Disusun oleh
DEPARTEMEN PETERNAKAN
PROGRAM STUDI S-1 PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2020
Judul : LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
PRODUKSITERNAK PERAH
Menyetujui,
Mengetahui,
Dosen Pengampu
PENDAHULUAN
Sapi perah adalah ternak penghasil susu yang sangat bermanfaat bagi
manusia karena susu mengandung nilai gizi tinggi dan mengandung hampir semua
zat-zat yang diperlukan oleh tubuh yaitu lemak, protein, karbohidrat, mineral,
vitamin, dan air. Berat jenis susu dapat menentukan atau bisa menjadi tolak ukur
kualitas susu, semakin tinggi berat jenis susu maka kandungan lemak susu juga
tinggi. Sapi Peranakan Friesian Holstain (PFH) merupakan persilangan dari sapi
Friesian Holstain dengan sapi lokal yang ada di Indonesia dan merupakan salah
satu sapi penghasil susu yang baik. PFH memiliki ciri fisik khas hitam-putih pada
kulitnya. Produktivitas susu dapat dipengaruhi oleh iklim yang berkaitan dengan
suhu dan kelembapan. Produktivitas sapi PFH dipengaruhi oleh beberapa faktor
anatomi ambing, mengetahui proses biosintesis susu, mengetahui proses milk let
down, mengetahui cara menghitung berat jenis susu, mengetahui faktor yang
perkandangan ternak sapi perah. Manfaat praktikum ini yaitu dapat mengetahui
anatomi ambing dan proses biosintesis susu, dapat mengukur berat jenis susu,
METODOLOGI
Pengukuran Berat Jenis Susu dilaksanakan pada hari Sabtu, tanggal 10 Oktober
2020 pukul 13.00 WIB di Rumah masing-masing via Microsoft Teams. Praktikum
dilaksanakan hari Sabtu, tanggal 17 Oktober 2020 pukul 13.00 WIB di Rumah
3.1. Materi
Milk Let Down, fisiologi ternak, fisiologi lingkungan dan perkandangan yang di
3.2. Metode
susu, pengukuran BJ susu, Milk Let Down, fisiologi ternak, fisiologi lingkungan
PEMBAHASAN
sapi perah serta tersusun oleh kelenjar yang dapat memproduksi susu. Menurut
Habib et al. (2016) ambing ialah bagian tubuh yang tersusun oleh kelenjar kulit
serta menjadi faktor utama yang menentukan banyak sedikitnya susu yang
berkembang lagi sampai pada umur optimum yaitu 6 tahun. Berat ambing
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor genetik, masa laktasi, umur serta
produksi susu yang dihasilkan. Menurut Taofik dan Depison (2010) volume atau
besarnya ambing dipengaruhi oleh periode laktasi, umur dan kesehatan. Ambing
tersusun oleh bagian luar dan dalam. Bagian luar disebut eksterior ambing dan
bagian dalam disebut interior ambing. Menurut Pisestyani et al. (2018) ambing
terdiri dari bagian interior dan eksterior. Anatomi ambing masing–masing terdiri
dari dua kuartir, yaitu kuartir bagian kanan dan kiri serta kuartir bagian depan dan
belakang.
4.1.1. Eksterior Ambing
berikut.
1
2
3
4
5
Ilustrasi 1. Eksterior Ambing
Keterangan:
1. Medial suspensory ligament
2. Membrane fine
3. Outer wall
4. Lateral suspensory ligament
5. Puting
adalah pembatas antara kuartir kanan dengan kuartir kiri yang tersusun oleh
jaringan ikat yang elastis berwarna kuning. Menurut Pisestyani et al. (2018)
bahwa medial suspensory ligament ialah sekat antar kuartir pada ambing dan
kuartir memiliki fungsi yang sama dengan membrane fine yaitu mencegah
ambing. Menurut Helmi et al. (2018) medial suspensory ligament berfungsi untuk
penyebab penyakit.
Membrane fine adalah pembatas antara kuartir depan dan kuartir belakang
pada ambing yang tersusun oleh selaput tipis. Menurut Pisestyani et al. (2018)
bahwa fine membrane ialah membran tipis yang menjadi pembatas antara kuartir
ambing bagian depan dengan belakang. Membrane fine sebagai pembatas atau
pemisah antar kuartir pada ambing, sehingga dapat mencegah penyebaran atau
kontaminasi penyakit dari satu kuartir ke kuartir lainnya. Menurut Munjiati (2019)
bahwa membrane fine berfungsi sebagai lapisan pemisah agar setiap kuartir
ambing dan terletak di bagian luar. Menurut Munjiati (2019) outer wall dapat
melindung ambing dan letaknya pada bagian ambing paling luar. Outer wall
memiliki fungsi untuk menjaga suhu dalam ambing serta mencegah adanya
suhu ambing dan melindungi ambing dari bakteri yang berasal dari lingkungan.
yaitu untuk menopang ambing agar tetap berada di bawah abdomen serta
mendukung perbesaran volume ambing pada saat produksi susu optimum atau
tinggi. Menurut Akoso (2012) saat produksi susu tinggi, volume ambing dapat
berkembang namun lateral suspensory ligament mampu menyangga ambing agar
Puting adalah salah satu bagian eksterior ambing yang bentuknya bulat
memanjang dan seragam yang memiliki lubang untuk sekresi susu. Menurut
Wirawati et al. (2017) pada saat diperah susu akan keluar melalui lubang puting.
Puting yang baik bentuknya panjang dan simetris, umumnya puting pada sapi
perah berjumlah 4 (2 pasang). Menurut Pratiwi et al. (2018) puting ideal letaknya
Puting tidak ditumbuhi oleh bulu seperti bagian ambing lainnya agar tidak timbul
keringat pada bagian puting yang dapat mencemari susu. Menurut Helmi et al.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Ilustrasi 2. Interior Ambing
Keterangan:
1. Alveolus
2. Milk duct
3. Lobus
4. Lobulus
5. Gland Cistern
6. Annular Fold
7. Teat Cistern
8. Teat Meatus
9. Streak Canal
ambing terdiri dari alveolus, milk duct, lobus, lobulus, gland cistern, annular
fold, teat cistern, teat meatus dan streak canal. Alveolus adalah unit sekretori
yang bentuknya seperti anggur atau bulatan kecil. Menurut Nasution (2019)
alveolus ialah organ terkecil berbentuk bulatan serta berperan dalam produksi
susu. Alveolus juga merupakan tempat produksi susu serta tempat terjadinya
pencampuran komponen susu. Alveolus disusun oleh sel sekretori yang fungsinya
mensekresikan komponen susu dari pakan yang disalurkan oleh darah dan lumen
sebagai penampung susu sementara. Menurut Utari et al. (2012) alveolus tersusun
oleh sel sekretori yang mensintesis berbagai komponen susu seperti glukosa dan
laktosa.
Milk duct adalah muara dari saluran kecil yang terdapat dalam ambing dan
milk duct sebagai saluran susu yang akan dialirkan menuju gland cistern. Fungsi
dari milk duct adalah seperti saluran tempat lewatnya susu menuju penampungan
susu yaitu gland cistern. Menurut Pratama (2016) susu yang bermuara di milk
tersebut banyak terdapat alveolus. Menurut Helmi et al. (2018) kumpulan dari
lobulus terbentuklah lobus. Fungsi lobus yaitu tempat pembentukan susu dan
menampung susu yang dihasilkan alveolus. Menurut Pratama (2016) bahwa di
bungkus oleh satu jaringan ikat yang disebut lobus. Volume maksimum lobulus
yaitu 1 mm dan fungsi lobulus yaitu menampung susu yang dihasilkan oleh
alveolus. Menurut Pratama (2016) susu yang dihasilkan alveoulus akan ditimbun
di dalam lobulus.
milk duct. Menurut Mukhtar (2006) gland cistern letaknya tepat dibawah milk
duct. Fungsi gland cistern yaitu sebagai tempat muara dan penampungan susu
yang disintesis dan susu dari milk duct. Gland cistern sebagai penampung susu
dihubungkan oleh annular fold menuju lubang puting susu. Menurut Saputra
(2018) gland cistern terdiri dari banyak saluran cabang yang menerima susu dan
Annular fold memiliki otot spinchter yang berfungsi sebagai penahan susu
di dalam ambing terhadap tekanan yang timbul akibat akumulasi susu di dalam
gland cistern serta sebagai pencegah masuknya bakteri pada saat pemerahan.
Menurut Nelson (2010) annular fold memiliki otot yang dapat berelaksasi yaitu
otot spinchter. Ketika puting di perah otot spinchter dalam annular fold akan
membuka dan setelah diperah akan menutup. Menurut Wulansari et al. (2017)
cistern. Menurut Pranowo (2016) teat cistern berupa lubang di dalam puting
terletak di bawah gland cistern. Teat cistern berupa lipatan – lipatan yang tersusun
oleh lapisan mukosa dan lipatan tersebut dapat dijadikan tempat bersarangnya
bakteri. Menurut Franz et al. (2010) teat cistern dapat disarangi oleh bakteri
Teat meatus adalah otot tempat keluarnya susu yang berfungsi sebagai
pelindung luar puting. Menurut Pramesthi et al. (2015) teat meatus dapat
melindungi puting karena setelah pemerahan selesai teat meatus akan menutup.
Teat meatus yang menutup setelah pemerahan akibatnya bakteri dari luar tidak
dapat masuk atau menginfeksi puting dan ambing. Menurut Putri et al. (2015) teat
meatus dapat menutup sehingga mampu mencegah bakteri yang masuk ke dalam
ambing.
Streak canal adalah bagian dari puting yang berbentuk saluran dan terletak
di bawah puting. Menurut Pratama (2016) streak canal ialah saluran pendek yang
sering disebut papillaris. Streak canal memiliki fungsi untuk menutup saluran
agar susu tidak keluar serta mencegah kontaminasi bakteri. Menurut Femiasih
(2018) streak canal berfungsi untuk menahan serta mencegah bakteri atau
mengandung serat kasar. Menurut Suhendra et al. (2015) pakan yang mengadung
serat kasar akan diubah menjadi VFA yang terdiri dari asetat, propionate serta
dimulai dari pakan yang mengandung serat kasar, masuk ke dalam rumen dan
difermentasi dengan bantuan mikroba untuk menghasilkan VFA yang terdiri dari
asetat, propionat dan butirat. Propionat diserap oleh hati kemudian berlangsung
Ilustras
i 4. Bagan Biosintesis Lemak Susu
Berdasarkan ilustrasi 4 dapat diketahui bahwa biosintesis lemak susu
dimulai dari pakan yang mengandung serat kasar, masuk ke dalam rumen untuk
difermentasi dengan bantuan mikroba untuk menghasilkan VFA yang terdiri dari
propionat, asetat dan butirat. Asetat memiliki rantai pendek sehingga langsung
diserap oleh usus halus, sedangkan butirat memiliki rantai panjang yang harus
dengan penguraian Hidrogen. Menurut Wina dan Susana (2013) butirat perlu
Trihatmojo (2016) lemak susu dibentuk dari asetat di sel sekretori bagian
sitoplasma.
Biosintesis protein susu dimulai dari pakan yang dimakan oleh ternak
memiliki kandungan protein murni dan NPN (Non Protein Nitrogen) masuk ke
saluran pencernaan dan diubah menjadi RDP (Rumen Degradable Protein) dan
RUP (Rumen Undegradable Protein). Menurut Suryani et al. (2015) protein pakan
dapat dipecah menjadi RDP dan RUP. RDP (Rumen Degradable Protein) masuk
menuju usus halus, kemudian menghasilkan asam amino. Asam amino dibawa
oleh darah menuju ke sel sekretori ambing dan mengalami proses replikasi,
transkripsi dan translasi untuk menghasilkan protein susu. Menurut Aisyah (2013)
pembentukan protein susu di dalam sel sekretori terdiri atas 3 proses yaitu
dengan DNA lama. Menurut Nisah (2016) sintesis protein dikontrol oleh DNA
dan terjadi di nukleus. Produk RNA dalam bentuk T-RNA menuju sitoplasma dan
bahan baku asam amino yang terjadi di ribosom dengan difasilitasi RNA yaitu M-
RNA dan T-RNA. Menurut Aisyah (2013) translasi ialah sintesis protein dengan
bantuan RNA. NPN (Non Protein Nitrogen) tidak diserap oleh 20 tubuh tubuh
ternak dan dikeluarkan melalui proses respirasi dalam bentuk CO2, sedangkan
NH3 dapat diproses di dalam rumen serta dimanfaatkan oleh mikroba rumen.
Proses penyerapan asam amino dalam usus halus itulah yang kemudian masuk ke
dimulai dari adanya rangsangan dari stimulus yang ditangkap oleh spinalis cord.
masuk ke vena jugularis menuju jantung melalui darah dan dilanjutkan ke aorta.
Darah dari aorta kemudian melalui dua jalur yaitu arteri pudenda interna dan arteri
Myoepithel pada sel sekretori ambing yang mendapat rangsangan dari hormon
pembentukan komponen susu berupa laktosa, protein dan lemak susu yang
kemudian masuk ke dalam lumen. Susu dari lumen kemudian menuju ke gland
cistern dan disebut sekresi secara aktif. Menurut Surjowardojo et al. (2016) susu
disekresikan secara aktif menuju gland cistern. Hormon oksitosin tersebut juga
Kontraksi dari annular fold menyebabkan otot sprinchter membuka sehingga susu
masuk ke teat cistern kemudian menuju ke teat meatus dan keluar melalui streak
canal. Menurut Muktiarta (2012) susu dari teat cistern akan dikeluarkan melalui
streak canal.
4.3.1. Milk Let Down Negatif
Susu keluar
Ilustrasi 7. Bagan Milk Let Down Negatif
Berdasarkan ilustrasi 7 diketahui bahwa proses milk let down negatif
dimulai dari adanya stimulus yang ditangkap oleh spinalis cord kemudian
menyempitnya pembuluh darah. Pada awal proses milk let down, oxytocin masih
ini dapat terjadi saat ternak dalam keadaan stress atau sakit. Epineprin masuk ke
arteri pudenda interna dan arteri pudenda eksterna kemudian masuk ke sel
sekretori. Susu yang dihasilkan sel sekretori masuk ke dalam lumen kemudian
menuju gland cistern. Karena adanya epineprin, annular fold tidak membuka serta
hormone oxytocin yang terhambat sehingga menyebabkan susu tidak dapat keluar.
proses serta fungsi organ tubuh sesuai kondisi normal. Fisiologi ternak yang dapat
diukur serta diamati yaitu frekuensi nafas, frekuensi nadi dan suhu rektal.
Menurut Saiya (2014) respon fisiologis ternak dapat diukur berdasarkan suhu
rektal, laju respirasi dan denyut nadi. Fisiologi ternak yang melebihi standar
cekaman panas yang dapat berdampak buruk terhadap produksi susu. Menurut
cekaman panas dapat dilakukan dengan pendinginan tubuh melalui penyiraman air
atau penganginan. Faktor yang mempengaruhi frekuensi nafas yaitu suhu, umur,
ternak.
Ternak sapi perah muda denyut nadinya lebih cepat daripada ternak tua
dan semakin banyak aktivitas yang dilakukan oleh ternak maka denyut nadi
semakin cepat. Menurut Amir et al. (2017) denyut nadi sapi perah normalnya
yaitu 52-76 kali/menit. Denyut nadi ternak sapi perah dipengaruhi oleh proses
Suhu tubuh pada ternak perah dapat diukur melalui suhu rektal sapi. Cara
rektum ternak hingga bunyi yang menandakan bahwa suhu ternak sudah stabil
kemudian melihat angka pada termometer klinis tersebut. Menurut Kartiko et al.
(2019) Suhu rektal merupakan suatu bentuk gambaran dari suhu tubuh atau dapat
dikatakan bahwa pengukuran suhu tubuh dapat diukur melalui suhu rektal sapi
laktasi. Suhu tubuh sapi perah normal yaitu berkisar 38,00-39,00 oC. Menurut
Mariana et al. (2016) suhu rektal sapi perah normal yaitu berada pada kisaran
o
38,00-39,30 C. Suhu tubuh ternak dipengaruhi oleh lingkungan seperti
kelembapan dalam kandang, suhu serta kesehatan ternak. Menurut Safitri et al.
(2015) temperature rektal dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan aktivitas ternak.
berkaitan dengan kenyamanan ternak, apabila kelembapan dan suhu terlalu tinggi
Menurut Novianti et al. (2013) suhu tubuh sapi perah mengikuti fisiologi
produktivitas ternak.
4.6. Perkandangan
Diponegoro memiliki ukuran panjang 11,86 m, lebar kandang 8,46 m, tinggi atap
5,45 m, panjang stall 200 cm dan lebar stall 135 cm, dengan luas kandang
individu 2,7 m2. Menurut Jazimah (2017) ukuran kandang individu untuk sapi
perah idealnya memiliki luas 3,75 m2/ekor sapi. Kandang individu memiliki
fungsi salah satunya yaitu memudahkan penanganan dan perawatan ternak.
tipe tail to tail, yaitu posisi ternak saling membelakangi. Kandang tipe tail to tail
Atap yang digunakan di kandang sapi perah yaitu dari material asbes dan
memiliki tipe atap monitor. Menurut Tubongkasi (2016) atap kandang dapat
dibuat dari berbagai bahan seperti seng, asbes dan genting. Penggunaan atap
berbahan asbes sudah sesuai karena asbes bersifat menyerap panas lebih baik jika
sapi perah sebaiknya memilih atap kandang yang mampu menyerap radiasi,
monitor memiliki keunggulan aliran udara yang masuk ke dalam kandang lancar,
dan Pertanian yaitu semen dan terdapat litter berbahan karet yang disebut bedding.
Lantai berbahan semen sudah baik untuk digunakan sebagai lantai kandang,
karena mudah dibersihkan dan lantai bisa dijaga kondisinya agar tetap kering.
ternak terpeleset serta mencegah tumbuhnya bakteri pathogen pada lantai. Tujuan
diberikan bedding yaitu menjaga lantai kandang agar tidak licin dan ambing
bedding sebagai pijakan ternak serta menjaga lantai agar tidak lembab dan tidak
licin. Lantai kandang dibuat dengan kemiringan 5o agar air maupun urine dapat
langsung mengalir ke selokan sehingga lantai kandang tidak licin dan lembab.
Menurut Nurmayanti (2013) lantai kandang dibuat miring ke selokan agar lantai
Stall pada kandang individu memiliki panjang 200 cm, lebar 135 cm dan
tinggi 130 cm, sehingga luas kandang individu tersebut adalah 2,7 m 2 . Ukuran
ukurang luas kandang individu ternak perah adalah 3,75 m 2. Stall terbuat dari
bahan besi yang fungsinya untuk pembatas antar ternak sapi sehingga
(2016) kandang individu dibatasi oleh stall yang terbuat dari besi agar antar ternak
tidak saling berdesakan, sehingga menghindarkan dari resiko terluka atau stress.
BAB IV
5.1. Simpulan
bagian interior dan eksterior. Biosintesis susu terdiri dari biosintesis laktosa,
biosintesis lemak dan biosintesis protein. Suhu tubuh dapat diukur melalui suhu
rektal. Fisiologi lingkungan dapat diukur melalui suhu, kelembapan dan radiasi
matahari. Perkandangan sapi perah yang baik yaitu model atap monitor, atap
terbuat dari asbes, lantai terbuat dari semen, kemiringan lantai 5o, terdapat selokan
5.2. Saran
maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, S. 2013. Tingkat produksi susu dan kesehatan sapi perah dengan
pemberian Aloe barbadensis miller. J. Gamma. 7 (1): 50 – 60.
Akoso, B. T. 2012. Budidaya Sapi Perah. Airlangga University Press, Surabaya.
Albiantono, L. 2016. Manajemen Perkandangan Sapi Perah pada CV. Capita Farm
di Desa Sumogawe, Kecamatan Getasan, Semarang. Program Studi
Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro,
Semarang. (Skripsi)
Amir, A., B. P. Purwanto dan I. G. Permana. 2017. Respon termoregulasi sapi
perah pada energi ransum yang berbeda. J. Ilmu dan Teknologi
Peternakan. 5 (2): 72 – 79.
Damayanti, R. L. 2019. Hubungan Volume Ambing dan Ukuran Puting dengan
Produksi Susu dan Lama Pemerahan Sapi Perah Friesian Holstein di PT.
Naksatra Kejora Kabupaten Temanggung. Program Studi Peternakan,
Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.
(Skripsi)
Femiasih, F. 2018. Konsumsi dan Kecernaan Pakan pada Sapi Penderita Mastitis
Subklinis dengan Perlakuan Pakan Herbal dan Mineral Proteinat.
Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian,
Universitas Diponegoro, Semarang. (Skripsi)
Franz, S., M. Floek dan M. Hofmann-Parisot. 2010. Ultrasonography of the
bovine udder and teat. J. Food Animal Practice. 25 (3): 669 – 685.
Ghiardien, A., B. P. Purwanto dan A. Atabany. 2016. Respon fisiologi sapi FH
laktasi dengan substitusi pakan pelepah sawit dengan jumlah yang
berbeda. J. Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. 4 (3): 350 – 355.
Habib, I., T. H. Suprayogi dan P. Sambodho. 2016. Hubungan antara volume
ambing, lama massage dan lama pemerahan terhadap produksi susu
kambing peranakan ettawa. J. Animal Agriculture Journal. 3 (1): 8 – 16.
Helmi, T. Z., D. Darmawi dan A. Hamzah. 2018. Isolasi dan identifikasi bakteri
gram negatif pada ambing sapi aceh. J. Ilmiah Mahasiswa Veteriner. 2
(4): 450 – 459.
Imanto, N. Y. 2018. Kadar Glukosa Darah, Laktosa Susu dan Produksi Susu Sapi
Perah Akibat Suplementasi Tepung Daun Pepaya (Carica Papaya),
Tepung Kunyit (Curcuma Longa) dan Mineral Proteinat. Program Studi
Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro,
Semarang. (Skripsi)
Indriyanti, I. 2015. Perbandingan pemeliharaan individu dengan koloni terhadap
performa produksi kelinci lokal. Students e-Journal. 4 (4): 1 – 13.
Jazimah, M. N. 2017. Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah Post Partus (Awal
Laktasi) di Uptd Bpbptdk Ngipiksari Yogyakarta. Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta. (Skripsi)
Kartiko, M. A., P. Sambodho dan D. W. Harjanti. 2019. Respon fisiologis sapi
laktasi akibat modifikasi lingkungan kandang. J. Agromedia. 37 (2): 76 –
82.
Kentjonowaty, I., P. Trisunuwati., T. Susilawati dan P. Surjowardojo. 2014.
Significant Influence of Mammae Hand Massage on Milk Yield in Dairy
Cattle. J. Biology. 4 (2): 86 – 89.
Mariana, E., D. N. Hadi dan N. Q. Agustin. 2016. Respon fisiologis dan kualitas
susu sapi perah friesian holstein pada musim kemarau panjang di dataran
tinggi. J. Agripet. 16 (2): 131 – 139.
Mukhtar, A. 2006. Ilmu Produksi Ternak Perah. Lembaga Pengembangan
Pendidikan Universitas Negeri Surakarta, Surakarta.
Muktiarta, R. 2012. Manajemen pemeliharaan sapi perah di PT. Tri Nugraha Farm
Getasan Semarang, Jawa Tengah. Program Studi Peternakan, Fakultas
Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang. (Skripsi)
Munjiati, R. 2019. Efektivitas Dekokta Daun Pandan Wangi (Pandanus
amaryllifolius roxb.) Sebagai Larutan dipping Puting Sapi Perah dalam
Menurunkan Jumlah Sel Somatik dan Memperlambat Waktu Reduktase
Pada Susu. Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Bandar Lampung.
(Skripsi)
Nasution, Y. F. D. 2019. Korelasi antara Ukuran Tubuh dan Ukuran Ambing
terhadap Produksi Susu Kambing Peranakan Etawa di Kabupaten Deli
Serdang dan Kota Binjai.
Nelson, M. G. 2010. The Complete Guide to Small-scale Farming : Everything
You Need to Know about Raising Beef and Dairy Cattle, Rabbits, Ducks,
and Other Small Animals. Atlantic Publishing Company, Florida.
Nisah, M. Z. 2016. Pengaruh Suplementasi Kolin Klorida dalam Pakan Terhadap
Total Protein Plasma dan Protein Susu pada Sapi Friesian Holstein
Laktasi. Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian,
Universitas Dipoengoro, Semarang. (Skripsi)
Novianti, J., B. P. Purwanto dan A. Atabany. 2013. Respon fisiologis dan
produksi susu sapi perah FH pada pemberian rumput gajah (Pennisetum
Purpureum) dengan ukuran pemotongan yang berbeda. J. Ilmu Produksi
dan Teknologi Peternakan. 1 (3): 138 – 146.
Nugraha, B. K. 2016. Kajian kadar lemak, protein dan bahan kering tanpa lemak
susu sapi perah Fries Holland pada pemerahan pagi dan sore di KPSBU
Lembang. Students e-Journal. 5 (4): 1 – 15.
Nurmayanti, T. 2013. Manajemen Pemasaran Sapi Perah Di Balai Besar
Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah Baturraden Purwokerto, Jawa
Tengah. Universitas Sebelas Maret, Surakarta. (Skripsi)
Pisestyani, H., M. Sudarwanto, R. Wulansari dan A. Atabany. 2018. Data dasar
perancangan alat celup puting sesuai dengan bentuk puting sapi perah di
jawa barat. J. Acta Veterinaria Indonesiana. 5 (2): 89 – 97.
Pramesthi, R., T. H. Suprayogi dan Sudjatmogo. 2015. Total bakteri dan ph susu
segar sapi perah Friesian Holstein di unit pelaksana teknis daerah dan
pembibitan ternak unggul Mulyorejo Tengaran Semarang. J. Animal
Agriculture. 4 (1): 69-74.
Pranowo, D. 2016. Pengaruh Dipping Puting Sapi Perah yang terindikasi Jumlah
Staphylococcus aureus dan pH Susu. Program Studi Peternakan, Fakultas
Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang. (Skripsi)
Pratama, R. S. P. 2016. Hubungan antara prevalensi mastitis dengan Produksi dan
Ph Susu pada Sapi Perah di Desa Sumogawe Kabupaten semarang.
Fakultas Peternakan dan Pertanian. Universitas Diponegoro, Semarang.
(Skripsi).
Pratiwi, M. S., D. W. Harjanti dan P. Sambodho. 2018. Jumlah sel somatik pada
sapi perah penderita mastitis subklinis akibat suplementasi kombinasi
herbal dan mineral proteinat. In Seminar Nasional Pertanian Peternakan
Terpadu, September (Vol. 1, No. 02).
Prihatiningsih, G. E., A. Purnomoadi dan D. W. Harjanti, D. W. 2015. Hubungan
antara konsumsi protein dengan produksi, protein dan laktosa susu
kambing Peranakan Ettawa. J. Ilmu-Ilmu Peternakan. 25 (2): 20 – 27.
Putri, P., S. Sudjatmogo dan T. H. Suprayogi. 2015. Pengaruh lama waktu dipping
dengan menggunakan larutan kaporit terhadap tampilan total bakteri dan
derajat keasaman susu sapi perah. J. Animal Agriculture Journal. 4 (1):
132 – 136.
Qisthon, A. 2018. Pengaruh penyiraman air dan penganginan tubuh pada musim
hujan terhadap respons fisiologis dan produksi susu sapi perah PFH di
dataran rendah. Dalam Seminar Nasional Pemerintah Nasional III
Manado, P 94 – 100.
Rahayu, D., B. Santoso dan E. Yunitasari. 2015. The Difference In Breastmilk
Production Between Acupresure Point For Lactation And Oxytocin
Massage. J. Ners. 10 (1): 9 – 19.
Safitri, R. I., D. W. Harjanti dan E. T. Setiatin. 2015. Evaluasi Kesehatan Sapi
Perah. J. Agripet. 15 (2): 117 – 122.
Saiya, H. V. 2014. Respons fisiologis sapi bali terhadap perubahan cuaca di
Kabupaten Merauke Papua. J. Agricola. 4 (1): 22 – 32.
Saputra, A. R. 2018. Hubungan Konsumsi Protein dan Serat Kasar dengan
Produksi Protein dan Lemak Susu Sapi Perah di Peternakan PT. Moeria
Kabupaten Kudus. Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan dan
Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang. (Skripsi)
Suhendra, D., G. T. Anggiati, S. Sarah, A. F. Nasrullah, A. Thimoty dan D. W. C.
Utama. 2015. Tampilan kualitas susu sapi perah akibat imbangan
konsentrat dan hijauan yang berbeda. J. Ilmu-Ilmu Peternakan. 25 (1): 42
– 46.
Suprihatin, W. 2013. Manajemen Penggemukan Sapi Potong di PT. Tossa Shakti
Divisi Agro Kaliwungu-Kendal. Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
(Skripsi)
Surjowardojo, P. 2011. Tingkat kejadian mastitis dengan whiteside test dan
produksi susu sapi perah friesien holstein. J. of Tropical Animal
Production. 12 (1): 46 – 55
Surjowardojo, P., P. Trisunuwati dan S. Khikma. 2016. Pengaruh lama massage
dan lama milk flow rate terhadap laju pancaran produksi susu sapi
friesian holstein di pt greenfields indonesia. J. of Tropical Animal
Production. 17 (1): 49 – 56
Suryani, N. N., I. G. Mahardika, S. Putra dan N. Sujaya. 2015. Pemberian gamal
tambahan dalam ransum meningkatkan neraca nitrogen dan populasi
mikrob proteolitik rumen sapi bali. J. Veteriner. 16 (1): 117 – 123.
Taofik, A. dan D. Depison. 2010. Hubungan Antara Lingkar Perut dan Volume
Ambing dengan Kemampuan Produksi Susu Kambing Peranakan Ettawa.
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan. 11 (2): 59 – 65.
Trihatmojo, M. I. 2016. Hubungan Antara Konsumsi Serat Kasar dan Lemak
Kasar dengan Kandungan Lemak Susu Sapi Perah di Kecamatan
Kandangan dan Kedu Kabupaten Temanggung. Program Studi
Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro,
Semarang. (Skripsi)
Tubongkasi, Y. M. C. 2016. Pemberian Pakan dan Kualitas Nutrisi Pakan Sapi
Friesian Holstein Fase Laktasi di PT. Karya Anugerah Rumpin,
Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor. Program Studi Peternakan,
Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.
(Skripsi)
Utari, F. D., B. W. H. E. Prasetiyono dan A. Muktiani. 2012. Kualitas susu
kambing perah peranakan ettawa yang diberi suplementasi protein
terproteksi dalam wafer pakan komplit berbasis limbah agroindustri. J.
Animal Agriculture Journal. 1 (1): 427 – 441.
Wina, E dan I. W. R. Susana. 2013. Manfaat lemak terproteksi untuk
meningkatkan produksi dan reproduksi ternak ruminansia. J. Wartazoa.
23 (4): 176-184.
Wirawati, C. U., M. B. Sudarwanto, D. W. Lukman dan I. Wientarsih. 2017.
Tanaman lokal sebagai suplemen pa-kan untuk meningkatkan produksi
dan kualitas susu ternak ruminansia. J. Wartazoa. 27 (3): 145 – 157.
Wulansari, R., S. Palanisarny, H. Pisestyani, M. B. Sudarwanto dan A. Atabany.
2017. Kadar kalsium pada sapi perah enderita mastitis subklinis di Pasir
Jambu, Ciwidey. J. Acta Veterinaria Indonesiana. 5 (1): 16 – 21.