Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

PRODUKSI TERNAK PERAH

Disusun oleh

Nama : Priyo Samiaji Sri Pambuko


NIM : 23010118130122
Kelompok : 1C
Asisten : Susan Sitha Irma Yuhanita

DEPARTEMEN PETERNAKAN
PROGRAM STUDI S-1 PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2020
Judul : LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

PRODUKSITERNAK PERAH

Kelompok / Kelas : SATU / C

Program Studi / Jurusan : S-1 PETERNAKAN / PETERNAKAN

Fakultas : PETERNAKAN DAN PERTANIAN

Tanggal Pengesahan : …………………….

Menyetujui,

Asisten Pembimbing Koordinator Umum Asisten

Susan Sitha Irma Yuhanita Fakhriansyah Luthfian


NIM 23010117120035 NIM 23010117140044

Mengetahui,

Dosen Pengampu

Edi Prayitno. S. Pt., M. Si.


NIP. 19851215 201903 1 003
BAB I

PENDAHULUAN

Sapi perah adalah ternak penghasil susu yang sangat bermanfaat bagi

manusia karena susu mengandung nilai gizi tinggi dan mengandung hampir semua

zat-zat yang diperlukan oleh tubuh yaitu lemak, protein, karbohidrat, mineral,

vitamin, dan air. Berat jenis susu dapat menentukan atau bisa menjadi tolak ukur

kualitas susu, semakin tinggi berat jenis susu maka kandungan lemak susu juga

tinggi. Sapi Peranakan Friesian Holstain (PFH) merupakan persilangan dari sapi

Friesian Holstain dengan sapi lokal yang ada di Indonesia dan merupakan salah

satu sapi penghasil susu yang baik. PFH memiliki ciri fisik khas hitam-putih pada

kulitnya. Produktivitas susu dapat dipengaruhi oleh iklim yang berkaitan dengan

suhu dan kelembapan. Produktivitas sapi PFH dipengaruhi oleh beberapa faktor

seperti fisiologi lingkungan, fisiologi ternak, perambingan dan semua yang

berkaitan dengan ternak ke dalam kartu recording.

Tujuan dari praktikum Produksi Ternak Perah yaitu untuk mengetahui

anatomi ambing, mengetahui proses biosintesis susu, mengetahui proses milk let

down, mengetahui cara menghitung berat jenis susu, mengetahui faktor yang

mempengaruhi produktivitas dan fisiologi sapi perah serta mampu mengevaluasi

perkandangan ternak sapi perah. Manfaat praktikum ini yaitu dapat mengetahui

anatomi ambing dan proses biosintesis susu, dapat mengukur berat jenis susu,

mengevaluasi pengaruh fisiologi lingkungan dan fisiologi ternak serta mengetahui

tipe kandang yang baik untuk sapi perah.


BAB II

METODOLOGI

Praktikum Produksi Ternak Perah dengan materi Anatomi ambing dan

Pengukuran Berat Jenis Susu dilaksanakan pada hari Sabtu, tanggal 10 Oktober

2020 pukul 13.00 WIB di Rumah masing-masing via Microsoft Teams. Praktikum

dengan materi Fisiologi Ternak, Fisiologi Lingkungan dan Perkandangan

dilaksanakan hari Sabtu, tanggal 17 Oktober 2020 pukul 13.00 WIB di Rumah

maing-masing via Microsoft Teams.

3.1. Materi

Materi yang digunakan pada praktikum Produksi Ternak Perah yaitu

anatomi ambing, proses biosintesis susu, ujikualitas susu, pengukuran BJ susu,

Milk Let Down, fisiologi ternak, fisiologi lingkungan dan perkandangan yang di

susun dengan menggunakan Power Point.

3.2. Metode

Metode yang digunakan ndalam praktikum Produksi Ternak Perah yaitu

mennjelaskan materi tentang anatomi ambing, proses biosintesis susu, ujikualitas

susu, pengukuran BJ susu, Milk Let Down, fisiologi ternak, fisiologi lingkungan

dan perkandangan yang di susun dengan menggunakan Power Point serta

pembuatan video interaktif secara individu.


BAB III

PEMBAHASAN

4.1. Anatomi Ambing

Ambing adalah bagian yang menjadi karakteristik hewan menyusui seperti

sapi perah serta tersusun oleh kelenjar yang dapat memproduksi susu. Menurut

Habib et al. (2016) ambing ialah bagian tubuh yang tersusun oleh kelenjar kulit

serta menjadi faktor utama yang menentukan banyak sedikitnya susu yang

dihasilkan. Ambing dapat berkembang seiring bertambahnya umur dan tidak

berkembang lagi sampai pada umur optimum yaitu 6 tahun. Berat ambing

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor genetik, masa laktasi, umur serta

produksi susu yang dihasilkan. Menurut Taofik dan Depison (2010) volume atau

besarnya ambing dipengaruhi oleh periode laktasi, umur dan kesehatan. Ambing

tersusun oleh bagian luar dan dalam. Bagian luar disebut eksterior ambing dan

bagian dalam disebut interior ambing. Menurut Pisestyani et al. (2018) ambing

terdiri dari bagian interior dan eksterior. Anatomi ambing masing–masing terdiri

dari dua kuartir, yaitu kuartir bagian kanan dan kiri serta kuartir bagian depan dan

belakang.
4.1.1. Eksterior Ambing

Berdasarkan praktikum dapat diketahui bagian eksterior ambing sebagai

berikut.

1
2
3
4
5
Ilustrasi 1. Eksterior Ambing

Keterangan:
1. Medial suspensory ligament
2. Membrane fine
3. Outer wall
4. Lateral suspensory ligament
5. Puting

Berdasarkan ilustrasi Berdasarkan ilustrasi 1 dapat diketahui bahwa bagian

eksterior ambing terdiri dari Membrane Vine, Medial Suspensory Ligament,

Lateral Suspentory Ligament, Outerwall dan puting. Medial suspensory ligament

adalah pembatas antara kuartir kanan dengan kuartir kiri yang tersusun oleh

jaringan ikat yang elastis berwarna kuning. Menurut Pisestyani et al. (2018)

bahwa medial suspensory ligament ialah sekat antar kuartir pada ambing dan

mengandung jaringan elastis. Medial suspensory ligament sebagai pemisah antar

kuartir memiliki fungsi yang sama dengan membrane fine yaitu mencegah

terjadinya penyebaran penyakit pada masing – masing bagian kuartir pada

ambing. Menurut Helmi et al. (2018) medial suspensory ligament berfungsi untuk

memisahkan kuartir kiri dan kanan, serta mencegah penyebaran pathogen

penyebab penyakit.
Membrane fine adalah pembatas antara kuartir depan dan kuartir belakang

pada ambing yang tersusun oleh selaput tipis. Menurut Pisestyani et al. (2018)

bahwa fine membrane ialah membran tipis yang menjadi pembatas antara kuartir

ambing bagian depan dengan belakang. Membrane fine sebagai pembatas atau

pemisah antar kuartir pada ambing, sehingga dapat mencegah penyebaran atau

kontaminasi penyakit dari satu kuartir ke kuartir lainnya. Menurut Munjiati (2019)

bahwa membrane fine berfungsi sebagai lapisan pemisah agar setiap kuartir

ambing dapat berdiri sendiri pada kenampakan secara eksterior, sehingga

menghindari penyebaran penyakit.

Outer wall adalah bagian eksterior ambing yang mampu melindungi

ambing dan terletak di bagian luar. Menurut Munjiati (2019) outer wall dapat

melindung ambing dan letaknya pada bagian ambing paling luar. Outer wall

memiliki fungsi untuk menjaga suhu dalam ambing serta mencegah adanya

kontaminasi bakteri. Menurut Pratama (2016) outer wall mampu mempertahankan

suhu ambing dan melindungi ambing dari bakteri yang berasal dari lingkungan.

Lateral suspensory ligament adalah jaringan ikat atau otot sebagai

penopang ambing. Menurut Pisestyani et al. (2018) penyangga utama ambing

adalah ligamentum suspensorium lateral, sedangkan kulit luar sebagai pelindung

dari penyangga ambing. Lateral suspensory ligamentum bersifat elastis, tujuannya

yaitu untuk menopang ambing agar tetap berada di bawah abdomen serta

mendukung perbesaran volume ambing pada saat produksi susu optimum atau

tinggi. Menurut Akoso (2012) saat produksi susu tinggi, volume ambing dapat
berkembang namun lateral suspensory ligament mampu menyangga ambing agar

tetap dibawah abdomen.

Puting adalah salah satu bagian eksterior ambing yang bentuknya bulat

memanjang dan seragam yang memiliki lubang untuk sekresi susu. Menurut

Wirawati et al. (2017) pada saat diperah susu akan keluar melalui lubang puting.

Puting yang baik bentuknya panjang dan simetris, umumnya puting pada sapi

perah berjumlah 4 (2 pasang). Menurut Pratiwi et al. (2018) puting ideal letaknya

simetris di tengah kuartir ambing yang berfungsi untuk memudahkan pemerahan.

Puting tidak ditumbuhi oleh bulu seperti bagian ambing lainnya agar tidak timbul

keringat pada bagian puting yang dapat mencemari susu. Menurut Helmi et al.

(2018) pada bagian puting ambing tidak ditumbuhi rambut.

4.1.2. Bagian Interior Ambing


Berdasarkan praktikum dapat diketahui bagian interior ambing sebagai berikut.

1
2
3
4
5
6
7
8
9
Ilustrasi 2. Interior Ambing

Keterangan:
1. Alveolus
2. Milk duct
3. Lobus
4. Lobulus
5. Gland Cistern
6. Annular Fold
7. Teat Cistern
8. Teat Meatus
9. Streak Canal

Berdasarkan ilustrasi 2 dapat diketahui bahwa bagian-bagian interior

ambing terdiri dari alveolus, milk duct, lobus, lobulus, gland cistern, annular

fold, teat cistern, teat meatus dan streak canal. Alveolus adalah unit sekretori

yang bentuknya seperti anggur atau bulatan kecil. Menurut Nasution (2019)

alveolus ialah organ terkecil berbentuk bulatan serta berperan dalam produksi

susu. Alveolus juga merupakan tempat produksi susu serta tempat terjadinya

pencampuran komponen susu. Alveolus disusun oleh sel sekretori yang fungsinya

mensekresikan komponen susu dari pakan yang disalurkan oleh darah dan lumen

sebagai penampung susu sementara. Menurut Utari et al. (2012) alveolus tersusun

oleh sel sekretori yang mensintesis berbagai komponen susu seperti glukosa dan

laktosa.

Milk duct adalah muara dari saluran kecil yang terdapat dalam ambing dan

merupakan saluran penghubung ke gland cirstern. Menurut Damayanti (2019)

milk duct sebagai saluran susu yang akan dialirkan menuju gland cistern. Fungsi

dari milk duct adalah seperti saluran tempat lewatnya susu menuju penampungan

susu yaitu gland cistern. Menurut Pratama (2016) susu yang bermuara di milk

duct ditampung dalam gland cistern.

Lobus adalah kumpulan dari beberapa lobulus yang di dalam lobulus

tersebut banyak terdapat alveolus. Menurut Helmi et al. (2018) kumpulan dari

lobulus terbentuklah lobus. Fungsi lobus yaitu tempat pembentukan susu dan
menampung susu yang dihasilkan alveolus. Menurut Pratama (2016) bahwa di

dalam lobus terdapat susu yang dihasilkan oleh alveolus.

Lobulus adalah sekumpulan alveoli yang bergabung menjadi satu.

Menurut Helmi et al. (2018) alveolus bergabung membentuk lobulus serta di

bungkus oleh satu jaringan ikat yang disebut lobus. Volume maksimum lobulus

yaitu 1 mm dan fungsi lobulus yaitu menampung susu yang dihasilkan oleh

alveolus. Menurut Pratama (2016) susu yang dihasilkan alveoulus akan ditimbun

di dalam lobulus.

Gland cistern adalah tempat penampungan susu yang terletak di bawah

milk duct. Menurut Mukhtar (2006) gland cistern letaknya tepat dibawah milk

duct. Fungsi gland cistern yaitu sebagai tempat muara dan penampungan susu

yang disintesis dan susu dari milk duct. Gland cistern sebagai penampung susu

dihubungkan oleh annular fold menuju lubang puting susu. Menurut Saputra

(2018) gland cistern terdiri dari banyak saluran cabang yang menerima susu dan

terhubung dengan annular fold.

Annular fold memiliki otot spinchter yang berfungsi sebagai penahan susu

di dalam ambing terhadap tekanan yang timbul akibat akumulasi susu di dalam

gland cistern serta sebagai pencegah masuknya bakteri pada saat pemerahan.

Menurut Nelson (2010) annular fold memiliki otot yang dapat berelaksasi yaitu

otot spinchter. Ketika puting di perah otot spinchter dalam annular fold akan

membuka dan setelah diperah akan menutup. Menurut Wulansari et al. (2017)

otot spinchter mampu berelaksasi pada waktu proses pemerahan.


Teat cistern adalah rongga di dalam puting dan terletak di bawah gland

cistern. Menurut Pranowo (2016) teat cistern berupa lubang di dalam puting

terletak di bawah gland cistern. Teat cistern berupa lipatan – lipatan yang tersusun

oleh lapisan mukosa dan lipatan tersebut dapat dijadikan tempat bersarangnya

bakteri. Menurut Franz et al. (2010) teat cistern dapat disarangi oleh bakteri

karena dindingnya merupakan lapisan mukosa berlipat.

Teat meatus adalah otot tempat keluarnya susu yang berfungsi sebagai

pelindung luar puting. Menurut Pramesthi et al. (2015) teat meatus dapat

melindungi puting karena setelah pemerahan selesai teat meatus akan menutup.

Teat meatus yang menutup setelah pemerahan akibatnya bakteri dari luar tidak

dapat masuk atau menginfeksi puting dan ambing. Menurut Putri et al. (2015) teat

meatus dapat menutup sehingga mampu mencegah bakteri yang masuk ke dalam

ambing.

Streak canal adalah bagian dari puting yang berbentuk saluran dan terletak

di bawah puting. Menurut Pratama (2016) streak canal ialah saluran pendek yang

sering disebut papillaris. Streak canal memiliki fungsi untuk menutup saluran

agar susu tidak keluar serta mencegah kontaminasi bakteri. Menurut Femiasih

(2018) streak canal berfungsi untuk menahan serta mencegah bakteri atau

mikroba yang masuk dalam ambing.

4.2. Biosintesis susu


Biosintesis susu terdiri dari biosintesis laktosa, biosintesis lemak dan

biosintesis protein. Menurut Nugraha (2016) biosintesis susu memerlukan

sejumlah prekusor berupa karbohidrat, lemak dan protein. Faktor yang


mempengaruhi biosintesis susu salah satunya adalah pakan, terutama pakan yang

mengandung serat kasar. Menurut Suhendra et al. (2015) pakan yang mengadung

serat kasar akan diubah menjadi VFA yang terdiri dari asetat, propionate serta

butirat yang bermanfaat dalam pembentukan komponen susu.

4.2.1. Biosintesis Laktosa Susu

Ilustrasi 3. Biosintesis Laktosa Susu

Berdasarkan ilustrasi 3 dapat diketahui bahwa biosisntesis laktosa susu

dimulai dari pakan yang mengandung serat kasar, masuk ke dalam rumen dan

difermentasi dengan bantuan mikroba untuk menghasilkan VFA yang terdiri dari

asetat, propionat dan butirat. Propionat diserap oleh hati kemudian berlangsung

proses glukoneogenesis untuk membentuk glukosa. Menurut Imanto (2018) dalam

pembentukan laktosa susu terjadi proses gluconeogenesis yang mengubah asam

propionat menjadi glukosa. Glukosa yang telah terbentuk akan mengalami


kondensasi dengan bantuan enzim galaktosa transferase kemudian diserap oleh sel

sekretori di aparatus golgi kemudian diubah menjadi laktosa. Menurut

Prihatiningsih et al. (2015) dalam pembentukan laktosa susu juga dibutuhkan

enzim laktosa sintetase.

4.2.2. Biosintesis Lemak Susu

Ilustras
i 4. Bagan Biosintesis Lemak Susu
Berdasarkan ilustrasi 4 dapat diketahui bahwa biosintesis lemak susu

dimulai dari pakan yang mengandung serat kasar, masuk ke dalam rumen untuk

difermentasi dengan bantuan mikroba untuk menghasilkan VFA yang terdiri dari

propionat, asetat dan butirat. Asetat memiliki rantai pendek sehingga langsung

diserap oleh usus halus, sedangkan butirat memiliki rantai panjang yang harus

dipendekkan terlebih dahulu serta harus dijenuhkan oleh mikroorganisme rumen

dengan penguraian Hidrogen. Menurut Wina dan Susana (2013) butirat perlu

dipendekkan rantainya dengan pengurangan unsur hydrogen. Proses pemendekan

rantai tersebut dinamakan biodehidrogenase yang menghasilkan BHBA (Beta


Hidroksi Butirat Acid) kemudian diserap usus halus serta dialirkan menuju sel

sekretori tepatnya di sitoplasma dan akhirnya membentuk lemak susu. Menurut

Trihatmojo (2016) lemak susu dibentuk dari asetat di sel sekretori bagian

sitoplasma.

4.2.3. Biosintesis Protein Susu

lustrasi 5. Bagan Biosintesis Protein Susu

Biosintesis protein susu dimulai dari pakan yang dimakan oleh ternak

memiliki kandungan protein murni dan NPN (Non Protein Nitrogen) masuk ke

saluran pencernaan dan diubah menjadi RDP (Rumen Degradable Protein) dan

RUP (Rumen Undegradable Protein). Menurut Suryani et al. (2015) protein pakan

dapat dipecah menjadi RDP dan RUP. RDP (Rumen Degradable Protein) masuk

ke dalam rumen menghasilkan NH3 yang dapat dimanfaatkan oleh protein

mikroba. Protein mikroba dan RUP (Rumen Undegradable Protein) masuk

menuju usus halus, kemudian menghasilkan asam amino. Asam amino dibawa
oleh darah menuju ke sel sekretori ambing dan mengalami proses replikasi,

transkripsi dan translasi untuk menghasilkan protein susu. Menurut Aisyah (2013)

pembentukan protein susu di dalam sel sekretori terdiri atas 3 proses yaitu

replikasi, transkripsi dan translasi. Replikasi merupakan sintesis DNA baru

menggunakan cetakan DNA lama sehingga susunan nukleotidanya komplementer

dengan DNA lama. Menurut Nisah (2016) sintesis protein dikontrol oleh DNA

dalam replikasi. Transkripsi merupakan sintesis RNA menggunakan cetakan DNA

dan terjadi di nukleus. Produk RNA dalam bentuk T-RNA menuju sitoplasma dan

M-RNA berikatan dengan ribosom. Translasi merupakan sintesis polipeptida atau

bahan baku asam amino yang terjadi di ribosom dengan difasilitasi RNA yaitu M-

RNA dan T-RNA. Menurut Aisyah (2013) translasi ialah sintesis protein dengan

bantuan RNA. NPN (Non Protein Nitrogen) tidak diserap oleh 20 tubuh tubuh

ternak dan dikeluarkan melalui proses respirasi dalam bentuk CO2, sedangkan

NH3 dapat diproses di dalam rumen serta dimanfaatkan oleh mikroba rumen.

Proses penyerapan asam amino dalam usus halus itulah yang kemudian masuk ke

sel sekretori ambing dan disintesis menjadi protein susu.


4.3. Milk Let Down Positif

Ilustrasi 6. Bagan Milk Let Down Positif


Berdasarkan ilustrasi 6 dapat diketahui bahwa proses milk let down positif

dimulai dari adanya rangsangan dari stimulus yang ditangkap oleh spinalis cord.

Spinalis cord merangsang hipotalamus untuk mengeluarkan Releasing Faktor

Oxytocin yang fungsinya merangsang hipofisa posterior agar mensekresikan

hormon oxytocin. Menurut Kentjonowaty et al. (2014) hormone oxytocin bekerja

merangsang myoepithel ambing untuk mengeluarkan susu. Hormon oksitosin

masuk ke vena jugularis menuju jantung melalui darah dan dilanjutkan ke aorta.

Darah dari aorta kemudian melalui dua jalur yaitu arteri pudenda interna dan arteri

pudenda eksterna untuk mengalirkan hormon oksitosin ke sel sekretori.

Myoepithel pada sel sekretori ambing yang mendapat rangsangan dari hormon

oksitosin kemudian mendorong komponen susu yang dihasilkan sel sekretori

menuju lumen. Menurut Prihatiningsih et al. (2015) di sel secretory terjadi

pembentukan komponen susu berupa laktosa, protein dan lemak susu yang

kemudian masuk ke dalam lumen. Susu dari lumen kemudian menuju ke gland

cistern dan disebut sekresi secara aktif. Menurut Surjowardojo et al. (2016) susu

disekresikan secara aktif menuju gland cistern. Hormon oksitosin tersebut juga

masuk ke annular fold, kemudian dilanjutkan dengan kontraksi annular fold.

Kontraksi dari annular fold menyebabkan otot sprinchter membuka sehingga susu

masuk ke teat cistern kemudian menuju ke teat meatus dan keluar melalui streak

canal. Menurut Muktiarta (2012) susu dari teat cistern akan dikeluarkan melalui

streak canal.
4.3.1. Milk Let Down Negatif

Susu keluar
Ilustrasi 7. Bagan Milk Let Down Negatif
Berdasarkan ilustrasi 7 diketahui bahwa proses milk let down negatif

dimulai dari adanya stimulus yang ditangkap oleh spinalis cord kemudian

dilanjutkan ke hipotalamus. Hipotalamus merangsang kelenjar adrenal untuk

menghasilkan hormon epineprin yang dapat mempersempit pembuluh darah.

Menurut Pisestyani et al. (2015) hormone epineprin dapat menyebabkan

menyempitnya pembuluh darah. Pada awal proses milk let down, oxytocin masih

banyak namun karena adanya hormone epineprin menyebabkan hormone oxytocin

lajunya terhambat. Menurut Rahayu et al. (2015) epineprin yang dikeluarkan

kelenjar adrenal mampu menghambat pembentukan hormone oksitosin. Keadaan

ini dapat terjadi saat ternak dalam keadaan stress atau sakit. Epineprin masuk ke

vena jugularis menuju jantung kemudian dilanjutkan ke aorta. Aliran berlanjut ke

arteri pudenda interna dan arteri pudenda eksterna kemudian masuk ke sel

sekretori. Susu yang dihasilkan sel sekretori masuk ke dalam lumen kemudian

menuju gland cistern. Karena adanya epineprin, annular fold tidak membuka serta

hormone oxytocin yang terhambat sehingga menyebabkan susu tidak dapat keluar.

4.4. Fisiologis Ternak

Fisiologi ternak adalah kemampuan tubuh ternak dalam mempertahankan

proses serta fungsi organ tubuh sesuai kondisi normal. Fisiologi ternak yang dapat

diukur serta diamati yaitu frekuensi nafas, frekuensi nadi dan suhu rektal.

Menurut Saiya (2014) respon fisiologis ternak dapat diukur berdasarkan suhu

rektal, laju respirasi dan denyut nadi. Fisiologi ternak yang melebihi standar

menunjukkan kondisi ternak buruk, seperti mengalami cekaman panas karena


suhu dan kelembapan lingkungan yang tinggi. Menurut Mariana et al. (2016)

temperature lingkungan yang tinggi mampu meningkatkan respon fisiologis

ternak seperti denyut jantung.

4.4.1. Frekuensi Pernapasan

Frekuensi nafas sapi perah yang tinggi menunjukkan ternak mengalami

cekaman panas yang dapat berdampak buruk terhadap produksi susu. Menurut

Qisthon (2018) untuk memperbaiki respon fisiologis ternak yang mengalami

cekaman panas dapat dilakukan dengan pendinginan tubuh melalui penyiraman air

atau penganginan. Faktor yang mempengaruhi frekuensi nafas yaitu suhu, umur,

aktivitas dan kelembapan lingkungan. Menurut Safitri et al. (2015) temperatur

lingkungan, umur dan tingkat aktivitas dapat mempengaruhi frekuensi nafas

ternak.

4.4.2. Denyut Nadi

Ternak sapi perah muda denyut nadinya lebih cepat daripada ternak tua

dan semakin banyak aktivitas yang dilakukan oleh ternak maka denyut nadi

semakin cepat. Menurut Amir et al. (2017) denyut nadi sapi perah normalnya

yaitu 52-76 kali/menit. Denyut nadi ternak sapi perah dipengaruhi oleh proses

metabolisme tubuh dan lingkungan. Menurut Ghiardien et al. (2016) proses

metabolisme tubuh berpengaruh terhadap denyut nadi.

4.4.3. Suhu Tubuh

Suhu tubuh pada ternak perah dapat diukur melalui suhu rektal sapi. Cara

mengukurnya yaitu menggunakan termometer klinis yang dimasukan ke dalam

rektum ternak hingga bunyi yang menandakan bahwa suhu ternak sudah stabil
kemudian melihat angka pada termometer klinis tersebut. Menurut Kartiko et al.

(2019) Suhu rektal merupakan suatu bentuk gambaran dari suhu tubuh atau dapat

dikatakan bahwa pengukuran suhu tubuh dapat diukur melalui suhu rektal sapi

laktasi. Suhu tubuh sapi perah normal yaitu berkisar 38,00-39,00 oC. Menurut

Mariana et al. (2016) suhu rektal sapi perah normal yaitu berada pada kisaran
o
38,00-39,30 C. Suhu tubuh ternak dipengaruhi oleh lingkungan seperti

kelembapan dalam kandang, suhu serta kesehatan ternak. Menurut Safitri et al.

(2015) temperature rektal dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan aktivitas ternak.

4.5. Fisiologis Lingkungan

Fisiologi lingkungan yang diukur yaitu suhu, kelembapan dan radiasi

matahari. Menurut Mariana et al. (2016) fisiologi lingkungan terdiri dari

kecepatan angin, kelembapan, suhu dan radiasi matahari. Fisiologi lingkungan

berkaitan dengan kenyamanan ternak, apabila kelembapan dan suhu terlalu tinggi

ternak akan mengalami cekaman panas, sehingga produktivitas susu menurun.

Menurut Novianti et al. (2013) suhu tubuh sapi perah mengikuti fisiologi

lingkungan, sehingga kondisi lingkungan yang panas mampu mempengaruhi

produktivitas ternak.

4.6. Perkandangan

Kandang sapi perah di Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas

Diponegoro memiliki ukuran panjang 11,86 m, lebar kandang 8,46 m, tinggi atap

5,45 m, panjang stall 200 cm dan lebar stall 135 cm, dengan luas kandang

individu 2,7 m2. Menurut Jazimah (2017) ukuran kandang individu untuk sapi

perah idealnya memiliki luas 3,75 m2/ekor sapi. Kandang individu memiliki
fungsi salah satunya yaitu memudahkan penanganan dan perawatan ternak.

Menurut Indriyanti (2015) kandang individu digunakan agar memudahkan

perawatan ternak selama pemeliharaan. Kandang individu sapi perah memiliki

tipe tail to tail, yaitu posisi ternak saling membelakangi. Kandang tipe tail to tail

ini dapat memudahkan proses sanitasi atau pembersihan kandang. Menurut

Tubongkasi (2016) kandang tipe tail to tail dapat mempermudah untuk

membersihkan feses. Lebar selokan dibuat 30 cm bertujuan agar sekop dapat

masuk ke selokan, sehingga memudahkan proses sanitasi.

Atap yang digunakan di kandang sapi perah yaitu dari material asbes dan

memiliki tipe atap monitor. Menurut Tubongkasi (2016) atap kandang dapat

dibuat dari berbagai bahan seperti seng, asbes dan genting. Penggunaan atap

berbahan asbes sudah sesuai karena asbes bersifat menyerap panas lebih baik jika

dibandingkan dengan seng. Menurut Kartiko et al. (2019) dalam pemeliharaan

sapi perah sebaiknya memilih atap kandang yang mampu menyerap radiasi,

sehingga dapat mengurangi perpindahan panas di dalam kandang. Tipe atap

monitor memiliki keunggulan aliran udara yang masuk ke dalam kandang lancar,

sehingga dapat mengurangi cekaman panas. Menurut Suprihatin (2013) atap

kandang tipe monitor memudahkan dalam sirkulasi udara.

Bahan lantai yang digunakan di kandang sapi perah Fakultas Peternakan

dan Pertanian yaitu semen dan terdapat litter berbahan karet yang disebut bedding.

Lantai berbahan semen sudah baik untuk digunakan sebagai lantai kandang,

karena mudah dibersihkan dan lantai bisa dijaga kondisinya agar tetap kering.

Menurut Suryowardojo (2011) bahwa lantai kandang berbahan semen dapat


menjaga kondisi lantai kandang tidak terlalu lembab sehingga mengurangi resiko

ternak terpeleset serta mencegah tumbuhnya bakteri pathogen pada lantai. Tujuan

diberikan bedding yaitu menjaga lantai kandang agar tidak licin dan ambing

ternak tidak langsung bersentuhan dengan lantai. Menurut Albiantono (2016)

bedding sebagai pijakan ternak serta menjaga lantai agar tidak lembab dan tidak

licin. Lantai kandang dibuat dengan kemiringan 5o agar air maupun urine dapat

langsung mengalir ke selokan sehingga lantai kandang tidak licin dan lembab.

Menurut Nurmayanti (2013) lantai kandang dibuat miring ke selokan agar lantai

tetap kering sehingga mudah dibersihkan.

Stall pada kandang individu memiliki panjang 200 cm, lebar 135 cm dan

tinggi 130 cm, sehingga luas kandang individu tersebut adalah 2,7 m 2 . Ukuran

tersebut kurang memenuhi standar. Menurut Jazimah (2017) bahwa idealnya

ukurang luas kandang individu ternak perah adalah 3,75 m 2. Stall terbuat dari

bahan besi yang fungsinya untuk pembatas antar ternak sapi sehingga

menghindari resiko saling menginjak atau berebut pakan. Menurut Tubongkasi

(2016) kandang individu dibatasi oleh stall yang terbuat dari besi agar antar ternak

tidak saling berdesakan, sehingga menghindarkan dari resiko terluka atau stress.
BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Harus dapat menyimpulkan semua materi isi laporan. Dan keterkaitannya

antar satu materi dengan materi lainnya.

Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa ambing terdiri dari

bagian interior dan eksterior. Biosintesis susu terdiri dari biosintesis laktosa,

biosintesis lemak dan biosintesis protein. Suhu tubuh dapat diukur melalui suhu

rektal. Fisiologi lingkungan dapat diukur melalui suhu, kelembapan dan radiasi

matahari. Perkandangan sapi perah yang baik yaitu model atap monitor, atap

terbuat dari asbes, lantai terbuat dari semen, kemiringan lantai 5o, terdapat selokan

serta terdapat stall (sekat antar sapi).

5.2. Saran

Manajemen pemeliharaan harus diperhatikan agar produktivitas susunya

maksimal.
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, S. 2013. Tingkat produksi susu dan kesehatan sapi perah dengan
pemberian Aloe barbadensis miller. J. Gamma. 7 (1): 50 – 60.
Akoso, B. T. 2012. Budidaya Sapi Perah. Airlangga University Press, Surabaya.
Albiantono, L. 2016. Manajemen Perkandangan Sapi Perah pada CV. Capita Farm
di Desa Sumogawe, Kecamatan Getasan, Semarang. Program Studi
Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro,
Semarang. (Skripsi)
Amir, A., B. P. Purwanto dan I. G. Permana. 2017. Respon termoregulasi sapi
perah pada energi ransum yang berbeda. J. Ilmu dan Teknologi
Peternakan. 5 (2): 72 – 79.
Damayanti, R. L. 2019. Hubungan Volume Ambing dan Ukuran Puting dengan
Produksi Susu dan Lama Pemerahan Sapi Perah Friesian Holstein di PT.
Naksatra Kejora Kabupaten Temanggung. Program Studi Peternakan,
Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.
(Skripsi)
Femiasih, F. 2018. Konsumsi dan Kecernaan Pakan pada Sapi Penderita Mastitis
Subklinis dengan Perlakuan Pakan Herbal dan Mineral Proteinat.
Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian,
Universitas Diponegoro, Semarang. (Skripsi)
Franz, S., M. Floek dan M. Hofmann-Parisot. 2010. Ultrasonography of the
bovine udder and teat. J. Food Animal Practice. 25 (3): 669 – 685.
Ghiardien, A., B. P. Purwanto dan A. Atabany. 2016. Respon fisiologi sapi FH
laktasi dengan substitusi pakan pelepah sawit dengan jumlah yang
berbeda. J. Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. 4 (3): 350 – 355.
Habib, I., T. H. Suprayogi dan P. Sambodho. 2016. Hubungan antara volume
ambing, lama massage dan lama pemerahan terhadap produksi susu
kambing peranakan ettawa. J. Animal Agriculture Journal. 3 (1): 8 – 16.
Helmi, T. Z., D. Darmawi dan A. Hamzah. 2018. Isolasi dan identifikasi bakteri
gram negatif pada ambing sapi aceh. J. Ilmiah Mahasiswa Veteriner. 2
(4): 450 – 459.
Imanto, N. Y. 2018. Kadar Glukosa Darah, Laktosa Susu dan Produksi Susu Sapi
Perah Akibat Suplementasi Tepung Daun Pepaya (Carica Papaya),
Tepung Kunyit (Curcuma Longa) dan Mineral Proteinat. Program Studi
Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro,
Semarang. (Skripsi)
Indriyanti, I. 2015. Perbandingan pemeliharaan individu dengan koloni terhadap
performa produksi kelinci lokal. Students e-Journal. 4 (4): 1 – 13.
Jazimah, M. N. 2017. Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah Post Partus (Awal
Laktasi) di Uptd Bpbptdk Ngipiksari Yogyakarta. Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta. (Skripsi)
Kartiko, M. A., P. Sambodho dan D. W. Harjanti. 2019. Respon fisiologis sapi
laktasi akibat modifikasi lingkungan kandang. J. Agromedia. 37 (2): 76 –
82.
Kentjonowaty, I., P. Trisunuwati., T. Susilawati dan P. Surjowardojo. 2014.
Significant Influence of Mammae Hand Massage on Milk Yield in Dairy
Cattle. J. Biology. 4 (2): 86 – 89.
Mariana, E., D. N. Hadi dan N. Q. Agustin. 2016. Respon fisiologis dan kualitas
susu sapi perah friesian holstein pada musim kemarau panjang di dataran
tinggi. J. Agripet. 16 (2): 131 – 139.
Mukhtar, A. 2006. Ilmu Produksi Ternak Perah. Lembaga Pengembangan
Pendidikan Universitas Negeri Surakarta, Surakarta.
Muktiarta, R. 2012. Manajemen pemeliharaan sapi perah di PT. Tri Nugraha Farm
Getasan Semarang, Jawa Tengah. Program Studi Peternakan, Fakultas
Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang. (Skripsi)
Munjiati, R. 2019. Efektivitas Dekokta Daun Pandan Wangi (Pandanus
amaryllifolius roxb.) Sebagai Larutan dipping Puting Sapi Perah dalam
Menurunkan Jumlah Sel Somatik dan Memperlambat Waktu Reduktase
Pada Susu. Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Bandar Lampung.
(Skripsi)
Nasution, Y. F. D. 2019. Korelasi antara Ukuran Tubuh dan Ukuran Ambing
terhadap Produksi Susu Kambing Peranakan Etawa di Kabupaten Deli
Serdang dan Kota Binjai.
Nelson, M. G. 2010. The Complete Guide to Small-scale Farming : Everything
You Need to Know about Raising Beef and Dairy Cattle, Rabbits, Ducks,
and Other Small Animals. Atlantic Publishing Company, Florida.
Nisah, M. Z. 2016. Pengaruh Suplementasi Kolin Klorida dalam Pakan Terhadap
Total Protein Plasma dan Protein Susu pada Sapi Friesian Holstein
Laktasi. Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian,
Universitas Dipoengoro, Semarang. (Skripsi)
Novianti, J., B. P. Purwanto dan A. Atabany. 2013. Respon fisiologis dan
produksi susu sapi perah FH pada pemberian rumput gajah (Pennisetum
Purpureum) dengan ukuran pemotongan yang berbeda. J. Ilmu Produksi
dan Teknologi Peternakan. 1 (3): 138 – 146.
Nugraha, B. K. 2016. Kajian kadar lemak, protein dan bahan kering tanpa lemak
susu sapi perah Fries Holland pada pemerahan pagi dan sore di KPSBU
Lembang. Students e-Journal. 5 (4): 1 – 15.
Nurmayanti, T. 2013. Manajemen Pemasaran Sapi Perah Di Balai Besar
Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah Baturraden Purwokerto, Jawa
Tengah. Universitas Sebelas Maret, Surakarta. (Skripsi)
Pisestyani, H., M. Sudarwanto, R. Wulansari dan A. Atabany. 2018. Data dasar
perancangan alat celup puting sesuai dengan bentuk puting sapi perah di
jawa barat. J. Acta Veterinaria Indonesiana. 5 (2): 89 – 97.
Pramesthi, R., T. H. Suprayogi dan Sudjatmogo. 2015. Total bakteri dan ph susu
segar sapi perah Friesian Holstein di unit pelaksana teknis daerah dan
pembibitan ternak unggul Mulyorejo Tengaran Semarang. J. Animal
Agriculture. 4 (1): 69-74.
Pranowo, D. 2016. Pengaruh Dipping Puting Sapi Perah yang terindikasi Jumlah
Staphylococcus aureus dan pH Susu. Program Studi Peternakan, Fakultas
Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang. (Skripsi)
Pratama, R. S. P. 2016. Hubungan antara prevalensi mastitis dengan Produksi dan
Ph Susu pada Sapi Perah di Desa Sumogawe Kabupaten semarang.
Fakultas Peternakan dan Pertanian. Universitas Diponegoro, Semarang.
(Skripsi).
Pratiwi, M. S., D. W. Harjanti dan P. Sambodho. 2018. Jumlah sel somatik pada
sapi perah penderita mastitis subklinis akibat suplementasi kombinasi
herbal dan mineral proteinat. In Seminar Nasional Pertanian Peternakan
Terpadu, September (Vol. 1, No. 02).
Prihatiningsih, G. E., A. Purnomoadi dan D. W. Harjanti, D. W. 2015. Hubungan
antara konsumsi protein dengan produksi, protein dan laktosa susu
kambing Peranakan Ettawa. J. Ilmu-Ilmu Peternakan. 25 (2): 20 – 27.
Putri, P., S. Sudjatmogo dan T. H. Suprayogi. 2015. Pengaruh lama waktu dipping
dengan menggunakan larutan kaporit terhadap tampilan total bakteri dan
derajat keasaman susu sapi perah. J. Animal Agriculture Journal. 4 (1):
132 – 136.
Qisthon, A. 2018. Pengaruh penyiraman air dan penganginan tubuh pada musim
hujan terhadap respons fisiologis dan produksi susu sapi perah PFH di
dataran rendah. Dalam Seminar Nasional Pemerintah Nasional III
Manado, P 94 – 100.
Rahayu, D., B. Santoso dan E. Yunitasari. 2015. The Difference In Breastmilk
Production Between Acupresure Point For Lactation And Oxytocin
Massage. J. Ners. 10 (1): 9 – 19.
Safitri, R. I., D. W. Harjanti dan E. T. Setiatin. 2015. Evaluasi Kesehatan Sapi
Perah. J. Agripet. 15 (2): 117 – 122.
Saiya, H. V. 2014. Respons fisiologis sapi bali terhadap perubahan cuaca di
Kabupaten Merauke Papua. J. Agricola. 4 (1): 22 – 32.
Saputra, A. R. 2018. Hubungan Konsumsi Protein dan Serat Kasar dengan
Produksi Protein dan Lemak Susu Sapi Perah di Peternakan PT. Moeria
Kabupaten Kudus. Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan dan
Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang. (Skripsi)
Suhendra, D., G. T. Anggiati, S. Sarah, A. F. Nasrullah, A. Thimoty dan D. W. C.
Utama. 2015. Tampilan kualitas susu sapi perah akibat imbangan
konsentrat dan hijauan yang berbeda. J. Ilmu-Ilmu Peternakan. 25 (1): 42
– 46.
Suprihatin, W. 2013. Manajemen Penggemukan Sapi Potong di PT. Tossa Shakti
Divisi Agro Kaliwungu-Kendal. Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
(Skripsi)
Surjowardojo, P. 2011. Tingkat kejadian mastitis dengan whiteside test dan
produksi susu sapi perah friesien holstein. J. of Tropical Animal
Production. 12 (1): 46 – 55
Surjowardojo, P., P. Trisunuwati dan S. Khikma. 2016. Pengaruh lama massage
dan lama milk flow rate terhadap laju pancaran produksi susu sapi
friesian holstein di pt greenfields indonesia. J. of Tropical Animal
Production. 17 (1): 49 – 56
Suryani, N. N., I. G. Mahardika, S. Putra dan N. Sujaya. 2015. Pemberian gamal
tambahan dalam ransum meningkatkan neraca nitrogen dan populasi
mikrob proteolitik rumen sapi bali. J. Veteriner. 16 (1): 117 – 123.
Taofik, A. dan D. Depison. 2010. Hubungan Antara Lingkar Perut dan Volume
Ambing dengan Kemampuan Produksi Susu Kambing Peranakan Ettawa.
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan. 11 (2): 59 – 65.
Trihatmojo, M. I. 2016. Hubungan Antara Konsumsi Serat Kasar dan Lemak
Kasar dengan Kandungan Lemak Susu Sapi Perah di Kecamatan
Kandangan dan Kedu Kabupaten Temanggung. Program Studi
Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro,
Semarang. (Skripsi)
Tubongkasi, Y. M. C. 2016. Pemberian Pakan dan Kualitas Nutrisi Pakan Sapi
Friesian Holstein Fase Laktasi di PT. Karya Anugerah Rumpin,
Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor. Program Studi Peternakan,
Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.
(Skripsi)
Utari, F. D., B. W. H. E. Prasetiyono dan A. Muktiani. 2012. Kualitas susu
kambing perah peranakan ettawa yang diberi suplementasi protein
terproteksi dalam wafer pakan komplit berbasis limbah agroindustri. J.
Animal Agriculture Journal. 1 (1): 427 – 441.
Wina, E dan I. W. R. Susana. 2013. Manfaat lemak terproteksi untuk
meningkatkan produksi dan reproduksi ternak ruminansia. J. Wartazoa.
23 (4): 176-184.
Wirawati, C. U., M. B. Sudarwanto, D. W. Lukman dan I. Wientarsih. 2017.
Tanaman lokal sebagai suplemen pa-kan untuk meningkatkan produksi
dan kualitas susu ternak ruminansia. J. Wartazoa. 27 (3): 145 – 157.
Wulansari, R., S. Palanisarny, H. Pisestyani, M. B. Sudarwanto dan A. Atabany.
2017. Kadar kalsium pada sapi perah enderita mastitis subklinis di Pasir
Jambu, Ciwidey. J. Acta Veterinaria Indonesiana. 5 (1): 16 – 21.

Anda mungkin juga menyukai