Anda di halaman 1dari 10

KOEFISIEN TOLERANSI PANAS PADA TERNAK

(HEAT TOLERANCE COEFFICIENT/HTC)


(Makalah Ilmu Lingkungan Ternak)

Oleh

Lusia Komala Widiastuti

1514141010

JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Produktivitas ternak merupakan fungsi dari faktor genetik dan faktor lingkungan.

Faktor genetik merupakan faktor yang menentukan kemampuan produksi,

sedangkan faktor lingkungan merupakan faktor pendukung agar ternak mampu

berproduksi sesuai dengan kemampuannya. Faktor lingkungan dapat digolongkan

ke dalam dua bagian yaitu (1) faktor lingkungan yang dapat dikendalikan seperti

kualitas pakan dan manajemen pemeliharaan dan (2) faktor lingkungan yang tidak

dapat dikendalikan seperti keadaan suhu lingkungan (iklim dan cuaca), intensitas

radiasi matahari, kelembaban dan lamanya penyinaran sinar matahari.

Secara umum produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor genetik dan

lingkungan. Bibit unggul dimana telah mengalami kawin silang dan seleksi

bertahap dan ketat tidak akan memberikan produktivitas yang maksimal jika tidak

didukung oleh lingkungan ternak yang nyaman (comfort zone). Demikian pula

sebaliknya, lingkungan ternak yang nyaman tidak akan banyak membantu jika

ternak yang dipelihara mempunyai mutu genetik yang rendah. Oleh sebab itu,

perlu dipahami teori berkenaan dengan Heat Tolerance Coefficient dan

hubungannya dengan Heat Balance.


B. Rumusan Masalah

Tujuan penulisan makalah ini yaitu mengetahui apa itu Heat Tolerance

Coefficient dan Heat Ballances.


BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

A. Pengertian Koefisien Toleransi Panas

Koefisien toleransi panas atau Heat Tolerancy Coefficient (HTC) memiliki banyak

pengertian, yang pada intinya adalah daya tahan panas pada makhluk hidup.

Namun, secara umum HTC dibagi dalam artian luas dan sempit. Dalam arti luas,

HTC memiliki pengertian kesanggupan tubuh ternak dalam menahan efek dari

lingkungan panas tanpa menderita sakit. Sedangkan, dalam arti sempit, HTC

adalah kesanggupan tubuh untuk bertahan pada suhu normalnya.

Ternak hanya dapat hidup pada selang suhu tertentu saja dan kondisi ini disebut

toleransi panas atau Heat Tolerance. Suhu yg ekstrim atau terlalu panas atau

terlalu dingin, berpengaruh buruk terhadap produktivitas ternak. Ternak lokal/asli

umumnya dapat bertahan terhadap suhu tropis yang panas, ternak hasil

persilangan dari ternak lokal dengan ternak ras asal daerah subtropis, dapat

bertahan di daerah yang memiliki suhu dengan kepanasan sedang, sedangkan

ternak ras asal daerah subtropis hanya dapat bertahan di lokasi yang sejuk dingin.
B. Perhitungan Koefisien Toleransi Panas

Ada beberapa rumus yang dapat digunakan untuk menghitung seberapa besar

daya tahan panas pada seekor ternak, yaitu:

B.1 Index Rhoad dengan menggunakan rumus:

HTC       = 100 – 10  (Tf – Ti)

Keterangan:
   HTC    : Heat Tolerance Coefficient
   Tf        : Suhu Tubuh Siang
   Ti         : Suhu Tubuh Pagi
   100      : Angka Efisiensi yang Sempurna
   10        : Angka Konstanta

B.2 Index Benezra dengan menggunakan rumus:

HTC       = TB  +  FR
38,3 23

Keterangan :
   HTC    : Heat Tolerance Coefficient
   TB       : Rataan Harian Suhu Tubuh Sapi (oC)
   FR       : Rataan Harian Frekuensi Nafas (1 Menit)
   38,3     : Angka Standar Suhu Tubuh Sapi
   23        : Angka Standar Frekuensi Nafas Sapi (1 Menit)

C. HTC pada Sapi

Berikut adalah data HTC berbagai ternak:

HTC (Rumus Rhoad) di Eropa:

 Sapi Zebu 89

 Sapi 0.5 Zebu + 0.5 A. Angus 84


 Sapi Santa Gertrudis 82

 Sapi Jersey 79

 Sapi A. Angus 59

HTC di Indonesia:

 Ongole 95.8

 Bali 94.9

 Madura 93

 Red Danish 61

 Madura x Red Danish (F1) 70

Heat Tolerance Coefficient (Index Benezra) merupakan suatu indeks yang

menjelaskan sampai batas mana ternak dapat mempertahankan suhu tubuhnya

agar tetap pada zona nyaman (Arifin et al., 2012) dengan melihat frekuensi nafas

dan suhu pada tubuh ternak. Ternak mengalami stress ringan jika ditandai dengan

tingginya frekuensi nafas untuk membuang panas sebagai usaha untuk

mempertahankan suhu tubuhnya, karena normalnya HTC index Benezra sebesar

2.

Arifin et al. (2012) menyatakan bahwa nilai HTC (Benezra) yang baik adalah 2,

jika nilai HTC lebih dari 2 atau kurang dari 2, maka ternak tersebut berada pada

kondisi yang tidak nyaman, dan akan mengakibatkan penurunan produktivitas

ternak. Susilawan et al. (2013) menambahkan bahwa HTC (Index Benezra)

dipengaruhi oleh rataan harian suhu tubuh, dan rataan harian frekuensi nafas sapi

selama 1 menit.
HTC (Index Rhoad) tidak jauh berbeda dengan index Benezra, hanya saja Index

Rhoad menggunakan suhu tubuh siang dan suhu tubuh pagi untuk mencari

HTCnya. Stress ringan terjadi jika nilai Index Rhoad semakin mendekati 100,

ternak semakin nyaman. Warsono dan Mu’in (2008) menyatakan bahwa HTC

(Rhoad) dapat dihitung berdasarkan temperatur rektal ternak, dan standar nilai

HTC (Rhoad) adalah 100. Susilawan et al. (2013) menambahkan bahwa

ketahanan ternak terhadap panas akan menentukan kenyamanan ternak dan

akhirnya juga akan mempengaruhi produktivitas ternak.

Dalam jurnal Arifin et al (2012), bangsa sapi PO yang mengalami cekaman panas

dapat ditandai dengan meningkatnya frekuensi pernafasan dan suhu tubuh yang di

ikuti penurunan produktivitasnya. Suhu tubuh dan frekuensi pernafasan

merupakan parameter dasar yang dipakai untuk menduga daya adaptasi ternak.

Kenaikan suhu tubuh dan frekuensi pernafasan sebanding dengan kenaikan Heat

Tolerance Coefficient (HTC).

Daya adaptasi ternak dapat diketahui dengan cara mengukur HTC dan PBB. Jika

nilai HTC kurang atau lebih dari 2 maka ternak tidak dalam kondisi nyaman,

sehingga pada akhirnya pertambahan bobot badan (PBB) menjadi semakin

rendah. Dengan dilakukan perbaikan pakan dengan pemberian konsentrat agar

dapat dibandingkan cekaman sebelum dan sesudah pemberian. Nilai HTC (Heat

Tolerance Coefficient) merupakan salah satu cara untuk mengetahui suatu ternak

dalam kondisi tercekam atau tidak. Parameter yang dapat diamati untuk

menghitung nilai HTC adalah frekuensi pernafasan dan suhu tubuh ternak

tersebut. Frekuensi pernafasan meningkat bila suhu tubuh meningkat sehingga

didapatkan HTC juga akan meningkat. Suhu tubuh akan normal kembali bila
panas yang dikeluarkan melalui pernafasan seimbangan dan akan diikuti oleh

penurunan frekuensi pernafasan serta HTC.

Suhu tubuh dan frekuensi pernafasan merupakan parameter dasar yang dipakai

untuk menduga daya adaptasi ternak (Amakiri and Funsho, 1979). Semakin besar

kenaikan suhu tubuh dan frekuensi pernafasan maka Heat Tolerance Coefficient

(HTC) semakin tinggi. Ternak dapat dikatakan memiliki tingkat ketahanan

terhadap panas yang baik jika nilai HTC = 2 dan semakin tinggi nilai HTC berarti

semakin rendah tingkat ketahanannya. Hal ini dikarenakan semakin besar

kenaikan suhu tubuh dan frekuensi pernafasan maka HTC semakin tinggi

(Monstma, 1984). heat stress pada ternak mengakibatkan temak mengalami

gangguan fungsi fisiologi dan penurunan imunitas (Mader, Davis, and

BrownBrandl, 2006).
III. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa Heat

Tolerance Coefficient merupakan nilai atau ukuran yang dapat menjadi batasan

sejauh mana ternak mampu menahan cekaman panas dan kemampuannya untuk

mempertahankan keseimbanagan panas tubuh normalnya atau biasa disebut Heat

Balance. Nilai HTC dapat dihitung dengan menggunakan rumus Rhoad dan

Benezra dengan menggunakan parameter suhu tubuh normal ternak, jumlah

respirasi ternaki normal dan pada saat pengukuran, dan suhu rektal.
DAFTAR PUSTAKA

Amakiri, S.P., dan O.N. Funsho. 1979. Studies of rectal temperature, respiratory
rates and heat tolerance in cattle in  humit tropics. Journal Animal
Production. Departement of Veterinary Anatomy. Nigeria. No. 3, vol. 1, pp.
329—335.

Arifin. S., Nugroho. H., dan Busono. W. 2012. Nilai HTC (Heat Tolerance
Coefficient) pada sapi Peranakan Ongole (PO) betina dara sebelum dan
sesudah diberi konsentrat di daerah dataran rendah. Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya, Malang.

Mader, T.L., M.S. Davis,dan B. Brandl, 2006.Environmental factors influencing


heat stress in feedlot cattle.  Journal of Animal Science. No. 1, vol. 84. pp.
712.

Monstma, G. 1984. Tropical Animal Production I (Climats and Housing). T20 D


Lecture Notes.  XE 400—103.

Susilawan, A. W., Busono. W.dan Nugroho. H. 2013. Pengaruh ketinggian tempat


terhadap nilai HTC (Heat Tolerance Coefficient) pada sapi Peranakan
Limousine (LIMPO) betina dara sebelum dan sesudah diberi konsentrat.
Universitas Brawijaya. Malang.

Warsono, I. U., dan M. A. Mu’in. 2008. Daya tahan panas Sapi Bali di Kabupaten
Mnokwari. Jurnal Ilmu Peternakan. Vol. 3: 20-23

Anda mungkin juga menyukai