Eksistensialisme
7.A. Pengertian Eksistensialisme
Eksistensi sendiri yaitu eks artinya keluar, sintesi artinya berdiri; jadi eksistensi
adalah berdiri sebagai diri sendiri. Menurut Heideggard “Das wesen des daseins liegh in
seiner Existenz” , da-sein adalah tersusun dari dad an sein. “da” disana. Sein berarti berada.
Jadi artinya manusia sadar dengan tempatnya. Menurut Sartre adanya manusia itu bukanlah
“etre” melainkan “ a etre” yang artinya manusia itu tidak hanya ada tetapi dia selamanya
harus dibentuk tidak henti-hentinya.
Eksistensi merupakan keadaan tertentu yang lebih khusus dari sesuatu. Apapun
yang bereksistesi tentu nyata ada. Sesuatu dikatakan bereksistensi jika sesuatu itu bersifat
public yang artinya objek itu sendiri harus dialami oleh banyak orang yang melakukan
pengamatan.
Seperti juga halnya, perasaan anda yang tertekan tidak bereksistensi, meskipun
perasaan itu nyata ada dan terjadi dalam diri anda. Apa yang bersifat public kiranya selalu
menempati ruang dan terjadi dalam waktu. Oleh karena itu eksistensi sering dikatakan
berkenaan dengan objek-objek yang merupakan kenyataan dalam ruang dan waktu.
7.B.Sejarah Eksistensialisme
1. Materialisme
Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti
halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama
dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya,
pada dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan
kata lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul
ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.
2. Idealisme
Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran;
menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh
manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.
Aliran filsafat eksistensilisme tidak lepas dari hasil pemikirn dari para filosof pada
masa itu. pelor dan tokoh-tokoh eksistensialisme diantaranya:
1. Soren Aabye Kiekegaard
Kierkegaard lahir di Kopenhagen, Denmark pada 5 Mei 1813, sebagai anak bungsu
dari tujuh bersaudara. Ia lahir ketika ayahnya berumur 56 tahun dan ibunya 44 tahun. Ia
mulai belajar teologi di Universitas Kopenhagen. Ia menentang keras pemikiran Hegel yang
mendominasi di Universitas tersebut. Dalam kurun waktu ini ia apatis terhadap agama, ingin
hidup bebas dari lingkungan aturan agama. Setelah mengalami masa krisis religius, ia
kembali menekuni ilmu pengetahuan dan menjadi Pastor Lutheran. Ayahnya, Michael
Pedersen Kierkegaard, merupakan pedagang grosir yang menjual kain, pakaian, dan
makanan. Setelah mengenyam pendidikan di sekolah putra yang prestisius di
Borgerdydskolen, ia melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Kopenhagen. Di sini
pria yang bernama lengkap Soren Aabye Kierkegaard ini mempelajari filsafat dan teologi.
Sejumlah tokoh seperti F.C. Sibbern, Poul Martin Moller, dan H.L. Martensen menjadi
gurunya di sana.
a. Tentang Manusia.
Kierkegaard membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu estetis, etis, dan religius.
Eksistensi etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga memperhatikan
dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya condong pada hal-hal
yang konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya yang sesuai dengan norma-
norma umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan dorongan seksual (estetis) dilakukan
melalui jalur perkawinan (etis).
Eksistensi religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah
menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak kepada yang absolut, yaitu
Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan
pemikiran logis manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani lewat iman religius.
c. Teodise
2. Karl Jaspers
Karl Jaspers lahir di kota Oldenburg, Jerman Utara, pada tahun 1883. Ayahnya
seorang ahli hukum dan direktur bank. Sejak sekolah menengah, ia sudah tertarik pada
filsafat, tetapi baru pada usia 38 tahun ia dapat sepenuhnya memenuhi panggilan filosofisnya.
Selama tiga semester ia belajar hukum di Universitas Heidelberg dan Munchen,
tetapi ia mengubah haluan dengan memilih studi kedokteran yang dijalankan di Berlin,
Gottingen dan Heidelberg. Di Universitas Heidelberg ia mengambil spesialiasi psikiatri.
Tetapi ia tetap tertarik dengan filsafat, antara lain melalui Max Weber, ahli ekonomi,
sejarawan dan sosiolog terkenal yang dikaguminya.
Karl Jaspers mencurahkan seluruh perhaStiannya pada filsafat mulai tahun 1921,
setelah ia menerima gelar profesorat filsafat di Heidelberg. Ada yang tak setuju dengan
pemberian gelar ini, sebab ia dianggap bukan filsuf profesional. Namun, setelah menerima
gelar penghargaan itu, ia menulis banyak sekali karya, antara lain karya besar yang terdiri
dari tiga jilid,Philosophie (1932). Jilid I berjudulWeltori enti er ung (Orientasi Dalam
Dunia), jilid II berjudulE xi st enz er hell ung (Penerangan Eksistensi), dan jilid III Met aphy
si k (Metafisika).
3. Martin Heidegger
Martin Hiedegger (lahir di Meßkirch, Jerman, 26 September 1889 ± meninggal 26
Mei 1976 pada umur 86 tahun) merupakan pemikir yang ekstrim, hanya beberapa filsuf saja
yang mengerti pemikiran Heidegger. Pemikiran Heidegger selalu tersusun secara sistematis.
Tujuan dari pemikiran Heidegger pada dasarnya berusaha untuk menjawab pengertian dari
‘being´. Heidegger berpendapat bahwa ‘Das Wesen des Daseins liegtinseiner Existenz´,
adanya keberadaan itu terletak pada eksistensinya. Di dalam realitasnya being (sein) tidak
sama sebagai ‘being´ ada pada umumnya, sesuatu yang mempunyai ada dan di dalam ada,
dan hal tersebut sangat bertolak belakang dengan ada sebagai pengada. Heidegger
menyebutbei ng sebagai eksistensi manusia, dan sejauh ini analisis tentang ‘being´ biasa
disebut sebagai eksistensi manusia (Dasein).Das ei n adalah tersusun darida dans ei n. ‘Da´
disana (there), ‘sein´ berarti berada (to be/being). Artinya manusia sadar dengan tempatnya.
4. Jean Paul Sartre
Eksistensialisme adalah suatu aliran yang menolak pemutlakan akal budi menolak
pemikiran-pemikiran abstrak murni eksistensialisme berupaya untuk memahami
manusia yang berada di dalam dunia, yakni manusia yang berada pada situasi
yang khusus dan unik. Blackham mengatakan bahwa eksistensialisme adalah
filsafat keberadaan. Suatu filsafat pembenaran dan penerimaan dan suatu
penolakan terhadap usaha rasionalisasi pemikiran yang abstrak tentang
kebenaran.
Umat manusia masa kini patut berterima kasih kepada filsof-filsof eksistensialis
yang dengan berani telah menyampaikan koreksi yang amat dibutuhkan terhadap
metode-metode yang memutlakkan objektivitas. Kebenaran tidak selamanya
bersifat objektif ilmiah. Kebenaran termasuk juga kebenaran religius, haruslah
bersifat personal. Dengan demikian, filsuf-filsuf eksistensialis telah memperluas
horizon kita dengan satu dimensi kebenaran yang telah terabaikan selama ini.
Benda-benda hadir di dunia setelah ditentukan lebih dulu identitas (esensi) nya,
sifatnyaêtre-en-soi. Dengan sifatnya yang seperti ini benda-benda tidak mempunyai potensi
di luar konsepsi awalnya. Sebuah komputer sebelum dirakit, telah dikonsepsikan sebagai alat
mempermudah pekerjaan manusia. Karena itu ia tergeletak begitu saja tanpa kesadaran, tak
punya potensi untuk melampui keadaannya yang sekarang; eksistensinya mampat karena
esensinya mendahului eksistensi. Sementara manusia, dengan Ada yang bersifatêtre-pour-soi,
eksistensi yang mendahului esensi, selalu punya kapasitas untuk melampaui dirinya saat ini,
dan menyadari Ada-nya. Misalnya seorang yang esensinya kita identifikasi sebagai pelajar,
ketika ia lulus, maka esensinya sebagai pelajar menjadi tidak relevan lagi. Atau bisa jadi,
esok hari ia kedapatan mencuri, maka ia kembali didefinisikan sebagai pencuri. Begitu
seterusnya, sampai ia mati.
Salah satu keinginan manusia adalah meng-Ada sebagaimana keberadaan benda-
benda. Mempunyai identitas dan esensi yang pasti. Celakanya, manusia memiliki kesadaran
yang tak dimiliki benda-benda, karenanya mustahil bagi manusia untuk mempertahankan
esensinya terus menerus. Cara beradanya benda tak punya kaitan dengan cara ber-Ada
manusia. Sementara manusia sebaliknya, karena sifatnya meniadakan terhadap hal lain, maka
ia senantiasa berusaha untuk meniadakan orang dan benda lain.
a. Tentang Manusia
Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri manusia. Manusia harus bersandar
pada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya.
Karena itu bagi Sartre, pandangan eksistensialis adalah suatu doktrin yang memungkinkan
kehidupan manusia. Eksistensialime mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan
mengandung keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia.
b. L'etre-pour-Soi
Konsep ini tidak mentaati prinsip identitas seperti halnya dengan etre-en-soi.
Diungkapkan di sini, bahwa manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya. Ia
bertanggung jawab atas fakta bahwa ia ada dan bertanggung jawab atas fakta bahwa ia
seorang pekerja. Kalau benda-benda itu tidak menyadari dirinya ada, tetapi manusia sadar
bahwa ia berada. Di dalam kesadaran ini, yaitu di dalam kesadaran yang disebut reflektif, ada
yang menyadari dan ada yang disadari, ada subyek dan ada obyek.
3. Mauvaise Foi
Konsep ini menjelaskan bahwa penyangkalan diri seseorang terutama faal
tidak mengakui dan tidak menerima bahwa seseorang mempunyai kebebasan memilih. Sikap
ini menghindar tanggung jawab dan takut membuat keputusan. Konsep ini juga mengandung
pengertian kurangnya penerimaan diri, teristimewa tidak menerima atau menipu diri sendiri
tentang apa yang benar mengenai diri sendiri.
4. Kebebasan
Dalam pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep kebebasan. Ia
mendefinisikan manusia sebagai kebebasan. Sartre memberikan perumusan bahwa pada
manusia itu eksistensi mendahului esensi, maksudnya setelah manusia mati baru dapat
diuraikan ciri-ciri seseorang. Perumusan ini menjadi intisari aliran eksistensialisme dari
Sartre. Kebebasan akan memberi rasa hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari
sekedar menjadi obyek. Kebebasan manusia tampak dalam rasa cemas. Maksudnya karena
setiap perbuatan saya adalah tanggung jawab saya sendiri. Bila seseorang menjauhi
kecemasan, maka berarti ia menjauhi kebebasan. Kebebasan merupakan suatu kemampuan
manusia dan merupakan sifat kehendak. Posisi kebebasan itu tidak dapat tertumpu pada
sesuatu yang lain, tetapi pada kebebasan itu sendiri.
Sartre mengakui pemikiran Mark lebih dekat dengan keadaan
masyarakat dan satu-satunya filsafat yang benar dan definitif. Filsafat Mark telah
memberikan kesatuan konkrit dan dialektis antara ide-ide dengan kenyataan pada masyarakat.
Mark telah menekankan konsep keberadaan sosial ketimbang kesadaran sosial. Dan bagi
Sartre, Mark adalah seorang pemikir yang berhasil meletakkan makna yang sebenarnya
tentang kehidupan dan sejarah. Meski demikian, Sartre tidak menganggap pemikiran Mark
sebagai akhir suatu pandangan filsafat, karena setelah cita-cita masyarakat tanpa kelas versi
Mark terbentuk, maka persoalan filsafat bukan lagi soal kebutuhan manusia akan makan dan
pakaian, tetapi persoalan filsafat mungkin dengan memunculkan tema yang baru, seperti soal
kualitas hidup manusia masa depan. Tetapi pemikiran Mark itu dinilai relevan untuk masa
kini.
5. Friedrich Nietzshe
Friedrich Nietzshe lahir di Rohen Jerman pada tanggal 15 Oktober tahun 1844,
lahir di Rocken, Prusia, Jerman Timur, di lingkungan keluarga Kristen yang taat.
Ayahnya seorang pendeta Lutheran terkemuka dengan garis kependetaan yang terwaris dari
turun temurun dari keluarga ayahnya. Kakeknya adalah pedeta Gereja Lutheran
yang menduduki jabatan cukup tinggi, sementara ibunya juga seorang penganut Kristen
yang taat.
Nietzcshe berpendapat bahwa kebenaran adalah hasil konstruksi atau
ciptaan manusia sendiri, yang berjiwa bagi mereka untuk melestarikan diri sebagai
spesis. Pengetahuan dan kebearan sebagai perangkat yang efektif untuk mencapai
tujuan bukan entitas yang trasenden dari manusia. Kebenaran ilmiah tidak mungkin
efektif karena hasil konstruksi manusia dan selalau upaya melayani kepentingan dan
tujuan tertentu manusia.
Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi
krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah
ia dapat tahan uji. Dengan demikian, filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis
yang lain. Ini berarti bahwa manusia yang berfilsafat senantiasa meninjau kembali
dirinya. Mungkin tidak secara tegas manusia itu meninjau dirinya, misalnya ia
mempersoalkan Tuhan atau dunia sekelilingnya, tetapi dalam hal seperti itu manusia
sesungguhnya masih mempersoalkan dirinya juga. Bahwa dalam filsafat eksistensi
manusia tegas-tegas dijadikan tema senteral, menunjukkan bahwa di tempat itu (Barat)
sedang berjangkit suatu krisis yang luar biasa hebatnya (Beerling, 1966: 211-12).
Bagaimana keadaan krisis itu? Uraikan berikut ini meninjau keadaan dunia pada
umumnya dan Eropa Barat pada khususnya yang merupakan tempat yang bertanggung
jawab atas timbulnya filsafat eksistensialisme.