Anda di halaman 1dari 17

7.

Eksistensialisme
7.A. Pengertian Eksistensialisme

Eksistensialisme yaitu suatu usaha untuk menjadikan masalah menjadi konkret


karena adanya manusia dan dunia. Menurut Sartre eksistensialisme yaitu filsafat yang
memberi penekanan eksistensi yang mendahului esensi. Memandang segala gejala yang ada
berpangkal kepada eksistensi. Dengan adanya eksistensi akan penuh dengan lukisan-lukisan
yang konkret dengan metode fenomenologi (cara keberadaan manusia).

Eksistensi sendiri yaitu eks artinya keluar, sintesi artinya berdiri; jadi eksistensi
adalah berdiri sebagai diri sendiri. Menurut Heideggard “Das wesen des daseins liegh in
seiner Existenz” , da-sein adalah tersusun dari dad an sein. “da” disana. Sein berarti berada.
Jadi artinya manusia sadar dengan tempatnya. Menurut Sartre adanya manusia itu bukanlah
“etre” melainkan “ a etre” yang artinya manusia itu tidak hanya ada tetapi dia selamanya
harus dibentuk tidak henti-hentinya.

Menurut Parkey (1998) aliran eksistensialisme terbagi menjadi 2, yaitu; bersifat


theistic(bertuhan) dan atheistic. Menurut eksistensialisme sendiri ada 3 jenis; tradisional,
spekulatif dan skeptif.

Eksistensialisme sangat berhubungan dengan pendidikan karena pusat pembicaraan


eksistensialisme adalah keberadaan manusia sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh
manusia. 

Eksistensi merupakan keadaan tertentu yang lebih khusus dari sesuatu. Apapun
yang bereksistesi tentu nyata ada. Sesuatu dikatakan bereksistensi jika sesuatu itu bersifat
public yang artinya objek itu sendiri harus dialami oleh banyak orang yang melakukan
pengamatan.
Seperti juga halnya, perasaan anda yang tertekan tidak bereksistensi, meskipun
perasaan itu nyata ada dan terjadi dalam diri anda. Apa yang bersifat public kiranya selalu
menempati  ruang dan terjadi dalam waktu. Oleh karena itu eksistensi sering dikatakan
berkenaan dengan objek-objek yang merupakan kenyataan dalam ruang dan waktu.
7.B.Sejarah Eksistensialisme

Filsafat eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat yang mengguncangkan


dunia walaupun filsafat ini tidak luar biasa dan akar-akarnya ternyata tidak dapat bertahan
dari berbagai kritik.
Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi
krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia
dapat tahan uji. Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang
lain. Begitu juga filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau merupakan reaksi atas
aliran filsafat yang telah ada sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia, yaitu:

1. Materialisme

Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti
halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama
dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya,
pada dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan
kata lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul
ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.

2. Idealisme

Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran;
menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh
manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.

3. Situasi dan Kondisi Dunia

Munculnya eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan kondisi di


dunia Eropa Barat yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu itu keadaan dunia
tidak menentu. Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa muak atau mual. Penampilan
manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu
yang disebut konvensi atau tradisi. Manusia berpura-pura, kebencian merajalela, nilai sedang
mengalami krisis, bahkan manusianya sendiri sedang mengalami krisis. Sementara itu agama
di sana dan di tempat lain dianggap tidak mampu memberikan makna pada kehidupan.
Sejarah munculnya eksistensialisme yaitu pertama istilah ini dirumuskan oleh ahli
filsafat Jerman yaitu Martin Heidegger (1889-1976).akar metodelogi eksistensialisme ini
berasal dari fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund husserl (1859-1938).
Sedangkan munculnya filsafat eksistensialisme ini dari 2 orang ahli filsafat Soeran
Kierkegaard dan Neitzche. Kierkegaard seorang filsafat Jerman (1813-1855) filsafatnya
untuk menjawab pertannyaan mengenai pertannyaan “Bagaimanakah aku menjadi seorang
individu?” dia juga menerima prinsip Socrates yang mengatakan bahwa” pengetahuan akan
diri adalah pengetahuan akan Tuhan” . Hal ini terjadi karena pada saat itu terjadi krisis
eksistensialisme (manusia melupakan individualitasnya), sehingga manusia bisa menjadi
manusia yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan dan komitmen pribadi dalam
kehidupan.
Neitzche, juga filsuf Jerman (1844-1900) yang tujuan filsafatnya menjawab
pertannyaan ” Bagaimana menjadi manusia unggul?” dan menurut dia jawabannya adalah
manusia bisa menjadi manusia unggul jika mempunyai keberaniaan untuk merealisasikan diri
secara jujur dan berani.
Kedua tokoh diatas muncul karena adanya perang dunia pertama dan situasi Eropa
pada saat itu, sehingga mereka tampil untuk menjawab pandangan tentang manusia seperti
yang sudah dijelaskan diatas.
Disamping itu penyebab munculnya filsafat eksistensialisme ini yaitu adanya reaksi
terhadap filsafat materialisme Marx yang berpedoman bahwa eksistensi manusia bukan
sesuatu yang primer dan idealisme Hegel yang bertolak bahwa eksistensi manusia sebagai
yang konkret dan subjektiv karena mereka hanya memandang manusia menurut materi atau
ide dalam rumusan dan system-sistem umum (kolektivitas social).

7.C. Tokoh-tokoh Eksistensialisme dan Pemikirannya

Aliran filsafat eksistensilisme tidak lepas dari hasil pemikirn dari para filosof pada
masa itu. pelor dan tokoh-tokoh eksistensialisme diantaranya:
1. Soren Aabye Kiekegaard

Kierkegaard lahir di Kopenhagen, Denmark pada 5 Mei 1813, sebagai anak bungsu
dari tujuh bersaudara. Ia lahir ketika ayahnya berumur 56 tahun dan ibunya 44 tahun. Ia
mulai belajar teologi di Universitas Kopenhagen. Ia menentang keras pemikiran Hegel yang
mendominasi di Universitas tersebut. Dalam kurun waktu ini ia apatis terhadap agama, ingin
hidup bebas dari lingkungan aturan agama. Setelah mengalami masa krisis religius, ia
kembali menekuni ilmu pengetahuan dan menjadi Pastor Lutheran. Ayahnya, Michael
Pedersen Kierkegaard, merupakan pedagang grosir yang menjual kain, pakaian, dan
makanan. Setelah mengenyam pendidikan di sekolah putra yang prestisius di
Borgerdydskolen, ia melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Kopenhagen. Di sini
pria yang bernama lengkap Soren Aabye Kierkegaard ini mempelajari filsafat dan teologi.
Sejumlah tokoh seperti F.C. Sibbern, Poul Martin Moller, dan H.L. Martensen menjadi
gurunya di sana.

Karya-karya Kierkegaard dapat dikelompokkan dalam dua periode. Periode pertama


ditulis antara 1841 dan 1845. Sebagian besar bernuansa filosofis dan estetis, beberapa ditulis
dalam nama samaran, Johannes Climacus. Karya-karya dalam periode ini ialahThe Conceptof
Irony with Constant Reference to Socrates   (1841), Either/Or( 1843), Fear
andTrembling(1842),The Concept of Dread(1844), Stageson Life's
Way(1844), Philosophical Fragments (1844), Concluding Unscientific Postscript to the
Philosophical Fragments (1846).Sedangkan buku-buku yang bernada kristiani adalah
Kjerlighedens Gjerninger (Work of Love) 1847, Christelige Taler (Christian Discourses)
1948, dan Sygdomen Til Doden (The Sickness into Death) tahun 1948).
Ide-ide pokok Soren Aabye Kierkegaard adalah sebagai berikut:

a. Tentang Manusia.

Kierkegaard menekankan posisi penting dalam diri seseorang yang


"bereksistensi" bersama dengan analisisnya tentang segi-segi kesadaran religius seperti iman,
pilihan, keputusasaan, dan ketakutan. Pandangan ini berpengaruh luas sesudah tahun 1918,
terutama di Jerman. Ia mempengaruhi sejumlah ahli teologi protestan dan filsuf-filsuf
eksistensial termasuk Barh, Heidegger, Jaspers, Marcel, dan Buber.

Alur pemikiran Kierkegaard mengajukan persoalan pokok dalam hidup;


apakah artinya menjadi seorang Kristiani? Dengan tidak memperlihatkan "wujud" secara
umum, ia memperhatikan eksistensi orang sebagai pribadi. Ia mengharapkan agar kita perlu
memahami agama Kristen yang otentik. Ia berpendapat bahwa musuh bagi agama Kristiani
ada dua, yaitu filsafat Hegel yang berpengaruh pada saat itu. Baginya, pemikiran abstrak,
baik dalam bentuk filsafat Descartes atau Hegel akan menghilangkan personalitas manusia
dan membawa kita kepada kedangkalan makna kehidupan. Dan yang kedua adalah konvensi,
khususnya adat kebiasaan jemaat gereja yang tidak berpikir secara mendalam, tidak
menghayati agamanya, yang akhirnya ia memiliki agama yang kosong dan tak mengerti apa
artinya menjadi seorang kristiani.

Kierkegaard bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan utama yang


diajukannya adalah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena ia (Hegel)
mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup
sebagai sesuatu "aku umum", tetapi sebagai "aku individual" yang sama sekali unik dan tidak
dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain. Kierkegaard sangat tidak suka pada usaha-usaha
untuk menjadikan agama Kristen sebagai agama yang masuk akal (reasonable) dan tidak
menyukai pembelaan terhadap agama Kristiani yang menggunakan alasan-alasan obyektif.
Penekanan Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya gereja-gerejanya, pendeta-
pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat mistis. Ia tidak menerima faktor
perantara seperti pendeta, sakramen, gereja yang menjadi penengah antara seorang yang
percaya dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
b. Pandangan tentang Eksistensi

Kierkegaard mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan


mengajukan pernyataan ini; bagi manusia, yang terpenting dan utama adalah keadaan dirinya
atau eksistensi dirinya. Eksistensi manusia bukanlah statis tetapi senantiasa menjadi, artinya
manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan kenyataan. Proses ini berubah, bila kini
sebagai sesuatu yang mungkin, maka besok akan berubah menjadi kenyataan. Karena
manusia itu memiliki kebebasan, maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada
manusia itu sendiri. Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebassannya. Kebebasan itu
muncul dalam aneka perbuatan manusia. Baginya bereksistensi berarti berani mengambil
keputusan yang menentukan bagi hidupnya. Konsekuensinya, jika kita tidak berani
mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka kita tidak bereksistensi dalam arti
sebenarnya.

Kierkegaard membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu estetis, etis, dan religius.

 Eksistensi estetis menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam lingkungan


dan masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati manusia
sepuasnya. Di sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang dapat
mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak mengenal
ukuran norma, tidak adanya keyakinan akan iman yang menentukan.

 Eksistensi etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga memperhatikan
dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya condong pada hal-hal
yang konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya yang sesuai dengan norma-
norma umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan dorongan seksual (estetis) dilakukan
melalui jalur perkawinan (etis).

 Eksistensi religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah
menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak kepada yang absolut, yaitu
Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan
pemikiran logis manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani lewat iman religius.
c. Teodise

Menurut Kierkegaard, antara Tuhan dengan alam, antara pencipta dan


makhluk terdapat jurang yang tidak terjembatani. Ia menjelaskan bahwa Tuhan itu berdiri di
atas segala ukuran sosial dan etika. Sedangkan manusia jauh berada di bawah-Nya. Keadaan
seperti ini menyebabkan manusia cemas akan eksistensinya. Tetapi dalam kecemasan ini,
seseorang itu dapat menghayati makna hidupnya. Jika seseorang itu berada dalam kecemasan,
maka akan membawa dirinya pada suatu keyakinan tertentu. Perilaku ini memperlihatkan
suatu loncatan yang dahsyat di mana manusia memeluk hal yang tidak lagi masuk akal.

Selanjutnya ia mengatakan bahwa agama Kristen itu mengambil langkah


yang dahsyat, langkah menuju yang tidak masuk akal. Di sana agama Kristen mulai.
Alangkah bodohnya orang yang ingin mempertahankan agama Kristiani. Tetapi menurut
Kierkegaard iman adalah segala-galanya. Bila seseorang itu memihak agama Kristen atau
memusuhinya atau memihak kebenaran atau memusuhinya. Agama Kristen itu bisa benar
secara mutlak tetapi bisa juga salah secara mutlak.

2. Karl Jaspers

Karl Jaspers lahir di kota Oldenburg, Jerman Utara, pada tahun 1883. Ayahnya
seorang ahli hukum dan direktur bank. Sejak sekolah menengah, ia sudah tertarik pada
filsafat, tetapi baru pada usia 38 tahun ia dapat sepenuhnya memenuhi panggilan filosofisnya.
Selama tiga semester ia belajar hukum di Universitas Heidelberg dan Munchen,
tetapi ia mengubah haluan dengan memilih studi kedokteran yang dijalankan di Berlin,
Gottingen dan Heidelberg. Di Universitas Heidelberg ia mengambil spesialiasi psikiatri.
Tetapi ia tetap tertarik dengan filsafat, antara lain melalui Max Weber, ahli ekonomi,
sejarawan dan sosiolog terkenal yang dikaguminya.

Jaspers menulis buku Allgemeine Psychopathologie (Psikologi umum) pada tahun


1910. Di buku ini, ia tidak melukiskan penyakit-penyakit, tetapi menyoroti manusia yang
sakit. Ia menggunakan metode deskripsi fenomenologis Husserl. Pada 1916 ia menjadi
profesor psikologi di Heidelberg. Lalu pada 1919 ia menulis buku Psychologie der
Weltanschauungen (Psikologi Tentang Pandangan-Pandangan Dunia). Di buku ini, ia
melukiskan berbagai sikap yang diambil manusia terhadap kehidupan. Dua buku ini ditulis
berdasarkan pengalamannya sebagai psikiater dan menunjukkan betapa kentalnya
ketertarikan Karl Jaspers pada filsafat.

Karl Jaspers mencurahkan seluruh perhaStiannya pada filsafat mulai tahun 1921,
setelah ia menerima gelar profesorat filsafat di Heidelberg. Ada yang tak setuju dengan
pemberian gelar ini, sebab ia dianggap bukan filsuf profesional. Namun, setelah menerima
gelar penghargaan itu, ia menulis banyak sekali karya, antara lain karya besar yang terdiri
dari tiga jilid,Philosophie (1932). Jilid I berjudulWeltori enti er ung (Orientasi Dalam
Dunia), jilid II berjudulE xi st enz er hell ung (Penerangan Eksistensi), dan jilid III Met aphy
si k (Metafisika).

3. Martin Heidegger
Martin Hiedegger (lahir di Meßkirch, Jerman, 26 September 1889 ± meninggal 26
Mei 1976 pada umur 86 tahun) merupakan pemikir yang ekstrim, hanya beberapa filsuf saja
yang mengerti pemikiran Heidegger. Pemikiran Heidegger selalu tersusun secara sistematis.
Tujuan dari pemikiran Heidegger pada dasarnya berusaha untuk menjawab pengertian dari
‘being´. Heidegger berpendapat bahwa ‘Das Wesen des Daseins liegtinseiner Existenz´,
adanya keberadaan itu terletak pada eksistensinya. Di dalam realitasnya being (sein) tidak
sama sebagai ‘being´ ada pada umumnya, sesuatu yang mempunyai ada dan di dalam ada,
dan hal tersebut sangat bertolak belakang dengan ada sebagai pengada. Heidegger
menyebutbei ng sebagai eksistensi manusia, dan sejauh ini analisis tentang ‘being´ biasa
disebut sebagai eksistensi manusia (Dasein).Das ei n adalah tersusun darida dans ei n. ‘Da´
disana (there), ‘sein´ berarti berada (to be/being). Artinya manusia sadar dengan tempatnya.

4. Jean Paul Sartre

Jean-Paul Sartre (lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905 ± meninggal di Paris, 15


April 1980 pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang
dianggap mengembangkan aliran eksistensialisme.Ia berasal dari keluarga Cendikiawan.
Ayahnya seorang Perwira Besar Angkatan Laut Prancis dan ibunya anak seorang guru besar
yang mengajar bahasa modern di Universitas Sorbone. Ketika ia masih kecil ayahnya
meninggal, terpaksa ia diasuh oleh ibunya dan dibesarkan oleh kakeknya. Di bawah pengaruh
kakeknya ini, Sartre dididik secara mendalam untuk menekuni dunia ilmu pengetahuan dan
bakat-bakatnya dikembangkan secara maksimal. Pengalaman masa kecil ini memberi ia
banyak inspirasi. Diantaranya buku Les Most (kata-kata) berisi nada negatif terhadap hidup
masa kanak-kanaknya.
Meski Sartre berasal dari keluarga Kristen protestan dan ia sendiri dibaptiskan
menjadi katolik, namun dalam perkembangan pemikirannya ia justru tidak menganut agama
apapun. Ia atheis. Ia memngaku sama sekali tidak percaya lagi akan adanya Tuhan dan sikap
ini muncul semenjak ia berusia 12 tahun. Bagi dia, dunia sastra adalah agama baru, karena itu
ia menginginkan untuk menghabiskan hidupnya sebagai pengarang.
Sartre tidak pernah kawin secara resmi, ia hidup bersama Simone de Beauvoir tanpa
nikah. Mereka menolak menikah karena bagi mereka pernikahan itu dianggap suatu lembaga
borjuis saja. Dalam perkembangan pemikirannya, ia berhaluan kiri. Sasaran kritiknya adalah
kaum kapitalis dan tradisi masyarakat pada masa itu. Ia juga mengeritik idealisme dan para
pemikir yang memuja idealisme.
Pada tahun 1931 ia mengajar sebagai guru filsafat di Laon dan Paris. Pada periode
ini ia bertemu dengan Husserl. Semenjak pertemuan itu ia mendalami fenomenologi dalam
mengungkapkan filsafat eksistensialisme-nya. Ia menjadi mashur melalui karya-karya novel
dan tulisan dramanya. Dalam bidang filsafat, karyanya yang sangat terkenal adalah Being ang
Nithingness, buku ini membicarakan tentang alam dan bentuk eksistensinya. Eksistensialisme
dan Humanism yang berisi tentang manusia. Ia juga termasuk tokoh yang membantu
gerakan-gerakan haluan kiri dan pembela kebebasan manusia. Dengan lantang ia mengatakan
bahwa manusia tidak mempunyai sandaran keagamaan atau tidak dapat mengendalikan pada
kekuatan yang ada di luar dirinya, manusia harus mengandalkan kekuatan yang ada dalam
dirinya. Karya-karya yang lain adalah Nausea, No Exit, The Files, dan The Wall.
Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L'existence précède
l'essence). Manusia tidak memiliki apa- apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak
lebih hasil kalkulasi dari komitmen- komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre
selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L'homme est condamné à
être libre).
Eksistensi mendahului esensi´, begitulah selalu filosof-filosof eksistensialis
berkata, ´dan cara manusia bereksistensi berbeda dengan cara beradanya benda-benda.
Karenanya masalah “Ada” merupakan salah satu tema terpenting dalam tradisi
eksistensialisme. Bagi Sartre, manusia menyadari Ada-nya dengan meniadakan
(mengobjekkan) yang lainnya. Dari Edmund Husserl ia belajar tentang intensionalitas, yakni
kesadaran manusia yang tidak pernah timbul dengan sendirinya, namun selalu merupakan
³kesadaran akan sesuatu´. Baik kita ajukan contoh: Saat ini saya menyadari tengah duduk
dalam sebuah forum diskusi, bersama dengan orang lain, serta benda-benda lain, sekaligus
menyadari ahwa saya berbeda dengan orang lain, dan juga bukan sekedar benda. Saya
meniadakan  (mengobjekkan orang dan benda lain). Begitulah kira-kira titik tolak filsafat
Sartre.

Berikut ini dijelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan ungkapan


eksistensi mendahului esensi (existence precedes essence) itu.

Eksistensialisme adalah suatu aliran yang menolak pemutlakan akal budi menolak
pemikiran-pemikiran abstrak murni eksistensialisme berupaya untuk memahami
manusia yang berada di dalam dunia, yakni manusia yang berada pada situasi
yang khusus dan unik. Blackham mengatakan bahwa eksistensialisme adalah
filsafat keberadaan. Suatu filsafat pembenaran dan penerimaan dan suatu
penolakan terhadap usaha rasionalisasi pemikiran yang abstrak tentang
kebenaran.

Metode yang digunakan oleh para pemikir eksistensialis disebut metode


eksestensial. Metode ini sebenarnya ada bermacam-macam. Namun pada
dasarnya metode ini dipengaruhi oleh Kickegaard Bapak eksistensialisme.
Pemikiran beliau merupakan reaksi yang terutama tertuju kepada rasioanlisme
idealistis Hegel yang dianggap telah mati dan tidak berguna lagi.

Pada umumnya pemikir-pemikir Eksistensialis mengakui bahwa ada kebenaran


ilmiah yang objektf, tetapi tidak begitu penting. Mereka berpendapat bahwa
yang paling penting adalah kebenaran subjektif kickegaard menyatakan bahwa
“Kebenaran adalah subjektivitas” (truth is subjectivity). Tentu saja itu tidak
berarti setiap keyakinan subjektif adalah kebenaran. Akan tetapi, para filsuf
eksistensi menegakkan bahwa kebenaran haruslah senantiasa bersifat personal
dan tidak semata-mata propossional.

Para pemikir Eksistensialis pada umumnya berpendapat bahwa tidak seorangpun


dapat meraih kebenaran hanya dengan menjadi penonton atau hanya dengan
melakukan observasi. Selain harus berperan serta dalam kehidupan itu sendiri.
Hal itu yang menjadi titik berangkat eksistensial. Kebenaran hanya dapat
ditemukan di dalam hal yang konkrit dan bahkan di dalam yang abstrak.
Kebenaran hanya dapat dijumpai di dalam yang eksistensial dan bukan secara
rasional.

Secara umum dapat dikatakan bahwa metode eksistensial merupakan kebalikan


dari metode ilmiah tradisional dalam hal sebagai berikut. Mereka yang
menggunakan metode ilmiah tradisional mengkonsentrasikan pandangan pada
apa yagn sedang berada di dalam suatu tabung percobaan. Adapun para pemikir
eksistensialis dengan metode eksistensial mereka mengkonstrasikan pandangan
mereka pada manusia yang berada di luar tabung percobaan. Dengan dmeikian
Suwectivitas lebih berguna dari pada objektivitas, dan nilai lebih perlu dari pada
fakta, memang harus diakui bahwa justru itulah yang terlupakan dalam berbagai
metode lain yang telah dikenal selam itu, yang terlalu memutlakkan objektivitas.

Umat manusia masa kini patut berterima kasih kepada filsof-filsof eksistensialis
yang dengan berani telah menyampaikan koreksi yang amat dibutuhkan terhadap
metode-metode yang memutlakkan objektivitas. Kebenaran tidak selamanya
bersifat objektif ilmiah. Kebenaran termasuk juga kebenaran religius, haruslah
bersifat personal. Dengan demikian, filsuf-filsuf eksistensialis telah memperluas
horizon kita dengan satu dimensi kebenaran yang telah terabaikan selama ini.

Untuk memperjelas masalah ini,ia menciptakan dua buah istilah;être-en-


soi, danêtre-pour-soi. Dengan ini pula ia membedakan cara ber-Adanya manusia dengan cara
beradanya benda-benda.

Benda-benda hadir di dunia setelah ditentukan lebih dulu identitas (esensi) nya,
sifatnyaêtre-en-soi. Dengan sifatnya yang seperti ini benda-benda tidak mempunyai potensi
di luar konsepsi awalnya. Sebuah komputer sebelum dirakit, telah dikonsepsikan sebagai alat
mempermudah pekerjaan manusia. Karena itu ia tergeletak begitu saja tanpa kesadaran, tak
punya potensi untuk melampui keadaannya yang sekarang; eksistensinya mampat karena
esensinya mendahului eksistensi. Sementara manusia, dengan Ada yang bersifatêtre-pour-soi,
eksistensi yang mendahului esensi, selalu punya kapasitas untuk melampaui dirinya saat ini,
dan menyadari Ada-nya. Misalnya seorang yang esensinya kita identifikasi sebagai pelajar,
ketika ia lulus, maka esensinya sebagai pelajar menjadi tidak relevan lagi. Atau bisa jadi,
esok hari ia kedapatan mencuri, maka ia kembali didefinisikan sebagai pencuri. Begitu
seterusnya, sampai ia mati.
Salah satu keinginan manusia adalah meng-Ada sebagaimana keberadaan benda-
benda. Mempunyai identitas dan esensi yang pasti. Celakanya, manusia memiliki kesadaran
yang tak dimiliki benda-benda, karenanya mustahil bagi manusia untuk mempertahankan
esensinya terus menerus. Cara beradanya benda tak punya kaitan dengan cara ber-Ada
manusia. Sementara manusia sebaliknya, karena sifatnya meniadakan terhadap hal lain, maka
ia senantiasa berusaha untuk meniadakan orang dan benda lain.

Ide-ide pokok Sartre adalah sebagai berikut:

a. Tentang Manusia

Bagi Sartre, manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk


dirinya, dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak
mengandung arti dan bahkan mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang jelas, manusia dapat
hidup dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan keberanian, dan dia dapat
membentuk suatu masyarakat manusia. Dalam novel semi-otobiografi La Nausee (1938) dan
essei L'Eksistensialisme est un Humanism (1946), ia menyatakan keprihatinan fundamental
terhadap eksistensi manusiawi dan kebebasan kehendak. Menurutnya, manusia tidak
memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan sepertinya, dari kodratnya manusia bebas dalam pilihan-
pilihan atas tindakannya atau memikul beban tanggung jawab.

Sartre mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan. Manusia


tak ada hubungannya dengan kekuatan di luar dirinya. Ia mengambil kesimpulan lebih lanjut,
yakni memandang manusia sebagai kurang memiliki watak yang semestinya. Ia harus
membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka dari itu
"tak ada watak manusia", oleh karena tak ada Tuhan yang memiliki konsepsi tentang
manusia. Manusia hanya sekedar ada. Bukan karena ia itu sekedar apa yang ia konsepsikan
setelah ada---seperti apa yang ia inginkan sesudah meloncat ke dalam eksistensi".

Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri manusia. Manusia harus bersandar
pada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya.
Karena itu bagi Sartre, pandangan eksistensialis adalah suatu doktrin yang memungkinkan
kehidupan manusia. Eksistensialime mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan
mengandung keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia.

2. Dua Tipe Ada: L'etre-pour-Soi dan L'etre-en-Soi

Pemikiran Sartre tentang 'ada' tertuang dalam karya monumentalnya


L'etre et Le neant (Keberadaan dan Ketiadaan). Menurut dia, ada dua macam "etre"
atau :'ada', yaitu L'etre-pour-Soi (ada-untuk dirinya sendiri) dan L'etre-en-Soi (ada-dalam
dirinya sendiri).

a. L'etre-en-Soi (being in itself/ada dalam dirinya sendiri)


L'etre-en-Soi sama sekali identik dengan dirinya. L'etre-en-Soi tidak
aktif, tidak juga paisf, tidak afirmatif dan juga tidak negatif: kategori-kategori macam itu
hanya mempunyai arti dalam kaitan dengan amnesia. L'etre-en-Soi tidak mempunyai masa
silam, masa depan: tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. L'etre-en-Soi sama sekali
kontingen, yang berarti ia ada begitu saja, tanpa dasar, tanpa diciptakan, tanpa diturunkan,
dari sesuatu yang lain. Jadi ada dalam dirinya sendiri. Istilah L'etre-en-Soi ini untuk
menunjukkan eksistensi di dalamnya seseorang bertindak sebagai sesuatu yang ada begitu
saja, tanpa menyadari bahwa pilihan otentik, bebas, terbuka bagi semua tindakan seseorang.
Kualitas ada-dalam dirinya sendiri adalah milik semua benda dan manusia sejauh mereka
bertindak sebagai obyek yang diam.

b. L'etre-pour-Soi
Konsep ini tidak mentaati prinsip identitas seperti halnya dengan etre-en-soi.
Diungkapkan di sini, bahwa manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya. Ia
bertanggung jawab atas fakta bahwa ia ada dan bertanggung jawab atas fakta bahwa ia
seorang pekerja. Kalau benda-benda itu tidak menyadari dirinya ada, tetapi manusia sadar
bahwa ia berada. Di dalam kesadaran ini, yaitu di dalam kesadaran yang disebut reflektif, ada
yang menyadari dan ada yang disadari, ada subyek dan ada obyek.
3. Mauvaise Foi
Konsep ini menjelaskan bahwa penyangkalan diri seseorang terutama faal
tidak mengakui dan tidak menerima bahwa seseorang mempunyai kebebasan memilih. Sikap
ini menghindar tanggung jawab dan takut membuat keputusan. Konsep ini juga mengandung
pengertian kurangnya penerimaan diri, teristimewa tidak menerima atau menipu diri sendiri
tentang apa yang benar mengenai diri sendiri.

4. Kebebasan
Dalam pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep kebebasan. Ia
mendefinisikan manusia sebagai kebebasan. Sartre memberikan perumusan bahwa pada
manusia itu eksistensi mendahului esensi, maksudnya setelah manusia mati baru dapat
diuraikan ciri-ciri seseorang. Perumusan ini menjadi intisari aliran eksistensialisme dari
Sartre. Kebebasan akan memberi rasa hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari
sekedar menjadi obyek. Kebebasan manusia tampak dalam rasa cemas. Maksudnya karena
setiap perbuatan saya adalah tanggung jawab saya sendiri. Bila seseorang menjauhi
kecemasan, maka berarti ia menjauhi kebebasan. Kebebasan merupakan suatu kemampuan
manusia dan merupakan sifat kehendak. Posisi kebebasan itu tidak dapat tertumpu pada
sesuatu yang lain, tetapi pada kebebasan itu sendiri.
Sartre mengakui pemikiran Mark lebih dekat dengan keadaan
masyarakat dan satu-satunya filsafat yang benar dan definitif. Filsafat Mark telah
memberikan kesatuan konkrit dan dialektis antara ide-ide dengan kenyataan pada masyarakat.
Mark telah menekankan konsep keberadaan sosial ketimbang kesadaran sosial. Dan bagi
Sartre, Mark adalah seorang pemikir yang berhasil meletakkan makna yang sebenarnya
tentang kehidupan dan sejarah. Meski demikian, Sartre tidak menganggap pemikiran Mark
sebagai akhir suatu pandangan filsafat, karena setelah cita-cita masyarakat tanpa kelas versi
Mark terbentuk, maka persoalan filsafat bukan lagi soal kebutuhan manusia akan makan dan
pakaian, tetapi persoalan filsafat mungkin dengan memunculkan tema yang baru, seperti soal
kualitas hidup manusia masa depan. Tetapi pemikiran Mark itu dinilai relevan untuk masa
kini.
5. Friedrich Nietzshe
Friedrich Nietzshe lahir di Rohen Jerman pada tanggal 15 Oktober tahun 1844,
lahir di Rocken, Prusia, Jerman Timur, di lingkungan keluarga Kristen yang taat.
Ayahnya seorang pendeta Lutheran terkemuka dengan garis kependetaan yang terwaris dari
turun temurun dari keluarga ayahnya. Kakeknya adalah pedeta Gereja Lutheran
yang menduduki jabatan cukup tinggi, sementara ibunya juga seorang penganut Kristen
yang taat.
Nietzcshe berpendapat bahwa kebenaran adalah hasil konstruksi atau
ciptaan manusia sendiri, yang berjiwa bagi mereka untuk melestarikan diri sebagai
spesis. Pengetahuan dan kebearan sebagai perangkat yang efektif untuk mencapai
tujuan bukan entitas yang trasenden dari manusia. Kebenaran ilmiah tidak mungkin
efektif karena hasil konstruksi manusia dan selalau upaya melayani kepentingan dan
tujuan tertentu manusia.

7.D. Ciri – ciri Eksistensialisme

 Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan


masyarakat modern, khususnya idealisme hegel.
 Eksistensialisme adalah suatu proses atas nama individualisme terhadap konsep –
konsep, filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkret.
 Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa
kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi serta gerakan masa.
 Eksistensialisme merupakan proses terhadap gerakan totaliter baik gerakan fasis,
komunis yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di dalam
kolektif atau massa.
 Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek manusia di dunia.
 Eksistensialisme menentukan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman
kesadaran yang dalam dan langsung.

7.E. Implikasi dalam Pendidikan

Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi
krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah
ia dapat tahan uji. Dengan demikian, filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis
yang lain. Ini berarti bahwa manusia yang berfilsafat senantiasa meninjau kembali
dirinya. Mungkin tidak secara tegas manusia itu meninjau dirinya, misalnya ia
mempersoalkan Tuhan atau dunia sekelilingnya, tetapi dalam hal seperti itu manusia
sesungguhnya masih mempersoalkan dirinya juga. Bahwa dalam filsafat eksistensi
manusia tegas-tegas dijadikan tema senteral, menunjukkan bahwa di tempat itu (Barat)
sedang berjangkit suatu krisis yang luar biasa hebatnya (Beerling, 1966: 211-12).
Bagaimana keadaan krisis itu? Uraikan berikut ini meninjau keadaan dunia pada
umumnya dan Eropa Barat pada khususnya yang merupakan tempat yang bertanggung
jawab atas timbulnya filsafat eksistensialisme.

Sifat materialisme ternyata merupakan pendorong lahirnya eksistensialisme.


Yang dimaksud dengan eksistensi ialah cara orang berada di dunia. Kata berada pada
manusia tidak sama dengan beradanya pohon atau batu. Untuk menjelaskan arti kata
berada bagi manusia, aliran eksistensialisme mula-mula menghantam materialisme.

Eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain


tidaklah sama. Manusia berada di dunia, sapi dan pohon juga. Akan tetapi, cara
beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia, ia menghadapi dunia,
menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon,
batu, dan salah satu diantaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Apa
arti semua ini? Artinya ialah bahwa manusia adalah subyek. Subyek artinya yang
menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya disebut obyek.

Eksistenslialisme juga lahir sebagai reaksi terhadap idealisme. Materialisme


dan idealisme adalah dua pandangan filsafat tentang hakikat yang eksterm. Kedua-
duanya berisi benih-benih kebenaran, tetapi kedua-duanya juga salah. Eksistensialisme
ingin mencari jalan keluar dari kedua ekstremitas itu.

Anda mungkin juga menyukai