Anda di halaman 1dari 7

TUGAS ESSAY ESTETIKA

NAMA : MARIYATUL ISMAH

NIM : 20105057

KELAS : S1 DKV 04 B

DOSEN : KRISHNANDA R. MOODUTO, S.T.,M.Ds.

DESAIN KOMUNIKASI VISUAL

INSTITUT TEKNOLOGI TELKOM PURWOKERTO

TAHUN AJARAN 2020/2021


A. ESTETIKA CINA

Estetika pada dasarnya sangat dinamis dengan filosofi dan pemikiran baru,
tetapi di Timur justru statis sehingga sangat lamban dan bahkan dapat dikatakan tidak
berkembang. Hal tersebut karena latarbelakang budaya yang masing-masing memang
berbeda. Di Cina Tao-lah yang dianggap sumber dari nilai-nilai kehidupan. Tao berarti
sinar terang dan sumber dari segala sumber yang ada. Manusia dianggap sempurna
apabila hidupnya diterangi oleh Tao. Bagi bangsa Cina Tao adalah kemutlakan, sesuatu
yang memberi keberadaan, kehidupan dan kedamaian.

Oleh karena itu tugas seorang seniman adalah menangkap Tao tersebut dan
mengungkapkan dalam bentuk karya seni atau berupa barang yang indah. Sehingga
seorang seniman wajib mensucikan diri agar mempunyai kesadaran Tao. Dan lewat
kesadaran ini ia akan mampu menciptakan keindahan. Estetika Cina Filosuf Cina ada
enam prinsip dasar bagi para seniman :

1. Prinsip yang menggambarkan bersatunya Roh semesta dengan dirinya


Dengan demikian ia mampu menangkap keindahan dan kemudian
menampilkan atau mewujudkan pada karyanya. Prinsip ini merupakan konsep yang
erat kaitannya dengan Budhisme atau taoisme. Konsep energi spiritual yang
mewujudkan kesatuan yang yang harmonis atas segala sesuatu. Istilah Cina prinsip
ini disebut Ch’i yun sheng tung. Ch‘i (kunci), yaitu kata kunci dalam segala teori
seni Cina. Pada diri manusia ch’i mengekspresikan karakter dan kepribadian, suatu
sebagai individu yang membawa dirinya dalam kesesuaian dengan jiwa. Yun berarti
getaran atau resonansi, dan perpaduannya dengan ch’i akan mengekspresikan antara
kekuatan individu yang vital terhadap kekuatan krodati. Dan sheng tung, berarti
gerak atau irama hidup.
2. Prinsip yang menggambarkan kemampuan menyergap Roh Ch’i atau roh kehidupan
dengan cara mengesampingkan bentuk dan warna yang semarak
Makna spiritual akan nampak dalam karya-karyanya. Hal ini dapat kita lihat
dari beberapa lukisan Cina saat itu, yang penuh dengan ruang kosong dan
kesunyian. Prinsip kedua bila diterjemahkan secara literal berarti metode tulang
dalam penggunaan kuas. Tak ada yang menjelaskan mengapa kata tulang digunakan
untuk memberi metode seni lukis, nampaknya ini untuk menyatakan secara tidak
langsung pemberian kekuatan struktural terhadap sapuan kuas itu sendiri. Prinsip
kedua ini dalam istilah Cina disebut Ku Fa Yung Pi. Ku Fa artinya seni membaca
karakter orang dengan melihat struktur tulangnya. Jika dipahamkan ke dalam
bahasa kritik seni dapat diartikan sebagai peninjauan atau kajian dengan
mempertimbangkan sapuan-sapuan yang mendukung struktur dasar dalam seni.
3. Prinsip yang merefleksikan obyek dengan menggambarkan bentuknya, yaitu
konsekuen terhadap obyek yang dilukis atau yang disusunnya.
Disini jelas bahwa seni lukis cina mementingkan essensinya bukan
eksestensinya. Prinsip ketiga memberikan saran bahwa setiap obyek mempunyai
bentuk yang tepat. Seniman harus menyesuaikan antara tema pokok dan ekspresi
yang memperlihatkan visi pengamat identitas obyek yang dilukis di dalam semua
keterpisahan dan kekongkritan. Dalam prinsip ketiga ini dalam istilah Cina disebut
Ying Wu Hsiang Hsing. Ying Wu Hsiang Hsing berarti merefleksikan obyek
dengan menggambarkan bentuknya.
4. Prinsip yang menggambarkan tentang keselarasan dalam menggunakan warna.
Seni Lukis Cina dalam penggunaan warna tidak bersifat fungsional tetapi lebih
bersifat simbolisme. Estetika warna para pelukis Cina ditentukan oleh teknik
akuarel tinta monokromatis untuk membabarkan suasana hati. Prinsip keempat
menetapkan setiap obyek mempunyai warna yang sesuai. Warna yang digunakan
dalam lukisan harus mempunyai sugesti alam dari sifat penggambarannya. Prinsip
ini dalam istilah Cina disebut Sui Lei Fu Ts’ai yang berarti suatu tipe hubungannya
dengan penggunaan warna dalam seni lukis Cina tidak bersifat fungsional tapi lebih
bersifat simbolisme.
5. Prinsip yang menggambarkan tentang pengorganisasian, penyusunan, atau
perencanaan dengan pertimbangan penempatan dan susunan.
Seni Cina menganjurkan agar mengadakan semacam perencanaan terlebih
dahulu sebelum berkarya. Dalam hal ini nampaknya rangcang komposisi berbeda
dengan prinsip desain seni barat. Dalam hati seseorang, ia harus sepenuhnya
mengenal Ch’i empat musim tidak hanya dalam hati, karena pengetahuan itu harus
mengalir ke ujung jari dan kemudian menggetarkan pena/kuas dalam berkarya.
Prinsip kelima ini merupakan perencanaan atas unsur-unsur dalam komposisi.
Komposisi harus dapat menunjukkan mana yang lebih penting dan yang kurang
penting, apa yang memerlukan jarak dan yang tertutup, dan mempertimbangkan
juga ruang yang kosong. Kesatuan dari bagian secara keseluruhan dinyatakan
secara tidak langsung, yakni tentang doktrin Taoisme mengenai harmoni total.
Prinsip ini dalam bahasa Cina disebut Ching Ting Wei Chih, adalah Kesatuan dan
rencana yang melibatkan tentang susunan dan penempatan.
6. Prinsip memberikan ajaran untuk membuat reproduksi-reproduksi agar dapat
diteruskan dan disebarluas-kan.
Semangat Tao dalam estetik di Cina rupanya begitu mendalam dan menyebar
ke berbagai negara di sekitarnya sampai sekarang. Prinsip ke enam ini dihubungkan
doktrin Cina tentang meniru- suatu gagasan, yang jelas ini berbeda dengan gagasan
kita tentang tradisi, yang merupakan suatu inti, atau kekuatan vital yang diturunkan
dari generasi ke generasi. Gagasan barat tentang tradisi lebih bersifat teknis dan
gaya para Master. Gagasan Cina berbeda yaitu secara tidak langsung menyatakan
bahwa suatu jiwa yang diinformasikan dan yang diteruskan ke arah yang lebih
penting (mulya) dari bentuk itu sendiri. Prinsip dalam istilah Cina disebut Chuan
Mo I Hsieh, adalah memindahkan model yang melibatkan reproduksi dan kopi.
Prinsip ini penting dalam pendidikan seni Cina, yaitu mengkopi karya master
terdahulu. ini sering disalah mengerti oleh para sejarah. Tujuan mengkopi ialah
mengikuti dan meneruskan kepada ahli waris, metoda dan prinsip yang
dikembangkan dan dicoba oleh para master, dan demikian untuk menopang jiwa
Tao dalam lukisan. Lukisan akan dimasuki jiwa obyektif dalam kekuatan hidup
secara universal, ialah ketertiban dari Tao, tetapi kongkritisasi dari Tao ada pada
setiap individu adalah ekspresi yang paling tinggi dari pribadi.
B. ESTETIKA JEPANG
Jika berbicara mengenai estetika berarti berbicara mengenai nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Dalam seni, nilai adalah kualitas yang membangkitkan
apresiasi. Nilai berbeda dengan fiakta, sering semata-mata bersifat khayali. Nilai
diungkapkan dalam seni dengan tujuan untuk menghadirkan estetika.
Estetika secara sederhana adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana
ia terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Disamping itu terdapat
faktor khas yang membentuk estetika Jepang. Faktor yang membentuk nilai estetika
yang khas pada masyarakat Jepang adalah faktor agana, yaitu Zen Buddhisme.
Dalam ajaran Zen ditekankan nilai-nilai kesederhanaan dan juga kealamian
yang mengikuti garis alam serta tidak adanya unsur buatan. Pengaruh Zen dalam
kehidupan bangsa Jepang sangat kuat karena kesederhanaan ajarannya. Pandangan Zen
dalam memandang keindahan pun demikian, yaitu setiap orang harus masuk ke objek"
itu sendiri, ke inti realitas dan kemudian melihat dan merasakan estetika itu sendiri dari
dalam.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa Zen Buddhisme memberikan pengaruh
spiritual yang sangat besar dalam memahami estetika. Salah satu seni di Jepang yang
sangat dipengaruhi oleh ajaran Zen Buddhisme adalah seni keramik. Pembahasan lebih
lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris,
yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa.
Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosof seni. Dapat
disimpulkan bahwa nilai estetika merupakan hal-hal abstrak yang dapat
membangkitkan apresiasi terhadap karya seni. Keindahan merupakan hal abstrak yang
terkandung di dalam karya seni tersebut. Dengan kata lain, keindahan merupakan salah
satu dari nilai estetika yang terkandung dalam suatu karya seni.
Pandangan mengenai nilai estetika oleh suatu masyarakat berbeda dengan
masyarakat yang lain, Perbedaan ini pada umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor,
antara lain faktor agama, struktur sosial, perekonomian dan budaya. Faktor-faktor
tersebut juga mendukung terbentuknya nilai estetika yang bersifat khas pada suatu
masyarakat.
Pengaruh estetika Jepang tentulah tidak hanya ditemukan dalam wujud- wujud
alami saja, tetapi juga dalam wujud religiolitas dalam keagamaannya. Berikut akan kita
lihat bagaimana sebenarnya estetika Jepang dalam kehidupan religiolitasnya,
khususnya religiolitas yang dipengaruhi oleh ajaran Zen, karena ajaran Zenlah yang
sebagian besar mempengaruhi konsep estetika seni keramik Jepang. Istilah Zen
sebenarnya berasal dari bahasa China “C’han” yang secara harfiah bebarti “meditasi”.
Istilah ini mulai masuk dalam kebudayaan Jepang sejak abad 13. Secara lebih luas,
istilah Zen sering juga digambarkan sebagai berikut: Sebuah transmisi khusus di luar
kata-kata, Tidak ditemukan di atas kata-kata dan surat-surat, Secara langsung menunjuk
kepada pemikiran manusia, Memahamim ke dalam alam seseorang dan mencapai alam
Buddha. Gambaran klasik Zen yang terdiri dari 4 baris tersebut, menjelaskan bahwa
Zen adalah sebuah seni untuk melihat kodrat diri sendiri dan demikian menjadi Buddha.
Selain itu, Zen juga dijelaskan sebagai sebuah seni yang mampu meleluasakan
kekuatan-kekuatan alami, mencegah kelesuan manusia dan menyemangati manusia
menuju kebahagiaan. Setiap orang harus masuk ke “objek” itu sendiri, ke inti realitas
dan kemudian melihat dan merasakan estetika itu sendiri dari dalam. Berdasarkan
pemikiran Zen Buddhisme, untuk dapat memahami keindahan harus dapat memisahkan
antara keindahan alami dengan faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya
keindahan. Dengan demikian pengertian Zen Buddhisme mengenai nilai estetika
merupakan keindahan yang alami. Zen Buddhisme memberikan pengaruh spiritual
yang sangat besar dalam memahami estetika. Pengaruh pandangan Zen Buddhisme
tentang keindahan itu sendiri tampak jelas pada kebudayaan khususnya kesenian dalam
masyarakat Jepang. Pandangan Zen Buddhisme tentang estetika terkonsep dalam
estetika wabi-sabi yang mengekspresikan nilai-nilai ajarannya yang tidak terlepas dari
kewajaran dan kealamian. Adapun nilai-nilai estetika tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fukinsei
Fukinsei berarti suatu bentuk yang tidak teratur asimetris, tidak sempurna, dan
tidak terorganisir. Penggunaan fukinsei terdapat pada seni pertamanan, seni lukis,
ikebana, seni keramik, dan seni bonsai.
2. Kanso
Kanso berarti suatu bentuk yang sederhana, rapi tidak berantakan, dan segar.
Sederhana di sini berarti sederhana yang alami. Penggunaan Kanso terdapat dalam seni
pertamanan, seni lukis, seni bonsai, dan seni keramik.
3. Kouko
Kouko berarti suatu kedewasaan berdasarkan umur dan penampilan, dan
mampu melihat dari berbagai sisi. Kouko berhubungan dengan rasa menikmati
keindahan alam dengan seutuhnya. Penggunaan Kouko terdapat dalam kayu lapuk, batu
taman, pohon antik, batu keramat, lingkungan, dan cuaca.
4. Shizen
Shizen berarti suatu bentuk kealamian, spontan, dan melibatkan keseluruhan
unsur tanpa adanya paksaan. Penggunaan Shizen terdapat dalam seni keramik.
5. Yuugen
Yuugen berarti suatu bentuk kemisteriusan, ketidakberaturan alam, dan rasa
yang mendalam. Keindahan yugen muncul melalui sedikit kata-kata atau sapuan kuas
yang dapat menunjukkan sesuatu yang tidak terlihat dan tidak terkatakan. Penggunaan
yuugen antara lain terdapat dalam seni pertamanan, seni keramik, dan ikebana.
6. Datsuzoku
Datsuzoku berarti suatu kejutan, fantasi, dan kreativitas yang mengakibatkan
aturan. Penggunaan datsuzoku terdapat dalam penggunaan pasir dan batu pada seni
pertamanan yang menggambarkan kejutan tersendiri bagi orang yang melihatnya,
serta dalam seni keramik. 7.
7. Shibui
Shibui berarti suatu bentuk kesederhanaan, kemudahan, dan keindahan yang
seadanya. Penggunaan shibui terdapat dalam arsitektur, desain interior, seni
keramik, dan lain-lain.
8. Wabi
Wabi berasal dari kata wabu yang berarti memisahkan diri, dan wabishi yang
berarti sendirian, yang menunjukkan bagaimana menderitanya orang yang jatuh
dalam kondisi tidak menguntungkan. Jadi dapat dikatakan bahwa arti asli dari wabi
adalah suatu bentuk kesendirian atau mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat,
merenungkan arti kesengsaraan dan kebahagiaan.
9. Sabi
Sabi berarti suatu bentuk kesendirian, keterasingan, dan ketidakberaturan. Sabi
mengarah kepada objek individual dan keadaan lingkungan secara umum.
Penggunaan sabi terdapat dalam puisi, upacara minum teh, seni keramik, ikebana,
dan lain-lain.
10. Seijaku
Seijaku berarti suatu bentuk ketenangan dari kekuatan spiritual, kestabilan dan
ketentraman ke arah pencerahan. Seijaku berhubungan dengan suatu keadaan aktif
yang tenang tanpa ada gangguan.

Anda mungkin juga menyukai