Anda di halaman 1dari 9

MALAM itu, 9 Juli 2015, sekitar pukul 21.

31 wib, saya mem-posting sebuah status di


dinding akun Facebook saya, yang isinya sebagai berikut:
 
MASUKAN UNTUK MASBRO Timbul Raharjo:
 
Tanpa mengurangi rasa banggamu ya, bung Timbul, ada yg ingin
kutanyakan. Ini sebenarnya karya indoor yang dipaksa untuk di-outdoor-kan, atau
memang karya outdoor yang sudah dipersiapkan sebagai karya di ruang publik
terbuka? Kalau menyimak karya patung kudamu yang pakai egrang, tampaknya itu
memang karya yg biasa di ruang galeri yang manis-manis lalu "diperkosa" untuk
diseret di ruang publik.

Apa itu salah? Kalau menilik panjenengan yang seorang akademisi seni rupa, dan
sering pergi keluar negeri, ya, itu salah. Tidak menarik. Dan maaf: norak! Sebagai
akademisi idealnya sih anda bisa memberi contoh yang ciamik tentang presentasi
sebuah karya di ruang publik.

Kalau sebuah karya disiapkan sebagai karya di ruang publik, ya buatlah dari
material yang memang kuat, konstruksi dasarnya pengkuh/kuat, ketebalan
logamnya meyakinkan, bukan perca-perca logam yang "thik-pril" (dipegang
langsung patah/hancur).

Dan karya anda di depan setapsiung Tugu ini terlihat banget kalau
menyembunyikan kelemahan materialnya dengan diberi egrang. Patung kuda ber-
egrang. Itu kurang indah, dan sebagai seniman, tampaknya anda kurang menguji
kekuatan karya sendiri. Dari situ juga kelihatan bahwa karya anda seperti
"dijauhkan dalam kedekatannya dengan publik". Ketoke cedhak ning adoh.

Cobalah, siapkan karya yang betul-betul inklusif dan bisa dipeluk hangat oleh
publik. Bukan karya yang seolah-olah inklusif tapi sebenarnya tidak bisa dipegang
dengan erat, tak bisa "digajul" dengan mesra dan diberi banyak larangan untuk
mengakrabinya.

Jadi, bung Timbul, maaf yo, karya patung kudamu kok gagah kalau dipasang di
ruang tamu, bukan di ruang publik seperti di setapsiung Tugu yg gagah itu. Rasah
nesu yo. Nesu mulih! Hahaha.

Posting-an provokatif itu, tak pelak, langsung direspons dengan cukup gegap-
gempita. Hingga sebulan kemudian, tercatat ada data like lebih dari 450 dan
komentar lebih dari 500 buah. Di luar dugaan, dalam beberapa perbincangan
banyak seniman di Yogyakarta—yang saya temui pada banyak pembukaan pameran
seni rupa—problem tersebut menjadi tema perbincangan yang cukup hangat,
bahkan panas.

Tanpa berupaya untuk lebih jauh mendramatisasi persoalan, saya ingin


mengemukakan bahwa kemunculan status seperti itu tidak hanya berasal dari saya,
namun juga dari perupa Agung Kurniawan, dan beberapa seniman lain namun
dengan kemasan dan pembahasaan yang lebih eufemistik sehingga tidak banyak
direspons. Problem utamanya setara, bahwa kehadiran banyak karya seni rupa di
ruang publik di Yogyakarta—terutama yang ditempatkan di kawasan jalan
Malioboro dan jalan A. Yani yang strategis, memuat banyak masalah. Memang tidak
semuanya. Di samping masalah artistik yang secara “naïf” saya sampaikan dalam
status di atas, juga ada problem lain. Untuk karya patung Timbul Raharjo yang
ditempatkan persis di atas trotoar di depan halaman stasiun Tugu Yogyakarta itu,
misalnya, ada masalah hukum yang dilanggar. Ini kalau mengacu pada Perda No. 5
Tahun 2004, yang secara tegas disebut pada pasal 17 ayat 1 yang berbunyi: “Setiap
orang dilarang menggunakan trotoar selain untuk kepentingan pejalan kaki dan
kepentingan darurat”. Hal yang melekat dengan pasal itu juga dikaitkan sebagai
pola “sebab-akibat” pada pasal 2 yang ditulis bahwa: “Setiap pejalan kaki wajib
berjalan pada tempat yang telah disediakan yaitu trotoar atau bahu jalan sisi kiri
jika tidak terdapat trotoar”. Artinya, setiap pejalan kaki wajib berjalan di trotoar,
dan dengan demikian trotoar tidak boleh dimanfaatkan untuk keperluan yang
mengganggu kepentingan pejalan kaki. Maka, pada titik inilah karya seni seperti
yang dipasang oleh Timbul Raharjo sudah salah tempat secara hukum.  

Seni Rupa Publik, Seni Rupa di Ruang Publik 

Dari kasus itu juga kita kemudian bisa kembali menyoal problem yang mendasar
tentang definisi public art. Ada banyak pandangan tentang definisi public art,
namun pada prinsipnya tidak semua karya seni yang ditemukan atau ditempatkan
di ruang publik dapat disebut sebagai public art. Public art dapat didefinisikan
sebagai seni yang secara khusus diciptakan untuk dapat dirasakan dan memberikan
pengalaman dalam ranah publik, di luar galeri, museum atau venue seni indoor.
Seperti halnya seni yang dapat ditemukan di dalam galeri dan museum, public
artmenawarkan respon terhadap masalah fisik, budaya, sosial, dan masalah
lingkungan. Public Art juga harus cukup kuat untuk menahan lingkungan fisik
dimana public art tersebut ditempatkan.

Dalam buku Public Art in Philadelphia, Penny Balkin Bach (1992) mencatat bahwa
public art bukanlah seni “bentuk”. Public Art dapat berukuran besar atau kecil,
dapat berupa menara atau dapat berupa hal-hal menarik  perhatian yang ada
padapaving tempat oang-orang berjalan. Public art dapat berwujud apapun:
abstrak, realistis, maupun keduanya, yang dibuat dari material apapun—terutama
logam yang kuat—yang dieksekusi dengan cara dicor, diukir, dibangun, dirakit,
ataupun dicat. Public art dapat berupa bentuk-bentuk yang sesuai dengan konteks
lingkungan maupun kontras dengan lingkungan sekitarnya. Yang membedakannya
yaitu adanya penggabungan yang unik dari cara membuat, lokasi, dan makna
dari public art itu sendiri. Public art dimungkinkan mampu mengekspresikan nilai-
nilai dalam masyarakat (community values), menambah kualitas lingkungan,
mengubah lanskap, meningkatkan kesadaran kita, maupun memberi pertanyaan
atas asumsi kita. Karya seni rupa publik diidealkan bisa diletakkan di ruang publik
yang dapat diakses oleh semua orang dan merupakan bentuk dari gabungan
ekspresi masyarakat. Karyapublic art juga diimajinasikan sebagai refleksi dari cara
kita memandang dunia, cara seniman menanggapi sebuah zaman, dan suatu
tempat yang bergabung dengan pemahaman kita terhadap diri sendiri.

Lalu, siapakah masyarakat yang bisa menikmati public art? Inilah problem


mendasar lain karena dalam masyarakat pasti memiliki interpretasi yang beragam,
sehingga tidak semua karya seni dapat memberi daya tarik bagi semua orang. Seni
dapat menarik perhatian, itulah yang mesti diagendakan—terutama oleh kalangan
seniman. Dulu, public art menyebabkan kontroversi. Pendapat umum yang
bervariasi tidak dapat dihindari dan itu menjadi tanda yang baik bahwa sebuah
karya seni, dalam hal ini public art, diidealkan mempertimbangkan konteks
lingkungan tempat dimana karya tersebut hendak diposisikan. Maka, kehadiran
karya public art sebaiknya tidak dihadirkan secara sewenang-wenang oleh seniman
tanpa memperhatikan konteks ruang dan waktu yang ada. Apakah karya itu punya
konteks dengan ruang dimana karya itu dihadirkan, baik dalam konteks
kesejarahan terhadap ruang, konteks sosial, politik atau yang lainnya? 

Bertalian dengan pertanyaan di atas, yakni karena menyangkut perihal konteks dan
kelak menjadi konsumsi publik, maka setiap proyek public art diharapkan menjadi
sebuah proses interaktif yang melibatkan sebanyak mungkin pihak yang
bersinggungan dengan hal itu, yakni (tentu saja) seniman, kurator seni rupa,
arsitek, desainer, planolog, tidak menutup kemungkinan sejarawan dan
antropolog, warga masyarakat, tokoh masyarakat, politisi, lembaga pendanaan,
dan tim konstruksi serta pihak pengelola kota/daerah yang antara lain memiliki
otoritas sebagai lembaga perijinan. 

Public art merupakan bagian dari sejarah, bagian dari budaya yang berkembang,
dan bagian dari memori kolektif kita. Public art mencerminkan dan
memperlihatkan kondisi masyarakat dan menambah nilai dari suatu kota. Seni ini
merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah masyarakat dan evolusi budaya
yang terjadi di dalamnya. Keberadaan public art dapat memanusiakan lingkungan
yang ada dan menyegarkan ruang publik. Karya public art yang dibuat secara apik
akan mampu menjadi cermin dan semangat perkembangan masyarakat dari masa
ke masa. Hasil karya dari para seniman public art akan menjadi cermin kronologi
pengalaman yang dialami masyarakat.

Dari factor-faktor yang menjadi pertimbangan tadi, lalu, apakah secara


kebentukan sebuah karya public art itu berupa patung? Tentu tidak, karena karya
seni rupa publik itu eksekusi kebentukanannya bisa beragam. Dia bisa berupa karya
patung—baik yang gigantik ataupun berukuran standar, bisa pula mural, hingga
benda-benda yang sangat fungsional semacam street furniture, dan sebagainya.
Karya-karya tersebut, setidaknya bisa ditengarai atau diduga dalam lima
tipe public art, yakni: (a) Integrated Public Art, yakni karya yang memanfaatkan
nilai historis dari suatu lokasi, serta memanfaatkan budaya dan keadaan sosial
yang membuat karya public art menjadi bagian dari masyarakat; (b) Semi
Integrated Public Art, karya yang memanfaatkan lokasi peletakan public
art sebagai kumpulan inspirasi, namun hubungan antara public art dengan lokasi
tersebut tidak eksklusif, sehingga bagian-bagian lain dari public art tersebut dapat
berada di lokasi yang berbeda serta tetap berkorelasi secara fisik dan konseptual;
(c) Discrete Public Art, karya yang tidak terintegrasi dengan lokasi tertentu dan
tidak memiliki ketergantungan secara fisik dan konseptual pada lokasi tertentu;
(d) Community art, karya  fokus pada sistem kepercayaan masyarakat, dan ini
biasanya memiliki komunitas berbasis desain yang memungkinkan masyarakat
untuk mengekspresikan tujuan atau masalahnya; serta (e) Ephemeral public
art, yakni karya temporer yang didesain secara khusus untuk perhelatan tertentu,
dan peletakannya hanya bersifat sementara. 

Pemahaman-pemahaman itu tentu saja masih mendasar, dan sangat mungkin


berkembang mengikuti konteks-konteks yang bersinggungan dengannya. Paling
tidak, karya public art yang ditempatkan di ruang publik sudah pasti akan berbeda
konteks, perlakuan dan sistem penempatannya dibanding dengan karya yang
sekadar dirancang sebagai karya dalam ruang (indoor). Pada titik inilah seorang
seniman sebaiknya memiliki sistem pengetahuan yang bisa membaca ulang
karyanya. Bukan sekadar melontarkan kenaifan semisal “karya itu adalah anak
kandung saya”, namun sesungguhnya malah seperti melempar “anak kandung” ke
kebun binatang. Tentu itu aksi ceroboh dan membahayakan. *** 

Kuss Indarto, kurator seni rupa. 

Kritikus seni rupa legendaris, almarhum Sanento Yuliman, pernah membuat istilah “ledakan
gambar” yang ia uraikan dalam salah satu esainya yang dibuat tahun 1984, “Seni Rupa dalam
Keseharian Kita”. Istilah itu dipakai untuk menggambarkan gejala yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat perkotaan yang mulai didominasi oleh gejolak modernitas,
yang salah satu imbasnya: gambar yang merajalela di setiap ruang hidup masyarakat, baik
ruang privat maupun publik. Gambar atau citraan (image) menjadi salah satu medium
komunikasi utama bagi masyarakat, didorong oleh mulai semakin merasuknya teknologi dan
industrialisasi ke dalam kehidupan mereka, melalui televise, media massa dan komersialisasi.
Lalu, publik saat itu pun mulai terbiasa dengan hadirnya citraan-citraan yang semakin riuh
rendah di sekeliling mereka, mulai dari bangun tidur dan menyalakan televise, membaca
koran dan majalah, lalu ke luar rumah dan disambut oleh baliho-baliho iklan serta kampanye
pembangunan yang mulai marak menjajah pemandangan kota. “Gambar ada dimana-mana”,
kata Sanento dalam esainya. Esai itu mungkin bisa dikatakan sebagai salahs atu esai pertama
yang memuat pemikiran awal tentang budaya rupa (visual culture) dalam masyarakat urban
modern, tentang bagaimana praktek dan strategi visual merambah kehiduapn keseharian
masyarakat dan menjadi sebuah bahasa tersendiri.
Hal ini menyajikan sebuah tawaran lain bagi posisi seni rupa sebagai sebuah medium
ekspresi. Seni rupa keluar dari altarnya yang tinggi, sebagai praktek penciptaan objek
estetis kagunan, dan turun ke jalan, ke ruang public. Seni rupa seharusnya juga dapat menjadi
salah satu sarana dalam mengembangkan praktek budaya visual masyarakat urban.
Saat Sanento menulis, apa yang disebut sebagai “seni rupa publik” masih terbatas fungsinya
sebagai sarana monumentalisasi (seperti yang diinisiasi pemerintahan Soekarno dengan
pembangunanlandmark tugu-tugu sejarah) dan propaganda politik (seperti yang dulu giat
dilakukan rezim Soeharto), atau mutlak sekadar elemen dekorasi. Tawaran Sanento adalah
sebuah rekomendasi pengembangan praktek seni rupa, sebagai sebuah strategi budaya, dalam
hubungannya dengan penciptaan ruang publik yang lebih kondusif bagi warganya.
Agak diragukan apakah Sanento dapat beristirahat dengan tenang jika ia melihat apa yang
terjadi sekarang, dua decade kemudian, terutama di kota besar seperti Jakarta khususnya, saat
“ledakan gambar”, seperti yang ia istilahkan dulu, telah turut serta
memunculkan katastrofi.  Lingkungan kota yang semrawut makin diperparah oleh penataan
ruang publik yang tak terkontrol. Masyarakat kota jadi terbiasa hidup berjejalan dalam
ketidakberaturan, salah satunya ketidakberaturan estetika (esthetic disorder). Dalam situasi
saat ketidakberaturan menjadi salah satu bentuk aturan tersendiri, siapa yang bisa bicara
tentang estetika dalam ruang publik? Dan seni ruang publik, siapa yang peduli?
Nasib praktek seni rupa public di Jakarta mirip dengan yang terjadi pada patung Dirgantara di
persimpangan Pancoran. Hanuman yang perkasa terjepit tak berdaya di antara flyover yang
penuh dengan coretan vandalitas di tiang-tiangnya, beserta beragam billboard iklan di
sekeliling. Masyarakat kota sudah harus pasrah dengan ketidaknyamanan yang menjadi
santapan sehari-hari mereka. Kenyamanan visual dalam ruang publik pun menjadi sebuah
mimpi yang tak perlu diharapkan menjadi nyata. Sesuatu yang “nggak penting!” seperti yang
biasa dikatakan oleh kaum muda hari gini. Jadi, bagaimana praktek seni rupa publik
menghadapi kondisi seperti ini? Pastinya bukan hanya berusaha memperindah kota, sebuah
kerja yang terdengar terlampau naïf jadinya.

 
*karya Sadat Laope
Public Art Hari Gini: Catatan Dari Re:Publik Art dan Mural WA 
Sejauh ini, kota yang masih mempertahankan kepedulian cukup besar akan praktek seni rupa
di ruang publik boleh dibilang hanyalah Jogjakarta. Keberhasilan kerjasama sejumlah
komunitas perupa dengan pemerintahan daerah,seperti yang dirintis oleh kelompok Apotik
Komik (misalnya dengan inisiasi berbagai proyek mural mereka yang terdahulu), sebenarnya
bisa dijadikan model pengembangan praktek seni rupa publik sebagai bagian dari
pembangunan tata kota. Meski juga belum bisa dikatakan sudah maksimal, namun
setidaknya, sudah ada respond an pengakuan sosial warga kota tersebut mengenai praktek
seni rupa publik sebagaibagian dari kehidupan sehari-hari. Iklim kota Jogja sebagai “ibukota
budaya” memang bisa dibilang mendukung terjadinya hal ini.
Salah satu proyek seni rupa public yang terakhir dilaksanakan di Jogja adlah Re:Publik Art,
berlangsung sekitar September tahun 2005 lalu, yang diselenggarakan oleh kerjasama
pemerintah DI Jogjakarta, Kedai Kebun Forum, Performance Fucktory, Kosong Tiga
Multimedia Service dan salah satu perusahaan rokok ternama.

*karya Farhansiki
Berangkat dari intensi untuk merevisi lagi praktek seni rupa public yang telah ada, proyek ini
ingin beroperasi lebih jauh, sebagai sebuah proyek social engagement antara seniman dengan
ruang dan warga kota. Proyek ini bertolak dari pemikiran dibutuhkannya eksplorasi seni rupa
public yang lebih strategis dan responsif dalam menghadapi “polusi visual” kota (mengutip
salah satu istilah di katalognya yang saya pikir sesuai dengan tema “ledakan gambar”
Sanento) yang tak terselesaikan dengan hanya (lagi-lagi) membuat proyek mural (yang
selama ini memang paling popular dilakukan dalam praktek seni rupa public, terutama oleh
kalangan perupa muda).
Proyek Re:Publik Art dilaksanakan di sejumlah situs ruang publik di downtown  kota
Jogjakarta dengan pendekatan yang berbeda-beda dan dikerjakan oleh beberapa komunitas
seniman mural dengan juga mengundang dia seniman street art Perancis: L’Atlas dan Sun7.
Bagi saya, tidak semua dari karya yang dihasilkan proyek ini dapat secara efektif mewakili
gagasan yang dilontarkan karena beberapa di antaranya juga kemudian menyiratkan “just
another mural project”. Namun, sejumlah karya cukup memberikan tawaran yang menarik,
seperti eksplorasi Zebra Cross yang digunakan untuk memberikan informasi nomor telepon
darurat bagi masyarakat, rancangan desain tempat sampah public, dan pembuatan mural di
tembok gang lokalisasi Pasar Kembang yang melibatkan interaksi warga.

Tak lama setelah itu, Desember 2005 di Jakarta dilaksanakan proyek Mural WA: Bidang
Permukaan Otonomi Temporer, yang juga dilaksanakan di berbagai lokasi, atas kerjasama
CCF dan ruangrupa. Sebenarnya ini adalah sebuah proyek yang dikerjakan secara organic
oleh para perupa Perancis yang menjadi inisiatornya, dimotori oleh Ivan Vayard. Seperti yang
bisa dilihatnya pada press releasenya, WA adalah semacam permainan, tempat para seniman
Perancis menawarkan beberapa bentuk karya yang kemudian direalisasikan lagi oleh berbagai
seniman lain di berbagai lokasi di dunia. Saat ini, merupakan giliran para seniman Jakarta
yang dilibatkan-yang semuanya masih berstatus mahasiswa IKJ, UNJ dan interstudi- untuk
melaksanakannya.
Di press release tersebut juga disebutkan bahwa proyek ini ingin menjadi “bukan hanya
sebuah pameran lukisan mural kontemporer, tapi lebih dari itu”. Memang, sebagai sebuah
gagasan, proyek ini menarik dan beberapa dari karya yang ditampilkan cukup mengusik
secara estetis (seperti yang ditampilkan di tembok kafe toko buku Aksara
dan flyover Kuningan). Namun, jika melihat permasalahan public art dan polusi visual
lingkungan urban yang disinggung di atas, tampaknya ruang publik Jakarta memang butuh
lebih dari itu. Hal yang, sayangnya, tampaknya kurang berhasil ditawarkan oleh kegiatan ini.
Singkatnya: Yes, we need more than just another mural project.  [ ]
Keterangan  :  Artikel ini termuat di Majalah Seni Rupa Visual Arts Februari/Maret 2006.
Rubrik National, Halaman 006-010.
Source: visualartsmagazine.info

Anda mungkin juga menyukai