Anda di halaman 1dari 31

INDERA PERABA

A. PENGERTIAN INDERA PERABA

Kulit adalah organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh, yang merupakan
organ terberat dan terbesar dari tubuh. seluruh kulit beratnya sekitar 16% berat tubuh, pada
orang dewasa sekitar 2,7-3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5-1,9 meter persegi. Tebalnya kulit
bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm bergantung pada letak, umur dan jenis kelamin
(Puspitawati, Hapsari, & Suryaratri, 2012). Kulit merupakan bagian bagian yang sangat
penting bagi tubuh, yang berfungsi melindungi tubuh terhadap bahan-bahan yang berbahaya
seperti bahan kimia, cahaya matahari yang mengandung sinar ultraviolet, melindungi
terhadap morcoorganisme, serta menjaga keseimbangan antara tubuh terhadap
lingkungannya. Selain itu kulit juga memiliki serabut-serabut halus yang berguna untuk
merasakan sentuhan-sentuhan atau berbagai perabaan. Kulit juga merupakan indikator bagi
seseorang untuk memperoleh kesan umum, yaitu dengan melihat perubahan yang terjadi pada
kulitnya, misalnya menjadi pucat, kekuning-kuningan, kemerah-merahan, atau untuk
mengetahui meningkatnya suhu pada kulit dan sebagainya. Dalam kulit terdapat reseptor
untuk berbagai jenis rangsangan, orang awam melihat kulit sebagai indera perabaan, namun
paling sedikit terdapat lima jenis penginderaan yakni: rabaan, tekanan, panas, dingin dan
sakit (Irianto, 2012). Masing-masing reseptor tersebut berada di antara tiga lapisan kulit.
Ketiga lap isan kulit tersebut adalah epidermis, dermis dan hipodermis.

B. DIMENSI PENGINDERAAN

Penginderaan terjadi dalam suatu konteks tertentu, konteks ini disebut dunia persepsi.
Ciri-ciri umum dari proses penginderaan tersebut, antara lain:
1. Rangsang yang diterima harus sesuai dengan modalitas tiap-tiap indera, yaitu sifat
sensoris dasar dari masing-masing indera. Seperti sentuhan untuk
perabaan, gesekan untuk sentuhan perabaan, cahaya untuk
penglihatan, bau untuk penciuman, dan lain-lain (Sumanto, 2014).
2. Dunia persepsi mempunyai sifat ruang (dimensi ruang); kita dapat
mengatakn atas-bawah, tinggi-rendah, kasar-lembut, luas-sempit.
Seperti penelitian yang dilakukan terhadap sampel (partisipan)
tentang perbedaan persepsi kekasaran pada 2 objek dengan tekstur yang berbeda yakni 1
objek datar dan 1 objek pola cekung (kawah, alur) serta cembung (grid). Perbedaan
dirasakan oleh partisipan penelitian ini, persepsi kekasaran dari partisipan meningkat saat
kekasaran objek (ruang) meningkat. Ini menunjukkan Persepsi itu bisa membedakan
kekasarannya permukaan di tingkat mikro (Zhang et al., 2017).
3. Dunia persepsi mempunyai dimensi waktu, seperti cepat-lambat, tua-muda.
4. Objek atau gejala dalam dunia pengamatan mempunyai struktur yang menyatu dengan
konteksnya (Sumanto, 2014).
Dari ciri penginderaan di atas, terutama penginderaan perabaan, sebuah sentuhan
merupakan bahan baku untuk indera peraba. Salah satunya sentuhan berupa gesekan, gesekan
memainkan Peran dalam persepsi seperti kelekatan yang dirasakan. jenis tekstur, kekasaran
permukaan dan area kontak yang jelas merupakan faktor penting bagi perseptual atribut
(kekasaran yang dirasakan dan kelekatan yang dirasakan) di bawah kondisi sentuhan ringan
(Zhang et al., 2017).

C. ANATOMI FISIOLOGI INDERA PERABA


1. Epidermis

Epidermis adalah lapisan kulit paling luar yang sifatnya tipis. Terdiri dari epitel
berlapis, mengandung sel melanosit, langerhans, dan merkel. Tebal epidermis berbeda-beda
pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan kaki. Epidermis terdiri
dari beberapa lapisan lagi, yaitu 1) Stratum Korneum, 2) Stratum Lusidum, 3) Stratum
Granulosum, 4) Stratum Spinosum, 5) Stratum Basale /Stratum Germ inativum (Puspitawati
et al., 2012).

1) Lapis Tanduk (Stratus Korneum)


Lapis tanduk merupakan lapis yang paling luar, terdiri dari 15-20 lapis sel
tanduk (keratinosit) sifat dan ketebalan lapis tanduk ini berbeda-beda, paling tebal
pada telapak kaki dan telapak tangan. Sebenarnya sel tanduk tersebut sudah mati
secara biologis. Elastisitasnya kecil, lapisan ini terus menerus mengalami
pengelupasan. Lama hidup sel tanduk keratinosit sejak mulai dibentuk sampai terlepas
kira-kira 20 hari. Meskipun lapisan ini tidak mengandung air, tetapi sel ini
mempunyai daya serap air cukup tinggi.

2) Lapis Bening (Stratus Lusidum)


Lapisan ini tidak memiliki batas yang jelas, intinya gepeng samar-samar. Proses
keratinasi di mulai dari lapis bening ini. Ketebalan lapis bening tidak sama di seluruh
tubuh dan nampak jelas pada telapak kaki dan telapak tangan.

3) Lapis Berbutir-Butir (Stratus Granulosum)


Terdiri dari lapis sel-sel yang di dalam protoplasmanya mengandung butir-butir
keratohealin. Sel-sel terbentuk kumparan tersusun menjadi 2-4 baris. Lapis
inimerupakan prekursor pembentukan keratin.

4) Lapis Taju (Stratus Spinosum)


Tersusun teratur beberapa baris, bentuk selnya bulat sampai poligunal dan
makin keluar makin besar selnya. Sel yang bersekatan saling berhubungan dengan
perantaraan serabu-serabut halus (tonofilamen) yang seolah-olah jembatan antar sel.
Beberapa ahli menyebut lapis taju ini dengan nama stratum malphigi. Inti bagian basal
lapis taju mengandung kolestrol, asam amino, dan glutasi.

5) Lapis Benih (Stratum Germinativum atau Membran Basalis)


Merupakan lapis terdalam kulit ari. Selaput basal ini merupakan peralihan
antara kulit ari ke kulit jangat dan tidak dapat dilihat dengan mikroskop biasa karena
sangat halus. Peranan selaput ini dalam pengaturan proses pertukaran dermo-
epidermal dan fungsi vital kulit sangat besar (Irianto, 2012).

Epidermis yang berasal dari ektoderm, tersusun atas epitel skuamosa bertingkat yang
filamen intermediat keratin. Epitel terdiri atas beberapa lapis sel dengan lapisan terbawah
melekat pada membran basal yang memisahkan epidermis dari lapisan dermis di atasnya.
a. Sebagai sel mati yang dibuang dari permukaan kulit, sel mati tersebut digantikan oleh sel
di bawahnya. Laju pergantian sel setara dengan kecepatan pengelupasannya sehingga
ketebalan lapisan dermis tetap terjaga walaupun ketebalannya di selunuh bagian tubuh
bervariasi.

b. Sel di lapisan basal tepat di atas membran basal membelah dengan cepat dan terus-
menerus. Sejalan dengan perpindahan sel ke atas arah permukaan tubuh, sel tersebut
berdiferensiasi dan mulai mengekspresikan protein keratin. Keratin berperan dalam
kekuatan mekanis dan fleksibilitas kulit.

c. Karena epidermis tidak mengandung pembuluh darah, diferensiasi sel menjadi


kekurangan makanan, oleh karena itu, metabolismenya menjadi kurang aktif. Sewaktu
sel mendekat ke permukaan kulit, sel itu kehilangan inti, mati, dan terkikis oleh abrasi
fisik (Bresnick, 2003).

2. Dermis
Dermis adalah lapisan tengah dari kulit yang terbagi menjadi tua lapisan lagi, yaitu 1)
Lapisan papiler (sifatnya tipis dan ngandung jaringan ikat jarang dan 2) Lapisan retikuler
(sifatnya tebal dan terdiri dari jaringan ikat padat) (Puspitawati et al., 2012).

1) Lapis Papilar (Stratum Papillare)


Merupakan bagian kulit yang paling vital, karena memegang peranan penting
dalam peremajaan dan penggkitaan unsur-unsur kulit. Pada umumnya, papil-papil
kulit jangat sangat rendah, tetapi pada telapak kaki dan telapak tangan papil-papil
kulit jangattnya tinggi, besar dan banyak, sehingga nampak berhimpitan membentuk
rigi-rigi yang menonjol di permukaan kulit ari dan membentuk pola-pola sidik jari.

2) Lapisan Retikular
Lapisan ini terdiri atas anyaman jaringan ikat yang lebih tebal, dan dalam
lapisan ini ditemukan sel-sel fibroblast, sel-sel histiosit, pembuluh-pembuluh darah,
pembuluh-pembuluh getah bening, saraf, kandung rambut, kelenjar palit, kelenjar
keringat, sel-sel lemak dan otot penegak rambut (Irianto, 2012).

Dermis adalah lapisan jaringan ikat yang berada di antara epidermis dan hipodermis.
Seperti jaringan ikat lainnya, dermis tersusun atas kolagen, retikulin, dan serat elastis. Kisi-
kisi serat berfungsi sebagai penyangga untuk berhubungan dengan membran basal dan
struktur yang berkaitan dengan kulit misalnya, rambut, kelenjar.
a. Folikel rambut dimulai dari lapisan dermis meluas ke atas melewati epidermis ditempat
asalnya. Agar rambut tegak, otot reaktor pili berkontraksi menarik batang rambut tegak
lurus ke permukaan kulit (Bresnick, 2003). Fungsi rambut sekaligus folikel rambutnya
adalah apparatusaccessorius, apabila rambut terkena rangsangan maka bergeraklah
rambut (bulu) tadi dan getarannya dilajutkan oleh lemak kemudian akan diterima oleh
ujung saraf. Khusus untuk alat-alat genital (seksual) selain apparatus juag berfungsi
sebagai apparatus sensai asmara, hal ini terjadi apabila rambut (bulu) tersebut dielus-
elus, diraba lemah lembut (Fudyartanta, 2011).
b. Kelenjar pada kulit bagian dermis ada dua yakni kelenjar keringat dan kelenjar sebasea
1. Kelenjar keringat, terbagi menjadi 2 jenis berdasarkan struktur dan lokasinya.
a) Kelenjar keringat ekrin adalah kelenjar tubular dan berpilin serta tidak
berhubungan dengan folikel rambut, kelenjar ini menyebar luas diseluruh tubuh
terutama pada telapak tangan , telapak kaki dan dahi. Sekresi dari kelenjar ini
(keringat) membantu pendinginan evaporatif untuk mempertahankan suhu tubuh.
b) Kelejar keringat apokrin, kelenjar yag spesialisasinya besar dan bercabang
dengan penyebaran terbatas. Kelenjar ini ditemukan pada aksila, areola payudara,
dan reginal anogenital.
 Kelenjar apokrin yang berada di lipatan ketiak dan area anogenital mulai
berfungsi pada masa pubertas untuk merespon stress dan kegembiraan yang
kemudian mengeluarkan sekresi tidak berbau tapi akan berbau jika tercampur
bakteri.
 Kelenjar seruminoa pada saluran telinga menghasilkan getah telinga (serumen)
dan kelenjar siliaris moll pada kelopak mata juga termasuk kelenjar apokrin.
 Kelenjar mammae adalah kelenjar apokrin yang termodifikasi untuk
memproduksi susu.
2. Kelenjar sebasea menghasilkan sebum yang dialirkan ke folikel rambut, sebum adalah
camouran lemak, zat lilin, minyak dan pecahan-pecahan sel yang befungsi sebagai
pelembut kulit dan juga menghambat evaporasi yang berlebihan pada kulit serta
menjaga kualitas tekstur kulit (Sloane, 2003).

Sebenarnya, ada banyak faktor mempengaruhi kualitas kulit termasuk sebum yang
dihasilkan kelenjar sebasea pada permukaan kulit, jenis kulit, kebiasaan hidup, penerapan
kosmetik, usia, ras, jenis kelamin, kepribadian dan faktor lainnya. Ini menunjukkan
keragaman dan memiliki sedikit perbedaan antara bentuk, warna dan teksturnya (Pang et al.,
2017).

3. Hipodermis

Hipodermis merupakan lapisan jaringan subkutan di bawah dermis. Di dalam


hipodermis terdapat banyak adiposit, atau sel lemak. Adiposit membentuk lapisan lemak
subkutan yang membantu mengisolasi tubuh. Jaringan kapiler cenderung tersebar karena
adiposit secara metabolik tidak seaktif jenis sel lain (Bresnick, 2003).

D. FUNGSI KULIT
1. Homoestasis
Homeostasis ialah kecenderungan organisme untuk mempertahankan keadaan stabil
lingkungan internal meskipun terjadi perubahan lingkungan eksternal. Pada semua
organisme, kedinamisan serta keseimbangan keadaan internal harus dipertahankan. Untuk
mencapai tujuan ini, proses metabolik harus dipantau dan terus-menerus disesuaikan. Cara
pengontrolan pengaturan diri ini peka terhadap gangguan kecil dan sangat efisien dalam
mencegah kehilangan waktu dan energi dalam jumlah banyak (Bresnick, 2003). Yang
berfungsi pada kulit apabila cuaca panas, sistem kulit akan merespon dengan mengeluarkan
peluh melalui kelenjar keringat pada epidermis kulit, untuk mencegah suhu darah meningkat,
pembuluh darah akan mengembang untuk mengeluarkan panas ke sekitarnya, hal itu juga
menyebabkan kulit berwarna merah.

2. Osmoregulasi
Osmoregulasi ialah proses mempertahankan kandungan air di dalam tubuh sebagai
tambahan pengaturan konsentrasi dan penyebaran ion-ion.

a. Kelenjar keringat, meskipun ginjal merupakan pusat utama untuk osmoregulasi, kelenjar
keringat di kulit mengekresi antara 5% dan 10 % sisa metabolism tubuh, termasuk garam
dan urea. Keringat dapat bervariasi dari 0,51, pada suhu biasa hingga 2-3 L pada hari
panas. Kehilangan volume air dan garam membantu mengontrol osmoaritas tubuh.
b. Melindungi tubuh terhadap dehidrasi. Kulit juga memiliki peran yang sangat penting
dalam osmoregulasi dengan melindungi tubuh melawan dehidrasi. Kulit manusia tidak
permeabel terhadap air, oleh karena itu, kulit manusia merupakan barier untuk pertukaran
air dengan lingkungan. Pada hewan lain, seperti amfibi, kulitnya permeabel terhadap air
sehingga memungkinkan hewan tersebut secara langsung mengadakan osmoregulasi
dengan lingkungannya

a. Termoregulasi
Pengaturan suhu tubuh merupakan suatu contoh operasi homeostasis. Walaupun
sejumlah panas dikeluarkan melalui pernapasan, defekasi, dan urinasi, 90% total panas tubuh
keluar melalui kulit.
1. Ketika suhu tubuh meningkat, sel di hipotalamus merasakan peningkatan dan
mengirimkan impuls saraf untuk mengompensasi
a. Peningkatan pengeluaran keringat. Neuron simpatis merangsang kelenjar keringat
untuk meningkatkan pengeluaran keringat. Penguapan keringat dari permukaan kulit
selanjutnya membantu menurunkan suhu tubuh. Panas dari permukaan kulit
dihilangkan dengan mengubah keringat menjadi uap air.
b. Impuls saraf lain berjalan kekapiler di kulit dan menyebabkan vasodilatasi kapiler
itu. Proses ini meningkakan volume darah yang diantarkan ke permukaan kulit
sehingga lebih banyak panas yang dapat beradiasi ke luar.
2. Ketika suhu tubuh menurun, hipotalamus merasa kehilangan panas.
a. Hipotalamus mengirimkan impuls saraf untuk menginduksi vasokonstriksi kapiler
kulit tubuh yang mengurangi hilangnya panas melalui radiasi yang lebih
b. Kontraksi otot (menggigil) pada kasus kehilangan panas ekstrem, impuls saraf
merangsang otot rangka untuk berkontraksi secara cepat. Menggigil menimbulkan
panas tanpa menyebabkan kehilangan energi yang besar karena gerakan tubuh
minimal (Bresnick, 2003).

4. Perlindungan Fisik
Kulit berfungsi sebagai pelindung (barier) fisik antara tubuh dan lingkungan
eksternal. Pemisahan fisik ini mempunyai beberapa tujuan.

1. Masuknya agen infeksi dicegah.


2. Tubuh dilindungi dari gaya abrasi yang merusak selama pergerakan.
3. Kerusakan dari toksin kimia, fluktuasi suhu yang ekstrem. dan sinar ultraviolet dikurangi
(Bresnick, 2003). Sebenarnya terdapat cara alami untuk melindungi kulit dari paparan
sinar ultraviolet. Salah satunya dengan konsumsi sumber makanan yang mempunyai zat
catechin (C), epicatechin (EC), epigallocatechin (EGC), epicatechin gallate (EKG) dan
epigallocatechin gallate (EGCG). Zat-zat tersebut terdapat di dalam teh hijau. Menurut
penelitian yang telah dilakukan, katekin yang ada di dalam teh hijau yang dikonsumsi
akan bereaksi melindungi sel-sel kulit tubuh dari pengaruh radikal bebas termasuk
paparan sinar ultraviolet.(Clarke et al., 2016)

5. Metabolisme
Vitamin D yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tulang diproses secara
sitesis dengan bantuan radiasi sinar matahari atau sinar ultraviolet, dimulai dari sebuah
molekul prekursor (dehidrokolestrol-7) yang ditemukan di kulit.

6. Komunikasi
a. Semua stimulus dari lingkungan diterima oleh kulit melalui sejumlah reseptor khusus
yang mendeteksi sensasi yang bekaitan dengan suhu, sentuhan, tekanna dan nyeri.
b. Kulit merupakan media ekspresi wajah dan refleks vaskular yang penting dalam
komunikasi (Sloane, 2003).

E. RESEPTOR PADA KULIT

1. Korpuskel Paccini
Kopuskel paccini adalah reseptor yang mersepons stimulus berupa perubahan posisi
kulit secara mendadak atau getaran berfrekuensi tinggi. Struktur luarnya yang berlapis-lapis
seperti bawang menyediakan dukungan mekanis yang melindungi neuron di dalamnya. Saraf
ini terdapat pada sub-kutis. Rangsang yang diterima adalah sensasi tekanan, daerah utamanya
terletak pada ujung jari (Kalat, 2010).

2. Korpuskel Meissner
Berbentuk papila, semacam kenop didalamnya terdapat saraf berbentuk spinal. Ujung
akhir sarafnya berada di antara corium dan stratum germanaticum. Sensasi yang paling
sensitif adalah perabaan kasar dan halus. Organ-organ tubuh yang paling sensitif terhadap
perabaan ini adalah pucuk bibir, pucuk jari, aat-alat kemaluan (terutama pucuk penis dan
labium serta clistoris), papila mamea (puting susu).

3. Korpuskel Krause
Korpuskel Krause merupakan reseptor dengan bentuk berupa selubung bulat. Sensasi
yang diterima adalah senai dingin.

4. Ujung Saraf Ruffini


Terdapat di antara subkutis dan corium. Prinsipnya sama seperti korpuskel meissner,
hanya bentuknya seperti silinder dan ujung sarafnya yang bercabang-cabang. Sensasi yang
dihasilkan adalah sensasi panas (Fudyartanta, 2011).

5. Lempeng Merkel
Lempeng merkel adalah reseptor kulit yang menhantarkan impuls lebih ringan
dibanding korpuskel meissner yakni berupa sentuhan lembut. Berdasarkan reseptor-reseptor
tadi, maka seseorang dapat mengidentifikasi objek melalui sentuhan (stereognosis). Dengan
memiliki reseptor yang sebagian beradaptasi dengan cepat dan sebagian beradaptasi dengan
lambat akan memberikan informasi tentang kualitas-kualitas dinamis maupun statis dari
berbagai stimuli tactual (Puspitawati et al., 2012).

F. WARNA PADA KULIT

Perbedaan warna pada kulit terjadi akibat faktor berikut:


1. Melanosit, teretak pada stratum basalis yang memproduksi pigmen, melanin adalah yang
bertanggung jawab untuk pewarnaan kulit dari coklat sampai hitam.
a. Pada rentang waktu yang terbatas, melanin melindungi kulit dari sinar ultraviolet
matahari yang merusak. Melanin meningkat ketika kulit terpapar sinar matahari
secara langsung. Selain itu, terdapat cara lain untuk melindungi kulit dari radiasi
sinar ultraviolet matahari yaitu dengan menggunakan pelindung matahari (Sloane,
2003). Akan tetapi kesadaran untuk menggunakan pelindung matahari masih sedikit.
Dari hasil penelitian tentang pengaruh perilaku penggunaan pelindung matahari pada
orang dewasa, ditemukan faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan dalam
perilaku penggunaan pelindung matahari sangat beraneka ragam dan mencakup
konsep sosiodemografi, kognitif, perilaku, psikososial, keluarga, dan rekan. Selain
itu nilai dan norma dari budaya, keluarga, dan masyarakat juga dapat mempengaruhi
perilaku pelindung matahari. (Bruce, Theeke, & Mallow, 2017)
b. Jumlah melanosit (sekitar 1000/mm-2000/mm2) tidak bervariasi antar ras, tetapi
perbedaan genetik yang menghasilkan produksi melanin dan pemecahan pigmen
yang lebih melebar mengakibatkan perbedaan ras.
c. Puting susu, aerola dan area sirkumasi, skrotum, penis dan labia mayora adalah area
yang pigmentasinya lebih besar, sedangkan telapak tangan dan telaak kaki
mengandung sedikit pigmen.
2. Darah, dalam pembuluh dibawah lapisan epidermis dapat terlihat dengan jelas dari
permukaan dan tampak merah muda, hal ini lebih jelas pada kulit orang putih
(caucasian)
3. Karotin (pigmen kuning) juga menentukan perbedaan warna kulit dan hanya ditemukan
pada stratum korneum (Sloane, 2003).

G. MEKANISME KERJA KULIT (SENTUHAN)

sentuhan adalah suatu gerakan yang ringan dan tidak memerlukan tenaga yang kuat
untuk menghasilakn sensasi pada kulit. Untuk dapat merasakan sensasi sentuhan, kulit harus
diberi stimulus secara langsung seperti pernyataan dalam jurnal penelitian yang menyatakan
bahwa untuk 'merasakan' kekuatan atau merasakan kekakuan dan tekstur lingkungan, sel
harus 'menyentuh' lingkungan sekitarnya (Sun & Walcott, 2010).
Infomasi dari reseptor sentuhan yang berada di dalam kulit daerah kepala masuk ke
dalam sistem saraf pusat melalui saraf-saraf kranial, informasi dari reseptor sentuhan yang
berada di dalam kulit di daerah kepala ke bawah masuk ke dalam sumsum tulang belakang
dan menuju otak melalui 31 pasang saraf tulang belakang. Termasuk dalam pasangan saraf
tersebut adalah 8 pasang saraf servikal, 12 pasang saraf torakal, 5 pasang saraf lumbal, 5
pasang saraf sakral, dan 1 pasang saraf koksigeal. Setiap saraf tulang belakang memiliki
komponen sensorik dan motorik.
Setiap saraf tulang belakang menginervasi atau terhubung dengan suatu area tubuh
secara terbatas. Area kulit yang terhubung dengan satu saraf sensorik tulang belakang disebut
dengan dermatom. Setiap informasi sensorik yang masuk ke dalam sumsum tulang belakang
menuju otak melalui lintasan yang khusus. Contohnya pada sumsum tulang belakang,
lintasan sentuhan akan berbeda dengan lintasan nyeri, dan di dalam lintasan nyeri itu sendiri
terdapat beberapa kelompok akson yang khusus meneruskan rasa nyeri yang menyakitkan.
Singkatnya, beragam aspek sensasi pada tubuh memiliki lintasan yang terpisah hingga
menuju korteks somatosensorik. Di sepanjang pita yang terdapat dalam korteks
somatosensorik, terdapat subarea yang merespons area yang berbeda pada tubuh. Artinya,
korteks somatosensorik berfungsi sebagai peta lokasi tubuh. Individu yang telah mengalami
kerusakan pada korteks somatosensorik akan mengalami gangguan terhadap tubuhnya sendiri
(Kalat, 2010).

H. SENSASI INDERA PERABA

1. Rasa Sakit
Stimulus rasa sakit secara khusus tidak ada. Sakit merupakan respons terhadap
berbagai macam stimulasi apa pun yang secara potensial membahayakan. Terdapat tiga
paradoks tentang rasa sakit, yaitu sebagai berikut.
1) Sakit merupakan hal yang buruk, padahal di satu sisi sakit yang dirasakan bisa saja
penting bagi keselamatan hidup manusia. Sakit memperingatkan kita untuk
menghentikan keterlibatan kita dalam berbagai kegiatan yang secara potensial
membahayakan atau memperingatkan kita untuk mencari penanganan. Contohnya: gerak
refleks melepaskan pisau yang melukai tangan saat memasak. Hal ini disebabkan oleh
sensor rasa nyeri memberi peringatan terhadap bahaya yang mengancam tubuh. otak
mengirimkan pesan ke sistem saraf motorik untuk menarik tangan melepaskan pisau.
2) Tidak memiliki representasi kortikal yang jelas. Stimuli sakit mengaktifkan banya
korteks, tetapi setelah diteliti tidak ada satu pun daerah kortek yang mengatur persepsi
rasa sakit. Contohnya: pada pasien hemispherectomy, yaitu pasien yang salah satu bagian
hemisfernya dianggap menimbulkan rasa sakit dibuang, tetapi pasien tersebut tetap saja
merasakan sakit dari kedua sisi tubuh
3) Rasa sakit dapat ditekan secara efektif dengan faktor kognitif serta emosional.
Contohnya: rasa sakit yang dialami para prajurit dianggap biasa dalam medan
pertempuran.
Terdapat gate control theory dari Melzakc dan Wall (1965) yang menjelaskan bahwa
faktor kognitif dan emosional dapat memblokir rasa sakit. Teori mengatakan bahwa sinyal-
sinyal yang turun dari otak akan mengaktifkan sirkuit-sirkuit gerbang neural di sumsum
tulang belakang untuk memblokir rasa sakit yang datang. Terdapat jenis rasa sakit yang
disebut rasa sakit neuroplastis, yaitu rasa sakit kronis berat tanpa stimulus rasa sakit yang
jelas. Contohnya seseorang yang mengalami kecelakaan dan luka-luka, setelah dirawat luka-
luka sembuh dan tidak terlihat seperti orang sakit lagi, tetapi kenyataannya orang tersebut
masih merasa sakit yang menyiksa dan tidak diketahui sumbernya. Rasa sakitnya lebih dipicu
oleh stimulus yang tidak merusak seperti angin ataupun sentuhan. Hal ini diperkirakan ada
patologis pada sistem saraf yang tidak diketahui sebabnya.
Prefrontal Lobotomy adalah bagian otak yang mampu mengontrol sebab-sebab
emosional yang ditimbulkan oleh rasa sakit, tetapi nilai rasa sakit itu berbeda-beda antara
orang yang satu dengan yang lain karena ambang rasa sakit setiap orang sangat bervariasi. Di
sekitar Cerebral aquaduct, terdapat bagian berwarna abu- abu (gray matter) yang memiliki
efek analgesic (pengurang rasa sakit), tepatnya bagian periaqueductal gray matter (PAG).
Stimulasi terhadap PAG dapat mengurangi sensitivitas terhadap rasa sakit tanpa mengurangi
sensitivitas sensasi somatis yang lain. Dalam PAG juga terdapat neuron-neuron yang peka
terhadap substansi yang menurunkan aktivitas (menenangkan), yaitu neuron-neuron
serotonergik di bagian batang medulla yang disebut raphe nuclei (Puspitawati et al., 2012).
Rasa Sakit Neuropatik
Pada kebanyakan kasus, plastisitas sistem saraf manusia membantunya berfungsi
lebih efektif. Dalam kasus rasa sakit neuropatik, yang sebaliknyalah yang terjadi.
Neuropathic pain (rasa sakit neuropatik) adalah rasa sakit kronis berat tanpa adanya stimulus
kesakitan yang dapat ditengarai. Salah satu tipikal nyeri neuropatik berkembang setelah
sebuah kecelakaan : luka-lukanya sembuh dan tampaknya tidak ada alasan untuk masih
merasa sakit, tetapi pasien mengalami rasa sakit kronis yang betul-betul menyiksa. Pada
banyak kasus, rasa sakit itu dipicu oleh stimulus yang biasanya tidak merusak, seperti angin
sepoi-sepoi atau sentuhan ringan (Pinel, 2012).
Berdasarkan dalam jurnal penelitian, sensasi rasa sakit sebagian besar dipengaruhi
oleh perilaku viscoelastic yang ketika menderita rangsangan mekanis yang tahan lama,
relaksasi stres pada jaringan kulit mengurangi tingkat stres nociceptor. Hal itu akan
mengurangi frekuensi pelepasan potensial aksi pada nociceptor dan menghilangkan sensasi
rasa sakit. Tingkat regangan yang meningkat memiliki kecenderungan pengerasan dan
menyebabkan rasa sakit yang tajam. Temperatur yang lebih tinggi dapat meningkatkan
kelenturan jaringan kulit dan mengurangi sensasi rasa sakit saat suhu kurang dari ambang
batas 43°C (Liu et al., 2015).

2. Nyeri
a. Stimulus dan Lintasan Nyeri
Sensasi nyeri dimulai dari ujung saraf tak bercabang, sebuah reseptor yang paling
rendah tingkat spesialisasinya. Menurut Cao, dkk dalam bukunya 1998, Akson yang
membawa informasi nyeri hanya memiliki sedikit mielin atau tidak sama sekali, oleh
karena itu akson tersebut menghantarkan impuls relatif lambat dengan kecepatan yang
berkisar antara 2 hingga 20 meter per sekon (m/s). Akson yang tebal dan cepat
menghantarkan nyeri yang luar biasa; akson yang paling tipis menghantarkan rasa sakit
yang terpendam contohnya rasa nyeri pasca operasi. Akson-akson tersebut masuk ke
dalam sumsum tulang belakang, kemudian melepaskan dua macam neurotransmitter.
Nyeri ringan akan melepaskan neurotransmitter glukamat, sementara nyeri yang lebih
kuat akan melepaskan neurotransmitter glukamat dan substansi P. Artinya, tanpa adanya
substansi P, mencit tidak dapat mendeteksi peningkatan intensitas nyeri.
Menurut Babiloni dkk, sel-sel nyeri yang terdapat pada sumsum tulang belakang
mengantarkan impuls ke area otak kemudian berlanjut ke korteks somatosensorik di
lobus parietal, dari korteks tersebut semua sensasi dan sentuhan serta lokasi sumber nyeri
pada tubuh dapat terdeteksi, yang kemudian korteks tersebut memberi respon dari
stimulus yang menyakitkan dan sinyal nyeri yang akan terjadi.
Hunt dan Mantih telah melakukan penelitian bahwa stimulus menyakitkan
mengaktivasi sebuah lintasan yang melalui formasi reticular pada medulla otak,
kemudian berlanjut ke beberapa nucleus sentral thalamus, amigdala, hippocampus,
korteks prefrontal, dan korteks singulat. Area-area tersebut tidak hanya bereaksi terhadap
sensasi yang menyakitkan, tetapi juga terhadap emosi kurang menyenangkan yang
berkaitan dengan sensasi tersebut (Kalat, 2010).
b. Nyeri Cepat dan Lambat
Ada 2 jalur nyeri, satu lambat dan yang lain cepat. Menjelaskan pengamatan
fisiologik bahwa terdapat 2 jenis nyeri. Suatu rangsangan nyeri akan menimbulkan
sensasi yang jelas, tajam, dan terlokalisasi yang kemudian diikuti oleh sensasi uyang
tumpul, difus, kuat dan tidak menyenagkan. Kedua sensasi tersebut dinamai nyeri cepat
dan lambat. Perbedaan waktu antara kedua komponen semakin besar karena semakin
jauhnya suatu rangsang dari otak. Hal tersebut dibuktikan dengan dijelaskannya bahwa
nyeri cepat disebabkan oleh kegiatan diserap nyerti A, sedangkan nyeri lambat
disebabkan oleh kegiatan di serat C (Ganong, 1998).
c. Sensitisari nyeri
Devor (1996) dan Tominaga dkk (1998) berpendapat yang sama yaitu jika tubuh juga
memiliki mekanisme untuk meningkatkan nyeri. Contohnya, kulit akan terasa sakit jika
tersentuh pada bagian yang terbakar sinar matahari. Jaringan yang rusak atau meradang
(inflamasi) melepaskan histamine yang merupakan suatu faktor pertumbuhan syaraf dan
beberapa zat kimia lain untuk membantu pemulihan. Zat-zat kimia tersebut juga
menyebabkan pembesaran respons reseptor nyeri pada daerah di sekitar jaringan yang
rusak atau meradang.
Malmberg dkk (1997) menyarankan untuk mencegah terjadinya nyeri kronik maka
pembatasan nyeri sejak dini sangat diperlukan. Saat akan menjalani pembedahan besar,
pendekatan yang harus dilakukan adalah mulai menggunakan morfin sebelum operasi.
Apabila informasi memberondong otak selama dan setelah operasi berlangsung, maka
dapat meningkatkan sensitifitas saraf nyeri dan reseptornya. Jadi, individu yang setelah
operasi akan menggunakan morfin lebih sedikit dibandingkan saat sebelum operasi
(Kalat, 2010).
d. Cara-cara meredakan nyeri
Nyeri memperingatkan kita akan bahaya. Otak kita membatasi respons terhadap nyeri
yang diperpanjang melalui mekanisme opiod, yaitu sistem yang merespons obat-obatan
opiate dan senyawa kimia yang menyerupainya. Ckitace Pert dan Solomon Snyder
(1973) menemukan fakta bahwa opiate mengeluarkan efeknya dengan cara melekat pada
reseptor tertentu yang sebagian besar terletak dalam sumsum tulang belakang dan area
kelabu periakuaduktus (periaqueductal grey area) pada otak bagian tengah. Penemuan
reseptor opiate sangat berguna berbagai pihak, karena hal tersebut merupakan bukti
pertama yang memperlihatkan bahwa opiat bekerja bukan pada jaringan yang luka
melainkan pada sistem saraf. Lebih lanjut lagi, penemuan tersebut mengindikasikan
bahwa sistem saraf pasti memiliki suatu senyawa opiat. Dua contoh senyawa opiat
tersebut adalah metenkefalin dan leuenkefalin. Walaupun secara struktur kimia enkefalin
berbeda dengan morfin, enkefalin dan beberapa neurotransmiter lain melekat pada
reseptor yang sama dengan reseptor morfin.
Sutton, dkk mengungkapkan bahwa stimulus yang menyenangkan dan tidak
menyenangkan dapat melepaskan endorfin, sehingga mencegah rasa nyeri. Nyeri yang
tak terhindarkan ampuh untuk menstimulasi pelepasan endorfin dan menginhibisi nyeri
lebih lanjut. Menurut A. Goldstein (1980), endorfin juga dilepaskan selama aktivitas
seksual dan ketika kita mendengarkan musik menegangkan yang membuat kita
merinding.
Penemuan endorfin menghadirkan detail fisiologi bagi teori kendali gerbang nyeri
yang diajukan oleh Ronald Melzack dan P.D. Wall berpuluh-puluh tahun sebelumnya
(1965). Lalu menurut pendangan Wei dkk,(2001) Teori kendali gerbang nyeri disebabkan
oleh faktor genetik yang menjelaskan mengapa beberapa individu dapat menahan nyeri
daripada individu lain dan intensitas luka yang berbeda-beda rasa sakitnya pada satu
waktu daripada waktu lainnya. tetapi pengalaman juga memberikan sumbangan pada
variasi antar individu. Berdasarkan teori kendali gerbang nyeri, neuron pada sumsum
tulang belakang yang menerima informasi dari reseptor nyeri juga menerima input dari
reseptor sentuhan dan dari akson yang cabangnya turun dari otak. Input-input selain
input nyeri dapat menutup “Gerbang” informasi nyeri, atau mempersempit gerbang
informasi dengan cara melepaskan endorphin. Walaupun beberapa detail dalam dalam
teori kendali gerbang nyeri Melzack dan Wall ternyata salah, prinsip umum teori mereka
sudah valid. Morfin tidak menghalangi nyeri menyakitkan yang diakibatkan oleh pisau
bedah, anestesi umumlah yang dapat melakukannya. Morfin menghalangi nyeri yang
lebih lambat dan terpendam yang tetap terasa setelah pembedahan.
Cara lain yang digunakan Karrer dan Bartoshuk (1901) untuk meredakan nyeri adalah
memanfaatkan kapsaisin. Kapsaisin dapat menghasilkan sensasi terbakar atau
menyakitkan dengan cara melepaskan substansi P. Kapsaisin menyebabkan neuron
melepaskan substansi P lebih cepat daripada pembentukannya kembali, sehingga
kemampuan neuron tersebut menghantarkan informasi nyeri menurun. Kapsaisin dosis
tinggi juga dapat merusak reseptor nyeri. Kapsaisin yang diusapkan pada pundak yang
nyeri, sendi rematik atau area lain menghasilkan sensasi terbakar sementara diikuti oleh
periode penurunan nyeri yang lebih lama. Tetapi jangan berpikiran untuk memakan cabai
yang pedas untuk meredakan nyeri dibagian tubuh. Kapsaisin yang konsumsi akan
melewati sistem pencernaan tanpa masuk ke dalam darah, karena itulah memakan cabai
tidak akan meredakan nyeri yang dialami kecuali nyeri pada lidah.
Hrobjartsson dan Gotzsche (2001) berpendapat bahwa terkadang beberapa orang
mengalami penurunan rasa sakit karena mengonsumsi plasebo. Plasebo adalah sebuah
obat atau prosedur lain yang tidak memiliki efek farmakologi. Secara teori di hampir
semua penelitian medis, plasebo tidak memberikan pengaruh, tetapi memang kadang
meredakan nyeri. Menurut Rainville dkk (1997) pengaruh utama plasebo adalah pada
emosi bukan sensasi. Artinya, plasebo menurunkan respons pada korteks singulat dan
bukan pada korteks somatosensorik. Individu yang terhipnotis masih merasakan stimulus
yang menyakitkan, tetapi tidak bereaksi secara emosional.

3. Sensasi Gatal

Andrew dan Craig (2001), mengidentifikasi bahwa telah dilakukan penelitian lintasan
sensasi gatal yang menuju ke sumsum tulang belakang. Ketika terjadi kerusakan ringan pada
kulit, maka kulit akan melepaskan histamin. Histamin inilah yang menghasilkan sensasi gatal.
Histamin di dalam kulit akan mengeksitasi akson-akson pada lintasan sensai gatal yang
menuju sum-sum tulag belakang, sementara stimulus lain tidak menghasilkan eksitasi. Gatal
bermanfaat karena hal itu membuat kita menggaruk daerah yang terasa gatal dan
menghilangkan apapun yang mengiritasi kulit. Gerakan yang kuat menimbulkan nyeri ringan
dan nyeri menginhibisi gatal. Opiat yang meredakan nyeri justru meningkatkan gatal.
Hubungan inhibitori antara nyeri dan gatal merupakan bukti terkuat yang menegaskan bahwa
gatal bukanlah suatu tipe nyeri.
Penelitian tersebut dapat menjelaskan sebuah pengalaman yang mungkin kita miliki.
Apabila dokter gigi memberikan Novocain sebelum mengebor gigi maka sebagian wajah kita
akan mati rasa. Satu jam kemudian setelah efek Novocain memudar, kita mungkin akan
merasakan adanya sensasi gatal yang tak tertahankan pada bagian wajah yang mati rasa.
Tetapi jika kita mencoba menggaruknya, maka kita tidak akan merasakan apapun karena
sensasi sentuhan dan nyeri masih mati rasa. Ternyata efek Novocain terhadap akson gatal
lebih cepat memudar daripada terhadap akson sentuhan dan nyeri. Fakta bahwa kita dapat
merasakan gatal pada saat tersebut merupakan sebuah bukti bahwa gatal bukanlah bentuk
sentuhan ataupun nyeri. Menggaruk daerah yang sebagian masih mati rasa tidak mengurangi
sensasi gatal, ternyata garukan tersebut harus menghasilkan sensasi nyeri untuk mengurangi
sensasi gatal (Kalat, 2010).
4. Sensasi Geli

Menurut penelitian C.R. Harris (1999), sensasi geli memang menarik, tetapi sangat
kurang dipahami. Kita akan tertawa jika orang lain menggelitik ketiak, leher atau telapak kaki
kita, karena dalam penelitian C.R. Harris simpanse juga merespon sensasi yang sama yaitu
terengah-engah menyerupai ketawa pada manusia. Tetapi sensasi geli berbeda dengan
lelucon, karena lelucon dihasilkan dari penerimaan kita untuk tertawa, sedangkan sensasi geli
dari gelitikan orang lain untuk pertama kalinya akan direspon dengan tertawa lalu gelitikan
berikutnya akan direspon dengan penolakan atau marah. Kita tidak dapat menggelitik diri kita
sendiri karena ketika menyentuh diri sendiri, otak membandingkan hasil stimulasi tersebut
dengan stimulasi yang “diharapkan” dan menghasilkan respon somatosensorik yang lemah.
Ketika orang lain menyentuh anda, respon yang dihasilkan lebih kuat. Hal tersebut
dikemukakan oleh blakemore dkk (1998). Ketika sedang menggelitik diri sendiri, otak
mendapat informasi mengenai pergerakan tangan sehingga mengurangi sensasi sentuhan yang
ditimbulkan (Kalat, 2010).
Pernyataan diatas juga didukung oleh penelitian dalam jurnal yang berjudul Active
Interpersonal Touch Gives Rise to the Social Softness Illusion yang menyatakan bahwa
diketahui sentuhan dibentuk oleh prediksi sensorimotor yang menyebabkan berkurangnya
intensitas sensasi yang disebabkan oleh gerakan yang dihasilkan sendiri, seperti contohnya
seseorang tidak dapat menggelitiki dirinya sendiri (Gentsch, Panagiotopoulou, & Fotopoulou,
2015).

I. KERUSAKAN PADA SISTEM SOMATOSENSORI


1. Kerusakan pada Korteks Somatosensori Primer
Kerusakan yang terjadi sering kali lebih ringan karena terdiri dari banyak jalur sehingga
bila satu cedera masih ada jalur lainnya. Contohnya: kerusakan yang dialami pasien
epilepsi, setelah operasi mereka mengalami kehilangan sensitivitas dalam mendeteksi
sentuhan ringan dan kurang mampu untuk mengidentifikasikan objek melalui sentuhan.
2. Agnosia Somatosensori Terdapat dua tipe agnosia somatosensori, yaitu asterognosia dan
asomatognosia.
a. Asterognosia Asterognosia, yaitu ketidakmampuan untuk mengenali objek- objek
melalui sentuhan.
b. Asomatognosia Asomatognosia yaitu ketidakmampuan untuk mengenali bagian-
bagian tubuh sendiri. Biasanya bersifat unilateral yang hanya memengaruhi sisi kiri
tubuh saja dan biasanya berhubungan dengan kerusakan pada lobus parietal posterior
kanan.
Asomatognosia umumnya sering disertai dengan gejala anosognosia, yaitu
ketidakmampuan untuk mengenali gejalanya sendiri (gangguan neurologis)
Asomatognosia merupakan komponen dari contralateral neglect (pengabaian
kontralateral), yaitu kecenderungan untuk tidak merespons stimuli yang berada di posisi
kontralateral terhadap cedera hemisfer kanan (Puspitawati et al., 2012).

J. KELAINAN PADA KULIT


1. Jerawat (Acne)

Jerawat sebagai salah satu penyakit kulit yang disebabkan oleh bakteri yang tumbuh
di kulit dan menghubungkan pori-pori dengan kelenjar minyak di bawah kulit (kelenjar
sebasea). Jerawat dibentuk oleh bustul dan abses yang menyebabkan parut. Hal ini
dikarenakan arpertura dari glandula sebasea terblokir oleh sumber tanduk dan terdapat retensi
dari sebum yang diubah oleh organisme yang menimbulkan inflamasi pada jaringan
sekitarnya (Teori, 2011) Jerawat banyak terjadi pada wanita, hal ini juga dibuktikan di Arab
Saudi pada penelitian mengenai penyakit dermatologis di wilayah Hail, yang mana rasio
wanita pada penyakit dermatologis lebih banyak dibanding yang pasien lakilaki. Mengingat
prevalensi jerawat pada wanita di Hail, terutama tingkat kesadaran estetika pada wanita (Al
Shammrie & Al Shammrie, 2017).

2. Cacar air
Cacar air adalah suatu penyakit menular yang disebabkan infeksi virus varicella-
zoster. Penyakit ini ditularkan melalui perantara udara. Ditandai dengan kemunculan ruam
pada kulit sebagai gejala utama. Penyakit tersebut akan muncul dengan bintil berwarna merah
pada kulit yang di dalamnya berisi cairan, dalam jangka waktu kurang lebih 7-15 hari bintil
tersebut akan mengering atau bahkan pecah dengan sendirinya, dan hal tersebut merupakan
tanda cacar air telah sembuh.

3. Eksim

Kelainan kulit dengan ciri peradangan atau bengkak, kemerahan, dan rasa gatal.
Penyakit ini tidak menular tetapi menyebabkan rasa tiudak nyaman pada kulit yang terkena.
Umumnya terjadi pada masa kanak-kanak. Bagian tubuh yang sering terkena eksim adalah
tangan, kaki, lipatan paha, dan telinga. Eksim disebabkan oleh karena alergi terhadap
rangsangann zat kimia tertentu seperti yang terdapat dalam detergen sabun, obat-obatan, dan
kosmetik, kepekaan jenis makanan tertentu seperti udang, ikan laut, telur, daging, alkohol,
dan lain-lain. penyebab lainnya bisa karena alergi serbuk sari tanaman, debu, rangsangan
iklim bahkan gangguan emosi (Teori, 2011). Frekuensi gangguan kulit ini dari hari ke hari
meningkat. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan di Pakistan bahwa Eksim
adalah kelainan kulit yang paling sering dialami, diikuti oleh infeksi kulit (Aman, Nadeem,
Mahmood, & Ghafoor, 2017).

4. Bisul

Bisul ialah radang folikel rambut dan sekitarnya. Bisul berbentuk kerucut yang ditengah
nodus eritematosa terdapat pustul. Keluhannya berupa nyeri, tempat predileksi ialah yang
banyak friksi, misalnya aksila dan bokong.
5. Campak (Rubella)

Merupakan penyakit akut menular yang disebabkan oleh virus. Gejala awalnya adalah
demam, pilek, radang mata, lesu, nafsu makan turun dan sakit kepala. Biasanya terjadi pada
anak-anak. Setelah beberapa hari gejala awal muncul akan timbul ruam merah yang gatal,
bertambah besar dan tersebar di bagian tubuh.

6. Impetigo

Merupakan sebuah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri, impetigo


menyebabkan kulit menjadi gatal, merah, melepuh berisi cairan. Bakteri biasanya masuk ke
dalam kulit melalui gigitan serangga, luka atau goresan. Impetigo sangat mudah terjadi pada
anak usia 2-6 tahun.

7. Kudis

Kudis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit tungau yang gatal, yaitu
sarcoptes scabiei var hominis. Kulit yang terjangkit kudis lebih banyak terjadi di daerah
kumuh dan tidak menjaga kebersihan tubuh. Gejalanya adalah gatal yang begitu hebat pada
malam hari terutama pada sela-sela jari kaki, tangan, di bawah ketiak, alat kelamin, pinggang,
dan lain-lain. Penyakit ini sangat gampang menular baik langsung maupun tidak langsung
(Teori, 2011). Dalam penelitian terhadap tentara Turki, Kudis adalah penyakit yang paling
umum ditularkan secara seksual dalam penyebarannya. Namun setiap penyakit menular
seksual tidak dapat dideteksi karena kurangnya pemeriksaan konfirmasi lebih lanjut dalam
penelitian yang bersifat observasional (Sasmaz & Celik, 2011).

8. Kurap

Kurap adalah penyakit yang terjadi karena jamur. Gejalanya adalah kulit menjadi
tebal dan pada kulit timbul lingkaran-lingkaran berwarna putih yang semakin jelas, lembab,
berair, dan bersisik. Bagian tubuh yang biasa terserang adalah tengkuk, leher, dan kulit
kepala.

9. Psoriasis

Psoriasis termasuk penyakit kulit yang sulit didiagnosa. Bagian yang biasa terkena
psoriasis adalah tangan, kaki, lipatan paha, telinga, kulit kepala, punggung bagian bawah,
telapak kaki dan telapak tangan. Penyebabnya adalah stress, trauma, dan kalsium yang
rendah. Penyakit ini tidak menular tetapi bersifat gen (menurun). Gejalanya adalah timbul
bercak merah dengan sisik putih yang tebal dan menempel hingga berlapis-lapis. Bila
digaruk, sisik akan rontok, mula-mula luas permukaan kullit yang terkena hanya kecil dan
semakin lama semakin melebar.

10. Panu
Panu adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur ditandai dengan bercak yang
terdapat pada kulit disertai rasa gatal saat berkeringat. Bercak tersebut dapat berwarna putih,
coklat atau merah, tergantung warna kulit penderita. Penyakit panu tidak hanya dijumpai
pada remaja usia belasan, tetapi juga pada usia yang berumur tua (Teori, 2011).
Penyakit kulit sangat berkembang pesat di beberapa negara, penyakit-peyakit ini
antara lain, jerawat sederhana, kudis dan yang serius seperti Stevens Sindrom Johnson,
nekrolisis epidermal toksik dan purpura fulminans. Pola penyakit kulit ini bervariasi dari
negara ke negara bahkan satu daerah ke daerah lainnya, penyebabnya pun karena faktor
ekologi yang berbeda, genetika, standar higenis dan adat istiadat sosial (Aman et al., 2017).
Dalam penelitian pada penyakit kulit yang dialami oleh tentara Turki dikemukakan bahwa
Faktor kontribusi suhu dan iklim (panas dan sinar ultraviolet) pun memengaruhi penyakit
kulit pada tentara Turki seperti kombinasi panas yang ekstrim, efek oklusif dari pakaian
pelindung, kondisi kehidupan yang sempit, dan tekanan penyebaran saraf yng tegang yang
mungkin menjadi penyebab besar kasus penyakit kulit pada tentara Turki (Sasmaz & Celik,
2011). Hal ini membuktikan bahwa penyakit kulit memiliki variasi pola dalam
penyebarannya, dan memiliki faktor berbeda-beda yang menjadi penyebabnya. Maka dari itu
dianjurkkan bagi kita untuk menjaga kebersihan demi diri sendiri dan lingkungan, utamanya
dalam kebersihan kulit.

K. HUBUNGAN KULIT DENGAN FAKTOR PSIKOLOGIS


1. Hiberhidrosis dipandang sebagai fenomena kecemasan yang diperantarai oleh sistem
saraf otonom. Ketakutan, kemarahan dan ketegangan dapat menyebabkan sekresi
keringat, karena manusia memiiki 2 mekanisme berkeringat yaitu termal dan emosional.
Berkeringat emosional terutama tampak pada telapak tangan, telapak kaki dan aksila.
Berkeringat termal paling jelas pada dahi, leher, punggung tangan dan lengan bawah
(Pustaka, 2004).
2. Stres dapat memicu atau memperparah penyakit kulit, seperti dermatitis atopik, psoriasis,
urtikaria, dan alopesia areata atau totalis. Hal ini membuktikan adanya hubungan
keterkaitan antara otak dengan kulit. Sistem stres di otak dan pinggiran meliputi sumbu
hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) dan sistem gairah serta simpatik. Saat diaktifkan
dengan stres, sistem stres menyebabkan beberapa perilaku, neuroendokrin, otonom, dan
perubahan kekebalan tubuh yang merupakan bagian darirespon adaptifnya. (Zoumakis,
Kalantaridou, & Chrousos, 2007)
Ada bukti klinis bahwa stres mempengaruhi integritas kulit tapi tidak ada bukti langsung
untuk menunjukkan bahwa stres memperburuk penuaan kulit, dan hubungan ini belum
ditunjukkan dengan jelas. Stres psikologis kronis merangsang sistem saraf otonom,
sistem renin-angiotensin, dan hipotalamus hipofisis sumbu adrenal. Aktivasi
berkepanjangan ini dapat mengakibatkan disfungsi kekebalan tubuh kronis, peningkatan
produksi ROS, dan kerusakan DNA, yang dikenal sebagai kontributor penuaan kulit,
walaupun mekanisme dasarnya belum didefinisikan secara jelas. Mekanisme umpan
balik dan crosstalk antara otak dan kulit, juga telah ditemukan dan sitokin pro-inflamasi
dan jalur inflamasi neurogenik berpartisipasi dalam menengahi respons ini . Produk
sampingan dari sistem ini (seperti kortisol, katekolamin dan neuropeptida) dapat
berdampak pada sistem kekebalan tubuh. Meskipun semua kelainan kulit dapat
diperburuk oleh stres, tidak ada bukti konklusif yang secara langsung menghubungkan
tekanan psikologis dengan penuaan kulit, mekanisme yang mendasarinya tidak jelas.
Terakhir, ada beberapa data untuk mendukung stres tersebut menginduksi penurunan
permeabilitas epidermal dan kerusakan pada gangguan dan pemulihan penghalang.
(Krutmann, Bouloc, Sore, Bernard, & Passeron, 2017)
Sebuah penelitian dengan subjek ayam menunjukkan konsep bahwa, stress bisa
ditunjukkan dengan cara mengukur suhu kulit. Suhu kulit bisa menunjukkan intensitas
stressor akut, dan juga menunjukkan kesesuaian pola hormon, perilaku dan pola termal
kulit. Perubahan suhu akibat stres tampaknya mencerminkan proses kognitif.(Herborn et
al., 2015)

3. Dampak kurang tidur sekarang


diketahui terkait dengan
peningkatan risiko banyak penyakit
kronis seperti hipertensi,
diabetes mellitus, dan obesitas,
penyakit kardiovaskular,
depresi dan bahkan kanker,
dan beberapa di antaranya juga meningkatkan risiko kematian. Di kulit, tidur yang
terbatas telah terbukti mempengaruhi penampilan wajah fisik (atau estetika). Salah satu
penelitian eksperimental menemukan subjek dengan gangguan tidur ternyata sangat
kurang sehat, kurang atraktif dan lebih lelah dengan perubahan beberapa parameter
warna kulit . Studi eksperimental lain menemukan bahwa kurang tidur mempengaruhi
fitur yang berhubungan dengan mata, mulut, dan kulit. Para peneliti melaporkan
mengamati kelopak mata yang menggantung, mata merah, bengkak, lingkaran hitam di
bawah mata, kulit yang pucat, lebih banyak keriput / garis halus, dan sudut-sudut suram
di mulut . Dalam hal penuaan kulit, sebuah penelitian cross-sectional terhadap 60 wanita,
menemukan bahwa mereka yang tidur kurang dari 5 jam per malam menunjukkan tanda
penuaan yang lebih intrinsik, seperti yang ditunjukkan oleh skor SCINEXA . Fungsi
penghalang permeabilitas epidermal yang berkurang diamati selama periode tekanan
psikologis karena kurang tidur.(Krutmann et al., 2017)
4. Pada penderita autis, memiliki masalah atau gangguan dalam aspek pada gangguan
indera peraba berupa sensitif pada sentuhan (hipersensitif) dan tidak suka kontak fisik
seperti dipegang atau dipeluk, selian itu, juga kurang sensitif pada rasa sakit jika
terbentur atau terluka (Ii & Teori, 2012). Hal ini juga dijelaskan dalam studi kasus
mengenai tikus penderita ASD autis yang kemudian diberi stimulus sentuhan atauun
tiupan udara, yang menghasilkan kesimpulan bahwa ttidak hanya tikus tetapi banyak
individu dengan ASD bersifat hipersensitif terhadap sentuhan dan rangsangan sensoris
lainnya, tidak jelas apakah tanggapan berlebihan ini mencerminkan masalah pada bagian
permukaan atau CNS (Tuttle, Bartsch, & Zylka, 2016).

Penyakit kulit adalah


penyebab yang penting dalam
masalah kesehatan dan merupakan
penyakit global bagi
masyarakat dunia yang tentunya
tidak dapat dilihat dari kesehatan
fisik serta kesejahteraan
melainkan dalam tingkat psikologisnya dalam menyandang penyakit kulit masing-
masing. Dalam studi GBD (Global Burden of Diseases) 2010, pada beban individu
versus beban populasi ini terjadi konflik potensial antara perspektif populasi dan
individual, karena banyak kondisi kulit yang dipilih memiliki dampak yang relatif ringan
pada kehidupan sebagian besar pasien, seperti eksim dan jerawat vulgaris, namun karena
Prevalensi penyakit kulit yang sangat tinggi ini, beban (YLD) pada tingkat populasi
sangat besar. tetapi banyak klinisi berpendapat bahwa fokus pada penyakit dengan beban
penyakit individual yang lebih tinggi, namun YLD yang rendah, memerlukan perhatian
lebih (misalnya penyakit bulleous, jaringan ikat penyakit dan reaksi obat kutaneous yang
parah). Hal ini yang harusnya merangsang peneliti lain untuk lebih menilai dan
memperbaiki dampak spesifik penyakit kulit agar bisa memantau (reduksi) kehilangan
kesehatan akibat kondisi kulit di masa depan (Hollestein & Nijsten, 2014).

L. INDERA PERABA DALAM ISLAM


Kulit adalah organ perasa nyeri dan perih. Kajian fisiologis modern menjelaskan
bahwa dalam kulit manusia terdapat sel-sel perasa dengan bentuknya yang berbeda-beda.
Adapun fungsinya adalah menerima berbagai perasaan,seperti rasa panas, dingin, sentuhan,
tekanan, atau rasa sakit. Al-Quran menunjukkan adanya organ perasa dalam kulit yang
khusus untuk merasakan rasa sakit. Kulit disebutkan dalam salah satu firman Allah yang
berbunyi,

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami kelak akan Kami masukkan
mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan
kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana." (Qs an-Nisa': 56).

Ayat tersebut menunjukkan adanya sel-sel perasa pada kulit yang berfungsi khusus
untuk merasakan sakit, sebagaimana telah dibuktikan kajian fisiologis modern. Jika kulit
hangus dan sel-selnya hancur, maka hilanglah rasa sakit. Karena itu, Allah mengganti kulit
orang-orang yang kafir setiap kali hangus dengan kulit yang baru agar mereka terus
merasakan kesakitan (azab) akibat kekafirannya. Dalam ayat lainnya dijelaskan bahwa kulit
merupakan alat indera untuk merasakan sentuhan yang membantu manusia dalam merasa kan
sesuatu (Najati, 2010).
“Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat
memegangnya dengan tangan mereka sendiri, tentulah orang-orang yang kafir itu berkata,
‘Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.’ (Qs al-An'am: 7)

Perbedaan warna kulit juga disebutkan dalam Al-Quran, Allah berfirman, "Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan
bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui“ (Ar-Rum: 22).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia mempunyai macam-macam warna kulit.


Menurut ilmuwan modern, perbedaan warna kulit disebabkan oleh perbedaan ketebalan
bahan pewarna kulit. Bahan pewarna kulit tersebut biasa dikenal dengan nama melanin. Tak
ada perbedaan dalam jumlah sel antara yang berkulit putih dengan yang berkulit hitam,
karena jumlah sel-sel dalam tubuh manusia berkulit putih dan berwarna bersifat konstan.
Antara manusia yang berkulit cerah dan berkulit hitam ter-dapat perbedaan bahan pewarna
yang kadarnya tak lebih dari 1 gam saja. Tetapi hal yang menarik perhatian adalah sel-sel ini
akan berkurang hingga 10-20% di setiap 10 tahun. Oleh sebab itu semakin tua usia seseorang,
biasanya kulitnya semakin lebih cerah dan lebih putih. Antara manusia yang berkulit cerah
dan berkulit hitam ter-dapat perbedaan bahan pewarna yang kadarnya tak lebih dari 1 gam
saja. Tetapi hal yang menarik perhatian adalah sel-sel ini akan berkurang hingga 10-20% di
setiap 10 tahun. Oleh sebab itu semakin tua usia seseorang, biasanya kulitnya semakin lebih
cerah dan lebih putih.

Kulit mempunyai sistem pendingin alami yang luar biasa dalam diri setiap orang,
bahkan termasuk sistem paling rumit dan sangat detail. Kulit manusia bisa menyesuaikan
suhu, kecuali dalam keadaan suhu lebih dari 45o Celcius dengan kelembapan yang tinggi, atau
naik hingga 60° Celcius disertai dengan kekeringan total. Di bawah dua suhu itu, manusia
dibekali dengan sistem yang begitu kompleks, yang mengontrol suhunya agar tetap pada suhu
normal yaitu 37o Celcius. Saat seseorang merasa kedinginan, maka pembuluh darah di kulit
akan menyempit guna menjaga suhu tetap normal. Sedangkan jika seseorang merasa
kegerahan atau panas, maka pembuluh darah di bawah kulit akan melebar (Thayyarah, 2013).
Seperti yang dipaparkan dalam jurnal penelitian yang menggunakan metode kuantitatif
mekanisme kontrol serabut saraf kecil yang berfungsi untuk mengatur aliran darah kulit
sebagai respon terhadap gangguan panas eksternal (Wu et al., 2017). Dalam Al-Quran juga
disebutkan, termasuk tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah. Dia berfirman,

"Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?" (Adz-Dzariyat
21).

Sistem ini terdiri dari satu juta unit pendingin, atau terdiri dari satu juta kelenjar
keringat. Satu kelenjar keringat terdiri dari satu pipa yang panjangnya 2 mm dan diameternya
1/10 mm. Pipa ini menggulung dan tersambung ke kulit. Pipa ini menyebar di seluruh
permukaan kulit secara tidak beraturan. Jumlahnya amat banyak di dahi, telapak kaki, telapak
tangan, dan di tempat-tempat lainnya di dalam tubuh, dengan rata-rata 300 kelenjar keringat
dietiap 1 cm2. Masing-masing kelenjar keringat ini merupakan satu sistem pendingin lengkap.
Di setiap 100 gram keringat yang dikeluarkan oleh sel-sel ini mengandung 99 gram air. Dan
satu gram bahan yang terurai, setengahnya dari garam, setengah lagi dari urea dan sebagian
bahan kimiawi lainnya. Di setiap 24 jam, seseorang mengeluarkan sekresi keringat berkisar
antara 600-1.000 gram, atau sama dengan 1 kg keringat. Sekresi keringat ini berlangsung
terus-menerus dan tidak kita rasakan kecuali saat kucurannya deras. Bukti bahwa sekresi itu
berlangsung terus-menerus adalah kondisi kulit kita yang tetap lembut dan lembap. Tanpa
keringat, kulit tidak akan lembut dan lembap. Jadi, keringat adalah kunci pengaman dari
kenaikan suhu tubuh (Thayyarah, 2013).

Fungsi kelenjar keringat selain menjadi sistem pendingin dan menjaga kestabilan suhu
kulit yaitu sebagai bentuk ekskresi zat-zat yang tidak dibutuhkan tubuh. Termasuk di
dalamnya zat urea, garam dan zat-zat yang kandungannya sama dengan kandungan pada
urine. Oleh karena itu, setiap hari tubuh perlu dibersihkan dari zat-zat kotor yang keluar lewat
pori-pori kulit. Salah satu cara yang biasa dilakukan adalah dengan mandi. Jabir
meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, "Setiap muslim harus mandi satu kali di hari
jumat di setiap tujuh hari.” Kebersihan adalah sebagian dari iman. Dengan membersihkan
tubuh dan mandi, maka bau keringat yang menyengat akan hilang, penumpukan sisa keringat
setelah menguap akan lenyap, pori-pori kulit menjadi terbuka kembali dan lubang kelenjar
keringat pun akan tetap terbuka.

Ajaran kebersihan dalam Islam meliput hal yang luas, yakni kebersihan jiwa dan
kebersihan fisik. Hal ini menunjukkan bahwa Islam telah memandang penting keseimbangan
antara jiwa dan fisik dalam gaya hidup sehat yang alamiah. Kebersihan fisik membahas
pentingnya menjaga kebersihan pribadi seperti menjaga kebersihan tubuh, kebersihan
pakaian, kebersihan makanan, rumah dan lain-lain. Kebersihan tubuh merupakan suatu yang
banyak dibahas dalam ajaran Islam. Islam merekomendasikan umatnya untuk mandi secara
teratur terutama pada hari dimana seseorang harus berkumpul dengan orang lain. misalnya,
pada hari Jum’at lelaki muslim melakukan solat Jum’at. Seperti pada hadits:

“Suatu keharusan atas setiap orang Muslim mandi dan memakai wewangian serta gosok gigi
pada hari Jum’at.” (HR. Ahmad)

Tangan merupakan anggota tubuh yang kewajiban untuk membersihkannya banyak


dibahas. Infeksi dapat ditularkan melalui kulit tangan yang kotor. Mencuci tangan sebelum
makan merupakan pencegahan yang baik untuk mencegah penyakit karena virus, seperti
hepatitis A atau infeksi bakteri disentri tifoid dan kolera. Rasulullah SAW selalu
menganjurkan mencuci tangan sebelum dan sesudah makan.

“Merupakan berkah untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah makan.” (HR. Abu Dawud
dan Al-Tirmidzi).
DAFTAR PUSTAKA

Al Shammrie, F., & Al Shammrie, A. (2017). Pattern of skin disease in Hail region of Saudi
Arabia. Journal of Dermatology & Dermatologic Surgery, 21(2), 62–65.
https://doi.org/10.1016/j.jdds.2017.04.001

Aman, S., Nadeem, M., Mahmood, K., & Ghafoor, M. B. (2017). Pattern of skin diseases
among patients attending a tertiary care hospital in Lahore, Pakistan. Journal of Taibah
University Medical Sciences, 12(5), 392–396.
https://doi.org/10.1016/j.jtumed.2017.04.007

Bresnick, S. (2003). Intisari Biologi. (D. Anggraini, Ed.). Jakarta: Hipokrates.

Bruce, A. F., Theeke, L., & Mallow, J. (2017). A state of the science on influential factors
related to sun protective behaviors to prevent skin cancer in adults. International
Journal of Nursing Sciences, 4(3), 225–235. https://doi.org/10.1016/j.ijnss.2017.05.005

Clarke, K. A., Dew, T. P., Watson, R. E. B., Farrar, M. D., Osman, J. E., Nicolaou, A., …
Williamson, G. (2016). Green tea catechins and their metabolites in human skin before
and after exposure to ultraviolet radiation. The Journal of Nutritional Biochemistry, 27,
203–210. https://doi.org/10.1016/j.jnutbio.2015.09.001

Fudyartanta, K. (2011). Psikologi Umum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ganong, W. F. (1998). Fisiologi Kedokteran. (M. D. Widjajakusumah, Ed.) (17th ed.).


Jakarta: EGC.

Gentsch, A., Panagiotopoulou, E., & Fotopoulou, A. (2015). Active Interpersonal Touch
Gives Rise to the Social Softness Illusion. Current Biology, 25(18), 2392–2397.
https://doi.org/10.1016/j.cub.2015.07.049

Herborn, K. A., Graves, J. L., Jerem, P., Evans, N. P., Nager, R., McCafferty, D. J., &
McKeegan, D. E. F. (2015). Skin temperature reveals the intensity of acute stress.
Physiology and Behavior, 152, 225–230. https://doi.org/10.1016/j.physbeh.2015.09.032

Hollestein, L. M., & Nijsten, T. (2014). An Insight into the Global Burden of Skin Diseases.
Journal of Investigative Dermatology, 134(6), 1499–1501.
https://doi.org/10.1038/jid.2013.513

Ii, B. A. B., & Teori, A. K. (2012). Tinjauan Tentang Anak Autis, 4–5. Retrieved from
http://abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/K5109036_bab2.pdf

Irianto, K. (2012). Anatomi dan Fisiologi. Bandung: Alfabeta.

Kalat, J. (2010). Biopsikologi. (Y. Hartanti, Ed.) (9th ed.). Jakarta: Salemba Humanika.
Krutmann, J., Bouloc, A., Sore, G., Bernard, B. A., & Passeron, T. (2017). The skin aging
exposome. Journal of Dermatological Science, 85(3), 152–161.
https://doi.org/10.1016/j.jdermsci.2016.09.015

Liu, F., Li, C., Liu, S., Genin, G. M., Huang, G., Lu, T., & Xu, F. (2015). Effect of
viscoelasticity on skin pain sensation. Theoretical and Applied Mechanics Letters, 5(6),
222–226. https://doi.org/10.1016/j.taml.2015.11.002

Najati, muhammad ustmani. (2010). Psikologi Qurani. (A. Salim, Ed.). Bandung: Marja.

Pang, H., Chen, T., Wang, X., Chang, Z., Shao, S., & Zhao, J. (2017). Quantitative evaluation
methods of skin condition based on texture feature parameters. Saudi Journal of
Biological Sciences, 24(3), 514–518. https://doi.org/10.1016/j.sjbs.2017.01.021

Pinel, J. P. . (2012). Biopsikologi. (H. P. Soetjipto & S. M. Soetjipto, Eds.) (Edisi Ketu).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Puspitawati, I., Hapsari, I. I., & Suryaratri, R. D. (2012). Psikologi Faal. (P. Latifah, Ed.).
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Pustaka, K. (2004). digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id, 14–47. Retrieved from


http://digilib.uinsby.ac.id/12414/3/Bab%25202.pdf

Sasmaz, S., & Celik, M. (2011). Skin diseases in Turkish soldiers. Dermatologica Sinica,
29(2), 44–46. https://doi.org/10.1016/j.dsi.2011.05.001

Sloane, E. (2003). Anatomi dan Fisiologi. (P. Widyastuti, Ed.). Jakarta: EGC.

Sumanto. (2014). Psikologi Umum. (T. Admojo, Ed.). Yogyakarta: CAPS (Center of
Academic Publishing Service).

Sun, S. X., & Walcott, S. (2010). Actin crosslinkers: Repairing the sense of touch. Current
Biology, 20(20), R895–R896. https://doi.org/10.1016/j.cub.2010.08.059

Teori, L. (2011). http://e-journal.uajy.ac.id (pp. 11–20).

Thayyarah, N. (2013). Sains dalam Al Qur’an. (C. Ahmad, Ed.). Jakarta: Zaman.

Tuttle, A. H., Bartsch, V. B., & Zylka, M. J. (2016). The Troubled Touch of Autism. Cell,
166(2), 273–274. https://doi.org/10.1016/j.cell.2016.06.054

Wu, Y., Nieuwenhoff, M. D., Huygen, F. J. P. M., van der Helm, F. C. T., Niehof, S., &
Schouten, A. C. (2017). Characterizing human skin blood flow regulation in response to
different local skin temperature perturbations. Microvascular Research, 111, 96–102.
https://doi.org/10.1016/j.mvr.2016.12.007

Zhang, S., Zeng, X., Matthews, D. T. A., Igartua, A., Rodriguez–Vidal, E., Fortes, J. C., &
Van Der Heide, E. (2017). Texture design for light touch perception. Biosurface and
Biotribology, 3(1), 25–34. https://doi.org/10.1016/j.bsbt.2017.02.002
Zoumakis, E., Kalantaridou, S. N., & Chrousos, G. P. (2007). The “brain-skin connection”:
Nerve growth factor-dependent pathways for stress-induced skin disorders. Journal of
Molecular Medicine, 85(12), 1347–1349. https://doi.org/10.1007/s00109-007-0270-6

Anda mungkin juga menyukai