Anda di halaman 1dari 9

Nama : Novira Aulianda

NIM : 180241609060

WAYANG SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN


A. PENGERTIAN WAYANG
Menurut Hazeu (1897) wayang dalam bahasa Jawa berarti “bayangan”. Dalam
bahaya Melayu disebut bayang-bayang. Dalam bahasa Aceh: bayeng. Dalam bahasa
Bugis: wayang atau bayang. Dalam bahasa Bikol dikenal kata: baying artinya “barang“,
yaitu “apa yang dapat dilihat dengan nyata“. Akar kata dari wayang adalah yang. Akar
kata ini bervariasi dengan yung, yong, antara lain terdapat dalam kata layang –
“terbang“, doyong – “miring“, tidak stabil; royong – selalu bergerak dari satu tempat
ke tempat lain; poyang-payingan “berjalan sempoyongan, tidak tenang“ dan
sebagainya.
Dengan memperbandingkan berbagai pengertian dari akar kata yang beserta
variasinya, maka dapat dikemukakan bahwa dasarnya adalah: “tidak stabil, tidak pasti,
tidak tenang, terbang, bergerak kian-kemari“.
Awalan wa di dalam bahasa Jawa modern tidak mempunyai fungsi lagi. Tetapi
dalam bahasa Jawa Kuna awalan tersebut masih jelas memiliki fungsi tata bahasa. Jadi
bahasa Jawa wayang mengandung pengertian “berjalan kian-kemari, tidak tetap, sayup-
sayup, bayang-bayang“ telah terbentuk pada waktu yang sangat amat tua ketika awalan
wa masih mempunyai fungsi tata bahasa.
Oleh karena boneka-boneka yang digunakan dalam pertunjukan itu berbayang
atau memberi bayang-bayang, maka dinamakan wayang. Awayang atau hawayang pada
waktu itu berarti “bergaul dengan wayang, mempertunjukan wayang“. Lambat laun
wayang menjadi nama dari bertunjukan bayang-bayang atau pentas bayang-bayang.
Jadi pengertian wayang akhirnya menyebar luas sehingga berarti pertunjukan pentas
yang bertujuan untuk menyampaikan suatu pesan dan diperankan oleh boneka-boneka
yang berbayang.
Danceoff (2020) berpendapat bahwa wayang adalah salah satunya puncak seni
budaya bangsa Indonesia yang sangat menonjol di antara banyak karya budaya yang
lain. Budaya wayang mencakup seni peranan, seni nada, seni musik, seni papar, seni
sastra, seni gambar, seni pahat, serta seni perlambang.

B. PENGERTIAN MEDIA PEMBELAJARAN


Association of Education and Communication Technology (AECT) pada tahun
1997 memberi batasan tentang media sebagai segala bentuk dan saluran yang
digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi. Disamping sebagai sistem
pengantar, media sering juga dikatakan sebagai penyebab atau alat yang turut campur
sebagai penghubung antara kedua belah pihak yaitu pendidik dan peserta didik. Jika
dipahami secara garis besar, media adalah manusia, materi atau kejadian yang
membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan,
keterampilan atau sikap. Namun jika dilihat dalam konteks pembelajaran secara khusus,
media cenderung dikatakan sebagai alat-alat grafis, photografis atau elektronis untuk
menangkap, memproses dan menyusun kembali invormasi visual dan verbal.
Menurut Arsyad (2011) media adalah alat yang menyampaikan atau
mengantarkan pesan-pesan pembelajaran. Dengan kata lain, media adalah komponen
sumber belajar atau wahana fisik yang mengandung materi instruksional di lingkungan
siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar. Media pembelajaran dapat
berbentuk komunikasi baik tercetak maupun audio-visual yang dapat dimanipulasi,
dilihat, didengar dan dibaca. Media pembelajaran ini dugunakan demi tercapainya
tujuan pendidikan yang efektif dan efisien. Salah satu tujuan pendidikan yang sangat
penting yaitu tujuan khusus. Siswoyo (2013) juga mengemukakan bahwa tujuan khusus
pendidikan adalah penghususan tujuan umum atas dasar berbagai hal, misal usia, jenis
kelamin, intelegensi, bakat, lingkungan, budaya, pekerjaan dan sebagainya.

C. CIRI-CIRI MEDIA PEMBELAJARAN


Ismail (2003) menjelaskan istilah model pembelajaran mempunyai empat ciri
khusus yang tidak dipunyai oleh strategi atau media tertentu yaitu :

1. Rasional teoritik yang logis disusun oleh perancangnya,


2. Tujuan pembelajaran yang akan dicapai,
3. Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan
secara berhasil dan
4. Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai.

Sedangkan Arsyad (2011) berpendapat bahwa media pembelajaran memiliki ciri-ciri:


1. Ciri Fiksatif (Fixative Property)
Ciri ini menggambarkan kemampuan media merekam, menyimpan,
melestarikan dan merekontruksi suatu peristiwa atau objek. Suatu peristiwa atau objek
dapat diurut dan disusun kembali dengan media seperti fotografi, video tape, audio tape,
disket computer dan film. Suatu objek yang telah diambil gambarnya/direkam dengan
mudah dapat diproduksi kapan saja saat diperlukan. Menggunakan cirri fiksatif ini,
media memungkinkan suatu rekaman pada waktu tertentu dapat ditransportasikan tanpa
mengenal waktu.
Ciri fiksatif ini sangat penting bagi pendidik karena kejadian-kejadian yang
telah direka dengan format media yang ada dapat digunakan setiap saat. Peristiwa yang
hanya terjadi sekali, dapat diabadikan dan disusun kembali untuk keperluan
pembelajaran.
2. Ciri Manipulatif (Manipulative Property)
Transformasi suatu kejadian atau objek dimungkinkan karena media memiliki
cirri manipulative. Kejadian yang memakan waktu berhari-hari dapat disajikan kepada
siswa dalam waktu dua sampai tiga menit dengan teknik pegambilan gambar time-lapse
recording. Misalnya, proses larva menjadi kepompong lalu menjadi kupu-kupu dapat
dipercepat dengan teknik rekaman fotografi tersebut. Selain mempercepat, suatu
kejadian juga dapat diperlambat pada saat penanyangan kembali rekaman tersebut.
Fifian (2011) berpendapat bahwa kemampuan media dari ciri manipulatif
memerlukan perhatian sungguh-sungguh karean apabila terjadi kesalahan dalam
pengaturan kembali urutan kejadian atau pemotonganbagian-bagian yang salah, maka
akan terjadi pula kesalahan penafsiran. Kesalahan tersebut mengakibatkan
kebingungan dan bahkan dapat menyesatkan sehingga mengubah sikap peserta didik
kearah yang tidak diinginkan. Manipulasi kejadian atau objek dengan jalan mengedit
hasil rekaman dapat menghemat waktu.
3. Ciri Distributif (Distributive Property)
Ciri distributive media, memungkinkan suatu objek atau kejadian
ditransformasikan melalui ruang, dan secara bersamaan kejadian tersebut disajikan
kepada peserta didik melalui stimulus pengalaman yang relatif sama mengenai kejadian
tersebut. Dewasa ini, distribusi media tidak hanya terbatas pada satu kelas atau
beberapa kelas pada sekolah-sekolah dalam suatu wilayah tertentu, tetapi juga media
tersebut dapat tersebar keseluruh penjuru tempat yang diinginkan kapan pun.
Jika informasi telah diformat dalam suatu media, maka informasi tersebut dapat
di produksi berkali-kali dan siap digunakan secara bersamaan di berbagai tempat yang
dikehendaki. Konsistensi informasi yag telah direkam akan terjamin keakuratannya
dengan yang asli.

C. FUNGSI DAN MANFAAT MEDIA PEMBELAJARAN


Harari (2017) menjelaskan bahwa dalam suatu proses belajar mengajar, terdapat
dua unsur yang sangat penting yaitu: metode mengajar dan media pembelajaran. Kedua
aspek ini sangat berkaitan. Menurut Philip (2003) pemilihan suatu metode mengajar
akan mempengaruhi jenis media pembelajaran yang sesuai meskipun masiah ada aspek
lain yang perlu diperhatikan seperti tujuan pembelajaran, jenis tugas dan respon peserta
didik dan karakteristik peserta didik. Walaupun demikian, fungsi utama media
pembelajaran adalah sebagai alat bantu mengajar yang turut mempengaruhi iklim,
kondisi dan lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan oleh pendidik.
Penggunaan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat
membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan
rangsangan kegiatan belajar dan dapat juga membawa pengaruh-pengaruh psikologis
terhadap peserta didik karena perkembangan individu terdiri dari berbagai macam
dimensi atau ranah perkembangan seperti factor fisik, intelektual yang menyangkut
perkembangan kognitif dan bahasa, emosi, sosial serta moral (Izzaty, 2013:5).
Penggunaan media pembelajaran pada tahap orientasi pembelajaran akan sangat
membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian pesan serta isi pelajaran
pada saat itu. Selain membangkitkan motivasi dan minat siswa, media pembelajaran
juga dapat meningkatkan pemahaman, menyajikan data dengan menarik dan
terpercaya, memudahkan penafsiran data dan memadatkan informasi.
Berikut adalah fungsi penggunaan media pembelajaran:
a. Fungsi Atensi
Fungsi atensi merupakan inti, yaitu menarik dan mengarahkan perhatian siswa
untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang
ditampilkan atau menyertai teks materi pelajaran.
b. Fungsi Afektif
Fugsi afektif media pembelajaran dapat terlihat dari tingkat kenikmatan siswa
ketika belajar atau membaca teks yang bergambar. Gambar dapat menggugah emosi
dan sikap siswa, misalya informasi yang menyangkut masalah sosial atau ras.
c. Fungsi Kognitif
Fungsi kognitif dapat terlihat dari temuan-temuan penelitian yang
mengungkapkan bahwa gambar memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami dan
mengingat informasi atau pesan yang terkandung pada gambar.
d. Fungsi Kompensatoris
Fungsi kompensatoris memberikan konteks untuk memahami teks membantu
siswa yang lemah dalam membaca dalam mengorganisasikan informasi dan
mengingatnya kembali. Media pembelajaran berfungsi mengakomodasika siswa yang
lemah dan lambat menerima dan memahami isi pelajaran yang disajikan dengan teks
maupun secara verbal.

D. PENERAPAN WAYANG SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN


Menurut Mulyono (1975) wayang kulit dalam bentuk yang asli dengan
peralatan serba sederhana berasal dari Indonesia dan diciptakan oleh bangsa Indonesia
di Jawa. Muncul sebelum kebudayaan Hindu dating, yakni pada tahun 1500 SM.
Selama pertumbuhannya, wayang kulit mampu melalui berbagai macam zaman dengan
tidak using karea umur, tek lekang oleh panas dan tak lapuk karena dinginnya zaman.
Bahkan dapat melintasi kodratnya dengan selalu menyesuaikan zamannya secara
fungsionil bebas dan kreatif serta dihayati dan dijunjung tinggi oleh generasi-generasi
berikutnya.
Soeroto (2001) mengemukakan bahwa penyesuaian pertunjukan wayang
terhadap kodrat dan zaman menyebabkan terjadinya perubahan bentuk. Akan tetapi,
pembaharuan an perubahan itu hanya terjadi pada bentuk luarnya saja. Tidak mengenai
hal-hal yang berhubungan dengan prinsipnya, sehingga akan tetap menjadi pertunjukan
wayang yang klasik dan tradisional.
Di dalam pertunjukannya, wayang mengisahkan hal—hal yang berkaitan
dengan kehidupan manusia. Baik dalam ranah duniawi maupun mental/spiritual.
Sehingga tidak mustahil bahwa pertunjukan wayang mampu menggerakan hati
seseorang. Suatu hal yang unik dan menonjol dari wayang yaitu, semakin tinggi
martabat seseorang yang menjadi pendukungnya semakin besar pula perhatian dan
kegemaranya terhadap wayang.
Dalam perkembangannya, fungsi wayang mengalami perubahan, dari fungsinya
sebagai alat suatu upacara yang berhubungan dengan kepercayaan telah berubah
menjadi alat pendidikan yang bersifat didaktis dan sebagai alat penerangan, lalu
menjadi bentuk kesenian daerah dan objek ilmiah (Mulyono, 1982:2). Perkembangan
fungsi ini, sejalan dengan perkembangan zaman yang telah di lewati wayang +3000th.
Mulai dari zaman prasejarah, zaman kedatangan Hindu, zaman kedatangan Islam,
zaman penjajahan dan zaman merdeka sampai saat ini.
Suryati (1999) menjelaskan bahwa dalam sejarah kebudayaan Indonesia pada
zaman prasejarah, alam pikiran nenek moyang kita masih sangat sederhana. Mereka
mempunyai anggapan bahwa semua benda yang ada di sekelilingnya itu bernyawa dan
semua yang bergerak dianggap hidup dan memiliki kekuatan gaib yang berwatak baik
maupun jahat. Pengetahuan mereka mengenai alam sekitarnya kurang sempurna,
sehingga mereka bebas untuk menggambarkan fantasi mereka. Pemikiran tersebut
berpengaruh terhadap pertunjukan wayang yang berhubungan dengan upacara
kepercayaan yang memerlukan pembakaran kemenyan sebelumnya kemudian
pertunjukkan diadakan dimalam hari. Hal ini dikarenakan bahwa pada malam para roh
berkelana. Menurut kepercayaan roh merupakan pelindung yang kuat dan dapat
memberikn pertolongan dalam setiap kehidupan mereka.
Itulah asal mula pertunjukan wayang yang kemudian terus berkembang setahap
demi setahap dalam waktu yang cukup lama. Namun tetap mempertahankan fungsi
intinya sebagai suatu kegiatan gaib yag berhubungan dengan kepercayaan dan
pendidikan sehingga sekarang mudah dipahami bahwa yang semula berupa baying-
bayang, gambar atau ujud roh telah berkembang menjadi wayang kulit, layar menjadi
kelir, shaman atau pendeta menjadi dalng, sajian menjadi sajen, nyanyian menjadi seni
suara, bunyi-bunyian menjadi gamelan, blencong menjadi lampu penerangan dan
sebagainya.
Setelah wayang berhasil melintas jalan sejarah dan kodratnya secara bebas
kreatif dan pandai menyesuaikan dan menyelaraskan diri dengan zaman, wayang di
anggap sebagai kebudayaan bangsa Indonesia sesuai dengan pasal 32 UUD 45. Selain
itu, wayang juga dianggap sebagai tradisionil adilihung yang dapat dilihat dari
konteksnya yang bersifat rohaniah dan religius.
Sebelum manusia mencapai ilmu pengetahuan yang tinggi (hakekat/filsafat),
manusia tersebut harus mengetahui mitos, sastra dan kawi (ilmu sejati). Filsafat akan
terwujud jika seseorang berani memisahkan dan meninggalkan sesuatu yang mitos ke
sesuatu yang logis. Kini aliran animism tidak dibenarkan lagi, karena Tuhan itu Maha
Esa. Oleh karena itu, pergelara wayang kulit tersebut tidak hanya merupakan
manifestasi atau pengejawantahan dunia, tetapi juga merupakan proyeksi dari dunia
konkrit.
Dalam ranah pendidikan saat ini, wayang dapat dijadikan sebagai media
pembelajaran. Hal ini dikarenakan keberadaan wayang yang semakin tersisihkan
dengan kebudayaan lain serta kalah saingnya wayang jika dibandingkan dengan alat-
alat modern lain yang dianggap sebagai alat sekolah seperti LCD dan
Proyektor. Namun jika dilihat dan diamati lebih lanjut, media seperti tersebut hanya
cocok dinegara maju seperti Amerika Serikat. Di Indonesia sepertinya belum bisa untuk
menghadapi kemajuan teknologi. Dimana dengan adaya proyektor malah membuat
pelajar bosan, karena harus melihat tulisan yang berderet deret. Beda halnya dengan
wayang. Wayang disini bisa dikatakan, dengan seorang guru yang memainkan suatu
barang untuk menjelaskan suatu materi atau pelajaran ataupun juga memainkan sebuah
wayang adapun juga menceritakan tokoh pewayangan yang ada dalam wayang. Hal ini
cenderung efektif dari pada hanya melihat di LCD Proyektor. Penggunaan wayang
sebagai media pembelajaran dilakukan melalui kegiatan bercerita. Guru cukup
menceritakan kisah pewayangan yang mengandung nilai kebaikan serta mengajarkan
karakter tokoh wayang tersebut untuk diteladani dan dijadikan sebagai sumber motivasi
oleh siswa. Dimana motivasi tersebut merupakan suatu kondisi yang dapat
menimbulkan perilaku tertentu serta member arah dan ketahanan pada tingkah laku
tersebut (Sugihartono, 2013:20). Siswa yang memiliki motivasi akan memiliki kualitas
keterlibatan belajar yang tinggi, perasaan dan keterlibatan afektif siswa sangat tinggi
dan selalu berupaya memelihara atau menjaga agar selalu memiliki motivasi belajar
yang tinggi pula.
Selain faktor diatas, Hirarto (2014) berpendapat bahwa ada beberapa kelebihan
yang dimiliki oleh wayang sebagai media media pembelajaran yang efektif, yaitu:
1. Wayang bersifat Acceptable (Dapat Diterima).
Artinya, wayang sendiri merupakan bagian dari khasanah kebudayaan bangsa
sehingga bisa diterima oleh semua kalangan, baik oleh guru maupun siswa. Sehingga
budaya Indonesia bisa dilestarikan dan dapat dijadikan sebagai media pembelajaran.
2. Wayang bersifat Timeless (Tak Lekang oleh Waktu)
Berarti tak lekang oleh waktu. Cerita pewayangan adalah cerita yang memiliki
kesamaan dari waktu ke waktu. Adanya sifat ini membuat wayang sebagai media
pembelajaran karakter dapat digunakan secara turun temurun pada generasi pelajar
selanjutnya. Oleh karenanya wayang dapat dimainkan kapan saja, sehingga wayang
sangat cocok untuk media pembelajaran.
3. Wayang ini tidak membutuhkan banyak biaya seperti media lain serta
praktis dan efisien.
Bercerita tentang wayang tidak membutuhkan fasilitas penunjang dalam bentuk
apapun. Yang dibutuhkan hanyalah kemampuan guru dalam mengekpresikan cerita
tersebut dalam kalimat yang apik agar mudah dimengerti oleh siswa. Wayang adalah
warisan budaya nasional yang patut dilestarikan oleh bangsa Indonesia. Penggunaannya
sebagai media pendidikan karakter menjadi komponen pendukung pembentukan
karakter anak bangsa sekaligus mempertahankan eksistensinya sebagai budaya
bangsa. Hal ini tentu akan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia dan menjaga
kebudayaan wayang agar tidak hilang. Hal ini tidak
boleh terputus (kontinyu) dan dikembangkan dengan mengadopsi kemajuan teknologi
dan budaya diluar wayang (konvergen) tetapi sifat budaya wayang tetap harus ada
(konsentris).
1. Kontinyu
Kebudayaan bersifat kontinyu, bersambung tak terputus-putus, berkembang maju,
bukan loncatan terputus-putus dari titik asal”.Loncatan putus akan menyebabkan suatu
proses akan kehilangan pangkal asal untuk maju selanjutnya dan menyebabkan
kesesatan karena kehilangan pegangan. Kemajuan suatu bangsa adalah lanjutan garis
hidup asalnya yang ditarik terus dengan menentukan nilai-nilai baru dari bangsa sendiri
maupun dari luar.

2. Konvergen
Konvergensi ini juga disebut sebagai dasar kemasyarakatan, yaitu sambung
hubungan kita dengan masyarakat yang lebih luas. Semangat memencil dan penyakit
“kemurni-murnian” atau isolasi dan purisme akan membawa ke kematian. Dalam
konteks pendidikan wayang, pendidikan wayang tidak dapat berdiri sendiri, melainkan
harus berhubungan dengan pendidikan lainnya.

3. Konsentris
Alam hidup manusia merupakan “alam hidup berbulatan” yang digambarkan
sebagai lingkaran-lingkaran besar kecil yang semuanya bersatu titik pusat dimana orang
duduk atau berdiri di atas titik pusat itu. Lingkaran terkecil adalah alam diri pribadi,
lingkaran diluarnya adalah alam keluarga, lingkaran diluarnya yang lebih luas adalah
alam bangsa dan kebangsaan, dan yang terluas adalah alam manusia dan
kemanusiaan. Sama halnya dengan pendidikan wayang, keseluruhan aspek ataupun
ranah, baik formal, informal, ataupun formal harus bersinergi satu sama lain untuk
mempertinggi derajad kemanusiaan anak didik. Hal ini di karenakan, pendidikan
memiliki tugas pokok yaitu mengajar keterampilan bertahan hidup dengan pendidikan
pragmatis, mempersiapkan warganegara sesuai dengan kepribadian kelompok serta
meningkakat martabat manusia (Sunarso, 2013:228).

E. MASALAH MORALITAS PENDIDIKAN


Menurut Sarwono (2003) salah satu persoalan esensial yang kini melanda dunia
pendidikan adalah persoalan yang berkaitan dengan dimensi moralitas. Moralitas
sebagai salah satu tolak ukur dan koridor perilaku serta manifestasi dimensi sosial-
kemanusiaanmengupayakan nilai-nilai kebaikan bersama. Pendidikan dengan
tujuannya yang ideal diharapkan menjadi media untuk melestarikan nilai-nilai
moralitas tersebut. namun faktanya tidaklah selalu sesuai dengan yang diharapkan.
Dian (2014) berpendapat bahwa di dalam dunia pendidikan ternyata berkembang
berbagai bentuk perilaku yang sering kali justru tidak sesuai, bahkan kontradiktif
dengan nilai-nilai moralitas.
Suwito (2007) juga berpendapat bahwa perilaku peserta didik semakin penuh
dengan nuansa dehumanistik. Kasih sayang, kebersamaan, kejujuran, kerja keras dan
nilai-nilai dasar kemanusiaan lain yang fundamental, semakin berkurang. Kondisi
seperti ini disebabkan oleh orientasi pendidikan yang lebih menekankan aspek kognitif
saja. Tolak ukur keberhasilan dalam dunia pendidikan dewasa ini, hanya diwakili
dengan angka nominal dari mata ujian. Padahal, pendidikan di katakan berhasil tidak
hanya dilihat dari nilai ujian, tetapi keseluruhan dari aspek pembelajaran yang dicapai.
Seperti yang dikatakan Muhajir (2011:62) bahwa pendidikan hendaknya berorientasi
dan demi pengembangan anak didik, dalam rangka memelihara dan meningkatkan
martabat manusia dan budayanya demi memuliakan Tuhan.
Karena aspek-aspek tersebut, sangat diperlukan media pembelajaran yang
sesuai dengan tujuan pendidikan. Pemilihan media pembelajaran ini tidak hanya di lihat
dari kecanggihan teknologinya, seberapa banyak informasi-informasi yang mampu
disampaikan, tetapi juga dilihat dari nilai-nilai budaya dan spiritual yang terkandung
dalam media pembelajaran tersebut. Sehingga peserta didik tidak hanya memiliki nilai
ujian yang baik, tetapi juga diimbangi dengan moralitas yang baik juga.
DAFTAR PUSTAKA

Mulyono, Sri. 1982. Wayang Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya. PT Gunung Agung:
Jakarta.
Arsyad, Azhar. 2011. Media Pembelajaran. PT Raja Graindo Persada: Jakarta.
Danim, Sudarwan. 2010. Media Komunikasi Pendidikan. PT Bumi Angkasa: Jakarta.
Familydanceoff, 2020. Pengertian Wayang Kulit. [Internet]. Tersedia di:
https://familydanceoff.com/pengertian-wayang-kulit/
Izzaty, Rita Eka dkk. 2013. Perkembangan Peserta Didik. UY Press: Yogyakarta.
Muhajir, As’aril. 2011. Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual. Ar-ruzz Media: Yogyakarta.
Siswoyo, Dwi dkk. 2013. Ilmu Pendidikan. UNY Press: Yogyakarta.
Suyanto. 2006. Dinamika Pendidikan Nasional. PSAP: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai