Anda di halaman 1dari 16

PERSAGI DAN PERKEMBANGAN SENI LUKIS INDONESIA Oleh: Yudi Wibowo

A. Pendahuluan Seni Rupa Indonesia kini telah dikenal oleh dunia internasional. Kini telah banyak seniman (perupa) Indonesia yang karyanya eksis di berbagai perhelatan seni internasional. Dari berbagai macam karya seni rupa yang telah berbicara di kancah internasional, sebagian besar merupakan karya seni lukis. Venice Biennale, Sao Paulo Biennale, Gwangju Biennale, ASEAN Youth Artists Exhibition, Adelaide Biennial of Australian Art, Trienal Osaka dan lain sebagainya merupakan sederetan perhelatan seni rupa internasional yang pernah mengikutsertakan pelukis-pelukis Indonesia. Dari berbagai perhelatan tersebut, muncul nama-nama seperti Agus Suwage, Heri Dono, Ivan Sagita, Eddie Hara, dan lain-lain. Selain eksis di berbagai perhelatan seni rupa internasional, lukisanlukisan para pelukis Indonesia telah banyak mengisi daftar lelang di pasar seni rupa internasional sebagai lukisan high price. Putu Sutawijaya, Yunizar, Agus Suwage dan I Nyoman Masriadi dianggap sebagai pelukis papan atas di hampir setiap lelang lukisan Indonesia 1. Kegemilangan seni lukis Indonesia saat ini tentunya bukan sesuatu yang tiba-tiba saja terjadi dalam waktu singkat. Keadaan yang terjadi saat ini merupakan kelanjutan dari serangkaian proses perkembangan sejak beberapa kurun waktu. Seni lukis modern2 di Indonesia telah tumbuh dan berkembang sebagai cabang seni yang paling mendapat tempat di hati
Stanislaus Yangni . Nyoman Masriadi: Ingin Berhenti Main di Indonesia. Majalah Visual Arts Februari/Maret, 2008: 42
1

Menurut Mikke Susanto, pengertian modernism selalu dikaitkan dengan perkembangan seni rupa barat awal abad ke-20 (Mikke Susanto, 2004: 263)
2

masyarakat. Membicarakan mengenai perkembangan seni lukis modern di Indonesia, tentunya tidak akan pernah lepas dari membicarakan nama sebuah perkumpulan pelukis yang pernah terbentuk pada tahun 1970-an, yaitu Persagi3 (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia). Menyebut Persagi pun tentu tidak lepas dari menyebut nama S. Sudjojono sebagai pendirinya. S. Sudjojono adalah tokoh penting bagi seni lukis modern di Indonesia, bahkan, ia juga disebut-sebut sebagai bapak seni lukis modern Indonesia4. Tulisan ini membahas tentang perjalanan seni rupa modern di Indonesia, yang dimulai sejak berdirinya Persagi sampai saat ini, sedangkan masa sebelum Persagi tidak dibahas. Hal ini didasarkan pada beberapa sumber yang menyebutkan bahwa seni rupa modern di Indonesia dimulai sejak berdirinya persagi. Selama ini, S. Sudjojono sebagai salah satu tokoh pendiri Persagi dianggap sebagai pelopor seni lukis modern Indonesia. Namun demikian, sampai saat ini pembahasan dan perdebatan tentang seni lukis modern Indonesia masih menyisakan banyak soal yang belum terjawab. Boleh jadi soal ini bermula dari kenyataan bahwa data dan catatan tentang perjalanan sejarah seni rupa modern Indonesia hasil penelitian dan analisis kalangan seni rupa Indonesia sendiri, memang tak banyak dan tak mudah didapatkan. Oleh karena itu, tulisan ini tidak bermaksud untuk mengangkat wacana baru mengenai bagaimana sebenarnya seni lukis modern Indonesia, akan tetapi tulisan ini hanya akan menghimpun data-

3:

Sejak lahirnya PERSAGI, yaitu Persatuan ahli-ahli gambar Indonesia yang didirikan pada tahun 1937 itu, dunia Seni Rupa Indonesia mulai menampilkan seni rupa modern yang timbul karena imbas dari mulai berdatangannya pengaruh seni rupa modern Barat. (Soedarso Sp, 2000: v) Anggapan bahwa dialah bapak seni lukis Indonesia modern tumbuh pada waktu itu. Para pengeritik seni rupa dengan tidak ragu menyebutnya sebagai Bapak Seni Lukis Indonesia Modern. (Ajip Rosidi, 2010: 152)
4

data dari berbagai sumber yang sebenarnya sangat variatif, namun tetap relevan.

B. Persagi Persagi didirikan pada tahun 1938 oleh S. Sudjojono bersama dengan Agus Djaja dan Otto Djaja. Mereka dianggap sebagai pelopor seni lukis Indonesia modern dan sejumlah pelukis lain bergabung. Pelukis Istana, raden saleh (1807 1880) dikenal baik di antara keluarga-keluarga kerajaan Eropa. Bersama pelukis potret Basuki Abdullah (1915-1993) mewakili gerakan Mooi Indie atau Indonesia Indah mendahului Persagi sebagai tokoh-tokoh istimewa yang sangat disegani dalam dunia seni rupa.5 Pendirian Persagi dipengaruhi oleh situasi politik pada masa itu. Tuntutan untuk bersatu sangat menggelora di benak para pemuda yang terhimpun dalam beberapa organisasi yang masih bersifat kedaerahan, semisal Jong Java, Jong Batak, jong ambon, JongSumatrenen Band, dan lain sebagainya. Bersatunya organisasi-organisasi kepemudaan yang bersifat kedaerahan tersebut rupanya menginspirasi S. Sudjojono untuk membuat organisasi berskala nasional yang bergerak di bidang seni, khususnya seni lukis. Selain itu, pendirian Persagi juga dipengaruhi oleh didirikannya sekolah Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara. And the beautiful Indies eventually seethed along with the churning new era. On the eve of the new century, Cipto Mangunkusumo debated with Sutatmo Suryokusumo about "Indies nationalism" and "javanese Nationalism". Ki Hadjar dewantara, a partner of the two leading figures who were busy formulating the cultural concept and orientations for the Indies, believed in the
5

Toeti Heraty . Fragmen Otobiografi Toety Heraty. Magelang. Penerbit Indonesia Tera, 2003: 63

importance of education with a national vision for the natives. Hence, the school Taman Siswa was established in 1922. Its curriculum put significant emphasis on the nurturing of creativity through art. Painting then formed an important part of the proccess of education which was expected to develop sound minds among the new generation of natives. Sudjojono, Basuki Resobowo, Rusli, abas Alibasjah all grew in Taman Siswa, studying and teaching there. There is no doubt that a number of significant and fundamental ideas proposed by Sudjojono, the most important formulator of the "ideology" of indonesian modern art, stemmed from Taman siswa. 6 (Dan Hindia yang indah akhirnya mendidih bersama dengan era baru berputar. Pada malam abad baru, Cipto Mangunkusumo berdebat dengan Soetatmo Suryokusumo tentang "nasionalisme Hindia" dan "nasionalisme Jawa". Ki Hadjar Dewantara, mitra dari dua tokoh yang sibuk merumuskan konsep budaya dan orientasi untuk Hindia, percaya pada pentingnya pendidikan dengan visi nasional untuk pribumi. Oleh karena itu, sekolah Taman Siswa didirikan pada tahun 1922. Kurikulum menekankan pentingnya memelihara kreativitas melalui seni. Melukis menjadi bagian penting dari proses pendidikan yang diharapkan mampu untuk mengembangkan pikiran yang sehat di antara generasi baru penduduk pribumi. Sudjojono, Basuki Resobowo, Rusli, abas Alibasjah, semua berkembang di Taman Siswa, belajar dan mengajar di sana. Tidak ada keraguan bahwa sejumlah ide-ide besar dan mendasar yang digagas oleh Sudjojono, peletak dasar yang paling penting dari "ideologi" seni indonesia modern, berasal dari Taman Siswa.) Persagi diketuai oleh Agus Djaja, dan S. Sudjojono menjadi sekretarisnya. Persagi mempunyai misi mencari sintesis dari lukisan tradisional dan modern sembari mengembangkan gaya mereka sendiri yang bercirikan keindonesiaan.7 Tujuan Persagi adalah mengembangkan seni lukis Indonesia dengan mencari corak Indonesia baru. Jim Supangkat menjelaskan:

6.Efix

Mulyadi ed. The Journey Of Indonesian Painting, The Bentara Budaya Collection. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia, 2008: 17 Aminuddin Siregar.Instalasi Sunaryo: Saksi Tragedi Kemanusiaan (1998-2003). Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, 2007:177
7

Persentuhan seni rupa Indonesia dengan seni rupa modern sebenarnya hanya terbatas pada corak, gaya, dan prinsip estetik tertentu. Nasionalisme sebagai sikap dasar persepsi untuk menyusun sejarah perkembangan sejarah seni rupa Indonesia adalah kenyataan yang tak bisa disangkal dan nasionalisme sangat mewarnai pemikiran kesenian dihampir semua negara berkembang. Batas kenegaraan itulah yang mengacu pada nasionalisme yang akhirnya diakui dalam seni rupa kontemporer yang percaya pada pluralisme sejak zaman PERSAGI tidak pernah ragu menggariskan perkembangan seni rupa Indonesia khas Indonesia.8 Sesuai dengan pendapat tersebut, Agus Sachari menjelaskan: Para pelukis Indonesia berupaya membangun gaya Indonesia baru yang dikembangkan dari paduan antara nilai estetik tradisidan nilai estetik modern. Semasa kolonialisasi Jepang di Indonesia, Persagi mendapat wadah yang bernama Keimin Bunka Sidhoso (Pusat Kebudayaan) yang didirikan pada tahun 1943. Spirit yang dicanangkan Jepang untuk membangun Kebudayaan Timur mendapat tanggapan positif, hal itu terbukti dari keterlibatan para pelukis dalam membina seni lukis Indonesia, dan tokoh-tokohnya antara lain adalah S. Sudjojono, Agus Djaja, dan Affandi yang kemudian diikuti oleh sejumlah pelukis muda, diantaranya Otto Djaja, Henk Ngantung, Hendra Gunawan, Djajengasmoro, Kartono Yudhokusumo, Kusnadi, Sudjana Kerton, Trubus, Baharuddin, dan sejumlah seniman lainnya.9

8 9

Jim Supangkat dalam Dharsono. Seni Rupa Modern. Bandung, Rekayasa Sains 2004: 224 Agus Sachari. Budaya Visual Indonesia, Jakarta, Erlangga 2007: 76

Gambar 1. Tjap Go Meh (1940) karya S. Sudjojono, Cat minyak di atas kanvas / Oil on canvas, 73 x 51 cm (www.galeri-nasional.or.id)

Gambar 2. Pertemuan (1947) karya Otto Jaya, Cat plakat di atas kertas / Palcard oil on paper, 88 x 65 cm (www.galeri-nasional.or.id)

C. Perkembangan Seni Lukis Indonesia Pada bagian ini, pembahasan terfokuskan pada perkembangan seni lukis pasca Persagi sampai dengan saat ini. Setelah jauh berjalan, Persagi lantas menjadi kelompok yang eksistentsinya terbilang mapan. Seiring dengan datangnya jepang ke Indonesia, peran Persagi pun harus bersinggungan dengan pemerintah Jepang waktu itu. Persagi mendapat wadah yang bernama Keimin Bunka Sidhoso (Pusat Kebudayaan) yang didirikan oleh kolonial Jepang pada tahun 1943. 1. Seni Lukis Era Revolusi Kemerdekaan Setelah berakhirnya penjajahan Jepang dan diproklamirkannya kemerdekaan, kehidupan para pelukis menjadi sangat bergairah. Banyak Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi kata-kata dan gambar yang bertema revolusi. Holt menjelaskan bahwa: Pada saat revolusi pecah pada bulan Agustus 1945, jumlah pelukis Indonesia mungkin lipat dua, mungkin lipat tiga dari masa-masa sebelum perang. Mereka
10

siap

menerjunkan diri segera ke arus aktivitas-aktivitas revolusioner.

Era revolusi kemerdekaan di Indonesia membuat banyak pelukis Indonesia beralih dari tema-tema romantisme menjadi cenderung ke arah tema-tema kerakyatan. Obyek lukisan yang hanya berhubungan dengan keindahan alam Indonesia dianggap sebagai tema yang kurang cocok dan anti revolusi. Para pelukis kemudian beralih kepada potret nyata kehidupan masyarakat kelas bawah dan perjuangan menghadapi penjajah. Pada tahun 1946 berdirilah sanggar Seniman Masyarakat di

Yogyakarta dipimpin oleh Affandi sebagai perkumpulan seni lukis pertama yang potensial. Tidak lama kemudian, namanya diganti menjadi Seniman Indonesia Muda (SIM) dan kali ini pimpinan beralih ke S. Sudjojono.

10

Claire Holt. Melacak jejak perkembangan seni di Indonesia. Bandung, Arti.line, 2000: 288

Perkumpulan seni lukis telah mulai pada waktu tentara Jepang masih menduduki Indonesia. Pada tahun 1946 atas inisiatif Sudjojono, Trisno Sumardjo, Sunindyo, dan Suradji didirikan organisasi Seniman Indonesia Muda (SIM). Pelukis-pelukis lainnya yang tergabung dalam badan ini, atau yang ada hubungannya ialah: Sundoro, Zaini, Nasjah, Moh. Hadi, A. Wakidjan, Ismono, Sudiono, Sudibjo, Surono, Sjahri, Nahar, dan lain-lain.11 Pada 1947 Affandi, Sudarso, Sudiardjo, Trubus dan Sasongko berpisah dari SIM dan bersama dengan anggota baru seperti Kusnadi dan Sudjana Kerton mendirikan perkumpulan bernama Pelukis Rakyat. Rustamadji, Sumitro, Sajono, Saptoto dan C.J. Ali bergabung pula dalam Pelukis Rakyat. Dan pada 1948, Pelukis Rakyat menggelar pameran pertama dri cabang baru seni rupa Indonesia di pendopo timur Museum Sonobudoyo. Dua tahun kemudian, pada 1950 sebagian anggotanya seperti Nasjah Djamin, Bagong Kussudiardja, Kusnadi, Sumitro, Saptoto keluar dari Pelukis Rakyat karena tidak suka dengan pengaruh Lekra12. 2. Seni Lukis Era Lekra dan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) Lekra atau Lembaga Kebudayaan Rakyat adalah organisasi kebudayaan terbesar yang dekat dengan Presiden Soekarno. Affandi pernah menjadi salah satu pimpinan dan masuk di bagian seni rupa bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya. Bersama pelukis Sholihin, Rubai dan umaryo L.E. para anggota Pelukis Rakyat yang keluar ini kemudian mendirikan perkumpulan yang ingin terbebas dari Lekra bernama Pelukis Indonesia. Perkumpulan seni lukis lain yang sudah berdiri di Yogyakarta sejak 1945, dengan kegiatan mengadakan kursus menggambar serta pembuatan

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta, Balai Pustaka, 1977:294 12 Di dalam Buku yang berjudul Buku Pintar Politik, Redaksi Great Publishar menjelaskan: Lembaga Kebudajaan Rakjat atau dikenal dengan akronim Lekra, merupakan organisasi kebudajaan sayap kiri di Indonesia. Lekra didirikan atas inisiatif D N Aidit, Nyoto, MS Ashar, dan AS Dharta pada 17 Agustus 1950. (Redaksi Great Publisher, 2009: 56)
11

poster-poster adalah Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) dengan Ketuanya Djajengasmoro dan anggota-anggota Sindusisworo (mantan anggota Persagi), Indrosugondo dan Prawito. Tedi Sutardi menjelaskan: ...di Yogyakarta berdiri Pusat Tenaga Pelukis Indonesia yang diketuai oleh Djajengasmoro, Perkumpulan Seni Rupa Masyarakat yang ketuanya Affandi, perkumpulan Pelukis Rakyat, tempat Affandi bergabung dengan Sudjojono, dan di Madiun berdiri perkumpulan Seniman Indonesia Muda yang diketuai Sudjojono.13 Djajengasmoro bersama R.J. Katamsi yang juga banyak melahirkan kader-kader pelukis muda. Di Surakarta berdiri pula Himpunan Budaya Surakarta (HBS) dengan Ketuanya Dr Moerdowo sejak 1945 dan perkumpulan seni lukis Pelangi yang diketuai Sularko antara 1947 1949. Pada tanggal 17 Agustus 1963, muncul Gerakan Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Gerakan ini bertujuan untuk melawan pemaksaan ideologi komunisme. Banyak pelukis pada masa itu memilih untuk membebaskan karya seni mereka dari kepentingan politik tertentu. Manikebu itu ditentang sengit oleh Lekra, namun presiden pada masa itu, yaitu Soekarno membela Lekra. Soekarno menganggap gerakan Manikebu melemahkan semangat revolusi, sehingga akhirnya Manikebu diberantas. Berkaitan dengan hal ini Lombard menjelaskan: Konflik pecah dengan adanya Manifesto Kebudayaan (Manikebu), yang ditandatangani oleh sejumlah pengarang dan beberapa pelukis. Para partisan Iart pour Iart menyatakan perang terhadap para seniman Lekra yang kekuasannya sangat mereka takuti. Pada tahun 1965-1966, lengkaplah sudah kemenagan meraka. Henk Ngantung, waktu itu walikota Jakarta, disingkirkan, Hendra dipenjara.14

Tedi Sutardi. Antropologi, mengungkap keragaman budaya. Bandung, PT Setia Purna Inves, 2007: 52 14 Denys Lombard. Nusa Jawa: Silang Budaya 1, Batas-batas Pembaratan. Jakarta, PT Gramedia, 2008:188
13

Meskipun pada masa ini penuh kemelut, sebuah tonggak sejarah seni lukis sempat dilahirkan yaitu terbitnya kitab seni lukis bersejarah berjudul : Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Soekarno. Ini adalah kitab seni rupa yang besar, yang hingga kini belum ada yang mampu menandinginya. Hasil pengabdian para pelukis istana itu ditampakkan lewat buku monumental Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Sukarno. Yang pertama disusun Dullah, terbit dalam 2 jilid tahun 1956. Dan disusul dua jilid berikutnya tahun 1961. Buku ini disempurnakan Lee Man Fong, dan dan terbit 1964 dalam lima jilid. Lalu jilid VI sampai X disusun oleh Lim Wasim, yang rencananya diluncurkan pada ulang tahun Bung Karno pada 6 Juni 1966. Sayang kekacauan politik meledak, dan proyek prestisius yang sudah sampai tahap blue print itu batal.15 Buku tersebut amat berarti bagi perkembangan seni lukis Indonesia. Karya-karya bagus Abdullah Suriosubroto, Basoeki Abdullah, Affandi, Hendra Gunawan, S Sudjojono, Dullah, Wakidi ada di sana. Ada pula karya pelukis kelas dunia seperti Diego Rivera. Juga karya pelukis asing yang pernah memberikan spirit pada dunia seni lukis Indonesia seperti Rudolf Bonnet, Antonio Blanco, Arie Smit. Buku ini berjasa besar sebagai referensi berharga bagi dunia seni lukis. Setelah pecahnya Gerakan 30 September oleh PKI, yang kemudian berhasil ditumpas, maka Lekra yang berada di bawah naungan organisasi PKI dibubarkan pemerintah. Seni lukis pun kembali kepada seni lukis yang murni, tidak lagi ditunggangi kepentingan politik. Kemudian, pada 1966 sejumlah seniman yang bergabung dalam Grup Sebelas Seniman Bandung muncul dalam pameran besar di Jakarta. Mereka antara lain adalah Achmad Sadali, But Mochtar, Popo Iskandar dan Srihadi Sudarsono. Semuanya adalah pengajar Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Seni

Hero Triatmono ed. Kisah Istimewa Bung Karno. Jakarta, Kompas Media Nusantara, 2010: 225
15

10

Rupa. Aliran mereka jauh dari realisme sosial dan mengarah pada kubisme atau abstraksionisme. Aminuddin Siregar menjelaskan: Beberapa tahun kemudian, pada 1966, masih di Balai Budaya, Sebelas Seniman Bandung memamerkan karyakaryanya. Kali ini tidak hanya seni lukis, seni patung dan seni grafis juga ikut disertakan. Mazhab Bandung memperkokoh dirinya pada 1971 di Taman Ismail Marzuki dengan pameran kelompok yang dinamakan Grup 18. Dari berbagai dinamika yang terjadi, entah kenapa istilah Mazhab Bandung tampaknya lebih dilekatkan pada generasi pertama dan kedua yang menempuh pendidikan di kampus tersebut.16 Sejak tahun 1966 sampai dengan tahun 1969, kegiatan pameran lukisan semakin sering digelar, yang terbesar pada tahun 1969, digelar pameran bersama antara dosen ASRI Jogjakarta bersama dosen Seni Rupa ITB Bandung di Jakarta. Tampil saat itu Bagong Kussudiardjo, Budiani, Edhi Sunarso, Widayat, Fadjar Sidik, Abas Alibasyah, Mujitha kesemuanya dari Jogja, dan Erna Pirous, Rustam Arief, Imam Bukhori, Sanento Yuliman, T Sutanto, Umi Dahlan dan Haryadi Suadi, wakil dari Bandung. 3. Seni Lukis Era Seni Rupa Baru Era 1970-an adalah era kemapanan. Penyelenggaraan Biennale, atau pameran seni lukis dwi warsa (dua tahunan) di Jakarta mulai digelar Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1974. Pada Pameran biennale memilih lima lukisan untuk diangkat sebagai yang terbaik. Terpilih sebagai karya terbaik adalah Karya Irsam berjudul Matahari di atas Taman, karya Widayat berjudul Keluarga, karya Abas Alibasyah dengan judul Lukisan Wajah, karya Aming Prayitno dengan judul Pohon serta karya A.D. Pirous berjudul Tulisan Putih. Kelima karya dipilih oleh Dewan Juri yang terdiri dari Affandi, Popo Iskandar, Sudjoko, Fadjar Sidik, Alex Papadimitrou, Kusnadi dan Umar Kayam.
Aminuddin TH Siregar. Instalasi sunaryo 1998-2003): Saksi Tragedi Kemanusiaan, Jakarta: Yayasan Selasar Sunaryo 2007: 22.
16

11

Penetapan pemenang ini ternyata menimbulkan suatu masalah. Sejumlah pelukis muda tidak terima, karena DKJ dianggap memihak pada seni lukis yang mapan. Kemudian Muncullah statemen Desember Hitam yang berisi tudingan bahwa seni lukis Indonesia sudah mati. Panitia menolak tuduhan tersebut. Sejumlah pelukis muda, mahasiswa STSRI ASRI di Jogjakarta mendapat sanksi. Mereka adalah Harsono, Bonyong Munni Ardhie, Siti Adiyati, Ris Purwono dan Hardi. Sanksi dari pimpinan Kampus STSRI ASRI ini mendapat simpati dari berbagai pihak. Pameran seni rupa yang berlangsung dua tahun sekali, dengan melibatkan para seniman lukis potensial dari seluruh Indonesia. Pada tahun 1972, sebagai awal kegiatan, dilangsungkan Pameran Besar Seni Rupa Indonesia. Pada saat itu belum terpikir suatu pameran yang sifatnya kompetitif dengan pemberian hadiah bagi karya yang dipandang terbaik. Pada Biennale I, selaku pengganti Pameran Besar Seni Rupa Indonesia, mulai dipilih karya seni yang dianggap pantas mendapat hadiah dari Dewan Kesenian Jakarta. Pemberian hadiah ini sempat menimbulkan demonstrasi seniman muda, karena Dewan Kesenian dituduh melakukan pemilihan sepihak terhadap karya-karya yang bergaya dekoratif. Ketika itu, tujuh orang juri yang ditunjuk DKJ yaitu Kusnadi, Affandi, Popo Iskandar, Sudjoko, Umar Kayam, Fajar Sidik dan Alex Papadimitriou, memutuskan bahwa para pemenangnya adalah Irsam, Widayat, Abas Alibasyah, Aming Prayitno, dan A.D. Pirous. Para seniman yang berdemonstrasi dan mengirim karangan bunga berwarna hitam sebagai lambang kematian seni lukis Indonesia, dipelopori beberapa mahasiswa ASRI dan ITB, yang prihatin terhadap pertumbuhan seni rupa secara obyektif. Peristiwa itu kemudian disebut Desember Hitam 1974.17 Sejak berlalunya Desember Hitam, banyak pelukis muda mencari ideologi baru dalam menghasilkan seni rupa baru, termasuk dalam mengeksplorasi efek multimedia. Hal itu terlihat dalam karya pelukis muda Indonesia seperti Tulus Warsito, T Sutanto, Haryadi Suadi, Budi Sulistyo, Satyagraha, Nyoman Nuarta, Dede Eri Supria, Nyoman Gunarsa dan Aming Prayitno serta generasi sesudahnya seperti Heri Dono, Dadang
17

http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/3848/Biennale-Seni-Lukis-Jakarta

12

Christanto, Tisna Sanjaya, Marida Nasution, Ivan Sagita, I Gusti Ayu Kadek Murniasih dan Agus Suwage.

Gambar 3. Heri Dono. (Foto: Javafred.net)

Berbagai macam eksplorasi media yang tidak terbatas pada akhirnya menggoyang kemapanan seni lukis Indonesia, apalagi dengan adanya intervensi gagasan post-modernisme yang membuahkan seni alternatif, dengan munculnya seni konsep (conceptual art): seni instalasi dan Performance Art, yang pernah merebak di berbagai perguruan tinggi seni sekitar 1993-1996. Kemudian muncul berbagai alternatif semacam kolaborasi sebagai tren tahun 1996/1997. Maka muncullah beberapa kelompok seniman muda mencoba menawarkan berbagai wacana dalam berbagai bentuk performance art dan instalasi art, dan collaborasi art, sebagai pijakan berkarya. Mereka mencoba mengangkat berbagai wacana politik, social, ekonomi, moralitas dalam fenomena yang ia racik dalam multi media dan multi-idea.18

18

Dharsono. Menyoal Seni Lukis Indonesia Kini. Brikolase Vol 1 No 1, 2009: 68

13

Para pelukis generasi ini kemudian merajai jagat seni lukis Indonesia sampai sekarang. Bahkan, mereka tidak hanya eksis di Indonesia, tetapi juga sering tampil di berbagai galeri luar negeri. Namanama tersebut diantaranya adalah Heri Dono, Dadang Christanto, Tisna Sanjaya, Marida Nasution, I Gusti Ayu Kadek Murniasih, Agus Suwage dan lain-lain.

Gambar 4. Agus Suwage: Nero, cat minyak di kanvas ( 149.5 x 199.5 cm). Tahun 2003 Foto: www.artnet.com

Daftar Pustaka

Dharsono, Menyoal Seni Lukis Indonesia Kini dalam Brikolase Vol 1 No 1, Juli 2009: 68-73 __________, Seni Rupa Modern. Bandung: Rekayasa Sains, 2004. Heraty, Toeti, Fragmen Otobiografi Toety Heraty. Magelang. Penerbit Indonesia Tera, 2003: 63 Holt, Claire. Melacak jejak perkembangan seni di Indonesia. Bandung: Arti.line, 2000. Lombard, Dennys, Nusa Jawa: Silang Budaya 1, Batas-batas Pembaratan. Jakarta: PT Gramedia, 2008. Mulyadi, Efix, ed., The Journey Of Indonesian Painting, The Bentara Budaya Collection. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008.

14

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka, 1977. Redaksi Great Publisher, Buku Pintar Politik. Jakarta: Redaksi Great Publisher, 2009. Rosidi, Ajip, Mengenang hidup orang lain: sejumlah obituari. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010. Sachari, Agus, Budaya Visual Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2007. Siregar, Aninuddin T. H., Instalasi Sunaryo: Saksi Tragedi Kemanusiaan (19982003). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2007. Soedarso Sp, Sejarah Perkembangan Seni Rupa Modern. Yogyakarta: Badan Penerbit ISI, 2000. Susanto, Mikke, Menimbang Ruang Menata Rupa. Yogyakarta: Galang Press, 2004. Sutardi, Tedy, Antropologi, mengungkap keragaman budaya. Bandung: PT Setia Purna Inves, 2007. Triatmono, Hero, ed. Kisah Istimewa Bung Karno. Nusantara, 2010. Jakarta: Kompas Media

Yangni, Stanislaus, Nyoman Masriadi: Ingin Berhenti Main di Indonesia dalam Visual Arts. Februari/Maret, 2008: 42-45

Sumber Lain http://www. artnet.com http://www.galeri-nasional.or.id http://www.jakarta.go.id

15

16

Anda mungkin juga menyukai