Anda di halaman 1dari 9

PENGARUH GAMELAN

SEKATEN
MATA KULIAH : ETNOMUSIKOLOGI
DOSEN PENGAMPU : DR. AM. SUSILO PRADOKO, M.SI.

DISUSUN OLEH :
MOCHAMMAD IHSAN 14208241054
ALVIAN HANIF DARMAWAN 15208241002
ANDIKA PRATAMA 15208241008

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MUSIK


JURUSAN PENDIDIKAN MUSIK
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2017
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gamelan Sekaten adalah perangkat gamelan yang paling dianggap


berkaitan dengan upacara Islam dan diduga sudah ada sejak jaman
MAJAPAHIT.

Kegiatan sekatenan sudah ada sejak jaman kerajaan Demak sebagai


kerajaan Islam pertama di Jawa pada pertengahan abad ke-16.
Tentang nama atau asal - usul nama 'sekaten' ada beberapa pendapat.
Nama Sekaten dikaitkan dengan kata syahadatain, kalimat syahadat yang
harus diucapkan seseorang ketika masuk agama Islam.

Nama Sekaten juga ada yang mengaitkan dengan jarwa dhosok


dalam bahasa Jawa 'sisig (ing) ati' yang, katanya menggambarkan sesaknya
perasaan orang-orang yang berdesakan datang begitu mendengar suara
gamelam yang aneh. Nama sekaten juga ada yang mengaitkan dengan
ukuran satuan berat yang digunakan oleh masyarakat Jawa masa lampau:
se(satu) kati. Hal itu dihubungkan dengan ukuran besarnya gamelan dan
paling berat di antara gamelan yang ada (Supanggah, 2002: 47-48).

Di Kraton Surakarta gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur


Sari sengaja dibuat dalam ukuran besar untuk menghasilkan suara yang
keras sehingga terdengar dari jarak jauh untuk menarik rakyat sehubungan
dengan sarana dakwah agama Islam.

Berdasarkan uraian di atas, penulis bermaksud menjelaskan


pengaruh Gamelan Sekaten terhadap masyarakat sekitar tradisi Gamelan
Sekaten di Keraton Yogyakarta sebagai bahan yang patut dikaji dan pelihara
serta menambah pengetahuan terhadap budaya tradisional yang ada di Jawa.
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh Gamelan Sekaten terhadap masyarakat sekitar


Yogyakarta?
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengaruh Gamelan Sekaten Terhadap Masyarakat Yogyakarta

 Sejarah Lahirnya Tradisi Sekaten


Kerajaan Demak pada pemerintahan Raden Patah (Sultan Ngabdul
Surya Ngalam I) diadakan perubahan drastis tanpa disosialisasikan dengan
para Wali terlebih dahulu, yaitu Selamatan Negara Tahunan ditiadakan
karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Agama Islam. Hal tersebut
menimbulkan keresahan bagi masyarakat yang tidak bisa menerima
kehendak Sultan. Bersamaan dengan ditiadakannya upacara tersebut
diseluruh wilayah Kerajaan Demak timbul wabah penyakit yang banyak
menyebabkan kematian warga masyarakat. Atas nasihat Wali Sanga untuk
membangkitkan lagi kepercayaan masyarakat, maka Sultan Demak berkenan
mengadakan kembali Upacara Selamatan Negara Tahunan yang dikemas
dan diselaraskan dengan ajaran Islam dibawah binaan Sunan Giri dan Sunan
Bonang (Wignyasubrata : 2). Tidak lama kemudian, wabah penyakit reda
dan rakyat hidup tentram.

Sejak saat itulah Perayaan Sekaten diselenggarakan sebagai


perwujudan pengganti serta pelestarian Selamatan Negara Tahunan yang
selalu diselenggarakan Raja Hindu-Budha secara turun temurun. Pada
perkembangannya perayaan Sekaten (Garebeg Maulud) di Demak diikuti
oleh daerah lain seperti Surakarta, Yogyakarta, Cirebon, Banten dan Aceh.
Khususnya di Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon perayaan Maulud disebut
Sekaten (Mustafa, 2004 : 86).
Sekaten diperkenalkan oleh Raden Patah di Demak abad 16. Saat itu
orang Jawa beralih memeluk agama Islam dengan mengucapkan
syahadatain. Oleh karena itu, penggunaan nama Sekaten pada perayaan
tersebut menjadi terkenal. Perayaan Sekaten kemudian diteruskan oleh
Sultan-sultan berikutnya sehingga menjadi perayaan tahunan yang
diperingati oleh banyak masyarakat. Sekaten menjadi nilai peninggalan dari
hasil interaksi antara budaya Hindu-Budha dan Islam yang berbentuk
kebudayaan Non Fisik. Proses interaksi tersebut secara langsung
mempercepat proses Islamisasi di Pulau Jawa.
Istilah Sekaten berasal dari bahasa Arab kata syahadatain, pengakuan
percaya kepada ajaran agama Islam, tidak ada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah Rasul-nya (Mustafa, 2004 : 148).
Sekaten selain berasal dari kata syahadatain, juga berasal dari kata:
1) Sahutain : menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni
sifat lacur dan menyeleweng.
2) Sakhatain : menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan
dan sifat setan karena watak tersebut sumber kerusakan.
3) Sakhotain : menamankan perkara dua, yaitu selalu memelihara
budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada
Tuhan.
4) Sekati : setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau
menilai hal-hal yang baik dan buruk.
5) Sekat : batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak
berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan.
Kerajaan Mataram yang beribukota di Surakarta tahun 1755 pecah
menjadi dua, ialah Kasunanan Surakarta yang beribukota di Surakarta (Sala)
di bawah pimpinan Sri Sunan Pakubuwono III dan Kasultanan Yogyakarta
yang beribukota di Ambarketawang Gamping, kemudian pindah di kota
Yogyakarta yang sekarang di bawah pimpinan Sultan Hamengkubuwono X.
Pemecahan Kerajaan Mataram menjadi dua ditentukan dalam perjanjian
Giyanti (Poerwokoesoemo, 1971 : 1). Pusaka Keraton dibagi menjadi dua,
seperti halnya gamelan. Kasunanan Surakarta memperoleh Gamelan Kiai
Guntursari dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat memperoleh
Gamelan Kanjeng Kiai Gunturmadu. Sebagai imbangan supaya tetap dua
perangkat lalu dibuat perangkat gamelan yang lain dan diberi nama Kanjeng
Kiai Nagawilaga. Gamelan inilah yang nantinya digunakan dalam setiap
perayaan Sekaten, yang kemudian menjadi khasnya alat musik perayaan
Sekaten.
Garebeg Maulud (Sekaten) pada masa Hamengkubuwono I merupakan
upacara Kerajaan yang melibatkan seisi Keraton, seluruh aparat Kerajaan,
seluruh lapisan masyarakat dan mengharuskan para pembesar Pemerintah
Kolonial berperan serta.
Dari penyelenggaraan Sekaten, secara publik terlihatlah kehadiran
Kasultanan Yogyakarta yang baru berdiri sebagai kehadiran tradisi Jawa
Islam. Sekaten yang secara formal bersifat keagamaan dikaitkan dengan hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dari situ secara publik juga menjabarkan
gelar Sultan yang bersifat kemusliman : Ngabdurrahman Sayidin
Panatagama Kalifatullah (Mondoyokusumo, 1977 : 9).
Sekaten yang menurut sejarahnya merupakan upacara tradisional
keagamaan Islam dalam membentuk akhlak dan budi pekerti luhur, tetap
dilestarikan oleh para pengganti Sri Sultan Hamengkubuwono I (Soelarto,
1996 : 19).
Jika Kerajaan dalam keadaan gawat, misalnya dalam keadaan perang
maka penyelenggaraan Sekaten dapat ditiadakan. Disisi lain meski Kerajaan
dalam keadaan gawat, namun jika memungkinkan Baginda atau Wakil
Baginda tetap melangsungkan upacara Sekatenan. Misalnya yang terjadi
antara bulan Desember 1810-September 1811 Kasultanan Yogyakarta
dilanda kemelut. Gubernur Jenderal Daendels menurunkan Sri Sultan
Hamengkubuwono II (Sultan Sepuh) dari tahta Kerajaan dan
menggantikannya dengan Putra Mahkota untuk menjadi Sultan yang ke-III.
Meski dalam suasana kemelut tetapi Sekaten tetap diselenggarakan.
Seperti waktu garebeg sijam Maulud dan Besar, Beliau (Sultan Sepuh)
dipersilahkan datang, Beliau duduk disebelah anaknya (Soetanto, 1952 : 74-
75).
Terbentuknya tradisi Sekaten merupakan ekspresi masuk dan
tersosialisasinya Islam kebumi Nusantara secara damai, karena memang
Islam sendiri tidak mengenal kekerasan. Itulah sebabnya agama Islam
mendapat banyak simpati dari masyarakat di Jawa.
Dalam perjalanan sejarah tradisi Sekaten tidak lagi menjadi milik
Kerajaan saja, tetapi rakyat DIY merasa ikut memilikinya (melu
handarbeni). Bagi sebagian besar masyarakat di Propinsi DIY, baik
masyarakat perkotaan maupun masyarakat pedesaan tradisi Sekaten selain
dinilai sebagai upacara religius keislaman yang bercorak khas kejawen
dengan segala hikmah dan berkah yang juga merupakan kebanggaan daerah
yang selalu mengingatkan kepada sejarah zaman keemasan Kerajaan
Mataram Islam yang didirikan oleh Panembahan Senopati (Soelarto, 1996:
24).

 Pengaruh Gamelan Sekaten


Menurut Budi Soeharto ”Penjual Bunga” 75 tahun, saat ditanyai
mengenai pengaruh Gamelan Sekaten. Menurutnya setiap Gamelan Sekaten
dibunyikan maka akan membuat pendengar merasa tenteram dan damai
karena pada dasarnya Gamelan Sekaten itu simbol keagungan ratu atau raja.
Gamelan Sekaten saat perayaan Sekaten diletakkan di sisi utara (Gamelan
Sekaten Kanjeng Kyai Naga Wilaga) dan diletakkan di sisi selatan (Gamelan
Sekaten Kyai Guntur Madu). Budi Soeharto menambahkan setelah Gamelan
Sekaten dimainkan, sebaiknya kita mengambil bunga-bunga yang digantung
pada serambi-serambi ruangan karena kembang tersebut diyakini membuat
rezeki kita lancar dan membawa kebaikan.
Menurut Budi Pranoto “Abdi Dalem” 62 tahun, Gamelan Sekaten
sejatinya jika dilihat dari sudut pandang Islam, Gamelan Sekaten dijadikan
sebagai media penyebaran agama Islam. Ukuran Gamelan Sekaten pada
dasarnya lebih besar dari ukuran gamelan lainnya bertujuan agar saat
dimainkan suara yang dihasilkan lebih keras sehingga dapat memikat
masyarakat sekitar. Setelah berkembangnya zaman Gamelan Sekaten
berfungsi sebagai media belajar masyarakat awam dan sebagai upaya
pelestarian budaya. Gamelan Sekaten memberi dampak positif bagi
pendengarnya. Menurut Budi Pranoto, acara Gamelan Sekaten memberi
pengaruh terhadap masyarakat agar kegiatan Sekaten tidak dilupakan begitu
saja. Bagi masyarakat Jawa mengetahui Sekaten itu penting.
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sekaten berasal dari bahasa Arab, yaitu “syahadatain” yaitu kalimat
syahadat yang merupakan suatu kalimat yang harus dibaca oleh seseorang
untuk masuk Islam, yang mempunyai arti: Tiada tuhan selain Allah dan
Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Sekaten selain berasal dari kata
syahadatain juga berasal dari kata : (1) Sahutain : menghentikan atau
menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng; (2) Sakhatain
: menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan, karena
watak tersebut sumber kerusakan; (3) Sakhotain : menanamkan perkara dua,
yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan
diri pada Tuhan; (4) Sekati : setimbang, orang hidup harus bisa menimbang
atau menilai hal-hal yang baik dan buruk; (5) Sekat : batas, orang hidup
harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas
kebaikan dan kejahatan.(K.R.T. Haji Handipaningrat : 3).
Menurut masyarakat Jogja setiap Gamelan Sekaten dibunyikan maka
akan membuat pendengar merasa tenteram dan damai karena pada dasarnya
Gamelan Sekaten itu simbol keagungan ratu atau raja.
Menurut Budi Pranoto “Abdi Dalem” 62 tahun, Gamelan Sekaten
sejatinya jika dilihat dari sudut pandang Islam, Gamelan Sekaten dijadikan
sebagai media penyebaran agama Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Perayaan Sekaten dari https://id.scribd.com/doc/196094572/Perayaan-Sekaten


diakses pada tanggal 23 Desember 2017, pukul 16.05 WIB

Gamelan Sekaten dari https://ki-demang.com/index.php/kesenian-


tradhisional/591-32-gamelan-sekaten/ diakses pada tanggal 23 Desember
2017, pukul 16.38 WIB

Anda mungkin juga menyukai