Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH MANAJEMEN PEMULIAAN TERNAK

Prinsip seleksi, Metode Seleksi, Seleksi ternak breeding Superior, respon seleksi, sistem
breeding.

OLEH

YOHANES MISA NAITKAKIN

( 13180081 )

PORGRAM STUDI PETERNAKAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS TIMOR

2021 /2022
KATA PENGANTAR

Dengan penuh kerendahan hati penulis memanjat puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa
dapat menyelesaikan makalah “Seleksi” ini guna membantu para mahasiswa dalam mengikuti mata kuliah
Manajemen Pemuliaan Ternak.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada dan semua pihak yang telah
berpartisipasi dan juga atas bantuan dan dukungan sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang dapat membangun dalam penyusunan makalah selanjutnya. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita
semua.
BAB 1

PENDAHULUAN

Ilmu Pemuliaan diera sekarang bertalian dengan manipulasi perbedaan biologi


diantara ternak dengan pendekatan tujuan yaitu memaksimalkan keuntungan baik pada jangka
waktu yang pendek maupun jangka waktu yang lama. Adanya perbedaan biologis diantara
ternak tercermin didalam keragaman suatu sifat individu-individu didalam
sekelompok/populasi ternak. Keragaman merupakan sifat populasi yang sangat penting dalam
pemuliaan, terutama dalam seleksi.
Keragaman suatu sifat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor genetik, dan faktor
non genetik atau lingkungan. Faktor genetik ditentukan oleh susunan gen dan kromosom yang
dimiliki oleh individu. Oleh karena itu, faktor genetik sudah ada sejak terjadinya pembuahan
atau bersatunya sel telur (ovum) dengan spermatozoa. Faktor genetik ini tidak akan berubah
selama hidup individu, sepanjang tidak terjadi mutasi dari gen yang menyusunnya, dan faktor
genetik dapat diwariskan kepada anak keturunannya. Berbeda dengan faktor genetik,
pengaruh lingkungan tidak akan diwariskan kepada anak keturunannya. Faktor lingkungan ini
tergantung pada kapan dan dimana individu yang bersangkutan berada.
Tujuan peternakan secara umum adalah peningkatan produksi ternak dan hasil ternak.
Upaya yang dapat dilakukan ada tiga kelompok yaitu dalam bidang pemuliaan, mutrisi dan
pengelolaan (manajemen). Yang perlu dipahami adalah ketiga upaya tersebut harus mendapat
perhatian yang sama besar, sedangkan prioritas dan intensitas upaya disesuaikan dengan
kondisi peternak, ternak dan lingkungan yang ada pada saat tertentu.
Upaya peningkatan ternak melalui pemuliaan bertujuan meningkatkan produktivitas
(sifat produksi dan reproduksi) ternak melalui peningkatan mutu genetiknya. Untuk itu,
terdapat dua kelompok upaya yakni seleksi dan pembiakan (perkawinan=breeding). Dalam
seleksi dilakukan pemilihan ternak untuk menjadi tetua yang menghasilkan generasi
selanjutnya. Didalam seleksi, berbagai metode dapat dilakukan baik Cara Bergilir (Thandem),
Cara Batas Penyingkiran Bebas (Independen Culling Level), dan Cara Indeks. Namun,
sebelum melakukan seleksi harus diprediksi Nilai Pemuliaan (Breeding Value) masing-
masing individu didalam kelompok/populasi
Berbagai metode telah dikembangkan untuk memprediksi nilai pemuliaan. Untuk itu,
catatan (recording) yang tepat sangat diperlukan. Setelah seleksi dilakukan, dan kemajuan
genetik yang diharapkan tercapai, perkawinkan dilakukan antara ternak yang mempunyai
mutu genetik yang terbaik dengan yang terbaik (best to best).
Dalam “breeding” tercakup pemanfaatan ternak tertentu dalam berbagai cara
pembiakan. Cara pembiakan terbagi dalam tiga kelompok utama yaitu Biak-setara
(assortative mating), Biak-dalam (inbreeding) dan Biak-luar (outbreeding). Cara
pembiakan apapun yang dipilih, tujuan yang terpenting dalam hal ini sama dengan
tujuan seleksi yaitu menghasilkan perubahan dalam susunan atau mutu genetik hewan
atau ternak.
Seleksi
Seleksi dalam pemuliaan selalu dikaitkan dengan penentuan apakah seekor
hewan dapat atau diperbolehkan menghasilkan sejumlah keturunan. Penentuan tersebut
ditentukan oleh alam (seleksi alam) atau oleh peternak dalam seleksi buatan, atas dasar
suatu sifat atau dugaan mengenai mutu genetic seekor hewan. Dalam hal ini peternak
melakukan seleksi buatan terhadap sifat tertentu dengan maksud untuk menghasilkan
perubahan dalam sifat tersebut. Bila perbedaan (keragaman) dalam sifat tersebut
didasari atas genotype hewan, maka seleksi akan menghasilkan perubahan genetic
dalam populasi dan berarti perubahan dalam frekuensi gen. Selanjutnya atas dasar satu
pasang gen A dan a pada satu lokus seleksi dfapat mengakibatkan perubahan frekuensi
gen dalam populasi.
Seleksi dapat pula diartikan sebagai suatu proses yang mengakibatkan genotype
tertentu menghasilkan jumlah keturunan yang berbeda. Jumlah keturunan relative yang
dihasilkan seekor hewan dari genotype tertentu adalah ukuran dari kesuburan relative,
saeperti contoh berikut dimana dilakukan seleksi untuk mengurangi frekuensi gen a:
Genotype AA Aa aa Jumlah
Frekuensi 2pq 1
p2 q2
Kesuburan 1
1 1-s
Frekuensi pada 2pq q2(1-s) 1-sq2
p2
generasi anak

Dalam contoh diatas diasumsikan adanya dominansi lengkap dan frekuensi awal
gen A dang en a sebesar p dan q, sedangkan s adalah koefisien seleksi, ytang berarti
bahwa peranan genotype tertentu (aa) dikurangi sebesar s bagian dari peranan penuh
sebesar 1 (satu). Bila peranan penuh adalah 1 dan genotype aa dengan peranan hanya 1-
s, berarti genotype aa hanya menghasilkan keturunan sebesar 1-s.
Dengan mengkalikan frekuensi awal dengan kesuburan, diperoleh jumlah
relative anak atau peranan setiap genotype tertentu dalam generasi anak. Bila
dijumlahkan peranan semua genotype, maka dihasilkan jumlah sebesar 1- sq2 dan
frekuensi gen a pada generasi anak menjadi:
q2(1-s) + pq
q1 =
1-sq2

Dengan keterangan: gen a yang dihasilkan oleh aa adalah sebesar q2(1-s), yang
dihasilkan oleh Aa sebesar ½(2pq) = pq.
Perubahan frekuensi gen a yang terjadi, ∆q sebagai hasil seleksi satu
generasi seleksi terhadap aa adalah:
∆q = q1-q

q2 (1-s) + pq – q
= 1-sq2
-s q2 (1-q)
= 1-sq2

Terlihat bahwa frekuensi gen a berkurang dari q menjadi


s q2 (1-q)
= q-
1-sq2
Dari persamaan tersebut terlihat bahwa perubahan frekuensi gen tergantung pada s dan
frekuensi gen. pada s yang kecil dan q awal yang kecil penyebut persamaan tersebut
dapat dianggap mendekati 1 sehingga persamaan tersebut dapat disederhanakan
menjadi:
q = -s q2 (1-q) = -s q2p = -s pq2

Bila dinyatakan sebagai perubahan terhadap frekuensi gen A atau p maka:


+s pq2
∆p =
1-sq2

= +s pq2

Contoh
Bila dalam suatu populasi terdapat frekuensi gen a sebesar q = 0.1 dan koefisien
seleksi sebesar s = 0.5 maka perubahan frekuensi q adalah:

-0.5 x (1-0.1)x(0.1)2
∆q = =
2
-0.045 1-0.5x(0.1)

∆p = +0.00452
Faktor Kebetulan
Ini sering disebut sebagai penghanyutan genetic (genetic drift) dan terjadi
karena dalam pembentukan gamet atau perubahan terjadi peristiwa pencuplikansecara
untung- untungan yang menyimpang dari frekuensi gen yang ada dan dengan demikian
mengubah frekuensi gen pada generasi berikutnya. Karena perubahan ini terjadi secara
acak, maka hal ini kurang penting dan sailing meniadakan satu degna yang lainnya
dalam populasi yang besar. Tetapi dalam populasi kecil, perubahan secara kebetulan
dapat penting artinya.
Dalam populasi kecil fluktuasi acak mempunyai efek yang lebih penting. Dalam
kenyataan populasi ternak di pedesaan dapat berfluktuasi secara acak tak teratur karena
pengaruh musimatau serangan wabah penyakit yang dapat menyebabkan kematian pada
sebagian besar populasi sehingga pada suatu saat populasi turun secara drastic. Ternak
yang tersisa yang dapat bertahan akan mempumyai pengaruh yang menentukan
terhadap frekuensi gen pada generasi selanjutnya.

Besarnya perubahan yang dapat terjadididuga dari persamaan:

∆p = Vpq/2N

Dengan keterangan:
∆p = simpangan
baku p = frekuensi
gen A q = frekuensi
gen a N = jumlah
populasi
Suatu contoh. Pada populasi dengan N = 10 dan p = 0.6 terdapat simpangan baku
sebesar 0.11. ini berarti bahwa generasi selanjutnya fluktuasi frekuensi gen dapat
berkisar antara 0.49 (0.6-0.11) dan 0.71 (0.6 + 0.11).

Manipulasi DNA
Cara yang baru-baru ini dikembangkan untuk memisahkan gen individu atau
bagian dari DNA dan memindahkan antar sel-sel atau individu-individu dan dalam
beberapa hal memasukkan gen-gen dari spesies lain ke dalam genom dari suatu
organisme. Tekhnik ini dikenal dengan genetic engineering, gen transfer, gene splicing,
recombinant DNA. Dalam bebrapa hal, cara baru ini dapat dianggap suatu tipe migrasi
yang maju.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. PRINSIP SELEKSI

Seleksi merupakan suatu proses dimana individu-individu tertentu dalam suatu


populasi dipilih dan diternakkan untuk tujuan produksi yang lebih baik (segi kuantitas
dan kualitas) pada generasi selanjutnya.
Istilah seleksi dalam pemulian ternak menunjukkan suatu keputusan :
a. Keputusan yang diambil oleh para pemulia pada tiap generasi untuk menentukan
ternak mana yang akan dipilih sebagai tetua pada generasi berikutnya dan yang mana
disisihkan sehingga tidak memberikan keturunan.
b. Menentukan apakah dari individu yang terpilih akan dibiarkan mempunyai banyak
keturunan, sedangkan yang lain hanya akan mempunyai beberapa keturunan saja
Seleksi merupakan dasar utama dalam pemuliaan ternak. Akibat seleksi dalam populasi
adalah meningkatnya rataan dalam suatu sifat kearah yang lebih baik dan diikuti oleh
peningkatan keseragaman/homozigositas atau dengan perkataan lain penurunan
keragaman atau simpangan baku.
Secara umum seleksi dapat dibagi atas dua macam, yaitu :
a. Seleksi alam (natural selection) dimana seleksi terjadi secara spontan akibat
pengaruh alam.
b. Seleksi buatan (artificial selection); seleksi terhadap ternak/hewan yang dilakukan
oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya.

Seleksi alam
Digambarkan pada kejadian yang dialami oleh ternak-ternak liar yang mampu
meneruskan hidupnya pada kondisi alam yang berubah-ubah. Seperti adanya musim
yang berbeda, bencana alam ( seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir, dsb.),
musuh alam, keadaan pasture, temperature, penyakit dan parasit. Dalam hal ini dikenal
adanya istilah The survival of the fittest (yang kuat/mampu mengatasi pengaruh alam
yang berhasil hidup/berbiak).
Seleksi alam merupakan proses yang kompleks dan banyak faktor yang
menentukan perbedaan antara individu dalam populasi seperti : mortalitas, periode
aktifitas seksual, fertilitas, dsb.
Dengan adanya ternak yang berhasil mengatasi pengaruh alam tersebut, maka
secara tidak langsung alam telah menyeleksi ternak-ternak dalam populasi tertentu.

Seleksi buatan
Seleksi ini dilakukan oleh manusia, mana ternak yang dipilih untuk diternakkan
dan mana ternak yang tidak produktif lagi ditinjau dari kebutuhan dan tujuan manusia
itu sendiri. Dalam hal ini seleksi alam masih mempunyai pengaruh.
Akibat seleksi buatan adalah adanya perbedaan (dari segi kuantitatif dan kualitatif)
breed dan tipe ternak dalam suatu species.
Pengaruh seleksi terhadap genetik.
Seleksi tidak menciptakan gen yang baru dalam populasi ternak, tetapi
meningkatkan frekuensi gen yang baik/diinginkan untuk meningkatkan performansnya
dan mengurangi/meniadakan gen yang tidak baik/tidak diinginkan. Bila seleksi tidak
dilakukan., maka frekuensi gen akan tetap/tidak berubah.
Contoh :

P AA x AA F gen A = 0,5
F1 Aa F gen A = 0,5
F2 1AA, 2Aa, 1aa F gen A = 0,5
F3 4AA, 2AA, 4Aa, 2aa, 4aa F gen A = 0,5
dst
Kalau seleksi dilakukan dengan memilih ternak AA, Aa saja untuk diternakkan,
sedang aa diculling maka terjadi perubahan frekuensi gen. Misalkan pada F2 individu
aa diculling pada F3 akan terdiri dari 4AA, 2AA, 4Aa, 2aa
FA = 16/24 =
0,67 Fa = 8/24 =
0,33
Seleksi harus dilaksanakan secara kontinyu sehingga frekuensi gen yang
diinginkan akan meningkat.
Catatan

Contoh di atas hanya menggunakan contoh satu pasang gen untuk memudahkan
pengertian adanya perubahan frekuensi gen akibat tindakan seleksi dan culling. Pada
sifat kuantitatif, jumlah gen yang berperan adalah banyak sehingga pertimbangan
seleksinya berbeda dengan sifat kualitatif. Seleksi terhadap sifat kuantitatif didasarkan
pada nilai breeding ternak yang bersangkutan dan dalam hal ini performas populasi ikut
menentukan.

Sifat-sifat Penting pada Ternak sebagai Tujuan Seleksi


Telah dipahami bahwa tujuan seleksi adalah meningkatkan produktifitas ternak
melalui perbaikan mutu genetik ternak. Sejumlah sifat-sifat reproduksi dan produksi
ternak dapat dijadikan sasaran seleksi, baik satu persatu maupun sekaligus.
Karena jumlah sifat produksi yang dianggap penting cukup banyak jumlahnya,
maka terdapat kecenderungan untuk sekaligus menjadikan beberapa sifat penting
sebagai tujuan seleksi, yang pada umumnya mengakibatkan kekecewaan karena hasil
seleksi secara menyeluruh yang lambat. Suatu kenyataan yang terlihat dalam pemuliaan
ternak adalah semakin banyak sifat yang dimasukkan ke dalam program pemuliaan,
semakin lambat kemajuan yang akan dicapai dalam masing-masing sifat.
Untuk menanggulangi masalah tersebut diperlukan kebijakan penyusunan
program pemuliaan yang tepat, sehingga didalamnya ditentukan sejumlah kecil sifat-
sifat yang diberi prioritas utama dengan harapan bahwa kebijakan program pemuliaan
tersebut dapat berlaku dalam jangka panjang tanpa perubahan. Dalam menentukan sifat
mana yang sebaiknya diberi prioritas hendaknya dipilih sifat-sifat produksi yang
mempunyai nilai ekonomi tertinggi dan dalam jangka panjang diperkirakan akan tetap
memenuhi kebutuhan dan selera konsumen produk ternak yang dihasilkan.

Tabel 4. Sifat-sifat yang Mungkin Dipertimbangkan dalam Program Seleksi

Jenis ternak Sifat-sifat Objektif Sifat-sifat Subjektif


Ternak perah - produksi susu per laktasi - bentuk tubuh
(sapi, kerbau,
- produksi susu selama hidup - ketiadaan cacat
kambing
- persentase lemak - mudah diperah
- persentase bahan kering tanpa - tabiat
lemak
- tidak ada distocia
- lama memerah
- vigor
- berat lahir
- besar badan (konformasi tubuh
- umur saat pubertas
- selang beranak
Ternak - umur saat pubertas - Bentuk tubuh
potong/ kerja
- Melahirkan teratur - Ketiadaan cacat
(sapi dan
kerbau) - Berat lair - Tidak ada distocia
- Berat sapih - Libido jantan
- Laju pertumbuhan pasca sapih - Tabiat
- Efisiensi pakan - Bentuk karkas
- Bverat dewasa tubuh - vigor
- Sifat-sifat karkas
- Kemampuan kerja
Domba dan - Umur dan pubertas - Bentuk tubuh
kambing
- Fertilitas dan jumlah anak - Ketiadan cacat
potong
sepelahiran
- Berat badan, berat sapih dan
berat dewasa
- Berat sapih per induk domba
atau kambing
- Berat dan kehalusan bulu
domba
- Berat dan sifat-sifat karkas.

Domba wol - Berat bulu domba, berminyak - Mengkilatnya bulu dan


dan bersih adanya kerutan tang
- Berat serabut teratur
- Tak adanya kelemahan
- Warna wol
pada serabut ( breaks)
- Banyaknya bulu (% serabut - Kekusutan serabut
yang mempunyai medulla) (cotting)
- Naluri bergerombol - Ketiadan cacat

Babi - Fertilitas-frekuensi kelahiran - Bentuk tubuh


dan banyaknya anak sepelahiran
- Ketiadaan cacat
- Jumlah babi yang
disapih/pelahiran - Tabiat
- Berat sapih - Nafsu birahi jantan
- Laju pertambahan berat setelah
Disapih
- Umur saat berbobot untuk
dipasarkan
- Makanan prk kg pertambahan
berat
- Hasil karkas berlemak, tanpa
lemak dan potongan-
potongan
khusus

Unggas - Umur saat bertelur pertama kali - Tabiat


(petelur)
- Laju bertelur
- Daya hidup
- “Hen Housed Average”
- Makanan per kg telur
- Sifat-sifat telur
- Warna kuning telur
- Warna kulit telur
Unggas - Fertilitas - Bentuk karkas
(potong)
- Daya hidup
- Laju pertambahan berat
- Makanan per kg pertambahan
berat
- Panjang kaki
- Karkas, % daging dada
- Warna bulu
2.2 METODE SELEKSI

Dalam melaksanakan seleksi untuk tujuan pemuliaan ternak ada beberapa


metode yang dikenal dan dilaksanakan oleh para pemulia ternak untuk memperoleh
performans yang maksimum dari populasinya, baik untuk ternak bibit maupun ternak
komersial.
Seleksi sering tidak ditunjukkan terhadap satu macam sifat saja tetapi terhadap
beberapa macam sifat. Seleksi seharusnya kepada sifat-sifat yang betul betul penting
bila ditinjau dari segi ekonomi. Dalam praktek, sering seleksi tidak ditujukan dalam
satu kriteria saja, tetapi terhadap beberapa criteria. Sering pemulia menganggap bahwa
lebih dari satu sifat mempunyai nilai ekonomi yang sama penting. Sebagai contoh pada
domba: produksi wool dan produksi anaknya, pada sapi potong: kecepatan pertumbuhan
dan persentase karkas, pada sapi perah: produksi susu dan komposisinya, pada babi:
produksi anak, kecepatan pertumbuhan dan efisiensi penggunaan pakan.
Sifat yang betul-betul penting harus dipertimbangkan dengan seksama, karena
seleksi secara terus-menerus terhadap beberapa sifat dapat menurunkan diferensial
seleksi.
Ada empat macam cara untuk melakukan seleksi terhadap beberapa macam sifat
yaitu :
a. Seleksi tandem (Tandem method)
b. Seleksi Penyingkiran secara Bebas (Independent culling Level)
c. Seleksi Indeks ( Index Selection)
d. Most Probable Producing Ability (MPPA)/Estimated Real Producing Ability
(ERPA)

2.3 SELEKSI TERNAK BREEDING SUPERIOR

Kemajuan yang ingin dicapai oleh pemulia ternak dengan jalan breeding dan seleksi
adalah tergantung pada kemampuan untuk mendapatkan ternak-ternak yang mempunyai
genetic yang superior dan selanjutnya memberikan kesempatan pada ternak-ternak
tersebut untuk bereproduksi. Untuk mendapatkan ternak dengan genetic yang superior,
metode yang dipakai adalah dengan menduga Nilai Pemuliaan (Breeding Value) individu-
individu yang dinilai.
Pendugaan Nilai Pemuliaan ditentukan oleh gen-gen dari tetua yang diteruskan kepada
anak-anaknya. Setiap anak akan menerima setengah gen secara acak dari pejantan dan
setengah dari induknya. Pendugaan nilai pemuliaan didasarkan atas estimasi pengaruh
seluruh gen individu yang diwariskan melalui amak-anaknya didalam populasi kawin
acak. Hardjosbroto mendefinisikan nilai pemuliaan sebagai suatu penilaian mutu genetik
ternak untuk suatu sifat tertentu yang diberikan secara relative atas dasar kedudukannya
didalam populasi.
Ada empat cara pendugaan nilai pemuliaan (breeding value =BV) yaitu:
1. Individual test
Seleksi dengan cara ini berarti bahwa suatu individu dipilih atau disisihkan
untuk tujuan breeding berdasarkan fenotipenya sendiri untuk satu atau beberapa
sifat
tertentu. Kemajuan yang diperoleh akan tergantung pada korelasi antara gernotipe dan
fenotipe sifat tersebut. Korelasi ini bisa tinggi atau rendah sangat tergantung pada
factor lingkungan dan /atau interaksi antara genotipe dan lingkungan.
Secara umum pendugaan BV individu ternak untuk sifat kuantitatif adalah
dengan formula:
_ _
PBV = P + b1 ( Pi – P )

Dengan keterangan:
b1 = koefisien regresi genotype individu dengan
fenotipenya PBV = probable breeding value
_
P = rataan fenotipe individu
contemporary Pi = nilai fenotipe individu
terseleksi

Koefisien regresi untuk genotipe dan fenotipe sifat-sifat ternak tertgantung pada
heritabilitas sifat yang bersangkutan dan akurasi seleksi meningkat dengan
meningkatnya nilai heritabilitas suatu sifat ditunjukkan pada tabel
Sebagai ilustrasi, dengan menggunakan formula diatas akan dihitung BV suatu
individu. Individu dengan pertambahan bobot badan 2.50 lb per hari dibandingkan
dengan rataan pertambahan bobot badan 1.80 lb per hari, bila heritabilitas sifat yang
bersangkutan 50 persen, yang berarti bahwa koefisien korelasi (b 1) adalah 0.50. BV
individu adalah 1.80
+ 0.50 ( 2.50 – 1.80 ) atau 2,15 lb per hari. Seleksi ternak untuk tujuan breeding
kemudian dilakukan berdasarkan nilai BV-nya yang tertinggi.
Tabel 5. Koefisien Regresi ( b1) antara Genotype dan Fenotipe dan Akurasi Seleksi Bila
Seleksi Didasarkan atas Fenotipe Individu
Heritabilitas suatu sifat Akurasi seleksi
Atau koefisien regresi b1
0.01 0.32
0.02 0.45
0.03 0.55
0.04 0.63
0.05 0.71
0.06 0.77
0.07 0.84
0.08 0.89
0.09 0.95
1.00 1.00
Akurasi seleksi dihitung dari √b1

2. Pedigree test
Pedigree adalah merupakan catatan nenek moyang (ancestor) individu tertentu.
Catatan tersebut memberikan informasi mengenai nama,nomor ancestor, sifat-sifat
genotipe, fenotipe atau performa ancestornya.
Pada sifat kualitatif dikenal “pedigree clean” artinya individu-individu pada
pedigree tersebut tidak ada yang membawa gen dengan sifat cacat (carrier). Dan
“pedigree dirty”, istilah yang dipergunakan pada pedigree dimana individu-individu ada
yang membawa sifat cacat (carrier).
Pendugaan nilai pemuliaan sifat kuantitatif tergantung pada ancestor yang
dipergunakan, sebab derajat hubungan (relationship) antara individu dengan
ancestornya berpengaruh terhadap ketelitian/akurasi seleksi. Ketelitian seleksi
berdasarkan catatan parent akan lebih teliti daripada catatan grandparent dan
grandparent akan lebih teliti daripada catatan great-grandparent dan seterusnya (Tabel
6).
Tabel 6. Akurasi Seleksi pada Berbagai Derajat Heritabilitas Bila Seleksi Didasarkan
Atas Catatan Individu atau Individu Plus Moyang
Catatan Akurasi seleksi pada berbagai
derajat heritabilitas
Heritabilitas 0.10 0.30 0.50 0.70 0.90 1.00

Catatan individu 0.316 0.548 0.707 0.837 0.949 1.00


Individu + 1 parent 0.347 0.581 0.730 0.847 0.950 1.00
Individu + 1 parent +1 grandparent +1 Great grandparent
0.376 0.614 0.756 0.861 0.953 1.00
Sire dan Dam + 4 grantparent
0.265 0.434 0.534 0.609 0.674 0.707

Koefisien regresi untuk menduga nilai pemuliaan (PBV) individu berdasarkan


fenotipenya sendiri dan fenotipe beberapa ancestor diberikan pada table 7 Pendugaan
PBV individu didasarkan atas fenotipe sendiri atau salah satu ancestor dikalkulasi
berdasarkan formula Pi + bi ( Pj + Pi ) dengan keterangan bi = koefisien regresi untuk
sifat ke- i, Pj = catatan fenotipe individu ke-j, Pi = rataan fenotipe individu
contemporary.

Tabel 7. Koefisien regresi untuk memprediksi nilai pemuliaan (PBV) individu dari
informasi fenotipe individu atau moyang tertentu
Heritabilitas suatu sifat
Koefisien regresi 0.10 0.30 0.50 0.70 0.90 1.00

Catatan individu b1 0.100 0.300 0.500 0.70 0.90 1.00


Catatan parent b2 0.050 0.150 0.250 0.350 0.450 0.500
Catatan grantparent b3 0.025 0.075 0.125 0.175 0.225 0.250
Greatgrantparent b4 0.012 0.038 0.062 0.088 0.112 0.125
Informasi yang diringkas pada table 7 digunakan untuk memprediksi PBV
individu dari catatan individu berbagai kombinasi ancestor tertentu. Oleh karena dua
atau lebih derajat hubungan dipergunakan, maka digunakan koefisien regresi parsial.

3. Progeny-test
Seleksi dengan cara progeny berarti bahwa individu dipilih berdasarkan atas
performa anak-anaknya(progeny). Pada sifat kualitatif, genotipe individu ditentukan
berdasarkan atas fenotipe anak-anaknya. Individu heterozigot, bila salah satu anaknya
ada homozigot resesif. Bila dari anak-anaknya yang lahir kebanyakan menampakkan
sifat dominant tanpa ada yang resesif, kemungkinan individu tersebut adalah homozigot
tetapi tidak pasti.
Progeny-test pada ternak sapi diperlukan perkawinan satu pejantan dengan kira-
kira 35 full-sisternya. Pada babi satu pejantan memerlukan full-sisternya sebanyak 5-7
ekor. Pada pelaksanaan progeny test sebagai ternak tester dipakai ternak homozigot
resesif atau ternak yang sudah diketahui sebagai carrier gen resesif.
Untuk sifat kuantitatif, prinsip yang tercakup adalah tiap progeny memperoleh
50% sifat yang diwariskan dari masing-masing tetuanya. Ada beberapa tindakan yang
diperlukan untuk ketelitian progeny test:
1. induk-induk yang dikawinkan dengan pejantan harus dipilih secara acak.
2. makanan dan cara pemberiannya harus distandarisir.
3. Untuk mengurangi pengaruh lingkungan, jangan memberikan makanan semua
progeny setiap pejantan pada satu kandang yang sama, harus diadakan rotasi
terhadap kelompok progeny untuk pejantan-pejantan yang laion.
4. antara kelompok tetua yang berbeda diusahakan lingkungan dan lokasi yang
sama.
5. bila mungkin usahakan mendapat kelompok tetua yang lahir bersamaan.
6. kesehatan kelompok ternak diusahakan sama walaupun superioritasnya berbeda.
7. progeny yang lebih banyak untuk tiap tetua memberikan ketelitian pendugaan
nilai pemuliaan yang lebih baik, maka usahakan jumlah progeny yang sebanyak-
banyaknya tetapi sama untuk tiap kelompok pejantan.
Akurasi seleksi relative didasarkan atas progeny test dibandingkan dengan
seleksi atas dasar individu ditunjukkan pada table 9. Akurasi seleksi relative dikalkulasi
dari korelasi PBV tetua dengan rataan fenotipe progeny (rGP0) dibagi dengan akar
heritabilitas suatu sifat. Diekpresikan dengan rGP0/h. Tabel 9 menunjukkan bahwa
progeny test bila dibandingkan dengan seleksi individu adalah relative lebih akurat pada
level heritabilitas yang lebih rendah dan progeny test dengan mempergunakan 5
progeny per tetua adalah seimbang dengan individual test.
Pada prinsipnya pendugaan PBV suatu individu atas dasar progeny adalah sama
dengan yang lainnya

Contoh, Dari tiga pejantan yang akan diseleksi diperoleh masing-masing anak
sebanyak tiga ekor tiap pejantan. Rata-rata pertambahan bobot badan per hari progeny
A = 0.70 Kg, progeny B = 0.60 Kg, dan progeny C = 0.80 Kg. Rata-rata pertambahan
bobot badan harian seluruh progeny adalah 0.50 Kg. Bila heritabilitas sifat ini adalah
50%, maka
PBV A = 0.50 + 0.50x0.50 (3/(1+2x0.25x050)(0.70-0.50) = 0.62 Kg
PBV B = 0.50 + 0.50x0.50 (3/(1+2x0.25x050)(0.60-0.50) = 0.56 Kg
PBV C = 0.50 + 0.50x0.50 (3/(1+2x0.25x050)(0.80-0.50) = 0.68 Kg
Dari perhitungan diatas ternyata PBV C yang palig tinggi, maka ternak C yang akan
dipilih.

4. Sib-test
Adalah seleksi atas dasar data/performa rata-rata saudara-saudaranya (half-sibs
= saudara tiri, full-sibs = saudara kandung). Prinsip sibs-test untuk mengestimasi PBV
adalah sama dengan pedigree test dan progeny test.
Akurasi/ketelitian seleksi berdasarkan fenotipe sibs tergantung pada heritabilitas
suatu sifat, derajat relationship ( R ) antara sibs dengan individu yang diseleksi, jumlah
sibs dan derajat korelasi ( t ) antara fenotipe sibs.
Akurasi seleksi dikalkulasi dengan formula dibawah ini:
Rh √ (n/ 1+(n-1)t)

2.4 RESPON SELEKSI

Respon yang diperoleh akibat seleksi yang dilakukan ada tiga yakni:
1. Genetik respon
2. Respon in the current generation
3. Correlated respon

1. Genetik respon
Adalah respon yang diberikan dari suatu populasi untuk generasi berikutnya.
Respon ini ditentukan oleh heritabilitas sifat yang bersangkutan dan diferensial seleksi
pada populasi tersebut. Genetik respon dapat diformulasikan sebagai dibawah ini.
R G = h2 x S
S = Pi -P
Dengan keterangan
RG = genetik respon
h2 = heritabilitas sifat yang diseleksi
S = diferensial seleksi, yaitu keunggulan sifat ternak yang diseleksi untuk
pengganti tetua yang diafkir terhadap rataan performan populasi dari
mana mereka terseleksi.
Pi = performan individu
P = rataan performan populasi
Dalam pendugaan respon genetik untuk sifat-sifat yang mempunyai distribusi
normal, dapat menggunakan “standardized selection differential” yang disimbulkan
dengan huruf i, dapat diformulasikan i = S/Sd dengan Sd adalah standar deviasi sifat
yang diseleksi. Nilai i ditentukan dari proporsi ternak-ternak yang diseleksi dengan
ternak tersedia untuk diseleksi. Nilai i disajikan pada tabel 14. Dalam tabel tersebut
terlihat bahwa semakin besar intensitas seleksi maka i semakin kecil.
2. Respon in the current generation (Rc)
Di samping pengaruh terhadap generasi mendatang, seleksi juga berpengaruh
terhadap peningkatan selama masa hidupnya dari ternak/populasi yang diseleksi.
Diharapkan bahwa ternak yang diseleksi untuk produksi yang tinggi pada permulaan
hidupnya akan memberikan produksi yang tinggi dalam hidupnya. Ini adalah konsep
dari pada “Respons in the current generation “.
Definisi : respons ini dapat didenifisikan sebagai perbedaan antara produksi
dalam masa hidup dari pada kelompok ternak yang diseleksi dengan produksi seluruh
populasi dari mana ternak tersebut diseleksi .
Untuk menduga Rc ini, parameter yang perlu diketahui adalah Ripitabilitas sifat
yang diseleksi yang didenifisikan sebagai perbandingan dari pada varians phenotypis
total yang disebabkan oleh perbedaan antara ternak-ternak yang permanent. Ini
disebabkan oleh pengaruh genetik dan lingkungan yang tetap (permanen).
Rc = r x i x Sd
Dalam hal ini respons yang sering dijumpai adalah produksi yang di tunjukkan oleh
ternak beberapa kali selama masa hidupnya . Kebanyakan sifat demikian ditunjukan
oleh ternak betina sehingga dalam hal ini i yang dipakai adalah i betina saja (diferensial
seleksi ternak betina ) untuk periode n tahun Rc adalah = n.Rc. Sehingga untuk n tahun
maka R total = ½ n ( n+1)Ry + nRc.

3. Correlated Response (CR2.1)


Correlated response dimaksud adalah respon yang terjadi pada sifat tertentu (2)
akibat seleksi dari sifat yang lain (1). Respon ini terjadi karena sifat 2 dan sifat 1
mempunyai korelasi genetik. Respon akan dijumpai pada sifat 2 walau sifat tersebut
tidak diseleksi. Correlated response dapat diformulakan sebagai dibawah ini.
CR2.1 = rG x h1 x h2 x i x Sd2

Dengan keterangan:
rG = korelasi genetic antara sifat 1 dan
2 h1 = akar heritabilitas sifat 1
h2 = akar heritabilitas sifat 2
i = standardized selection
differensial Sd2 = standar deviasi sifat
2
Sistem Nucleus
Dalam populasi yang besar kadang-kadang perkawinan ternak tidak selalu
secara acak, tetapi kadang-kadang dibagi dalam dua kelompok yakni Sire Breeding
Nucleus dan General Population. Sire breeding nucleus terdiri atas jantan dan betina
terbaik, hanya ternak jantan yang lahir dari nucleus yang dipilih untuk dijadikan
pejantan. Keturunan jantan yang lahir dari general population semua dikastrasi atau
dijual sebelum mampu bereproduksi.
Pada sistem nucleus ada empat jalan untuk memperoleh respon genetik yaitu
1. Seleksi jantan yang dipakai pada nucleus (i1)
2. Seleksi jantan yang dipakai pada seluruh populasi (i2)
3. Seleksi betina yang dipakai pada nucleus (i3)
4. Seleksi betina yang dipakai pada seluruh populasi (i4)
Dengan demikian maka dipergunakan standardized selection differential rata-rata yaitu
¼ ( i1 + i2 + i3 + i4 )

Contoh
Suatu populasi ternak sapi terdiri atas 400 ekor betina, dimana 100 dari padanya
dipergunakan sebagai breeding nucleus. Seks rasio antara pejantan dan betina adalah 1 : 25,
berarti 4 ekor pejantan terbaik dipakai untuk mengawini 100 betina nucleus diatas. 300 betina
lain dikawinkan dengan 12 pejantan terbaik yang lain. Bila calving rate 80% maka setiap
tahun akan dihasilkan 320 ekor anak sapi. Dengan rasio seks 1:1, maka masing-masing anak
jantan dan betina berjumlah 160 ekor. Dalam kelompok nucleus kelahiran anak 80% x 100 =
80 ekor, yantg terdiri atas 40 jantan dan 40 ekor betina.
Dari kelahiran anak-anak ini berarti ternak yang tersedia untuk diseleksi untuk
pengganti pejantan yang tua sebanyak 40 ekor (yang berasal dari kelahiran kelompok
nucleus saja) dan untuk pengganti induk sebanyak 160 ekor yang berasal dari kelahiran
seluruh populasi (nucleus dan general population).
Bila kelahiran anak pertama terjadi pada saat umur pejantan dan induk 2 tahun dan
kelompok umur pejantan ada 2 (2 dan 3 tahun), sedangkan kelompok induk ada 5
(2,3,4,5 dan6 tahun) berarti setiap tahun perlu pengganti ½ jumlah pejantan dan 1/5
induk dalam populasi tersebut.
Pejantan pengganti yang diperlukan setiap tahun pada nucleus adalah sebanyak
4/2 = 2 ekor, maka intensitas seleksinya 2/40 = 0.05. dan i 1 = 2.06 (table 12). Untuk
keseluruhan populasi pejantan yang diperlukan sebanyak 16/2 = 8 ekor, dengan
intensitas seleksi 8/40 = 0.2 dengan i2 = 1.4.
Betina pengganti yang diperlukan setiap tahun adalah 100/5 = 20 ekor pada
nucleus dan 400/5 = 80 ekor untuk untuk seluruh populasi. Maka i3 = 1.65 dari
intensitas seleksi 20/160 = 0.125 dan i4 = 0.8 dari intensitas seleksi 80/160 = 0.5.
Maka i rata-rata = ¼ (2.06 + 1.4 + 1.65 + 0.8 = 1.48.
Selang generasi pejantan adalah (2 + 3)/2 = 2.5 tahun dan induk = (2 + 3 + 4 + 5 + 6)/5
= 4 tahun. Selang generasi rata-rata adalah ½(2.5 + 4) = 23.25 tahun.
Bila sifat yang diseleksi adalah bobot sapih dengan standar deviasi (Sd) 40 kg
dan heritabilitas bobot sapih adalah 40% maka:
Respon per tahun Ry = (0.4 x 1.48 x 40)/3.25 = 7.28 Kg. dengan demikian
dapat diduga bahwa untuk tahun berikutnya bobot sapih populasi tersebut = 80 + 7.28
=
87.28 Kg. dengan bobot sapih semula 80 Kg.
Meningkatnya fertilitas dalam populasi berakibat jumlah anak yang dilahirkan
akan lebih banyak, berarti jumlah anak yang tersedia sebagai pengganti lebih banyak
pula, sehingga intensitas seleksi semakin kecil, yang akhirnya berakibat standardized
selection differential lebih tinggi, maka respon seleksi yang dipoeroleh akan lebih
tinggi.
Pemeliharaan tetua yang lebih lama dalam populasi berarti kelompok umur lebih
banyak dan hal ini berakibat jumlah ternak pengganti yang diperlukan lebih sedikit
sehingga intensitas seleksi lebih kecil dan standardized selection differential lebih besar
sehingga respon lebih tinggi, tetapi dilain pihak selang generasi akan lebih panjang
yang berakibat respon per tahun lebih kecil. Dengan demikian pemulia ternak dituntut
untuk dapat menentukan komposisi ternak yang meliputi umur tetua yang mulai
dikawinkan untuk pertama kali dan sampai umur berapa tetua dipelihara, sehingga
diperoleh respon yang setinggi-tingginya.
Penggunaan jumlah pejantan yang lebih sedikit dapat pula meningkatkan respon
karena proporsi seleksi yang lebih kecil, standardized selection differential makin besar.
Tetapi penggunaan pejantan yang terlalu sedikit akan meningkatkan inbgreeding yang
berakibat berkurangnya vigor dan produktivitas dan ragam genetik yang mengecil yang
berakibat heritabilitas makin rendah.

2.5 SISTEM BREEDING

Upaya penting dalam pemuliaan disamping seleksi adalah sistem pembiakan


(system breeding). Pada cara-cara seleksi yang mempersoalkan individu atau kelompok
mana ternak yang mana yang akan dijadikan tetua pada generasi berikutnya, maka
dalam system pembiakan dipermasalahkan adalah individu atau kelompok ternak
terseleksi mana akan breeding atau dikawinkan untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan
terpenting dalam hal ini adalah menghasilkan perubahan dalam susunan genetik ternak
yang dimuliakan.
System breeding terbagi menjadi tiga kelompok utama yaitu:
1. Assortative mating (Biak setara).
2. Inbreeding (Biak dalam)
Close
breeding Line
breeding
3. Out breeding (Biak luar)
Outcrossing
Upgrading
Crossbreedin
g
Crossing 2 breed
Crisscrossing
Rotational
crossing
Line crossing
Extreme
crossing
1. Assortative Mating
Assortative mating adalah perkawinan antara individu yang mempunyai kemiripan
yang nampak dari luar atau kemiripan fenotipik. Karena fenotipe juga merupakan
ekspresi dari genotype, maka perkawinan ini akan mempengaruhi frekuensi genotype.
Dalam hal ini generasi turunannya akan terjadi peningkatan homozigositas. Kebalikan
dari system ini adalah disassortative mating, akan menghasilkan peningkatan
heterozigositas. Dalam hal ini terdapat empat kemungkinan dalam pelaksanaan
perkawinan, misalnya
Assortative mating : besar x besar-----------besar
Kecil x kecil------------kecil
Sedang x sedang sedang
Diassortative mating : besar x kecil------------sedang
2. Inbreeding
Inbreeding ( biak dalam) adalah perkawinan antara individu yang berkerabat
(related) lebih dekat dari kekerabatan rata-rata dalam populasi. Individu berkerabat
adalah yang mempunyai tetua bersama atau moyang bersama beberapa generasi
sebelumnya. Individu berkerabat apabila individu tersebut mempunyai moyang bersama
kurang dari 6 generasi. Kekerabatan terdekat pada ternak adalah antara tetua denagan
anak dan antara saudara kandung, kemudian antara saudara tiri.

Akibat genetik inbreeding:


1. meningkatnya homozigositas keseluruhan sehingga peluang bahwa gen resesif
akan dapat berpasangan secara homozigus dan dapat menampakkan
pengaruhnya pada fenotipe hewan. Gen resesif yang berpengaruh buruk akan
mengakibatkan penurunan produktivitas ternak.
2. terhadap populasi secara keseluruhan adalah meningkatnya keragaman genetik
secara keseluruhan, akan tetapi menurunnya keragaman genetik atau
meningkatnya keseragaman dalam galur yang terbentuk, sedangkan keragaman
antar galur juga meningkat.

Akibat fenotipik inbreeding:


Pada sifat yang banyak dipengaruhi oleh pengaruh gen yang beraksi secara
overdominan seperti sifat reproduksi maka inbreeding mengakibatkan memburuknya
kemampuan reproduksi dan produksi seperti terlihat pada tabel dibawah. Dari tabel
tersebut dapat dilihat bahwa dengan peningkatan koefisien inbreeding 10 persen
terdapat penurunan pada sifat-sifat tertentu. Akibat tersebut dapat mengakibatkan
kerugian yang cukup berarti bagi peternak.
Manfaat inbreeding
Inbreeding sangat sedikit dilaksanakan untuk tujuan ternak komersial tetapi
untuk ternak bibit (seed stock) dapat dilaksanakan karena:
1. meningkatkan homozigositas sehingga keturunannya lebih seragam. Hal ini
merupakan salah satu kriteria ternak bibit.
2. bila gen-gen dominant banyak, maka prepotensi ternak inbred dapat
ditingkatkan karena tergantung pada hohozigositas gen yang dominant.
3. memungkinkan kombinasi gen-gen yang baik dari breed tertentu.
4. dapat dipakai menentukan genotype suatu individu dengan suatu uji.
5. dapat dipakai untuk seleksi terhadap suatu gen resesif yang mempunyai nilai
ekonomis penting.
6. dapat dipakai untuk membuat line/inbreed line tertentu
7. penting untuk menentukan tipe aksi gen yang berpengaruh terhadap sifat
ekonomis ternak.
1. Outbreeding
Out breeding adalah perkawinan antara ternak-ternak yang hubungan keluarganya
jauh atau tidak ada (unrelated). Ternak-ternak yang unrelated bila ternak tersebut tidak
mempunyai ancestor yang sama sebelu generasi keenam. Outbreeding umumnya
disengaja dilakukan untuk menggabungkan sifat-sifat baik dengan jalan memasukkan
darah baru yang merupakan sekelompok ternak (umumnya pejantan) yang didatangkan
dari luar kelompok sehingga mempunyai hubungan kekeluargaan yang jauh.
Secara genetik persilangan menaikan persentase heterozigositas, sehingga
dengan demikian menaikkan keragaman genetik. Tujuan utama dari persilangan adalah
menggabungkan dua sifat atau lebih yang berbeda yang semula terdapat dalam dua
bangsa ternak ke dalam satu bangsa silangan. Secara teknis persilangan dikerjakan
dengan maksud:
a. menggabungkan dua sifat atau lebih yang berbeda yang semula terdapat dalam
dua bangsa ternak ke dalam satu bangsa silangan
b. pembentukan bangsa baru
c. grading up
d. pemanfaatan heterosis.

A. Outcrossing
Outcrossing adalah perkawinan antara ternak-ternak yang tidak ada hubungan
kekeluargaan dalam satu breed murni yang sama. Outcrossing diperlukan untuk
merubah tipe suatu kelompok ternak agak drastis, karena perubahan permintaan pasar,
perubahan fashion atau karena standar seleksi yang tidak realistis dalam suatu
kelompok.

B. Up grading
Up grading adalah tipe breeding dimana pejantan pure bred dipakai untuk
meningkatkan breed native dengan jalan mengawinkan anak-anak betina hasil
persilangan kedua breed, dari generasi ke generasi dengan pejantan murni tersebut.
A
C
B D
A E
A F dan seterusnya
A
Darah pejantan murni A yang terkandung dalam keturunan dari generasi ke
generasi meningkat seperti dibawah ini:
Ternak C membawa darah A : 50%
Ternak D membawa darah A : 75%
Ternak E membawa darah A : 87.5%
Ternak F membawa darah A :
93.75%

C. Crossbreeding
Crossbreeding adalah perkawinan antara ternak-ternak yang berbeda breed.
Crossbreeding dilakukan dengan tujuan adalah produksi ternak komersial karena:
1. untuk mendapatkan keuntungan dari heterosis/vigor yaitu keunggulan crossbred
daripada rata-rata kedua tetuanya.
2. untuk mendapat keuntungan yang setinggi-tingginya dari kualitas yang baik yang
terdapat pada kedua breed yang berbeda tipe.
Crossbreeding sering dipergunakan lebih luas yaitu crisscrossing dan rotasional
crossing.

C.1. Crossing dua bangsa


Yang dimaksud dengan persilangan ini adalah suatu persilangan antara bangsa
induk dengan induk dengan satu macam bangsa pejantan. Persilangan kemudian
dihentikan sampai disini, karena hasil silangannya telah dapat dikomersiilkan. Sebagai
contoh persilangan antara sapi Brahman x Angus yang menghasilkan sapi Brangus,
Brahman dengan Hereford menghasilkan sapi Braford. Kedua hasil silangan ini
kemudian digemukkan dan dipotong.

C.2. Crisscrossing.
Disini induk-induk breed A dikawinkan dengan pejantan breed B. Crossbred diseleksi lalu
dikawinkan kembali dengan pejantan breed A, dari hasil silangan betina- betina diseleksi lalu
dikawinkan dengan pejantan breed B dan seterusnya

DAFTAR PUSTAKA

Becker, W.A. 1985. Manual of Quantitative Genetics. 4th ed. Academic Enterprises,
Pullham, Washington.
Falconer, D.S. 1982. Introduction to Quantitative Genetics. 2nd ed. Longman, New York
Hammond, K., H.U. Graser, and C.A. Mcdonald.1992. Animal Breeding. Post graduate
foundation publication in Veterinary Science. University of Sydney

Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak Di Lapangan.


PT.Widiasarana Indonesia, Jakarta

Lasley, J.F. 1978. Genetics of Livestock Improvement. 3rd ed. Prentice Hall of India
Private Limited, New Delhi

Martojo, H. 1990. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. IPB Bogor.

Vleck, D.V. 1979. Summary of Method for Estimating Genetics Parameters Using
Simple Statistical Model. Cornell University.

Warwick, E.J.,J.M.Astuti. dan W. Hardjosubroto. 1987. Pemuliaan Ternak. Gadjah


Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai