Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH MANAJEMEN KESEHATAN RUMINANSIA

PBL: Tugas Modul

“Manajemen Ternak Ruminansia Sapi Potong”

Disusun Oleh :
KELOMPOK 1 2019D

Shafa Luvena Pradhantya ( 195130100111055 )


Anisah Fathinah ( 195130100111064 )
Adzhar Syafiq Ardiansyah ( 195130100111070 )
Faishal Hilmy Yassar ( 195130100111071 )
Salsabila Zahra Aldifa ( 195130100111074 )
Hanifah Ulfah ( 195130100111075 )
Wulan Fiwanti ( 195130101111047 )
Eunike Prasetyowati ( 195130101111054 )
Nurul Fitri Ramadani ( 195130101111056 )
Malvin Alrasyid Suyoto ( 195130107111050 )

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan banyak nikmat. Selain itu penulis juga merasa sangat bersyukur karena
telah mendapatkan hidayah-NYA baik iman maupun islam. Dengan nikmat dan
hidayahnya pula kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Penulis
menyadari dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan dari isi,
struktur penulisan, dan gaya bahasa. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik
dan saran untuk perbaikan makalah di kemudian hari. Demikian semoga makalah
ini memberi manfaat umumnya pada para pembaca dan khsusnya bagi penulis
sendiri, Aamiin.

Malang, 26 Maret 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul 1

Kata Pengantar 2

Daftar Isi 3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 4


1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Tujuan 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sapi Potong 6


2.2 Penyakit Yang Sering Dialami Sapi Potong 7

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Jenis Sapi Potong 13


3.2 Kandang Sapi Potong 18
3.3 Manajemen Kesehatan 19

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan 21

Daftar Pustaka 22

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Usaha ternak di Indonesia, khususnya sapi potong sampai sekarang


mengalami banyak kendala dalam produktivitas. Selain itu ada masalah perkawinan
lebih dari 3 kali, kematian pedet tinggi dan banyak pemotongan sapi betina yang
produktif serta kuantitas pakan yang rendah. Hal tersebut mengakibatkan
pengembangan usaha ternak sapi di Indonesia menjadi lambat, sehingga dalam
memenuhi kebutuhan daging dalam negeri dilakukan impor hampir sebanyak 30%
dari jumlah pasokan daging nasional. Padahal dalam statistika secara realistis. Sub
sektor peternakan adalah salah satu sektor yang sangat strategis dalam
mengembangkan ekonomi Indonesia secara devisa dan membantu mata
pencaharian seluruh Warga Negara Indonesia, yang mana merupakan negara
agraris dan maju sektor agrikulturnya di Asia dan di mata dunia internasional
(Ernawati dkk, 2013). Kenyataan bahwasanya di lapangan, setiap peternak yang
ada di Indonesia masih menggunakan ilmu berdasarkan pengalaman dan ilmu
secara turun-temurun dan kurang dalam pemanfaatan IPTEK dalam usaha
ternaknya.

Menurut Direktorat Perbibitan Ternak (2014) banyak hal yang harus


diperhatikan dalam melakukan manajemen ternak sapi potong. Optimalisasi utama
yang dilakukan antara lain adalah manajamen sarana dan prasarana yang baik,
penggunaan bibit dan pemeliharaan bibit sapi potong teratur, manajemen kandang
yang efektif dan pelaksanaan biosecurity guna mencegah masuknya penyakit pada
hewan dan menularkan kepada manusia (zoonosis). Oleh karena itu, besar harapan
kami dari literatur yang kami buat, dapat membantu peternak di Indonesia untuk
berkembang lebih baik menggunakan IPTEK dan dasar ilmu ilmiah untuk
membangun usaha peternakan sapi potong yang lebih maju dan kesejahteraan
hewan yang lebih baik dari dasar ilmu yang telah ada dengan penelitian empiris.

4
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu sapi potong?


2. Apa saja penyakit yang sering dialami sapi potong dari berbagai jenis sapi
potong?
3. Bagaimana sistem perkandangan sapi potong?
4. Bagaimana manajemen kesehatan sapi potong?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui defnisi dari sapi potong


2. Mengetahui penyakit-penyakit yang dialami sapi potong dari berbagai jenis
sapi potong
3. Mengetahui sistem perkandangan sapi potong
4. Mengetahui manajemen kesehatan pada sapi potong

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Sapi Potong

Sapi potong merupakan ternak yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai
penghasil daging. Ciri-ciri sapi potong memiliki tubuh besar, kualitas daging tinggi,
laju pertumbuhan cepat, efesiensi pakan tinggi dan mudah dipasarkan (Utami,
2016). Ternak sapi potong menjadi sumber daya penghasil daging yang memiliki
nilai ekonomi tinggi dan penting dalam kehidupan masyarakat (Sudarmono dan
Sugeng, 2008). Khususnya untuk pemenuhan kebutuhan pangan kelompok protein
hewani. Permintaan terhadap daging sapi akan terus meningkat seiring dengan
pertambahan penduduk, peningkatan daya beli masyarakat dan pertumbuhan
ekonomi nasional (Susanti dkk, 2014). Namun pertumbuhan terhadap penambahan
produksi dan populasi sapi potong rendah sehingga belumm mampu mengimbangi
angka permintaan. Pengembangan sapi potong mengalami hambatan karena
keterbatasan pejantan unggul untuk pembibitan ternak, ketersediaan pakan yang
kontinyu, rendahnya indeks reproduksi dan kualitas sumberdaya manusia. Tingkat
pendidikan akan mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia dan manajemen
pemeliharan sehingga dapat juga meningkatkan kesuksesan dari suatu peternakan.

Peternakan sapi potong di Indonesia umumnya masih menggunakan sistem


pemeliharaan secara tradisional dengan pakan yang mengoptimalkan hijauhan dan
limbah pertanian (Utami, 2016). Terkadang masih banyak ternak sapi potong yang
dijual dalam keadaan kurus, tua dan tidak produktif lagi. Sehingga ternak sapi
potong di Indonesia masih banyak membutuhkan usaha penggemukan untuk
menghasilkan daging yang optimal (Pawere dkk, 2012). Untuk meningkatkan
kualitas genetik dari sapi potong, dilakukan seleksi populasi ternak dengan cara
proses persilangan (Utami, 2016). Bangsa sapi yang baik untuk digemukkan adalah
bangsa sapi campuran keturunan pertama (F1) yaitu hasil dari persilangan antara
sapi lokal dengan sapi impor. Performa produksi hasil persilangan keturunan
pertama biasanya lebih bagus dibandingkan bangsa sapi lokal (Pawere dkk, 2012).

6
2.2 Penyakit Yang Sering Dialami Sapi Potong

2.2.1 Penyakit Bakterial


Penyakit bakterial adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
bakteri. Penyakit bakterial ada yang bersifat menular dan ada yang tidak
menular. Beberapa bakteri bersifat oportunistik artinya bakteri yang
apatogen tetapi karena suatu kondisi tertentu berubah menjadi patogen
(Handoko, 2008). Beberapa jenis penyakit menular antara lain:
1. Busuk Kuku
Menurut Handoko (2008) busuk kuku atau foot root adalah infeksi
kuku yang menahun dan menyebabkan peradangan hebat diantara jari
kuku. Penyebab penyakit ini ialah kuman Fusifomis necrophorus yang
hidup ditanah dan bersifat anaerob. Bakteri ini sebenarnya tidak dapat
menembus kulit yang utuh. Penyakit ini baru akan menyerang ketika
terjadi luka yang menyebabkan pecahnya lapisan tanduk pada kuku.
Kuman ini biasa bertahan bertahun-tahun diantara celah kuku sapi, akan
tetapi jika ia berada di lapangan pengembalaan atau di dalam kotoran sapi
dan sebagainya ia hanya bisa bertahan sampai 3 minggu (Sugeng, 2004).
Sedangkan pada domba dapat menyimpan penyebab penyakit ini selama
3-4 tahun tanpa menunjukkan gejala (Handoko, 2008). Pencegahan dapat
dilakukan dengan pembersihan kuku secara periodik dan perandaman
kuku kedalam cairan formalin 10%, sedangkan pengobatan dengan injeksi
sulfa atau anti biotik (Sugeng, 2004).
2. Radang Paha
Menurut Subronto (2003) radang paha merupakan penyakit hewan
pemamah biak yang disebabkan oleh kuman klostridia yang
mengakibatkan nekrosis dan miositis (radang otot), penyakit ini
berlangsung sangat cepat dan penderita jarang yang mengalami
kesembuhan. Bakteri penyebab radang paha ialah Clostridium chauvoei
spora yang dibentuk oleh bakteri ini sangat tahan terhadap panas dan tahan
hidup lama dalam tanah (Handoko, 2008). Spora yang dihasilkan bakteri
ini akan mati dalam air mendidih selama 15 menit, dan yang terdapat di
dalam daging akan mati pada temperatur 110 0 C selama 6 jam (Sugeng,

7
2004). Pengendalian dan pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi
masal di daerah tertular setiap enam tahun pada anak sapi umur 6 bulan
hingga 3 tahun (Handoko, 2008). Sedangkan pengobatan dapat dilakukan
dengan pemberian antibiotik, namun tingkat kesembuhan kecil (Sugeng,
2004).
3. Tuberkulosis
Penyakit kronis ini menyerang semua jenis hewan termasuk
manusia. Gejala klinik pada tuberkolosis biasanya tidak terlihat di awal,
secara umum gejala yang tampak tergantung pada jaringan yang
diserangnya. Bila bakteri Tuberkulosis menyerang paru-paru maka sapi
akan menjadi batuk-batuk lalu berangsur kurus, bila bakteri menyerang
ambing, maka akan terjadip embengkakan dan pengerasan ambing
(Handoko, 2008). Menurut Subronto (2003) Tuberkulosis disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis) yang dibagi kedalam tiga tipe, yaitu tipe
human, bivin, dan avier. Ketiga tipe tersebut dibedakan sifat-sifat khusus
bakteri dalam biakan, spesies yang diserang serta keganasanya dalam
menginfeksi. Pencegahan penyakit ini dapat dilakukan dengan menjaga
sanitasi dengan baik. Sedangkan untuk pengobatan dapat dilakukan pada
sapi yang terdeteksi dini mengalami Tuberkulosis, sedangkan untuk sapi
yang sudah kronis sebaiknya disingkirkan (Murtidjo, 2000).
5. Brucellosis
Brucellosis adalah penyakit keguguran (keluron) dan bersifat
menular pada hewan yang disebakan oleh bakteri Brucella abortus yang
menyerang sapi, domba, kambing, babi, dan hewan /ternak lainnya.
Menurut Sugeng (2004), ciri-ciri sapi betina yang terkena brucellosis
ialahmengalami keguguran pada pertengahan kebuntingan, sedangkan
pada sapijantan akan terjadi pembengkakan Srotum, nafsu makan
menurun, dandemam. Sapi yang terkena brucellosis rentan terhadap
gangguan lain seperti mastitis, Retensio plasenta (plasenta tidak keluar
dalam 12 jam setelah beranak), penurunan produksi susu, abortus dan
kemajiran pada sapi jantan. Pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga
sanitasi kandang, melakukan vaksinasi sebelum sapi dikawinkan,

8
mengeluarkan sapi yang terserang brucellosis dari kelompok, pengujian
brucellosis secara teratur pertahun melalui pemeriksaan susu (Milk Ring
Test) dan darah (Rose bengl test Complement Fixation Test) terhadap
seluruh populasi sapi perah dan sapi potong, umur 1 tahun ke atas (Sugeng,
2004). Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
828/Kpts/OT.210/10/98 tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit
Hewan Keluron Menular (Brucellosis) pada ternak, metode
pemberantasan dilaksanakan dengan cara test dan slaughter
6. Antraks
Penyebabnya adalah bakteri Bacillus anthracia. Bakteri ini
berbentuk panjang dan berbentuk kapsul spora yang terkubur didalam
tanah, terutama pada daerah tropis. Kapsul yang terbentuk merupakan
perlindungan yang spora untuk menghadapi lingkungan yang tidak
menguntungkan, sehingga dengan adanya kapsul ini, spora dapat bertahan
dalam waktu yang lama, ia juga dapat hidup pada kondisi anaerop dan
dingin, tidak tahan pada pemanasan 900 C selama 45 menit atau
pemanasan 1000 C selama 10 menit (Sugeng, 2004). Pencegahan penyakit
ini terutama pada rumput yang akan diberikan harus dijemur terlebih
dahulu, semua bangkai dan peralatan yang terkena infeksi harus dibakar,
tidak boleh memakan dagingnya, bagi ternak yang masih hidup harus
segera di vaksin, serta pengobatan dengan menggunakan
antibiotic.Terjangkitnya penyakit antraks pada ternak yang digembalakan
disebapkan oleh hewan memakan rumput yang mengandung tanah yang
tercemar spora anthraks, dan hewan yang memakan sisa makanan dari
hewan yang terserang antraks.

2.2.2 Penyakit Viral


Penyakit viral adalah penyakit pada ternak yang disebabkan oleh
inveksi virus yang dapat masuk kedalam tubuh melalui kontak selaput
lendir, pakan yang yang tercemar, peralatan kanndang yang tercemar
virus, perantara insecta, cairan semen dan lain sebagainya (Handoko,
2008). Beberapa jenis penyakit viral pada sapi potong antara lain:

9
1. Demam Tiga Hari
Bovine Eephemeral Fever (BEF), yang kadang-kadang juga sering
disebut penyakit demam tiga hari, merupakan penyakit sapi yang bersifat
akut yang disertai dengan demam dengan angka kesakitan tinggi dan
angka kematian rendah (Subronto, 2003). Di lapangan kerbau juga sering
terserang penyakit ini. Menurut Handoko (2008) penyebab penyakit
demam tiga hari adalah anggota dari sebuah genus yang tidak ada namanya
tetapi termasuk dalam keluarga Rhabdoviridae dan Virus RNA. Virus
Demam Tiga Hari disebarkan oleh nyamuk Cullicoides sp dan nyamuk
Cullicoides yang terinfeksi menyebarkan penyakit hingga jarak 2000km
dan ada dugaan bahwa penyebaran virus juga dapat melalui angin. Vaksin
yang efektif untuk penyakit ini belum ada, namun biasanya penyakit ini
akan sembuh dengan sendirinya dalam waktu 2 – 3 hari, pada masa-masa
ini sebaiknya sapi diberikan pakan yang cukup berkualitas sehingga tidak
terjadi komplikasi dengan penyakit yang lain (Handoko, 2008).
2. Septicaemia Epizootica (SE)
Septicaemia Epizootica (SE) merupakan penyakit bakterial yang
disebabkan oleh bakteri Pasteurella mutocida. Penyakit ini biasa disebut
penyakit ngorok dan umumnya menyerang kerbau, sapi, kambing, domba,
kuda dan rusa (Handoko, 2008). Gejala awal penyakit ini terlihat dari lidah
sapi yang membengkak dan terjulur keluar, suhu tubuh naik, mulut sapi
menganga dan mengeluarkan lendir berbuih, sulit bernafas (Gunawan,
2004). Menurut Murtidjo (2000) berjangkitnya penyakit ini dipicu oleh
terlalu banyaknya ternak bekerja, namun diberikan asupan pakan yang
berkualitas rendah, kesalahan dalam pengangkutan, serta kelebihan
kapasitas atau daya tampung kandang. Pengendalian penyakit ini dapat
dilakukan dengan melakukan vaksinasi SE setiap selang 6 bulan sekali,
sedangkan pengobatan dapat dilakukan pada hewan yang terjangkit ringan
yaitu dengan menggunakan obat-obatan antibiotik lewat air minum atau
suntikan (Murtidjo, 2000). Hewan/penderita SE dapat disembelih di
bawah pengawasan dokter hewan dan dagingnya dapat dikonsumsi.
Jaringan yang ada jelasnya seperti paru-paru harus dibuang dan

10
dimusnahkan, sedangkan karkas yang sangat kurus karena penyakit yang
berjalan menahun harus dimusnahkan dengan cara dibakar (Handoko,
2008).
3. Penyakit Ingusan
Penyakit ingusan atau Malignant Catarrbak Fever (MCF) adalah
suatu penyakit infeksi yang menyebabkan demam tinggi dan fatal pada
sapi dan kerbau. Gejala yang sangat merinci ialah keluarnya ingus yang
hebat dari hidung (Handoko, 2008). Peyebab penyakit ini ialah Herpes
Virus dan Wildebeest yang merupakan anggota subfamili Gamma
herpesvirinae. Menurut Subronto (2003) terjadi penyakit ini biasanya
secara tiba-tiba. Penderita menunjukkan suhu tubuh yang tinggi, sampai
420 C, kekakuan, bulu yang kasar, penghentian produksi susu pada sapi
perah, dan susah bernafas. Pada keadaan fatal ternak akan mati dalam
waktu 3-21 hari yang diawali dengan kejang dan koma. Bila terjadi
kesembuhan akan memerlukan waktu yang lama serta diikuti dengan
kebutaan. Ternak penderita penyakit ingusan dapat dipotong dan
dagingnya dapat dikonsumsi. Seluruh jaringan yang berjejas diafkir, sisa
pemotongan harus dimusnahkan dengan cara dibakar. Daging dapat
diperjualbelikan setelah direbus, pemotongan harus dibawah
pengawasan dokter hewan (Handoko, 2008).
4. Penyakit Jembrana
Menurut Murtidjo (2000) penyakit jembrana merupakan penyakit
yang sanggup menimbulkan kematian secara masal dan menyerang sapi
yang berusia di atas 1 tahun. Tenak sapi yang terserang penyakit ini akan
menunjukkan suhu tubuh yang meningkat sekitar 40-420 C , nafsu makan
turun dan disusul dengan pengeluaran ingus yang berkepanjangan. Pada
kondisi parah sapi akan mengeluarkan keringat darah. Menurut Handoko
(2008) penyakit ini disebabkan oleh virus dari keluarga Retroviridae
subfamily Lentivirae. Ciri khas penyakit ini ialah hanya menyerang sapi
bali, sedangkan jenis sapi lain, kerbau, kambing dan domba kebal terhadap
penyakit ini. Selama tahun 1994 Jembrana dilaporkan di Provinsi Riau,
Bali, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Pencegahan penyakit

11
dapat dilakukan dengan vaksin Runderpest sedangkan pengobatan masih
dalam penelitian (Murtidjo, 2000). Sapi yang menderita Jembrana boleh
dipotong dan dikonsumsi, sedangkan bangkai sapi yang terserang harus
dimusnahkan dengan cara dibakar, kandang dan lingkunganya harus
didesinfektan secara teliti (Handoko, 2003).
5. Penyakit Mulut dan Kuku (Apthae Epizootica)
Abidin (2006) menyatakan penyakit mulut dan kuku termasuk
penyakit mematikan yang disebabkan oleh Picorma-virus. Penyakit mulut
dan kuku (PMK) merupakan penyakit yang sangat menular dari hewan
berkuku belah (Handoko,2008). Telah diketahui bahwa Virus PMK
mempunyai 7 tipe, yaitu tipe A, O, C, asia 1 dan SAT 1, 2 dan 3 ( Subronto,
2003). Menurut Handoko (2008) serangan penyakit ini ditandai dengan
demam dan tanda yang paling menciri adalah timbulnya lepuh yang berisi
cairan di dalam atau di sekitar mulut, lidah bibir dan celah kuku. PMK
bukan merupakan penyakit yang mematikan dan hewan yang terinfeksi
penyakit ini biasanya dapat sembuh (Abidin, 2006). Pengendalian
penyakit dilakukan dengan melaksanakan peraturan-peraturan yang
berlaku dan vaksinasi, tergantung pada keadaan setempat, dalam keadaan
ekstrem pemberantasan dilakukan dengan pemotongan semua hewan yang
tertular, dan yang berkontak dengan hewan penderita, serta tindakan
karantina terhadap daerah yang tertular (Subronto, 2003). Hewan
penderita PMK dapat dipotong bersyarat dan dagingnya dapat dikonsumsi
dibawah pengawasan dokter hewan atau diperdagangkan setelah dilakukan
perebusan (Handoko, 2008).

12
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Jenis Sapi Potong

Jenis-jenis sapi potong yang terdapat di Indonesia saat ini adalah sapi asli
Indonesia dan sapi yang diimpor. Masing-masing jenis sapi potong itu mempunyai
sifat yang khas, baik ditinjau dari bentuk luar (ukuran tubuh, warna bulu) maupun
dari genetiknya (laju pertumbuhan). Sapi potong yang ada di Indonesia termasuk
kelompok sapi tropis (Hamdan dan Rohaeni, 2010). Bangsa-bangsa sapi tropis
memiliki ciri-ciri: pada umumnya memiliki punuk, bagian ujung telinga meruncing,
kepalanya panjang dengan dahi sempit, kulitnya longgar dan tipis (kurang lebih 5
– 6 mm), kelenjar keringatnya besar, tumbunan lemak baik yang ada di bawah
maupun di dalam julit dan otot-ototnya rendah, garis punggung bagian tengah
berbentuk cekung sedangkan bagian tunggingnya miring, bahunya pendek halus
rata, kakinya panjang sehingga gerakannya lincah, lambat dewasa karena
pertumbuhannya lambat (umur 5th dicapai berat maksimal), bentuk tubuh sempit
dan kecil serta berat timbangan sekitar 250 – 650 kg (Sudarmono dan Sugeng,
2008).

Sapi tropis juga memiliki ambing yang kecil sehingga produksi susunya
rendah. Sapi ini tahan terhadap suhu tinggi dan kehausan, kadar air yang terkandung
dalam kotoran rendah. Toleran terhadap jenis pakan yang kandungan serat kasarnya
tinggi atau pakan yang tergolong sederhana. Pada umumnya badan sapi ini tahan
terhdapa gigitan nyamuk dan caplak (Sudarmono dan Sugeng, 2008). Sapi-sapi
Indonesia yang dijadikan sumber daging adalah sapi Bali, sapi Ongole, sapi PO
(Peranakan Ongole) dan sapi Madura. Selain itu juga sapi Aceh yang banyak
diekspor ke Malaysia (Penang). Populasi sapi potong yang ada, penyebarannya
dianggap merata masing-masing adalah: sapi Bali, sapi PO, Madura dan Brahman.

3.1.1 Sapi Bali


Sapi bali merupakan keturunan dari sapi liar yang disebut banteng
(Bos bibos atau Bos sondaicus) yang telah mengalami proses domestikasi

13
berabad-abad lamanya. Daerah penyebarannya di Indonesia ditunjukkan
pada tabel berikut:

Pertumbuhan
Provinsi Jumlah (ekor)
Populasi (%)
Sulawesi Selatan 709.000 4,1 – 5,2
Bali 668.000 5,7
Nusa Tenggara Timur 505.000 0 – 5,6
Nusa Tenggara Barat 492.000 4,4 – 5,9
Sumatera Selatan 271.000 2,8 – 3,9
Sulawesi Utara 237.000 4,5 – 5,5
Kalimantan Selatan 138.000 3,3
Sulawesi Tengah 32.000 4,3
Sulawesi Barat 52.000 4,6
Lampung 28.000 3,9
(Purbowati, 2012)

Cirinya berwarna merah dengan warna putih pada kaki dari lutut ke
bawah dan pada pantat, punggungnya bergaris warna hitam (garis belut).
Keunggulan sapi ini dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan yang
baru. Berat badan sapi Bali mencapai 300-400 kg dan persentase karkasnya
56,9%.

Gambar: Sapi Bali


(Hamdan dan Rohaeni, 2010)

14
3.1.2 Sapi Ongole
Cirinya berwarna putih dengan warna hitam di beberapa bagian tubuh,
bergelambir dan berpunuk, dan daya adaptasinya baik, bertanduk pendek
dan hampir tidak terlihat. Jenis ini telah disilangkan dengan sapi Madura,
keturunannya disebut Peranakan Ongole (PO) cirinya sama dengan sapi
Ongole tetapi kemampuan produksinya lebih rendah. Berat badan sapi
Ongole mencapai 400 kg dengan persentase karkas 58,8% (Hamdan dan
Rohaeni, 2010). Daerah penyebarannya di Indonesia ditunjukkan pada tabel
berikut:

Pertumbuhan
Provinsi Jumlah (ekor)
Populasi (%)
Jawa Timur 778.000 4,0 – 5,9
Jawa Tengah 602.000 3,6 – 6,3
Lampung 279.000 4,1 – 4,5
Sumatera Selatan 167.000 2,8 – 2,9
Sumatera Utara 116.000 2,7 – 2,8
Sulawesi Utara 87.000 5,4 – 6,0
Sulawesi Tengah 101.000 5.3 – 6,0
Jawa Barat 75.000 3,9 – 4,2
(Purbowati, 2012)

Gambar: Sapi Ongole


(Hamdan dan Rohaeni, 2010)

15
3.1.3 Sapi Brahman
Cirinya berwarna bulu putih keabu-abuan, dan juga merah, dengan
warna putih pada bagian kepala. Punuk besar dan kulit longgar dengan
banyak lipatan di bawah leher dan perut, dan mempunyai gelambir dari
rahang bawah sampai bagian ujung tulang dada bagian depan serta
telinganya menggantung. Daya pertumbuhannya cepat, sehingga menjadi
primadona sapi potong Indonesia. Sapi Brahman (dari India), banyak
dikembangkan di Amerika, persentase karkasnya 45%. Keistimewaan sapi
ini tidak terlalu selektif terhadap pakan yang diberikan, jenis pakan (rumput
dan pakan tambahan) apapun akan dimakannya, termasuk pakan yang jelek
sekalipun. Berat hidup rata-rata sapi jantan 600kg dan yang betina 500 kg
(Hamdan dan Rohaeni, 2010).

Gambar: Sapi Brahman


(Hamdan dan Rohaeni, 2010)

3.1.4 Sapi Madura


Sapi ini merupakan keturunan perkawinan antara Bos Sondaicus dan
Bos Indicus. Mempunyai ciri berpunuk, berwarna kuning hingga merah
bata, terkadang terdapat warna putih pada moncong, ekor dan kaki bawah
dan tanduknya melengkung ke depan dengan melingkar seperti bulan sabit.
Berat hidup rata-rata 324,3 kg dengan persentase karkas 60,8% (Hamdan
dan Rohaeni, 2010).

16
Gambar: Sapi Madura
(Hamdan dan Rohaeni, 2010)

3.1.5 Sapi Limousin


Sapi ini merupakan keturunan Bos Taurus yang berhasil dijinakkan
dan dikembangkan di Perancis. Ciri Sapi Limousin berwarna hitam
bervariasi dengan warna merah bata dan putih, terdapat warna putih pada
moncong kepalanya, tubuh berukuran besar dan mempunyai tingkat
produksi yang baik. Bentuk tubuh memanjang, bagian perut agak mengecil
tetapi bagian paha dan pinggul cukup besar, penuh daging dan sangat padat.
Berat badan sapi betina dapat mencapai 650 kg dan jantan 850 kg (Hamdan
dan Rohaeni, 2010).

Gambar: Sapi Limousin


(Hamdan dan Rohaeni, 2010)

17
3.1.6 Sapi Simental
Sapi Simental (Swiss) bertanduk kecil, bulu berwarna coklat muda
atau kekuningkuningan. Pada bagian muka, lutut kebawah dan gelambir,
ujung ekor berwarna putih. Sapi Simental bertanduk kecil, bulu berwarna
coklat muda atau kekuning-kuningan. Pada bagian muka, lutut ke bawah
dan jenis gelambir, ujung ekor berwarna putih (Hamdan dan Rohaeni,
2010).

Gambar: Sapi Simental


(Hamdan dan Rohaeni, 2010)

3.2 Kandang sapi potong

Kandang adalah bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal ternak


dengan tujuan untuk melindungi sapi terhadap gangguan dari matahari, hujan,
gangguan binatang buas dan dapat memudahkan dalam pengelolaan. Ada
persyaratan kandang yang merupakan hal penting sehingga perlu diperhatikan
dalam membangun suatu perkandangan sapi potong. Syarat perkandangan yang
baik perlu memperhatikan beberapa hal diantaranya yaitu pemilihan lokasi
kandang, tata letak kandang, konstruksi kandang, bahan kandang, dan perlengkapan
kandang, sehingga dapat meningkatkan produktivitas sapi potong. Kandang
digunakan untuk menjaga keamanan ternak dari pencurian, memudahkan
pengelolaan ternak dalam proses produksi seperti pemberian pakan, minum,
pembersihan kandang dan perkawinan, serta dapat juga meningkatkan efisiensi
penggunaan tenaga kerja. Perlengkapan kandang juga harus diperhatikan seperti

18
tempat pakan, tempat minum, saluran darinase, dan tempat penampungan kotoran
(Sandi & Purnama, 2017).

Kandang sapi potong secara umum memiliki dua macam tipe kandang
yaitu kandang koloni dan kandang individu. Kandang koloni adalah kandang yang
terdiri dari satu bangunan atau ruangan tetapi digunakan untuk memelihara ternak
secara berkelompok. Kandang individu atau kandang tunggal adalah kandang yang
hanya terdiri dari satu bangunan atau ruangan yang hanya dapat digunakan untuk
memelihara satu ekor ternak. Bentuk kandang sapi juga beragam yaitu kandang
tradisional dan kandang intensif. Kandang tradisional dibuat untuk peternak yang
hanya mempunyai 1-3 ekor sapi, yang dibangun dengan sangat sederhana, terbuat
dari papan, kayu dan genting, untuk atao menggunakan bahan rumbia atau ijuk.
Untuk lantai kandang digunakan hanya tanah yang dipadatkan atau disemen.
Kandang intensif memiliki ukuran yang lebih besar daripada kandang tradisional
yang biasa digunakan pada peternakan yang berskala besar yang berfungsi sebagai
tempat perkawinan dan pembesaran anak sampai disapih atau digunakan sebagai
kandang pembesaran maupun penggemukan. Kandang ini memiliki dinding
tembok keliling, dinding kayu dan pembatas dari pipa besi sehingga mempunyai
ventilasi yang baik, lantai yang digunakan disemen beserta dengan tempat
pakannya (Detta, 2019).

3.3 Manajemen Kesehatan

Manajemen kesehatan ternak dapat diartikan sebagai proses perencanaan,


pengorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian faktor-faktor produksi melalui
optimalisasi sumberdaya yang dimilikinya agar produktivitas ternak dapat
dimaksimalkan, kesehatan ternak dapat dioptimalkan dan kesehatan produk hasil
ternak memiliki kualitas kesehatan sesuai dengan standar yang diinginkan.
Kesehatan hewan merupakan faktor utama dalam usaha peternakan sapi potong,
baik dalam skala kecil maupun skala besar. Manajemen kesehatan hewan meliputi
manajemen kesehatan umum, manajemen pencegahan, pengendalian dan
penanganan penyakit-penyakit organik, infeksi bakteri, virus, jamur, serta parasit
(Samal, 2015).

19
Kesehatan ternak mencakup hal yang sangat luas dan berkenaan hingga pada
aspek kesehatan bahan pangan asal ternak, kesehatan lingkungan dan kesehatan
masyarakat veteriner. Kesehatan masyarakat veteriner merupakan bagian penting
dari aktivitas masyarakat karena merupakan rantai penghubung antara bidang
kesehatan hewan dan kesehatan manusia berkaitan dengan pencegahan,
pengendalian dan pengobatan penyakit zoonotik atau penyakit yang menular dari
hewan kemanusia sehingga sangat penting dalam penerapan biosekuriti (Siregar,
2019).

Manajemen kesehatan hewan berhubungan erat dengan usaha pencegahan


infeksi dari agen-agen infeksi melalui upaya menjaga biosekuriti dengan menjaga
higenitas dan sanitasi kandang, manajemen pakan yang baik, dan peningkatan daya
tahan tubuh ternak melalui pemberian obat cacing dan multivitamin. Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan ternak yaitu kualitas pakan, ketahanan
imunitas hewan, serta kondisi dan kebersihan lingkungan kandang. Kualitas pakan
terdiri dari kandungan nutrisi yang seimbang, jumlah cukup, dan bebas dari zat
kimia berbahaya dengan penekanan untuk mencegah pencemaran melalui
penyimpanan yang baik. Penerapan higienitas dan sanitasi kandang terdiri dari:
pembersihan kandang teratur menggunakan desinfektan minimal 2 minggu sekali,
menjaga kebersihan peternak baik saat akan masuk maupun keluar kandang, serta
menjaga kebersihan hewan ternak dengan mencegah adanya lalat ataupun kotoran
yang menumpuk di sekitarnya. Peningkatan daya tahan tubuh hewan dapat
ditingkatkan melalui pemberian obat cacing yang teratur serta pemberian
multivitamin (Nuraini dkk, 2020).

Adanya infestasi cacing dapat ditanggulangi dengan pemberian obat cacing.


Pemberian obat cacing dapat dilakukan secara oral atau melalui mulut atau dengan
suntikan atau injeksi. Obat cacing yang diberikan adalah pirantel yang mempunyai
sprektrum luas. Pemberian obat cacing ini dilakukan setiap tiga bulan. Penerapan
management peternakan berorientasi pada pencegahan penyakit dengan melakukan
vaksinasi. Selain kebersihan kandang, tindakan untuk pencegahan penyakit melalui
penyemprotan (spraying) insektisida dan vaksinasi terhadap beberapa penyakit
(Besung dkk, 2017).

20
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Sapi potong merupakan ternak yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai
penghasil daging. Terdapat beberapa jenis sapi potong yaitu sapi bali, sapi ongole,
sapi brahman, sapi Madura, sapi limousine, dan sapi Simental. Penyakit yang sering
dialami sapi potong bisa berupa penyakit bacterial maupun penyakit viral. Penyakit
bakterial adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri seperti penyakit foot
root atau busuk kuku, tuberculosis, brucellosis, dan antraks. Sedangkan penyakit
viral adalah penyakit pada ternak yang disebabkan oleh inveksi virus yang dapat
masuk kedalam tubuh melalui kontak selaput lendir, pakan yang yang tercemar,
peralatan kanndang yang tercemar virus, perantara insecta, cairan semen dan lain
sebagainya seperti Bovine Eephemeral Fever (BEF), Septicaemia Epizootica (SE),
Malignant Catarrbak Fever (MCF), penyakit jembrana, dan penyakit mulut dan
kuku (Apthae Epizootica). Perkandangan pada sapi potong secara umum memiliki
dua macam tipe kandang yaitu kandang koloni dan kandang individu. Kandang
koloni adalah kandang yang terdiri dari satu bangunan atau ruangan tetapi
digunakan untuk memelihara ternak secara berkelompok. Kandang individu atau
kandang tunggal adalah kandang yang hanya terdiri dari satu bangunan atau
ruangan yang hanya dapat digunakan untuk memelihara satu ekor ternak.
Manajemen kesehatan sapi potong yaitu berupa pemeliharaan, pencegahan
penyakit, pengobatan, serta program kesehatan sapi potong.

21
Daftar Pustaka

Abidin, Z. 2006. Tatacara Penggemukan Sapi Potong. Jakarta: Agro Media


Pustaka.
Besung, I.N.K., N.K. Suwiti., I.G.K. Suarjana., P. Suastika., N.N. Suryani .2017.
Peningkatan Efektivitas Pemeliharaan Sapi Melalui Penerapan Teknologi
Peternakan pada Pusat Pembibitan Sapi. Jurnal Buletin Udaya Mengabdi 16
(2).

Detta, N. 2019. Hubungan Sanitasi Kandang Ternak Sapi dengan Kepadatan Lalat
di Desa Jono Kecamatan Temayang Kabupaten Bojonegoro. [Skripsi].
STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun.

Direktorat Perbibitan Ternak. 2014. Pedoman Pembibitan Sapi Potong yang Baik.
Jakarta: Kementerian Pertanian.

Ernawati., Nuschati, U., Subiharta., Ermawati, Y., dan Hayati, R.N. 2013.
Pedoman Teknis Budidaya Sapi Potong Cetakan ke-4. Ungaran: Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah.

Hamdan, A., Rohaeni, dan Eni Siti. 2010. Budidaya Sapi Potong. Kalimantan
Selatan: Balai Pengkajian Teknologi Kalimantan Selatan.

Handoko, J. 2008. Kesehatan Ternak. Pekanbaru: SUSKA Press.


Murtidjo, B.A. 2000. Sapi Potong. Yogyakarta: Kanisius.
Nuraini, Dian Meididewi., Sunarto., Nuzul Widyas., Ahmad Pramono., Sigit
Prastowo. 2020. Peningkatan Kapasitas Tata Laksana Kesehatan Ternak
Sapi Potong di Pelemrejo, Andong, Boyolali. Journal of Community
Empowering and Services 4 (2): 102-108.

Pawere, Frandz Rumbiak., Endang Baliarti dan Sudi Nurtini. 2012. Proporsi
Bangsa, Umur, Bobot Badan Awal Dan Skor Kondisi Tubuh Sapi Bakalan
Pada Usaha Penggemukan. Buletin Peternakan 36 (3): 193-198.

Purbowati, Endang. 2012. Sapi: Dari Hulu ke Hilir dan Info Mancanegara.
Yogyakarta: Agriflo.

22
Samal, Fitri .2015. Analisis Manajemen Kesehatan Terhadap Produktivitas Ternak
Sapi Potong Di PT. Berdikari United Livestock (BULS) Kabupaten Sidrap.
[Skripsi]. Makassar: Fakultas Sains Dan Teknolgi Jurusan Ilmu Peternakan
UIN Alauddin Makasar.

Sandi, S. dan Purnama, P.P. 2017. Manajemen Perkandangan Sapi Potong di Desa
Sejaro Sakti Kecamatan Indralaya Kabupaten Ogan Ilir Housing
Management of Beef Cattle in Sejaro Sakti Village, Indralaya District, Ogan
Ilir Regency. Jurnal Peternakan Sriwijaya 6(1): 12-19.

Siregar, Rahmat Yani .2019. Penerapan Aspek Teknis Pemeliharaan Sapi Potong
Di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Koto Padangsidimpuan.
[Skripsi] Pekanbaru: Fakultas Pertanian Dan Peternakan UIN Sultan Syarif
Kasim Riau.

Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia) 1. Yogyakarta: Gajah Mada


University Press.
Sudarmono, A. S., dan Y. Bambang Sugeng. 2008. Edisi Revisi Sapi Potong +
Pemeliharaan, Perbaikan Produksi, Prospek Bisnis, Analisis
Penggemukan. Bogor: Penebar Swadaya.

Susanti, Yuliana., Dominicus Savio Priyarsono dan Sri Mulatsih. 2014.


Pengembangan Peternakan Sapi Potong Untuk Peningkatan Perekonomian
Provinsi Jawa Tengah: Suatu Pendekatan Perencanaan Wilayah. Jurnal
Agribisnis Indonesia 2(2).

Utami, MT. 2016. Status Mineral Mangan Pada Sapi Potong di Daerah Aliran
Sungai Jratunseluna. Undergraduate Thesis. Fakultas Peternakan dan
Pertanian Universitas Diponegoro Semarang.

23

Anda mungkin juga menyukai