencapai masing-masing 844 g
dan 64,93%. Bobot potong dan persentase karkas ayam buras jantan umur 6−7 bulan
sebesar 1.264,88 g dan 65,18%.
Umur induk ternyata sangat mempengaruhi produktivitas ayam buras. Induk berumur
6−12 bulan menghasilkan telur dengan fertilitas dan daya tetas yang lebih tinggi
dibanding induk berumur 18 bulan, tetapi bobot telur dan bobot tetas telur yang
dihasilkan induk berumur 18 bulan lebih tinggi.
Ayam buras memiliki peran cukup penting bagi masyarakat pedesaan, yaitu sebagai
penghasil telur, daging, anak, kotoran, dan bulu, serta sumber tambahan penghasilan
dan sebagai tabungan hidup yang sewaktu-waktu dapat dijual. Usaha beternak ayam
buras di daerah pedesaan dapat memberikan tambahan pendapatan rumah tangga
petani, walaupun dilakukan secara tradisional.
Pemeliharaan ayam buras dalam kandang baterai dan diumbar secara terbatas, dengan
menerapkan teknologi perbaikan pakan, perlakuan fisik, inseminasi buatan, dan
penetasan mampu meningkatkan keuntungan 2− 3 kali lebih tinggi dibanding model
pemeliharaan yang hanya memproduksi telur konsumsi. Jumlah telur yang ditetaskan
mencapai 50% dari seluruh telur yang dihasilkan. Motivasi utama petani memelihara
ayam buras adalah sebagai tabungan tidak terurus, artinya petani hanya bertujuan untuk
memperoleh hasil tanpa ada tindakan meningkatkan nilai ternak.
Sistem Pemeliharaan
Rendahnya produksi disebabkan oleh lamanya periode mengasuh anak dan istirahat
bertelur. Periode istirahat bertelur sekitar 3−4 kali/tahun, dengan produksi telur tiap
periode bertelur 10−15 butir. Pemeliharaan ayam buras secara intensif pada kandang
baterai, skala pemeliharaan 50−100 ekor, dan dengan tata laksana pemberian pakan
yang baik, mampu menghasilkan telur 20−30 butir/periode bertelur.
Penampilan ayam buras yang dipelihara secara tradisional, semiintensif, dan intensif
disajikan pada Tabel 3. Pemeliharaan secara intensif memberikan hasil lebih baik, yang
ditunjukkan oleh bobot badan jantan dan betina umur 5 bulan, produksi telur, frekuensi
bertelur, daya tunas, dan daya tetas yang lebih tinggi, sementara konversi pakan dan
mortalitas lebih rendah dibanding cara tradisional dan semiintensif.
Pemeliharaan ayam buras secara intensif oleh para peternak dengan skala
pemeliharaan 100-125 ekor, dan peternak semi-intensif dengan jumlah 150 ekor, lebih
menguntungkan dibanding cara tradisional. Pemeliharaan ayam buras sistem eram asuh
dan eram pisah selama 6 bulan, keuntungan yang diperoleh cukup besar.
Tabel 3. Penampilan ayam buras yang dipelihara secara tradisional, semi- intensif,
dan intensif.
Teknologi Pakan
Faktor utama penyebab kegagalan model pengembangan ternak ayam buras adalah
rendahnya kandungan protein pakan dan kurangnya kesadaran peternak dalam
melaksanakan pengendalian penyakit, terutama ND, cacingan, dan kutu. Upaya
optimalisasi produksi ayam buras salah satunya dapat dilakukan dengan perbaikan
pakan dan membuat pakan murah dengan tetap memperhatikan kandungan zat-zat
nutrien di dalamnya.
Penyusunan pakan ayam buras pada prinsipnya sama dengan pakan ayam ras, yaitu
membuat pakan dengan kandungan gizi sesuai dengan kebutuhan ayam agar
pertumbuhan daging dan produksi telur sesuai dengan yang diharapkan. Pemberian
pakan dengan tingkat protein kasar 17% dan energi metabolis 2.900 kkal/kg,
menghasilkan konsumsi pakan 64,629 g/ekor/90 hari, pertambahan bobot badan 92,25
g/ekor, bobot telur 40,02 g, konversi pakan 6,43, dan hen day production 30,64%,
dengan Income Over Feed Cost (IOFC) Rp18.068,196 (Lumentha 1997), serta
Rp14.770−Rp25.094 (Hartati 1997).
Penggunaan probiotik dalam pakan menghasilkan tingkat produksi telur 1.089 butir/50
ekor/10 minggu, konsumsi ransum 286 kg 150ekor/10 minggu, konversi pakan
6,10−7,30, dan pendapatan atas biaya pakan Rp153.000 (Gunawan dan Sundari 2003).
Ayam buras tergolong efisien dalam menggunakan imbangan energi metabolis dan
protein kasar.
Pemberian campuran pollard 5% dan duckweed 15% dalam pakan ayam buras umur
6−12 minggu dapat meningkatkan bobot badan akhir, bobot karkas, dan persentase
karkas. Sementara suplementasi 4% minyak ikan dan 2% minyak jagung dengan 200
ppm ZnCO3 dalam pakan memberikan efek terbaik terhadap produksi dan imbangan
asam omega 3 dan 6 dalam telur (Rusmana et al., 2002). Pemberian ampas sagu dan
eceng gondok yang difermentasi dengan Trichoderma harzianum ke dalam pakan ayam
buras betina umur 14 minggu, menghasilkan pertambahan bobot badan, memperbaiki
konversi pakan, menambah bobot hidup, dan persentase karkas. Penggunaan ampas
tahu kering 5−10% dapat memperbaiki bobot badan akhir, pertambahan bobot badan,
konsumsi pakan, konversi pakan, dan mortalitas. Paket teknologi integrasi ayam buras
dan jagung dalam rangka meningkatkan ketersediaan pakan lebih menguntungkan
dibanding paket teknologi nonintegrasi .
Penyakit yang sering menyerang ayam buras adalah tetelo, gumboro, fowl fox, snot,
CRD, avian influenza, pulorum, dan koksidiosis. Penyakit tetelo pada ayam buras dapat
mencapai tingkat morbiditas dan mortalitas 80−100%. Tingkat mortalitas pada anak
ayam umur 0−2 bulan mencapai 50%, umur 0−1 bulan 30%, dan umur 1−2 bulan 25%.
Pada pemeliharaan secara tradisional, mortalitasnya dapat mencapai 50-60%.
Tingginya mortalitas salah satunya disebabkan oleh tata laksana pemeliharaan DOC
yang kurang baik, dan petani jarang melakukan vaksinasi penyakit ND secara teratur.
Mortalitas ayam buras selama 24 minggu pada kandang baterai berkisar antara 8%
−10%, sedangkan pada kandang umbaran 5−10%. Vaksinasi ND secara teratur 3 bulan
sekali serta pengendalian penyakit cacingan dan desinfeksi kandang dapat menurunkan
mortalitas hingga 50%/tahun. Tingkat mortalitas ayam buras pada umur 6 minggu dapat
mencapai 70% akibat serangan penyakit menular, pemberian pakan dengan jumlah dan
kualitas rendah, kecelakaan, dan serangan predator.
Mortalitas ayam buras umur 4 minggu yang dipelihara secara ekstensif umumnya
disebabkan oleh serangan kucing dan musang, kelemahan fisik, masuk kolam, sakit
mata, dipatuk induknya, dan tidak diketahui penyebabnya. Mortalitas ayam buras dapat
disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, dan manajemen. Pemeliharaan ayam buras
secara intensif mampu menekan mortalitas anak ayam umur 6 minggu hingga 50%, dan
pada sistem pemeliharaan ekstensif sebesar 25-30%. Sementara vaksinasi ND secara
teratur mampu menurunkan mortalitas ayam dewasa dari sekitatr 25% menjadi kurang
dari 10%.
Ada dua cara mengatasi penyakit pada ayam buras, yaitu dengan program
pengendalian dan pembasmian. Program pengendalian meliputi:
1) menjauhkan ternak dari kemungkinan tertular penyakit yang berbahaya,
2) meningkatkan daya tahan tubuh ternak dengan vaksinasi, pengelolaan dan
pengawasan yang baik, dan
3) melakukan diagnosis dini secara cepat dan tepat.
Program pembasmian penyakit dapat dilakukan melalui:
1) test and slaughter, yaitu apabila ternak dicurigai positif menderita penyakit
pulorum, CRD atau lainnya harus dimusnahkan,
2) test and treatment, bila diketahui ada penyakit dilakukan pengobatan, dan
3) stamping out, yaitu bila terjadi kasus penyakit menular dan menyerang
seluruh ayam di peternakan, maka ayam, kandang, dan peralatan harus
dimusnahkan.
Di Jawa Barat dan Jawa Timur, pemeliharaan ayam buras berkembang dengan pesat
karena berbagai faktor, antara lain: 1) kesesuaian lokasi geografis, 2) petani-peternak
menyenangi memelihara ayam buras, 3) cara pemeliharaannya mudah dan tidak
membutuhkan modal besar, dan 4) pemeliharaan merupakan usaha sampingan atau
tabungan (Sehabuddin dan Agustian 2001). Pengembangan ayam buras dengan pola
pemeliharaan intensif melalui program pemerintah, seperti Sentra Pengembangan
Agribisnis Komoditas Unggulan (SPAKU), Program Pertanian Rakyat Terpadu (PRT),
dan Usaha Khusus (UPSUS), menunjukkan hasil yang baik, walaupun produksi telur
lebih rendah dibanding pemeliharaan yang dilakukan oleh peternak tanpa bantuan
pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa ayam buras memiliki potensi dan prospek yang
besar untuk dikembangkan dalam rangka meningkatkan pendapatan petani-peternak di
pedesaan.
Pemeliharaan ayam buras secara intensif pada kandang baterai dengan skala pemilikan
200−2.000 ekor/ KK, memberikan kontribusi terhadap pendapatan keluarga hingga
100%, sementara skala pemeliharaan 10−100 ekor/KK kontribusinya kurang dari 10%.
Di berbagai daerah di Jawa Timur, usaha peternakan ayam buras memberikan
kontribusi terhadap total pendapatan rumah tangga peternak, sebesar 10 - 15%.
Pemeliharaan ayam buras secara intensif sebanyak 40-50 ekor/KK selama 24 minggu
mampu meningkatkan pendapatan petani-peternak sebesar 40-50%.
Tabel 7. Keragaan ayam buras secara integrasi dan nonintegrasi dengan tanaman
jagung.
Ariani. 1999. Perspektif pengembangan ayam buras di Indonesia (Tinjauan dari aspek
konsumsi daging ayam). hlm. 700−705. Prosiding Seminar Nasional Peternakan
dan Veteriner. Bogor, 1−2 Desember 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Bogor.
Arief, D.A. 2000. Evaluasi ransum yang menggunakan kombinasi pollard dan duckweed
terhadap persentase berat karkas, bulu, organ dalam, lemak abdomminal,
panjang usus dan sekum ayam kampung. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor.
Bakrie, B., D. Andayani, M. Yanis, dan D. Zainuddin. 2003. Pengaruh penambahan jamu
ke dalam air minum terhadap preferensi konsumen dan mutu karkas ayam
buras. hlm. 490−495. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner “Iptek untuk Meningkatkan Kesejahteraan Petani melalui Agribisnis
Peternakan yang Berdaya Saing”. Bogor, 29−30 September 2003. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Biyatmoko, D. 2003. Permodelan usaha pengembangan ayam buras dan upaya
perbaikannya di pedesaan. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Paket
Teknologi Pertanian Subsektor Peternakan. Banjarbaru, 8−9 Desember 2003.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Banjarbaru. hlm.
1−10.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Statistik Peternakan. Departemen Pertanian.
Jakarta.
Fuadi, A. 1996. Analisis Permintaan Ayam Kampung oleh Restoran di Kotamadya
Pontianak. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Gunawan. 2002. Evaluasi Model Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras dan Upaya
Perbaikannya. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Gunawan dan M.M.S. Sundari. 2003. Pengaruh penggunaan probiotik dalam ransum
terhadap produktivitas ayam. Wartazoa 13(3): 92−98.
Hartati, R. 1997. Penampilan Ayam Kampung Umur 20−22 Bulan dengan Frekuensi
Pemberian Pakan yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian
Bogor.
Hastono. 1999. Peluang pengembangan ayam buras di lahan pasang surut Karang
Agung Ulu, Sumatera Selatan. hlm. 691−699. Prosiding Seminar Nasional
Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1−2 Desember 1998. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor.
Iman-Rahayu, H.S., Suherlan, dan I. Supriyatna. 2005. Kualitas telur tetas ayam
merawang dengan waktu pengulangan inseminasi buatan yang berbeda. J.
lndon. Trop. Anim. Agric. 30(3): 142−150.
Iriyanti, N., Zuprizal, Tri-Yuwanta, dan S. Keman. 2005. Pengaruh penggunaan minyak
ikan lemuru dan minyak kelapa sawit dalam pakan terhadap profil metabolisme
lemak pada darah ayam kampung jantan. J. Anim. Prod. 7(2): 59−66.
Iriyanti, N., Zuprizal, Tri-Yuwanta, dan S. Keman. 2007. Penggunaan vitamin E dalam
pakan terhadap fertilitas, daya tetas dan bobot tetas telur ayam kampung. J.
Anim. Prod. 9(1): 36−39.
Iskandar, S., D. Zainuddin, S. Sastrodihardjo, T. Sartika, P. Setiadi, dan T. Susanti.
1998. Respons pertumbuhan ayam kampung dan ayam persilangan pelung
terhadap ransum berbeda kandungan protein. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner
3(1): 8−14.
Khalil, I.D., Afrianis, dan S. Jalaluddin. 2001. Performans ayam buras yang dipelihara
secara ekstensif pada dua daerah dengan agroekosistem yang berbeda di
Kabupaten Tanah Datar. Media Peternakan. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi Peternakan 24 (2): 34−37.
Lestari, S. 2000. Produktivitas Ayam Kampung di Dua Desa yang Berbeda Topografinya
di Kabupaten Bogor. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Lulusno. 1991. Pengaruh Periode Bertelur terhadap Pertambahan Bobot Badan dan
Mortalitas Anak Ayam Kampung pada Pemeliharaan Ekstensif. Skripsi. Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Lumentha, L. 1997. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Usaha
Ternak Ayam Kampung di Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. Skripsi.
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Mardiningsih, D., T.M. Rahayuning, W. Roesali, dan D.J. Sriyanto. 2004. Tingkat
produktivitas dan faktor-faktor yang mempengaruhi tenaga kerja wanita pada
peternakan ayam lokal intensif di Kecamatan Ampal Gading, Kabupaten
Pemalang Jawa Tengah. hlm. 548−554. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner 2004. Buku II. Bogor, 4−5 Agustus 2004. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Muryanto, W. Dirdjopranoto, Subiharta, dan D.M. Juwono. 1994a. Rakitan hasil-hasil
penelitian ayam buras di Sub Balai Penelitian Ternak Klepu. Usaha ternak skala
kecil sebagai basis industri peternakan di daerah padat penduduk. hlm. 98−114.
Prosiding Pertemuan Nasional Pengolahan dan Komunikasi Hasil-Hasil
Penelitian. Semarang, 8−9 Februari 1994. Sub Balai Penelitian Ternak Klepu,
Semarang.
Muryanto, Subiharta, D.M. Juwono, dan W. Dirdjopranoto. 1994c. Optimalisasi produksi
telur ayam buras melalui perbaikan pakan dan tata laksana pemeliharaan. Jurnal
Ilmiah Penelitian Ternak Klepu 1(2): 9−14.
Muryanto, Subiharta, D.M. Juwono, dan W. Dirdjopranoto. 1995. Studi manajemen pe
meliharaan ayam buras untuk memproduksi anak ayam umur sehari (DOC).
Jurnal Ilmiah Penelitian Ternak Klepu (3): 1−7.
Muryanto, P.S. Hardjosworo, R. Herman, dan H. Setijanto. 2002. Evaluasi karkas hasil
persilangan antara ayam kampung jantan dengan ayam ras petelur betina. J.
Anim. Prod. 4(2): 71−76.
Nasution, W.R. 2000. Evaluasi Nilai Energi Metabolis Ransum yang Mengandung Kulit
Buah Kopi pada Ayam Kampung. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian
Bogor.
Nataamidjaja, G., H. Resnawati, T. Antawijaya, I. Barehilla, dan D. Zainuddin. 1990.
Produktivitas ayam buras di dataran tinggi dan dataran rendah. Jurnal Ilmu dan
Peternakan 4(3): 283−286.
Prabowo, A. Tikupandang, M. Sabrani, dan U. Kusnadi. 1992. Tingkat adopsi teknologi
oleh peternak dan potensi produksi ayam buras di daerah transmigrasi
Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. hlm. 116−120. Prosiding Pengolahan dan
Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Unggas dan Aneka Ternak. Bogor, 20−22
Februari 1992. Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Prahmadiyan, D. 1999. Analisis Pemasaran Ayam Buras di Kabupaten Ciamis (Studi
kasus di kelompok peternak “Wangi Saluyu” Desa Wangunjaya Kecamatan
Cisaga). Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Rasyid, T.G. 2002. Analisis perbandingan keuntungan peternak ayam buras dengan
sistem pemeliharaan yang berbeda. Bulletin Nutrisi dan Makanan Ternak 3(1):
15−22.
Rizal, M., Nuraini, H. Abbas, Sabrina, dan E. Martinelly. 2003. Respons ayam buras
periode pertumbuhan terhadap ransum yang mengandung campuran ampas
sagu, eceng gondok yang difermentasi dengan Tricoderma harzianum. Jurnal
Ilmiah IImu-lImu Peternakan VIII(3): 201−211.
Rohaeni, E.S., D. Ismadi, A. Darmawan, Suryana, dan A. Subhan. 2004. Profil usaha
peternakan ayam lokal di Kalimantan Selatan (Studi kasus di Desa Murung Panti
Kecamatan Babirik, Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Desa Rumintin
Kecamatan Tambarangan, Kabupaten Tapin). hlm. 555−562. Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004. Buku II. Bogor, 4−5 Agustus
2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Rusmana, D., A. Budiman, dan D. Latifudin. 2002. Pengaruh suplementasi minyak ikan,
minyak jagung dan ZnCO3 dalam ransum terhadap produksi telur dan
kandungan asam omega 3 dan 6 PUFA telur ayam kampung. Jurnal Iimu Ternak
2(1): 1−7.
Sartika. T. 2005. Peningkatan Mutu Bibit Ayam Kampung melalui Seleksi dan
Pengkajian Penggunaan Penanda Genetik Promotor Prolaktin dalam
MAS/Marker Assiated Selection untuk Mempercepat Proses Seleksi. Disertasi.
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Sapuri, A. 2006. Evaluasi Program Intensifikasi Penangkaran Bibit Ternak Ayam Buras
di Kabupaten Pandeglang. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Sehabuddin, U. dan A. Agustian. 2001. Karakteristik dan kontribusi usaha tani ternak
ayam buras terhadap pendapatan rumah tangga peternak serta alternatif pola
pengembangannya. Media Peternakan. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Peternakan 24(1): 111−118.
Setiadi, B., A. Semali, M.H. Togatorop, dan P. Sitorus. 1986. Peranan usaha ternak
dalam menunjang sistem usaha tani terpadu lahan pasang surut dan rawa di
Sumatera Selatan. hlm. 191−201. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan
Peternakan di Sumatera dalam Menyongsong Era Tinggal Landas. Padang,
14−15 September 1986. Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang.
Setioko, A.R. dan S. Iskandar. 2005. Review hasil-hasil penelitian dan dukungan
teknologi dalam pengembangan ayam lokal. hlm.10−19. Prosiding Lokakarya
Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Semarang, 25
September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Septiwan, R. 2007. Respons Produktivitas dan Reproduktivitas Ayam Kampung dengan
Umur Induk yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Sinurat, A.P. 1991. Penyusunan ransum ayam buras. Wartazoa 2(1−2): 1−4.
Sinurat, A.P. 1999. Penggunaan bahan pakan lokal dalam pembuatan ransum ayam
buras. Wartazoa 9(1): 12−20.
Sinuraya, D.S. 2001. Produktivitas Ayam Kampung di Desa Karacak Kecamatan
Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian
Bogor.
Soeparno. 1992. Komposisi tubuh dan evaluasi daging dada sebagai pedoman penilaian
kualitas produk ayam kampung jantan. Bulletin Peternakan 16: 7−14.
Soepeno, A. Semali, B. Setiadi, dan S.O. Sidabutar. 1993. Peranan perbaikan teknologi
terhadap peningkatan produktivitas ayam buras sebagai usaha sambilan di Jawa
Barat. hlm. 196−203. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Ternak Ayam
Buras melalui Wadah Koperasi Menyongsong PJPT II. Bandung, 13−15 Juli
1993. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung.
Sulandari, S., M.S.A. Zein, S. Priyanti, T. Sartika, M. Astuti, T. Widjastuti, E. Sujana, S.
Darana, I. Setiawan, dan G. Garnida. 2007. Sumber daya genetik ayam lokal
Indonesia. hlm. 45− 104. Dalam Keanekaragaman Sumber Daya Hayati Ayam
Lokal lndonesia: Manfaat dan Potensi. Pusat Penelitian Biologi, Lembaga IImu
Pengetahuan Indonesia, Bogor.
Suriadikarta, A.D. dan M.T. Sutriadi. 2007. Jenis- jenis lahan berpotensi untuk
pengembangan pertanian di lahan rawa. Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Pertanian 26(3): 115−122.
Suryana dan E.S. Rohaeni. 2006. Upaya perbaikan sistem usaha tani ayam buras
dengan teknologi inseminasi buatan di lahan kering (Desa Rumintin, Kabupaten
Tapin, Kalimantan Selatan). hlm. 65−70. Prosiding Seminar Nasional Lahan
Kering. BPTP Kalimantan Selatan bekerjasama dengan Balai Besar Pengkajian
dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor.
Syamsari. 1997. Produksi dan Mortalitas Ayam Kampung, Ayam Pelung, dan Ayam
Kedu di Desa Karacak. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Tagama, T.R. 2003. Performans organ reproduksi primer ayam lokal (Gallus
domesticus) jantan dengan introduksi hormon gonadotropin. J. Anim. Prod. 5(3):
87−92.
Togatorop, M.H. dan E. Juarini. 1993. Respons petani-peternak ayam buras terhadap
inovasi teknologi di daerah pasang surut Kabupaten Pontianak Kalimantan Barat.
hlm. 166−178. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Ternak Ayam Buras
melalui Wadah Koperasi Menyongsong PJPT II. Bandung, 13−15 Juli 1993.
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung.
Tranggono. 2001. Lipid dalam perspektif ilmu dan teknologi pangan. Pidato Pengukuhan
Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tri-Yuwanta. 1997. Hubungan nilai gravitasi spesifik terhadap kualitas dan daya
tetas telur ayam kampung. Bulletin Peternakan 21(2): 88−95.
Uhi, T.H. dan Usman. 2007. Integrasi ternak ayam buras-jagung: Suatu alternatif untuk
meningkatkan ketersediaan pakan. hlm. 262−268. Prosiding Seminar Nasional
dan Ekspose. Percepatan Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Mendukung Kemandirian Masyarakat Kampung di Papua. Jayapura, 5−6 Juni
2007. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua bekerjasama dengan Balai
Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor dan
Pemerintah Provinsi Papua, ACIAR, ESEAP-CIP.
Usman. 2007. Potensi ampas tahu sebagai pakan ternak pada usaha pembesaran ayam
buras berorientasi agribisnis. hlm. 253−261. Prosiding Seminar Nasional dan
Ekspose. Percepatan Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Mendukung
Kemandirian Masyarakat Kampung di Papua. Jayapura, 5−6 Juni 2007. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Papua bekerja sama dengan Balai Besar
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor dan Pemerintah
Provinsi Papua, ACIAR, ESEAP-CIP.
Wihandoyo dan H. Mulyadi. 1986. Ayam buras pada kondisi pedesaan (tradisional) dan
pemeliharaan yang memadai. Temu Tugas Subsektor Peternakan. Balai
Informasi Pertanian Ungaran bekerja sama dengan Sub Balai Penelitian Ternak
Klepu dan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Tengah.
Zakaria, S. 2004a. Pengaruh luas kandang terhadap produksi dan kualitas telur ayam
buras yang dipelihara dengan sistem litter. Bulletin Nutrisi dan Makanan Ternak
5(1): 1−11.
Zakaria, S. 2004b. Performans ayam buras fase dara yang dipelihara secara intensif
dan semi- intensif dengan tingkat kepadatan kandang yang berbeda. Bulletin
Nutrisi dan Makanan Ternak 5(1): 41−45.
Zainuddin, D. dan I.W.T. Wibawan. 2007. Biosekuriti dan manajemen penanganan
penyakit ayam lokal. Sumber daya genetik ayam lokal Indonesia. hlm. 159−182.
Dalam Keanekaragaman Sumber Ddaya Hayati Ayam Lokal Indonesia: Manfaat
dan Potensi. Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Iimu Pengetahuan Indonesia,
Cibinong.