Anda di halaman 1dari 21

Pragmatik

A. Pengertian Pragmatik
Istilah pragmatik berasal dari pragmatika diperkenalkan oleh Moris (1938), ketika
membuat sistematika ajaran Pierce tentang semiotika (ilmu tanda). Pragmatika adalah
ilmu tentang pragmatik yakni hubungan antara tanda dan penggunanya. Semiotika
memiliki tiga cabang, yakni semantik, seintaktika/syntaktic, dan pragmatika. Pragmatik
adalah language in use, studi terhadap makna ujaran dalam situasi tertentu. sifat-sifat
bahasa dapat dimengerti melalui pragmatik, yakni bagaimana bahasa digunakan dalam
komunikasi. Kata pragmatik berasal dari bahasa Jerman pragmatisch yang diusulkan oleh
seorang filsuf Jerman, Imanuel Kant. Pragmatisch dari pramaticus (bahasa Latin)
bermakna “pandai berdagang‟ atau di dalam bahasa Yunani pragmatikos dari pragma
artinya “perbuatan‟ dan prasein “berbuat‟ (Djajasudarma, 2012: 60). Pragmatik adalah
studi tentang makna dalam hubungan dengan situasi-situasi ujaran (Speech Situation), ini
berartibahwa untuk menganalisis makna melalui pendekatan pragmatik diperlukan situasi
tutur yang menjadi konteks tuturan.. Oleh karena itu apa yang dikaji dalam pragmatik
merujuk kepada kajian makna dalam interaksiantara seorang penutur dengan penutur
yang lain

B. Perbedaan Pragmatik dengan Sintakis dan Semantik


1. Perbedaan Pragmatik dengan Sintaksis
Ellis (dalam Littlejohn 2002) menyampaikan perbedaan antara kajian atau
pedoman dalam pragmatik dengan sintaksis , yaitu dilihat dari segi makna,
struktur, konteks, fragmentasi-integrasi, komprehensi, pemikiran, tingkat
keterlibatan, level perencanaan, dan literatur atau oral.
Dari segi makna, Pragmatik memandang makna ada pada individu. Sedangkan
dalam sintaksis , aturan yang lengkap dan formal tidak memberi kesempatan
untuk menegosiasikan makna dalam pesan yang disampaikan karena makna ada
dalam kata atau teks itu sendiri
Dari segi struktur, pragmatik bersifat implisit, sedangkan sintaktsis bersifat
eksplisit ada struktur tentang kata, frasa, klausa dan kalimat secara eksplisit, jelas.
Dari segi konteks, dalam pragmatik, makna tanda, kata, kalimat, pesan selalu
dikaitkan dengan konteks (situasi), High context yang dimaksud terkait satu kata
yang dapat memiliki banyak arti atau makna, tergantung situasi atau konteks
pemakaiannya. Sedangkan sintaksis bersifat low-context yang artinya kata-kata
mempunyai makna yang diterima dan dipahami seragam secara umum.
Dari segi fragmentasi-integrasi, Pragmatik terfragmentas artinya antar subjek,
predikat dan objek tidak terintegrasi sedangkan dalam sintaksis , hubungan dalam
kalimat antarsubjek-predikat-objek terintergrasi, teratur.
Dari segi komprehensi, pragmatik menghubungkan bahasa dengan pengalaman
dimana dalam percakapan kelompok tertentu yang cenderung mempunyai
pengetahuan dan pengalaman yang sama. Sedangkan sintaksis mengikat leksikal
internal (kohesi) dimana orang memahami tanda berdasarkan pengetahuannya
tentang gramatika atau tata bahasa, huruf dengan huruf, kata dengan kata (kata
benda, kata kerja, keterangan), kalimat dengan kalimat.
Dari segi pemikiran, dalam pragmatik tanda atau simbol berhubungan secara
subjektif dengan sedangkan dalam sintaksis, tanda atau simbol berhubungan
secara logis dengan objek referennya sehingga dapat dimengerti oleh orang pada
umumnya..Dari segi tingkat keterlibatan, dalam pragmatik, keterlibatan emosional
penuh, misalnya dalam percakapan antara orang tua dengan anaknya atau
percakapan dua orang sahabat sedangkan dalam sintaksis , lebih sering tanpa rasa,
kurang melibatkan emosi, misalnya ketika membaca buku teks.
Dari segi level perencanaan, dalam pragmatik jawaban atas pertanyaan kadang
tidak terduga karena tidak terlalu direncanakan sedangkan dalam Sintaksis , harus
direncanakan atau diatur dengan baik, susunan kalimatnya
Dari segi literal atau oral, dalam pragmatik cenderung oral artinya cenderung
digunakan dalam praktik percakapan sehari-hari. Sedangkan Sintaktsis cenderung
literalartinya digunakan dalam bahasa tulis, walaupun terkadang digunakan juga
dalam bahasa lisan resmi, semisal dalam pidato kenegaraan (ini pun biasanya
berdasarkan teks tertulis).

2. Perbedaan Pragmatik dengan Semantik


Pragmatik mengkaji makna di luar jangkauan semantik.
Sifat kajian dalam pragmatik adalah triadic relation (hubungan tiga arah), yaitu
melibatkan bentuk, makna, dan konteks, sedangkan semantik adalah diadic
relation (hubungan dua arah), hanya melibatkan bentuk dan makna.
Pragmatik bersifat terikat dengan konteks (dependent context). Sedangkan
semantik merupakan bidang yang bersifat bebas konteks (independentcontext)
Dalam pragmatik, objek kajiannya adalah tuturan (utterance) atau maksud.
Sedangkan semantik objek kajiannya adalah makna kalimat.
Pragmatik dikendalikan oleh prinsip komunikasi sedangkan semantik diatur oleh
kaidah kebahasaan (tata bahasa). Jadi, kajian makna dalam semantik lebih objektif
daripada pragmatik, karena hanya memperhatikan makna tersebut sesuai dengan
makna yang terdapat dalam leksemnya. Kajian makna pragmatik dapat dikatakan
lebih subjektif, karena mengandung konteks/memperhatikan konteks..
Pragmatik bersifat fungsional sedangkan semantik bersifat formal (dengan
memfokuskan bentuk: fonem, morfem, kata, klausa, kalimat).
Pragmatik bersifat interpersonal, maksudnya yaitu makna yang dikaji dapat
dipahami/ditafsirkan oleh orang banyak, tidak lagi bersifat individu, karena sudah
menggunakan konteks, sedangkan semantik bersifat ideasional, maksudnya yaitu
makna yang ditangkap masih bersifat individu dan masih berupa ide, karena
belum dipergunakan dalam berkomunikasi.
C. Bidang Kajian Pragmatik
1. Deiksis
Menurut Bambang Kaswanti Purwo (1984: 1) deiksis adalah sebuah kata yang
memiliki referen, acuan, atau rujukan yang berganti-ganti atau berpindah-pindah
bergantung pada orang yang menjadi pembicara atau penutur, tempat, dan waktu
berlangsungnya pembicaraan itu atau penuturan itu.
Dalam pragmatik, deiksis dibagi menjadi lima jenis yaitu sebagai berikut:

a. Deiksis Orang
Deiksis orang merupakan deiksis yang merujuk pada tokoh/pemeran cerita
dalam peristiwa berbahasa: orang I, II, dan III. Di dalam menentukan
deiksis orang dapat diketahui dengan disusun secara sosial dan dengan
demikian tergantung pada deiksis sosialnya.
Contoh:
- Saya dan Adit menampilkan drama, kita hanya main-main saja.
- Hey, kau keledai tolol, angkat barang-barang itu!
- Lani harus bersikap sopan kepada Kakek. 

b. Deiksis Tempat
Deiksis tempat dapat diuraikan diantara banyak parameter yang
sama dan berlaku pada deiksis waktu. Hal ini disebabkan, misalnya karena
acuan pada tempat pada bersifat absolute atau relative. Acuan absolute
pada tempat menempatkan objek atau orang pada panjang atau luas
khusus,sedangkan acuan relative menempatkan orang dan tempat dalam
kaitannya satu sama lain dan dalam kaitannya dengan penutur. Deiksis ini
merupakan pemberian bentuk kepada tempat, dipandang dari lokasi
pemeran dalam peristiwa berbahasa atau merujuk pada lokasi, ruang, atau
tempat:
yang dekat dengan pembicara (di sini).
yang jauh dari pembicara, tapi dekat dengan pendengar (di situ).
yang jauh dari pembicara dan pendengar (di sana).
Contoh:
- Saya pergi ke kampus, di sana teman-teman sudah menunggu.
- Rumah sakit terdekat jauhnya dua ratus mil dari sini.

c. Deiksis Waktu
Deiksis waktu paling sering dikodekan dalam bahasa Inggris dalam
berbagai kata keterangan  seperti ‘now’, dan ‘then’ dan dalam istilah-
istilah penaggalan seperti ‘yesterday’, ‘today’, dan ‘tomorrow’. Akan
tetapi, karena mengkodekan unit-unit waktu yang berbeda, maka istilah-
istilah ini dapat melakukannya dengan suatu cara yang mengacu pada
bagian-bagian yang lebih besar atau lebih kecil dalam unit-unit tersebut.   
Pengungkapan jarak waktu dipandang dari waktu suatu tuturan diproduksi
oleh pembicara seperti sekarang, kemarin, besok, lusa, hari ini,  dsb yang
mengarah pada waktu atau jarak.
Contoh:
- Kemarin, Nurahda tidak datang ke kampus.
- Lusa Fitri dan Farel akan pergi ke puncak untuk berlibur.

d. Deiksis Wacana
Dalam deiksis wacana, ungkapan linguistik digunakan untuk mengacu
pada suatu bagian tertentu dari wacana yang lebih luas (baik teks tertulis
maupun teks lisan) tempat terjadinya ungkapan-ungkapan. Bagian-bagian
tertentu dalam wacana yang telah diberikan dan atau yang sedang
dikembangkan yang merujuk pada wacana: anafora (disebukan terlebih
dahulu; yang pertama, berikut ini, dsb) dan katafora (disebutkan kemudian
atau setelahnya; tersebut, demikian, dsb).
Contoh :
- ‘Ngeong…, ngeong…, ngeong’ begitu bunyi kucing (anafora).
- Bunyi kucing adalah ‘ngeong…, ngeong…, ngeong’ (katafora).

e. Deiksis Sosial
Deiksis sosial mengungkapkan perbedaan-perbedaan kemasyarakatan
yang terdapat antar partisipan yang terlibat dalam peristiwa berbahasa.
Deiksis ini menyebabkan adanya kesopanan berbahasa.
Contoh:
- Perempuan itu adalah seorang tunawicara.

2. Pranggapan
Praanggapan (presuposisi) berasal dari kata to pre-suppose, yang dalam
bahasa Inggris berarti to suppose beforehand (menduga sebelumnya), dalam arti
sebelum pembicara atau penulis mengujarkan sesuatu ia sudah memiliki dugaan
sebelumnya tentang kawan bicara atau hal yang dibicarakan.
Selain definisi tersebut, beberapa definisi lain tentang praanggapan di antaranya
adalah: Levinson (dikutif Nababan, 1987:48) memberikan konsep praanggapan
yang disejajarkan maknanya dengan presupposition sebagai suatu macam
anggapan atau pengetahuan latar belakang yang membuat suatu tindakan, teori,
atau ungkapan mempunyai makna yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan
linguistik tertentu. Nababan (1987:46), memberikan pengertian praanggapan
sebagai dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa
(menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan)
mempunyai makna bagi pendengar atau penerima bahasa itu dan sebaliknya,
membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dapat dipakainya
untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud. Dari beberapa definisi
praanggapan di atas dapat disimpulkan bahwa praanggapan adalah kesimpulan
atau asumsi awal penutur sebelum melakukan tuturan bahwa apa yang akan
disampaikan juga dipahami oleh mitra tutur. Untuk memperjelas hal ini,
perhatikan contoh berikut :
- “Aku sudah membeli bukunya Pak Udin kemarin”
- “Dapat potongan 30 persen kan?
Contoh percakapan di atas menunjukkan bahwa sebelum bertutur (a) memiliki
praanggapan bahwa (b) mengetahui maksudnya yaitu terdapat sebuah buku yang
ditulis oleh Pak Udin.
Ciri praanggapan yang mendasar adalah sifat keajegan di bawah penyangkalan
(Yule, 2006:45). Hal ini memiliki maksud bahwa praanggapan (presuposisi) suatu
pernyataan akan tetap ajeg (tetap benar) walaupun kalimat itu dijadikan kalimat
negatif atau dinegasikan. Sebagai contoh perhatikan beberapa kalimat berikut
- “Gitar Budi itu baru”.
- “Gitar Budi tidak baru”.
Kalimat (b) merupakan bentuk negatif dari kaliamt (a). Praanggapan dalam
kalimat (a) adalah Budi mempunyai gitar. Dalam kalimat (b), ternyata
praanggapan itu tidak berubah meski kalimat (b) mengandung penyangkalan
tehadap kalimat (a), yaitu memiliki praanggapan yang sama bahwa Budi
mempunyai gitar.
Jenis-jenis Praanggapan Praanggapan (presuposisi) sudah diasosiasikan dengan
pemakaian sejumlah besar kata, frasa, dan struktur (Yule, 2006:46). Gorge Yule
mengklasifikasikan praanggapan ke dalam 6 jenis praanggapan, yaitu presuposisi
eksistensial, presuposisi faktif, presuposisi non-faktif, presuposisi leksikal,
presuposisi struktural, dan presuposisi konterfaktual.

a. Presuposisi Esistensial Presuposisi (praanggapan) eksistensial adalah


preaanggapan yang menunjukkan eksistensi/ keberadaan/ jati diri referen
yang diungkapkan dengan kata yang definit. Contoh:
- Orang itu berjalan
- Ada orang berjalan

b. Presuposisi Faktif Presuposisi (praanggapan faktif) adalah praanggapan di


mana informasi yang dipraanggapkan mengikuti kata kerja dapat dianggap
sebagai suatu kenyataan. Contoh:
- Dia tidak menyadari bahwa ia sakit
- Dia sakit

c. Presuposisi Leksikal Presuposisi (praanggapan leksikal) dipahami sebagai


bentuk praanggapan di mana makna yang dinyatakan secara konvensional
ditafsirkan dengan praanggapan bahwa suatu makna lain (yang tidak
dinyatakan) dipahami. Contoh:
- Dia berhenti merokok
- Dulu dia biasa merokok

d. Presuposisi Non-faktif Presuposisi (praanggapan non-faktif) adalah suatu


praanggapan yang diasumsikan tidak benar. Contoh:
- Saya membayangkan bahwa saya kaya
- Saya tidak kaya

e. Presuposisi Struktural Presuposisi (praanggapan) struktural mengacu pada


sturktur kalimat-kalimat tertentu telah dianalisis sebagai praanggapan
secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah
diasumsikan kebenarannya. Hal ini tampak dalam kalimat tanya, secara
konvensional diinterpretasikan dengan kata tanya (kapan dan di mana)
seudah diketahui sebagai masalah. Contoh:
- Di mana Anda membeli sepeda itu?
- Anda membeli sepeda
f. Presuposisi konterfaktual (praanggapan konterfaktual) berarti bahwa yang
di praanggapkan tidak hanya tidak benar, tetapi juga merupakan kebalikan
(lawan) dari benar atau bertolak belakang dengan kenyataan. Contoh:
- Seandainya ibukota Indonesia ada di Padang
- Ibukota Indonesia bukan di Padang
.

3. Implikatur Percakapan
implikatur percakapan adalah suatu bagian dari kajian pragmatikyang
lebih mengkhususkan kajian pada suatu makna yang implisit dari suatu
percakapan yang berbeda dengan makna harfiah dari suatu percakapan.
Menurut Nababan (1987:39) ada empat ciri-ciri implikatur percakapan, yaitu:
a. Sesuatu implikatur percakapan dapat dibatalkan dalam hal tertentu,
umpamanya dengan menambahkan klausa yang mengatakan bahwa
seseorang tidak mau memakai implikatur percakapan itu, atau
memberikan suatu konteks untuk membatalkan implikatur itu.
b. Biasanya tidak ada cara lain untuk mengatakan apa yang dikatakan dan
masih mempertahankan implikatur yang bersangkutan.
c. Implikatur percakapan mempersyaratkan pengetahuan terlebih dahulu arti
konvensional dari kalimat yang dipakai. Oleh karena itu, isi implikatur
percakapan tidak termasuk dalam arti kalimat yang dipakai
d. Kebenaran isi dari suatu implikatur percakapan bukan tergantung pada
kebenaran yang dikatakan. Oleh karena itu, implikatur tidak didasarkan
atas apa yang dikatakan, tetapi atas tindakan yang mengatakan hal itu.

4. Tindak Tutur
Tindak tutur merupakan gejala individu, bersifat psikologis, dan ditentukan oleh
kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Tindak tutur di
titikberatkan kepada makna atau arti tindak, sedangkan peristiwa tutur lebih
dititikberatkan pada tujuan peristiwanya, Tindak tutur bertujuan agar suatu
maksud dari pembicara diketahui pendengar. (Suwito, 1983:33)
Tindak tutur adalah kegiatan seseorang menggunakan bahasa kepada mitra tutur
dalam rangka mengkomunikasikan sesuatu. Apa makna yang dikomukasikan
tidak hanya dapat dipahami berdasarkan penggunaan bahasa dalam bertutur
tersebut tetapi juga ditentukan oleh aspek-aspek komunikasi secara komprehensif,
termasuk aspek-aspek situasional komunikasi.
Dalam menuturkan kalimat, seorang tidak semata-mata mengatakan sesuatu
dengan mengucapkan kalimat itu. Ketika ia menuturkan kalimat, berarti ia
menindakkan sesuatu.
Jenis-jenis tindak tutur dapat dilihat dari segi teknik penyampaian, interaksi
makna dan sifat hubungan.
a. Tindak Tutur Berdasarkan Teknik Penyampaian
Berdasarkan teknik penyampaiannya tindak tutur terbagi dua yaitu tindak
tutur langsung dan tidak langsung.
Secara formal berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi
kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interrogative) dan kalimat
perintah (imperative). Secara konvensional kalimat berita (deklaratif)
digunakan untuk memberitahukan sesuatu (informasi); kalimat tanya
untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyatakan
perintah, ajakan, permintaaan atau permohonan. Apabila kalimat berita
difungsikan secara konvensional untuk mengadakan sesuatu, kalimat tanya
untuk bertanya dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak memohon
dan sebagainya, maka akan terbentuk tindak tutur langsung (direct
speech). Sebagai contoh : Yuli merawat ayahnya. Siapa orang itu?
Ambilkan buku saya! Ketiga kalimat tersebut merupakan tindak tutur
langsung berupa kalimat berita, tanya, dan perintah.
Tindak tutur tak langsung (indirect speech act) ialah tindak tutur
untuk memerintah seseorang melakukan sesuatu secara tidak langsung.
Tindakan ini dilakukan dengan memanfaatkan kalimat berita atau kalimat
tanya agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah.
Misalnya seorang ibu menyuruh anaknya mengambil sapu, diungkapkan
dengan Upik, sapunya dimana?” Kalimat tersebut selain untuk bertanya
sekaligus memerintah anaknya untuk mengambilkan sapu.

b. Tindak Tutur Berdasarkan Interaksi Makna


Berdasarkan interaksi maknanya tindak tutur terbagi dua yaitu tindak tutur
literl dan non literal.
Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang
dimaksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya.
Sedangkan tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act) adalah
tindak tutur yang dimaksudnya tidak sama dengan atau berlawanan
dengan kata-kata yang menyusunnya. Sebagai contoh dapat dilihat kalimat
berikut.

1. Penyanyi itu suaranya bagus.


2. Suaramu bagus (tapi kamu tidak usah menyanyi)

Kalimat (1) jika diutarakan dengan maksud untuk memuji atau


mengagumi suara penyanyi yang dibicarakan, maka kalimat itu
merupakan tindak tutur literal, sedangkan kalimat (2) penutur bermaksud
mengatakan bahwa suara lawan tuturnya jelek, yaitu dengan mengatakan
“Tak usah menyanyi”. Tindak tutur pada kalimat (2) merupakan tindak
tutur tak literal
c. Tindak Tutur Berdasarkan Sifat Hubungan
Berdasarkan sifat hubungannya tindak tutur terbagi tiga yaitu tindak tutur
lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu.
Tindak tutur ini sering disebut sebagai The Act of Saying Something.
Sebagai contoh tindak lokusi adalah kalimat berikut:
1. Mamad belajar membaca.
2. Ali bermain piano.
Kedua kalimat di atas diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk
menginformasikan sesuatu tanpada tendensi untuk melakukan sesuatu,
apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak lokusi merupakan
tindakan yang paling mudah diindentifikasi, karena dalam
pengidentifikasian tindak lokusi tidak memperhitungkan konteks
tuturannya.
Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk
mengatakan atau mengintormasikan sesuatu dan dipergunakan untuk
melakukan sesuatu. Tindak ilokusi disebut sebagai The Act of Doing
Something. Sebagai contoh pada kalimat berikut:
1. Yuli sudah seminar proposal skripsi kemarin.
2. Santoso sedang sakit.
Kalimat (1) jika diucapkan kepada seorang mahasiswa semester XII,
bukan hanya Sekadar memberikan informasi saja akan tetapi juga
melakukan sesuatu, yaitu memberikan dorongan agar mahasiswa tadi
segera mengerjakan skripsinya. Sedangkan kalimat (2) jika diucapkan
kepada temannya yang menghidupkan radio dengan volume tinggi, berarti
bukan saja sebagai informasi teapi juga untuk menyuruh agar mengecilkan
volume atau mematikan radionya. Tindak ilokusi sangat sulit diidentifikasi
karena terlebih daihuhi harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan
tuturnya.
Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang pengutaraannya
dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak perlokusi
disebut sebagai The Act of Affecting Someone. Sebuah tuturan yang
diutarakan seseorang sering kali mempunyai daya pengaruh
(perlocutionary force) atau efek bagi yang mendengarnya. Efek yang
timbul ini bisa sengaja maupun tidak sengaja. Sebagai contoh dapat dilihat
pada kalimat berikut:
1. Kemarin ayahku sakit.
2. Samin bebas SPP.
Kalimat (1) jika diucapkan oleh seseorang yang tidak dapat menghadiri
undangan temannya, maka ilokusinya adalah untuk meminta maaf, dan
perlokusinva adalah agar orang yang mengundangnya harap maklum. Se-
dangkan kalimat (2) jika diucapkan seorang guru kepada murid-muridnya,
maka ilokusinya adalah meminta agar teman-temannya tidak iri, dan
perlokusinya adalah agar teman-temannya memaklumi keadaan ekonomi
orang tua Samin. Tindak perlokusi juga sulit dideteksi, karena harus me-
libatkan konteks tuturnya. Dapat ditegaskan bahwa setiap tuturnya dari
seorang penutur memungkinkan sekali mengandung lokusi saja, dan
perlokusi saja. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa satu tuturan
mengandung kedua atau ketiganya sekaligus.

D. Prinsip Konversasi

1. Prinsip Kerjasama

Dalam komunikasi yang wajar agaknya dapat diasumsikan bahwa seorang


penutur mengartikulasikan ujaran dengan maksud untuk mengkomunikasikan
sesuatu kepada lawan bicaranya, dan berharap lawan bicaranya dapat memahami
apa yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk itu penutur selalu berusaha agar
tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas, dan mudah dipahami, padat dan
ringkas (concise), dan selalu pada persoalan (straight forward), sehingga tidak
menghabiskan waktu lawan bicaranya. (Dewa Putu Wijana, 1996)
Bila dalam suatu percakapan terjadi penyimpangan, ada implikasi-implikasi
tertentu yang hendak dicapai oleh penuturnya. Bila implikasi itu tidak ada, maka
penutur yang bersangkutan tidak melaksanakan kerjasama atau tidak bersifat
kooperatif. Jadi, secara ringkas dapat diasumsikan bahwa ada semacam prinsip
kerja sama yang harus dilakukan pembicara dan lawan bicara agar proses
komunikasi itu berjalan lancar. Dalam Dewa Putu Wijana (1996) dikemukakan
pendapat Grice dan Austin bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip-prinsip
kerja sama itu, setiap penutur harus mematuhi 4 maksim percakapan
(conversational maxim), yakni maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim
kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim
pelaksanaan (maxim of manner).

a. Maksim Kuantitas

Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan


kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan
bicaranya.

b. Maksim Kualitas

Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal


yang sebenarnya. Kontribusi pesertapercakapan hendaknya didasarkan pada
bukti-bukti yang memadai. Apabila patuh pada prinsip ini, jangan pernah
mengatakan sesuatu yang diyakini bahwa itu kurang benar atau tidak benar.

c. Maksim Relevansi

Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan


kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan.

d. Maksim Pelaksanaan
Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara
secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta runtut.

2. Prinsip Kesopanan

Prinsip kesopanan memiliki beberapa maksim yaitu maksim


kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim
penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim),
maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy
maxim). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan,
yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan
orang lain adalah lawan tutur. (Dewa Putu Wijana, 1996)
Ada beberapa bentuk ujaran yang digunakan untuk mengekspresikan maksim-
maksim di atas. Bentuk ujaran yang dimaksud adalah bentuk ujaran impositif,
komisif, ekspresif, dan asertif. Bentuk ujaran komisif adalah bentuk ujaran yang
berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran. Ujran impositif adalah ujaran
yang digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran ekspresif adalah
ujaran yang digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap
sesuatu keadaan. Ujaran asertif adalah ujaran yang lazim digunakan untuk
menyatakan kebenaran proposisi yang diungkapkan.

a. Maksim kebijaksanaan

Maksim ini diutarakan dalam tuturan impositif dan komisif. Maksim ini
menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain
atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Dalam hal ini Leech (dalam
Wijana, 1996) mengatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin
besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya.
Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih
sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.

b. Maksim kemurahan

Maksim kemurahan menuntut setiap peserta pertuturan untuk


memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak
hormat kepada orang lain.

c. Maksim penerimaan

Maksim penerimaan diutarakan dengan kalimat komisif dan impositif.


Maksim ini mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk memaksimalkan
kerugian bagi diri sendiri, dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.

d. Maksim kerendahan hati


Maksim kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut
setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri
sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.

e. Maksim kecocokan

Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk


memaksimalkan kecocokan diantara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan
di antara mereka.

f. Maksim kesimpatian

Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Maksim


kesimpatian mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa
simpati, dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Jika lawan tutur
mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan
selamat. Bila lawan tutur mendapat kesusahan, atau musibah penutur layak
berduka, atau mengutarakan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.
Daftar Pustaka

Cummings, Louise. 2007. Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Djajasudarma, Fatimah.2012.Wacana dan Pragmatik. Bandung:Rafika Aditama.

George, Yuli. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Belajar

Littlejohn, Stephen W,. 2002. Theories of Human Communication (edisi ketujuh). Belmont: Thomson
Learning.

Nababan, P.W.J.1984. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT Remeja Rusdakarya.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1987. Pragmatik dan Linguistik. dalam Bacaan Linguistik. Yoyakarta:
Universitas Gadjah Mada.

Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Problema.Surakarta: UNS Press.

Wijana, I Dewa Putu. 1996.Dasar-dasarPragmatik. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.


Wacana
A. Pengertian Wacana
Menurut Chaer (2012:267) wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga hirearki
gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Sebagai satuan bahasa yang
legkap, maka dalam wacana itu berarti terdpat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang
bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan), tanpa
keraguan apapun. Sebagai satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, berarti wacana itu dibentuk
dari kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi persyratan gramatikal atau persyaratan
kewacanaan lainnya.

B. Perbedaan wacana dengan teks


Wacana harus bersifat interaktif, yang berarti selalu ada agen untuk informasi dalam
wacana. Secara sederhana, wacana seringkali merupakan komunikasi percakapan antar orang.
Oleh karena itu, di bawah linguistik dan teori sastra, wacana didefinisikan sebagai "peristiwa
sosial komunikasi multi-lapisan di berbagai media: verbal, tekstual, visual dan audial, yang
memiliki tujuan sosial interaktif.”Dengan demikian, kualitas interaktif merupakan syarat utama
dalam wacana. Dengan kata lain, keberadaan agen terhadap informasi menentukan apa arti
wacana. Oleh karena itu, tidak seperti teks, wacana dapat memiliki kalimat yang kohesif serta
ucapan agen komunikasi. Dengan kata lain, wacana menggambarkan penggunaan bahasa untuk
tujuan sosial. Sedangkan teks menyertakan beberapa informasi, khususnya dalam bentuk tertulis
atau bentuk cetak. Dengan demikian, perlu dicatat bahwa agen dari suatu teks tidak penting
mungkin ada atau tidak ada agen. Dan agen tidak memiliki dampak langsung dari konten kepada
pembaca. Misalnya, pertimbangkan teks dalam buku teks subjek, esai, atau siaran pers di mana
informasi tersebut hanya dilaporkan dengan atau tanpa agen atau pembicara. Informasi yang
disajikan dalam teks biasanya tidak interaktif, atau tidak mengandung indikasi ucapan
percakapan. Dengan demikian, pembaca hanya membaca dan menyadari fakta yang disajikan.
Sebagaimana didefinisikan oleh istilah glosarium Linguistik, teks adalah "urutan paragraf yang
mewakili unit bicara yang diperluas." Oleh karena itu, kohesi tata bahasa adalah faktor
fundamental dalam sebuah teks.Untuk menganalisis isi teks, orang harus menyadari kategori
bahasa dan tata bahasa, dan informasi yang diberikan sesuai dengan makna, perangkat tata bahasa
yang digunakan, struktur, makna, dll. Oleh karena itu, dengan menganalisis keseluruhan struktur
teks, seseorang dapat memahami makna teks. Dengan demikian, analisis tekstual, singkatnya,
adalah analisis kalimat-kalimat yang kohesif secara gramatikal ini, yang memberikan sejumlah
informasi. Sedangkan untuk menganalisis suatu wacana, seseorang harus mempelajari orang-
orang atau agen-agen yang terlibat dalam komunikasi (siapa kepada siapa), tujuan mereka (tujuan
sosial), dan media yang digunakan (verbal, tertulis, audio atau visual.
C. Persyaratan Wacana

Oka dan Suparno (1994: 260-270) menyebutkan jika wacana akan terbentuk bila
memenuhi tiga syarat pokok, yakni topik, tuturan pengungkap topik, serta kohesi dan
koherensi. Berikut ini penjabaran persyaratan wacana
1. Sebuah wacana mengungkapkan satu bahasan atau gagasan. Gagasan tersebut
akan diurai, membentuk serangkaian penjelasan tetapi tetap merujuk pada satu
topik. Sehingga topik yang diangkat atau yang dimaksud memberikan suatu
tujuan. Topik itu dapat dinyatakan dengan redaksi, “tentang apa seseorang
berbicara?”, “apa yang dikatakan seseorang?”, “apa yang mereka percakapkan?”,
dan sebagainya. Hal ini berarti topik menjiwai seluruh bagian wacana. Topiklah
yang menyebabkan lahirnya wacana dan berfungsinya wacana dalam proses
komunikasi.
2. Tuturan Pengungkap Topik
Syarat wacana yang kedua adalah tuturan pengungkap topik, topik perlu
dijabarkan sehingga makna yang disusun dari beberapa kalimat menjadi utuh
karena wujud konkret tuturan itu adalah kalimat atau untaian kalimat yang
membentuk teks. Teks yang dimaksudkan di dalam wacana tidak selalu berupa
tuturan tulis, tetapi juga berupa tuturan lisan. Oleh karena itu, di dalam kajian
wacana terdapat teks tulis dan teks lisan.
3. Kohesi dan Koherensi
Pada umumnya wacana yang baik akan memiliki kohesi dan koherensi. Kohesi
adalah keserasian hubungan antar unsur yang satu dengan yang lain dalam
wacana sehingga terciptalah pengertian yang baik dan koheren. Kohesi merujuk
pada pertautan bentuk, sedangkan koherensi merujuk pada pertautan makna.

a. Kohesi
James (dalam Tarigan 1987:97) menyebutkan bahwa suatu teks atau
wacana benar-benar bersifat kohesif apabila terdapat kesesuaian secara
bentuk bahasa (language form) terhadap ko-teks (situasi-dalam bahasa,
sebagai lawan dari konteks atau situasi-luar bahasa). Dengan perkataan
lain, ketidaksesuaian bentuk bahasa dengan koteks dan juga dengan
konteks akan menghasilkan teks yang tidak kohesif.Kohesi terbagi dua
yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal.
Kohesi Gramatikal
Kohesi gramatikal adalah kepaduan yang dicapai dengan
menggunakan elemen dan aturan gramatikal. Kohesi gramatikal, antara
lain, dapat terbentuk melalui rujukan, substitusi, dan elipsis. Contoh:

Orang tua ada yang setuju bahwa siswa boleh membawa telepon seluler ke
sekolah karena merela berpikir hal itu dapat memudahkan orang tua untuk
dapat menghubungi anaknya. 
Ketika telepon seluler berdering ketika guru sedang mengajar di dalam
kelas, meskipun hanya mode getar, guru akan kehilangan beberapa saat
kesempatan mengajar karena terganggu. Hal itu akan merugikan seluruh
kelas.
Berdasarkan contoh (1) tersebut, -nya pada kata anaknya, merujuk pada
orang tua; sedangkan pada contoh (2) frasa hal itu merujuk pada kalimat
guru akan kehilangan kesempatan mengajar. Sarana kohesi gramatikal
meliputi referen, substitusi, elipsis, dan konjungsi.
1)    Referen (pengacuan)
Referensi atau pengacuan merupakan hubungan antara kata dengan
acuannya. Kata-kata yang berfungsi sebagai pengacu disebut deiksis
sedangkan unsur-unsur yang diacunya disebut antesedan. Satuan lingual
yang acuannya berada di dalam teks wacana disebut pengacuan endofora,
sedangkan satuan lingual yang acuannya berada di luar teks wacana
disebut pengacuan eksofora.
2)    Substitusi (penyulihan)
Substitusi mengacu ke penggantian kata-kata dengan kata lain. Substitusi
hampir sama dengan referensi. Perbedaan antara keduanya adalah
referensi merupakan hubungan makna sedangkan substitusi merupakan
hubungan leksikal atau gramatikal. Selain itu, substitusi dapat berupa
proverba, yaitu kata-kata yang digunakan untuk menunjukan tindakan,
keadaan, hal, atau isi bagian wacana yang sudah disebutkan sebelum atau
sesudahnya juga dapat berupa substitusi klausal.
3)    Elipsis (pelesapan)
Elipsis adalah sesuatu yang tidak terucapkan dalam wacana, artinya tidak
hadir dalam komunikasi, tetapi dapat dipahami. Jadi pengertian tersebut
tentunya didapat dari konteks pembicaraan, terutama konteks tekstual.
Sebagai pegangan, dapat dikatakan bahwa pengertian elipsis terjadi bila
sesuatu unsur yang secara struktural seharusnya hadir, tidak ditampilkan.
4) Konjungsi (kata sambung) adalah bentuk atau satuan kebahasaan yang
berfungsi sebagai penyambung, perangkai atau penghubung antara kata
dengan kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, kalimat dengan
kalimat, dan seterusnya. Konjungsi disebut juga sarana perangkaian unsur-
unsur kewacanaan.
Kohesi Leksikal
Selain didukung oleh aspek gramatikal, kepaduan wacana harus
didukung oleh aspek leksikal. Kohesi leksikal atau perpaduan leksikal
adalah hubungan leksikal antara bagian-bagian wacana untuk
mendapatkan keserasian struktur secara kohesif. Unsur kohesi leksikal
terdiri dari sinonim (persamaan), antonim (lawan kata), hiponim
(hubungan bagian atau isi), repetisi (pengulangan), kolokasi (kata
sanding), dan ekuivalensi. Tujuan digunakannya aspek-aspek leksikal itu
diantaranya ialah untuk mendapatkan efek intensitas makna bahasa,
kejelasan informasi, dan keindahan bahasa lainnya. Kohesi leksikal adalah
kepaduan yang dicapai melalui pemilihan kata. Kohesi leksikal itu dapat
berbentuk, antara lain, dengan pengulangan, sinonim, antonim, dan
hiponim.Contoh:
Di samping itu, salah satu keuntungan dari penggunaan telepon seluler di
sekolah adalah telepon seluler dapat digunakan sebagai alat bantu,
terutama telepon seluler yang dilengkapi dengan beberapa aksesoris,
seperti kalkulator, kamera, dan internet.
Di samping itu, salah satu keuntungan dari penggunaan telepon seluler di
sekolah adalah telepon seluler dapat digunakan sebagai alat bantu,
terutama telepon seluler yang dilengkapi dengan beberapa aksesori, seperti
kalkulator, kamera, dan internet. Aplikasi ini dapat dimanfaatkan untuk
membantu siswa dalam bidang akademik.
Berdasarkan contoh pertama tersebut dapat dikemukakan bahwa supaya
padu, penulis mengulang kata telepon seluler beberapa kali. Sementara itu,
pada contoh kedua frasa beberapa aksesoris, dan kata aplikasi ini
merupakan sinonim. Kohesi leksikal hubungan anatarunsur dalam wacana
secara semantis.

b. Koherensi adalah kepaduan gagasan antarbagian dalam wacana, dan


kohesi merupakan salah satu cara untuk membentuk koherensi. Koherensi
merupakan salah satu aspek wacana yang penting dalam menunjang
keutuhan makna wacana. Bila suatu ujaran tidak memiliki koherensi,
hubungan semantik-pragmatik yang seharusnya ada menjadi tidak terbina
dan tidak logis. Brown dan Yule (dalam Mulyana, 2005:135) menegaskan
bahwa koherensi berarti kepaduan dan keterpahaman antarsatuan dalam
suatu teks atau tuturan. Dalam struktur wacana, aspek koherensi sangat
diperlukan keberadaannya untuk menata pertalian batin antara proposisi
yang satu dengan lainnya untuk mendapatkan keutuhan. Keutuhan yang
koheren tersebut dijabarkan oleh adanya hubungan-hubungan makna yang
terjadi antarunsur secara semantis.

1) Hubungan Sebab Akibat

Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama menyatakan sebab,


sedangkan kalimat berikutnya menyatakan akibat. Berikut penggunaan
hubungan sebab-akibat dalam kalimat. Contoh:
Ia tidak mungkin menemukan buku fiksi di perpustakaan itu. Koleksi
perpustakaan itu khusus buku nonfiksi ilmiah.

2)  Hubungan Akibat Sebab

Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat kedua menyatakan sebab


terjadinya/tindakan yang dinyatakan pada kalimat pertama. Berikut
penggunaan hubungan akibat-sebab dalam kalimat.

Tiba-tiba ia merasa rindu kepada anaknya. Tanpa banyak persiapan


pergilah ia ke kota yang jauh itu.

3) Hubungan Sarana Hasil

Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama menyatakan sarana


untuk perolehan yang dinyatakan pada kalimat berikutnya. Berikut
penggunaan hubungan sarana-hasil dalam kalimat. Contoh:

Atlit bulutangkis kita akhirnya mendominasi kejuaraan Indonesia Terbuka.


Kita tidak usah heran, mereka berlatih dengan ketat dan sangat disiplin.

4)  Hubungan Sarana Tujuan

Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat kalimat kedua menyatakan


syarat untuk tercapainya apa yang dinyatakan pada kalimat lain. Berikut
penggunaan hubungan sarana-tujuan dalam kalimat.

Bekerjalah dengan keras. Cita-citamu menjadi orang kaya bakal


kesampaian.

5)  Hubungan Alasan Tindakan

Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama menyatakan alasan


bentuk tindakan yang dinyatakan pada kalimat berikutnya. Berikut
penggunaan hubungan alasan-tindakan dalam kalimat.Contoh:

Tahun ini mereka bertekad membangun rumah sendiri. Sudah lama sekali
mereka numpang di rumah saudara.

6) Hubungan Latar Simpulan

Koherensi ini dinyatakan dengan salah satu kalimat menyatakan simpulan


atas pernyataan pada kalimat lainnya. Berikut penggunaan hubungan latar-
simpulan dalam kalimat. Contoh:
Mobil itu sudah tua, tetapi. Rupanya pemiliknya pandai merawatnya.

7) Hubungan Kelonggaran Hasil

Koherensi ini dinyatakan dengan salah satu kalimatnya menyatakan


kegagalan suatu usaha yang dinyatakan pada kalimat lainnya. Berikut
penggunaan hubungan kelonggaran-hasil dalam kalimat. Contoh:

Sudah lama aku di kota ini mencarinya. Alamat itu tak juga kutemukan.

8)  Hubungan Syarat Hasil

Koherensi ini dinyatakan dengan salah satu kalimat menyatakan syarat


untuk tercapainya apa yang dinyatakan pada kalimat lainnya. Berikut
penggunaan hubungan syarat-hasil dalam kalimat. Contoh:

Beri bumbu dan penyadap rasa yang tepat. Masakanmu pasti enak.

9) Hubungan Perbandingan

Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama dibandingkan dengan


yang dinyatakan pada kalimat berikutnya. Berikut penggunaan hubungan
sebab-akibat dalam kalimat. Contoh:

Pengantin itu sangat anggun. Seperti dewa-dewi dari Khayangan.

10) Hubungan Parafrastis

Koherensi ini dinyatakan dengan gagasan yang dinyatakan pada


kalimat pertama dinyatakan secara lain dengan kalimat berikutnya.
Berikut penggunaan hubungan parafrastis dalam kalimat.Contoh:

Saya tidak setuju dengan penambahan anggaran untuk proyek ini,


karena tahun lalu dana juga tidak habis. Sudah saatnya kita menghemat
uang rakyat.

11)  Hubungan Amplikatif

Koherensi ini dinyatakan dengan gagasan yang dinyatakan pada kalimat


pertama diperkuat atau ditegaskan dengan gagasan pada kalimat
berikutnya. Berikut penggunaan hubungan amplikatif dalam
kalimat.Contoh:

Dua burung itu jangan dipisah. Masukkan dalam satu kandang saja.

12) Hubungan Adiftif


Koherensi ini dinyatakan dengan gagasan yang dinyatakan pada kalimat
pertama diikuti atau ditambah dengan gagasan pada kalimat berikutnya.
Berikut penggunaan hubungan adiktif dalam kalimat. Contoh:

Biar dia duduk dulu. Saya akan selesaikan pekerjaan ini (simultan).

13) Hubungan Identifikasi

Koherensi ini dinyatakan dengan gagasan yang dinyatakan pada kalimat


pertama didentifikasi dengan kalimat berikutnya. Berikut penggunaan
hubungan identifikasi dalam kalimat. Contoh:

Tidak bisa masuk ke universitas itu tidak berarti bodoh. Kamu tahu nggak,
Einstein? Fisikawan genius itu juga pernah gagal masuk ke universitas.

14)  Hubungan Generik-Spesifik.

Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama menyatakan gagasan


umum atau luas, sedangkan kalimat berikutnya menyatakan gagasan
khusus atau sempit. Berikut penggunaan hubungan generik-spesiik dalam
kalimat.Contoh:

Gadis model itu sangat cantik. Wajahnya bersih, matanya indah, bibirnya
menawan. Apalagi jalannyaa, luar biasa.

15) Hubungan Spesifik-Generik

Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama menyatakan gagasan


umum atau luas, sedangkan kalimat berikutnya menyatakan gagasan
khusus atau sempit. Berikut penggunaan hubungan spesifik-generik dalam
kalimat. Contoh:

Saya bangun tidur pukul 05.00. Saya mandi lalu salat subuh. Setelah itu
saya membantu ibu lalu makan pagi bila ada. Kemudian berangkat ke
sekolah. Itulah kegiatanku setiap pagi.

16) Hubungan Ibarat

Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama diibaratkan seperti yang


dinyatakan pada kalimat berikutnya. Berikut penggunaan hubungan ibarat
dalam kalimat. Contoh:

Kelihaiannya mengelola bisnis sungguh piawai. Memang dia seperti belut


di lumpur basah.

17) Argumentatif (makna alasan)


Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat kedua menyatakan argumen
(alasan) bagi pendapat yang dinyatakan pada kalimat pertama. Berikut
penggunaan hubungan argumentatif dalam kalimat. Contoh:

Dia menang dalam pemilihan ketua RW. Dia orang yang bijaksana dan
dapat bergaul dengan siapa saja.

D. Jenis Wacana

Menurut Tarigan (1987: 51) wacana diklasifikasikan menurut media (wacana lisan dan
wacana tulis), berdasarkan pengungkapannya (wacana langsung dan tidak langsung),
berdasarkan bentuk (wacana drama, wacana puisi, dan wacana prosa), dan berdasarkan
penempatan (wacana penuturan dan wacana pembeberan).

Mulyana (2005:47) membagi wacana berdasarkan beberapa segi, yaitu (1) bentuk, (2)
media, (3) jumlah penutur, dan (4) sifat. Deengan demikian, wacana dapat
diklasifikasikan berdasarkan: media penyampaian (yang digunakan), sifat atau jenis
pemakaiannya, bentuk, cara dan tujuan pemaparannya.

1. Berdasarkan media penyampaiannya wacana dapat dipilah menjadi dua, yaitu


wacana tulis dan wacana lisan. Wacana tulis adalah wacana yang disampaikan
dengan bahasa tulis atau melalui media tulis, dan di dalam wacana tulis tersebut
terjadi komunikasi secara tidak langsung antara penulis dengan pembaca. Wacana
lisan adalah wacana yang disampaikan secara lisan atau langsung dengan bahasa
verbal, dan di dalam wacana lisan terjadi komunikasi secara langsung antara
pembicara dengan pendengar.

2. Berdasarkan sifat atau jenis pemakaiannya wacana dibagi menjadi dua, yaitu
wacana monolog dan wacana dialog. Wacana monolog adalah jenis wacana yang
dituturkan oleh satu orang tanpa melibatkan orang lain untuk berpartisipasi.
Wacana dialog adalah jenis wacana yang dituturkan oleh dua orang atau lebih.

3. Berdasarkan bentuknya, wacana dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk,


wacana prosa, puisi, dan drama (Sumarlam, dkk 2008:17). Wacana prosa yaitu
wacana yang disampaikan dalam bentuk prosa. Wacana puisi ialah wacana yang
disampaikan dalam bentuk. Drama yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk
drama, dalam bentuk dialog, baik berupa wacana tulis maupun wacana lisan.

4. Berdasar cara dan tujuan pemaparannya, pada umumnya wacana diklasifikasikan


menjadi lima macam, yaitu wacana narasi, eksposisi, argumentasi, persuasi, dan
deskripsi
Wacana narasi atau wacana penceritaan, disebut juga wacana penuturan
yaitu wacana yang mementingkan urutan waktu, dituturkan oleh persona pertama
atau ketiga dalam waktu tertentu. Wacana narasi memaparkan terjadinya suatu
peristiwa, baik peristiwa rekaan maupun kenyataan. Berkenaan dengan peristiwa
itu, dipaparkan siapa pelakunya, bagaimana perilakunya, di mana tempat
peristiwa itu, kapan terjadinya, bagaimana suasana kejadiannya, bagaimana jalan
ceritanya, dan siapa juru ceritanya. Wacana narasi dapat bersifat faktual maupun
imajinatif seperti dongeng, novel, biografi, sketsa, dan anekdot.

Wacana eskposisi atau wacana pembeberan yaitu wacana yang tidak


mementingkan waktu dan pelaku. Wacana ini berorientasi pada pokok
pembicaraan, dan bagian-bagiannya diikat secara logis. Wacana eksposisi atau
bahasan adalah wacana yang isinya menjelaskan sesuatu, misalnya menerangkan
arti sesuatu, menerangkan apa yang telah diucapkan atau ditulis oleh orang lain,
menerangkan bagaimana terjadinya sesuatu, menerangkan peristiwa yang lalu dan
sekarang, menerangkan pentingnya sesuatu, dan lain-lain. Pelajaran sekolah,
ceramah, laporan, tajuk rencana, bisanya disusun dalam wacana eksposisi.

Wacana argumentasi adalah wacana yang berisi ide atau gagasan yang
dilengkapi dengan data-data sebagai bukti dan bertujuan meyakinkan pembaca
akan kebenaran ide atau gagasannya. Pada wacana argumentasi dipaparkan
alasan-alasan terhadap kebenaran atau ketidakbenaran sesuatu hal, dengan
maksud agar pesapa dapat diyakinkan sehingga terdorong untuk melakukan
sesuatu. Dalam mempertahankan atau menyanggah sesuatu hal tadi, dikemukakan
alasan yang berdasarkan bukti, bukan berdasarkan perasaan atau hawa nafsu.

Wacana persuasi ialah wacana yang isinya bersifat ajakan atau nasihat,
biasanya ringkas dan menarik, serta bertujuan untuk mempengaruhi secara kuat
pada pembaca atau pendengar agar melakukan nasihat atau ajakan tesebut.
Wacana deskripsi yaitu wacana yang bertujuan melukiskan, menggambarkan, atau
memerikan sesuatu menurut apa adanya. Wacana deskripsi berisi gambaran
penginderaan (penglihatan, penciuman, kehausan, kelelahan), perasaan, dan
perilaku jiwa (harapan, ketakutan, cinta, benci, rindu, dan rasa tertekan).
Penginderaan itu dilakukan terhadap suatu peristiwa, keadaan, situasi, atau
masalah. Melalui wacana deskripsi, pembaca diharapkan bisa seolah-olah melihat
atau merasakan apa yang dideskripsikan pada wacana tersebut.

Anda mungkin juga menyukai