Anda di halaman 1dari 19

Pengertian Apresiasi Seni Rupa, Fungsi dan Tujuan Seni

Mengapresiasi karya seni merupakan landasan pokok dalam mempelajari wawasan seni
budaya. Selain untuk memperluas pengetahuanmu tentang seni, hal ini juga untuk
mendekatkanmu dengan seni.
Kata apresiasi secara etimologi berasal dari bahasa Latin, yaitu appretiatus yang artinya
memberi putusan dengan rasa hormat sebagai cara untuk menghargai suatu keindahan karya
seni. Adapun dalam kamus umum Inggris-Indonesia to apreciate artinya menghargai
dan appreciationartinya penghargaan. Dengan demikian, mengapresiasi seni artinya
berusaha mengerti tentang seni dan menjadi peka terhadap unsur di dalamnya sehingga secara
sadar mampu menikmati dan pada akhirnya dapat menilai karya seni dengan baik.
Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali terdapat pandangan yang keliru terhadap pengertian
seni. Hal ini bisa terjadi akibat terbatasnya informasi tentang pengertian seni. Dampaknya
adalah adanya kesenjangan antara seni dengan lingkungan sosial dan lemahnya kadar
apresiasi seni di kalangan pelajar dan masyarakat pada umumnya.
Sebuah karya yang tercipta akan membuat efek lain pada diri penciptanya dan orang lain.
Suka atau tidak suka, indah atau tidak indah, menyenangkan atau tidak menyenangkan, serta
berbagai perasaan lain akan dirasakan oleh orang yang melihat karya seni tersebut.
Banyak orang yang mengatakan bahwa seni merupakan sesuatu yang mengandung nilai
indah. Pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar karena di samping indah, ada seni yang
tidak indah, namun tetap mengandung kata seni. Indah atau tidak indahnya suatu karya seni
bergantung pada seniman yang membuatnya dan juga para penikmat seni.
Sepanjang sejarahnya, manusia tidak terlepas dari seni. Seni merupakan bagian dari
kehidupan manusia yang universal. Hal itu karena seni merupakan salah satu bentuk
kebudayaan yang mengandung nilai indah (estetis). Seni tidak mempunyai definisi tersendiri
mengingat kompleksitas dan kedalamannya.
Pengertian seni lebih terarah pada konsep yang muncul secara variatif sesuai
dengan pemahaman, penghayatan, dan pandangan seseorang terhadap seni yang
dadikan
acuan
atau

batasan.

Fungsi dan Tujuan Seni


Di samping kebutuhan jasmani, manusia mempunyai kebutuhan yang sifatnya untuk
mencapai kebutuhan rohani. Di sinilah peran seni, selain hasil karya yang dihasilkan dapat
dilihat, didengar, dan diamati, bisa juga menimbulkan kepuasan terhadap si penikmatnya.
Berdasarkan fungsinya sebagai pemenuh kebutuhan, seni terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu fungsi individual dan fungsi sosial.

1. Fungsi Individual
Karya seni merupakan ungkapan jiwa atau emosi pembuatnya yang mencerminkan
sesuatu baik suka, duka, sedih, marah, bahagia, cita-cita, pikiran, perasaan, pandangan hidup,
watak, bentuk, corak, warna, bahan, dan teknik yang dikuasai. Masing-masing seniman
memiliki kemampuan tersendiri yang khas yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Fungsi seni secara pribadi di sini lebih mengedepankan seni sebagai alat ekspresi untuk
mencurahkan ide dan gagasan seseorang lewat sebuah karya. Karya ini bersifat pribadi.
Fungsi seni bagi manusia yang bersifat individual dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu fisik dan emosional.
a. Fisik
Fungsi ini berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan fisik manusia, baik yang dipakai
langsung maupun sebagai pelengkap aktivitasnya.
Misalnya, pakaian, perabot (meja, kursi, lemari), rumah sebagai tempat tinggal,
kerajinan, perhiasan, alat komunikasi, sepatu, dan tas.
b. Emosional
Fungsi ini berhubungan dengan ekspresi seniman (penggubah) dan apresiator
(penikmat konsumen). Contohnya, lukisan, novel, musik, film, pementasan teater/drama, dan
patung.

2. Fungsi Sosial
Pada dasarnya, seni diciptakan untuk dinikmati oleh orang lain, publik atau masyarakat
pada umumnya. Seorang seniman dapat mengatakan bahwa ia berkarya untuk dirinya sendiri.
Namun, sebenarnya tanpa disadari mereka membutuhkan apresiator, yaitu masyarakat untuk
menilai menikmati dan mengagumi hasil karya seni yang telah ia buat.
Adapun karya seni dapat berfungsi sosial terdapat dalam bidang-bidang
sebagai berikut.
a. Pendidikan
Seni sering dimanfaatkan oleh dunia pendidikan untuk membantu mempermudah
penyampaian pesan, baik berupa gambar (visual) maupun suara (audio) atau keduanya.
Pemanfaatan seni pada dunia pendidikan sangat banyak dan keduanya saling terkait.
Contohnya, film ilmiah, gambar ilustrasi pada bukubuku pelajaran, poster ilmiah, dan foto.
b. Rekreasi
Fungsi seni dalam hal rekreasi mempunyai bentuk yang mampu menciptakan suatu
kondisi tertentu yang bersifat penyegaran dan pembaharuan dari kondisi yang telah ada.
Misalnya, saat kamu menyaksikan pertunjukan drama/teater, konser musik, film, menikmati
taman rekreasi, atau berlibur ke pantai.
c. Komunikasi
Seni dapat digunakan sebagai media untuk menghubungkan atau berhubungan antara
seseorang dengan orang lain atau masyarakat. Bentuknya bisa berupa anjuran, pesan,
gagasan, produk, perintah, atau larangan. Jenis tampilannya bisa berupa handphone (HP), TV,
poster, reklame, internet, baligo, dan radio.
d. Keagamaan/Religi

Fungsi seni dalam bidang keagamaan bisa menandakan atau mengidentifikasikan


kekhasan serta ciri khas dari agama. Contohnya arsitektur masjid, gereja, makam, candi,
kaligrafi, bentuk dekorasi rumah ibadah, dan pakaian ibadah.

Apresiasi Seni Rupa


A. Pengertian Apresiasi
Apresiasi secara etimologi: appreciatie (Belanda), appreciation (Ing), menurut kamus
Inggris, to appreciate, yaitu bentuk kata kerja yang berarti: to judge the value of;
understand or enjoy fully in the right way (Oxford), to estimate the quality of; to estimate
rightly; to be sensitively aware of (Webster). Secara umum apresiasi seni atau mengapresiasi
karya seni berarti, mengerti sepenuhnya seluk-beluk sesuatu hasil seni serta menjadi sensitif
terhadap segi-segi estetika. Apresiasi dapat juga diartikan berbagi pengalaman antara
penikmat dan seniman, bahkan ada yang menambahkan, menikmati sama artinya dengan
menciptakan kembali. Tujuan pokok penyelenggaran apresiasi seni adalah menjadikan
masyarakat melek seni sehingga dapat mencrima seni sebagaimana mestinya. Dengan katakata yang lebih lengkap, apresiasi adalah kegiatan mencerap (menangkap dengan
pancaindera), menanggapi, menghayati sampai kepada menilai sesuatu (dalam hal ini karya
seni). Kegiatan apresiasi seni atau mengapresiasi karya seni dapat diartikan sebagai upaya
untuk memahami berbagai hasil seni dengan segala permasalahannya serta terjadi lebih peka
akan nilai-nilai estetika yang terkandung di dalamnya. Hal ini ditegaskan oleh Soedarso
(1990:77) bahwa apresiasi adalah: Mengerti dan menyadari sepenuhnya seluk-beluk sesuatu
hasil seni serta menjadi sensitif terhadap segi-segi estetiknya sehingga mampu menikmati dan
menilai karya tersebut dengan semestinya. Sementara itu Rollo May (Alisyahbana, 1983:81)
menambahkan bahwa berapresiasi terhadap suatu kreasi baru atau hasil seni juga merupakan
suatu tindakan kreatif.
Mengapresiasi karya seni itu penting sekali karena akan membuat hidup lebih nikmat,
gembira, sehat. Bayangkan, bagaimana jika ada orang yang tidak mampu sekali menikmati
karya seni (dalam arti luas, termasuk seni di luar seni rupa). Dalam kehidupan sehari-hari,
secara disadari atau tidak, orang melakukan apresiasi pada tingkat tertentu: menonton
pameran, mendengarkan musik, menonton film di TV, memilih motif kain dan sebagainya.
B. Langkah-langkah Apresiasi
Dalam menganalisis dan menanggapi karya seni rupa secara garis besar ada dua cara yang
dapat dilakukan, yaitu dengan menggunakan ukuran subyektif, artinya menilai bagus
tidaknya berdasarkan pertimbangan sendiri, misalnya karya ini sangat bagus atau indah
karena kita memandang benda seni itu amat menyenangkan. Penilaian dengan ukuran objektif
artinya, menilai bagus tidaknya karya seni atas dasar ukuran kenyataan dan objek (karya seni
rupa) itu sendiri. Bila karyanya memiliki ukuran secara objektif bagus, maka kita katakan
bagus. Demikian juga sebaliknya. Setiap karya seni tentunya memiliki ciri khas, yang

berbeda satu sama lain. Mengungkapkan karakteristik karya seni rupa dua dimensi tentu
berbeda dengan karya seni rupa yang tiga dimensi. Karakteristik karya seni dua dimensi
terilihat dari (1) segi bentuk atau wujudnya; (2) teknik yang digunakan dan (3) fungsi serta
maknanya. Ketiga bagian itu saling berhubungan. Bentuk karya terwujud karena teknik dan
proses pembuatan. Bentuk juga berkaitan dengan kegunaan atau fungsi. Demikian bentuk
berkait dengan makna. Untuk itu usaha mengapresiasi karya seni rupa Nusantara yang ada di
daerah anda akan memperhatikan ketiga ukuran tersebut.
Coba perhatikan dua karya seni rupa di daerah anda (sebuah gambar ilustrasi atau dua
dimensi dan sebuah karya patung atau tiga dimensi). Perhatikan dari segi bentuk-nya, proses
pembuatanya, terutama teknik pengrjaannya. Apakah ada perbedaan? Membuat gambar
ilustrasi dengan menggunakan pensil atau ballpoint di atas kertas. Sedangkan membuat
patung (kayu atau bahan lainnya) tidak menggunakan pensil tapi peralatan cukilan atau
pahatan. Perkirakan juga kesulitan dalam pembuatannya, waktu yang digunakan untuk
membuat dan hal- hal lain yang berhubungan dengm teknik pembuatan. Nyatakan tanggapan
tersebut sesuai dengan penilaian subyektif dan objektif. Menganalisis dan menanggapi karya
seni rupa tiga dimensi akan berbeda dengan karya seni rupa yang dua dimensi. Karya tiga
dimensi bisa jadi lebih menarik, karena pada karya tiga dimensi bendanya lebih nyata. Dari
segi gagasan tentu akan beragam. Dari segi bahan juga bermacam-macam, bahkan segi
teknikya terlihat berbeda. Biasanya dalam pengerjaan karya tiga dimensi lebih lama
dibandingkan dengan karya dua dimensi. Karena di lingkungan kita (daerah setempat) karya
seni rupa dua dumensi dan tiga dimensi bermacam-macam, maka tentu saja gagasan, bahan
atau bentuk dan tekniknya bermacam-macam pula. Pada masing-masing karya akan memiliki
arti yang berbeda. Sebenarnya upaya menganalisis dan menanggapi masing-masing karya
seni rupa yang ada di lingkungan anda sendiri dimaksudkan agar anda menjadi penilai atau
apresiator yang baik. Dengan mengetahui keberagaman bentuk, teknik dan funginya, anda
menghargai apa yang dibuat oleh para seniman yang ada di daerah setempat. Bila anda
menekuni dan mencermati pekerjaan tersebut anda akan merasakan bahwa apa yang
dikerjakan para pekerja seni itu bukan sesuatu yang mudah. Anda akan turut merasa terlibat
atau berempati dan mengagumi pekerjaan seni rupa. Adakah cara yang dapat diupayakan agar
anda dapat melakukan apresiasi karya seni dengan lebih bermutu? Ada. Selain banyak
melihat, membaca, mendengarkan atau membiasakan menghayati karya seni, anda dapat
menggunakan apa yang disebut dengan pendekatan dan pentahapan apresiasi.
C. Pendekatan dan Metode Apresiasi
Apresiasi seni dapat dilakukan dengan berbagai metode atau pendekatan sebagai berikut :
1. Pendekatan aplikatif
Apresiasi melalui pendekatan aplikatif ditumbuhkan dengan melakukan kegiatan berkarya
seni secara langsung, di studio, di kampus, di rumah atau di mana saja. Melalui praktek
berkarya, apresiasi tumbuh dengan serta merta akibat dari pertimbangan dan penghayatan
terhadap proses berkarya dalam hal keunikan teknik, bahan, dsb. Melalui berkarya seni, kita

dapat merasakan berbagai pertimbangan teknik yang digunakan oleh seniman dalam proses
berkarya. Tidak jarang keunikan teknik atau bahan tertentu menumbuhkan gagasan yang unik
bagi seorang perupa. Berkarya menggunakan medium batu misalnya, tentu akan meberikan
sensasi yang berbeda dibandingkan dengan menggunakan medium tanah liat yang lunak,
walaupun kedua medium tersebut dapat digunakan untuk mewujudkan karya seni patung.
Semakin banyak pengetahuan kita tentang teknik, alat dan bahan yang digunakan dalam
berkarya seni rupa, akan semakin bertambah pula wawasan kita dalam mengapresiasi karya
seni rupa. Pendekatan aplikatif dapat juga dilakukan dengan melihat proses berkarya seorang
perupa secara langsung. Kita dapat mengunjungi sanggar, studio atau sentra-sentra kerajinan
yang ada di daerah kita atau didaerah lain untuk melihat secara langsung bagaimana para
perupa dan pengrajin bekerja mewujudkan karya seni rupanya. Dengan kemajuan teknologi
saat ini, proses berkarya seni yang dilakukan oleh para perupa tersebut dapat juga kita
saksikan melalui tayangan film dalam bentuk video atau CD. Dengan demikian wawasan kita
tentang proses berkarya seni akan semakin kaya.
2. Pendekatan kesejarahan
Apresiasi dengan pendekatan ini ditumbuhkan melalui pengenalan sejarah perkembangan
seni. Dalam praktek sehari-hari secara sederhana, kita dapat mencoba meneliti asal usul
sebuah karya seni rupa dengan bertanya kepada orang tua kita di rumah, ayah, ibu, paman
atau siapa saja tentang riwayat sebuah karya seni. Pertanyaan tersebut berkisar pada soal
fungsi karya pada saat dibuat dibandingkan dengan fungsinya saat ini, siapa (seniman) yang
membuatnya, tempat karya seni diproduksi, serta kapan waktu pembuatannya.
Apresiasi dengan pendekatan kesejarahan tidak cukup dengan mengunjungi musium atau
melihat berbagai karya peninggalan perupa-terdahulu. Seperti telah disebutkan di atas,
apresiasi dengan pendekatan ini membutuhkan kemauan untuk mengethui lebih jauh tentang
karya-karya seni yang kita lihat. Berbagai model pertanyaan dapat kita buat untuk
mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya tentang karya-karya tersebut.
Langkah-langkah dalam mengapresiasi karya seni rupa Apresiasi seni dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan kritik, seperti yang dikemukakan oleh Edmund Feldman (dalam:
Aland & Darby, 1991: 8) dalam mengapresiasi karya seni rupa ada 4 tahap, yaitu deskripsi,
analisis, interpretasi, dan pemberian keputusan atau penilaian. Dengan menggunakan empat
langkah tersebut akan
diperoleh informasi penting yang membantu kita dalam memahami dan mengapresiasi suatu
karya seni.
a. Deskripsi
Langkah pertama dan yang terpenting dari empat langkah apresiasi adalah deskripsi, karena
dalam deskripsi akan diperoleh informasi dasar yang akan digunakan dalam pembahasan
langkah-langkah berikutnya. Hal pertama yang dilakukan dalam membuat deskripsi adalah

mengidentifikasi karya dengan mengenali judulnya, seniman penciptanya, dan kapan karya
tersebut diciptakan. Di samping itu perlu juga diketahui bahan dan media apa yang dipakai
untuk mencipta karya tersebut. Informasi awal ini akan memberikan petunjuk
awal tentang makna dan tujuan karya seni tersebut dibuat.
Selanjutnya perlu dibuat daftar tentang apa saja yang dapat ditangkap dengan indera mata
(penglihatan). Tidak perlu terlalu rinci, yang penting bentuk visual apa yang terlihat,
misalnya sosok binatang, manusia, pepohonan, dan sebagainya.
Pengamatan tersebut harus dilakukan secara objektif tanpa ada penafsiran. Apabila unsurunsur karya tersebut tidak diketahui nama atau maknanya maka buatlah daftar tadi dengan
hanya menyebutkan bentuk, raut, bidang, atau warna, misalnya sebutkan saja ada lingkaran
berwarna merah, segitika biru kecil, warna lembut kehijauan dan sabagainya. Pada bagian
akhir deskripsi ini adalah masalah teknis. Di sini perlu diungkap dengan cara apa karya
tersebut dibuat. Apabila yang diapresiasi sebuah lukisan maka perlu diketahui jenis cat dan
kanvas yang dipakai, alat yang dipakai apakah menggunakan kuas atau pisau palet. Teknik
bahan dan alat tersebut akan dapatmenghasilkan efek khusus dan bermakna khusus pula. Jadi
langkah deskripsi ini hanya mengungkap data dan kondisi fisik visual yang terlihat atau dapat
diraba atau diindera.
b. Analisis
Tahap atau langkah kedua ini berfokus pada hubungan antara sesuatu yang dapat dilihat pada
sebuah karya. Pertimbangkan hubungan antara bentuk dan objek-objeknya, ukuran dari suatu
objek atau bentuk akan menunjukkan posisinya pada ruang.
Bentuk besar mengarahkan kedekatan dan ukuran objek kecil menunjukkan adanya jarak
yang agak jauh. Hubungan antara objek dengan bentuk-bentuk tertentu yang berbeda
ukurannya dalam suatu karya juga menimbulkan perbedaan. Objek yang besar cenderung
lebih dominan dalam sebuah karya, dan menunjukkan bahwa ia memiliki kedudukan yang
lebih penting dibanding objek lainnya dalam sebuah karya. Demikian halnya dengan bentuk
yang tidak sama antara satu objek dengan objek-objek lainnya, juga warna atau unsur
lainnya. Biasanya bentuk/ warna/ tekstur/ raut yang berbeda jauh dengan yang ada di
sekelilingnya cenderung lebih menarik perhatian dan cenderung dominan dan memiliki posisi
yang lebih penting. Ini semua mengarah pada kompisisi yang diterapkan pada karya tersebut,
atau dengan kata lain dalam tahap analisis ini perlu diungkap aspek komposisinya, yaitu
bagaimana unsur-unsur visual dipadukan atau dikomposisikan. Di samping itu perlu dilihat
perencanaannya dan bagaimana karya tersebut didesain.
c. Penafsiran atau interpretasi
Tahapan ini oleh Feldman mungkin dianggap paling sulit, tapi juga sekaligus paling kreatif
dan bermanfaat dalam empat tahapan ini. Cara terbaik untuk menjelaskan interpretasi ini
adalah saat untuk menjelaskan tentang arti atau makna karya tersebut. Namun demikian

penting juga dipakai data hasil pengamatan dan pengetahuan yang diperoleh pada dua
tahapan sebelumnya untuk mendukung dan membenarkan penjelasan yang dibuat (Aland &
Darby, 1991: 13). Dengan uraian tersebut pada tahapan interpretasi ini ingin diungkap makna
suatu karya, dan pesan apa yang ingin disampaikan oleh penciptanya lewat karya yang
dibuatnya tersebut.
d. Penilaian dan penghargaan
Pada tahapan ini dilakukan pengambilan keputusan tentang nilai sebuah karya seni.
Penentuan atau keputusan akan nilai karya yang diapresiasi bisa saja dipengaruhi oleh faktor
besarnya harga nominal atau nilai historis atau hirarkis karya tersebut.
Pada tahapan ini karya seni yang diapresiasi dinilai kualitas estetiknya, apakah karya tersebut
termasuk karya yang berhasil atau gagal. Pengambilan keputusan ini tentu saja berdasarkan
atas fakta dan analisis serta interpretasi dari penilai yang diperoleh melalui tiga tahapan
sebelumnya. Selanjutnya bisa juga dinilai bagaimana atau di mana kedudukan karya seni
tersebut kalau dibandingkan dengan karya yang sejenis. Namun demikian ada juga faktor luar
yang mempengaruhi penilaian suatu karya misalnya dikaitkan dengan besarnya harga
nominal karya seni tersebut atau pengaruh dari ahli yang sudah menyatakan bahwa karya
tersebut termasuk berhasil baik.
Pengaruh tersebut bisa berpengaruh bisa juga tidak, karena pada dasarnya suka atau tidak
suka tidak bisa dipaksakan, jadi seorang apresiator bebas dalam memberi komentar atau
penilaian pada karya yang diapresiasinya.
3. Kegiatan mengapresiasi karya seni murni dan terapan
Dilihat dari jenis fisiknya maka karya seni rupa dibedakan menjadi dua jenis, yaitu seni rupa
dwimatra dan seni rupa trimatra. Dwimatra berarti memiliki dua matra atau ukuran dalam hal
ini adalah ada panjang dan lebar karya. Karena berbentuk dwimatra, karya tersebut hanya
dapat dilihat dari satu arah pandang saja yaitu dari arah depan. Karya seni rupa dwimatra ini
meliputi: seni lukis, seni grafis, gambar, dan sebagainya. Sedangkan seni rupa trimatra
memiliki tiga ukuran/ matra, yaitu kecuali panjang, lebar, juga ada ruang atau volume.
Karya trimatra ini mestinya dapat diamati dari berbagai arah yaitu dari depan, samping, atas,
bahkan dari belakang. Karya seni rupa yang termasuk trimatra antara lain patung atau arca,
keramik, seni bangun, monumen, dan sebagainya. Di samping itu ada beberapa karya yang
secara fisik berupa karya trimatra, tetapi memiliki permasalahan dwimatra, misalnya relief,
kolase, dan karya-karya lain yang bervolume tapi hanya dapat dilihat dari satu arah saja.
Dilihat dari aspek fungsi maka karya seni rupa dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu seni
murni dan seni terapan.
Seni murni adalah suatu karya seni rupa yang diciptakan melulu sebagai media ekspresi
estetik seniman penciptanya untuk mengungkapkan ide atau gagasan secara bebas tanpa

terikat akan fungsi tertentu. Sedangkan seni terapan merupakan karya seni rupa yang
diciptakan walaupun tidak terlepas dari ekspresi penciptanya tidak dapat lepas dari fungsi
karya yang mengikatnya.
Contoh karya seni rupa murni antara lain seni lukis, seni patung,seni grafis, seni keramik, dan
sebagainya. Sedangkan seni terapan misalnya seni bangun (arsitektur), seni kerajinan tangan,
seni animasi, karikatur, komunikasi visual, seni dekorasi, dan sebagainya.
1. Pengertian Apresiasi
Apresiasi seni tari didalamnya mengandung tiga unsur seni dalam berapresiasi yaitu
karya seni, aktivitas penciptaan,dan aktivitas penghayatan seni.Ketiga tersebut merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Secara etimologi apresiasi berasal dari kata asing
Appreciation (inggris), appreciatia (belanda) dan appreciatus (latin), yang berarti
(latin), yang berarti menghargai. Pada umumnya persoalan apresiasi itu sendiri di antaranya
adalah memberikan penilaian dan penghargaan.
a. Apresiasi Seni Masyarakat
Apresiasi seni di masyarakat pada dasarnya terbagi atas dua golongan yaitu golongan
masyarakat apresiasi rendah dan golongan apresiasi tinggi. Yang dimaksud dengan golongan
masyarakat rendah adalah daya apresiasinya yang rendah, sedangkan yang dimaksud
golongaan masyarakat tinggi adalah masyarakat yang daya apresiasinya tinggi.
b. Fungsi Apresiasi Tari
Fungsi tari apresiasi tari yaitu memberikan penghargaan, penikmatan, penilaian terhadap seni
tari atau kesadaran terhadap seni tari. Penilaian fungsinya untuk mencari nilai-nilai seni
tari,memahami isi dan pesan serta mengadakan perbandingan-perbandingan sehingga
mendapatkan kesimpulan. Dalam proses apresiasi karya seni akan menimbulkan rasa
puas,kecewa,senang dan lain sebagainya kepada penikmat.
c. Maksud Apresiasi Tari
Maksud dari apresiasi karya seni tari adalah penikmatan terhadap karya seni tari, dengan
adanya pengertian yang baik. Selain itu pula maksud apresiasi seni tari adalah kesanggupan
mengenal memahami suatu nilai yang terhadap pada sesuatu yang sangat agung atau luhur.
d. Tujuan Apresiasi Tari
Apresiasi tari mempunyai tujuan untuk mendapatkan pengalaman estetis yang didasari
pengalaman si pengamat dalam kesanggupan menerima karya seni yang terarah dan bertujuan
didapat dari seni murni atau seni pakai.
Untuk mengembangkan daya apresiasi seni tari kita dapat memanfaatkan sumber belajar baik
secara langsung maupun tidak langsung.
1) Pemanfaatan sumber belajar secara langsung untuk menambah daya apresiasi seni
tari,misalnya melihat secara langsung pertunjukan-pertunjukan atau pergelaran-pergelaran
tari,mengadakan kunjungan ke sanggar-sanggar tari atau kunjungan ke para seniaman tari.
2) Pemanfaatan sumber belajar secara tidak langsung untuk menambahkan daya apresiasi seni
tari,misalnya melalui menonton TV,film,gambar atau foto tari.
Aktivitas yang penting dalam karya seni khususnya dalam karya seni tari adalah:

1) Aktivitas kreatif (proses kreatif),proses yang berkenaan dengan proses penciptaan atau
pembuatan karya seni,yang dilakukan oleh seniman.
2) Aktivitas apresiatif (proses apresiatif),proses yang berkenaan dengan penikmatan suatu karya
seni dan dilakukan oleh para penikmat seni atau apresiator.
Kegiatan seni sering disebut juga sebagai proses komunikasi antara seniman yang
menyampaikan pesan melalui karya seninya dengan penikmat sebagai apresiatornya yang
berusaha menerima pesan dari karya seniman.
- See more at: http://kuliah-seni.blogspot.com/2013/07/pengertian-tujuan-dan-aspekaspek.html#sthash.cmM1RycN.dpuf

PEMBELAJARAN DAN TEORI APRESIASI SASTRA


PENGANTAR
Pembelajaran bahasa Indonesia dititikberatkan kepada empat keterampilan berbahasa.
Keempat keterampilan itu adalah mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Substansi
dari keterampilan itu adalah bahasa dan sastra. Jika siswa berlatih keterampilan berbicara, ia
memanfaatkan substansi bahasa (kebahasaan) dan sastra (kesastraan). Begitu juga halnya jika
berlatih pada keterampilan lain. Oleh karena substansinya ada dua, yakni bahasa dan sastra,
pembicaraan dalam pendalaman materi ini juga dibagai dua. Khusus untuk bahan ajar
pelatihan ini membahas substansi materi sastra Indonesia.
Pemilahan bahasan antara substansi bahasa dengan sastra bukan dimaksudkan untuk
membuat garis pemisah antara keduanya. Akan tetapi, pemilahan ini dimaksudkan supaya
bahasan substansinya lebih spesifik. Bahasan substansi bahasa dititikberatkan kepada
penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi. Bahasan substansi sastra selain untuk
penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi, juga untuk meningkatkan kemampuan peserta
didik mengapresiasi karya sastra. Jadi, orientasi kajian materi sastra ini pada dasarnya adalah
mengajak para pendidik untuk melihat kembali sisi-sisi penting dalam mengapresiasi karya
sastra, khususnya dalam pembelajaran. Berdasarkan hal itu, materi sajian bahan ajar diklat ini
dipilah atas lima kelompok yakni konsep pembelajaran sastra, teori sastra, genre sastra,
apresiasi sastra, dan konstruksi bahan ajar sastra.
Dengan keempat kelompok bahan itu, diharapkan tujuan atau kompetensi yang hendak
dicapai oleh pendidik dalam diklat itu dapat dicapai. Selain itu, bahan ajar ini dapat menjadi
landasan bagi guru bahasa Indonesia untuk mengembangkan diri dan mencari sumber-sumber
baru sesuai dengan kebutuhan.

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran, diharapkan peserta diklat mampu:
(1) mengungkapkan konsep pembejaran sastra dengan benar dan memberikan rasional atas
konsep yang diungkapkan;

(2)

mendiskusikan teori-teori sastra yang terkait dengan pembelajaran sastra

(3)

mengungkapkan konsep genre sastra

(4)

mendiskusikan apresiasi reseptif dan apresiasi produktif dalam pembelajaran sastra

(5)

menkonstruksi bahan ajar sastra berdasarkan jenis apresiasi dan teori yang relevan.

PEMBELAJARAN SASTRA
Karya sastra adalah karya seni yang berbicara tentang masalah hidup dan kehidupan, tentang
manusia dan kemanusiaan yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Esten, 1980).
Seirama dengan itu (Rusyana, 1982) menyatakan, Sastra adalah hasil kegiatan kreatif
manusia dalam pengungkapan penghayatannya tentang hidup dan kehidupan, tentang
manusia dan kemanusiaan yang menggunakan bahasa. Dari kedua pendapat itu dapat ditarik
makna bahwa karya sastra adalah karya seni, mediumnya (alat penyampainya) adalah bahasa,
isinya adalah tentang manusia, bahasannya adalah tentang hidup dan kehidupan, tentang
manusia dan kemanusiaan. Dari situ pun dapat dimunculkan pertanyaan, Apakah peserta
didik perlu belajar sastra? Jika ia, apa hasil akhir yang diharpkan dari pembelajaran ini?
Bagaimana pembelajaran itu dilaksanakan? Pembelajaran sastra tidak dapat dipisahkan
dengan pembelajaran bahasa. Namun, pembelajaran sastra tidaklah dapat disamakan dengan
pembelajaran bahasa. Perbedaan hakiki keduanya terletak pada tujuan akhirnya.
Menurut (Oemarjati, 1992), seperti berikut ini. Pengajaran sastra pada dasarnya mengemban
misi efektif, yaitu memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya (lebih ) tanggap
terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Tujuan akhirnya adalah menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan
dan rasa hormatnya terhadap tata nilian baik dalam konteks individual, maupun sosial.
Jika disimak ketiga pendapat di atas, dapat diungkapkan bahwa pembelajaran sastra sangatlah
diperlukan. Hal itu bukan saja ada hubungan dengan konsep atau pengertian sastra, tetapi
juga ada kaitan dengan tujuan akhir dari pembelajaran sastra. Dewasa ini sama-sama
dirasakan, kepekaan manusia terhadap peristiwa-peristiwa di sekitar semakin tipis, kepekaan
terhadap masalah-masalah manusiawi semakin berkurang. Apakah ada celah alternatif
melalui pembelajaran sastra untuk mengobatai kekurangpekaan itu?
Inilah barangkali yang perlu menjadi bahan renungan sebagai dasar untuk mempersiapkan
pembelajaran sastra di kelas. Pembelajaran sastra adalah pembelajaran apresiasi. Menurut
Efendi dkk. (1998), Apreasisi adalah kegiatan mengakrabi karya sastra secara sungguhsungguh. Di dalam mengakrabi tersebut terjadi proses pengenalan, pemahaman, penghayatan,
penikmatan, dan setelah itu penerapan. Pengenalan terhadap karya sastra dapat dilakukan
melalui membaca, mendengar, dan menonton. Hal itu tentu dilakukan secara bersungguhsungguh. Kesungguhan dalam kegiatan tersebut akan bermuara kepada pengenalan secar
bertahap dan akhirnta sampai ke tingkat pemahaman. Pemahaman terhadap karya sastra yang
dibaca, didengar, atau ditonton akan mengantarkan peserta didik ke tingkat penghayatan.
Indikator yang dapat dilihat setelah menghayati karya sastra adalah jika bacaan, dengaran,
atau tontonan sedi ia akan ikut sedih, jika gembira ia ikut gembira, begitu seterusnya. Hal itu

terjadi seolah-olah ia melihat, mendengar, dan merasakan dari yang dibacanya. Ia benar-benar
terlibat dengan karya sastra yang digeluti atau diakrabinya.
Setelah menghayati karya sastra, peserta didik akan masuk ke wilayah penikmatan. Pada fase
ini ia telah mampu merasakan secara mendalam berbagai keindahan yang didapatkannya di
dalam karya sastra. Perasaan itu akan membantunya menemukan nilai-nilai tentang manusia
dan kemanusiaan, tentang hidup dan kehidupan yang diungkapkan di dalam karya itu.
Menurut Rusyiana (1984:322), kemampuan mengalami pengalaman pengarang yang
tertuang di dalam karyanya dapat menimbulkan rasa nikmat pada pembaca. Selanjutnya
dikatakan, Kenikmatan itu timbul karena:
(1) merasa berhasil dalam menerima pengalaman orang lain;
(2) bertambah pengalaman sehingga dapat menghadapi kehidupan lebih baik;
(3) menikmati sesuatu demi sesuatu itu sendiri, yaitu kenikatan estetis.
Fase terakhir dalam pembelajaran sastra adalan penerapan. Penerapan merupakan ujung dari
penikmatan. Oleh karena peserta didik merasakan kenikmatan pengalaman pengarang melalui
karyanya, ia mencoba menerapkan nilia-nilai yang ia hayati dalam kehidupan sehari-hari.
Penerapan itu akan menimbulkan perubahan perilaku. Itulah yang diungkapkan oleh
Oemarjati (1992), Dengan sastra mencerdaskan siswa: Memperkaya Pengalaman dan
Pengetahuan.
Hal yang dikmukakan di atas ternyata sangat relevan dengan tujuan pembelajaran bahasa
Indonesia yang tertuang pada standar isi (Permendiknas Nomor 22/2006) nomor lima dan
enam sebagai berikut:
(4) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus
budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa
(5) Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan
intelektual manusia Indonesia.

TEORI SASTRA
Teori sastra umumnya berupaya menjelaskan kepada pembaca perihal karya sastra sebagai
karya seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Yunus:1990). Karya sastra
merupakan ekpresi jiwa dan batin penciptanya (Sastrowardoyo:1988). Karya itu muncul
sebagai dalam bentuk fisik (bahasa) yang khas. Kekhasan bahasa itu menunjukkan bahwa
karya sastra bukanlah komunikasi biasa, melainkan kounikasi yang unik dan dapat
menimbulkan multi makna dan penafsiran (A.Teeuw: 1984). Oleh karena itu diperlukan
seperangkat teori keilmuan yang mengkaji, membahas, memperkatakan, dan menjelaskan
perihal apa, mengapa, dan bagaimana karya sastra itu.
Jika disiasati dalam pembelajaran bahasa Indonesia, khsusunya sastra, teori yang paling
menonjol yang dimanfaatkan adalah teori structural. Teori ini melihat sastra sebgaia suatu

subjek yang otonom. Sastra sebagai karya otonom terdiri dari dua unsure penting. Kedua
unsur itu adalah unsur-unsur yang membangunnya dari luar dan dari dalam. Unsur itulah
yang disebut unust ektrinsik dan unusr intrinsik (Esten:1988). Hal itu tertera di dalam
dokumen kurikulum sekolah 1975, 1984, 1987,kurikulum 1994, dan standar isi 2006. Jadi,
pada dasarnya teori strukturallah yang mewarnai teori sastra yang digunakan untuk
pembelajaran di sekolah.
Selain teori struktural, ada sejumlah teori yang ditawarkan oleh para dosen di LPTK,
khususnya bahasa dan sastra Indonesia. Teori-teori itu antara lain sosilogi sastra, resepsi
sastra, dan psikologi sastra. Teori sosiologi sastra menjelaskan bahwa karya sastra berasal
dari kenyataan-kenyataan social yang ada di tengah masyarakat. Kenyataan-kenyataan itu
merupakan merupakan realitas objektif yang menjadi tesis dari sebuah karya sastra. Dari tesis
itulah pengarang melahirkan keinginan, harapan, dan cita-citanya. Hal itulah yang kemudian
menjadi realitas imajinatif yang dikenal dengan antitesis. Dari tesis dan antitesis itu lahirlah
karya sastra sebagai sintesis. Jadi karya satra itu dibangun dari realitas objektif dan realitas
imajinatif. Teori resepsi sastra berpendangan bahwa makna karya sastra ditentukan oleh
pembacanya.
Pembaca memiliki kebebasan untuk memberikan makna atau arti sebuah karya sstra. Setiap
orang (pembaca) dapat memberikan makna, arti, dan respon terhadap karya sastra yang
dibaca atau dinikmatinya. Makna dan arti karya itu dikaitkan dengan pengalaman batin
pembaca, pengalaman hidup pembaca, dari situlah makna dibangun. Dengan demikian
terjadilah keberanekaragaman makna dari setiap karya sastra. Teori ini dipolerkan di
Indonesia oleh Prof. Umar Yunus, guru besar sastra Melayu Universitas Kebangsaan Malaya
tahun 80-an. Prof. Rizanur Gani mengaplikasikan teori itu dalam bukunya Pembelajaran
Sastra, Respon dan Analisis.
Teori psikologi sastra berupaya menjelaskan perkembangan psikologis tokoh atau pelakupelaku dalam karya sastra. Selain itu juga berupaya menjelaskan hubungan penulisnya secara
psikologis dengan karyanya. Hal itu juga ditawarkan oleh para pakar perguruan tinggi. Jadi,
teori-teori sastra tersebut pada dasarnya adalah untuk membantu pembaca mengenal,
memahami, dan mengapresiasi karya sastra. Dengan teori itu pembaca akan terbantu
menikmati karya-karya sastra yang dibacanya. Jika dikaitkan dengan pembelajaran, teori itu
membantu guru mengantarkan siswa untuk dapat mengapresiasi karya sastra.

GENRE SASTRA
Menuru Sumardjo dan Saini (1986:13), Ada tiga hal yang membedakan karya sastra dengan
karya-karya (tulis) lain yang bukan sastra, yaitu sifat khayali (fictionality), adanya nilai-nilai
seni (esthetic values), dan adanya cara penggunaan bahasa yang khas (special use of
language).
Sifat khayali karya sastra merupakan akibat dari kenyataan bahwa sastra dicipta dengan daya
khayal. Walaupun sastra hendak berbicara tentang kenyataan dan masalah kehidupan yang
nyata, karya sastra terlebih dahulu menciptakan dunia khayali sebagai latar belakang tempat
kenyataan-kenyataan dan masalah-masalah itu dapat direnungkan dan dihayati oleh oleh
pembaca.

Melalui dunia khayal pembaca dapat menghayati kenyataan-kenyataan dan masalah-masalah


di dalam bentuk kongkretnya, dan yang tersentuh oleh masalah-masalah itu bukan hanya
pikirannya saja, akan tetapi juga perasaan dan khayalannya. Dengan demikian pembaca dapat
menjawab (merespon) kenyataan atau masalah dengan seluruh kepribadainnya. Respon
seperti itu berbeda dengan yang diberikan pembaca kepada karya-karya yang bukan sastra
seperti karya ilmiah atau filsafat.
Adanya nilai-nilai seni (estetik) bukan saja merupakan persyaratan yang membedakan karya
sastra dari yang bukan sastra. Melalui nilai-nilai seni (estetis) itu sastrawan dapat
mengungkapkan isi hatinya dengan sejelas-jelasnya, sedalam-dalamnya, sejelas-jelasnya.
Nilai-nilai seni itu adalah keutuhan (unity) atau kesatuan dalam keragaman (unity in variety),
keseimbangan (balance), keselarasan (harmony), dan tekanan yang tepat (righ emphasis).
Penggunaan bahasa secara khusus sangat jelas tampak pada karya-karya puisi. Walaupun
begitu, sebenarnya di dalam novel dan drama pun penggunaan bahasa seperti itu dilkukan
para sastrawan dengan sadar dan seksama. Para sastrawan berusaha agar melalui pengolahan
terhadap bahasa akan meningkatkan daya ungkap dan sekaligus keindahan bahasa itu. Barisbaris dalam bukan saja diusahakan dapat mengungkapkan pikiran dan perasaan penyairnya,
tetapi menjadi daya tarik pula melalui keindahan irama dan bunyinya.
Bahasa dalam sebuah novel diolah begitu rupa, sehingga dengan beberapa kalimat saja
sastrawan dapat menggambarkan dengan jelas dan menarik suatu peristiwa. Demikian pula
halnya dalam bahasa dan drama. Ucapan seorang tokoh yang tampaknya sederhana dan
alamiah kalau diperiksa dengan seksama ternyata berbeda dengan ucapan seseorang dalam
kehidupan sehari-hari. Ucapan tokoh dalam drama sekaligus mengungkapkan pikiran dan
perasaan tokoh itu dan suasana serta keadaan di mana tokoh itu berada.
Sumarjo dan Saini (1986) menggolongkan sastra menjadi dua kelompok, yakni sastra
imajinatif dan sansta non-imajinatif. Sastra imajinatif terdiri dari dua genre (jenis) yakni
prosa dan puisi. Prosa terdiri dari fiksi dan drama. Fiksi meliputi novel, cerita pendek, dan
novelet. Drama meliputi drama prosa dan drama puisi. Tampilan drama tersebut meliputi
komedi, tragedy, melodrama, dan tragic komedi. Puisi meliputi puisi epic, lirik, dan dramatik.
Sedangkan sastra non-imajinatif terdiri dari esai, kritik, biografi, otobiografi, sejarah,
memoir, catatan harian, dan surat-surat. Perbedaan antara sastra imajinatif dengan sastra nonimajinatif dapat dilihat pada tabel berikut ini sesuai dengan penjelasan sebelumnya.

Sastra Non-imajinatif
1. Memenuhi estetika seni (unity, balance, harmony, dan right emphasis)
2. Cenderung mengemukakan fakta
3. Bahasa cenderung denotative (makna tunggal)
Sastra Imajinatif
1. Memenuhi estetika seni (unity, balance, harmony, dan right emphasis)

2. Cenderung chayali
3. Bahasa cenderung konotatif (makna ganda)

Selanjutnya, genre sastra dapat dilihat melalui diagram berikut ini.


Kegiatan Bersastra dan Materi Sastra (dari: Standar Isi)
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi, mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki
kemapuan sebagai berikut.
(1) Berkomunikasi secara efektif dan efesien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara
lisan maupun tulis;
(2) Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan
bahasa Negara;
(3) Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk
berbagai tujuan;
(4) Menggunakan bahasa Indonesia unutk meningkatkan keampuan intelektual, serta
kematangan emosional dan sosial;
(5) Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus
budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa;
(6) Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan
intelektual manusia Indonesia.

Dari keenam tujuan itu, tujuan nomor lima dan nomor enam langsung menyebut karya sastra.
Tujuan nomor lima diawali dengan kata kerja menikmati dan memanfaatkan dan tujuan
nomor enam diawali dengan kata kerja menghargai dan membanggakan. Keempat kata
kerja itu merupakan kata kunci untuk mencapai mata pelajaran sastra Indonesia di sekolah.
Melalui pembelajaran sastra, peserta didik dapat menikmati, memanfaatkan, menghargai, dan
membanggakan karya sastra. Dengan demikian, semua aktifitas pembelajaran sastra
hendaklah mendukung pencapaian tujuan itu. Dukungan itu akan dapat diawali dengan
membaca dan memahami standar isi (standar kompetensi dan kompetensi dasar) sastra.
Langkah-langkah yang dapat digunakan untuk membaca dan memahami standar kompetensi
dan kompetensi dasar adalah sebagai berikut:
(1) mengidentifikasi SK dan KD sastra dari standar isi;
(2) menganalisis kompetensi dasar (KD) atas kompetensi dan bahan ajar;

(3) menjabarkan kompetensi menjadi kata kerja operasional;


(4) menjabarkan bahan ajar menjadi lebih spesifik;
(5) merumuskan indikator pencapaian kompetensi
(6) merumuskan materi pokok dari KD
(7) merumuskan materi pembelajaran dari indikator;
(8) menandai jenis apresiasi yang dituntut dan teori yang digunakan

MODEL PEMBELAJARAN DAN BAHAN AJAR SASTRA


Setiap pendidik wajib membuat perencanaan pembelajaran. Inti perencanaan pembelajaran
itu adalah rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan bahan ajar. Kedua hal itu disebut
perangkat pembelajaran. Dengan kedua perangkat pembelajaran itulah pendidik mewujudkan
harapannya yakni meningkatkan kompetensi peserta didik sehingga mencapai criteria
ketuntasan minimal. Model pembelajaran ditampilakn dalam RPP. Model pembelajaran yang
aplikatif dan pragmatis adalah RPP yang benar-benar dapat digunakan untuk mengantarkan
peserta didik kepada pencapaian kompetensi dengan tuntas. Model-model itu hanya
dimungkinakan lahir dari tangan pendidik yang benar-benar memahami SK, KD, dan mampu
menjabarkannya menjadi indikator.
Dari indikator dilahirkan tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran,
dan prosedur serta instrument penilaian. Jadi, setiap pendidik yang ingin membuat model
pembelajaran harus memahami komponen RPP dan terampil mengolah dan menyatukannya
dalam RPP yang aplikatif dan pragmatis. Bahan ajar dapat ditampilkan dalam berbagai
bentuk. Dapat berupa buku, modul, diktata, dan bentuk lain yang sesuai dengan keadaan dan
kebutuhan peserta didik. Untuk dapat menyusun bahan ajar yang tepat, berdaya guna, dan
berhasil guna, pendidik harus mengawalinya dari menganalisis materi pokok dari KD dan
materi pembelajaran dari indikator. Kemudisan menampilkannya dalam bentuk yang
diinginkan seeprti di atas.

DAFTAR BACAAN
Amadi, Mukhsin. 1990. Strategi Belajar Mengajar Keterampilan Berbahasa dan Apresiasi
Sastra. Malang: YA3 Esten,
Mursal. 1992. Apresias Sastra. Padang: Angkasa
Oemarjati, Boen S. 1992. Dengan Sastra Mencerdaskan Siswa: Memperkaya Pengalaman dan
Pengetahuan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Rusyana, Yus. 1984. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius

Sumarjo, Yakob dan Saini K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia
Sumardi, Muljanto (ed). 1992. Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Teeuw.A. 1984. Sastra dan Ilmus Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya

A.
PENDAHULUAN
Sejauh ini sastra telah mengalami banyak sekali perkembangan; baik dari segi bentuk,
genre,hingga kaija-kajian tentang sastra itu sendiri. Apresiasi terhadap sastra pun terus
dilakukan.Oleh karena itu menjadi sangat penting sekali bagi mahasiswa yang bergelut dalam
bahasa dansastra untuk mengejawatahkan apa-apa yang terkandung dalam sastra itu
sendiri.Secara akademis kritik sastra lahir di abar ke-20, beriringan dengan lahirnya kaum
formalisRusia sekitar pertengahan dekade kedua abad ke-20. Gagasan-gagasannya muncul
dari duakelompok ilmuwan yang tergabung dalam Lingkaran Linguistik Moskow
(Moscow LinguisticCircle)
yang terbentuk pada tahun 1915 dan
Society for the Study of Poetic Language (OPOYAZ)
yang dibentuk pada tahun 1916 di Petrograd. Para ilmuwan itu bersepakat menolak asumsiasumsi analisis teks yang umum dipakai sejak abad ke-19, terutama yang menganggap
bahwaanalisis teks dapat dilakukan dengan pendekatan psikologis dan biografis, di mana
karya sastradiperlakukan sebagai ekspresi padangan dunia pengarangnya. Sebagai gantinya,
merekadengan tegas menyatakan otonomi sastra dan bahasa puitis serta mengusulkan
pendekatanilmiah dalam penafsiran karya sastra. Namun formalisme Rusia yang lahir pada
abad XX itu barudikenal pada tahun 1970-an. Hal ini disebabkan adanya hegemoni Amerika
dan popilaritasbahasa Inggris sehingga teori dan kritik sastra yang diutulis dalam bahasa
Rusia itu menjadipopuler setelah diterjemahkan dan didiskusikan dalam bahasa Inggris oleh
para akademisiInggris.Sastra takan pernah bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia.
Mengapa? Karana sastra adalahsuatu bidang pendidikan yang dengan mudah mengajari
manusia tentang sebuah tradisi yangberkebang dalam kehidupan lingkungannya. Titik
penjabaran ini penulis hubungkan dengankebudayaan. Sastra dan kebudayaan adalah satu
kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Jikakebudayaan adalah realita social maka sastra adalah
medium untuk mengangkat kebudayaanitu untuk menjadi sebuah pelajaran
dan keabadian.Dengan sastra yang selalu memonitoring kehidupan, maka estapeta tradisi
akan terjaga danmendapat perhatian bagi kehidupan berikutnya. Napak tilas peradaban bisa
dilacak dengan
pelbagai analisis keilmuan, dan salah satu didalamnya sastra merupakan cabang keilmuan
yangmemiliki peran penting, karena sastra lahir dari sebuah tradisi; lisan tulisan.
Penulis mempunyai sebuah prinsip tentang sastra Orang yang bersastra adalah orang
yangmemahami hakikat hidup seutuhnya. Pun demikian karena apresiasi yang diberikan
manusia
kepada sastra banyak macamnya; analisis, penafsiran, dan penelitian sastra; dikemukakan
teorianalisis, penilaian, dan peberapannya.
1

Sebelum pembahasan ini terlalu jauh, penulisan diatas merupakan bagian dari tugas
seorangkritikus sastra.
Frame
yang penulis lakukan disini adalah pembahasan ini difokuskan kepada apaitu kritik sastra
secara etimologi dan terminology.
B.
KRITIK SASTRA SECARA ETIMOLOGI DAN TERMINOLOGI
Suatu tinjauan akademisi memang harus berdasar pada pengertian terhadap setiap
katasebelum mendeskripsikannya secara gamblang. Oleh karena itu, penulis akan
memaparkanpengeritan
dari
kritik
sastra
baik
secara etimologi
maupun
terminology.Pengertian kritik sastra secara etimologi adalah penelitian, analisis, pengecekan,
pembedaanyang baik dan yang buruk, penampakan hal yang buruk dan diskusi. Dalam
bahasa yunani, katakritik berasal dari kata
krities
(hakim) berarti menghakimi, membandingkan atau menimbang.
2
Sebuah apresiasi diberikan kepada sebuah karya dengan berbagai pertimbangan secara
analisisstructural dengan metode-metode dalam sebuah penelitian. Hasil dari proses itulah
yang akandijadikan dasar penilaian terhadap sebuah karya baik dikategorikan baik ataupun
buruksekalipun. Namun demikian penyempitan makna dalam bahasa Indonesia, yang penulis
kutip
dalam Kamus Ilmiah Populer karya M. Dahlan Al Barry, kritik disana bermakna cela;
celaan;
kecam; kupas (masaolah masalah).
1
Gmpup.ugm.ac.id/buku/detail/377
2
Sukron kamil, Teori kritik sastra arab(Rajawali pers: Jakarta, 20
09) hal. 51.

Sedangkan sastra sendiri secara etimologi sastra berasal dari kata sas dan tra
(sansekerta)sas berarti mengarahkan, mengajar, member petunjuk, sedangkan tra berarti
alat, sarana.
Secara luas (teeuw, 1988: 23) sastra berarti sekumpulan alat untuk mengajar, member
petunjukyang baik,.
3
Diatas penulis telah memaparkan pengertian dari kritik dan sastra secara etimologi.
Demikanhalnya kerena setalah kita memahami satu persatu dari pengertian kata, maka baru
kita akanmenemukan titik temu dari pengetian kritik dan sastra dalam sebuah kritik sastra.
Secaraetimologis kritik sastra berasal dari bahasa Yunani kuno krites yang berarti hakim.
Bentuk aktif krites adalah krinein yang berarti menghakimi.(Partini Sardjono Pradotokusumo,
2005: 55).Berdasarkan pandangan bahwa kritik sastra adalah sebuah penghakiman, maka
dalam prosespenghakiman diperlukan syarat-syarat untuk menghakimi karya sastra.
Ini berarti sebuah karyasastra bisa dikatakan memenuhi standar sebagai sebuah karya seni
harus berdasarkan kriteriatersebut.Seiring dengan pengertian tersebut diatas, ada beberapa
pendapaat para ahli tentangkritik sastra itu sendiri, diantaranya:

4
1). Menurut M.H AbrahamsBerpendapat bahwa kritik sastra adalah studi yang berhubungan
dengan Pendefinisian ,penggolongan, penguraian (analisis) dan penilain (evaluasi) karya
sastra.2). Menurut Rene Wellek.Berpendapat bahwa kritik sastra merupakan studi sastra
yang langsung berhadapan dengankarya sastra, secara langsung membicarakan karya sastra
dengan penekanan pada peniaian.3). Menurut Racmat Djoko Pradopo.
3
Nyoma Kutha Ratna, Antropologi Sastra (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2011) hal. 189
4
Yasmika Devi Kritik sastra (Akses 20 desember 2011)
http://yasmikadeviuir.blogspot.com/2011/12/kritik-sastra.html

BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


Minggu, 11 Juli 2010
KONSEP

KESUSASTRAAN

1.
Secara
ETIMOLOGI
SU
:
Indah
,
SASTRA
:
Bahasa
baik
secara

Asal
Menarik
tertulis
maupun

usul
,
secara

kata
Baik
lisan.

Jadi : KESUSASTRAAN adalah Bahasa tulis maupun lisan yang isinya indah, menarik
2.
Menurut
pakar
sastra
KESUSASTRAAN adalah hasil budi daya / karya manusia yang bernilai berdasarkan norma
kemasyarakatan / budaya manusia bersifat dulce et utile (Menghibur dan mendidik)
ALKITAB merupakan sastra yang agung (sastra yang tidak pernah mati)
3. SASTRA yang sifatnya menghibur saja namanya sastra POPULER. (SASTRA POP) lebih
mudah
diterima
masyarakat
tapi
lebih
cepat
mati/pudar
4.
FUNGSI
DAN
MANFAAT
BELAJAR
SASTRA
Membentuk
pola
pikir
dalam
menghadapi
masalah
kehidupan.
Membentuk
kepribadian
yang
bermoral
dan
percaya
diri.
Membentuk
dan
meningkatkan
keterampilan
berbahasa.
Wadah / tempat mengekspresikan ide ide bertolak dari realitas manusia.
Membantu kita untuk lebih siap menghadapi kehidupan yang selama ini tidak jelas menjadi
terang.
5.
CARA
MEMAHAMI
Bersikap
terbuka
terhadap
dan
menghargai

DAN
MENGHAYATI
KESUSASTRAAN
apresiasi
sastra
artinya
menikmati
setiap
karya
sastra

Menganalisis
Menganalisis unsure EKSRTINSIK

unsure

INTRINSIK.

Anda mungkin juga menyukai