IDENTITAS SOSIAL:
5 MEMANTAPKAN SELF DAN
GENDER SESEORANG
Self: Komponen-komponen Identitas Seseorang
Konsep-Diri: Skema Sentral
Psikologi Sosial: Pada Sisi Terapan: Meningkatkan Jumlah Self
Self-Esteem: Megevaluasi Diri Sendiri
TONGGAK BERSEJARAH DI DALAM PSIKOLOGI SOSIAL: Rogers,
Teori-Self, Diskrepansi Self-Ideal, dan Perubahan Kepribadian
Pelbagai Hubungan
Rangkuman dan Reviu
Istilah-istilah Kunci
Informasi Lebih Lanjut
168
Siapa Anda? Bila Anda tiba-tiba mendapati diri Anda sedang melakukan
kontak radio dengan makhluk dari planet lain dan pertanyaan ini
dilontarkan kepada Anda, Apa yang akan Anda katakan jika Anda hanya
punya waktu tiga puluh detik untuk menjawab? Siapa Anda?
Pikirkan tentang salah satu pengalaman Anda yang sangat menyenangkan;
ketika merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya; ketika mendapatkan
nilai A padahal tidak berharap dapat mendapatkan nilai setinggi itu; ketika
membeli mobil pertama Anda, atau apapun yang menyenangkan. Bagaimana
perasaan yang Anda rasakan tentang diri Anda sendiri? Bagaimana reaksi
Anda terhadap orang-orang yang kemudian Anda jumpai? Apakah Anda
kemudian merasa lebih optimistik terhadap masa depan Anda? Sekarang
pikirkan tentang pengalaman yang sangat tidak menyenangkan dan
lontarkan pertanyaan yang sama tentang bagaimana perasaan, reaksi, dan
optimisme Anda. Dengan asumsi bahwa Anda memberikan jawaban berbeda
untuk kedua macam pengalaman tersebut – mengapa jawaban Anda
berbeda?
Dapatkah Anda mengingat, pada usia berapa Anda menyadari untuk
pertama kalinya bahwa orang-orang terdiri atas anak laki-laki dan
perempuan, pria dan wanita? Pun jika Anda tidak mampu mengingatnya
secara persis, apa yang Anda pikirkan tentang gender lain ketika Anda
masih kecil, dan bagaimana pendapat Anda sekarang tentang hal yang
sama?Seberapa berbedakah perempuan dan laki-laki?
169
universitas yang didominasi oleh orang Anglo1, maka salah satu bentuk
responnya adalah semakin melibatkan diri di dalam kegiatan-kegiatan dan
kelompok-kelompok Hispanik sehingga menguatkan identifikasinya sendiri
dengan aspek ini. Reaksi sebaliknya – menjadi kurang mengidentifikasikan diri
dengan orang Hispanik dan mencari ikatan-ikatan baru – juga merupakan cara
yang lazim untuk menghadapi situasi baru (Either dan Deaux, 1994).
Di bab ini kami akan berkonsentrasi pada dua komponen utama identitas
sosial. Pertama, kami akan membahas beberapa elemen krusial self, termasuk
self-concept (konsep-diri), self-esteem, self-focusing (pemfokusan-diri), self-
monitoring (pemantauan-diri), dan self-efficacy (efikasi-diri). Kedua, kita akan
membahas tentang gender, terutama determinan-determinan sosial yang terkait
dengan identitas gender, peran gender, dan bagaimana perilaku dipengaruhi oleh
atribut-atribut ini.
170
oleh Gambar 5.1, partisipan penelitian ini menggambarkan dirinya sendiri
berdasarkan delapan kategori atau faktor. Anda dapat melihat bahwa sebagian di
antaranya meliputi aspek-aspek identitas sosial yang telah diuraikan sebelumnya,
sementara yang lainnya mengacu pada atribut-atribut personal. Jika Anda telah
mencoba menjawab pertanyaan ini untuk diri Anda sendiri, mana di antara
faktor-faktor ini yang ada di dalam jawaban Anda? Dengan mengulangi
penelitian ini pada sampel-sampel yang berbeda, para ahli psikologi sosial dapat
menetapkan kegeneralan “blue print (cetak biru)” self.
172
elaboratif atau ingatan mengenai bahan-bahan yang terutama diproses secara
kategorik. Para partisipan melihat penayangan serangkaian kata dan diminta
memikirkan tenang definisi masing-masing kata (untuk mendorong pemrosesan
elaboratif), atau menempatkan masing-masng kata ke dalam salah satu di antara
lima kategori (untuk mendorong pemrosesan kategorik). Setelah itu, partisipan di
setiap kelompok diminta menuliskan sebanyak mungkin kata-kata yang dapat
diingatnya. Dengan membandingkan kinerja pada daftar-daftar kata yang
berbeda dan cara pemrosesan yang berbeda, para peneliti mampu
mendemonstrasikan bahwa ingatan mengenai bahan-bahan yang relevan adalah
yang paling efisien karena didasarkan pada pemrosesan elaboratif maupun
kategorik. Kita memikirkan dalam-dalam tentang apapun yang relevan dengan
diri kita sendiri dan cenderung mengkategorisasikannya dengan lebih efektif.
Hasilnya, kita dapat mengingat informasi yan relevan dengan self dibanding
informasi yang tidak relevan dengan diri kita sendiri. Proses-proses ini
dirangkum di dalam Gambar 5.2.
Hanya Ada Satu atau Ada Banyak Konsep-Diri? Kita biasanya menganggap
self kita sebagai sebuah entitas yang stabil dan tidak mengalami perubahan,
meskipun kita juga menyadari bahwa dari waktu ke waktu kita dapat dan
memang mengalami perubahan. Anda bukan orang yang sama dengan diri Anda
sendiri sepuluh tahun yang lalu dan mungkin juga tidak akan sama dengan diri
Anda sendiri sepuluh tahun mendatang. Kadang-kadang Anda mungkin
membayangkan tentang kehidupan Anda setelah selesai kuliah – memasuki pasar
174
kerja, menikah, mempunyai anak, mencari uang lebih banyak lagi, pindah ke
tempat lain, dan seterusnya. Hasilnya, Anda mempunyai sebuah konsep-diri,
tetapi Anda juga menyadari bahwa ada banyak kemungkinan self Anda yang lain.
Markus dan Nurius (1986) menyatakan bahwa konsep-diri di waktu
tertentu sesungguhnya hanya merupakan sebuah working self-concept (konsep-
diri yang berlaku pada saat itu), yang mempunyai kemungkinan berubah dalam
merespon pengalaman baru, umpan-balik baru, dan informasi-informasi baru
yang relevan dengan self. Eksistensi pelbagai alternatif self mempengaruhi kita
melalui beberapa cara. Gambaran tentang self di masa yang akan datang
mungkin mempunyai efek pada motivasi seseorang, seperti ketika orang itu
harus memutuskan untuk terus belajar atau berhenti dulu untuk merokok.
Meskipun Anda mungkin mempunyai gambaran yang jelas tentang self Anda di
masa yang akan datang, orang lain cenderung hanya mempersepsi self Anda saat
ini, dan diskrepansi di antara keduanya dapat menjadi salah satu sumber
ketidaknyamanan. Diskrepansi yang lebih meresahkan lagi adalah diskrepansi
antara diri kita sebagai seseorang seperti ini dan sebagai seseorang seperti yang
kita inginkan (Higgins, 1990).
Para mahasiswa yang secara umum optimistik atau optimistik diminta
mengambarkan tentang future selfnya (Carver, Reynolds, dan Scheier, 1994).
Kedua tipe mahasiswa ini mungkin membayangkan tentang masa depan yang
positif, tetapi mahasiswa yang optimistik mempunyai ekspektasi yang lebih
tinggi tentang kemungkinan untuk mencapai self yang lebih positif dibanding
mereka yang pesimistik.
Selain dalam hal konsepsi optimistik dan pesimistik tentang self yang
akan datang, orang juga menunjukkan perbedaan dalam membayangkan
banyaknya alternatif. Penelitian yang dilakukan oleh Niedenthal, Setterlund dan
Wherry (1992) menunjukkan bahwa orang-orang yang mempunyai lebih sedikit
future self ditemukan lebih rentan, secara emosional, terhadap umpan balik yang
relevan. Sebagai contoh, jika Anda memikirkan dua puluh macam kemungkinan
karir yang berbeda untuk masa depan Anda dan kemudian sadar bahwa Anda
tidak memiliki kemampuan seperti yang dibutuhkan oleh salah satu karir itu,
maka Anda masih mempunyai sembilan belas kemungkinan lainnya. Tetapi, jika
Anda hanya mempunyai satu tujuan karir, maka ketika menyadari bahwa Anda
tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk itu, maka Anda dapat
merasakan dampak negatif yang lebih kuat. Dengan cara yang sama, semakin
kuat dan semakin eksklusif identifikasi seseorang dengan peran atlet, maka,
secara emosional, kegundahan yang dirasakannya ketika mengalami cedera akan
semakin besar (Brewer, 1992). Dalam arti lebih luas, hasil penelitian
menunjukkan bahwa penyesuaian terbaik setelah mengalami pelbagai macam
kejadian traumatik ditemukan pada mereka yang mampu membayangkan lebih
banyak self positif (Morgan dan Janoff-Bulman, 1994). Di samping itu,
kekompleksan self sebenarnya berfungsi sebagai pelindung kognitif melawan
depresi dan sakit yang berhubungan dengan stres (Linville, 1987).
Tampaknya, memiliki pandangan yang kompleks tentang pelbagai
kemungkinan self (dengan asumsi bahwa pandangan itu mempunyai landasan
yang realistik) secara emosional lebih menguntungkan dibanding hanya memiliki
pandangan yang sangat sederhana. Seperti yang akan Anda lihat di bagian Sisi
Terapan di bawah ini, temuan studi ini memperlihatkan kemungkinan orang
untuk dapat terbantu dengan cara belajar membayangkan tentang pelbagai
kemungkinan self lain.
175
Psikologi Sosial: Pada Sisi
Terapan:
MENINGKATKAN JUMLAH SELF
Dapatkah anak-anak diajari untuk mengkonseptualisasikan alternatif self dalam
jumlah yang lebih banyak? Day dan rekan-tekan sejawatnya (1994)
mengkonsentrasikan diri pada usaha mewujudkan terjadinya perubahan
semacam itu di kalangan anak-anak Meksiko-Amerika. Anak-anak ini sengaja
diambil sebagai target kajian ini karena prestasi akademik di kalangan anak-anak
Hispanik lebih rendah dibanding anak-anak Anglo, sejak sekolah dasar sampai
sekolah menengah atas. Para peneliti ini berpendapat bahwa pola negatif ini
secara potensial dapat diubah melalui intervensi terencana yang dirancang untuk
memperluas perspektif tentang pelbagai kemungkinan masa depan mereka.
Para peneliti melakukan kajian terhadap anak-anak Meksiko-Amerika
yang duduk di kelas tiga, empat, dan lima sekolah dasar. Sebelum dan sesudah
program intervensi dilaksanakan, para peneliti melaksanakan tes terhadap anak-
anak ini dalam hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan yang mereka
harapkan ketika mereka dewasa kelak dan relevansi prestasi di sekolah dengan
pekerjaan yang mereka angankan itu. Sebelum program dilaksanakan, sebagian
besar anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, semata-mata hanya
mengekspresikan stereotip gender mereka tentang pekerjaan (anak laki-laki
mengangankan untuk menjadi polisi atau atlit dan anak perempuan
mengangankan untuk menjadi guru atau perawat). Selain itu, hubungan antara
pelajaran di sekolah dengan karir di masa depan belum benar-benar dipahami
oleh anak-anak ini.
Programnya sendiri terdiri atas delapan sesi yang masing-masing
berdurasi satu jam dan dilaksanakan selama empat minggu. Secara spesifik, di
Semakin Banyaknya Alternatif dalam kelompok-kelompok yang terdiri atas lima sampai sepuluh anak, anak-
Self Memunculkan Lebih
Banyak Pilihan Pekerjaan. anak diajari mendengarkan pendapat orang lain tanpa mentertawakannya.
Ketika anak-anak Hispanik yang Mereka diizinkan untuk bertanya tentang apapun. Sesi-sesinya meliputi bahan-
duduk di kelas tiga, empat, dan bahan yang berhubungan dengan self saat ini dan pikiran tentang self di masa
lima ditanyai tentang pekerjaan lalu maupun di masa yang akan datang, menghubungkan antara tugas-tugas di
mereka kelak, mereka
cenderung memberikan jawaban sekolah dengan self di masa yang akan datang (“possible me”), memahami
berupa kemungkinan- tentang apa saja yang terlibat di dalam kepemilikan rumah dan mobil mewah,
kemungkinan yang stereotip dan bermain peran tentang pekerjaan yang menyenangkan dan yang
gender dan jumlahnya sangat membosankan. Salah satu latihannya berupa permainan the Me Tree (Pohon
terbatas. Setelah berpartisipasi
di dalam program yang Aku). Di sini partisipan diminta membayangkan bahwa diri mereka adalah
dirancang untuk membantu sebatang pohon yang mewakili diri mereka sendiri pada saat ini dan ingin
anak-anak meningkatkan jumlah menjadi seperti apa mereka kelak ketika mereka tumbuh dewasa. Mereka
kemungkinan self dan
memberikan informasi tentang
membangun pohon dengan batang tubuh yang kuat (yang mewakili pengetahuan,
bagaimana mencapai pelbagai ketrampilan, kepribadian, dan nilai-nilai) dan cabang-cabangnya yang kokoh
macam tujuan, partisipan (yang mewakili pendidikan, hubungan dengan orang lain, dan cara menggunakan
menjadi tertarik untuk waktu untuk bersenang-senang). Pada setiap cabangnya tertempel daun-daun
mengeksplorasi lebih banyak
kemungkinan pekerjaan (Day
berwarna hijau (yang mewakili pelbagai harapan dan tujuan) dan daun-daun
dan kawan-kawan, 1994) berwarna merah (yang mewakili pelbagai ketakutan). Di dalam “mata pelajaran”
lain, anak-anak diajari mengkaji perbedaan antara pelajar yang baik dan yang
buruk, bermain-main dengan mesin waktu di mana mereka mengkaji tindakan-
176
tindakan mereka sendiri di masa lalu dan melihat kemungkinan tindakan mereka
di masa yang akan datang, self masa depan mereka (rumah, keluarga, mobil
Corvette merah, uang, dan bagaimana prestasi yang baik di sekolah dan
pekerjaan yang baik dapat memungkinkan tercapainya angan-angan ini), dan
permainan pelbagai macam peran pekerjaan di masa depan.
Dibanding anak-anak di kelompok kontrol yang tidak mengalami
intervensi, anak-anak yang menjalani delapan sesi itu memperlihatkan
perkembangan signifikan pada pemahaman tentang pelajar yang baik dan
relevansinya dengan kesempatan kerja di masa yang akan datang. Anak-anak ini
juga memperlihatkan minat yang lebih tinggi pada kemungkinan untuk menjadi
dokter, hakim, atau pilot. Para peneliti berpendapat bahwa intervensi semacam
ini, beserta pengenalan terhadap pelbagai macam model peran, dapat
menimbulkan efek yang menguntungkan dalam membantu semua anak
mengembangkan pelbagai kemungkinan self.
Tampaknya anak-anak sangat perlu didorong untuk memikirkan tentang
masa depannya dan untuk menghubungkan antara masa depan dengan apa yang
sekarang mereka lakukan di sekolah.
177
lain ini dapat terjadi di antara teman-teman sekamar, maka pada hubungan-
hubungan yang lebih dekat – seperti hubungan antarsahabat dan hubungan
perkawinan – efek-efek ini mungkin lebih kuat.
Cara lain untuk melihat temuan-temuan semacam itu adalah dengan
melihat pendapat William James (1890). Ia mengatakan bahwa meskipun kita
mempunyai inti self (“yang mengeras seperti plester beton” ketika orang
mencapai umur tiga puluh tahunan), tetapi kita juga mempunyai banyak self
sosial yang kita ekspresikan kepada orang yang berbeda di dalam interaksi yang
berbeda. Untuk menindaklanjuti konsepsi ini, Roberts dan Donahue (1994)
meneliti sekelompok sampel wanita paruh-baya dan mengukur konsep-diri yang
spesifik-peran maupun konsep-diri secara umum. Konsep-diri yang spesifik-
peran untuk masing-masing individu adalah karyawan, isteri, teman, dan anak
perempuan. Perempuan-perempuan itu diminta menggambarkan dirinya sendiri
pada peran-peran tersebut dalam hubungannya dengan afek positif, kompetensi,
dan dependability (tingkat keterandalan). Sesuai hipotesisnya, konsepsi-diri
masing-masing partisipan yang memiliki peran berbeda juga menunjukkan
perbedaan, tetapi ada konsistensi antarperan yang tinggi untuk masing-masing
individu. Sebagai contoh, dua wanita masing-masing dapat mengambarkan afek
sebagai fungsi peran sosial (keduanya menunjukkan perasaan positif pada peran
teman dibanding pada peran anak perempuan), sehingga menunjukkan konsep-
diri yang spesifik-peran. Tetapi, kedua wanita itu dapat dibedakan dengan jelas
satu sama lain; yang seorang mengalami afek yang lebih positif di kedua situasi
tersebut dibanding yang lainnya. Karena perbedaan di antara mereka konsisten di
semua peran, maka hal itu menunjukkan beroperasinya konsep-diri secara
umum.
2
Sebagian orang mengalihbahasakan istilah self-esteem dengan harga-diri. Alih bahasa ini
menurut hemat kami kurang tepat, karena dapat rancu dengan istilah lain, seperti self-worth, yang
kiranya lebih tepat untuk dialihbahasakan sebagai harga diri. Kernis dan kawan-kawan (1993)
menyatakan bahwa siapapun yang self-esteemnya sangat mudah dipengaruhi oleh pelbagai
kejadian sepele mempunyai sumber self-worth (harga-diri) yang kurang stabil dibanding orang-
orang yang esteemnya relatif konstan. Dari pernyataan ini dapat kita lihat bahwa harga diri
sebenarnya merupakan salah satu prediktor self-esteem. Karena tidak dapat menemukan padan
kata dalam bahasa Indonesia yang tepat untuk istilah ini, maka kami tetap mempertahankan
istilah ini sebagaimana istilah aslinya(Penerjemah).
178
Meskipun sebagian besar penelitian tentang self-esteem difokuskan pada
indikasi evaluasi-diri secara global, tetapi juga tampak jelas bahwa orang-orang
mensub-divisikan aspek-aspek selfnya. Sebagai contoh, saya menilai diri saya
sendiri sangat tinggi dalam hal kemampuan membuat lasagna yang lezat dan
sangat rendah dalam hal kemampuan berbahasa Perancis. Karena sub-divisi
tersebut, Anda dapat saja mempunyai sikap yang sangat positif tentang beberapa
aspek yang terdapat pada diri Anda sendiri dan sikap yang sangat negatif tentang
Self-Esteem. Evaluasi-diri
yang dibuat oleh masing- aspek-aspek lainnya. Self-esteem Anda secara keseluruhan, secara global dapat
masing individu; sikap dikonseptualisasikan sebagai kombinasi antara jumlah relatif dan intensitas
seseorang terhadap dirinya relatif dari evaluasi-diri positif dan negatif ini (Marsh, 1993).
sendiri di sepanjang dimensi
positf-negatif. Pendekatan yang sedikit berbeda untuk mengukur self-esteem adalah
dengan membandingkan konsep-diri seseorang dengan konsepsinya tentang self-
ideal. Semakin besar diskrepansinya, semakin rendah pula self-esteemnya.
Artinya, semakin Anda mempersepsi bahwa karakteristik yang Anda miliki tidak
mampu memenuhi karakteristik yang (menurut Anda) seharusnya Anda miliki,
maka semakin negatif pula sikap Anda terhadap diri Anda sendiri. Umpan balik
yang meyakinkan yang menyatakan bahwa seseorang mempunyai sebagian
karakterstik self-idealnya merupakan pengalaman positif baginya, sedangkan
umpan balik yang menyatakan adanya karakteristik yang tidak diharapkan
merupakan pengalaman negatif baginya (Eisenstadt dan Leippe, 1994). Selain
itu, apakah kualitas seseorang yang “baik” atau “buruk” dianggap sebagai
sesuatu yang lumrah atau tidak lumrah juga dianggap penting. Self-esteem
terendah ditemukan di kalangan mereka yang mempersepsi karakteristik yang
disukai orang yang terdapat pada dirinya sebagai sesuatu yang lumrah-lumrah
saja dan karakteritik yang tidak disukai orang yang terdapat pada dirinya sebagai
sesuatu yang relatif tidak lumrah (Ditto dan Griffin,1993). Sebagai contoh, saya
(Donn Byrne) mengenal seorang siswa kelas tujuh yang juga seorang penulis
jempolan, meskipun kemampuannya di kelas dansa biasa-biasa saja. Gadis itu
kadang-kadang mempunyai keyakinan (yang salah) bahwa setiap orang mampu
menulis dan hampir tidak ada orang yang tidak mampu berdansa dengan baik.
Self-esteem dan Perbandingan Sosial. Seperti yang akan kita lihat di Bab 7,
kita cenderung melakukan evaluasi-diri dengan membandingkan diri kita sendiri
dengan orang lain. Perbandingan ini merupakan determinan pokok dari evaluasi
kita terhadap kita sendiri (Brown dan kawan-kawan, 1992). Fakta ini
menjelaskan beberapa temuan penelitian yang mungkin cukup mengejutkan.
Sebagai contoh, karena masalah rasisme dan seksisme benar-benar riil (lihat Bab
6), maka Anda dapat memperkirakan bahwa perempuan dan para anggota
kelompok minoritas tentunya memiliki self-esteem yang rendah. Tetapi, yang
ditemukan ternyata adalah sebaliknya. Perempuan dan minoritas cenderung
mengekpresikan self-esteem yang lebih tinggi dibanding laki-laki kulit putih
(Crocker dan Major, 1989). Hal yang jelas. Perbandingan sosial di antara
kelompok-kelompok orang yang berbeda ini pasti juga berbeda.
Tergantung kelompok pembanding Anda, kesuksesan dan kegagalan
tertentu dapat memberikan kontribusi kepada evaluasi-diri yang tinggi atau
rendah atau sama sekali tidak relevan. Sebagai contoh, Osborne (1995)
mengemukakan bahwa terlepas dari performa akademik orang kulit putih yang
lebih baik dibanding orang-orang Afrika-Amerika di sekolah-sekolah di Amerika
Serikat, self-esteem secara global justru ditemukan lebih tinggi pada kelompok
yang kedua. Alasannya: Di kalangan orang kulit putih, hubungan antara
179
kesuksesan dan kegagalan akademik dengan evaluasi-diri ditemukan lebih tinggi
dibanding di kalangan orang Afrika-Amerika. Di kelas-kelas yang paling rendah
di sekolah, kedua kelompok rasial ini sama-sama menunjukkan adanya
hubungan antara nilai akademik dan self-esteem. Tetapi, sejak kelas sepuluh,
hubungan ini cenderung turun secara dramatik pada orang-orang Afrika-
Amerika, terutama yang laki-laki (Steele, 1992). Bagi mereka, kelompok
pembanding yang mempengaruhi self-esteem mereka bukan teman sekelas yang
sama-sama terlibat di dalam pelbagai kegiatan akademik, melainkan orang-orang
lain dan kegiatan-kegiatan lain.
Beberapa penelitian membantu memperjelas sebagian cara kerja
perbandingan sosial yang kompleks ini. Ketika Anda membandingkan diri Anda
sendiri dengan orang lain, maka self-esteem Anda akan naik jika Anda
mempersepsi adanya ketidakadekuatan tertentu pada diri mereka. Ini disebut
efek kontras. Perbandingan dengan seseorang yang lebih buruk (perbandingan ke
bawah) ini menimbulkan perasaan positif dan menaikkan self-esteem Anda
(Reis, Gerrard dan Gibbons, 1993). Tetapi, jika perbandingan itu dilakukan
dengan seseorang yang dekat dengan Anda, maka esteem Anda akan naik jika
Anda mempersepsi sesuatu yang sangat bagus pada dirinya. Ini disebut efek
asimilasi (Brown dan kawan-kawan, 1992). Dengan cara serupa, seseorang yang
membuat perbandingan dengan cara yang tidak favorabel dengan anggota-
anggota kelompoknya sendiri akan merasakan self-esteem yang lebih rendah dan
depresi yang jauh lebih tinggi dibanding jika perbandingan yang tidak favorabel
itu dikakukan dengan anggota kelompok-luar (Major, Sciacchitano, dan Crocker,
1993). Akibatnya, perbandingan sosial dengan orang lain di kelompok sendiri
adalah perbanding yang paling relevan dengan self. Jadi, self-esteem meningkat
jauh lebih tinggi jika orang mencapai kesuksesan di dalam kelompok sendiri dan
kelompoknya itu relatif kurang sukses – ibarat katak raksasa di tengah kolam
kecil – dibanding jika ia mencapai kesuksesan yang relatif setara di kelompok
sendiri dan kelompoknya itu lebih besar dan lebih sukses – ibarat katak kecil di
tengah kolam yang sangat luas (McFarland dan Buehler, 1995).
Salah satu tema di antara pelbagai temuan ini adalah bahwa self-esteem
dapat ditingkatkan dengan cara mengidentifikasikan diri dengan sebuah
kelompok. Ini disebabkan karena identitas sosial dapat membantu
mengkompensasi masalah-masalah yang melibatkan identitas pribadi (Crocker
dan kawan-kawan, 1994). Perhatikanlah seseorang yang menjadi sasaran
prasangka di dalam masyarakat luas – seorang anggota kelompok yang
menerima stigma tertentu. Orang itu tidak perlu menerima evaluasi yang
mengandung prasangka itu sebagai sebuah pernilaian akurat mengenai self-
worthnya. Sebaliknya, ia dapat mengidentifikasikan dirinya dengan orang-orang
yang serupa dengannya (dari segi ras, orientasi seksual, agama, kecacatan, dan
lain-lai) dan merasa bangga di dalam kelompoknya sendiri. Sebagai salah satu
contoh, Bat-Chava (1994) meneliti tentang efek-efek positif identifikasi
kelompok pada self-esteem di kalangan orang-orang dewasa yang tuna rungu
Sesuai hipotesisnya, mereka yang mengidentfikasikan diri dengan orang-orang
tuna rungu lain memperlihatkan self-esteem lebih tinggi dibanding mereka yang
kurang mengidentifikasikan diri dengan kelompoknya. Bagi para penyandang
tuna-rungu, identifikasi ini diperkuat oleh faktor orangtua yang juga tuna rungu,
yang berkomunikasi dengan bahasa isyarat di rumah dan dengan bersekolah di
sekolah khusus untuk penderita tuna rungu, bukan di sekolah reguler. Temuan ini
180
dan temuan-temuan lain yang terkait menunjukkan adanya efek-efek yang
menguntungkan dari identitas kelompok.
182
Apakah self-esteem mempengaruhi kinerja orang pada tugas-tugas yang
asing baginya atau hanya mempengaruhi seberapa kuat keyakinan mereka dalam
menyelesaikan tugas itu? Martin dan Murberger (1994) meneliti efek-efek self-
esteem, baik pada kinerja seperti yang dipersepsi maupun kinerja aktual para
mahasiswa undergraduate. Self-esteem mereka sudah diukur sebelum mereka
melaksanakan tugasnya. Tugasnya berupa mensortir 200 kartu (masing-masing
mempunyai label berupa nama warna yang tercetak di atasnya) ke dalam
kantong-kantong kecil. Masing-masing kantong juga diberi label nama warna.
Para mahasiswa harus mencocokkan nama warna pada masing-masing kartu
dengan nama warna pada masing-masing kantong. Tugas ini semakin diperumit
dengan menuliskan kata yang tertera di atas kartu (misalnya MERAH) dengan
tinta yang warnanya tidak sesuai dengan namanya (misalnya ditulis dengan tinta
biru). Kartunya sendiri harus ditempatkan ke dalam kantong yang berlabel
MERAH. Eksperimenter juga membuat variasi pada penekanan yang diberikan.
Caranya adalah dengan mengatakan kepada separuh mahasiswa bahwa mereka
hanya sekadar diminta berusaha mensortir kartu-kartu itu dengan sebaik-baiknya
dalam waktu lima menit (tujuan mudah). Separuh mahasiswa lainnya diminta
mensortir paling tidak 175 kartu dalam waktu lima menit (tugas sulit). Seperti
tampak pada Gambar 5.4, baik kelompok dengan self-esteem tinggi maupun
rendah berpikir bahwa hasil pekerjaan mereka kurang baik jika tujuannya sulit.
Tetapi, secara keseluruhan, mereka yang memiliki self-esteem tingi mempunyai
Carl Rogers. Carl Rogers lahir
pada tahun 1902 di Illinois dan
persepsi yang lebih positif tentang seberapa baik hasil pekerjaan mereka
meninggal pada tahun 1987 di dibanding mereka yang self-esteemnya rendah.
California. Karirnya yang Karena self-esteem yang rendah (atau diskrepansi yang tinggi antara self
rnengesankan dapat dikatakan
agak kurang lazim. Artinya, ia dan self ideal secara umum menimbulkan efek-efek negatif), maka upaya-upaya
bekerja di dalam konteks klinik meningkatkan esteem atau mengurangi diskrepansi secara potensial sangat
selama dekade pertama setelah penting. Upaya awal yang dilakukan untuk tujuan ini diuraikan di bagian
meraih gelar doktornya, setelah Tonggak Bersejarah berikut ini.
itu baru memasuki dunia
akademia dengan gelar
professor penuh. Di Ohio State,
Chicago, Wisconsin, dan theTonggak Bersejarah dalam Psikologi Sosial:
WesternBehavioral Sciences
Institute di La Jolla, ia Rogers, Teori-Self, Diskrepansi Self-Ideal, dan Perubahan
mengembangkan sebuah teori
kepribadian berbasis self,
Kepribadian
mengembangkan sebuah Meskipun Carl Rogers adalah seorang ahli psikologi klinik, teorinya tentang self
metode psikoterapi baru, dan
mengadakan program penelitian
menjadi bagian integral bidang kepribadian, dan temuan-temuan penelitiannya
untuk mengevaluasi konstrak tentang asal muasal konsep-diri dan tentang cara mengubah persepsi-diri
teoritik maupun prosedur mempunyai relevansi langsung dengan interes banyak ahli psikologi sosial
terapeutiknya. Pada akhir dewasa ini.
karirnya, saya (Donn Byrne)
mendapat kehormatan untuk Rogers (1951) menekankan bahwa self adalah aspek terpenting di dalam
menghabiskan suatu sore untuk dunia personal setiap orang. Selain mempertahankan dan meningkatkan self, ia
mengobrol secara informal percaya bahwa setiap orang juga membutuhkan pengakuan positif. Sejak awal,
dengannya dan dengan salah setiap orang amat sangat membutuhkan cinta, dan paling sering terjadi orangtua
seorang mantan mahasiswanya.
Sebagai pribadi, Carl Rogers lah yang merupakan sumber afeksi asli. Malah, konsep-diri seorang anak lebih
sama mengesankannya dengan tergantung pada pernyataan orang tua dan orang-orang lain tentang hal itu
tulisan- tulisan yang telah dibanding perasaan dan persepsi aktual di anak sendiri. Bila, misalnya, orangtua
dihasilkannya. Bagi saya, pria ini bersikeras bahwa anak perempuannya pasti akan senang jika memperoleh adik
adalah tipe paman idaman untuk laki-laki, maka si orang tua akan memaksakan reaksi itu sebagai bagian konsep-
siapa pun juga.
diri anak perempuannya itu meskipun si anak sebenarnya juga merasakan marah,
kesal, cemburu, dan emosi-emosi negatif lainnya. Semakin besar perbedaan
183
antara konsep-diri yang dipelajari dan apa yang sebenarnya dialami, maka
semakin besar pula kebutuhan untuk menyimpangkan persepsi dan untuk
bertahan terhadap ancaman.
Rogers percaya bahwa konsep-diri yang maladaptif dapat dikoreksi
melalui interaksi terapeutik yang disebut client-centered (dipusatkan pada klien).
Di sini terapis memerankan figur orangtua yang menunjukkan ketertarikan,
bersikap menerima, tidak bersikap menghakimi, dan tidak memaksakan pendapat
eksternalnya terhadap perasaan klien. Di dalam atmosfer yang positif, klien
diberi kebebasan untuk mengeksplorasi perasaan dan persepsi aktualnya dan –
oleh karenanya – juga diberi kebebasan untuk mengubahnya.
Rogers sangat tertarik melakukan penelitian untuk menguji teori selfnya
maupun metode terapeutiknya. Penelitian ini difokuskan pada perbedaan antara
self seseorang dengan self idealnya – yang dikenal sebagai diskrepansi self-ideal
– sebagai indikator maladjustment (salah penyesuaian). Semakin tinggi
diskrepansinya (dan demikian self-esteemnya menjadi semakin rendah), maka
penyesuaian orang itu pun menjadi semakin kurang tepat. Orang itu menjadi
semakin merasa kurang bahagia dan juga semakin defensif. Perlu dicatat bahwa
perubahan tertentu cukup efektif untuk mengurangi diskrepansi ini. Sebagai
contoh, klien dapat menjadi lebih yakin (keyakinan itu dapat benar tetapi juga
dapat salah) bahwa selfnya benar-benar jauh lebih mendekati self idealnya
dibanding sebelumnya (perubahan persepsi-diri); selfnya dapat menjadi lebih
menyerupai idealnya (perubahan konsep-diri); dan standar idealnya dapat
diperendah karena sebelumnya terlalu tinggi (perubahan self ideal). Beberapa
perubahan dapat terjadi secara simultan.
184
Di dalam buku pionirnya, Rogers dan Dymond (1954) menguraikan
tentang banyak proyek penelitian yang telah dilaksanakan. Sebagai contoh, salah
satu studi yang relatif dasar membandingkan antara variabel diskrepansi self-
ideal klien sebelum dan sesudah mengambil bagian di dalam terapi. Kelompok
kontrolnya terdiri atas para relawan yang tidak sedang membutuhkan bantuan
terapeutik. Variabel self dan self ideal diukur pada awal proyek dan diukur lagi
enam dampai dua belas bulan setelah klien menyelesaikan terapinya.
Gambar 5.5. memperbandingkan antara klien-klien yang dinilai “benar-
benar menunjukkan kemajuan” oleh terapisnya maupun oleh pengamat luar,
klien-klien yang kurang menunjukkan kemajuan yang jelas dan kelompok
kontrol non-terapi. Kedua kelompok terapi menunjukkan penurunan signifikan
pada diskrepansi self-idealnya, tetapi penurunan kelompok “yang benar-benar
menunjukkan kemajuan” menunjukkan penurunan lebih besar. Sesuai perkiraan,
para relawan di dalam kelompok kontrol mempunyai diskrepansi self-ideal yang
lebih kecil di kedua waktu pengukuran, dan di kelompok ini tidak ditemukan
adanya perubahan diskrepansi. Selain itu, masih ada kelompok kontrol yang
terdiri atas klien-klien yang dites dan diminta menunggu enam puluh hari
sebelum memulai terapi. Skor diskrepansi mereka ternyata tetap tinggi selama
masa menunggu ini. Ini menunjukkan bahwa berlalunya waktu bukan merupakan
faktor krusial yang dapat membuat perubahan yang menguntungkan pada
diskrepansi self-ideal. Terapi yang dipusatkan pada klien adalah kuncinya.
Di kalangan banyak ahli psikologi terapan, penekanan Roger pada terapi
sebagai cara untuk menaikkan self-esteem dan pada penelitian sebagai cara untuk
memvalidasi efektivitas terapi ini masih terus menjadi pedoman yang
berpengaruh hingga saat ini (Shechtman, 1993).
185
PRINSIP-PRINSIP PENGINTEGRASI
1. Konsep-diri adalah sebuah skema (Bab 3) yang berupa kumpulan-
terorganisasi dari pelbagai keyakinan, ingatan, perasaan, dan konsepsi yang
berorientasi pada diri sendiri tentang pelbagai kemungkinan self di masa
mendatang. Skema-skema yang semuanya penting ini berhubungan dengan
identitas diri kita sendiri.
2. Bagi sebagain besar orang, sikap paling berpengaruh (Bab 4) yang mereka
miliki adalah sikap yang berhubungan dengan self – seperangkat evaluasi
kompleks yang dikenal sebagai self-esteem. Self-esteem seseorang
didasarkan pada evaluasi langsung yang dibuat oleh orang lain dan didasarka
pada perbandingan sosial antara diri sendiri dan orang lain (Bab 7).
187
suasana hati (Sedikides, 1992); suasana hati juga mempengaruhi self-focusing
(Salovey, 1992). Sebagai contoh, jika Anda merasa tidak bahagia setelah
bertengkar dengan sahabat Anda, maka Anda akan cenderung memfokuskan dan
mengingat hal-hal negatif tentang diri Anda sendiri dan merasa pesimistik
tentang masa depan Anda. Gambar 5.6 memperlihatkan salingketerkaitan ini.
Gambar 5.6. Saling keterkaitan Hubungan Antarafeksi Positif Kejadian eksternal positif
antara Pelbagai Kejadian
Eksternal, Suasana Hati, Self-
Focusing dan Ekspektansi.
Banyak orang menyimpan
informasi positif dan negatif
tentang diri sendiri secara
terpisah di dalam ingatan. Jika Informasi-diri positif Suasana-hat i positif
perhatiannya difokuskan pada
informasi-informasi positif, maka
hal ini akan menghasilkan
suasana hati yang positif dan
ekspektansi yang optimistik.
Kejadian-kejadian eksternal Pemfokusan-diri
positif juga dapat menghasilkan
suasana hati yang positif,
pemfokusan-diri pada informasi-
informasi positif, dan optimisme. Ekspektansi optimistik
Dengan cara yang persis sama,
pemfokusan-diri pada informasi-
informasi negatif, suasana hati
yang negatif, kejadian eksternal
negatif, dan ekspektansi
pesimistik juga saling
berhubungan.
Hubungan Antarafeksi Negatif Kejadian eksternal negatif
Pemfokusan-diri
Ekspektansi pesimistik
188
self-esteem yang lebih tinggi. Terlepas dari keuntungan memiliki informasi
positif dan negatif yang saling tercampur ini, ketika dihadapkan pada peristiwa
negatif yang amat sangat membuat Anda merasa tertekan, akan lebih baik jika
Anda memiliki beberapa aspek self yang sangat positif dan sangat penting yang
terdiferensiasi dengan jelas (terkompartemen). Adanya elemen-elemen self
positif yang terpisah ini dapat Anda jadikan sebagai sandaran ini dan dapat
menjadi pelindung melawan kemungkinan mengalami depresi ketika terjadi stres
(Showers dan Ryff, 1993).
189
mendapatkan evaluasi positif dari orang lain. Dengan kata lain, mereka
membentuk perilakunya sedemikian rupa agar sesuai dengan keinginan
penontonnya – ciri-ciri yang cocok untuk politisi, wiraniaga, dan aktor. Diskripsi
tentang Letnan Jenderal George S. Patton pada tanggal 9 April, 1945, yang
ditulis di majalah Time waktu itu, tampaknya amat sesuai dengan konsep ini:
Patton Sang Jenderal adalah juga Patton Sang Aktor. Berakting adalah
sesuatu yang instingtif baginya. Sama seperti semua aktor, ia lihai dalam
mengatur gerak-gerik atau ucapannya. Ia menyesuaikan aktingnya dengan
suasana hati audiensnya.
190
merefleksikan self-monitoring yang rendah (misalnya, “Perilaku saya biasanya
merupakan ekspresi perasaan, sikap, dan keyakinan batiniah saya”). Validitas
skala ini ditunjukkan oleh studi-studi seperti yang dilakukan oleh Lippa dan
Donaldson (1990). Para mahasiswa diminta mengerjakan Self-Monitoring Scale
dan diminta menulis buku harian selama sepuluh hari yang menceritakan tentang
interaksinya dengan orang-orang lain. Sesuai prediksi, partisipan dengan self-
monitoring tinggi melaporkan bahwa mereka mengatur perilakunya sedemikian
rupa sesuai situasi dan audiensnya, sedangkan partisipan dengan self-monitoring
rendah melaporkan bahwa mereka melakukan tindakan yang sama, tanpa
mempedulikan situasinya.
Ada dugaan bahwa perbedaan perilaku self-monitoring sebagian
didasarkan pada perbedaan-perbedaan genetik. Oleh karena itu Gangestad dan
Simpson (1993) melaksanakan prosedur konstruksi test yang tidak lazim untuk
mengidentifikasi aitem-aitem yang mengukur komponen genetik self-
monitoring. Dengan menggunakan pasangan-pasangan kembar identik dan
fraternal, kedua peneliti ini membandingkan kesamaan relatif kedua kelompok
ini dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan perilaku
self-monitoring. Hasil pengukurannya, yang diberi label Genic Expressive
Control, terdiri atas aitem-aitem yang dijawab dengan cara yang sangat mirip
oleh kembar identik dibanding kembar fraternal. Penelitian yang akan datang
seharusnya menggunakan teknik yang membedakan antara perilaku self-
monitoring yang didapat dan perilaku serupa yang terkait dengan gen. Aitem-
aitem self-monitoring di dalam skala ini (dan kunci skoring untuk orang-orang
dengan perilaku self-monitoring tinggi) meliputi antara lain:
“Saya merasa kesulitan untuk meniru orang lain” (salah)
“Saya rasa saya menggunakan pertunjukan untuk membuat orang lain
terkesan atau untuk menghibur orang.” (benar)
“Saya tidak dapat bermain dengan baik di dalam permainan-permaian
seperti charade atau melakukan improvisasi di dalam seni peran” (salah)
“Saya dapat menatap langsung mata orang lain lalu menyatakan
kebohongan kepadanya dengan tanpa memalingkan wajah saya (jika hal itu
untuk tujuan kebaikan)” (benar)
191
itu terhadap keputusan yang diambilnya, terlepas dari benar-salahnya keputusan
itu.
Orang-orang dengan self-monitoring tinggi membuat pilihan-pilihan
interpersonal berdasarkan kualitas eksternalnya (sebagai contoh, memilih partner
tenis berdasarkan baik-buruknya permainan orang itu), sementara orang-orang
dengan self-monitoring rendah membuat pilihan berdasarkan seberapa tinggi
perasaan suka mereka terhadap orang lain (Snyder, Gangestad, an Simpson,
1983). Bahkan di dalam hubungan romantik, orang-orang dengan self-
monitoring rendah memberikan komitmen yang lebih tinggi kepada orang lain
(dan oleh karenanya juga mempunyai hubungan romantik yang lebih sedikit dan
lebih lama), sementara orang-orang dengan self-monitoring tinggi sangat
dipengaruhi oleh situasi dan seperti apa pasangannya (Snyder dan Simpson,
1984).
Temuan-teman semacam itu membuat Jones (1993) tertarik untuk
meneliti perbedaan motivasi berkencan antara orang-orang dengan self-
monitoring tinggi dan rendah. Ia menggunakan skala self-monitoring dan test
yang mengukur motivasi berkencan para mahasiswa dan mahasiswi. Motif-motif
intrinsik untuk berkencan ditunjukkan oleh aitem-aitem seperti “Kami
mempunyai minat dan kepedulian yang sama” dan “Kami mempunyai sikap dan
nilai-nilai yang sama.” Motivasi intrinsik berarti bahwa individu menikmati
kebersamaan dengan pasangannya. Motif-motif ekstrinsik ditunjukkan oleh
aitem-aitem seperti “Ia mempunyai koneksi yang tepat” dan “Teman-teman dan
keluarganya dapat menguntungkan karir dan masa depan saya.” Motivasi
ekstrinsik berarti bahwa ia memilih pasangannya berdasarkan keuntungan yang
diperoleh dari hubungan tersebut. Mereka yang self-monitoringnya rendah
cenderung menekankan pada motivasi berkencan intrinsik dibanding merke yang
pemantauan-dirinya tinggi, sementara kelompok sebaliknya lebih menekankan
pada motif-motif berkencan ekstrinsik. Sekali lagi, mereka yang self-
monitoringnya rendah tampaknya berorientasi pada orang lain, sementara
mereka yang self-monitoringnya tinggi berorientasi pada pemuasan
kebutuhannya sendiri dalam arti luas.
Howells (1993) memberikan interpretasi yang sangat berbeda terhadap
hubungan interpersonal antara mereka yang pemantauan-dirinya tinggi dan
rendah ini. Ia menemukan bahwa mereka yang pemantauan-dirinya tinggi
mempunyai ciri-ciri kepribadian yang lebih positif dibanding yang pemantauan-
dirinya rendah. Para mahasiswa yang menunjukkan skor tinggi pada skala
pemantauan-diri juga ditemukan lebih sociable, penuh kasih, energetik, sensitif,
Motif Intrinsik versus punya rasa ingin tahu yang tinggi secar intelektual, dan terbuka dibanding
Ekstrinsik dalam Berkencan.
Ketika ditanyai tentang motivasi mereka yang menunjukkan skor rendah pada skala yang sama. Sebagian temuan
memilih pasangan kencan, interpersonal yang ditemukan sebelumnya mungkin sekadar menunjukkan
mereka yang self-monitoringnya bahwa mereka yang self-monitoringnya rendah secara sosial kurang kompeten
rendah cenderung menekankan dan kurang berani mengambil risiko di dalam pelbagai situasi sosial. Pendapat
tentang motif-motif intrinsik independen tetapi konsisten dikemukakan oleh Leary dan rekan-rekan
(seperti kesamaan dengan
pasangan) dibanding mereka sejawatnya (1955), yaitu bahwa self-esteem berfungsi sebagai “sosiometer”,
yang self-monitoringnya tinggi, sebuah elemen yang dibutuhkan dalam memonitor hubungan-hubungan
yang lebih menekankan pada interpersonal. Orang dengan self-esteem tinggi (yang self-monitoringnya
motif-motif ekstrinsik (seperti diperkirakan juga tinggi) menginterpretasi reaksi positif orang lain sebagai tanda
manfaat yang didapat dari bahwa ia disukai dan dihargai. Jika di dalam sebuah situasi sosial self-esteem ini
banyaknya koneksi yang dimiliki
pasangannya). dirasakan menurun, maka ini menunjukkan adanya kemungkinan penolakan dan
eksklusi sosial, sehingga perilakunya diubah untuk memperbaiki keadaan.
(Sumber: Berdasarkan data dari Jones,
1993)
192
Dalam memikirkan tentang perbedaan yang ditemukan pada mereka yang
self-monitoringnya tinggi dan rendah, Anda mungkin menyimpulkan bahwa
mereka yang pemantauan-dirinya rendah mempunyai penyesuaian yang lebih
baik dibanding mereka yang self-monitoringnya tinggi. Artinya, mereka yang
self-monitoringnya rendah tampak konsisten, mempunyai komitmen yang lebih
tinggi terhadap pasangan romantiknya, dan jujur dalam mengekspresikan
keyakinan-keyakinan aktualnya, sedangkan mereka yang self-monitoringnya
tinggi tampak tidak konsisten, sangat ingin menyenangkan hati orang lain, dan
menyukai hubungan-majemuk. Tetapi, temuan yang sama juga menunjukkan
bahwa mereka yang self-monitoringnya rendah juga lebih self-centered, closed-
minded, tidak sensitif terhadap pendapat orang lain, dan kurang memiliki social
skill, sementara mereka yang self-monitoringnya tinggi lebih sensitif terhadap
perasaan orang lain, open-minded, dan mempunyai social skill. Ternyata, hasil
penelitian menunjukkan bahwa maladjustment (neurotisisme) lebih banyak
dijumpai pada mereka yang terletak pada kedua ekstrim dimensi self-monitoring
ini dibanding mereka yang terletak di antaranya.
Self-Efficacy: “Saya Rasa Saya Dapat, Saya Rasa Saya Dapat ...”
Self-efficacy (efikasi-diri) mengacu pada evaluasi seseorang tentang kemampuan
atau kompetensinya dalam menyelesaikan suatu tugas, dalam mencapai suatu
tujuan, atau dalam mengatasi suatu kendala (Bandura, 1977). Dapatkah Anda
meraih sukses dalam mata pelajaran kalkulus? Dapatkah Anda lulus dari kursus
menyetir? Dapatkah Anda mengatasi rasa takut terhadap ketinggian? Jawaban
Anda pada masing-masing pertanyaan dapat saja berbeda, karena perasaan
efikasi-diri bervariasi sesuai tugasnya. Saya (Donn Byrne) yakin bahwa saya
akan dapat merangkai potongan-potongan puzzle atau pelbagai perabot rumah
tangga knock-down, tetapi juga sama yakinnya bahwa setiap tahun saya tidak
dapat mengisi formulir pajak saya dengan benar. Penelitian membenarkan
adanya perbedaan perasaan self-efficacy ini. Setelah gempa bumi besar yang
melanda California pada tahun 1989, para mahasiswa mengekspresikan self-
efficacy yang rendah tentang kemampuannya mengatasi bencana alam. Tetapi
self-efficacy pada aspek-aspek kehidupan lain yang tak terkait dengan bencana
alam (seperti prestasi akademik) tetap tidak terpengaruh (Burger dan Palmer,
1992).
194
dalam kandang, dengan tenang. Ketika fobia berkurang, maka rangsang
fisiologis terhadap adanya stimulus ular menurun, dan self-efficacy meningkat.
Efek terapi self-efficacy ini bersifat spesifik dan tidak dapat
digeneralisasikan pada situasi-situasi lain. Sekalipun demikian, prosedur
desensitisasi yang analog dengan itu dapat menimbulkan akibat-akibat yang
paralel, yaitu menurunkan fobia-fobia lain (seperti ketakutan terhadap laba-laba
atau terhadap tempat terbuka) dan menaikkan efikasi-diri tentang
kemampuannya mengatasi stimuli yang sebelumnya mereka takuti (Bandura,
Adams, dan Hardy, 1980).
Dalam studi yang lebih mutakhir, Riskind dan Maddux (1993) mengkaji
elemen-elemen lain yang terdapat di dalam situasi yang menakutkan. Mereka
juga mengkaji bagaimana stimulus eksternal dan self-efficacy saling berinteraksi
dalam menentukan kekuatan rasa takut itu. Kedua peneliti ini mengemukakan
tentang adanya dua model ketakutan. Harm-looming model menjelaskan
ketakutan sebagai fungsi keterdekatan objek yang ditakuti dengan individunya
dan apakah objek itu bergerak. Anda mungkin pernah melihat banyak film horor
yang membuat Anda semakin merasa tidak nyaman ketika melihat makhluk-
makhluk menakutkan yang semakin lama semakin mendekati calon korbannya.
Model self-efficacy difokuskan pada persepsi individu bahwa ia mempunyai
kemampuan untuk mencegah timbulnya akibat buruk. Sebuah tes eksperimental
195
memperlihatkan adanya bukti bahwa kedua model ini benar dan bahwa keduanya
dapat diintegrasikan. Para mahasiswa undergraduate melihat tayangan video di
mana tarantula bergerak maju ke arah kamera, bergerak mundur, atau diam saja.
Sebelum melihat tarantula itu, partisipan diminta membayangkan tentang salah
satu di antara dua situasi. Di salah satu situasi, mereka diminta membayangkan
bahwa mereka seekor laba-laba besar di dalam ruangan dan mereka boleh
memilih melemparnya dengan sebuah majalah atau meninggalkan ruangan itu
(menginduksi perasaan self-efficacy yang tinggi). Pada situasi lain, mereka
diminta membayangkan bahwa mereka dalam keadaan tak berdaya, terikat erat
di sebuah kursi di dalam ruangan kedap suara yang terkunci dan seekor laba-laba
besar ada di dalam ruangan itu (menginduksi perasaan self-efficacy yang
rendah). Seperti diperlihatkan oleh Gambar 5.8, baik objek yang “looming”
maupun tingkat self-efficacy memperngaruhi rasa takut. Tarantula yang diam
atau mundur kurang menakutkan, terlepas dari tingkat self-efficacy nya.
Tarantula yang bergerak maju membangkitkan ketakutan yang lebih tinggi, tetapi
hanya pad mereka yang self-efficacynya rendah.
196
Mungkin, elemen paling pervasive (mudah menyebar) dari identitas pribadi
adalah porsi identitas sosial di mana kita ditempatkan ke dalam salah satu di
antara dua kategori: laki-laki atau perempuan.
Istilah seks/jenis kelamin dan gender seringkali digunakan untuk hal
yang sama. Tetapi, di dalam diskusi kita di sini, kami mengikuti para ahli lainnya
(misalnya, Beckwith, 1994). Kami mendefinisikan seks dalam arti biologik-
perbedaan anatomik dan fisiologik yang berkembang berdasarkan gen-gen yang
ada pada saat terjadinya konsepsi. Gender mengacu pada semua hal lain yang
berhubungan dengan jenis kelamin seseorang, termasuk peran, perilaku,
preferensi, dan atribut-atribut lain yang mendefinisikan tentang apa yang
dimaksud dengan laki-laki dan perempuan pada budaya tertentu. Meskipun
penelitian memberikan jawaban yang ambigu, tetapi kita dapat saja
mengasumsikan bahwa banyak di antara atribut-atribut ini yang dipelajari
sementara atribut-atribut lainnya mungkin seluruhnya atau sebagian didasarkan
pada determinan-determinan biologik. Salah satu contoh interaksi antara
determinan genetik dan belajar adalah ketika sebuah atribut diinterpretasi
sebagai indikasi maskulinitas atau femininitas. Dengan kemungkinan bahwa hal
Seks/Jenis Kelamin. Kelelakian itu merupakan hasil stereotip yang dipelajari, otot yang kekar dan suara yang
atau kewanitaan seperti yang dalam dipersepsi sebagai atribut maskulinaitas, sementara rambut yang panjang
ditentukan oleh faktor-faktor genetik
pada saat terjadinya konsepsi , yang
dan suara yang tinggi dipersepsi sebagai atribut femininitas (Aube, Norcliffe,
menyebabkan perbedaan secara dan Koestner, 1995).
anatomik dan fisiologik.
Perlu diketahui bahwa definisi-definisi spesifik yang digunakan di sini
Gender. Atribut, perilaku, ciri-ciri
kepribadian, dan ekspektansi yang
tidak diterima sevata universal oleh mereka yang bekerja secara aktif di bidang
berhubungan dengan jenis kelamin ini (misalnya, Deaux, 1993b; Gentile, 1993; Unger dan Crawford, 1993).
biologik orang di dalam budaya
tertentu; hal itu mungkin didasarkan
pada determinan-determinan
biologik, aspek-aspek yang Identitas dan Stereotip Gender Berbasis Gender
dipelajari, atau mungin mewakili
kombinasi antara determinan- Kita masing-masing memiliki sebuah identitas gender. Artinya, kita memberi
determinan biologik dan kultural. label laki-laki atau perempuan pada diri kita sendiri. Kecuali pada orang-orang
Meskipun terminologinya sendiri tertentu yang jumlahnya relatif terbatas, jenis kelamin biologik dan identitas
masih menjadi bahan perdebatan, gender pada umumnya saling berkorespondensi.
para ahli psikologi paling sering
berbicara tentang jenis kelamin
ketika merujuk pada perbedaan
anatomik dan fisiologik antara laki- Mengembangkan Sebuah Identitas Gender. Orang dewasa biasanya
laki dan perempuan berdasarkan menunjukkan reaksi terhadap jenis kelamin bayi yang baru saja lahir sebagai
perbedaan genetik yang ada pada
saat konsepsi. Gender digunakan karakteristik penentu yang sangat penting. Tampaknya, tugas pertama orangtua,
untuk menjelaskan atribut dan keluarga, teman, dan orang asing adalah menentukan jenis kelamin si bayi
perilaku lain yang dikaitkan dengan (“Bayinya laki-laki atau perempuan?”). Orangtua harus segera memberikan
jenis kelamin yang diperoleh
berdasarkan ekspektasi kultural nama laki-laki atau nama perempuan padanya, dan seringkali menambahkan
atau kombinasi antara faktor-faktor atribut-atribut lain sesuai jenis kelamin bayi, misalnya dengan memilih pakaian
biologik dan kultural – atau yang berwarna merah jambu (untuk bayi perempuan) atau biru (untuk bayi laki-laki),
determinannya tidak diketahui.
mendekorasi kamarnya dengan gaya maskulin atau feminin, dan memilih mainan
IIdentitas Gender. Jenis kelamin
yang diidentifikasi oleh seseorang
dan pakaian yang “sesuai gender”.
sebagai jenis kelaminnya sendiri; Terlepas dari penekanan pada diferensiasi gender ini, anak-anak yang
biasanya, meskipun tidak selalu,
gender berkorespondensi dengan masih kecil pada umumnya tidak menyadari jenis kelamin atau gendernya
jenis kelamin biologik seseorang. sampai mereka mencapai usia sekitar dua tahun. Pada umur ini, mereka mulai
mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai “perempuan” atau “lakilaki” –
meskipun tanpa disertai pemahaman yang jelas tentang apa maksudnya. Identitas
gender muncul ketika gender menjadi bagian konsep-diri seseorang. Individu
mengembangkan sense of self yang meliputi kelelakian atau kewanitaan (Grieve,
197
1980) – meskipun tidak selalu berkorespondensi dengan jenis kelamin
biologiknya.
Pada usia antara empat dan tujuh tahun, anak-anak secara bertahap
memperoleh konsep konsistensi gender. Mereka mulai menerima prinsip bahwa
gender merupakan atribut mendasar setiap orang. Segera setelah kognisi ini
menetap di tempatnya, persepsi kita dipengaruhi oleh keyakinan kita tentang
gender. Sebagai contoh, ketika anak-anak (yang berusia antara lima sampai
sembilan tahun) melihat rekaman video empat bayi yang berusia sembilan bulan,
kedua kelompok umur ini sepakat bahwa bayi-bayi yang diidentifikasi sebagai
perempuan (Mary dan Karen) tampak lebih kecil, lebih cantik, lebih
menyenangkan, dan lebih lembut dibanding bayi-bayi yang diidentifikasi sebagai
laki-laki (Stephen dan Matthew). Padahal, eksperimenter dengan sengaja
memberikan nama laki-laki atau nama perempuan pada bayi-bayi dengan jenis
kelamin yang berbeda ini (yang tidak selalu sesuai dengan jenis kelamin
biologisnya). Hasilnya, masing-masing bayi laki-laki diidentifikasi dengan benar
sebagai laki-laki oleh separuh partisipan dan salah diidentifikasi sebagai
perempuan oleh partisipan lainnya. Serupa dengan itu, masing-masing bayi
perempuan diidentifikasi sebagai perempuan oleh separuh partisipan dan
diidentifikasi sebagai laki-laki oleh partisipan lainnya. Hasilnya jelas, yaitu
bahwa stereotip gender ditentukan oleh bagaimana bayi-bayi itu dipersepsi
(Vogel dan kawan-kawan, 1991).
Umur 2 – 4 tahun
Anak belajar tentang kategori-kategori laki-laki dan perempuan
dan memberi label laki-laki atau perempuan pada dirinya sendiri
dan orang lain, meskipun dengan pemahaman yang terbatas
tentang apa arti persisnya.
Konsepsi
Gen-gen pada khromosom jenis kelamin menentukan apakah
laki-laki biologik atau perempuan biologik terlah dikonsepsikan
199
Seiring berjalannya waktu, pelajaran-pelajaran itu kemudian akan benar-
benar dimengerti. Ketika duduk di bangku kelas enam sekolah dasar, sebagian
besar anak di Amerika Serikat telah mempelajari semua stereotip gender yang
menonjol di sana (Carter dan McCloskey, 1984), meskipun secara pribadi
mungkin tidak setuju dengannya. Mereka mengerti tentang perilaku apa yang
dianggap sesuai dan tidak sesuai untuk masing-masing gender. Kemajuan
perkembangan ini diikhtisarkan di dalam Gambar 5.9.
Isi spesifik strereotip tentang maskulinitas dan femininitas di dalam
budaya kita dan kemungkinan perilaku non-stereotip disajikan di bagian
Tonggak Bersejarah di bawah ini.
201
menyatakan bahwa sebagian besar sifat maskulin dan feminin itu tidak
menggambarkan tentang dirinya).
Diskripsi-Diri pada the Bem Sex-Role Inventory (BSRI) yang Berkorespondensi dengan Stereotip
Maskulin dan Feminin
Ciri-ciri Stereotip Laki-laki Ciri-ciri Stereotip Perempuan
Bertindak sebagai pemimpin Penuh kasih
Agresif Riang
Ambisius Kekanak-kanakan
Analitik Senang menghibur orang lain
Asertif Tidak senang menggunakan bahasa yang kasar
Atletik Ingin meredakan perasaan orang lain yang terluka
Kompetitif Feminin
Mempertahankan keyakinan sendiri Senang dirayu
Dominan Lembut
Kuat Mudah dibohongi
Mempunyai kemampuan kepemimpinan Mencintai anak-anak
Independen Setia
Individualisitik Peka terhadap kebutuhan orang lain
Mengambil keputusan dengan mudah Malu-malu
Maskulin Lemah-lembut dalam berbicara
Percaya diri Simpatik
Mencukupi diri sendiri Mudah tersinggung
Berkepribadian kuat Memahami orang lain
Bersedia mempertahankan pendiriannya Hangat
Bersedia mengambil risiko Senang mengalah
203
bahwa dirinya memiliki ciri-ciri feminin tertentu (Finn, 1986). Di kalangan laki-
laki remaja, maskulinitas yang tinggi berhubungan dengan jumlah partner
seksual yang lebih banyak, dengan pandangan bahwa perempuan dan laki-laki
adalah musuh, tingkat penggunaan kondom yang rendah, dan keyakinan bahwa
menghamili pasangan adalah ciri maskulinitas yang positif (Pleck, Sonnestein,
dan Ku, 1993). Baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki peran feminin
murni mempunyai self-esteem yang lebih rendah dibanding individu yang
maskulin atau androgini (Lau, 1989). Di dalam situasi interpersonal, femininitas
yang tinggi berhubungan dengan perasaan tertekan setelah gagal melaksanakan
sebuah tugas interpersonal (sayers, Baucom, dan Tierney, 1993). Kebanyakan
temuan menunjukkan bahwa peran gender tertentu lebih baik dibanding yang
lainnya. Di antara beberapa temuan yang bersifat netral – terlepas dari jenis
kelaminnya, orang-orang yang femininitasnya tinggi memberi makna yang lebih
tinggi pada Hari Valentin dibanding orang-orang yang femininitasnya rendah;
femininitas juga memprediksi kemungkinan mengenakan baju berwarna merah
pada hari itu (Ogletree, 1993).
Aube dan rekan-rekan sejawatnya (1995) mengemukakan tentang
pentingnya mengkaji tidak hanya laporan-diri yang dibuat oleh para partisipan di
dalam studi-studi peran-gender, tetapi juga mengkaji bagaimana pendapat orang
lain terhadap mereka. Sebagai contoh, di dalam salah satu studi, partisipan pria
yang maskulinitasnya tinggi menggambarkan hubungannya dengan teman
sekamar dan partner romantiknya lebih positif dibanding mereka yang
maskulinitasnya rendah, tetapi hubungan semacam ini tidak mendapat
konfirmasi ketika teman sekamar dan partner romantiknya yang ditanyai tentang
pandangannya terhadap partisipan itu.
204
prestasi (Turner, Pratkanis, dan Hardaway, 1991). Pria mungkin akan bereaksi
dengan cara yang sama dalam hal ini, tetapi tampaknya belum ada penelitian
yang dilakukan untuk melihat reaksi pria jika diberi tahu bahwa penunjukkannya
pada suatu posisi di pekerjaannya sebagian besar adalah karena gendernya.
Gender juga mempengaruhi ekspektansi. Sebagai contoh, Subich dan
rekan-rekan sejawatnya (1986) memberikan informasi tentang tiga macam
pekerjaan yang tidak lazim untuk para mahasiswa undergraduate – yaitu asisten
administratif, analis informasi, dan pengatur lalu-lintas. Para partisipan diminta
menyebutkan ketertarikannya pada masing-masing pekerjaan. Dibandingkan
perempuan, laki-laki mengekspresikan minat yang lebih tinggi pada bidang-
bidang yang tidak dikenal, ekspektasi yang lebih tinggi terhadap kesuksesan, dan
lebih menekankan tentang gaji. Laki-laki lebih menekankan motif-motif
ekstrinsik, sementara perempuan lebih memperhatikan tentang apakah pekerjaan
itu akan memberikan kepuasan secara pribadi, sehingga lebih menekankan
tentang motif-motif intrinsik dalam memilih pekerjaan. Meskipun tidak alasan
untuk memberi label “lebih baik” pada salah satu motivasi dibanding motivasi
yang lain, tetapi motivasi-motivasi itu jelas tidak sama.
Terlepas dari semakin meningkatnya persentase perempuan di dalam
angkatan kerja (Norwood, 1992; Uchitelle, 1994) dan undang-undang federal
yang melarang diskriminasi berbasis gender, pembatasan pekerjaan yang
berhubungan dengan gender masih terus berlangsung di pasar kerja (Kelley dan
Steeter, 1992). Di dunia akademik, misalnya, perempuan di Amerika Serikat
masih terhitung kurang beruntung dibanding laki-laki dalam hubungannya
dengan gelar doktor, gaji, dan gelar profesor (Dcallaci, 1993). Salah satu
alasannya adalah karena perempuan lebih cenderung percaya bahwa mereka
memang pantas menerima gaji yang lebih rendah dibanding pria (Moore, 1994).
Hal ini diduga disebabkan karena mereka diajari untuk mengevaluasi dirinya
sendiri dengan cara yang kurang egoistik.
Meskipun seksisme dan stereotip gender dapat memainkan peran penting
di dalam perbedaan kesuksesan laki-laki dan perempuan, Tannen (1994)
menekankan pada pentingnya perbedaan gender dalam gaya berkomunikasi.
Sebagai contoh, kemungkinan perempuan untuk membual tentang prestasinya
tidak sebesar laki-laki, dan salah satu akibatnya adalah kegagalan memperoleh
penghargaan yang sepadan ketika mereka menunjukkan hasil pekerjaan yang
amat sangat bagus (Tannen, 1995). Perempuan diharapkan menunjukkan emosi
positif terhadap kesuksesan orang lain, tetapi tidak terhadap prestasinya sendiri
(Stoppard dan Gruchy, 1993). Tannen (1994) juga mengemukakan bahwa
promosi perempuan ke posisi manajemen sering mengalami hambatan karena
laki-laki yang berwenang memutuskan promosi mereka salah
menginterpretasikan gaya komunikasi khas perempuan sebagai tanda “tidak
mampu memutuskan, tidak mampu memegang kewenangan, dan tidak
kompeten.” Manajer perlu mengetahui bahwa diskripsi-diri yang cenderung
merendah versus diskripsi diri yang cenderung terkesan “membusungkan dada”
sesungguhnya mewakili aspek gaya pribadi dan bukan mencerminkan sifat
aktualnya.
Jika perempuan mampu meraih posisi tingkat tinggi di sebuah organisasi,
mereka menunjukkan perbedaan dengan pria dalam hal cara berkomunikasi.
Pemimpin perempuan cenderung konektif dan interaktif. Artinya, perempuan
lebih menyukai kolaborasi, konsultasi, dan negosiasi, sementara pria cenderung
menekankan pada kompetisi, mengajukan pelbagai tuntuan, dan mementingkan
205
penghargaan untuk prestasi individual (Lipman-Blumen, 1988; Rosener, 1990).
Self-esteem berhubungan dengan gaya manajerial yang berbeda ini. Untuk laki-
laki, self-esteem berhubungan dengan prestasi pribadi; untuk perempuan, self-
esteem adalah fungsi keterdekatan interpersonal yang positif (Joseph, Markus,
dan Tafarodi, 1992). Bahkan pada masa kanak-kanak, anak perempuan lebih
peduli dengan kesuksesan hubungan interpersonal dibanding anak laki-laki
(Malonis dan Milich, 1993).
Ketika perempuan mampu mengatasi pelbagai kendala dan mendapatkan
keberhasilan di bidang-bidang “maskulin”, mereka seringkali dianggap rendah
atau dikritik. Sebagai contoh, di dalam pengadilan terhadap O.J. Simpson, jaksa
penuntut Marcia Clark yang mengubah gaya rambutnya menempati halaman
depan surat kabar, dan oleh para pembela pria ia dilukiskan sebagai “wanita yang
sangat menarik” dengan “tungkai yang indah” tetapi “punya suara yang
melengking” dan “sedikit keras” (Toobin, 1995). Coba bayangkan tentang interes
yang sama pada gaya rambut jaksa penuntut pria, keatraktifan fisiknya, atau
sikapnya yang terlalu keras.
Apa yang terjadi jika perempuan mampu menyamai laki-laki dalam
pekerjaan tertentu? Reaksi yang lazim terdengar adalah “there goes the
neighborhood.” Artinya, ketika penghalang di pekerjaan tertentu dapat
diruntuhkan dan semakin banyak perempuan yang menempati pekerjaan
tersebut, maka pekerjaan itu kemudian dianggap kurang prestisius (Johnson,
1991). Reaksi negatif terhadap peran feminin begitu meluas sehingga satu-
satunya cara untuk menjelaskan tentang kesuksesan perempuan di dalam suatu
pekerjaan adalah dengan mengevaluasi pekerjaan itu sendiri.
Mengapa Peran Gender Masih Sangat Kuat? Konsep perbedaan laki-laki dan
perempuan dan konsep superioritas laki-laki mempunyai sejarah yang panjang.
Di dalam tradisi Yahudi-Kristen, pria pada mulanya diidentifikasi sebagai
pemilik keluarganya (Wolf, 1992). Di dalam Talmud Yahudi, kategori properti
itu meliputi ternak, perempuan, dan budak. Di dalam Perjanjian Baru, Efesia
(5:22-24) memberi perintah sebagai berikut kepada para wanita Kristen “Engkau
para isteri, perlakukan dirimu di hadapan suamimu seperti engkau perlakuan
dirimu di hadapan Tuhan. Sebagai pemimpin isteri, suami bertindak seperti
Kristus yang mengepalai Gerejanya.”
Selama berabad-abad, perbedaan gender masih mendapatkan dukungan
kultural yang kuat. Sebagai contoh, sampai dengan tahun-tahun belakangan ini,
di dalam buku cerita dan dongeng untuk anak-anak, stereotip anak laki-laki dan
anak perempuan serta stereotip pria dan wanita diterima secara umum (McArthur
dan eisen, 1976; Witzman dan kawan-kawan, 1972). Artinya, pria dan anak laki-
laki cenderng memainkan peran aktif dan mengambil inisiatif, sementara anak
perempuan menjadi pengikut atau perlu diselamatkan ketika dirinya sendiri
menghadapi bahaya. Keartifisialan stereotip ini menjadi semakin tampak nyata
pada tahun 1970an. Di dalam He Bear, She Bear, the Berenstains
menginformaskan kepada para pembacanya di tahun 1974 bahwa peran ayah
memang untuk anak beruang yang laki-laki dan peran ibu untuk anak beruang
yang perempuan – tetapi gender itu sendiri tidak terikat pada aktivitas atau
pekerjaan tertentu – “Tidak satu hal pun yang tidak dapat kita coba. Kita dapat
melakukan semua hal, tidak peduli apakah kita laki-laki atau perempuan.”
206
Terlepas dari adanya kesadaran baru ini, cerita-cerita lama masih tetap
populer. Lurie (1993) menyatakan bahwa dongeng-dongeng tradisional sengaja
dirancang untuk memberikan pelbagai pelajaran moral dan perilaku kepada
anak-anak. Alur cerita yang lazim berlaku adalah bahwa anak menerima
penjelasan tentang suatu aturan. Jika tidak patuh, mereka akan menerima
konsekuensi negatif. Sebagai contoh, Si Kerudung Merah mestinya mengikuti
saran ibunya tentang cara paling aman untuk pergi ke rumah neneknya. Ancaman
hukuman jika ia melanggar adalah si serigala lapar. Untungnya, seorang pria
berkampak mampu menyelamatkan gadis itu dari konsekuensi negatif akibat
tindakan independen-sembrononya.
Tak terhitung banyaknya dongeng-dongeng kuno maupun film-film
moderen yang didasarkan pada formula semacam itu. Pahlawan wanita seperti
Snow White, Sleeping Beauty, Cinderella, the Little Mermaid, semuanya
mengalami masalah serius. Harapan satu-satunya adalah cinta seorang pangeran
tampan yang menciumnya dan/atau menaklukkan tokoh-tokoh jahat sehingga
pasangan itu akan hidup bahagia selama-lamanya. Sementara peran laki-laki
adalah sebagai pemimpin (seperti di dalam Bambi, the Lion King, The Jungle
Book, Dumbo, dan lain-lain), peran perempuan hanyalah melahirkan anak yang
nantinya menjadi pahlawan atau bertindak sebagai objek seks yang kemudian
akan mengandung benih keturunannya. Studi terhadap film-film, opera sabun,
dan iklan prime-time (ditayangkan di jam-jam tayang favorit di televisi)
menunjukkan bahwa peran gender tradisional semacam itu masih banyak
dipotret (Helman dan Bookspan, 1992). Sebuah survei informal terhadap film-
film yang ditayangkan di wilayah ibu kota New York pada musim panas tahun
1995 menemukan bahwa dari tiga belas film yang dikategorikan G, PG, dan PG-
13, pria mendapat peran utama di 10 film di antaranya (termasuk A Kid in King
Arthur’s Court, The Indian in the Cupboard, Free Willy 2, dan Dumbo Drop).
Perempuan hanya memainkan peran utama di tiga film sisanya, yaitu di film
Clueless, tentang seorang murid sekolah menengah atas yang berpikir bahwa
Kuwait terletak di suatu tempat di San Fernando Valley; Congo, yang
menceritakan tentang Amy, gorila betina yang dapat berbicara; dan The Net yang
pahlawan wanitanya sangat manusiawi dan sekaligus cerdas. Sepuluh film yang
mendapat kategori R terbagi rata antara film-film yang tokoh utamanya pria dan
wanita. Ini barangkali terdengar sebagai pertanda baik sampai Anda nantinya
menyadari bahwa semua tokoh utama pria itu adalah pahlawan dalam film-film
laga (Batman Forever, Under Siege 2, Virtuosity, dan lain-lain), sementara tiga
dari lima peran utama wanita adalah pelacur paruh-waktu (Belle du Jour),
lesbian muda (Two Girls in Love), dan makhluk jahat yang sebagian gennya
adalah dari makhluk planet lain (Species). Sejauh ini, tampaknya tidak ada bukti
yang cukup kuat bahwa industri hiburan cukup peduli pada isu kesetaraan
gender.
Di luar buku, televisi, dan film – bagaimana dengan dunia baru komputer
beserta pelbagai alat permainan dan pealatan belajar, baik dalam bentuk hard
drives, disket, dan CD-ROM? Ceritanya tidak jauh berbeda, Kebanyakan pelajar
Penggambaran Peran Gender yang duduk di kelas enam, tujuh, dan delapan bereaksi dengan menekankan pada
Nontradisional di dalam Iklan. program-program komputer yang berlawanan dengan stereotip gender (Cooper,
Meskipun iklan adalah salah Hall, dan Huff, 1990). Mungkin, hal ini disebabkan karena program-program
satu di antara banyak tempat di pendidikan didasarkan pada stereotip laki-laki. Padahal jumlah anak laki-laki
mana stereotip gender
tradisional diperlihatkan secara
jauh melampaui anak perempuan dalam hal keikutsertaan dalam kursus
reguler, tetapi dewasa ini
semakin banyak iklan yang
berusaha menarik perhatian
dengan membalik peran pria dan 207
wanita.
komputer, penggunaan laboratorium komputer, keikutsertahan dalam computer
camps, dan minat terhadap bidang sains komputer.
209
mengalami gangguan makan (Forston dan Stanton, 1992; Hamilton, Falconer,
dan Greenberg, 1992), dan untuk merasa tertekan (Strickland, 1992).
Kegemukan adalah isu khusus untuk perempuan. Ketika pria menyalahkan
perempuan yang mengalami kegemukan (“Itu ‘kan karena kesalahanmu
sendiri”), perempuan cenderung menerima evaluasi ini. Ketika perempuan yang
kegemukan dianggap sebagai teman kencan yang tidak disukai oleh seorang laki-
laki, maka mereka tidak menjadi marah kepada laki-laki itu atau
mengatribusikan masalah itu pada prasangka laki-laki itu, tetapi cenderung
menyalahkan dirinya sendiri (Crocker, Cornwell, dan Major, 1993). Meskipun
perempuan yang kegemukan cenderung mengatribusikan penolakan di tempat
kerja disebabkan oleh bias-bias yang tidak adil, tetapi penolakan dalam
hubungan romantik dipersepsi sebagai sesuatu yang beralasan dan dapat
dibenarkan (Crocker dan Major, 1993).
Mengapa penampilan menjadi masalah utama perempuan? Mungkin, hal
ini disebabkan karena sejak bayi orang lain memberikan respon yang berbeda
terhadap penampilan bayi berdasarkan gendernya. Para mahasiswi melaporkan
frekuensi pengalaman masa kanak-kanak yang tinggi di mana mereka diejek oleh
teman-teman dan saudara laki-lakinya akibat penampilan wajah atau berat
badannya (Cash, 1995). Bahkan para orangtua bertindak diskriminatif terhadap
anak perempuan mereka yang kegemukan (tetapi tidak pada anak laki-laki yang
kegemukan) dalam hal penyediaan bantuan keuangan untuk kuliah (Crandall,
1995).
Perhatikan tentang efek-efek negatif dari penekanan khusus yang
ditempatkan oleh masyarakat kita pada keatraktifan fisik perempuan secara
umum maupun pada detil-detil anatomik tertentu seperti ukuran buah dada
(Thomson dan Tantleff, 1992). Salah satu akibatnya adalah bahwa perempuan
seringkali menjadi sangat ringkih dan mudah merasa gelisah ketika
penampilannya dijadikan isu (Mori dan Morey,1991). Sebagai contoh, setelah
melihat gambar-gambar di majalah yang mempertontonkan para model yang
pada umumnya sangat kurus, para mahasiswi memberikan respon berupa
perasaan depresi, stres, merasa bersalah, malu, merasa tidak aman, dan merasa
tidak puas dengan tubuhnya sendiri (Stice dan Shaw, 1994). Ketika beranjak tua,
perempuan dipersepsi semakin kurang feminin, tetapi pria tidak dipersepsi
menjadi kurang maskulin (Deutsch, Zalenski, dan Clark, 1986).
Di luar penampilan, persepsi-diri yang lain juga berbeda pada laki-laki
dan perempuan. Pada pengukuran berdasarkan laporan-diri, perempuan
menggambarkan dirinya sendiri lebih mudah cemas, lebih suka berkelompok,
lebih mempercayai orang lain, dan lebih senang merawat dibanding laki-laki,
sementara pria menggambarkan dirinya lebih asertif dibanding perempuan
(Feingold, 1994). Dibanding pria, perempuan memberikan respon yang disertai
intensitas emosional lebih besar, seperti yang ditunjukkan oleh laporan-diri
mapun pengukuran fisiologis (Grossman dan Wood, 1993). Beberapa bukti
menunjukkan bahwa penjelasan perbedaan gender itu terletak pada perbedaan
area-area otak tertentu yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan dalam
berpikir dan dalam merespon stimului emosional (Gur, 1995; Kolata, 1995;
Shaywitz dan Shaywitz, 1995).
Dewasa ini, tidak seorangpun yang dapat menyimpulkan secara pasti
tentang alasan mengapa pria berbeda dengan wanita. Kami tahu bahwa Anda
mungkin akan merasa frustrasi jika kami mengatakan bahwa ketidakyakinan itu
merefleksikan realitas penelitian ilmiah yang ada saat ini. Tidak sulit bagi kita
210
untuk mendapatkan kepastian di kalangan orang-orang yang percaya pada
pendapatnya sendiri dibanding pada data objektif. Sebagian orang mungkin
masih setuju dengan Ratu Victoria (1881) yang yakin bahwa “Tuhan
mentakdirkan pria dan wanita berbeda” dan bahwa upaya apapun yang dilakukan
untuk mengubahnya dan siapa pun yang berbicara tentang hak-hak perempuan
dianggap “gila, tolol”. Untungnya, dua ratus tahun setelah pandangan semacam
itu dianggap lazim, dewasa ini banyak di antara kita yang merasa yakin bahwa
laki-laki dan perempuan berbeda terutama karena mereka belajar menjadi
berbeda. Jawaban finalnya hampir pasti terletak pada beberapa hal yang spesifik,
seperti: perbedaan-perbedaan mana yang berbasis biologik, perbedaan-perbedaan
mana yang didapat, dan perbedaan-perbedaan mana yang mecerminkan kedua
macam pengaruh tersebut.
PRINSIP-PRINSIP PENGINTEGRASI
1. Salah satu aspek yang amat sangat penting di dalam identitas pribadi
melibatkan suatu skema gender yang kompleks, yang merupakan hasil
pengkategorisasian yang dilakukan sejak bayi, yaitu sebagai laki-laki atau
perempuan. Di luar perbedaan-perbedaan biologik, kita memperoleh sikap,
keyakinan, emosi dan prasangka (Bab 2, 3, 4, dan 6) yang berhubungan
dengan gender – baik terhadap diri kita sendiri maupun orang lain.
2. Begitu kita mempelajari perilaku peran-gender yang “pantas/sesuai” menurut
buaya kita, maka banyak perilaku dan reaksi kita terhadap orang lain yang
dituntun oleh konsepsi kita tentang maskulinitas dan femininitas. Perbedaan
antara pria dan wanit sebagian dipengaruhi oleh keyakinan orangtua dan
keyakinan orang lain yang menonjol, dan diperkuat oleh gambaran-
gambaran yang diberikan oleh media. Efek-efek peran gender ini meluas ke
hubungan-hubungan interpersonal (Bab 8) dan di tempat kerja (Bab 13).
Kami telah menjelaskan bahwa wanita mempunyai terhadap kepedulian pada berat badan ini tentunya
kepedulian terhadap penampilan yang lebih besar di akan membantu menunjukkan adanya kemungkinan
dibanding pria, termasuk ketidakpuasan terhadap kekuatan pengaruh masyarakat dalam membentuk
berat badannya. Karena ini adalah perbedaan gender reaksi yang berbeda pada pria dan wanita.
yang kuat, maka perbandingan lintas-budaya
211
Salah satu konsekuensi dari keinginan bahwa perempuan kulit putih dan Asia mempunyai
menjadi lebih kurus adalah dengan melakukan diet kepedulian yang berbeda terhadap berat badan.
ekstrim, yang kadang-kadang dapat berakhir dengan
Tetapi, di luar perkiraan, perbedaan tersebut
kematian. Wardle dan rekan-rekan sejawatnya
bukan didasarkan pada perbedaan rasial dalam hal
(1993) menyatakan bahwa gangguan makan kurang
konsep berat badan ideal. Kedua kelompok setuju
lazim dijumpai di negara-negara yang sedang
bahwa menjadi kurus adalah lebih baik dan bahwa
berkembang di banding di masyarakat Barat. Selain
pria lebih menyukai perempuan yang langsing.
itu, di Inggris dan Amerika Utara, wanita Afrika-
Amerika dan Asia lebih sedikit yang menunjukkan Sebaliknya, tampaknya ada kemungkinan
gangguan makan dibanding wanita Kaukasia. bahwa perbedaan ciri-ciri tubuh aktual turut
Perbandingan etnik serupa juga menunjukkan memberikan sumbangan atas diperolehnya temuan-
bahwa wanita Kaukasia paling cenderung temuan di atas. Para peneliti mencatat bahwa,
menghakimi dirinya sendiri karena menjadi dibanding partisipan penelitian yang berkulit putih,
kegemukan dan paling cenderung mengevaluasi partisipan Asia lebih pendek, lebih ringan, dan
tubuhnya secara negatif. mempunyai massa tubuh yang lebih kecil. Tetapi,
dilihat secara statistik, orang kulit putih masih
Untuk menelaah perbedaan kultural ini
merasa bahwa dirinya lebih besar dibanding orang
dengan lebih cermat, Wardle dan rekan-rekan
Asia, meskipun ukuran tubuh mereka kebetulan
sejawatnya meneliti siswa-siswa perempuan kulit
sama. Di kalangan mereka yang paling kurus, lebih
putih dan Asia (yang berusia antara 14-15 tahun)
banyak perempuan kulit putih yang merasa bahwa
dan mahasiswi (yang berusia antara 19-20 tahun) di
dirinya “gemuk” dibanding perempuan Asia.
London. Pertanyaan pertamanya adalah apakah
perbedaan rasial berhubungan dengan perbedaan Jadi, secara keseluruhan, perbedaan kultural
kepedulian terhadap berat badan. Persentase dalam hal kepedulian terhadap berat badan
perempuan kulit putih dari kedua kelompok umur mendapat konfirmasi, tetapi alasan yang
menunjukkan tingkat keinginan yang lebih tinggi mendasarinya tetap tidak diketahui secara pasti.
untuk mengurangi berat badan dan secara aktif Salah satu hipotesisnya adalah bahwa lebih banyak
mencoba melakukannya. Rangkuman datanya pria kulit putih cenderung menolak perempuan yang
tampak di dalam Gambar 5.10. Selain itu, di terlalu gemuk dibanding jumlah pria Asia yang
kalangan mereka yang mempunyai akses ke berpandangan sama. Penelitian lebih lanjut
timbangan badan, subjek Asia melaporkan bahwa dibutuhkan untuk menjelaskan tentang faktor
mereka lebih jarang menimbang diriya sendiri kultural apa yang menyebabkan terjadinya
dibanding subjek kulit putih. Tampak jelas di sini perbedaan ini.
212
Gambar 5.10. Kepedulian
Perempuan Terhadap Berat Badan:
Pemudi Asia versus Pemudi Kulit
Putih. Remaja putri yang menjadi Dibanding remaja putri Asia, lebih
banyak remaja putri kulit putih yang
siswa pelbagai sekolah di London menyatakan keinginannya untuk
ditanyai tentang keinginan mereka mengurangi berat badan dan telah
untuk mengurangi berat badan dan merusha secara aktif untuk itu
tentang usaha yang mereka lakukan
secara aktif untuk itu. Persentase
remaja putri kulit putih yang ingin
mengurangi berat badan dan berusaha
secara aktif untuk itu tapak lebih tinggi
dibanding remaja putri Asia. Temuan ini
dan temuan-temuan lainnya
menunjukkan peran faktor-faktor
kultural di dalam perbedaan gender
tertentu, dalam hal body image dan
kecemasan terhadap penampilannya.
Tetapi, mekanismenya sendiri tetap
belum jelas.
(Sumber: Berdasarkan data dari Wardle dan
kawan-kawan, 1993)
PELBAGAI HUBUNGAN:
Mengintegrasikan Psikologi Sosial
Di bab ini Anda membaca tentang... Di bab-bab lain, Anda akan menemukan diskusi-
diskusi terkait tentang...
Skema-diri Skema dan pemrosesan informasi (Bab 3); sikap
sebagai skema (Bab 4); dan stereotip sebagai skema
(Bab 6)
Self-esteem Efek-efek self-esteem dalam persuasi (Bab 4); self-
esteem setelah menerima pertolongan (Bab 10)
Pemantauan-diri Efek-efek pemantauan-diri di dalam persuasi (Bab 4)
Efikasi-diri Efek-efek sefikasi-diri terhadap kesehatan (Bab 14)
Stereotip gender Prasangka dan stereotip (Bab 6)
213
Simpson, dan coba tentukan apakah sikap Anda percaya diri dan merasa kurang yakin terhadap
tentang ras, penganiayaan terhadap pasangan kemampuan Anda. Mengapa perasaan Anda
hidup, gender, atau tentang apa pun, dipengaruhi berbeda? Apa yang Anda lakukan dalam situasi
oleh cara Anda memproses informasi tentang semacam ini? Ketika self-efficacy Anda kurang,
perkembangan proses pengadilan itu. Apakah adakah kemungkinan untuk mengubah persepsi-
skema-skema tersebut mempengaruhi siapa yang diri Anda?
Anda sukai dan Anda percayai di antara para
4. Apa yang Anda yakini sebagai stereotip yang
pembela dari masing-masing pihak dan di antara
paling lazim tentang pria dan wanita? Apakah
para saksi? Apakah Anda paling mudah
Anda (atau sebagian teman Anda) mempunyai
mengingat informasi dan kejadian yang sesuai
stereotip semacam itu? Apakah menurut Anda
dengan skema Anda?
stereotip tersebut akurat atau tidak akurat?
2. Dapatkah Anda memikirkan tentang sebuah Apakah Anda mengenal orang-orang yang tidak
situasi di mana perasaan self-esteem Anda sesuai dengan stereotip gender? Bila tahu,
mempengaruhi tindakan Anda atau di mana self- bagaimana pendapat Anda tentang mereka? Baik
esteem Anda dipengaruhi oleh apa yang terjadi? berdasarkan pengalaman Anda sendiri maupun
Anda mungkin masih ingat kejadian di mana pengalaman orang lain, apakah Anda percaya
seseorang mencoba membujuk Anda – atau bahwa stereotip gender mempunyai efek (baik
sebaliknya (Bab 4); di mana Anda bertemu atau buruk) pada perilaku Anda?
seseorang untuk pertama kalinya (Bab 7); di
mana Anda mengalami hubungan yang terputus
(Bab 8); di mana seseorang meminta Anda untuk
melakukan sesuatu (Bab 9) atau untuk
membantunya (Bab 10); atau berada di dalam
situasi kerja (Bab 13); atau ketika Anda
menderita sakit (Bab 14).
214
tujuan, atau untuk mengatasi suatu kendala. Orang tetapi hal ini saat ini tampak cenderung melemah di
yang self-efficacynya tinggi meningkatkan kinerja, dalam budaya kita. Pertanyaan sentral pada studi
mulai kinerja di bidang atletik sampai akademik. tentang perbedaan gender adalah apakah perbedaan
itu berdasarkan fisiologi, hasil belajar, atau
kombinasi keduanya.
Gender: Kelelakian atau Kewanitaan
Sebagai Aspek Krusial Identitas
Seks/jenis kelamin mengacu pada perbedaan Keanekaragaman Sosial: Perbedaan
anatomik dan fisiologik yang didasarkan pada Kultural dalam Kepedulian terhadap
determinan-determinan genetik, sementara gender Berat Badan
mengacu pada semua atribut yang berhubungan
dengan menjadi laki-laki atau perempuan, baik itu Untuk alasan-alasan yang tidak jelas, masyarakat
ditentukan secara biologik maupun oleh Barat ditandai oleh kepedulian kaum perempuannya
kebudayaan. Di dalam proses perkembangan, kita terhadap penampilan pada umumnya dan terhadap
mendapatkan identitas gender ketika kita belajar berat badan pada khususnya. Kepedulian ini lebih
memberi label perempuan atau laki-laki kepada diri tinggi dibanding masyarakat lainnya. Perbandingan
kita sendiri dan memasukkannya sebagai bagian antara kaum wanita Asia dan Kaukasia
konsep-diri kita, Karakteristik gender dapat menunjukkan adanya kepedulian yang berbeda
melibatkan kualitas-kualitas maskulin atau feminin terhadap berat badan, tetapi kepedulian ini bukan
yang stereotipik, kombinasi tertentu di antara didasarkan pada citra berat badan ideal yang
keduanya (androgini), atau tidak melibatkan gender berbeda. Wanita kulit putih lebih banyak yang
yang manapun. Peran gender yang kita adopsi merasa gemuk dibanding wanita Asia, ingin
mempengaruhi tindakan kita dan bagaimana orang mengurangi berat badan, dan berusaha secara aktif
lain merespon kita. Stereotip gender cenderung untuk itu, meskipun kedua kelompok sama-sama
didukung oleh banyak aspek dalam kebudayaan, yakin bahwa tubuh yang kurus adalah ideal.
Istilah-istilah Kunci
Androgini Konsistensi Gender
Bem Sex-Role Inventory (BSRI) Pemantauan-Diri
Efikasi-Diri Pemfokusan-Diri
Gender Seks/Jeni Kelamin
Identifikasi terhadap Stereotip-Gender Self-Esteem
Identitas Gender Self-Reference Effect
Identitas Sosial Sex Typing
Kemungkinan Self Skema-Diri Seksual
Konsep-Diri
215
Bordo, S. (1993). Unbearable weight: Feminism, Western culture, and the body. Berkeley, CA: University
of California Press.
Penulisnya, seorang ahli filsafat, menjelaskan tentang bahaimana perempuan secara reguler diberi
gambaran tentang tubuh yang dianggap feminin-ideal, yaitu muda, langsing, dan berotot. Ia melacak
respon-respon yang berbeda terhaap tubuh laki-laki dan perempuan sampai ke zaman Yunani Kuno, di
mana hal-hal yang baik dalam pikiran diatributkan pada pria dan hal-hal yang buruk pada tubuh
diatributkan pada perempuan. Banyak bagian di dalam buku ini yang dipusatkan pada gangguan makan,
seperti anoreksia, yang diasumsikan mewakili upaya sebagian wanita untuk mencapai body image ideal
seperti yang selalu dijejalkan kepada mereka.
Oskamp, S. dan Costanzo, M. (Eds.) (1993). Gender issues in social psychology. Newbury Park, CA: Sage.
Penelitian dan teori tentang gender serta perbedaan gender didiskusikan oleh para ahli ilmu psikologi
terkemuka. Topik-topik yang terdapat di dalamnya meliputi antara lain: perspektif kaum feminis terhadap
metodologi penelitian, perkembangan peran-gender pada masa kanak-kanak dan remaja, ideologi maskulin,
perbedaan gender di dalam konflik perkawinan, stereotip gender, dan isu-isu pekerjaan, mulai diskrepansi
gaji sampai pelecehan seksual.
216