Prinsip seleksi, Metode Seleksi, Seleksi ternak breeding Superior, respon seleksi, sistem
breeding.
OLEH
( 13180081 )
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TIMOR
2021 /2022
KATA PENGANTAR
Dengan penuh kerendahan hati penulis memanjat puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa
dapat menyelesaikan makalah “Seleksi” ini guna membantu para mahasiswa dalam mengikuti mata kuliah
Manajemen Pemuliaan Ternak.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada dan semua pihak yang telah
berpartisipasi dan juga atas bantuan dan dukungan sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang dapat membangun dalam penyusunan makalah selanjutnya. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita
semua.
BAB 1
PENDAHULUAN
Dalam contoh diatas diasumsikan adanya dominansi lengkap dan frekuensi awal
gen A dang en a sebesar p dan q, sedangkan s adalah koefisien seleksi, ytang berarti
bahwa peranan genotype tertentu (aa) dikurangi sebesar s bagian dari peranan penuh
sebesar 1 (satu). Bila peranan penuh adalah 1 dan genotype aa dengan peranan hanya 1-
s, berarti genotype aa hanya menghasilkan keturunan sebesar 1-s.
Dengan mengkalikan frekuensi awal dengan kesuburan, diperoleh jumlah
relative anak atau peranan setiap genotype tertentu dalam generasi anak. Bila
dijumlahkan peranan semua genotype, maka dihasilkan jumlah sebesar 1- sq2 dan
frekuensi gen a pada generasi anak menjadi:
q2(1-s) + pq
q1 =
1-sq2
Dengan keterangan: gen a yang dihasilkan oleh aa adalah sebesar q2(1-s), yang
dihasilkan oleh Aa sebesar ½(2pq) = pq.
Perubahan frekuensi gen a yang terjadi, ∆q sebagai hasil seleksi satu
generasi seleksi terhadap aa adalah:
∆q = q1-q
q2 (1-s) + pq – q
= 1-sq2
-s q2 (1-q)
= 1-sq2
= +s pq2
Contoh
Bila dalam suatu populasi terdapat frekuensi gen a sebesar q = 0.1 dan koefisien
seleksi sebesar s = 0.5 maka perubahan frekuensi q adalah:
-0.5 x (1-0.1)x(0.1)2
∆q = =
2
-0.045 1-0.5x(0.1)
∆p = +0.00452
Faktor Kebetulan
Ini sering disebut sebagai penghanyutan genetic (genetic drift) dan terjadi
karena dalam pembentukan gamet atau perubahan terjadi peristiwa pencuplikansecara
untung- untungan yang menyimpang dari frekuensi gen yang ada dan dengan demikian
mengubah frekuensi gen pada generasi berikutnya. Karena perubahan ini terjadi secara
acak, maka hal ini kurang penting dan sailing meniadakan satu degna yang lainnya
dalam populasi yang besar. Tetapi dalam populasi kecil, perubahan secara kebetulan
dapat penting artinya.
Dalam populasi kecil fluktuasi acak mempunyai efek yang lebih penting. Dalam
kenyataan populasi ternak di pedesaan dapat berfluktuasi secara acak tak teratur karena
pengaruh musimatau serangan wabah penyakit yang dapat menyebabkan kematian pada
sebagian besar populasi sehingga pada suatu saat populasi turun secara drastic. Ternak
yang tersisa yang dapat bertahan akan mempumyai pengaruh yang menentukan
terhadap frekuensi gen pada generasi selanjutnya.
∆p = Vpq/2N
Dengan keterangan:
∆p = simpangan
baku p = frekuensi
gen A q = frekuensi
gen a N = jumlah
populasi
Suatu contoh. Pada populasi dengan N = 10 dan p = 0.6 terdapat simpangan baku
sebesar 0.11. ini berarti bahwa generasi selanjutnya fluktuasi frekuensi gen dapat
berkisar antara 0.49 (0.6-0.11) dan 0.71 (0.6 + 0.11).
Manipulasi DNA
Cara yang baru-baru ini dikembangkan untuk memisahkan gen individu atau
bagian dari DNA dan memindahkan antar sel-sel atau individu-individu dan dalam
beberapa hal memasukkan gen-gen dari spesies lain ke dalam genom dari suatu
organisme. Tekhnik ini dikenal dengan genetic engineering, gen transfer, gene splicing,
recombinant DNA. Dalam bebrapa hal, cara baru ini dapat dianggap suatu tipe migrasi
yang maju.
BAB II
PEMBAHASAN
Seleksi alam
Digambarkan pada kejadian yang dialami oleh ternak-ternak liar yang mampu
meneruskan hidupnya pada kondisi alam yang berubah-ubah. Seperti adanya musim
yang berbeda, bencana alam ( seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir, dsb.),
musuh alam, keadaan pasture, temperature, penyakit dan parasit. Dalam hal ini dikenal
adanya istilah The survival of the fittest (yang kuat/mampu mengatasi pengaruh alam
yang berhasil hidup/berbiak).
Seleksi alam merupakan proses yang kompleks dan banyak faktor yang
menentukan perbedaan antara individu dalam populasi seperti : mortalitas, periode
aktifitas seksual, fertilitas, dsb.
Dengan adanya ternak yang berhasil mengatasi pengaruh alam tersebut, maka
secara tidak langsung alam telah menyeleksi ternak-ternak dalam populasi tertentu.
Seleksi buatan
Seleksi ini dilakukan oleh manusia, mana ternak yang dipilih untuk diternakkan
dan mana ternak yang tidak produktif lagi ditinjau dari kebutuhan dan tujuan manusia
itu sendiri. Dalam hal ini seleksi alam masih mempunyai pengaruh.
Akibat seleksi buatan adalah adanya perbedaan (dari segi kuantitatif dan kualitatif)
breed dan tipe ternak dalam suatu species.
Pengaruh seleksi terhadap genetik.
Seleksi tidak menciptakan gen yang baru dalam populasi ternak, tetapi
meningkatkan frekuensi gen yang baik/diinginkan untuk meningkatkan performansnya
dan mengurangi/meniadakan gen yang tidak baik/tidak diinginkan. Bila seleksi tidak
dilakukan., maka frekuensi gen akan tetap/tidak berubah.
Contoh :
P AA x AA F gen A = 0,5
F1 Aa F gen A = 0,5
F2 1AA, 2Aa, 1aa F gen A = 0,5
F3 4AA, 2AA, 4Aa, 2aa, 4aa F gen A = 0,5
dst
Kalau seleksi dilakukan dengan memilih ternak AA, Aa saja untuk diternakkan,
sedang aa diculling maka terjadi perubahan frekuensi gen. Misalkan pada F2 individu
aa diculling pada F3 akan terdiri dari 4AA, 2AA, 4Aa, 2aa
FA = 16/24 =
0,67 Fa = 8/24 =
0,33
Seleksi harus dilaksanakan secara kontinyu sehingga frekuensi gen yang
diinginkan akan meningkat.
Catatan
Contoh di atas hanya menggunakan contoh satu pasang gen untuk memudahkan
pengertian adanya perubahan frekuensi gen akibat tindakan seleksi dan culling. Pada
sifat kuantitatif, jumlah gen yang berperan adalah banyak sehingga pertimbangan
seleksinya berbeda dengan sifat kualitatif. Seleksi terhadap sifat kuantitatif didasarkan
pada nilai breeding ternak yang bersangkutan dan dalam hal ini performas populasi ikut
menentukan.
Kemajuan yang ingin dicapai oleh pemulia ternak dengan jalan breeding dan seleksi
adalah tergantung pada kemampuan untuk mendapatkan ternak-ternak yang mempunyai
genetic yang superior dan selanjutnya memberikan kesempatan pada ternak-ternak
tersebut untuk bereproduksi. Untuk mendapatkan ternak dengan genetic yang superior,
metode yang dipakai adalah dengan menduga Nilai Pemuliaan (Breeding Value) individu-
individu yang dinilai.
Pendugaan Nilai Pemuliaan ditentukan oleh gen-gen dari tetua yang diteruskan kepada
anak-anaknya. Setiap anak akan menerima setengah gen secara acak dari pejantan dan
setengah dari induknya. Pendugaan nilai pemuliaan didasarkan atas estimasi pengaruh
seluruh gen individu yang diwariskan melalui amak-anaknya didalam populasi kawin
acak. Hardjosbroto mendefinisikan nilai pemuliaan sebagai suatu penilaian mutu genetik
ternak untuk suatu sifat tertentu yang diberikan secara relative atas dasar kedudukannya
didalam populasi.
Ada empat cara pendugaan nilai pemuliaan (breeding value =BV) yaitu:
1. Individual test
Seleksi dengan cara ini berarti bahwa suatu individu dipilih atau disisihkan
untuk tujuan breeding berdasarkan fenotipenya sendiri untuk satu atau beberapa
sifat
tertentu. Kemajuan yang diperoleh akan tergantung pada korelasi antara gernotipe dan
fenotipe sifat tersebut. Korelasi ini bisa tinggi atau rendah sangat tergantung pada
factor lingkungan dan /atau interaksi antara genotipe dan lingkungan.
Secara umum pendugaan BV individu ternak untuk sifat kuantitatif adalah
dengan formula:
_ _
PBV = P + b1 ( Pi – P )
Dengan keterangan:
b1 = koefisien regresi genotype individu dengan
fenotipenya PBV = probable breeding value
_
P = rataan fenotipe individu
contemporary Pi = nilai fenotipe individu
terseleksi
Koefisien regresi untuk genotipe dan fenotipe sifat-sifat ternak tertgantung pada
heritabilitas sifat yang bersangkutan dan akurasi seleksi meningkat dengan
meningkatnya nilai heritabilitas suatu sifat ditunjukkan pada tabel
Sebagai ilustrasi, dengan menggunakan formula diatas akan dihitung BV suatu
individu. Individu dengan pertambahan bobot badan 2.50 lb per hari dibandingkan
dengan rataan pertambahan bobot badan 1.80 lb per hari, bila heritabilitas sifat yang
bersangkutan 50 persen, yang berarti bahwa koefisien korelasi (b 1) adalah 0.50. BV
individu adalah 1.80
+ 0.50 ( 2.50 – 1.80 ) atau 2,15 lb per hari. Seleksi ternak untuk tujuan breeding
kemudian dilakukan berdasarkan nilai BV-nya yang tertinggi.
Tabel 5. Koefisien Regresi ( b1) antara Genotype dan Fenotipe dan Akurasi Seleksi Bila
Seleksi Didasarkan atas Fenotipe Individu
Heritabilitas suatu sifat Akurasi seleksi
Atau koefisien regresi b1
0.01 0.32
0.02 0.45
0.03 0.55
0.04 0.63
0.05 0.71
0.06 0.77
0.07 0.84
0.08 0.89
0.09 0.95
1.00 1.00
Akurasi seleksi dihitung dari √b1
2. Pedigree test
Pedigree adalah merupakan catatan nenek moyang (ancestor) individu tertentu.
Catatan tersebut memberikan informasi mengenai nama,nomor ancestor, sifat-sifat
genotipe, fenotipe atau performa ancestornya.
Pada sifat kualitatif dikenal “pedigree clean” artinya individu-individu pada
pedigree tersebut tidak ada yang membawa gen dengan sifat cacat (carrier). Dan
“pedigree dirty”, istilah yang dipergunakan pada pedigree dimana individu-individu ada
yang membawa sifat cacat (carrier).
Pendugaan nilai pemuliaan sifat kuantitatif tergantung pada ancestor yang
dipergunakan, sebab derajat hubungan (relationship) antara individu dengan
ancestornya berpengaruh terhadap ketelitian/akurasi seleksi. Ketelitian seleksi
berdasarkan catatan parent akan lebih teliti daripada catatan grandparent dan
grandparent akan lebih teliti daripada catatan great-grandparent dan seterusnya (Tabel
6).
Tabel 6. Akurasi Seleksi pada Berbagai Derajat Heritabilitas Bila Seleksi Didasarkan
Atas Catatan Individu atau Individu Plus Moyang
Catatan Akurasi seleksi pada berbagai
derajat heritabilitas
Heritabilitas 0.10 0.30 0.50 0.70 0.90 1.00
Tabel 7. Koefisien regresi untuk memprediksi nilai pemuliaan (PBV) individu dari
informasi fenotipe individu atau moyang tertentu
Heritabilitas suatu sifat
Koefisien regresi 0.10 0.30 0.50 0.70 0.90 1.00
3. Progeny-test
Seleksi dengan cara progeny berarti bahwa individu dipilih berdasarkan atas
performa anak-anaknya(progeny). Pada sifat kualitatif, genotipe individu ditentukan
berdasarkan atas fenotipe anak-anaknya. Individu heterozigot, bila salah satu anaknya
ada homozigot resesif. Bila dari anak-anaknya yang lahir kebanyakan menampakkan
sifat dominant tanpa ada yang resesif, kemungkinan individu tersebut adalah homozigot
tetapi tidak pasti.
Progeny-test pada ternak sapi diperlukan perkawinan satu pejantan dengan kira-
kira 35 full-sisternya. Pada babi satu pejantan memerlukan full-sisternya sebanyak 5-7
ekor. Pada pelaksanaan progeny test sebagai ternak tester dipakai ternak homozigot
resesif atau ternak yang sudah diketahui sebagai carrier gen resesif.
Untuk sifat kuantitatif, prinsip yang tercakup adalah tiap progeny memperoleh
50% sifat yang diwariskan dari masing-masing tetuanya. Ada beberapa tindakan yang
diperlukan untuk ketelitian progeny test:
1. induk-induk yang dikawinkan dengan pejantan harus dipilih secara acak.
2. makanan dan cara pemberiannya harus distandarisir.
3. Untuk mengurangi pengaruh lingkungan, jangan memberikan makanan semua
progeny setiap pejantan pada satu kandang yang sama, harus diadakan rotasi
terhadap kelompok progeny untuk pejantan-pejantan yang laion.
4. antara kelompok tetua yang berbeda diusahakan lingkungan dan lokasi yang
sama.
5. bila mungkin usahakan mendapat kelompok tetua yang lahir bersamaan.
6. kesehatan kelompok ternak diusahakan sama walaupun superioritasnya berbeda.
7. progeny yang lebih banyak untuk tiap tetua memberikan ketelitian pendugaan
nilai pemuliaan yang lebih baik, maka usahakan jumlah progeny yang sebanyak-
banyaknya tetapi sama untuk tiap kelompok pejantan.
Akurasi seleksi relative didasarkan atas progeny test dibandingkan dengan
seleksi atas dasar individu ditunjukkan pada table 9. Akurasi seleksi relative dikalkulasi
dari korelasi PBV tetua dengan rataan fenotipe progeny (rGP0) dibagi dengan akar
heritabilitas suatu sifat. Diekpresikan dengan rGP0/h. Tabel 9 menunjukkan bahwa
progeny test bila dibandingkan dengan seleksi individu adalah relative lebih akurat pada
level heritabilitas yang lebih rendah dan progeny test dengan mempergunakan 5
progeny per tetua adalah seimbang dengan individual test.
Pada prinsipnya pendugaan PBV suatu individu atas dasar progeny adalah sama
dengan yang lainnya
Contoh, Dari tiga pejantan yang akan diseleksi diperoleh masing-masing anak
sebanyak tiga ekor tiap pejantan. Rata-rata pertambahan bobot badan per hari progeny
A = 0.70 Kg, progeny B = 0.60 Kg, dan progeny C = 0.80 Kg. Rata-rata pertambahan
bobot badan harian seluruh progeny adalah 0.50 Kg. Bila heritabilitas sifat ini adalah
50%, maka
PBV A = 0.50 + 0.50x0.50 (3/(1+2x0.25x050)(0.70-0.50) = 0.62 Kg
PBV B = 0.50 + 0.50x0.50 (3/(1+2x0.25x050)(0.60-0.50) = 0.56 Kg
PBV C = 0.50 + 0.50x0.50 (3/(1+2x0.25x050)(0.80-0.50) = 0.68 Kg
Dari perhitungan diatas ternyata PBV C yang palig tinggi, maka ternak C yang akan
dipilih.
4. Sib-test
Adalah seleksi atas dasar data/performa rata-rata saudara-saudaranya (half-sibs
= saudara tiri, full-sibs = saudara kandung). Prinsip sibs-test untuk mengestimasi PBV
adalah sama dengan pedigree test dan progeny test.
Akurasi/ketelitian seleksi berdasarkan fenotipe sibs tergantung pada heritabilitas
suatu sifat, derajat relationship ( R ) antara sibs dengan individu yang diseleksi, jumlah
sibs dan derajat korelasi ( t ) antara fenotipe sibs.
Akurasi seleksi dikalkulasi dengan formula dibawah ini:
Rh √ (n/ 1+(n-1)t)
Respon yang diperoleh akibat seleksi yang dilakukan ada tiga yakni:
1. Genetik respon
2. Respon in the current generation
3. Correlated respon
1. Genetik respon
Adalah respon yang diberikan dari suatu populasi untuk generasi berikutnya.
Respon ini ditentukan oleh heritabilitas sifat yang bersangkutan dan diferensial seleksi
pada populasi tersebut. Genetik respon dapat diformulasikan sebagai dibawah ini.
R G = h2 x S
S = Pi -P
Dengan keterangan
RG = genetik respon
h2 = heritabilitas sifat yang diseleksi
S = diferensial seleksi, yaitu keunggulan sifat ternak yang diseleksi untuk
pengganti tetua yang diafkir terhadap rataan performan populasi dari
mana mereka terseleksi.
Pi = performan individu
P = rataan performan populasi
Dalam pendugaan respon genetik untuk sifat-sifat yang mempunyai distribusi
normal, dapat menggunakan “standardized selection differential” yang disimbulkan
dengan huruf i, dapat diformulasikan i = S/Sd dengan Sd adalah standar deviasi sifat
yang diseleksi. Nilai i ditentukan dari proporsi ternak-ternak yang diseleksi dengan
ternak tersedia untuk diseleksi. Nilai i disajikan pada tabel 14. Dalam tabel tersebut
terlihat bahwa semakin besar intensitas seleksi maka i semakin kecil.
2. Respon in the current generation (Rc)
Di samping pengaruh terhadap generasi mendatang, seleksi juga berpengaruh
terhadap peningkatan selama masa hidupnya dari ternak/populasi yang diseleksi.
Diharapkan bahwa ternak yang diseleksi untuk produksi yang tinggi pada permulaan
hidupnya akan memberikan produksi yang tinggi dalam hidupnya. Ini adalah konsep
dari pada “Respons in the current generation “.
Definisi : respons ini dapat didenifisikan sebagai perbedaan antara produksi
dalam masa hidup dari pada kelompok ternak yang diseleksi dengan produksi seluruh
populasi dari mana ternak tersebut diseleksi .
Untuk menduga Rc ini, parameter yang perlu diketahui adalah Ripitabilitas sifat
yang diseleksi yang didenifisikan sebagai perbandingan dari pada varians phenotypis
total yang disebabkan oleh perbedaan antara ternak-ternak yang permanent. Ini
disebabkan oleh pengaruh genetik dan lingkungan yang tetap (permanen).
Rc = r x i x Sd
Dalam hal ini respons yang sering dijumpai adalah produksi yang di tunjukkan oleh
ternak beberapa kali selama masa hidupnya . Kebanyakan sifat demikian ditunjukan
oleh ternak betina sehingga dalam hal ini i yang dipakai adalah i betina saja (diferensial
seleksi ternak betina ) untuk periode n tahun Rc adalah = n.Rc. Sehingga untuk n tahun
maka R total = ½ n ( n+1)Ry + nRc.
Dengan keterangan:
rG = korelasi genetic antara sifat 1 dan
2 h1 = akar heritabilitas sifat 1
h2 = akar heritabilitas sifat 2
i = standardized selection
differensial Sd2 = standar deviasi sifat
2
Sistem Nucleus
Dalam populasi yang besar kadang-kadang perkawinan ternak tidak selalu
secara acak, tetapi kadang-kadang dibagi dalam dua kelompok yakni Sire Breeding
Nucleus dan General Population. Sire breeding nucleus terdiri atas jantan dan betina
terbaik, hanya ternak jantan yang lahir dari nucleus yang dipilih untuk dijadikan
pejantan. Keturunan jantan yang lahir dari general population semua dikastrasi atau
dijual sebelum mampu bereproduksi.
Pada sistem nucleus ada empat jalan untuk memperoleh respon genetik yaitu
1. Seleksi jantan yang dipakai pada nucleus (i1)
2. Seleksi jantan yang dipakai pada seluruh populasi (i2)
3. Seleksi betina yang dipakai pada nucleus (i3)
4. Seleksi betina yang dipakai pada seluruh populasi (i4)
Dengan demikian maka dipergunakan standardized selection differential rata-rata yaitu
¼ ( i1 + i2 + i3 + i4 )
Contoh
Suatu populasi ternak sapi terdiri atas 400 ekor betina, dimana 100 dari padanya
dipergunakan sebagai breeding nucleus. Seks rasio antara pejantan dan betina adalah 1 : 25,
berarti 4 ekor pejantan terbaik dipakai untuk mengawini 100 betina nucleus diatas. 300 betina
lain dikawinkan dengan 12 pejantan terbaik yang lain. Bila calving rate 80% maka setiap
tahun akan dihasilkan 320 ekor anak sapi. Dengan rasio seks 1:1, maka masing-masing anak
jantan dan betina berjumlah 160 ekor. Dalam kelompok nucleus kelahiran anak 80% x 100 =
80 ekor, yantg terdiri atas 40 jantan dan 40 ekor betina.
Dari kelahiran anak-anak ini berarti ternak yang tersedia untuk diseleksi untuk
pengganti pejantan yang tua sebanyak 40 ekor (yang berasal dari kelahiran kelompok
nucleus saja) dan untuk pengganti induk sebanyak 160 ekor yang berasal dari kelahiran
seluruh populasi (nucleus dan general population).
Bila kelahiran anak pertama terjadi pada saat umur pejantan dan induk 2 tahun dan
kelompok umur pejantan ada 2 (2 dan 3 tahun), sedangkan kelompok induk ada 5
(2,3,4,5 dan6 tahun) berarti setiap tahun perlu pengganti ½ jumlah pejantan dan 1/5
induk dalam populasi tersebut.
Pejantan pengganti yang diperlukan setiap tahun pada nucleus adalah sebanyak
4/2 = 2 ekor, maka intensitas seleksinya 2/40 = 0.05. dan i 1 = 2.06 (table 12). Untuk
keseluruhan populasi pejantan yang diperlukan sebanyak 16/2 = 8 ekor, dengan
intensitas seleksi 8/40 = 0.2 dengan i2 = 1.4.
Betina pengganti yang diperlukan setiap tahun adalah 100/5 = 20 ekor pada
nucleus dan 400/5 = 80 ekor untuk untuk seluruh populasi. Maka i3 = 1.65 dari
intensitas seleksi 20/160 = 0.125 dan i4 = 0.8 dari intensitas seleksi 80/160 = 0.5.
Maka i rata-rata = ¼ (2.06 + 1.4 + 1.65 + 0.8 = 1.48.
Selang generasi pejantan adalah (2 + 3)/2 = 2.5 tahun dan induk = (2 + 3 + 4 + 5 + 6)/5
= 4 tahun. Selang generasi rata-rata adalah ½(2.5 + 4) = 23.25 tahun.
Bila sifat yang diseleksi adalah bobot sapih dengan standar deviasi (Sd) 40 kg
dan heritabilitas bobot sapih adalah 40% maka:
Respon per tahun Ry = (0.4 x 1.48 x 40)/3.25 = 7.28 Kg. dengan demikian
dapat diduga bahwa untuk tahun berikutnya bobot sapih populasi tersebut = 80 + 7.28
=
87.28 Kg. dengan bobot sapih semula 80 Kg.
Meningkatnya fertilitas dalam populasi berakibat jumlah anak yang dilahirkan
akan lebih banyak, berarti jumlah anak yang tersedia sebagai pengganti lebih banyak
pula, sehingga intensitas seleksi semakin kecil, yang akhirnya berakibat standardized
selection differential lebih tinggi, maka respon seleksi yang dipoeroleh akan lebih
tinggi.
Pemeliharaan tetua yang lebih lama dalam populasi berarti kelompok umur lebih
banyak dan hal ini berakibat jumlah ternak pengganti yang diperlukan lebih sedikit
sehingga intensitas seleksi lebih kecil dan standardized selection differential lebih besar
sehingga respon lebih tinggi, tetapi dilain pihak selang generasi akan lebih panjang
yang berakibat respon per tahun lebih kecil. Dengan demikian pemulia ternak dituntut
untuk dapat menentukan komposisi ternak yang meliputi umur tetua yang mulai
dikawinkan untuk pertama kali dan sampai umur berapa tetua dipelihara, sehingga
diperoleh respon yang setinggi-tingginya.
Penggunaan jumlah pejantan yang lebih sedikit dapat pula meningkatkan respon
karena proporsi seleksi yang lebih kecil, standardized selection differential makin besar.
Tetapi penggunaan pejantan yang terlalu sedikit akan meningkatkan inbgreeding yang
berakibat berkurangnya vigor dan produktivitas dan ragam genetik yang mengecil yang
berakibat heritabilitas makin rendah.
A. Outcrossing
Outcrossing adalah perkawinan antara ternak-ternak yang tidak ada hubungan
kekeluargaan dalam satu breed murni yang sama. Outcrossing diperlukan untuk
merubah tipe suatu kelompok ternak agak drastis, karena perubahan permintaan pasar,
perubahan fashion atau karena standar seleksi yang tidak realistis dalam suatu
kelompok.
B. Up grading
Up grading adalah tipe breeding dimana pejantan pure bred dipakai untuk
meningkatkan breed native dengan jalan mengawinkan anak-anak betina hasil
persilangan kedua breed, dari generasi ke generasi dengan pejantan murni tersebut.
A
C
B D
A E
A F dan seterusnya
A
Darah pejantan murni A yang terkandung dalam keturunan dari generasi ke
generasi meningkat seperti dibawah ini:
Ternak C membawa darah A : 50%
Ternak D membawa darah A : 75%
Ternak E membawa darah A : 87.5%
Ternak F membawa darah A :
93.75%
C. Crossbreeding
Crossbreeding adalah perkawinan antara ternak-ternak yang berbeda breed.
Crossbreeding dilakukan dengan tujuan adalah produksi ternak komersial karena:
1. untuk mendapatkan keuntungan dari heterosis/vigor yaitu keunggulan crossbred
daripada rata-rata kedua tetuanya.
2. untuk mendapat keuntungan yang setinggi-tingginya dari kualitas yang baik yang
terdapat pada kedua breed yang berbeda tipe.
Crossbreeding sering dipergunakan lebih luas yaitu crisscrossing dan rotasional
crossing.
C.2. Crisscrossing.
Disini induk-induk breed A dikawinkan dengan pejantan breed B. Crossbred diseleksi lalu
dikawinkan kembali dengan pejantan breed A, dari hasil silangan betina- betina diseleksi lalu
dikawinkan dengan pejantan breed B dan seterusnya
DAFTAR PUSTAKA
Becker, W.A. 1985. Manual of Quantitative Genetics. 4th ed. Academic Enterprises,
Pullham, Washington.
Falconer, D.S. 1982. Introduction to Quantitative Genetics. 2nd ed. Longman, New York
Hammond, K., H.U. Graser, and C.A. Mcdonald.1992. Animal Breeding. Post graduate
foundation publication in Veterinary Science. University of Sydney
Lasley, J.F. 1978. Genetics of Livestock Improvement. 3rd ed. Prentice Hall of India
Private Limited, New Delhi
Vleck, D.V. 1979. Summary of Method for Estimating Genetics Parameters Using
Simple Statistical Model. Cornell University.