Anda di halaman 1dari 23

FORMULIR PENETAPAN WARISAN BUDAYA TAKBENDA

1. Kode Pencatatan (diisi oleh Kementerian)


Tahun Nomor
2 0 2 3

2. a. Nama warisan budaya takbenda (isi nama yang paling umum dipakai)
Gending Alit Sekaten Pakualaman

2. b. Nama warisan budaya takbenda dalam aksara dan bahasa yang bersangkutan

2. c. Nama lain warisan budaya takbenda (varian atau alias nama budaya takbenda)
Gending Alit Sekaten Pakualaman

3. Domain warisan budaya takbenda (contreng satu atau lebih)

(01) Tradisi dan ekspresi lisan


(02) Seni pertunjukan
✓ (03) Adat istiadat masyarakat, ritual, dan perayaan-perayaan
(04) Pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta
(05) Keterampilan dan Kemahiran kerajinan tradisional
4. Kondisi warisan budaya takbenda saat ini (contreng salah satu)

(01) Sedang berkembang


✓ (02) Masih bertahan
(03) Sudah berkurang
(04) Terancam punah
(05) Sudah punah atau tidak berfungsi lagi dalam masyarakat

5. Lokasi dan persebaran warisan budaya takbenda


Kadipaten Pakualaman, Kota Yogyakarta, DI Yogyakarta

6. Identifikasi dan definisi mengenai warisan budaya takbenda (termasuk aspek kesejarahan,
aspek sosial, dan fungsinya dalam masyarakat), maksimal 1000 kata.

1. Sejarah dan Penamaan Gending Alit Sekaten


Perayaan sekaten di Pura Pakualaman dipercaya telah dilakukan sejak PA I mulai
bertakhta. Akan tetapi, beberapa sumber mengatakan bahwa Gamelan Sekaten Alit baru
digunakan pada PA II. Pandangan ini dikemukakan oleh Tamdaru Tjokrowerdojo, seorang
kemenakan PA VIII yang pernah diwawancarai oleh Abujana (1994, hal. 17). Yang menarik
adalah Tjokrowerdojo mengatakan kedua perangkat Gamelan Sekaten Alit tersebut tidak dibuat
secara bersamaan. Bahkan, keduanya dibuat di zaman yang berbeda dengan selisih hampir 50
tahun lamanya. Pada tahun 1829, PA II membuat gamelan Kyai Kombangtawang, sementara
Kyai Madusedana baru dibuat oleh PA V pada tahun 1878. Ada juga sumber lain seperti Walujo
(1990, hal. 62) yang mengatakan bahwa Kyai Kombangtawang baru dibuat pada era PA V.
Dalam wawancara dengan GPH Indrokusumo dan KRMT Projokusumo (Pak Murhadi),
perbedaan pandangan ini dijelaskan sebagai akibat dari tidak adanya bukti yang mumpuni untuk
menentukan sejak kapan perangkat Gamelan Sekaten Alit dibuat dan digunakan di Pura
Pakualaman. Akan tetapi, kemungkinan bahwa pada zaman PA I Gamelan Sekaten Alit belum
digunakan dapat dipahami sebagai suatu penggambaran situasi politik Kadipaten Pakualaman
yang pada waktu itu baru saja berdiri dan masih belum mapan.
Pak Murhadi menerangkan bahwa cukup bisa dimengerti apabila Gamelan Sekaten Alit
baru dibuat oleh PA II, karena ini sejalan dengan pembangunan Masjid Pakualaman yang juga
terjadi pada zaman PA II. Melihat fungsi utama masjid sebagai tempat ibadah. Gamelan
Gending Alit Sekaten Pakualaman tidak ditabuh di dalam masjid sebab bangunan masjid
dianggap cukup kecil untuk menampung seluruh perangkat Gamelan Gending Alit melainkan
diainkan masih di dalam area pelaksanaan Sekaten di Pakualaman.

Ada beberapa hal yang disangsikan di dalamnya sebab penamaannya berbeda versi. Namun
gending ini dipercaya sudah ada sejak Kadipaten Pura Pakualaman terbentuk. Sejak lama
sebelum terbentuknya Republik Indonesia, wilayah yang kini menjadi Daerah Istimewa
Yogyakarta telah memiliki dua praja dengan pemimpin dan sistem pemerintahannya masing-
masing. Ketika Kasultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono
(disingkat HB) baru berdiri beberapa dekade, terbentuklah suatu praja yang dinamakan
Kadipaten Pakualaman dengan pemimpin yang disebut Adipati Paku Alam (disingkat PA).
Dalam tulisan Djoko Walujo (1990, hal. 30) yang kemudian ditegaskan kembali oleh Abujana
(1994, hal. 16), dikatakan bahwa salah satu putra dari Sultan Hamengku Buwono yang Pertama
(HB I) yang bernama Bendara Pangeran Haryo (BPH) Nata Kusuma dinyatakan sebagai seorang
Pangeran Merdika oleh Gubernur Raffles pada tahun 1812. Akan tetapi, barulah pada tahun
1813 terjadi kesepakatan antara BPH Nata Kusuma dan John Crawfurd sebagai Residen
Yogyakarta yang menentukan berdirinya Kadipaten Pakualaman sebagai wilayah dengan
pemerintahannya sendiri atau swapraja.
Dalam hal sebagai salah satu penerus dari Dinasti Mataram Islam, Kadipaten Pakualaman
tentu saja turut merayakan hari-hari besar keagamaan Islam. Selain Grebeg Mulud yang telah
disebutkan sebelumnya, ada pula Grebeg Syawal yang dilakukan saat hari raya Idul Fitri dan
Grebeg Besar saat hari raya Idul Adha. Seperti di kraton, gamelan pun ikut ditabuh dalam
perayaan grebeg yang dilangsungkan di Pura Pakualaman. Hanya saja, gamelan yang digunakan
oleh Pura Pakualaman disebut sebagai Gamelan Sekaten Alit. Hal ini merupakan konsekuensi
etis dari perbedaan status antara Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Karena
seorang Adipati derajatnya berada di bawah seorang Sultan, maka atribut-atribut yang
diasosiasikan dengannya pun harus lebih kecil tingkatannya. Dari sinilah istilah alit yang berarti
kecil ditambahkan ke dalam nomenklatur sekaten hingga menjadi sekaten alit. Konsekuensinya,
gamelan yang ditabuh dalam perayaan sekaten di Kadipaten Pakualaman disebut sebagai
Gamelan Sekaten Alit dan gendhing-gendhing yang dibawakan pun disebut sebagai gendhing
Sekaten Alit. Tentu saja, perbedaan derajat dan nama ini kemudian menurunkan perbedaan-
perbedaan dalam banyak hal lainnya yang melahirkan kekhususan-kekhususan dalam penyajian
gendhing-gendhing Sekaten Alit Pakualaman.

2. Deskripsi Gending Sekaten Alit Pakualaman


Dalam pemahaman mengenai gendhing harus dijabarkan setidaknya dalam dua aspek
yang mendasar, yakni bentuk dan isi. Yang dimaksud dengan bentuk di sini telah dijelaskan
oleh Abujana (1994, hal. 33) melalui klasifikasi gendhing ke dalam tiga tingkatan, yakni
gendhing alit, gendhing tengahan, dan gendhing ageng. Sementara, Surjodiningrat (1996, hal.
xi) menyebutkan klasifikasi yang berbeda, yakni gendhing alit, gendhing ageng, dan gendhing
non ageng/alit. Dalam kaitannya dengan gendhing-gendhing Sekaten Alit, perbedaan klasifikasi
ini tidak begitu menjadi persoalan, karena hanya ada tiga bentuk gendhing yang dibawakan
sebagai gendhing Sekaten Alit, yakni gendhing-gendhing berbentuk ladrang dan gendhing-
gendhing pakurmatan yang terdiri dari gendhing Monggang dan gendhing Kodhokngorek. Baik
dalam penjelasan Abujana maupun Surjodiningrat, bentuk ladrang merupakan salah satu jenis
gendhing alit, sementara gendhing Monggang dan gendhing Kodhokngorek disebut sebagai
gendhing khusus oleh Abujana dan sebagai gendhing non ageng/alit oleh Surjodiningrat. Untuk
mempermudah penjelasan, selanjutnya gendhing Monggang dan gendhing Kodhokngorek akan
digolongkan sebagai gendhing pakurmatan, sesuai dengan fungsinya yang akan dijelaskan di
bagian lain.
Mengenai isi gendhing, Soeroso (1985/6, hal. 97) dan Martopangrawit (1975, hal. 7)
sejalan mengatakan bahwa bunyi yang dituangkan melalui tabuhan instrumen kategori balungan
dapat dianggap sebagai kerangka dasar dari isi suatu gendhing. Nada-nada yang dibunyikan
oleh balungan tersebut menentukan kontur melodi dari gendhing yang dibawakan dan
menjadikan gendhing tersebut berbeda dari gendhing yang lain meskipun bentuk gendhingnya
sama. Dalam gendhing-gendhing Sekaten Alit, gendhing-gendhing yang berbentuk ladrang
akan memiliki struktur irama yang sama yang ditandai dengan pola tabuhan kendhang dan
bedhug beserta gong, kempul, kenong, dan kempyang, tetapi akan memiliki melodi yang
berbeda-beda seturut notasi balungan tiap-tiap gendhing. Inilah sebabnya penulisan judul
gendhing selalu menyematkan bentuk gendhing dan nama yang menggambarkan isi gendhing
beserta keterangan laras dan pathet yang digunakan untuk membunyikannya. Misalnya,
Ladrang Gajahendro Slendro 9 yang berarti gendhing bernama Gajahendro berbentuk ladrang
yang menggunakan laras slendro pathet sanga.

3. Tiga Kaki Gendhing: Gamelan, Pola Tabuhan, dan Notasi


Pembicaraan mengenai gendhing dalam seni karawitan Jawa tentu tidak dapat dilepaskan
dari setidaknya tiga elemen yang digunakan dalam penyajiannya, yakni perangkat gamelan yang
digunakan untuk menyajikan gendhing, teknik dan pola tabuhan yang digunakan untuk
menyajikan gendhing, dan sistem notasi yang digunakan untuk merepresentasikan bunyi
gendhing yang disajikan. Tiga elemen tersebut kira-kira dapat dipadankan dengan kertas, pena,
dan aksara yang digunakan oleh seseorang untuk menuliskan isi pikirannya sehingga dapat
menyampaikan maksudnya dengan baik kepada orang yang membacanya. Tanpa gamelan, pola
tabuhan, dan notasi, menyajikan suatu gendhing untuk didengarkan orang sama seperti
menyuruh orang membaca suatu tulisan tanpa media kertas, pena, dan aksara. Meski analogi ini
masih jauh dari sempurna untuk menjelaskan posisi dan hubungan antara gamelan, pola tabuhan,
dan notasi sebagai tiga elemen vital dalam penyajian gendhing, tetapi sekiranya telah cukup
memuaskan dalam menekankan kebutuhan akan penjelasan ketiga elemen tersebut sebagai
pengantar pembahasan mengenai gendhing.
1. Gamelan Sekaten Alit
Dalam penjabaran mengenai Gamelan Sekaten Alit Pakualaman berikut, ada empat aspek
yang akan diulas. Pertama-tama akan disajikan perbedaan penamaan perangkat Gamelan
Sekaten Alit dalam berbagai versi, diikuti dengan perbedaan pandangan mengenai asal-usul
atau sejarahnya. Selanjutnya, perubahan tempat penyajian Gamelan Sekaten Alit juga akan
diterangkan sesuai dengan keterangan dari berbagai sumber. Terakhir, perubahan dan
penyesuaian ricikan atau instrumen dari perangkat Gamelan Sekaten Alit akan dijelaskan
beserta alasanalasan yang mendasarinya. Seperti yang terdapat di kraton, Pura Pakualaman
juga memiliki sepasang perangkat gamelan yang ditabuh dalam perayaan sekaten. Akan
tetapi, ada dua pandangan berbeda mengenai penamaan yang disematkan pada sepasang
perangkat gamelan tersebut. Beberapa sumber seperti Djoko Walujo (1990, hal. 46),
Abujana (1994, hal. 6), dan Sutrisno Setya Hartana (2006, hal. 38) mengatakan bahwa dua
perangkat Gamelan Sekaten Alit yang ada di Pura Pakualaman bernama Kyai
Kombangtawang (yang berlaras pelog) dan Kyai Madusedana (yang berlaras slendro).
Serupa dengan penamaan Gamelan Sekaten di kraton, kedua perangkat tersebut disebut
sebagai Kyai. Artinya, keduanya diberi sifat yang maskulin. Meski begitu, berbeda dengan
Pura Pakualaman, kedua Gamelan Sekaten yang ada di Kraton. Yogyakarta sama-sama
berlaras pelog (lihat Surjodiningrat, 1996, hal. x).
Dalam penjelasan mengenai berbagai perangkat gamelan yang digunakan di Pura
Pakualaman yang tercantum dalam buku Warnasari Sistem Budaya Kadipaten Pakualaman
(Suryodilogo et al, 2011, hal. 105-107), dituliskan bahwa kedua perangkat Gamelan
Sekaten Alit di Pura Pakualaman bernama Kyai Kombangtawang (pelog) dan Nyai
Madusedana (slendro). Salah satunya maskulin, dan satu lainnya feminin. Perbedaan
penamaan ini dipertegas lagi dalam wawancara dengan Penghageng Kawedanan Budaya
lan Pariwisata Pura Pakualaman, Gusti Pangeran Haryo (GPH) Indrokusumo, dan mantan
koordinator penabuh Gamelan Sekaten Alit Pura Pakualaman, Kanjeng Raden Mas
Tumenggung (KRMT) Projokusumo, tanggal 15 Juli 2022 di Perpustakaan Pura
Pakualaman. Menurut KRMT Projokusumo yang kerap disapa sebagai Pak Murhadi,
penamaan sepasang Gamelan Sekaten Alit di Pura Pakualaman sejak dulu sudah sepasang,
yakni laki-laki dan perempuan. Ada dua alasan yang mendasari penamaan seperti ini, yakni
dari segi arti nama tiap perangkat gamelan dan dari elemen rasa yang hadir secara spiritual
pada penabuhnya.
Pertama, penamaan Kyai Kombangtawang dengan sifat maskulin dan Nyai Madusedana
dengan sifat feminin dikatakan berasal dari kata kombang dan madu. Kombang yang berarti
kumbang adalah sosok makhluk maskulin yang menghampiri dan menghisap sari madu
yang feminin. Penjelasan ini tampak mudah untuk diterima dalam logika, namun ada
pertanyaan lain yang patut dikemukakan. Apabila istilah madu dikatakan bersifat feminin,
tentu hal ini tidak konsekuen dengan penamaan salah satu Gamelan Sekaten di Kraton
Yogyakarta dan Kraton Surakarta yang sama-sama disebut Kyai Gunturmadu. Meski
memiliki elemen kata madu, kedua perangkat tersebut tetap disebut sebagai Kyai, yang
artinya maskulin. Mungkin saja kata guntur yang juga menyertai penamaan itu dapat
disifatkan sebagai maskulin, tetapi kombinasi dua elemen maskulin dan feminin sekaligus
dalam penamaan satu perangkat gamelan justru makin mengundang pertanyaan dalam
usaha menjelaskan penamaan ini. Masih banyak lagi penamaan gamelan yang
menggunakan kata madu namun tetap disebut sebagai Kyai, seperti Kyai Sirat Madu, Kyai
Madu Kentir, Kyai Madukusuma, dan Kyai Madumurti yang ada di Kraton Yogyakarta
(lihat Surjodiningrat, 1996, hal. x). Perlu penjelasan lain untuk mendukung pemahaman di
balik penamaan perangkat Gamelan Sekaten Alit.
2. Pola Tabuhan
Pada dasarnya, pola tabuhan yang digunakan dalam menabuh gendhing-gendhing Sekaten
Alit Pakualaman sejalan dengan pola tabuhan gendhing-gendhing bergaya Mataraman pada
umumnya, terutama karena gendhing-gendhing yang dibawakan berbentuk ladrang yang telah
dikenal. dan dimainkan secara luas dalam masyarakat Jawa di berbagai daerah. Meski begitu,
Sugimin (2018, hal. 68) telah menjelaskan bahwa gendhinggendhing yang sama dapat
ditampilkan secara berbeda apabila dimainkan di tempat yang berbeda dan dalam kelompok
yang berbeda pula. Misalnya, dalam penyusunan nada balungan gendhing, yakni nada-nada
yang menjadi kerangka pembentuk lagu, sangat lumrah apabila terjadi perbedaan yang
disebabkan ingatan dan kreativitas para penabuh yang berbeda-beda. Umumnya, yang menjadi
tolak ukur yang selalu sama adalah nada-nada yang disebut seleh pada akhir setiap gatra dalam
gendhing. Bagaimana perjalanan balungan hingga mencapai tiap-tiap seleh tersebut cenderung
terbuka untuk divariasikan. Selain karena faktor ingatan penabuh, Sugimin juga menyebutkan
bahwa tentu ada usaha menampilkan ciri khas dari tiap-tiap kelompok. Karawitan yang berkiblat
pada Kasultanan Yogyakarta tentu akan menampilkan identitas yang berbeda Kasunanan
Surakarta, dan sebaliknya. Alhasil, gendhinggendhing yang dikenal secara umum dan bahkan
sudah dimainkan sejak sebelum kerajaan Mataram terpecah pun akhirnya turut dipecah menjadi
gaya yang berbeda-beda.
Sebagai tradisi dalam kadipaten yang tumbuh dan berkembang di wilayah Yogyakarta, tentu
para niyaga Pura Pakualaman mengarahkan pola tabuhannya dengan memperhatikan gaya
Yogyakarta. Sebelumnya telah dijelaskan keberadaan instrumen seperti kenong japan yang
merupakan ciri khas karawitan Yogyakarta yang memainkan gendhing-gendhing soran bersifat
gagah dan keras. Ada juga instrumen gambyong atau bonang panembung yang berukuran lebih
besar dan bersuara lebih rendah dari bonang barung. Kedua instrumen tersebut tidak dapat
ditemukan dalam karawitan yang bergaya Surakarta. Karena itu, tabuhannya pun pasti memiliki
pola khusus, misalnya seperti teknik ngedhong pada bonang panembung. Mengenai rincian pola
tabuhan gendhing bergaya Yogyakarta dan perbedaannya dengan gaya Surakarta lebih lanjut
dapat dilihat dalam tulisan Sugimin (2018). Penjelasan dan penjabaran lebih lengkap mengenai
garap, teknik, dan pola tabuhan dalam permainan gamelan juga dapat dibaca dalam tulisan
Martopangrawit (1975) dan tulisan Soeroso (1985/6).
Sebagai konsekuensi logis dari perbedaan format ricikan atau instrumen yang digunakan dalam
Gamelan Sekaten Alit Pakualaman dengan gamelan-gamelan lainnya, maka ada beberapa
kekhususan pola tabuhan yang digunakan dalam memainkan gendhing-gendhing Sekaten Alit.
Beberapa kekhasan tersebut diantaranya :
a. Kendhang dan Bedhug Dalam karawitan pada umumnya permainan kendhang dilakukan
oleh satu orang yang memegang tiga jenis kendhang, yakni kendhang ageng, kendhang
ketipung, dan kendhang ciblon. Dalam penyajian gendhing Sekaten Alit dibutuhkan dua
penabuh untuk satu kendhang kosek sebagai pengganti kendhang ketipung dan satu
bedhug sebagai pengganti kendhang ageng yang dimainkan sebagai satu kesatuan. Di
sini, kedua penabuh membutuhkan koordinasi dan penguasaan irama antara satu dengan
yang lain. Tabuhan bedhug pun memerlukan alat pemukul, berbeda dengan kend hang
ageng yang lazimnya ditepuk dengan tangan kosong.
b. Bonang Instrumen bonang yang digunakan dalam gamelan Jawa secara umum terdiri
dari dua deret nada yang tingginya berbeda satu oktaf. Hal ini berlaku untuk ketiga jenis
bonang, baik panembung, barung, ataupun panerus. Hal ini berbeda dengan Gamelan
Sekaten Alit Pakualaman yang masing-masing hanya terdiri dari satu deret saja,
sehingga tiap nada hanya memiliki satu pencon yang mewakilinya, kecuali nada 1 (ji)
dalam laras slendro yang juga memiliki oktaf atas sehingga kedua pencon dapat ditabuh
bersama untuk menghasilkan bunyi gembyang. Hal ini berdampak pada penyesuaian
pola tabuhan yang digunakan. Teknik gembyangan pada nada selain 1 (ji) slendro hanya
bisa ditabuh dalam satu pencon saja, sementara teknik pipilan tidak dapat memunculkan
variasi perbedaan oktaf seperti dalam tabuhan karawitan pada umumnya. Teknik
gembyangan yang umumnya dilakukan di akhir bagian buka (awal gendhing) juga tidak
dapat digunakan, sehingga hanya dapat ditabuh dengan teknik mbalung. Dalam
gendhing- 25 gendhing pakurmatan seperti Monggang dan Kodhokngorek, bonang
panerus atau rijal memainkan pola tabuhan khusus yang disebut nyacah;
c. Balungan Karena Gamelan Sekaten Alit Pakualaman tidak memiliki instrumen saron
panerus atau peking, maka pola tabuhan balungan baik pada demung maupun saron
hanya dilakukan sesuai dengan ketukan pada melodi balungan. Tidak ada pecahan
melodi yang dibagi setengah ketuk seperti pola peking pada umumya. Kemudian,
gendhing-gendhing pakurmatan juga memiliki kekhususan. Dalam gendhing Monggang,
balungan sama sekali tidak ditabuh, sementara dalam gendhing Kodhokngorek balungan
baru ditabuh dengan tabuhan ayam sepenang ketika kendhang telah memasuki irama
dua.
d. Gong, Kempul, Kenong dan Kempyang Keempat instrumen yang berfungsi sebagai
kerangka metrik atau struktural gendhing ini ditabuh dalam pola yang serupa dengan
gamelan pada umumnya. Hanya saja, jumlah instrumen dan jumlah nada yang terbatas
menjadikan pola tabuhannya lebih sederhana. Karena kempul yang digunakan dalam
Gamelan Sekaten Alit Pakualaman hanya ada satu untuk setiap laras, maka
permainannya tidak perlu memperhatikan nada balungan. Hal ini juga berlaku untuk
kenong. Selain itu, tidak terdapat juga instrumen kethuk yang biasanya ditabuh
bersebelahan dengan kempyang.
e. Gong suwukan, Kenong Japan, dan Kecer Secara umum, gong suwukan atau gong siyem
tidak digunakan dalam gendhing-gendhing berbentuk ladrang. Gamelan Sekaten Alit
Pakualaman menggunakan gong suwukan hanya ketika membunyikan gendhing
Kodhokngorek saja. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kenong japan dan kecer
pun hanya digunakan dalam gendhing-gendhing pakurmatan. Pola tabuhan kecer sama
dengan rijal, yakni menggunakan teknik nyacah.
4. Notasi Gendhing
Gendhing-gendhing Sekaten Alit Pakualaman saat ini pun ditulis dan dibaca
menggunakan notasi angka. Para niyaga yang bertugas menabuh Gamelan Sekaten Alit pun
menggunakan notasi angka ketika berlatih memainkan gendhing-gendhing yang akan
dibawakan. Meski begitu, Pak Murhadi mengatakan bahwa para pendahulunya masih
menggunakan notasi khusus yang dituliskan menggunakan huruf Jawa. Apabila dibandingkan,
kedua sistem notasi tersebut dapat dituangkan dalam tabel berikut.

Tabel 2. Perbandingan Notasi Angka dengan Notasi Huruf Jawa


Notasi Angka Notasi Huruf Jawa
(Kepatihan dan Penyebutan Penyebutan
(Pakualaman)
Kridhamardawa)
1 siji (ji) ꦨ Barang gedhe (B)

2 loro (ro) ꦒ gulu (g)

3 telu (lu) ꦣ dhadha (dh)

4 papat (pat) ꦦ pelog (p)

5 lima (ma) ꦭ lima (l)

6 nem ꦤ nem (n)

7 pitu (pi) ꦧ barang cilik (b)


Ada sedikit perbedaan dalam penjelasan yang dikemukakan Surjodiningrat (1996, hal. x)
mengenai sistem notasi dan penyebutan nada yang digunakan dalam gamelan Jawa. Notasi
kepatihan dikatakan telah diciptakan sejak tahun 1890, dan nada pertama dalam laras pelog
memiliki penyebutan bem, berbeda dengan slendro yang disebut barang. Dalam laras pelog,
barang hanya digunakan untuk menyebut nada ketujuh. Pada kenyataannya, baik penyebutan
nada yang digunakan di Pakualaman maupun yang dijabarkan oleh Surjodiningrat sudah tidak
digunakan lagi dalam praktiknya. Sama seperti pegiat seni karawitan pada umumnya, para
niyaga yang ada di Pura Pakualaman menggunakan notasi angka yang dianggap lebih mudah
dan cepat untuk dipelajari. Penyebutan nada pada gamelan pun telah mengikuti penyebutan
angka yang disematkan padanya, sehingga mereka yang sedang mempelajari notasi gendhing
pun akan merasa lebih familiar, terutama bagi mereka yang berbahasa Jawa dalam kehidupan
sehari-hari.

5. Kondisi Terkini
Di era PA X saat ini, Gamelan Sekaten Alit selalu disajikan di Regol Danawara
yang menjadi gerbang masuk ke halaman di dalam Pura Pakualaman. Kyai
Kombangtawang diletakkan di regol sebelah kanan (Timur), sementara Nyai Madusedana
diletakkan di regol sebelah kiri (Barat). Akan tetapi, baik Walujo (1990, hal. 46), Abujana
(1994, hal. 21), maupun Suryodilogo et al (2011, hal. 102) mengatakan bahwa dahulu,
sebelum zaman PA VIII, setiap Grebeg Mulud Gamelan Sekaten Alit ditabuh di sebuah
tempat khusus yang disebut pagongan atau yang menurut Pak Murhadi kadang-kadang juga
disebut pagelongan. Albiladiyah (hal. 34) mengatakan setidak-tidaknya pada zaman PA V
pagongan tersebut sudah ada dan sudah digunakan untuk menabuh gamelan. Hanya saja,
yang ditabuh di pagongan adalah gamelan Monggang, sementara di Regol Danawara
ditabuh gamelan Kodhokngorek. Abujana (hal. 38) kemudian menafsirkan bahwa yang
dimaksud dengan gamelan Monggang di sini adalah gamelan Kyai Kombangtawang, dan
gamelan Kodhokngorek adalah gamelan Kyai Madusedana. Artinya, ada dugaan bahwa
pada masa PA V kedua perangkat Gamelan Sekaten Alit sempat ditabuh di lokasi yang
terpisah, satunya (yang pelog) di pagongan, dan lainnya (yang slendro) di regol. Lokasi
pagongan dikatakan berada di sebelah Barat alun-alun Sewandanan, persis di depan Pura
Pakualaman. Belum ada sumber yang dapat memastikan sejak kapan pagongan tersebut
diadakan lalu kemudian ditiadakan kembali, tetapi Pak Murhadi mengatakan bahwa
kemungkinan besar pagongan itu ditiadakan karena tempatnya tidak lagi terawat dengan
baik. Bagaimanapun, keberadaan pagongan tersebut dikonfirmasi oleh GPH Indrokusumo
yang mengatakan bahwa di masa kecilnya beliau selalu diminta oleh orangtuanya untuk
menghampiri bunyi Gamelan Sekaten Alit yang ditabuh d i pagongan sebelah Barat itu.
Pada tahun 1991, ketika Festival Kraton diadakan saat grebeg, Pak Murhadi bersama
Djoko Walujo telah mencoba untuk menghadirkan kembali Gamelan Sekaten Alit di sebuah
bangsal yang ada di alun-alun Sewandanan di depan Pura Pakualaman. Bangsal tersebut
disebut sebagai Bangsal Pandelengan, artinya bangsal yang terlihat oleh raja ketika sedang
duduk di singgasananya. Di bangsal ini, kedua perangkat Gamelan Sekaten Alit disajikan
bersama-sama sebagai satu set slendro-pelog sebagaimana perangkat gamelan pada
umumnya. Akan tetapi, bangsal tersebut berbeda dengan pagongan yang telah disebutkan
sebelumnya. Saat ini, bangsal itu juga tidak ada lagi, dan Gamelan Sekaten Alit pun ditabuh
kembali di kedua sisi Regol Danawara, yang slendro dan yang pelog sendiri-sendiri. Dalam
tulisan Abujana (1994), terdapat foto-foto yang menunjukkan kedua perangkat gamelan
Sekaten Alit diletakkan di kedua sisi Regol Danawara. Foto-foto tersebut dapat dilihat
dalam Lampiran 1. Dari sini dapat disimpulkan bahwa segera setelah Festival Kraton tahun
1991 berakhir hingga saat ini, gamelan Sekaten Alit selalu disajikan berhadap-hadapan di
Regol Danawara.
Dalam penelitiannya, Abujana (1994, hal. 23-24) telah menerangkan dengan sangat baik
dan mendetil mengenai berbagai ricikan (instrumen) yang terdapat dalam kedua perangkat
Gamelan Sekaten Alit di Pura Pakualaman. Akan tetapi, ada beberapa perbedaan dalam
penjelasan Abujana dengan data yang terdapat di Pura Pakualaman saat ini. Perbedaan
tersebut dapat dilihat melalui tabel di bawah ini.

Tabel 2. 1 Perbandingan ricikan Gamelan Sekaten Alit tahun 1994 dan 2022
Abujana (1994, hal. 23-24) Keterangan Saat Ini (dari Pak Murhadi)
Pelog Slendro Pelog Slendro
bedhug + gayor bedhug + plangkan bedhug + planthangan bedhug + plangkan
ketipung + plangkan ketipung + plangkan kendhang kosek + kendhang kosek +
plangkan plangkan
gong besar, kempul, gong besar, gong gong besar, kempul, gong besar, gong
kecer + gayor suwukan, kempul, kecer + gayor suwukan, kempul +
kecer + gayor gayor

bonang panembung bonang panembung gambyong gambyong


bonang barung bonang barung klenang klenang
bonang panerus bonang panerus rijal klenang
1 demung + 2 saron, 1 demung + 2 saron, 1 demung + 2 saron, 1 demung + 2 saron,
digabung dipisah digabung dipisah
kenong + kempyang kenong kenong + kempyang kenong lanang +
kenong wadon

Di deret pertama, tampak bahwa yang berbeda hanyalah penamaan antara gayor dan
planthangan untuk menyebutkan kerangka yang menjadi tempat menggantung bedhug. Pada
dasarnya, keduanya merujuk pada benda yang sama. Baru di deret kedua dapat terlihat ada
perbedaan dalam jenis kendhang yang digunakan, yang satu ketipung dan yang lain kosek.
Perbedaan ini, menurut keterangan Pak Murhadi, memang suatu kesengajaan dari pihak Pura
Pakualaman. Karena kendhang ketipung dirasa terlalu kecil dan suaranya kurang keras untuk
mengiringi gendhing-gendhing Sekaten Alit, akhirnya dibuatkan lagi kendhang kosek yang
berukuran lebih besar dan bersuara lebih keras.
7. Fungsi Gending Sekaten Alit
Gendhing Sekaten Alit di Pura Pakualaman digunakan sebagai alat untuk menyebarkan
ajaran keagamaan Islam. Penggunaan gendhing dan kesenian lainnya dalam rangka
penyebaran agama telah dilakukan sejak zaman Sunan Kalijaga, lalu diwariskan melalui
kerajaan-kerajaan Islam seperti Kerajaan Demak, Kerajaan Pajang, dan kemudian Kerajaan
Mataram dan pecahan-pecahannya. Di sini akan dijelaskan bagaimana gendhing Sekaten Alit
mengambil perannya sebagai media dakwah agama Islam di Pura Pakualaman, termasuk
proses-proses akulturasi antara budaya Jawa pra-Islam dengan nilai-nilai keislaman yang
hadir setelahnya.
Penyajian dalam Ketiga Grebeg
Di Pura Pakualaman Gamelan Sekaten Alit ditabuh saat grebeg mulud, grebeg syawal,
dan grebeg besar (Hartana, 2006, hal. 38-39). Ketika grebeg tersebut adalah rangkaian
upacara dalam memperingati hari-hari besar agama Islam, yakni peringatan Maulid Nabi
(mulud), hari raya Idul Fitri (di bulan syawal), dan hari raya Idul Adha (di bulan besar).
Gamelan Sekaten Alit ditabuh sejak pukul 5 pagi maka akan memperdalam makna dan
fungsinya sebagai alat untuk berdakwah. Gamelan Sekaten Alit yang ditabuh d i waktu subuh
menjadi pengingat bagi orang-orang sekitar untuk salat subuh, untuk berdoa kepada Gusti
Allah. Inilah mengapa para abdi dalem salat terlebih dahulu sebelum mulai menabuh, serupa
dengan Sunan Kalijaga dan para niyaga yang mengikutinya mengambil wudhu terlebih
dahulu sebelum memulai pertunjukan wayang kulit dalam rangka menyebarkan ajaran Islam.
Sesaji yang digunakan dalam penyajian gendhinggendhing Sekaten Alit dengan cara
diletakkan dekat dengan gamelan yang sedang ditabuh, Pak Murhadi melanjutkan bahwa hal
tersebut merupakan simbol dari perhatian raja terhadap rakyatnya yang merupakan
makhlukmakhluk yang tidak terlihat oleh mata telanjang. Dalam ajaran Islam, Allah SWT
menciptakan dua jenis makhluk, satu yang kasat mata antara lain adalah manusia, dan lainnya
yang tak kasat mata disebut sebagai jin. Pembahasan mengenai jin dari kacamata agama
Islam dapat dibaca lebih lanjut dalam Abbasi (2004, hal 4-5) dan Al-Musayyar (2009, hal.
133). Mengenai pandangan masyarakat Jawa terhadap makhluk semacam jin dapat juga
dibaca dalam Hajid T. (2005, hal. 86-88) dan Safitri (2013). Pada intinya, Pak Murhadi
menjelaskan bahwa manusia dan jin hidup di alamnya masing-masing, namun tetap hidup
bersama dan harus saling menghormati sebagai sesama ciptaan Gusti Allah. Dari sini, sesaji
yang digunakan dalam penyajian gendhing-gendhing Sekaten Alit dapat dimaknai sebagai
simbol sedekah raja kepada makhluk ciptaan Allah yang tak kasat mata yang juga hidup
sebagai rakyat dalam wilayahnya, salah satunya adalah penunggu dari perangkat gamelan
yang digunakan.
Keluwesan Pemaknaan Gendhing Soran
Penyajian gendhing-gendhing Sekaten Alit dalam upacara grebeg memiliki tujuan untuk
menyebarkan ajaran agama Islam, sehingga pemaknaan gendhing yang disajikan pun
disesuaikan dengan tujuan untuk berdakwah. Akan tetapi, karena gendhing-gendhing
Sekaten Alit berbentuk soran, yakni instrumental, dan tidak memiliki syair yang
dinyanyikan, maka pemaknaannya pun cenderung luwes dan tidak bisa dipaksakan. Dalam
wawancara, Pak Murhadi mengatakan bahwa makna gendhing itu hanya bisa didapatkan
melalui rasa dan melalui mata hati.
Gending Pakurmatan
Gending yang menitikberatkan pada tujuan syiar agama Islam, tetapi ada juga fungsi lain
yang melekat pada penggunaan Gamelan Sekaten Alit yang kemudian membuka ruang pada
pemaknaan-pemaknaan lain dalam penyajiannya. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa
perangkat Gamelan Sekaten Alit tidak hanya digunakan secara eksklusif untuk menabuh
gendhing-gendhing soran biasa, tetapi juga digunakan untuk menabuh gendhing
pakurmatan. Sebagai gamelan pakurmatan, Kyai Kombangtawang dan Kyai Madusedana
pun digunakan untuk memainkan gendhing-gendhing pakurmatan, yakni gendhing-
gendhing yang ditabuh dalam momen-momen besar kerajaan seperti kenaikan takhta,
perkawinan raja dan anak raja, kelahiran anak raja, kematian raja, maupun upacara-upacara
keagamaan. Gamelan Kyai Kombangtawang dan Kyai Madusedana berfungsi juga sebagai
penegas marwah raja yang berkuasa di Pura Pakualaman.Gending Alit sekaten mungkin
tidak disebut Gendiing Pakurmatan tetapi keberadaannya adalah bagian dari mas atunggu
ketika akan dibunyikan gending pakrmatan pada saat grebeg sekaten.

8. Upaya pelestarian warisan budaya takbenda

Upaya Pelestarian
1. Penelitian dan Kajian, upaya untuk melakukan kajian dan pemutakhiran data secara
berkala pada karya budaya ini.
2. Pewarisan, pola pewarisan diupayakan dalam dua metode yakni metode tulis dalam
bentuk modul, buku saku, dan panduan mengenai deskripsi singkat karya budaya berikut
dengan catatan mengenai persebaran yang ada di dalamnya. Kedua, metode transformasi
ilmu dan keahlian yang diwujudkan dalam bentuk pelatihan, workshop, fasilitasi
perlengkapan, mentoring, dan fasilitator yang mempu menjembatani adanya proses
transfer ilmu tersebut. Metode pewarisan dilakukan dengan melibatkan subjek pelestari
karya budaya, pengrajin, pelaku seni, pemerintah Desa, dan juga Pemerintah
Kabupaten/Kota. Ragam pola pembinaan juga dapat disesuaikan dengan kebijakan
komunitas maupun pemerintah setempat.
3. Pelindungan, upaya pelindungan yang dilakukan dengan melakukan arsip dokumen baik
kajian, foto dan video dari karya budaya yang merupakan khasanah lokal dari awal adanya
karya budaya ini. Upaya pelindungan juga dilakukan dengan melakukan koordinasi
dengan Kemenkumham terkait dengan adanya basis pencatatan Kekayaan Intelektual
Komunal. Upaya pelindungan juga dilakukan dengan melakukan fasilitasi sebagai bentuk
dukungan kepada pelestari karya budaya tersebut
4. Pengembangan/Revitalisasi, upaya pengembangan dilakukan dengan dilakukannya
pengembangan pada efektivitas fungsi gending alit sekate Pakualaman ini pada kehidupa
sehari-hari
5. Promosi dan Publikasi, Publikasi dan promosi dibutuhkan untuk setiap akrya budaya,
apalagi untuk karya budaya yang dikatakan tidak berkembang dan hamper punah, selain
upayaa regenerasi, promosi dan upaya publikasi juga diperlukan untuk mendukung
hadirnya semangat daya Tarik yang lebih besar untuk setiap karya budaya yang ada.
Rencana Aksi
1. Rencana Aksi oleh Masyarakat dan Kadhipaten Pakualaman, Pemerintah Desa dalam hal
ini menjadi sektor sentral yang akan melakukan aksi-aksi pemeliharaan dan
pengembangan taraf pertama untuk dapat melakukan pembinaan, pelatihan, dan fasilitasi
kegiatan yang bersifat temporal. Kadipaten juga berperan untuk melakukan kaderisasi.
pendampingan, evaluasi dan monitoring bersama pelaku budaya karya budaya untuk
terus melakukan pemeliharaan dan pengembangan karya budaya
2. Langkah dukungan oleh Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah-Daerah Istimewa
Yogyakarta dalam hal ini telah dan akan terus melakukan upaya-upaya pemeliharaan dan
pengembangan warisan budaya takbenda Daerah Istimewa Yogyakarta, diantara hal-hal
langkah yang dilakukan adalah :
a. Adanya Peraturan Gubernur Nomor 21 Tahun 2017 tentang adanya label Jogja
Tradition untuk semua karya WBTb yang sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya
Takbenda Indonesia untuk dapat mendapatkan label Jogja Tradition. Langkah alur
kerja secara singkat, bahwa penetapan label Jogja Tradition diberikan melalui Dinas
Perindustrian dan Koperasi DIY, namun rekomendasi untuk mendapatkan label ini
dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa
Yogyakarta, rekomendasi diberikan dengan catatan melampirkan foto dan video
produk, profil usaha, dan verifikasi dilakukan dengan melakukan klarifikasi
kesesuaian produk maupun aktivitas sosial budaya tersebut dengan kajian dan telaah
karya budaya yang sudah ditetapkan sebagai WBTb Indonesia;
b. Adanya Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 37 Tahun 2021
tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur DIY nomor 100 Tahun 2020 tentang
Pedoman Pelaksanaan Bantuan Keuangan Khusus Dana Keistimewaan kepada
Pemerintahan Kalurahan, dalam Pergub ini juga memuat adnaya BKK Khusus
percepatan WBTb di Daerah Istimewa Yogyakarta
c. Adanya pemutakhiran data, pemantauan dan evaluasi melalui pendamping Desa
Budaya, ada sekitar 76 desa budaya yang sudah ditetapkan melalui peraturan
Gubernur DIY Nomor 351/KEP/2021 tanggal 3 November 2021 . Sedangkan untuk
WBTb yang berada di luar desa budaya diupayakan melalui Pemerintah
Kabupaten/Kota setempat
d. Pada tahun 2021, Pemerintah Daerah-Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Dinas
Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Iatimewa Yogyakarta juga telah dilakukan
adanya peresmian Website WBTb DIY dengan nama Sitem Informasi WBTb (SI
WBTb diy) , website ini ditujukan sebagai satu database WBTb Daerah Istimewa
Yogyakarta yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia baik
yang sudah maupun akan diusulkan pada tahun-tahun berikutnya
e. Perayaan WBTb, Program tahunan untuk memberikan aksi tindaklanjut jangkaa
pendek paska ditetapkan sebagai WBTb Indonesia pada H+1 tahun penetapan,
Kegiatan perayaan berisikan workshop, eplatihan, pameran, seminar, dan penyerahan
sertifikat Gubernur IDY kepada Bupati Walikota se-DIY
f. Program Fasilitasi Seni pertunjukan dan Upacara Adat berkala yang diprioritaskan
bagi karya budaya yang sudah ditetapkan sebagai WBTb Indonesia melalui program
fasilitasi langsung oleh masyarakat
g. Penyusunan Rencana Aksi Tindak Lanjut, penyusunan rencana aksi dengan Dewan
Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, masih dalam proses pembahasan
3. Usulan rancangan rencana aksi oleh Pemerintah Pusat\
Usulan untuk rencana aksi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat diantaranya :
a. Melakukan kajian dan penyusunan rentra nasional jangka pendek, menegah dan
panjang terkait rumusan pola-pola aksi tindak lanjut paska Penetapan WBTb
Indonesia, sedang ragam dan implementasinya bias disesuaikan oleh Pemerintah
Daerah masing-masing, rumusan juga memuaat terkait sistem kerjasama pusat-daerah
dalam kerja pelestarian WBTb, ranah pelaksanaan monitoring dan evaluasi bersama
pusat dan daerah;
b. Memperbanyak publikasi WBTb Daerah yang sudah ditetapkan sebagai WBTb
Indonesia secara temporal dan berkelanjutan;
c. Pelibatan kegiatan pusat yang berbasis pada subjek budaya WBTb Daerah yang telah
ditetapkan sebagai WBTb Indonesia (bukan saja pada Perayaan WBTb Indonesia)
sebagai dukungan dan akomodasi adanya publikasi nasional untuk daerah;
d. Melakukan workshop-pelatihan yang bagi para fasilitator dan koordinator WBTb
daerah dalam melakukan penjaringan, pengkajian, pengusulan, dan fasilitasi kepada
subjek WBTb;\
e. Melakukan koordinasi berkala untuk adanya perlindungan hukum bersama
Kemenkumham;

9. Nama komunitas/ organisasi/ asosiasi/ badan/ paguyuban/ kelompok sosial/ atau


perorangan yang bersangkutan

Nama : Kadipaten Pakualaman


Alamat : Jl. Masjid No.46, Gunungketur, Pakualaman,
Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kode Pos : 55166
No Telp/Fax/Mobile :
Alamat email :

Nama :
Alamat :
Kode Pos :
No Telp/Fax/Mobile :
Alamat email :
10. Guru budaya/maestro (diisi nama orang-orang yang memiliki pengetahuan dan
keterampilan tentang warisan budaya takbenda tersebut beserta usia yang bersangkutan)

Nama : GPH Indrokusumo


Alamat : Jl. Masjid No.46, Gunungketur, Pakualaman,
Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kode Pos : 55166
No Telp/Fax/Mobile : 0
Alamat email : -
Usia : 73 tahun

Nama : KRMT Prodjokusumo / RM Murhadi


Alamat : Jl. Masjid No.46, Gunungketur, Pakualaman,
Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kode Pos : 55166
No Telp/Fax/Mobile : 0
Alamat email : -
Usia : 73 tahun
11. Foto terbaru warisan budaya takbenda dengan penjelasan ( 5 lembar)

Perangkat Gending Sekaten Kyai Nyai Madusedana (slendro)


di Regol Danawara sebelah Barat

Beberapa instrumen dalam perangkat Gamelan Kyai/Nyai Madusedana (slendro). Tampak dari
kiri ke kanan, belakang: gong ageng dan kempul digantung pada satu gayor. Tampak dari kiri
ke kanan, depan: kenong wadon dan kenong lanang bersebelahan, lalu bedhug di atas plangkan
Beberapa instrumen dalam perangkat Gamelan Kyai Kombangtawang (pelog). Tampak dari kiri
ke kanan, belakang: gong ageng, kempul, dan kecer digantung pada satu gayor. Tampak dari
kiri ke kanan, depan: kenong dan kempyang bersebelahan. Pada instrumen kenong terdapat
kerusakan berupa lubang di sisi samping.

Arak-arakan Sekaten dengan Gending Alit ke Puro Pakualaman


Kyai Kombangtawang (pelog) di Regol Danawara sebelah Timur

Aktivitias Penabuh Gamelan

Gambar Aktivitass Penambuh Gamelan Kadipaten Pakualaman


Para penabuh gamelan di Kadipaten Pakualaman

12. Film dokumenter mengenai warisan budaya takbenda (sertakan judul dari film dan
dilampirkan bersama formulir)

Film Gending Alit Sekaten


Tambahan video pelaksanaan upacara sekaten di kadipaten pakualaman :
https://www.youtube.com/watch?v=LGtyD5Iv_CQ

Tambahan video dokumentasi aktivitas penabuhan gamelan


https://www.youtube.com/watch?v=hREZX8r94Do

13. Kajian akademis oleh lembaga penelitian yang terkait (sertakan judul dari kajian
akademis dan dilampirkan bersama formulir)

Dinas Kebudayaan DIY. 2022. Gending Sekaten. Yogyakarta : Dinas Kebudayaan DIY

14. Referensi (ditulis sumber secara lengkap nama penulis, tahun, judul buku, tempat terbit,
penerbit, naskah kuno, prasasti, sumber lisan/nama pelaku (saksi sejarah) yang masih
hidup, usia, dan lainnya
Rade, Dewi Sri. 2000. Koreografi Tari Bedhaya Renyep di Pura Pakualaman Yogyakarta.
Skripsi. Surakarta: Sekolah Tinggi Seni Indonesia.

Agus Tasman. 1996. Analisa Gerak dan Karakter, STSI.

___________. 1998. Lemah Putih Komposisi Bedoyo, STSI.

Brongtodiningrat K.P.H. 1981. Falsafah Beksa Bedhaya Sarta Beksa Srimpi Ing
Ngayogyakarta. Dalam Kawruh Joged Mataram. Yogyakarta. Dewan Ahli Yayasan Siswa
Among Beksa.

Clara Brakel – Papenhuyzen. 1991. Seni Tari Jawa Tradisi Surakarta dan Peristilahannya.
Jakarta: Dept-Rul.

Darsiti Soeratman. 1989. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1930 – 1939. Desertasi
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Edy Sedyawati. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukkan. Jakarta: Sinar Harapan.

Ellfeld, Lois. 1977. Pedoman Dasar Penata Tari. Terjemahan Sal Murgiyo. Jakarta: Dewan
Kesenian Propinsi DIY

Hartoko, Dick. 1982. Manusia dan Seni. Yogyakarta: Kanisius.

Hasan Shadly dkk. 1984. Ensiklopedia Indonesia Jilid I. Jakarta: Ichtar Baru – Van Hoeve.

Hermien Kusmayati A.M. 1988. Bedhaya di Puro Paku Alaman: Pembentukan dan
Perkembangannya 1909 – 1987. Tesis S-2 Program Studi Sejarah jurusan Ilmu-ilmu
Humanira Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.

Humpphrey, Doris. 1983. Seni Menata Tari. Terjemahan Sal Murgiyanto. Jakarta: Dewan
Kesenian Jakarta.

Keraff, Gorys. 1983. Eksposisi dan Deskripsi. Flores – Nusa Indah.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

_____________. 1982. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Kuswadji Kawendrasusanta. 1981. Tata Rias dan Busana Tari Gaya Yogyakarta: dalam
mengenal tari klasik gaya Yogyakarta. Yogyakarta: Dewan Kesenian Propinsi DIY.

La Meri. 1986. Elemen-elemen Dasar Komposisi Tari. Terjemahan Soedarsono. Yogyakarta:


Akademi Seni Tari Indonesia.
Murhadi. 1996. Kumpulan Gendhing Pakurmatan Tuwin Beksa Ing Puro Paku Alaman Jilid I
Yogyakarta. Lembaga Studi Jawa.

Moedjanto, G. 1985. Konsep Kekuasaan Jawa. Jakarta: Kanisius.

Poerwodarminto, W.J.S. 1939. Baoesastradjawa – Batavia J.B. Wolters Vitgevers –


Mootschappj – N. Groningen.

Pigeard. 1982. Javannes Volks Vertoningen. Batavia: Volkslectuur.

Rustopo. 1990. “Gendhon Humardani (1923-1983)”. Arsitek dan pelaksana pembangunan


kehidupan seni tradisi Jawa yang modern. Mengindonesiakan suatu biografi, tesis mencapai
derajad sarjana S-2 program studi sejarah jurusan ilmu humaniora Universitas Gadjah Mada.

Sal Murgiyanto. 1981. Koreografi. Jakarta: Dewan Kesenian.

____________. 1986. Komposisi Tari. Jakarta.: Dewan Kesenian.

Sastrakartika. 1979. Serat Kridhawayangga Pakem Beksa. Alih bahasa oleh To9wok Hadi
Soeprapto. Jakarta: Depdikbud P&K.

Soedarsono. 1978. Komposisi Tari Elemen-elemen Dasar, Lagaligo untuk fakultas kesenian
Institut Seni Indonesia.

Soedarisman Poerwokoesoemo. 1986. Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta. Gadjah Mada


University Press.

Soemarsaid Moertono. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.

Soetarno. 1988. Serat Bima Suci Dengan Berbagai Aspeknya. Laporan Penelitian, STSI
Surakarta.

Theresia Suharti. 1991. Tari Di Mangkunegaran Suatu Pengaruh Bentuk dan Gaya Dalam
Dimensi Kultural Sejak Masa Sri Mangkunegaran VII. Editor Soedarso.

Umar Kayam. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Sianr Harapan.

Wahyu Santoso Prabowo. 1988. Bedhaya Anglir Mendhung Monumen Perjuangan


Mangkunegoro I. Tesis S-2 Program studi sejarah jurusan ilmu-ilmu humaniora, Fakultas
Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.

____________________. 1996. Tari Bedhaya Sebuah Gatra Keunggulan, dalam Seni


Pertunjukkan Indonesia. Yogyakarta. Yayasan Bentang Budaya.
Wignyosoetarno, Ki Ng. T.th. Diklat Pedalangan Ringgit Purwa Wacucal Lampahan Wahyu
Pakem Makutharama. Mangkunegaran – Surakarta: PDMN.

Widaryanto Franciscus X. 1992. Evolusi Serimpi Renggawati di Keraton Yogyakarta dari Ritus
ke Seni Pertunjukkan, dalam seni pertunjukkan Indonesia. Jakarta: Gramedia Widiaswana
Indonesia Jakarta.

15. Persetujuan dari provinsi terkait sebagai pengusul

Yogyakarta, 2 Agustus 2023

16. Nama petugas penerima formulir (diisi oleh Kementerian)


Nama :

17. Tempat dan tanggal penerimaan formulir warisan budaya takbenda (diisi oleh
Kementerian)

Tempat : Tanggal :
LAMPIRAN

1. Daftar Gending Sekaten Alit


Gendhing-gendhing berikut ditemukan dalam naskah Kempalan Notasi Gendhing (A)
yang tercatat di Perpustakaan Widyapustaka Pura Pakualaman dengan kode Ll.14 dan
nomor 0214/PP/73. Naskah ini sepenuhnya ditulis menggunakan aksara Jawa dengan
format notasi gendhing Pakualaman atau disebut juga not sastra. Tidak semua gendhing
yang tercatat di sini berbentuk ladrang. Transliterasi judul-judul di bawah ini disediakan
oleh Perpustakaan Widyapustaka Pura Pakualaman.
1) Ladrang Suměkar. 6. Pelog.
2) Ladrang Durma. Barang. Pelog.
3) Ladrang Suměkar. 6. Pelog.
4) Ladrang Uluk-uluk.
5) Ladrangan Wirangrong. Sendro.
6) Ladrangan Kandhang Walang. Sendro.
7) Ladrangan Babat Kěncěng. Sendro.
8) Ladrangan Oyak-oyak. Slendro 9.
9) Ladrangan Awun-awun. Slendro 9.
10) Ladrangan Clunthang. Slendro 9.
11) Ladrangan Bujang Dalěman. Sendro 9.
12) Ladrangan Sěkar Teja.
13) Ladrangan Liwung, Manyura. Slendro.
14) Ladrangan Kandha Slendro Manyura.
15) Ladrangan Ricik-ricik, Slendro Manyura.
16) Ladrang Niyani. Slendro Manyura.
17) Ladrangan Jaka Guguyon. Slendro 9.
18) Ladrang Nasao. Slendro 9.
19) Ladrangan Dhudha Gathik. Slendro Manyura.
20) Ladrangan Jagung-jagung. Slendro Manyura.
21) Ladrangan Srikaton. Slendro Manyura.
22) Ladrangan Pisang Bali. Slendro Manyura.
23) Ladrangan Sěmingin. Slendro 9.
24) Ladrangan Jangkrik Ginggong. 9.
25) Kětawang Lingko-lingko. Slendro 9.
26) Dhěndha Kětawang. Slendro 9.
27) Ladrangan Grompol. Slendro 9.
28) Ladrangan Sěmirat. Slendro Manyura.
29) Ladrangan Maskěmambang. Slendro Manyura.
30) Ladrangan Tlosor Slendro Manyura.
31) Ladrangan Rujak Jěruk Slendro Manyura.
32) Ladrangan Gunung Sari. Slendro Manyura.
33) Kětawang Gunung Sari. Slendro Manyura.
34) Ladrangan Geger Sěkutha. Slendro 6.
35) Ladrangan Kěmbang Sětaman. Slendro Manyura.
36) Ladrangan Skar Sih. Slendro 9.
37) Ladrangan Gurisa. Slendro 9.
38) Ladrang Rubuk. Slendro 6.
39) Ladrang Rubuk. 6. Slendro.
40) Ladrangan Mědhar Sari. Slendro Manyura.
41) Ladrangan Clunthang. Slendro. (…)
42) Ladrangan Clunthang. Slendro 9.
43) Ladrangan Slobok. 6. Pelog.
44) Ladrangan Larasati. Pelog.
45) Ladrangan Juru Děmung. Pelog.
46) Ladrangan Wikrigita. Pelog 6.
47) Ladrangan Kusumawicitra. Pelog 6.
48) Ladrangan Suměkar. Pelog 6.
49) Ladrangan Golong. Pelog 6.
50) Ladrang Siyěm. Pelog Barang.
51) Ladrangan Sigra Mangsah. Pelog Barang.
52) Ladrangan Juru Děmung. Pelog Barang.
53) Ladrangan Durma. Pelog Barang.
54) Ladrangan Rangu-rangu. Pelog Barang.
55) Ladrangan Rějuna Masah. Pelog Barang.
56) Ladrangan Golong. Pelog 6.
57) Ladrangan Riyěm-riyěm. Pelog 6.
58) Ladrangan Tědhak Sangking. Pelog Barang.
59) Gěndhing Pareanom. Slendro 6. Kěthuk 4. Dhawah 8. Kěndhangan jangga.
60) Gěndhing Jangga. Slendro 6. Kethuk 4. Dhawah 8. Kěndhangan Jangga.
61) Gěndhing Maskěmambang. Slendro 6. Kethuk 4. Dhawah 8. Kěndhangan
Mawur.
62) Gěndhing Buri Rawa. Slendro 6. Kethuk 2. Dhawah 4. Kěndhangan Candra.
63) Gěndhing Godhěg. Slendro 6. Kethuk 4. Dhawah 8. Kěndhangan Mawur.
64) Gěndhing Guntur 6. Slendro. Kethuk 2. Dhawah 4. Kěndhangan Candra.
65) Gěndhing Rěnyěp. Slendro 6. Kethuk 4. Dhawah 8. Kěndhangan Mawur.
66) Gěndhing Jaka Wuru. Slendro 6. Kethuk 2. Dhawah 4. Kěndhangan Candra.
67) Gěndhing (…).Slendro 6. Kethuk 4. Dhawah 8. Kěndhangan Jangga.
68) Gěndhing Kudhup Sari. Slendro 9. Kethuk 4. Dhawah 8. Kěndhangan Jangga.
69) Gěndhing Gala Gothang. Slendro 6. Kethuk 4. Dhawah 6. Kěndhangan Jangga.
70) Gěndhing Titi Sari. Slendro Manyura. Kethuk 4. Dhawah 8. Kěndhangan Jangga.
71) Gěndhing (…).Slendro Měnyura. Slendro 6. Kethuk 4. Dhawah 8. Kěndhangan
Jangga.
72) Gěndhing Muraniku. 6 Slendro. Kethuk 4. Dhawah 8. Kěndhangan Jangga.
73) Gěndhing Rondhon. Slendro (…). Kethuk 4. Dhawah (…). Kěndhangan Mawur.

Anda mungkin juga menyukai