A. Pengertian Pragmatik
Istilah pragmatik berasal dari pragmatika diperkenalkan oleh Moris (1938), ketika
membuat sistematika ajaran Pierce tentang semiotika (ilmu tanda). Pragmatika adalah
ilmu tentang pragmatik yakni hubungan antara tanda dan penggunanya. Semiotika
memiliki tiga cabang, yakni semantik, seintaktika/syntaktic, dan pragmatika. Pragmatik
adalah language in use, studi terhadap makna ujaran dalam situasi tertentu. sifat-sifat
bahasa dapat dimengerti melalui pragmatik, yakni bagaimana bahasa digunakan dalam
komunikasi. Kata pragmatik berasal dari bahasa Jerman pragmatisch yang diusulkan oleh
seorang filsuf Jerman, Imanuel Kant. Pragmatisch dari pramaticus (bahasa Latin)
bermakna “pandai berdagang‟ atau di dalam bahasa Yunani pragmatikos dari pragma
artinya “perbuatan‟ dan prasein “berbuat‟ (Djajasudarma, 2012: 60). Pragmatik adalah
studi tentang makna dalam hubungan dengan situasi-situasi ujaran (Speech Situation), ini
berartibahwa untuk menganalisis makna melalui pendekatan pragmatik diperlukan situasi
tutur yang menjadi konteks tuturan.. Oleh karena itu apa yang dikaji dalam pragmatik
merujuk kepada kajian makna dalam interaksiantara seorang penutur dengan penutur
yang lain
a. Deiksis Orang
Deiksis orang merupakan deiksis yang merujuk pada tokoh/pemeran cerita
dalam peristiwa berbahasa: orang I, II, dan III. Di dalam menentukan
deiksis orang dapat diketahui dengan disusun secara sosial dan dengan
demikian tergantung pada deiksis sosialnya.
Contoh:
- Saya dan Adit menampilkan drama, kita hanya main-main saja.
- Hey, kau keledai tolol, angkat barang-barang itu!
- Lani harus bersikap sopan kepada Kakek.
b. Deiksis Tempat
Deiksis tempat dapat diuraikan diantara banyak parameter yang
sama dan berlaku pada deiksis waktu. Hal ini disebabkan, misalnya karena
acuan pada tempat pada bersifat absolute atau relative. Acuan absolute
pada tempat menempatkan objek atau orang pada panjang atau luas
khusus,sedangkan acuan relative menempatkan orang dan tempat dalam
kaitannya satu sama lain dan dalam kaitannya dengan penutur. Deiksis ini
merupakan pemberian bentuk kepada tempat, dipandang dari lokasi
pemeran dalam peristiwa berbahasa atau merujuk pada lokasi, ruang, atau
tempat:
yang dekat dengan pembicara (di sini).
yang jauh dari pembicara, tapi dekat dengan pendengar (di situ).
yang jauh dari pembicara dan pendengar (di sana).
Contoh:
- Saya pergi ke kampus, di sana teman-teman sudah menunggu.
- Rumah sakit terdekat jauhnya dua ratus mil dari sini.
c. Deiksis Waktu
Deiksis waktu paling sering dikodekan dalam bahasa Inggris dalam
berbagai kata keterangan seperti ‘now’, dan ‘then’ dan dalam istilah-
istilah penaggalan seperti ‘yesterday’, ‘today’, dan ‘tomorrow’. Akan
tetapi, karena mengkodekan unit-unit waktu yang berbeda, maka istilah-
istilah ini dapat melakukannya dengan suatu cara yang mengacu pada
bagian-bagian yang lebih besar atau lebih kecil dalam unit-unit tersebut.
Pengungkapan jarak waktu dipandang dari waktu suatu tuturan diproduksi
oleh pembicara seperti sekarang, kemarin, besok, lusa, hari ini, dsb yang
mengarah pada waktu atau jarak.
Contoh:
- Kemarin, Nurahda tidak datang ke kampus.
- Lusa Fitri dan Farel akan pergi ke puncak untuk berlibur.
d. Deiksis Wacana
Dalam deiksis wacana, ungkapan linguistik digunakan untuk mengacu
pada suatu bagian tertentu dari wacana yang lebih luas (baik teks tertulis
maupun teks lisan) tempat terjadinya ungkapan-ungkapan. Bagian-bagian
tertentu dalam wacana yang telah diberikan dan atau yang sedang
dikembangkan yang merujuk pada wacana: anafora (disebukan terlebih
dahulu; yang pertama, berikut ini, dsb) dan katafora (disebutkan kemudian
atau setelahnya; tersebut, demikian, dsb).
Contoh :
- ‘Ngeong…, ngeong…, ngeong’ begitu bunyi kucing (anafora).
- Bunyi kucing adalah ‘ngeong…, ngeong…, ngeong’ (katafora).
e. Deiksis Sosial
Deiksis sosial mengungkapkan perbedaan-perbedaan kemasyarakatan
yang terdapat antar partisipan yang terlibat dalam peristiwa berbahasa.
Deiksis ini menyebabkan adanya kesopanan berbahasa.
Contoh:
- Perempuan itu adalah seorang tunawicara.
2. Pranggapan
Praanggapan (presuposisi) berasal dari kata to pre-suppose, yang dalam
bahasa Inggris berarti to suppose beforehand (menduga sebelumnya), dalam arti
sebelum pembicara atau penulis mengujarkan sesuatu ia sudah memiliki dugaan
sebelumnya tentang kawan bicara atau hal yang dibicarakan.
Selain definisi tersebut, beberapa definisi lain tentang praanggapan di antaranya
adalah: Levinson (dikutif Nababan, 1987:48) memberikan konsep praanggapan
yang disejajarkan maknanya dengan presupposition sebagai suatu macam
anggapan atau pengetahuan latar belakang yang membuat suatu tindakan, teori,
atau ungkapan mempunyai makna yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan
linguistik tertentu. Nababan (1987:46), memberikan pengertian praanggapan
sebagai dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa
(menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan)
mempunyai makna bagi pendengar atau penerima bahasa itu dan sebaliknya,
membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dapat dipakainya
untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud. Dari beberapa definisi
praanggapan di atas dapat disimpulkan bahwa praanggapan adalah kesimpulan
atau asumsi awal penutur sebelum melakukan tuturan bahwa apa yang akan
disampaikan juga dipahami oleh mitra tutur. Untuk memperjelas hal ini,
perhatikan contoh berikut :
- “Aku sudah membeli bukunya Pak Udin kemarin”
- “Dapat potongan 30 persen kan?
Contoh percakapan di atas menunjukkan bahwa sebelum bertutur (a) memiliki
praanggapan bahwa (b) mengetahui maksudnya yaitu terdapat sebuah buku yang
ditulis oleh Pak Udin.
Ciri praanggapan yang mendasar adalah sifat keajegan di bawah penyangkalan
(Yule, 2006:45). Hal ini memiliki maksud bahwa praanggapan (presuposisi) suatu
pernyataan akan tetap ajeg (tetap benar) walaupun kalimat itu dijadikan kalimat
negatif atau dinegasikan. Sebagai contoh perhatikan beberapa kalimat berikut
- “Gitar Budi itu baru”.
- “Gitar Budi tidak baru”.
Kalimat (b) merupakan bentuk negatif dari kaliamt (a). Praanggapan dalam
kalimat (a) adalah Budi mempunyai gitar. Dalam kalimat (b), ternyata
praanggapan itu tidak berubah meski kalimat (b) mengandung penyangkalan
tehadap kalimat (a), yaitu memiliki praanggapan yang sama bahwa Budi
mempunyai gitar.
Jenis-jenis Praanggapan Praanggapan (presuposisi) sudah diasosiasikan dengan
pemakaian sejumlah besar kata, frasa, dan struktur (Yule, 2006:46). Gorge Yule
mengklasifikasikan praanggapan ke dalam 6 jenis praanggapan, yaitu presuposisi
eksistensial, presuposisi faktif, presuposisi non-faktif, presuposisi leksikal,
presuposisi struktural, dan presuposisi konterfaktual.
3. Implikatur Percakapan
implikatur percakapan adalah suatu bagian dari kajian pragmatikyang
lebih mengkhususkan kajian pada suatu makna yang implisit dari suatu
percakapan yang berbeda dengan makna harfiah dari suatu percakapan.
Menurut Nababan (1987:39) ada empat ciri-ciri implikatur percakapan, yaitu:
a. Sesuatu implikatur percakapan dapat dibatalkan dalam hal tertentu,
umpamanya dengan menambahkan klausa yang mengatakan bahwa
seseorang tidak mau memakai implikatur percakapan itu, atau
memberikan suatu konteks untuk membatalkan implikatur itu.
b. Biasanya tidak ada cara lain untuk mengatakan apa yang dikatakan dan
masih mempertahankan implikatur yang bersangkutan.
c. Implikatur percakapan mempersyaratkan pengetahuan terlebih dahulu arti
konvensional dari kalimat yang dipakai. Oleh karena itu, isi implikatur
percakapan tidak termasuk dalam arti kalimat yang dipakai
d. Kebenaran isi dari suatu implikatur percakapan bukan tergantung pada
kebenaran yang dikatakan. Oleh karena itu, implikatur tidak didasarkan
atas apa yang dikatakan, tetapi atas tindakan yang mengatakan hal itu.
4. Tindak Tutur
Tindak tutur merupakan gejala individu, bersifat psikologis, dan ditentukan oleh
kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Tindak tutur di
titikberatkan kepada makna atau arti tindak, sedangkan peristiwa tutur lebih
dititikberatkan pada tujuan peristiwanya, Tindak tutur bertujuan agar suatu
maksud dari pembicara diketahui pendengar. (Suwito, 1983:33)
Tindak tutur adalah kegiatan seseorang menggunakan bahasa kepada mitra tutur
dalam rangka mengkomunikasikan sesuatu. Apa makna yang dikomukasikan
tidak hanya dapat dipahami berdasarkan penggunaan bahasa dalam bertutur
tersebut tetapi juga ditentukan oleh aspek-aspek komunikasi secara komprehensif,
termasuk aspek-aspek situasional komunikasi.
Dalam menuturkan kalimat, seorang tidak semata-mata mengatakan sesuatu
dengan mengucapkan kalimat itu. Ketika ia menuturkan kalimat, berarti ia
menindakkan sesuatu.
Jenis-jenis tindak tutur dapat dilihat dari segi teknik penyampaian, interaksi
makna dan sifat hubungan.
a. Tindak Tutur Berdasarkan Teknik Penyampaian
Berdasarkan teknik penyampaiannya tindak tutur terbagi dua yaitu tindak
tutur langsung dan tidak langsung.
Secara formal berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi
kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interrogative) dan kalimat
perintah (imperative). Secara konvensional kalimat berita (deklaratif)
digunakan untuk memberitahukan sesuatu (informasi); kalimat tanya
untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyatakan
perintah, ajakan, permintaaan atau permohonan. Apabila kalimat berita
difungsikan secara konvensional untuk mengadakan sesuatu, kalimat tanya
untuk bertanya dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak memohon
dan sebagainya, maka akan terbentuk tindak tutur langsung (direct
speech). Sebagai contoh : Yuli merawat ayahnya. Siapa orang itu?
Ambilkan buku saya! Ketiga kalimat tersebut merupakan tindak tutur
langsung berupa kalimat berita, tanya, dan perintah.
Tindak tutur tak langsung (indirect speech act) ialah tindak tutur
untuk memerintah seseorang melakukan sesuatu secara tidak langsung.
Tindakan ini dilakukan dengan memanfaatkan kalimat berita atau kalimat
tanya agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah.
Misalnya seorang ibu menyuruh anaknya mengambil sapu, diungkapkan
dengan Upik, sapunya dimana?” Kalimat tersebut selain untuk bertanya
sekaligus memerintah anaknya untuk mengambilkan sapu.
D. Prinsip Konversasi
1. Prinsip Kerjasama
a. Maksim Kuantitas
b. Maksim Kualitas
c. Maksim Relevansi
d. Maksim Pelaksanaan
Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara
secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta runtut.
2. Prinsip Kesopanan
a. Maksim kebijaksanaan
Maksim ini diutarakan dalam tuturan impositif dan komisif. Maksim ini
menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain
atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Dalam hal ini Leech (dalam
Wijana, 1996) mengatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin
besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya.
Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih
sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
b. Maksim kemurahan
c. Maksim penerimaan
e. Maksim kecocokan
f. Maksim kesimpatian
Cummings, Louise. 2007. Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Littlejohn, Stephen W,. 2002. Theories of Human Communication (edisi ketujuh). Belmont: Thomson
Learning.
Purwo, Bambang Kaswanti. 1987. Pragmatik dan Linguistik. dalam Bacaan Linguistik. Yoyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Problema.Surakarta: UNS Press.
Oka dan Suparno (1994: 260-270) menyebutkan jika wacana akan terbentuk bila
memenuhi tiga syarat pokok, yakni topik, tuturan pengungkap topik, serta kohesi dan
koherensi. Berikut ini penjabaran persyaratan wacana
1. Sebuah wacana mengungkapkan satu bahasan atau gagasan. Gagasan tersebut
akan diurai, membentuk serangkaian penjelasan tetapi tetap merujuk pada satu
topik. Sehingga topik yang diangkat atau yang dimaksud memberikan suatu
tujuan. Topik itu dapat dinyatakan dengan redaksi, “tentang apa seseorang
berbicara?”, “apa yang dikatakan seseorang?”, “apa yang mereka percakapkan?”,
dan sebagainya. Hal ini berarti topik menjiwai seluruh bagian wacana. Topiklah
yang menyebabkan lahirnya wacana dan berfungsinya wacana dalam proses
komunikasi.
2. Tuturan Pengungkap Topik
Syarat wacana yang kedua adalah tuturan pengungkap topik, topik perlu
dijabarkan sehingga makna yang disusun dari beberapa kalimat menjadi utuh
karena wujud konkret tuturan itu adalah kalimat atau untaian kalimat yang
membentuk teks. Teks yang dimaksudkan di dalam wacana tidak selalu berupa
tuturan tulis, tetapi juga berupa tuturan lisan. Oleh karena itu, di dalam kajian
wacana terdapat teks tulis dan teks lisan.
3. Kohesi dan Koherensi
Pada umumnya wacana yang baik akan memiliki kohesi dan koherensi. Kohesi
adalah keserasian hubungan antar unsur yang satu dengan yang lain dalam
wacana sehingga terciptalah pengertian yang baik dan koheren. Kohesi merujuk
pada pertautan bentuk, sedangkan koherensi merujuk pada pertautan makna.
a. Kohesi
James (dalam Tarigan 1987:97) menyebutkan bahwa suatu teks atau
wacana benar-benar bersifat kohesif apabila terdapat kesesuaian secara
bentuk bahasa (language form) terhadap ko-teks (situasi-dalam bahasa,
sebagai lawan dari konteks atau situasi-luar bahasa). Dengan perkataan
lain, ketidaksesuaian bentuk bahasa dengan koteks dan juga dengan
konteks akan menghasilkan teks yang tidak kohesif.Kohesi terbagi dua
yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal.
Kohesi Gramatikal
Kohesi gramatikal adalah kepaduan yang dicapai dengan
menggunakan elemen dan aturan gramatikal. Kohesi gramatikal, antara
lain, dapat terbentuk melalui rujukan, substitusi, dan elipsis. Contoh:
Orang tua ada yang setuju bahwa siswa boleh membawa telepon seluler ke
sekolah karena merela berpikir hal itu dapat memudahkan orang tua untuk
dapat menghubungi anaknya.
Ketika telepon seluler berdering ketika guru sedang mengajar di dalam
kelas, meskipun hanya mode getar, guru akan kehilangan beberapa saat
kesempatan mengajar karena terganggu. Hal itu akan merugikan seluruh
kelas.
Berdasarkan contoh (1) tersebut, -nya pada kata anaknya, merujuk pada
orang tua; sedangkan pada contoh (2) frasa hal itu merujuk pada kalimat
guru akan kehilangan kesempatan mengajar. Sarana kohesi gramatikal
meliputi referen, substitusi, elipsis, dan konjungsi.
1) Referen (pengacuan)
Referensi atau pengacuan merupakan hubungan antara kata dengan
acuannya. Kata-kata yang berfungsi sebagai pengacu disebut deiksis
sedangkan unsur-unsur yang diacunya disebut antesedan. Satuan lingual
yang acuannya berada di dalam teks wacana disebut pengacuan endofora,
sedangkan satuan lingual yang acuannya berada di luar teks wacana
disebut pengacuan eksofora.
2) Substitusi (penyulihan)
Substitusi mengacu ke penggantian kata-kata dengan kata lain. Substitusi
hampir sama dengan referensi. Perbedaan antara keduanya adalah
referensi merupakan hubungan makna sedangkan substitusi merupakan
hubungan leksikal atau gramatikal. Selain itu, substitusi dapat berupa
proverba, yaitu kata-kata yang digunakan untuk menunjukan tindakan,
keadaan, hal, atau isi bagian wacana yang sudah disebutkan sebelum atau
sesudahnya juga dapat berupa substitusi klausal.
3) Elipsis (pelesapan)
Elipsis adalah sesuatu yang tidak terucapkan dalam wacana, artinya tidak
hadir dalam komunikasi, tetapi dapat dipahami. Jadi pengertian tersebut
tentunya didapat dari konteks pembicaraan, terutama konteks tekstual.
Sebagai pegangan, dapat dikatakan bahwa pengertian elipsis terjadi bila
sesuatu unsur yang secara struktural seharusnya hadir, tidak ditampilkan.
4) Konjungsi (kata sambung) adalah bentuk atau satuan kebahasaan yang
berfungsi sebagai penyambung, perangkai atau penghubung antara kata
dengan kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, kalimat dengan
kalimat, dan seterusnya. Konjungsi disebut juga sarana perangkaian unsur-
unsur kewacanaan.
Kohesi Leksikal
Selain didukung oleh aspek gramatikal, kepaduan wacana harus
didukung oleh aspek leksikal. Kohesi leksikal atau perpaduan leksikal
adalah hubungan leksikal antara bagian-bagian wacana untuk
mendapatkan keserasian struktur secara kohesif. Unsur kohesi leksikal
terdiri dari sinonim (persamaan), antonim (lawan kata), hiponim
(hubungan bagian atau isi), repetisi (pengulangan), kolokasi (kata
sanding), dan ekuivalensi. Tujuan digunakannya aspek-aspek leksikal itu
diantaranya ialah untuk mendapatkan efek intensitas makna bahasa,
kejelasan informasi, dan keindahan bahasa lainnya. Kohesi leksikal adalah
kepaduan yang dicapai melalui pemilihan kata. Kohesi leksikal itu dapat
berbentuk, antara lain, dengan pengulangan, sinonim, antonim, dan
hiponim.Contoh:
Di samping itu, salah satu keuntungan dari penggunaan telepon seluler di
sekolah adalah telepon seluler dapat digunakan sebagai alat bantu,
terutama telepon seluler yang dilengkapi dengan beberapa aksesoris,
seperti kalkulator, kamera, dan internet.
Di samping itu, salah satu keuntungan dari penggunaan telepon seluler di
sekolah adalah telepon seluler dapat digunakan sebagai alat bantu,
terutama telepon seluler yang dilengkapi dengan beberapa aksesori, seperti
kalkulator, kamera, dan internet. Aplikasi ini dapat dimanfaatkan untuk
membantu siswa dalam bidang akademik.
Berdasarkan contoh pertama tersebut dapat dikemukakan bahwa supaya
padu, penulis mengulang kata telepon seluler beberapa kali. Sementara itu,
pada contoh kedua frasa beberapa aksesoris, dan kata aplikasi ini
merupakan sinonim. Kohesi leksikal hubungan anatarunsur dalam wacana
secara semantis.
Tahun ini mereka bertekad membangun rumah sendiri. Sudah lama sekali
mereka numpang di rumah saudara.
Sudah lama aku di kota ini mencarinya. Alamat itu tak juga kutemukan.
Beri bumbu dan penyadap rasa yang tepat. Masakanmu pasti enak.
9) Hubungan Perbandingan
Dua burung itu jangan dipisah. Masukkan dalam satu kandang saja.
Biar dia duduk dulu. Saya akan selesaikan pekerjaan ini (simultan).
Tidak bisa masuk ke universitas itu tidak berarti bodoh. Kamu tahu nggak,
Einstein? Fisikawan genius itu juga pernah gagal masuk ke universitas.
Gadis model itu sangat cantik. Wajahnya bersih, matanya indah, bibirnya
menawan. Apalagi jalannyaa, luar biasa.
Saya bangun tidur pukul 05.00. Saya mandi lalu salat subuh. Setelah itu
saya membantu ibu lalu makan pagi bila ada. Kemudian berangkat ke
sekolah. Itulah kegiatanku setiap pagi.
Dia menang dalam pemilihan ketua RW. Dia orang yang bijaksana dan
dapat bergaul dengan siapa saja.
D. Jenis Wacana
Menurut Tarigan (1987: 51) wacana diklasifikasikan menurut media (wacana lisan dan
wacana tulis), berdasarkan pengungkapannya (wacana langsung dan tidak langsung),
berdasarkan bentuk (wacana drama, wacana puisi, dan wacana prosa), dan berdasarkan
penempatan (wacana penuturan dan wacana pembeberan).
Mulyana (2005:47) membagi wacana berdasarkan beberapa segi, yaitu (1) bentuk, (2)
media, (3) jumlah penutur, dan (4) sifat. Deengan demikian, wacana dapat
diklasifikasikan berdasarkan: media penyampaian (yang digunakan), sifat atau jenis
pemakaiannya, bentuk, cara dan tujuan pemaparannya.
2. Berdasarkan sifat atau jenis pemakaiannya wacana dibagi menjadi dua, yaitu
wacana monolog dan wacana dialog. Wacana monolog adalah jenis wacana yang
dituturkan oleh satu orang tanpa melibatkan orang lain untuk berpartisipasi.
Wacana dialog adalah jenis wacana yang dituturkan oleh dua orang atau lebih.
Wacana argumentasi adalah wacana yang berisi ide atau gagasan yang
dilengkapi dengan data-data sebagai bukti dan bertujuan meyakinkan pembaca
akan kebenaran ide atau gagasannya. Pada wacana argumentasi dipaparkan
alasan-alasan terhadap kebenaran atau ketidakbenaran sesuatu hal, dengan
maksud agar pesapa dapat diyakinkan sehingga terdorong untuk melakukan
sesuatu. Dalam mempertahankan atau menyanggah sesuatu hal tadi, dikemukakan
alasan yang berdasarkan bukti, bukan berdasarkan perasaan atau hawa nafsu.
Wacana persuasi ialah wacana yang isinya bersifat ajakan atau nasihat,
biasanya ringkas dan menarik, serta bertujuan untuk mempengaruhi secara kuat
pada pembaca atau pendengar agar melakukan nasihat atau ajakan tesebut.
Wacana deskripsi yaitu wacana yang bertujuan melukiskan, menggambarkan, atau
memerikan sesuatu menurut apa adanya. Wacana deskripsi berisi gambaran
penginderaan (penglihatan, penciuman, kehausan, kelelahan), perasaan, dan
perilaku jiwa (harapan, ketakutan, cinta, benci, rindu, dan rasa tertekan).
Penginderaan itu dilakukan terhadap suatu peristiwa, keadaan, situasi, atau
masalah. Melalui wacana deskripsi, pembaca diharapkan bisa seolah-olah melihat
atau merasakan apa yang dideskripsikan pada wacana tersebut.