Apa itu salah? Kalau menilik panjenengan yang seorang akademisi seni rupa, dan
sering pergi keluar negeri, ya, itu salah. Tidak menarik. Dan maaf: norak! Sebagai
akademisi idealnya sih anda bisa memberi contoh yang ciamik tentang presentasi
sebuah karya di ruang publik.
Kalau sebuah karya disiapkan sebagai karya di ruang publik, ya buatlah dari
material yang memang kuat, konstruksi dasarnya pengkuh/kuat, ketebalan
logamnya meyakinkan, bukan perca-perca logam yang "thik-pril" (dipegang
langsung patah/hancur).
Dan karya anda di depan setapsiung Tugu ini terlihat banget kalau
menyembunyikan kelemahan materialnya dengan diberi egrang. Patung kuda ber-
egrang. Itu kurang indah, dan sebagai seniman, tampaknya anda kurang menguji
kekuatan karya sendiri. Dari situ juga kelihatan bahwa karya anda seperti
"dijauhkan dalam kedekatannya dengan publik". Ketoke cedhak ning adoh.
Cobalah, siapkan karya yang betul-betul inklusif dan bisa dipeluk hangat oleh
publik. Bukan karya yang seolah-olah inklusif tapi sebenarnya tidak bisa dipegang
dengan erat, tak bisa "digajul" dengan mesra dan diberi banyak larangan untuk
mengakrabinya.
Jadi, bung Timbul, maaf yo, karya patung kudamu kok gagah kalau dipasang di
ruang tamu, bukan di ruang publik seperti di setapsiung Tugu yg gagah itu. Rasah
nesu yo. Nesu mulih! Hahaha.
Posting-an provokatif itu, tak pelak, langsung direspons dengan cukup gegap-
gempita. Hingga sebulan kemudian, tercatat ada data like lebih dari 450 dan
komentar lebih dari 500 buah. Di luar dugaan, dalam beberapa perbincangan
banyak seniman di Yogyakarta—yang saya temui pada banyak pembukaan pameran
seni rupa—problem tersebut menjadi tema perbincangan yang cukup hangat,
bahkan panas.
Dari kasus itu juga kita kemudian bisa kembali menyoal problem yang mendasar
tentang definisi public art. Ada banyak pandangan tentang definisi public art,
namun pada prinsipnya tidak semua karya seni yang ditemukan atau ditempatkan
di ruang publik dapat disebut sebagai public art. Public art dapat didefinisikan
sebagai seni yang secara khusus diciptakan untuk dapat dirasakan dan memberikan
pengalaman dalam ranah publik, di luar galeri, museum atau venue seni indoor.
Seperti halnya seni yang dapat ditemukan di dalam galeri dan museum, public
artmenawarkan respon terhadap masalah fisik, budaya, sosial, dan masalah
lingkungan. Public Art juga harus cukup kuat untuk menahan lingkungan fisik
dimana public art tersebut ditempatkan.
Dalam buku Public Art in Philadelphia, Penny Balkin Bach (1992) mencatat bahwa
public art bukanlah seni “bentuk”. Public Art dapat berukuran besar atau kecil,
dapat berupa menara atau dapat berupa hal-hal menarik perhatian yang ada
padapaving tempat oang-orang berjalan. Public art dapat berwujud apapun:
abstrak, realistis, maupun keduanya, yang dibuat dari material apapun—terutama
logam yang kuat—yang dieksekusi dengan cara dicor, diukir, dibangun, dirakit,
ataupun dicat. Public art dapat berupa bentuk-bentuk yang sesuai dengan konteks
lingkungan maupun kontras dengan lingkungan sekitarnya. Yang membedakannya
yaitu adanya penggabungan yang unik dari cara membuat, lokasi, dan makna
dari public art itu sendiri. Public art dimungkinkan mampu mengekspresikan nilai-
nilai dalam masyarakat (community values), menambah kualitas lingkungan,
mengubah lanskap, meningkatkan kesadaran kita, maupun memberi pertanyaan
atas asumsi kita. Karya seni rupa publik diidealkan bisa diletakkan di ruang publik
yang dapat diakses oleh semua orang dan merupakan bentuk dari gabungan
ekspresi masyarakat. Karyapublic art juga diimajinasikan sebagai refleksi dari cara
kita memandang dunia, cara seniman menanggapi sebuah zaman, dan suatu
tempat yang bergabung dengan pemahaman kita terhadap diri sendiri.
Bertalian dengan pertanyaan di atas, yakni karena menyangkut perihal konteks dan
kelak menjadi konsumsi publik, maka setiap proyek public art diharapkan menjadi
sebuah proses interaktif yang melibatkan sebanyak mungkin pihak yang
bersinggungan dengan hal itu, yakni (tentu saja) seniman, kurator seni rupa,
arsitek, desainer, planolog, tidak menutup kemungkinan sejarawan dan
antropolog, warga masyarakat, tokoh masyarakat, politisi, lembaga pendanaan,
dan tim konstruksi serta pihak pengelola kota/daerah yang antara lain memiliki
otoritas sebagai lembaga perijinan.
Public art merupakan bagian dari sejarah, bagian dari budaya yang berkembang,
dan bagian dari memori kolektif kita. Public art mencerminkan dan
memperlihatkan kondisi masyarakat dan menambah nilai dari suatu kota. Seni ini
merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah masyarakat dan evolusi budaya
yang terjadi di dalamnya. Keberadaan public art dapat memanusiakan lingkungan
yang ada dan menyegarkan ruang publik. Karya public art yang dibuat secara apik
akan mampu menjadi cermin dan semangat perkembangan masyarakat dari masa
ke masa. Hasil karya dari para seniman public art akan menjadi cermin kronologi
pengalaman yang dialami masyarakat.
Kritikus seni rupa legendaris, almarhum Sanento Yuliman, pernah membuat istilah “ledakan
gambar” yang ia uraikan dalam salah satu esainya yang dibuat tahun 1984, “Seni Rupa dalam
Keseharian Kita”. Istilah itu dipakai untuk menggambarkan gejala yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat perkotaan yang mulai didominasi oleh gejolak modernitas,
yang salah satu imbasnya: gambar yang merajalela di setiap ruang hidup masyarakat, baik
ruang privat maupun publik. Gambar atau citraan (image) menjadi salah satu medium
komunikasi utama bagi masyarakat, didorong oleh mulai semakin merasuknya teknologi dan
industrialisasi ke dalam kehidupan mereka, melalui televise, media massa dan komersialisasi.
Lalu, publik saat itu pun mulai terbiasa dengan hadirnya citraan-citraan yang semakin riuh
rendah di sekeliling mereka, mulai dari bangun tidur dan menyalakan televise, membaca
koran dan majalah, lalu ke luar rumah dan disambut oleh baliho-baliho iklan serta kampanye
pembangunan yang mulai marak menjajah pemandangan kota. “Gambar ada dimana-mana”,
kata Sanento dalam esainya. Esai itu mungkin bisa dikatakan sebagai salahs atu esai pertama
yang memuat pemikiran awal tentang budaya rupa (visual culture) dalam masyarakat urban
modern, tentang bagaimana praktek dan strategi visual merambah kehiduapn keseharian
masyarakat dan menjadi sebuah bahasa tersendiri.
Hal ini menyajikan sebuah tawaran lain bagi posisi seni rupa sebagai sebuah medium
ekspresi. Seni rupa keluar dari altarnya yang tinggi, sebagai praktek penciptaan objek
estetis kagunan, dan turun ke jalan, ke ruang public. Seni rupa seharusnya juga dapat menjadi
salah satu sarana dalam mengembangkan praktek budaya visual masyarakat urban.
Saat Sanento menulis, apa yang disebut sebagai “seni rupa publik” masih terbatas fungsinya
sebagai sarana monumentalisasi (seperti yang diinisiasi pemerintahan Soekarno dengan
pembangunanlandmark tugu-tugu sejarah) dan propaganda politik (seperti yang dulu giat
dilakukan rezim Soeharto), atau mutlak sekadar elemen dekorasi. Tawaran Sanento adalah
sebuah rekomendasi pengembangan praktek seni rupa, sebagai sebuah strategi budaya, dalam
hubungannya dengan penciptaan ruang publik yang lebih kondusif bagi warganya.
Agak diragukan apakah Sanento dapat beristirahat dengan tenang jika ia melihat apa yang
terjadi sekarang, dua decade kemudian, terutama di kota besar seperti Jakarta khususnya, saat
“ledakan gambar”, seperti yang ia istilahkan dulu, telah turut serta
memunculkan katastrofi. Lingkungan kota yang semrawut makin diperparah oleh penataan
ruang publik yang tak terkontrol. Masyarakat kota jadi terbiasa hidup berjejalan dalam
ketidakberaturan, salah satunya ketidakberaturan estetika (esthetic disorder). Dalam situasi
saat ketidakberaturan menjadi salah satu bentuk aturan tersendiri, siapa yang bisa bicara
tentang estetika dalam ruang publik? Dan seni ruang publik, siapa yang peduli?
Nasib praktek seni rupa public di Jakarta mirip dengan yang terjadi pada patung Dirgantara di
persimpangan Pancoran. Hanuman yang perkasa terjepit tak berdaya di antara flyover yang
penuh dengan coretan vandalitas di tiang-tiangnya, beserta beragam billboard iklan di
sekeliling. Masyarakat kota sudah harus pasrah dengan ketidaknyamanan yang menjadi
santapan sehari-hari mereka. Kenyamanan visual dalam ruang publik pun menjadi sebuah
mimpi yang tak perlu diharapkan menjadi nyata. Sesuatu yang “nggak penting!” seperti yang
biasa dikatakan oleh kaum muda hari gini. Jadi, bagaimana praktek seni rupa publik
menghadapi kondisi seperti ini? Pastinya bukan hanya berusaha memperindah kota, sebuah
kerja yang terdengar terlampau naïf jadinya.
*karya Sadat Laope
Public Art Hari Gini: Catatan Dari Re:Publik Art dan Mural WA
Sejauh ini, kota yang masih mempertahankan kepedulian cukup besar akan praktek seni rupa
di ruang publik boleh dibilang hanyalah Jogjakarta. Keberhasilan kerjasama sejumlah
komunitas perupa dengan pemerintahan daerah,seperti yang dirintis oleh kelompok Apotik
Komik (misalnya dengan inisiasi berbagai proyek mural mereka yang terdahulu), sebenarnya
bisa dijadikan model pengembangan praktek seni rupa publik sebagai bagian dari
pembangunan tata kota. Meski juga belum bisa dikatakan sudah maksimal, namun
setidaknya, sudah ada respond an pengakuan sosial warga kota tersebut mengenai praktek
seni rupa publik sebagaibagian dari kehidupan sehari-hari. Iklim kota Jogja sebagai “ibukota
budaya” memang bisa dibilang mendukung terjadinya hal ini.
Salah satu proyek seni rupa public yang terakhir dilaksanakan di Jogja adlah Re:Publik Art,
berlangsung sekitar September tahun 2005 lalu, yang diselenggarakan oleh kerjasama
pemerintah DI Jogjakarta, Kedai Kebun Forum, Performance Fucktory, Kosong Tiga
Multimedia Service dan salah satu perusahaan rokok ternama.
*karya Farhansiki
Berangkat dari intensi untuk merevisi lagi praktek seni rupa public yang telah ada, proyek ini
ingin beroperasi lebih jauh, sebagai sebuah proyek social engagement antara seniman dengan
ruang dan warga kota. Proyek ini bertolak dari pemikiran dibutuhkannya eksplorasi seni rupa
public yang lebih strategis dan responsif dalam menghadapi “polusi visual” kota (mengutip
salah satu istilah di katalognya yang saya pikir sesuai dengan tema “ledakan gambar”
Sanento) yang tak terselesaikan dengan hanya (lagi-lagi) membuat proyek mural (yang
selama ini memang paling popular dilakukan dalam praktek seni rupa public, terutama oleh
kalangan perupa muda).
Proyek Re:Publik Art dilaksanakan di sejumlah situs ruang publik di downtown kota
Jogjakarta dengan pendekatan yang berbeda-beda dan dikerjakan oleh beberapa komunitas
seniman mural dengan juga mengundang dia seniman street art Perancis: L’Atlas dan Sun7.
Bagi saya, tidak semua dari karya yang dihasilkan proyek ini dapat secara efektif mewakili
gagasan yang dilontarkan karena beberapa di antaranya juga kemudian menyiratkan “just
another mural project”. Namun, sejumlah karya cukup memberikan tawaran yang menarik,
seperti eksplorasi Zebra Cross yang digunakan untuk memberikan informasi nomor telepon
darurat bagi masyarakat, rancangan desain tempat sampah public, dan pembuatan mural di
tembok gang lokalisasi Pasar Kembang yang melibatkan interaksi warga.
Tak lama setelah itu, Desember 2005 di Jakarta dilaksanakan proyek Mural WA: Bidang
Permukaan Otonomi Temporer, yang juga dilaksanakan di berbagai lokasi, atas kerjasama
CCF dan ruangrupa. Sebenarnya ini adalah sebuah proyek yang dikerjakan secara organic
oleh para perupa Perancis yang menjadi inisiatornya, dimotori oleh Ivan Vayard. Seperti yang
bisa dilihatnya pada press releasenya, WA adalah semacam permainan, tempat para seniman
Perancis menawarkan beberapa bentuk karya yang kemudian direalisasikan lagi oleh berbagai
seniman lain di berbagai lokasi di dunia. Saat ini, merupakan giliran para seniman Jakarta
yang dilibatkan-yang semuanya masih berstatus mahasiswa IKJ, UNJ dan interstudi- untuk
melaksanakannya.
Di press release tersebut juga disebutkan bahwa proyek ini ingin menjadi “bukan hanya
sebuah pameran lukisan mural kontemporer, tapi lebih dari itu”. Memang, sebagai sebuah
gagasan, proyek ini menarik dan beberapa dari karya yang ditampilkan cukup mengusik
secara estetis (seperti yang ditampilkan di tembok kafe toko buku Aksara
dan flyover Kuningan). Namun, jika melihat permasalahan public art dan polusi visual
lingkungan urban yang disinggung di atas, tampaknya ruang publik Jakarta memang butuh
lebih dari itu. Hal yang, sayangnya, tampaknya kurang berhasil ditawarkan oleh kegiatan ini.
Singkatnya: Yes, we need more than just another mural project. [ ]
Keterangan : Artikel ini termuat di Majalah Seni Rupa Visual Arts Februari/Maret 2006.
Rubrik National, Halaman 006-010.
Source: visualartsmagazine.info