Tempat, Tgl Lahir : Yogyakarta, diperkirakan Januari 1907 Wafat : 7 November 1976 (69 tahun) Pendidikan : Penghargaan : 1. 2019 - Tanda Kehormatan Satyalandana Kebudayaan 2.1993 - Penghargaan Anugerah Budaya, sebagai Pembina Seni dari Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada Karya : 1. Sejarah Kesenian Indonesia (1952)
Mendengar nama Indrosoegondo mungkin banyak orang tidak banyak
mengenalnya jika beliau merupakan orang yang sangat berpengaruh dalam menata birokrasi kebudayaan di Indonesia. Indrosoegondo merupakan Direktur Jenderal Kebudayaan pertama Republik Indonesia yang diangkat langsung oleh Presiden RI Ir. Soekarno. Sebelum menjadi Dirjenbud, beliau menjabat sebagai Atase Kebudayaan Indonesia untuk Amerika Serikat. Indrosoegondo lahir di Yogyakarta tahun 1907. Beliau masih mempunyai darah karaton dimana ayahnya adalah KGPA Paku Alam II. Sebelum pindah ke Jakarta, Indrosoegondo tinggal di perumahan Pakualaman tepatnya di Jl. Sukun atau Ki Mangunsarkoro No.34 yang kini telah diwakafkan kepada Yayasan Pendidikan Muhammadiyah Yogyakarta dan dijadikan gedung SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta dimana keaslian bangunan induknya masih dipertahankan sampai sekarang. Istrinya adalah Raden Nganten Sutinah atau R.Ay. Indrosoegondo, putri RM Prawirowisoto dari Madiun. Istri Indrosoegondo merupakan salah satu pendiri Himpunan Ahli Rias Pengantin “HARPI MELATI”. Dikatakan bahwa beliau adalah perias dari Puko Pakualaman yang terkenal sehingga biasa merias orang-orang penting, termasuk dari kalangan istana. Selain menjadi seorang pemikir di bidang kebudayaan, Indrosoegondo sudah mempunyai darah seni sejak usia muda. Tidak jarang beliau mencurahkan jiwa seninya melalui tarian dan lukisan. Terdapat pendopo disamping rumahnya yang digunakan untuk berlatih dan mengajarkan seni tari, disampingnya terdapat gudang yang berisi seperangkat gamelan untuk mengiringi kegiatan Indroseogondo. Menurut Ibu Isbandi dan Pak Muwardi yang masih merupakan kerabat almarhum, masih ada sejumlah benda yang disimpan di rumahnya di Yogyakarta maupun di Jakarta seperti lukisan diri Indroseogondo yang sedang bercermin, lukisan BRAy. Indrosoegondo (istri) dan benda lain peninggalan beliau. Dalam bukunya Nunus Supardi yang berjudul “Melacak Jejak Direktur Jenderal Kebudayaan (2016)” dalam keaktifannya sebagi seorang seniman lukis, Indrosoegondo tercatat dalam keanggotaan beberapa perkumpulan seni lukis di Yogyakarta diantaranya Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) pada tahun 1945; Seniman Indonesia Muda (SIM) pada tahun 1946; dan Pelukis Rakyat pada tahun 1947. Lebih jauh lagi dalam tulisanya Nunus Supardi menyebutkan bahwa pada tahun 1949 Indrosoegondo menggagas didirikanya lembaga pendidikan seni tingkat akademi. Pada tanggal 15 Desember 1949 melalui Surat Keputusan Menteri PP &K No.32/Kebudayaan, mendirikan lembaga pendidikan seni dengan nama Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) yang sekarang berubah menjadi Institut Seni Indonesia (ISI). Selain melukis, Indrosoegono merupakan penari dan pengajar tari. Pada tahun 1964 dan 1965 menurut Prof. Sardono dalam bukunya Nunus Supardi (2016), Indrosoegondo mempunyai peran besar di usianya yang masih muda (19 tahun) dalam pertunjukan seni pada persiapan penyelenggaraan New York World’s Fair (NYWF). Nama Indrosoegondo tercatat dalam The New York Public Library for the Performing Arts, sebuah blog yang diselenggarakan dan dikelola oleh Jerome Robbins Dance Division New York sebagai Artistic Director of Indonesian Pavilion World’s Fair. Latihan tari untuk persiapan NYWF memanfaatkan pendopo yang ada di rumahnya. Hal ini membuat Indrosoegondo berjasa dalam pengenalan budaya khususnya seni tari tradisi Jawa ke mancanegara. Dalam hal kesenian, Indrosoegondo juga mempunyai jasa sebagai guru sejarah kesenian. Beliau mengajar sejarah kesenian di Sekolah Seni Drama dan Film pada tahun 1950 pimpinan Sri Moertono sampai akhirnya tahun 1952 menerbitkan bukunya yang berjudul Sejarah Kesenian Indonesia yang pernah disampaikan pada Institut Kesenian Yogyakarta. Selama menjabat menjadi Direktur Jenderal Kebudayaan pada periode Juli 1966 sampai dengan 1 Juni 1968, Indroseogondo telah melakukan berbagai lompatan untuk memajukan kebudayaan Indonesia. Sebelum menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan, beberapa sumber menyebutkan bahwa beliau memulainya dengan bekerja di “Bahagian Kebudayaan” Kementerian Pengajaran RI (1945-1948), kemudian di Bagian “D”, bagian yang mengurus kebudayaan (1949-1964), dan Direktorat Kebudayaan (1964-1966). Meskipun sebagai pegawai Kementerian PP & K, tetapi Indrosoegondo banyak menghabiskan waktu tugas di luar negeri sebagai Atase Kebudayaan dimana beliau mempromosikan dan mengenalkan kebudayaan Indonesia ke luar negeri. Sebelum menjadi Atase Kebudayaan untuk Amerika Serikat, beliau juga pernah menjabat sebagai Atase Kebudayaan di Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Indrosoegondo mempunyai tugas yang cukup berat untuk meletakan dasar- dasar kebudayaan di tanah air. Untuk mewujudkan program yang sejalan dengan kebijakan pemerintah dengan tujuan membuat tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang didasarkan pada kebudayaan, beberapa langkah yang dilakukan oleh Indrosoegondo antara lain : menata kelembagaan kebudayaan di pemerintah maupun di masyarakat; menata ketenagaan, serta menata konsep, kebijakan dan strategi pemajuan kebudayaan. Hal ini dijalankan Indrosoegondo dengan menata kelembagaan kebudayaan yang tersusun dalam satuan kerja “direktorat” yang terdiri atas: (1) Direktorat Kesenian; (2) Direktorat Pendidikan Kesenian; (3) Direktorat Museum; (4) Direktorat Bahasa dan Kesusastraan. Sementara untuk mengurus administrasi direktorat jenderal dibentuk Sekretariat Direktorat Jenderal Kebudayaan. Pekerjaan Soegondo tidak terhenti di pembentukan lembaga saja, untuk urusan penataan SDM Kebudayaan, beliau juga mempunyai tugas berat untuk menertibkan masalah kepegawaian dimana dimasa itu indikasi keterlibatan pegawai dalam peristiwa G30S/PKI tidak sedikit. Beliau menertibkan berbagai pusat kegiatan kesenian dengan mengadakan pembinaan, pengawasan dan pengendalian langsung terhadap pelaksanaan kegiatan kesenian yang ada di pusat maupun di daerah. Indrosoegondo ingin mengembalikan kebudayaan pada ranah tradisi yang selama ini sudah tercampur dengan ideologi politik dan sebagai media penyalur politik. Sebagai seorang budayawan dan birokrat, Indrosoegondo mempunyai kebijakan untuk pengembangan dan kemajuan kebudayaan dengan menyelenggarakan Musyawarah Kesenian, Simposium Kebudayaan Nasional dan Simposium Bahasa dan Kesusasteraan Indonesia. Salah satu tujuan diselenggarakannya musyawarah seperti Musyawarah Kesenian Nasional (MUKENAS) tersebut guna menjaring dan mengumpulkan pemikiran-pemikiran para tokoh dan budayawan untuk menjadikan semboyan “Kebudayaan yang Berkepribadian” menjadi garis haluan dalam memajukan kebudayaan Indonesia. Selain mempunyai peran besar dalam pembangunan kesenian yang bersifat kelembagaan dan kesenian, beliau juga berandil besar dalam pemugaran candi Borobudur. Pada tahun 1967, presiden RI mengirim surat ke UNESCO untuk membantu dalam pemugaran candi Borobudur, Indrosoeondo sebagai Direktur Jenderal kebudayaan membentuk Badan Pemugaran Candi Borobudur. Pemugaran ini dimulai tahun 1968 melalui kerjasama antara Direktorat Purbakala dengan UGM dan ITB serta melibatkan berbagai ahli dari luar negeri seperti dari Belanda, Perancis, Belgia dan Italia. Melihat berbagai jasa dan peran Indrosoegondo dalam bidang kebudayaan, dapat dikatakan bahwa beliau menjadi peletak dasar kebudayaan dengan membentuk lembaga kebudayaan sampai sumber daya manusianya. Hal ini karena beliau berharap kebudayaan dapat menjadi jatidiri bangsa yang berkepribadian, mandiri unggul serta dapat menjadi alat pemersatu bangsa.