2. a. Nama warisan budaya takbenda (isi nama yang paling umum dipakai)
Gending Alit Sekaten Pakualaman
2. b. Nama warisan budaya takbenda dalam aksara dan bahasa yang bersangkutan
2. c. Nama lain warisan budaya takbenda (varian atau alias nama budaya takbenda)
Gending Alit Sekaten Pakualaman
6. Identifikasi dan definisi mengenai warisan budaya takbenda (termasuk aspek kesejarahan,
aspek sosial, dan fungsinya dalam masyarakat), maksimal 1000 kata.
Ada beberapa hal yang disangsikan di dalamnya sebab penamaannya berbeda versi. Namun
gending ini dipercaya sudah ada sejak Kadipaten Pura Pakualaman terbentuk. Sejak lama
sebelum terbentuknya Republik Indonesia, wilayah yang kini menjadi Daerah Istimewa
Yogyakarta telah memiliki dua praja dengan pemimpin dan sistem pemerintahannya masing-
masing. Ketika Kasultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono
(disingkat HB) baru berdiri beberapa dekade, terbentuklah suatu praja yang dinamakan
Kadipaten Pakualaman dengan pemimpin yang disebut Adipati Paku Alam (disingkat PA).
Dalam tulisan Djoko Walujo (1990, hal. 30) yang kemudian ditegaskan kembali oleh Abujana
(1994, hal. 16), dikatakan bahwa salah satu putra dari Sultan Hamengku Buwono yang Pertama
(HB I) yang bernama Bendara Pangeran Haryo (BPH) Nata Kusuma dinyatakan sebagai seorang
Pangeran Merdika oleh Gubernur Raffles pada tahun 1812. Akan tetapi, barulah pada tahun
1813 terjadi kesepakatan antara BPH Nata Kusuma dan John Crawfurd sebagai Residen
Yogyakarta yang menentukan berdirinya Kadipaten Pakualaman sebagai wilayah dengan
pemerintahannya sendiri atau swapraja.
Dalam hal sebagai salah satu penerus dari Dinasti Mataram Islam, Kadipaten Pakualaman
tentu saja turut merayakan hari-hari besar keagamaan Islam. Selain Grebeg Mulud yang telah
disebutkan sebelumnya, ada pula Grebeg Syawal yang dilakukan saat hari raya Idul Fitri dan
Grebeg Besar saat hari raya Idul Adha. Seperti di kraton, gamelan pun ikut ditabuh dalam
perayaan grebeg yang dilangsungkan di Pura Pakualaman. Hanya saja, gamelan yang digunakan
oleh Pura Pakualaman disebut sebagai Gamelan Sekaten Alit. Hal ini merupakan konsekuensi
etis dari perbedaan status antara Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Karena
seorang Adipati derajatnya berada di bawah seorang Sultan, maka atribut-atribut yang
diasosiasikan dengannya pun harus lebih kecil tingkatannya. Dari sinilah istilah alit yang berarti
kecil ditambahkan ke dalam nomenklatur sekaten hingga menjadi sekaten alit. Konsekuensinya,
gamelan yang ditabuh dalam perayaan sekaten di Kadipaten Pakualaman disebut sebagai
Gamelan Sekaten Alit dan gendhing-gendhing yang dibawakan pun disebut sebagai gendhing
Sekaten Alit. Tentu saja, perbedaan derajat dan nama ini kemudian menurunkan perbedaan-
perbedaan dalam banyak hal lainnya yang melahirkan kekhususan-kekhususan dalam penyajian
gendhing-gendhing Sekaten Alit Pakualaman.
5. Kondisi Terkini
Di era PA X saat ini, Gamelan Sekaten Alit selalu disajikan di Regol Danawara
yang menjadi gerbang masuk ke halaman di dalam Pura Pakualaman. Kyai
Kombangtawang diletakkan di regol sebelah kanan (Timur), sementara Nyai Madusedana
diletakkan di regol sebelah kiri (Barat). Akan tetapi, baik Walujo (1990, hal. 46), Abujana
(1994, hal. 21), maupun Suryodilogo et al (2011, hal. 102) mengatakan bahwa dahulu,
sebelum zaman PA VIII, setiap Grebeg Mulud Gamelan Sekaten Alit ditabuh di sebuah
tempat khusus yang disebut pagongan atau yang menurut Pak Murhadi kadang-kadang juga
disebut pagelongan. Albiladiyah (hal. 34) mengatakan setidak-tidaknya pada zaman PA V
pagongan tersebut sudah ada dan sudah digunakan untuk menabuh gamelan. Hanya saja,
yang ditabuh di pagongan adalah gamelan Monggang, sementara di Regol Danawara
ditabuh gamelan Kodhokngorek. Abujana (hal. 38) kemudian menafsirkan bahwa yang
dimaksud dengan gamelan Monggang di sini adalah gamelan Kyai Kombangtawang, dan
gamelan Kodhokngorek adalah gamelan Kyai Madusedana. Artinya, ada dugaan bahwa
pada masa PA V kedua perangkat Gamelan Sekaten Alit sempat ditabuh di lokasi yang
terpisah, satunya (yang pelog) di pagongan, dan lainnya (yang slendro) di regol. Lokasi
pagongan dikatakan berada di sebelah Barat alun-alun Sewandanan, persis di depan Pura
Pakualaman. Belum ada sumber yang dapat memastikan sejak kapan pagongan tersebut
diadakan lalu kemudian ditiadakan kembali, tetapi Pak Murhadi mengatakan bahwa
kemungkinan besar pagongan itu ditiadakan karena tempatnya tidak lagi terawat dengan
baik. Bagaimanapun, keberadaan pagongan tersebut dikonfirmasi oleh GPH Indrokusumo
yang mengatakan bahwa di masa kecilnya beliau selalu diminta oleh orangtuanya untuk
menghampiri bunyi Gamelan Sekaten Alit yang ditabuh d i pagongan sebelah Barat itu.
Pada tahun 1991, ketika Festival Kraton diadakan saat grebeg, Pak Murhadi bersama
Djoko Walujo telah mencoba untuk menghadirkan kembali Gamelan Sekaten Alit di sebuah
bangsal yang ada di alun-alun Sewandanan di depan Pura Pakualaman. Bangsal tersebut
disebut sebagai Bangsal Pandelengan, artinya bangsal yang terlihat oleh raja ketika sedang
duduk di singgasananya. Di bangsal ini, kedua perangkat Gamelan Sekaten Alit disajikan
bersama-sama sebagai satu set slendro-pelog sebagaimana perangkat gamelan pada
umumnya. Akan tetapi, bangsal tersebut berbeda dengan pagongan yang telah disebutkan
sebelumnya. Saat ini, bangsal itu juga tidak ada lagi, dan Gamelan Sekaten Alit pun ditabuh
kembali di kedua sisi Regol Danawara, yang slendro dan yang pelog sendiri-sendiri. Dalam
tulisan Abujana (1994), terdapat foto-foto yang menunjukkan kedua perangkat gamelan
Sekaten Alit diletakkan di kedua sisi Regol Danawara. Foto-foto tersebut dapat dilihat
dalam Lampiran 1. Dari sini dapat disimpulkan bahwa segera setelah Festival Kraton tahun
1991 berakhir hingga saat ini, gamelan Sekaten Alit selalu disajikan berhadap-hadapan di
Regol Danawara.
Dalam penelitiannya, Abujana (1994, hal. 23-24) telah menerangkan dengan sangat baik
dan mendetil mengenai berbagai ricikan (instrumen) yang terdapat dalam kedua perangkat
Gamelan Sekaten Alit di Pura Pakualaman. Akan tetapi, ada beberapa perbedaan dalam
penjelasan Abujana dengan data yang terdapat di Pura Pakualaman saat ini. Perbedaan
tersebut dapat dilihat melalui tabel di bawah ini.
Tabel 2. 1 Perbandingan ricikan Gamelan Sekaten Alit tahun 1994 dan 2022
Abujana (1994, hal. 23-24) Keterangan Saat Ini (dari Pak Murhadi)
Pelog Slendro Pelog Slendro
bedhug + gayor bedhug + plangkan bedhug + planthangan bedhug + plangkan
ketipung + plangkan ketipung + plangkan kendhang kosek + kendhang kosek +
plangkan plangkan
gong besar, kempul, gong besar, gong gong besar, kempul, gong besar, gong
kecer + gayor suwukan, kempul, kecer + gayor suwukan, kempul +
kecer + gayor gayor
Di deret pertama, tampak bahwa yang berbeda hanyalah penamaan antara gayor dan
planthangan untuk menyebutkan kerangka yang menjadi tempat menggantung bedhug. Pada
dasarnya, keduanya merujuk pada benda yang sama. Baru di deret kedua dapat terlihat ada
perbedaan dalam jenis kendhang yang digunakan, yang satu ketipung dan yang lain kosek.
Perbedaan ini, menurut keterangan Pak Murhadi, memang suatu kesengajaan dari pihak Pura
Pakualaman. Karena kendhang ketipung dirasa terlalu kecil dan suaranya kurang keras untuk
mengiringi gendhing-gendhing Sekaten Alit, akhirnya dibuatkan lagi kendhang kosek yang
berukuran lebih besar dan bersuara lebih keras.
7. Fungsi Gending Sekaten Alit
Gendhing Sekaten Alit di Pura Pakualaman digunakan sebagai alat untuk menyebarkan
ajaran keagamaan Islam. Penggunaan gendhing dan kesenian lainnya dalam rangka
penyebaran agama telah dilakukan sejak zaman Sunan Kalijaga, lalu diwariskan melalui
kerajaan-kerajaan Islam seperti Kerajaan Demak, Kerajaan Pajang, dan kemudian Kerajaan
Mataram dan pecahan-pecahannya. Di sini akan dijelaskan bagaimana gendhing Sekaten Alit
mengambil perannya sebagai media dakwah agama Islam di Pura Pakualaman, termasuk
proses-proses akulturasi antara budaya Jawa pra-Islam dengan nilai-nilai keislaman yang
hadir setelahnya.
Penyajian dalam Ketiga Grebeg
Di Pura Pakualaman Gamelan Sekaten Alit ditabuh saat grebeg mulud, grebeg syawal,
dan grebeg besar (Hartana, 2006, hal. 38-39). Ketika grebeg tersebut adalah rangkaian
upacara dalam memperingati hari-hari besar agama Islam, yakni peringatan Maulid Nabi
(mulud), hari raya Idul Fitri (di bulan syawal), dan hari raya Idul Adha (di bulan besar).
Gamelan Sekaten Alit ditabuh sejak pukul 5 pagi maka akan memperdalam makna dan
fungsinya sebagai alat untuk berdakwah. Gamelan Sekaten Alit yang ditabuh d i waktu subuh
menjadi pengingat bagi orang-orang sekitar untuk salat subuh, untuk berdoa kepada Gusti
Allah. Inilah mengapa para abdi dalem salat terlebih dahulu sebelum mulai menabuh, serupa
dengan Sunan Kalijaga dan para niyaga yang mengikutinya mengambil wudhu terlebih
dahulu sebelum memulai pertunjukan wayang kulit dalam rangka menyebarkan ajaran Islam.
Sesaji yang digunakan dalam penyajian gendhinggendhing Sekaten Alit dengan cara
diletakkan dekat dengan gamelan yang sedang ditabuh, Pak Murhadi melanjutkan bahwa hal
tersebut merupakan simbol dari perhatian raja terhadap rakyatnya yang merupakan
makhlukmakhluk yang tidak terlihat oleh mata telanjang. Dalam ajaran Islam, Allah SWT
menciptakan dua jenis makhluk, satu yang kasat mata antara lain adalah manusia, dan lainnya
yang tak kasat mata disebut sebagai jin. Pembahasan mengenai jin dari kacamata agama
Islam dapat dibaca lebih lanjut dalam Abbasi (2004, hal 4-5) dan Al-Musayyar (2009, hal.
133). Mengenai pandangan masyarakat Jawa terhadap makhluk semacam jin dapat juga
dibaca dalam Hajid T. (2005, hal. 86-88) dan Safitri (2013). Pada intinya, Pak Murhadi
menjelaskan bahwa manusia dan jin hidup di alamnya masing-masing, namun tetap hidup
bersama dan harus saling menghormati sebagai sesama ciptaan Gusti Allah. Dari sini, sesaji
yang digunakan dalam penyajian gendhing-gendhing Sekaten Alit dapat dimaknai sebagai
simbol sedekah raja kepada makhluk ciptaan Allah yang tak kasat mata yang juga hidup
sebagai rakyat dalam wilayahnya, salah satunya adalah penunggu dari perangkat gamelan
yang digunakan.
Keluwesan Pemaknaan Gendhing Soran
Penyajian gendhing-gendhing Sekaten Alit dalam upacara grebeg memiliki tujuan untuk
menyebarkan ajaran agama Islam, sehingga pemaknaan gendhing yang disajikan pun
disesuaikan dengan tujuan untuk berdakwah. Akan tetapi, karena gendhing-gendhing
Sekaten Alit berbentuk soran, yakni instrumental, dan tidak memiliki syair yang
dinyanyikan, maka pemaknaannya pun cenderung luwes dan tidak bisa dipaksakan. Dalam
wawancara, Pak Murhadi mengatakan bahwa makna gendhing itu hanya bisa didapatkan
melalui rasa dan melalui mata hati.
Gending Pakurmatan
Gending yang menitikberatkan pada tujuan syiar agama Islam, tetapi ada juga fungsi lain
yang melekat pada penggunaan Gamelan Sekaten Alit yang kemudian membuka ruang pada
pemaknaan-pemaknaan lain dalam penyajiannya. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa
perangkat Gamelan Sekaten Alit tidak hanya digunakan secara eksklusif untuk menabuh
gendhing-gendhing soran biasa, tetapi juga digunakan untuk menabuh gendhing
pakurmatan. Sebagai gamelan pakurmatan, Kyai Kombangtawang dan Kyai Madusedana
pun digunakan untuk memainkan gendhing-gendhing pakurmatan, yakni gendhing-
gendhing yang ditabuh dalam momen-momen besar kerajaan seperti kenaikan takhta,
perkawinan raja dan anak raja, kelahiran anak raja, kematian raja, maupun upacara-upacara
keagamaan. Gamelan Kyai Kombangtawang dan Kyai Madusedana berfungsi juga sebagai
penegas marwah raja yang berkuasa di Pura Pakualaman.Gending Alit sekaten mungkin
tidak disebut Gendiing Pakurmatan tetapi keberadaannya adalah bagian dari mas atunggu
ketika akan dibunyikan gending pakrmatan pada saat grebeg sekaten.
Upaya Pelestarian
1. Penelitian dan Kajian, upaya untuk melakukan kajian dan pemutakhiran data secara
berkala pada karya budaya ini.
2. Pewarisan, pola pewarisan diupayakan dalam dua metode yakni metode tulis dalam
bentuk modul, buku saku, dan panduan mengenai deskripsi singkat karya budaya berikut
dengan catatan mengenai persebaran yang ada di dalamnya. Kedua, metode transformasi
ilmu dan keahlian yang diwujudkan dalam bentuk pelatihan, workshop, fasilitasi
perlengkapan, mentoring, dan fasilitator yang mempu menjembatani adanya proses
transfer ilmu tersebut. Metode pewarisan dilakukan dengan melibatkan subjek pelestari
karya budaya, pengrajin, pelaku seni, pemerintah Desa, dan juga Pemerintah
Kabupaten/Kota. Ragam pola pembinaan juga dapat disesuaikan dengan kebijakan
komunitas maupun pemerintah setempat.
3. Pelindungan, upaya pelindungan yang dilakukan dengan melakukan arsip dokumen baik
kajian, foto dan video dari karya budaya yang merupakan khasanah lokal dari awal adanya
karya budaya ini. Upaya pelindungan juga dilakukan dengan melakukan koordinasi
dengan Kemenkumham terkait dengan adanya basis pencatatan Kekayaan Intelektual
Komunal. Upaya pelindungan juga dilakukan dengan melakukan fasilitasi sebagai bentuk
dukungan kepada pelestari karya budaya tersebut
4. Pengembangan/Revitalisasi, upaya pengembangan dilakukan dengan dilakukannya
pengembangan pada efektivitas fungsi gending alit sekate Pakualaman ini pada kehidupa
sehari-hari
5. Promosi dan Publikasi, Publikasi dan promosi dibutuhkan untuk setiap akrya budaya,
apalagi untuk karya budaya yang dikatakan tidak berkembang dan hamper punah, selain
upayaa regenerasi, promosi dan upaya publikasi juga diperlukan untuk mendukung
hadirnya semangat daya Tarik yang lebih besar untuk setiap karya budaya yang ada.
Rencana Aksi
1. Rencana Aksi oleh Masyarakat dan Kadhipaten Pakualaman, Pemerintah Desa dalam hal
ini menjadi sektor sentral yang akan melakukan aksi-aksi pemeliharaan dan
pengembangan taraf pertama untuk dapat melakukan pembinaan, pelatihan, dan fasilitasi
kegiatan yang bersifat temporal. Kadipaten juga berperan untuk melakukan kaderisasi.
pendampingan, evaluasi dan monitoring bersama pelaku budaya karya budaya untuk
terus melakukan pemeliharaan dan pengembangan karya budaya
2. Langkah dukungan oleh Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah-Daerah Istimewa
Yogyakarta dalam hal ini telah dan akan terus melakukan upaya-upaya pemeliharaan dan
pengembangan warisan budaya takbenda Daerah Istimewa Yogyakarta, diantara hal-hal
langkah yang dilakukan adalah :
a. Adanya Peraturan Gubernur Nomor 21 Tahun 2017 tentang adanya label Jogja
Tradition untuk semua karya WBTb yang sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya
Takbenda Indonesia untuk dapat mendapatkan label Jogja Tradition. Langkah alur
kerja secara singkat, bahwa penetapan label Jogja Tradition diberikan melalui Dinas
Perindustrian dan Koperasi DIY, namun rekomendasi untuk mendapatkan label ini
dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa
Yogyakarta, rekomendasi diberikan dengan catatan melampirkan foto dan video
produk, profil usaha, dan verifikasi dilakukan dengan melakukan klarifikasi
kesesuaian produk maupun aktivitas sosial budaya tersebut dengan kajian dan telaah
karya budaya yang sudah ditetapkan sebagai WBTb Indonesia;
b. Adanya Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 37 Tahun 2021
tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur DIY nomor 100 Tahun 2020 tentang
Pedoman Pelaksanaan Bantuan Keuangan Khusus Dana Keistimewaan kepada
Pemerintahan Kalurahan, dalam Pergub ini juga memuat adnaya BKK Khusus
percepatan WBTb di Daerah Istimewa Yogyakarta
c. Adanya pemutakhiran data, pemantauan dan evaluasi melalui pendamping Desa
Budaya, ada sekitar 76 desa budaya yang sudah ditetapkan melalui peraturan
Gubernur DIY Nomor 351/KEP/2021 tanggal 3 November 2021 . Sedangkan untuk
WBTb yang berada di luar desa budaya diupayakan melalui Pemerintah
Kabupaten/Kota setempat
d. Pada tahun 2021, Pemerintah Daerah-Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Dinas
Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Iatimewa Yogyakarta juga telah dilakukan
adanya peresmian Website WBTb DIY dengan nama Sitem Informasi WBTb (SI
WBTb diy) , website ini ditujukan sebagai satu database WBTb Daerah Istimewa
Yogyakarta yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia baik
yang sudah maupun akan diusulkan pada tahun-tahun berikutnya
e. Perayaan WBTb, Program tahunan untuk memberikan aksi tindaklanjut jangkaa
pendek paska ditetapkan sebagai WBTb Indonesia pada H+1 tahun penetapan,
Kegiatan perayaan berisikan workshop, eplatihan, pameran, seminar, dan penyerahan
sertifikat Gubernur IDY kepada Bupati Walikota se-DIY
f. Program Fasilitasi Seni pertunjukan dan Upacara Adat berkala yang diprioritaskan
bagi karya budaya yang sudah ditetapkan sebagai WBTb Indonesia melalui program
fasilitasi langsung oleh masyarakat
g. Penyusunan Rencana Aksi Tindak Lanjut, penyusunan rencana aksi dengan Dewan
Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, masih dalam proses pembahasan
3. Usulan rancangan rencana aksi oleh Pemerintah Pusat\
Usulan untuk rencana aksi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat diantaranya :
a. Melakukan kajian dan penyusunan rentra nasional jangka pendek, menegah dan
panjang terkait rumusan pola-pola aksi tindak lanjut paska Penetapan WBTb
Indonesia, sedang ragam dan implementasinya bias disesuaikan oleh Pemerintah
Daerah masing-masing, rumusan juga memuaat terkait sistem kerjasama pusat-daerah
dalam kerja pelestarian WBTb, ranah pelaksanaan monitoring dan evaluasi bersama
pusat dan daerah;
b. Memperbanyak publikasi WBTb Daerah yang sudah ditetapkan sebagai WBTb
Indonesia secara temporal dan berkelanjutan;
c. Pelibatan kegiatan pusat yang berbasis pada subjek budaya WBTb Daerah yang telah
ditetapkan sebagai WBTb Indonesia (bukan saja pada Perayaan WBTb Indonesia)
sebagai dukungan dan akomodasi adanya publikasi nasional untuk daerah;
d. Melakukan workshop-pelatihan yang bagi para fasilitator dan koordinator WBTb
daerah dalam melakukan penjaringan, pengkajian, pengusulan, dan fasilitasi kepada
subjek WBTb;\
e. Melakukan koordinasi berkala untuk adanya perlindungan hukum bersama
Kemenkumham;
Nama :
Alamat :
Kode Pos :
No Telp/Fax/Mobile :
Alamat email :
10. Guru budaya/maestro (diisi nama orang-orang yang memiliki pengetahuan dan
keterampilan tentang warisan budaya takbenda tersebut beserta usia yang bersangkutan)
Beberapa instrumen dalam perangkat Gamelan Kyai/Nyai Madusedana (slendro). Tampak dari
kiri ke kanan, belakang: gong ageng dan kempul digantung pada satu gayor. Tampak dari kiri
ke kanan, depan: kenong wadon dan kenong lanang bersebelahan, lalu bedhug di atas plangkan
Beberapa instrumen dalam perangkat Gamelan Kyai Kombangtawang (pelog). Tampak dari kiri
ke kanan, belakang: gong ageng, kempul, dan kecer digantung pada satu gayor. Tampak dari
kiri ke kanan, depan: kenong dan kempyang bersebelahan. Pada instrumen kenong terdapat
kerusakan berupa lubang di sisi samping.
12. Film dokumenter mengenai warisan budaya takbenda (sertakan judul dari film dan
dilampirkan bersama formulir)
13. Kajian akademis oleh lembaga penelitian yang terkait (sertakan judul dari kajian
akademis dan dilampirkan bersama formulir)
Dinas Kebudayaan DIY. 2022. Gending Sekaten. Yogyakarta : Dinas Kebudayaan DIY
14. Referensi (ditulis sumber secara lengkap nama penulis, tahun, judul buku, tempat terbit,
penerbit, naskah kuno, prasasti, sumber lisan/nama pelaku (saksi sejarah) yang masih
hidup, usia, dan lainnya
Rade, Dewi Sri. 2000. Koreografi Tari Bedhaya Renyep di Pura Pakualaman Yogyakarta.
Skripsi. Surakarta: Sekolah Tinggi Seni Indonesia.
Brongtodiningrat K.P.H. 1981. Falsafah Beksa Bedhaya Sarta Beksa Srimpi Ing
Ngayogyakarta. Dalam Kawruh Joged Mataram. Yogyakarta. Dewan Ahli Yayasan Siswa
Among Beksa.
Clara Brakel – Papenhuyzen. 1991. Seni Tari Jawa Tradisi Surakarta dan Peristilahannya.
Jakarta: Dept-Rul.
Darsiti Soeratman. 1989. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1930 – 1939. Desertasi
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Ellfeld, Lois. 1977. Pedoman Dasar Penata Tari. Terjemahan Sal Murgiyo. Jakarta: Dewan
Kesenian Propinsi DIY
Hasan Shadly dkk. 1984. Ensiklopedia Indonesia Jilid I. Jakarta: Ichtar Baru – Van Hoeve.
Hermien Kusmayati A.M. 1988. Bedhaya di Puro Paku Alaman: Pembentukan dan
Perkembangannya 1909 – 1987. Tesis S-2 Program Studi Sejarah jurusan Ilmu-ilmu
Humanira Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
Humpphrey, Doris. 1983. Seni Menata Tari. Terjemahan Sal Murgiyanto. Jakarta: Dewan
Kesenian Jakarta.
Kuswadji Kawendrasusanta. 1981. Tata Rias dan Busana Tari Gaya Yogyakarta: dalam
mengenal tari klasik gaya Yogyakarta. Yogyakarta: Dewan Kesenian Propinsi DIY.
Sastrakartika. 1979. Serat Kridhawayangga Pakem Beksa. Alih bahasa oleh To9wok Hadi
Soeprapto. Jakarta: Depdikbud P&K.
Soedarsono. 1978. Komposisi Tari Elemen-elemen Dasar, Lagaligo untuk fakultas kesenian
Institut Seni Indonesia.
Soemarsaid Moertono. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Soetarno. 1988. Serat Bima Suci Dengan Berbagai Aspeknya. Laporan Penelitian, STSI
Surakarta.
Theresia Suharti. 1991. Tari Di Mangkunegaran Suatu Pengaruh Bentuk dan Gaya Dalam
Dimensi Kultural Sejak Masa Sri Mangkunegaran VII. Editor Soedarso.
Widaryanto Franciscus X. 1992. Evolusi Serimpi Renggawati di Keraton Yogyakarta dari Ritus
ke Seni Pertunjukkan, dalam seni pertunjukkan Indonesia. Jakarta: Gramedia Widiaswana
Indonesia Jakarta.
17. Tempat dan tanggal penerimaan formulir warisan budaya takbenda (diisi oleh
Kementerian)
Tempat : Tanggal :
LAMPIRAN