Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebagaimana dalam sastra, periodisasi dalam estetika menimbulkan banyak


masalah, tidak jarang memicu terjadinya perbedaan pendapat. Salah satu alasannya
adalah kesulitan dalam menentukan ciri-ciri karya seorang tokoh. Dalam rangka
mengantisipasi perbedaan pendapat di atas, maka dalam periodisasi yang
dipertimbangkan adalah intensitas para tokoh dalam kaitannya dengan estetika itu
sendiri, khususnya estetika karya sastra. Adapun periodisasi estetika dibagi menjadi lima
tahap, yaitu:

1.1.1. Periode klasik


1.1.2. Periode kritik
1.1.3. Periode positivism
1.1.4. Periode modernisme
1.1.5. Periode postmodernisme

1.2. Rumusan Masalah

A. Bagaimana pekembangan estetika dari periode klasik hingga postmodernisme ?


B. Siapa saja tokoh-tokoh yang berperan dalam setiap periodisasi estetika ?

1.3. Tujuan

Makalah ini dibuat dengan tujuan supaya para pembaca dapat mengetahui
pekembangan estetika di setiap periode dengan baik.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Periode Klasik, Dogmatik, atau Objektivisme

Periode pertama disebut sebagai dogmatik karena secara apriori mereka percaya
terhadap kemampuan rasio, tanpa mengadakan pemahaman terlebih dahulu.

2.1.1. Sokrates

Pelopor teori estetika ini menemukan kesimpulan, pertama, ada benda-


benda yang indah, sesuai dengan sifat dan ciri-cirinya masing-masing. Kedua, ada
gagasan umum mengenai keindahan, yang menyebabkan benda yang
dimaksudkan menjadi indah. Tesis pertama menunjukkan bahwa keindahan
bukanlah sifat khas objek tertentu. Tesis kedua menunjukkan bahwa keindahan
adalah gagasan umum, yang dapat dipindah-pindahkan, memiliki bentuk dan nilai
yang berubah-ubah, sehingga apabila ia ada pada objek tertentu, maka objek
tersebut dikatakan indah. Objek itulah yang pada gilirannya berutang pada
keindahan sebab semata-mata atas dasar melekatnya keindahanlah maka objek
menjadi indah. Disinilah terjadinya turmpang tindih sekaligus kekacauan
pengertian antara benda tertentu yang indah dan keindahan sebagai kualitas yang
abstrak, sebagai the beautiful dan this beautiful. Keindahan, meskipun berbeda-
beda nilainya, tetapi secara keseluruhan berfungsi untuk memberikan kesenangan.

2.1.2. Plato

Menurut Plato, keindahan hendaknya didahului dengan cinta. Dalam


pengertiannya, cinta dilakukan dengan mengosongkan diri sehingga subjek benar-
benar dapat mencintai benda yang indah. Cinta inilah yang kemudian disebut
sebagai cinta platonis. Plato membedakan empat macam keindahan, yaitu,
keindahan jasmani, keindahan moral, keindahan akal, dan keindahan Ilahi, dan
keindahaan Mutlak. Tujuan manusia adalah mencari keindahaan terakhir ini. Oleh

2
karena itulah, menurut Plato semua keindahaan yang ada di dunia merupakan
imitasi, peneladanan, pembayangan, peniruan, dan mimesis.
Sesuai dengan judul bukunya Republica, yang ditulis untuk
menggambarkan masyarakat idamannya, teori Plato bersifat praktis pragmatis.
Dalam kaitannya dengan sastra, misalnya, secara hierarkis Plato menggambarkan
sastra pada tataran yang terendah di antara gagasan dan benda-benda. Menurut
Plato, karya seni bernilai rendah oleh karena karya seni justru menjauhkan kita
dari kenyataan yang sesungguhnya. Lebih dari itu, karya seni bukannya
mengevokasi rasio dan nalar, tetapi nafsu dan emosi.

2.1.3. Aristoteles

Berbeda dengan Plato, yang secara tegas mengatakan bahwa seni lebih renda dari
alam, sebab seni selalu merupakan tiruan alam, menurut Aristoteles, karya seni
berusaha untuk megatasi alam, sehinggga ada dua kemungkinan, tiruan akan lebih
jelek atau sebaliknya menjadi lebih baik.

Berbeda dengan Plato (Cassirer, 208-209), imitasu bagi Aristoteles


bernilai positif. Imitasi merupakan naluri fundamental, imitasi dan sifat meniru
justru merupakan kelebihan manusia dibandingkan dengan binatang, meniru
merupakan awal proses belajar. Pada gilirannya meniru merupakan sumber
kenikmatan. Aristoteles akhirnya menyimpulkan bahwa seni merupakan
kemampuan produktif yang justru dipimpin oleh akal. Seni pada gilirannya adalah
keselarasan bentuk.
Akhirnya, keindahan yang menurut Plato bersifat transendental, berada di
luar akal, bahkan di atas subjek dan di atas alam, menurut Aristoteles justru
berada dalam diri manusia. Berbeda dengan Plato, melalui kualitas estetis, karya
seni justru menyucikan manusia, sebagai kathartis, mengangkat manusia dari
nafsu yang rendah. Dalam proses kreatif, seniman tidak meniru atau menciptakan
kenyataan sebagaimana adanya, melainkan menciptakan dunianya sendiri.
Caranya, dengan menggabungkan antara kenyataan dan tiruan sehingga kita selalu
terkoinsidensi di antara kedua faktor. Dalam hubungan inilah diperlukan
interpretasi.
3
2.2. Periode Kritik

Periode kritik ditandai dengan fenomena berubahnya filsafat estetika dari


objektivisme ke arah subjektivisme. Kritisisme adalah filsafat yang menyelidiki batas –
batas rasio, sekaligus mempertentangkannya dengan dogmatis.

2.2.1. Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762)

Alexander adalah salah satu tokoh penting dalam periode ini, ia adalah
orang yang menemukan nama estetika yang merupakan ilmu pengetahuan yang
secara khusus berkaitan dengan estetika. Dalam bidang seni Baumgarten
berpendapat bahwa seni bersifat inderawi dan kebenarannya bersifat relatif, ada
kebenaran secara inderawi benar, namun secara intelektual tidak benar. Ada
kebenaran menurut intelektual logis, namun secara estetik tidak benar. (Surmardjo
2000:288).
Istilah bidang pengalaman, khususnya pengetahuan inderawi dikemukakan
dalam bukunya yang berjudul Aesthetica et Aestheticorum altera pars (1750).
Menurut Baumgarten, pengalaman memiliki struktur yang paling rinci dalam
wacana sastra, khususnya puisi, yang disebut sebagai wacana inderawi.
Bumgarten membedakan antara pengetahuan intelektual, sebagai pengetahuan
konkret, dengan pengetahuan inderawi yang disebut juga sebagai pengetahuan
abstrak. Baumgaretn adalah orang yang pertama kali membangun logika
imajinasi.

2.2.2. Immanuel Kant (1724-1804)

Immanuel Kant lahir di Koenigsberg, Jerman. Sejarah intelektualnya


dibagi menjadi tiga fase, yaitu: fase rasionalistis, sebagai pengaruh Newton dan
Wolff, fase pengaruh Hume, dan fase kritis. Kant dianggap sebagai tokoh terbesar
dalam sejarah filsafat modern, yang sekaligus menyatakan bahwa popularitas
istilah estetika dimulai di Jerman.

4
Kant menolak konsep objektivasi keindahan dengan alasan bahwa terjadi
rasa keindahan yang berbeda – beda terhadap objek yang sama. Kant berpendapat
bahwa pikiran memiliki indra rasa dengan empat ciri khas sebagai berikut, a)
Tidak memiliki kepentingan, tidak dipengaruhi oleh pertimbangan lain selain
aspek keindahannya. Bunga menjadi tidak indah apabila yang dikehendaki adalah
nilai jualnya. Kualitas estetis sebuah novel akan berkurang apabila pembaca
memperasamakan nasibnya dengan tokoh – tokoh novel. Ciri keindahan pertama
ini ditolak tegas oleh Johann Gottfried von Hender dengan anggapan karya seni
dipengaruhi oleh faktor ikllim, geografis, dan lingkungan sosial lainnya. b)
Universalisme, sebagai akibat tidak adanya kepentingan., maka ciri keindahan
berlaku bagi semua manusia. Ciri unversalimes berlaku sebelum adanya
pertimbangan lain. c) kemutlakan, setiap manusia memiliri rasa indah, yang
berbeda adalah kadar keindahannya. Ciri kemutlakan bukan berarti bahwa kita
menikmati keindahan yang sama terhadap suatu objek. d) Bertujuan, dalam setiap
benda ada hal tertentu yang merangsang timbulnya rasa indah, sehingga benda –
benda tersebut seolah – olah memiliki tujuan yang jelas. Menurut Kant,
imajinasilah yang mengantarkan kita pda rasa indah tersebut.
Kritisisme Kant merupakan usaha raksasa untuk memadukan antara
rasionalisme yang memberikan intensitas pada unsur – unsur apriori, unsur –
unsur yang tidak berkaitan dengan pengalaman, dengan empirisme yang
memberikan perhatian pada unsur – unsur aposteriori , unsur – unsur yang berasal
dari pengalaman. Dengan kata lain, kritisisme merupakan sintesa antara unsur –
unsur apriori (ide – ide bawaan Descrates) dengna unsur – unsur aposteriori
(pengalaman, kertas putih Locke). Kritisisme Kant memperdamaikan ketagangan
antara rasionalisme Eropa Kontinental dengan pengalaman inderawi Inggris.
Ambisi Kant adalah mengadakan ‘Revolusi Copernicus’, perubahan konsep
filsafat estetika dari dogmatisme ke kritisisme, dari objektivisme ke subjektivisme
atau realtivisme.

2.2.3. Schiller (1758 – 1805)

5
Pendapat yang menarik dari Schiller adalah seni yang dihubungkan
dengan naluri bermain dan estetika.Schiller menekankan bahwa bentuk
merupakan hal yang penting. Keindahan merupakan bentuk yang hidup dan seni
sejati merupakan imajinasi internal. Seni merupakan kegiatan imanen yang
bersifat internal, bukan kegiatan praktis, kegiatan individual, dan bukan pula
kegiatan logik. Kebenaran seni berawal dari munculnya kesadaran individu
mencakup perasaan, gagasan, dan penglihatan yang didasari oleh kesadaran
kemanusiaan yang universal.

2.2.4. Goerife Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831

Hegel adalah pendiri disiplin filsafat dan sejarah seni dalam institusi
pendidikan.Hegel berpendapat bahwa seluruh alam semesta adalah manifestasi
ide absolut (Geist). Keindahan adalah pancaran rasionalitas. Ide absolut melalui
indra. Seni, agama, dan filsafat adalah tingkat tertinggi perkembangan ide absolut.
Ide absolut mewakili dua gejala, pertama, jiwa, pikiran, dan roh. Kedua, kekuatan
– kekuatan di luar yang berpengaruh terhadap keberadaan manusia. Hegel
berpendapat bahwa rasio bukanlah rasio individual melainkan rasio subjek absolut
tersebut. Pada umumnya subjek absolut didefinisikan ke dalam dua pengertian,
yaitu Tuhan yang Maha Kuasa, dan tertib moral alam semesta. Realitas dalam
pengertian Hegel sama dengna ide, sedangkan ide sama dengan roh.
Hegel berpendapat bahwa seni mengandung kesadaran kolektif, oleh
karenanya seni bersifat sosial dan hostoris. Kualitas karya seni tidak dinilai
semata atas dasar keindahannya, melainkan bagaimana seni membangun
kesadaran masyarakat bahwa didalamnya terdapat nilai – nilai yang luhur.
Keindahan tidak bersumber dari alam melainkan ide – ide yang paling dihargai
oleh masyarakat. Dalil Hegel berbunyi ‘semua yang bersifat rill bersifat rasional,
sebaliknya semua yang rasional bersifat rill’.

2.2.5. Arthur Scopanhauer (1788 – 1860)

Arthur lahir di Danzig, Jerman. Arthur memperoleh banyak pengaruh dari


Kant tentang dunia sebagai fenomen dalam pikiran manusia. Menurut para filsuf
fenomenologi, suatu gejala tidak harus dapat diamati dengan indra, tetapi juga

6
secara rohani. Filsafat fenomenologi dengan demikian meonlak gagasan cartesian,
penalaran seabgai jembatan antara subjek dengna objek, Arthur, sebagaimana
Kant memandang Versetehen seabgai faktor utama yang menghubungkan antara
mansuia dengan objeknya. Keindahan menurut Arthut sebagai keinginan sublim.
Dalam konteks keindahan karya seni bila telah mencapai tingkat intelek akan
bebas dari keinginan diri sendiri. Karya seni tidak semata – mata lahir dari
pengalam empiris, tetapi merupakan jawaban dari segala sesuatu yang diresepsi,
diubah ke dalam bentuk karya seni. Karya seni adala jelndela untuk melihat dunia
secara berbeda. Seniman itu pun harus dibedakan menjadi dua macam, seniman
besar dan seniman kelas dua. Hanya seniman besar yang dapat meresepsi
keseluruhan gejala kultural secara benar dan jujur, sebaliknya seniman kelas dua
terbatas pada struktur permukaan. Karya seni yang sesungguhnya pada gilirannya
akan memberikan dua manfaat, pertama membeaskan manusia dari kemauan,
hawa nafsu, dan kejahatan, kedua, karya seni memberikan kita konsep dan
gagasan.
Kehendak menduduki posisi sentral dalam filsafat Schpenhauer. Gagasan
ini dikemukakan dalam salah satu bukunya yang berjudul Dunia sebagai
Kehendak dan Gagasan (Diew Welt als wille und Vorstellung)

2.3. Periode Postivisme


Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-
satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan
metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk
memperoleh pengetahuan.

Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga


komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi
yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya
bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara
pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai

7
pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-
kaidah korespondensi.

2.4. Aliran Modernisme

Modernisme dipandang sebagai gerakan penghapusan dan pembongkaranseni


yang telah berjalan beberapa dekade. Sejak akhir abad ke-18, gerakan modernisme telah
membongkar konsep-konsep seni rupa klasik. Bagi seniman modernis, konsep seni rupa
klasik bahwa seni rupa harus indah, seni rupa harus menghadirkan sensasi
menyenangkan mata, harus memiliki subjek penggambaran (subject matter), seni rupa
harus merupakan produk magis dari aura sang seniman dan seterusnya, selangkah demi
selangkah mulai dicampakkan. Seniman modernis mencampakkan keindahan sebagai
faktor ideal dalam seni rupa, misalnya terlihat pada penggambaran wanita secara kubistis
oleh Pablo Picasso pada lukisan ‘Les Demoiselles d’ Avignon’.
Paham aliran ini lebih menegaskan pentingnya penggunaan akal sebagai sarana
berpikir dalam menjelaskan masalah keindahan. Ciri penting yang menandai pemikiran
estetika aliran modernisme ini ialah sifatnya yangsangat rasional. Selain itu segala
sesuatu harus dapat dijelaskan dengan menggunakan data atau fakta yang bersifat
empiris. Aliran pemikiran estetika modern menggunakan pendekatan induktif dalam
melihat persoalan keindahan. Artinya suatu keindahan adalah hasil rampatan atau
generalisasi atas data atau fakta-fakta empirik yang diperoleh melalui suatu proses
pengamatan seperti layaknya yang terjadi dalam tradisi ilmu pengetahuan ilmiah. Dalam
paham ini keindahan didekati dan dijelaskan secara ilmiah dengan menggunakan ilmu-
ilmu pengetahuan ilmiah seperti ilmu Psikologi, Sosiologi, Antropologi, Sejarah dan
bahkan ada yang mendekatkan dan penjelasan ilmu Matematika. Implikasi
menggunakan pendekatan atau cara pandang keilmuan ini, maka konsep keindahan akan
menampakkan standar, sifat, nilai atau penjelasan yang berbeda sesuai dengan kebenaran
disiplin masing-masing ilmu tersebut.
Secara umum aliran estetika modernisme mengembangkan narasi-narasi besar
dalam bentuk isme-isme yang berkembang antara lain rasionalisme, kapitalisme,
individualisme, kubisme, realisme, abstrakisme, ekspresionisme, dan sebagainya yang
berdampak terjadinya dehumanisasi yaitu kehidupan dan kreativitas yang terkotak-kotak,
8
diplot-plot dan kaku seakan kebenaran itu bersifat tunggal hanya yang berada di wilayah
narasi-narasi besar ini. Ideologi modernisme bersemangat melakukan kooptasi yaitu
semacam upaya untuk mengarahkan segala sesuatu menurut standar atau ukuran yang
sudah ada atau baku (universalisme).
Adanya pandangan dualistic yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek
dan objek, spiritual-material, manusia-dunia dan sebagainya, telah mengakibatkan
objektivisasi alam secara berlebihan dan pengurasan alam semena-mena. Hal ini kita
tahu telah mengakibatkan krisis ekologis.
Pandangan modern yang bersifat objektivistis dan positivisme akhirnya cenderung
menjadikan manusia seolah objek juga, dan masyarakat pun direkayasa bagai mesin.
Akibat dari hal ini adalah bahwa masyarakat cenderung menjadi tidak manusiawi.
Dalam modernisme ilmu-ilmu positif-empiris mau tak mau menjadi standar
kebenaran tertinggi. Akibat dari hal ini adalah bahwa nilai-nilai moral dan religius
kehilangan wibawanya. Alhasil timbulah disorientasi moral-religius, yang pada
gilirannya mengakibatkan pula meningkatnya kekerasan, keterasingan, depresi mental
dan sebagainya.
Lebih lanjut Herbert marcuse menekankan masyarakat industri modern adalah
masyarakat yang tidak sehat karena masyarakat tersebut merupakan masyarakat yang
berdimensi satu; segala segi kehidupannya diarahkan pada satu tujuan saja yakni
keberlangsungan dan peningkatan sistem yang telah ada, yang tidak lain adalah sustem
kapitalisme. Masyarakat tersebut bersifat represif dan totaliter karena pengarahan pada
satu tujuan itu berarti menyingkirkan dan menindas dimensi-dimensi lain yang tidak
menyetujui atau tidak sesuai dengan sistem tersebut.

2.5. Periode Post Modernisme

Postmodernisme bila diartikan secara harafiah kata-katanya terdiri atas ‘Post’


yang artinya masa sesudah dan ‘Modern’ yang artinya Era Modern maka dapat
disimpulkan bahwa Post Modern adalah masa sesudah era Modern ( era diatas tahun
1960 an ) . Postmodernisme sendiri merupakan suatu aliran baru yang menentang segala
sesuatu kesempurnaan dari Modernisme, bahkan tak jarang menentang aturan yang ada
dan mencampurkan berbagai macam gaya .
9
berubah-ubah. Menurutnya, sebagai struktur dinamik, karya sastra selalu baerada
dalam tegangan antara penulis, pembaca, kenyataan, dan karya itu sendiri.
Intuisi adalah istilah untuk kemampuan memahami sesuatu tanpa melalui
penalaran rasional dan intelektualitas. Sepertinya pemahaman itu tiba-tiba saja
datangnya dari dunia lain dan diluar kesadaran. Misalnya saja, seseorang tiba-tiba saja
terdorong untuk membaca sebuah buku. Ternyata, didalam buku itu ditemukan
keterangan yang dicari-carinya selama bertahun-tahun. Atau misalnya, merasa bahwa ia
harus pergi ke sebuah tempat, ternyata disana ia menemukan penemuan besar yang
mengubah hidupnya. Namun tidak semua intuisi berasal dari kekuatan psi. Sebagian
intuisi bisa dijelaskan sebab musababnya.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang berada dalam jajaran


puncak bisnis atau kaum eksekutif memiliki skor lebih baik dalam eksperimen uji indera
keenam dibandingkan dengan orang-orang biasa. Penelitian itu sepertinya menegaskan
bahwa orang-orang sukses lebih banyak menerapkan kekuatan psi dalam kehidupan
keseharian mereka, halmana menunjang kesuksesan mereka. Salah satu bentuk
kemampuan psi yang sering muncul adalah kemampuan intuisi. Tidak jarang, intuisi
yang menentukan keputusan yang mereka ambil.

Sampai saat ini dipercaya bahwa intuisi yang baik dan tajam adalah syarat agar
seseorang dapat sukses dalam bisnis. Oleh karena itu tidak mengherankan jika banyak
buku-buku mengenai kiat-kiat sukses selalu memasukkan strategi mempertajam intuisi.

10
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dalam periodisasi estetika terbagi menjadi lima periode, yaitu:

A. Periode Klasik
B. Periode Kritik
C. Periode Positivisme
D. Periode Modernisme
E. Periode Postmodernisme

Dari kelima periode di atas, sebenarnya estetika mengalami perkembangan yang


cukup signifikan. Di balik perkembangan itu, terdapat peran-peran dari banyak tokoh di
masing-masing periode. Dan di setiap periode, memiliki ciri atau karakteristik masing-
masing.

11

Anda mungkin juga menyukai