Anda di halaman 1dari 49

BAB ASPEK-ASPEK

IDENTITAS SOSIAL:
5 MEMANTAPKAN SELF DAN
GENDER SESEORANG
Self: Komponen-komponen Identitas Seseorang
Konsep-Diri: Skema Sentral
Psikologi Sosial: Pada Sisi Terapan: Meningkatkan Jumlah Self
Self-Esteem: Megevaluasi Diri Sendiri
TONGGAK BERSEJARAH DI DALAM PSIKOLOGI SOSIAL: Rogers,
Teori-Self, Diskrepansi Self-Ideal, dan Perubahan Kepribadian

Aspek-aspek Lain pada Fungsi-Self: Memfokuskan, Memantau, dan Efikasi


Self-Focusing: Memberi Perhatian pada Diri Sendiri atau Lingkungan
Self-Monitoring: Mengarahkan Perilaku Berdasarkan Faktor-faktor Internal
versus Faktor-faktor Eksternal
Self-Efficacy: “Saya Rasa Saya Dapat, saya Rasa Saya Dapat ...”

Gender: Kelelakian atau Kewanitaan Sebagai Aspek Identitas yang Krusial


Identitas dan Stereotip Gender Berbasis Gender
TONGGAK BERSEJARAH DI DALAM PSIKOLOGI SOSIAL: Konsep
Bem tentang Androgini Psikologik Sebagai Alternatif untuk Maskulinitas
versus Femininitas
Perilaku Peran-Gender dan Reaksi Orang Lain terhadap Perilaku Peran-
Gender
Jika Ditemukan Perbedaan di antara Laki-laki dan Perempuan, Apakah
Perbedaan itu Berdasarkan Seks, Gender, atau Kedua-duanya?
Keanekaragaman Sosial: Analisis Kritis: Perbedaan Kultural dalam
Kepedulian terhadap Berat Badan

Pelbagai Hubungan
Rangkuman dan Reviu
Istilah-istilah Kunci
Informasi Lebih Lanjut

168
Siapa Anda? Bila Anda tiba-tiba mendapati diri Anda sedang melakukan
kontak radio dengan makhluk dari planet lain dan pertanyaan ini
dilontarkan kepada Anda, Apa yang akan Anda katakan jika Anda hanya
punya waktu tiga puluh detik untuk menjawab? Siapa Anda?
Pikirkan tentang salah satu pengalaman Anda yang sangat menyenangkan;
ketika merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya; ketika mendapatkan
nilai A padahal tidak berharap dapat mendapatkan nilai setinggi itu; ketika
membeli mobil pertama Anda, atau apapun yang menyenangkan. Bagaimana
perasaan yang Anda rasakan tentang diri Anda sendiri? Bagaimana reaksi
Anda terhadap orang-orang yang kemudian Anda jumpai? Apakah Anda
kemudian merasa lebih optimistik terhadap masa depan Anda? Sekarang
pikirkan tentang pengalaman yang sangat tidak menyenangkan dan
lontarkan pertanyaan yang sama tentang bagaimana perasaan, reaksi, dan
optimisme Anda. Dengan asumsi bahwa Anda memberikan jawaban berbeda
untuk kedua macam pengalaman tersebut – mengapa jawaban Anda
berbeda?
Dapatkah Anda mengingat, pada usia berapa Anda menyadari untuk
pertama kalinya bahwa orang-orang terdiri atas anak laki-laki dan
perempuan, pria dan wanita? Pun jika Anda tidak mampu mengingatnya
secara persis, apa yang Anda pikirkan tentang gender lain ketika Anda
masih kecil, dan bagaimana pendapat Anda sekarang tentang hal yang
sama?Seberapa berbedakah perempuan dan laki-laki?

Sejak awal kehidupan, masing-masing orang mulai belajar tentang siapa


dirinya. Kita mengembangkan sebuah identitas sosial, atau sebuah definisi-
sosial, yang meliputi bagaimana kita mengkonseptualisasikan diri kita sendiri,
termasuk bagaimana evaluasi kita terhadap diri kita sendiri (Deaux, 1993a;
Ellemers, Wilke, dan Knippenberg, 1993). Bagi masing-masing orang, identitas
ini meliputi aspek-aspek unik seperti nama dan konsep-diri, maupun aspek-aspek
yang juga dimiliki oleh orang-orang lain (Sherman, 1994). Kategori-kategori
yang lazim dikenal antara lain adalah gender dan hubungan (seperti perempuan,
laki-laki, anak perempuan, anak laki-laki, janda, duda); vokasi atau avokasi
(mahasiswa, musisi, psikolog, wiraniaga, atlet); afiliasi politik atau ideologik
(feminis, enviromentalis, demokrat, republik); atribut-atribut yang tidak disukai
Identitas Sosial. Definisi oleh, paling tidak sebagian, orang (seperti menjadi tunawisma, kegemukan,
seseorang tentang siapa
dirinya, meliputi atribut-atribut
homoseksual, pengguna obat, dan golongan etnik atau religius tertentu (Katolik,
personal (konsep-diri) maupun Orang Selatan, Hispanik, Yahudi, Afrika-Amerika) (Deaux dan kawan-kawan,
atribut yang terkait dengan 1995).
keanggotaan di pelbagai
kelompok (aspek-aspek yang Kategori yang beraneka macam ini terkait erat dengan dunia
sama dengan yang dimiliki interpersonal kita dan dalam hal apa kita seperti orang lain atau tidak seperti
orang lain). orang lain. Perhatikan, ketika sebuah konteks sosial seseorang berubah,
Konsep-Diri. Identitas-diri perubahan ini sedikit banyak menimbulkan gangguan pada identitas sosialnya
seseorang, suatu skema yang sehingga perlu diatasi. Sebagai contoh, ketika mahasiswa Hispanik memasuki
terdiri atas sekumpulan
keyakinan dan perasaan yang
terorganisasi tentang diri
sendiri

169
universitas yang didominasi oleh orang Anglo1, maka salah satu bentuk
responnya adalah semakin melibatkan diri di dalam kegiatan-kegiatan dan
kelompok-kelompok Hispanik sehingga menguatkan identifikasinya sendiri
dengan aspek ini. Reaksi sebaliknya – menjadi kurang mengidentifikasikan diri
dengan orang Hispanik dan mencari ikatan-ikatan baru – juga merupakan cara
yang lazim untuk menghadapi situasi baru (Either dan Deaux, 1994).
Di bab ini kami akan berkonsentrasi pada dua komponen utama identitas
sosial. Pertama, kami akan membahas beberapa elemen krusial self, termasuk
self-concept (konsep-diri), self-esteem, self-focusing (pemfokusan-diri), self-
monitoring (pemantauan-diri), dan self-efficacy (efikasi-diri). Kedua, kita akan
membahas tentang gender, terutama determinan-determinan sosial yang terkait
dengan identitas gender, peran gender, dan bagaimana perilaku dipengaruhi oleh
atribut-atribut ini.

Self: Komponen-komponen Identitas Seseorang


Manusia banyak menghabiskan waktu dan tenaganya untuk memikirkan tentang
dirinya sendiri. Sampai batas tertentu, secara harafiah kita cenderung self-
centered (terpusat pada diri sendiri). Artinya, self adalah pusat semesta sosial
setiap orang. Identitas-diri Anda, atau konsep-diri Anda, terutama diperoleh
melalui interaksi sosial yang dimulai dengan keluarga terdekat Anda dan
dilanjutkan dengan orang-orang yang Anda jumpai selama hidup Anda. Self-
concept (konsep-diri) adalah sekumpulan keyakinan dan perasaan yang
terorganisasi tentang diri sendiri – atau, dengan kata lain, konsep-diri adalah
sebuah skema yang berfungsi seperti skema-skema lain yang telah didiskusikan
di Bab 3. Jadi, konsep-diri adalah sebuah kerangka kerja khusus yang
mempengaruhi cara kita memproses informasi tentang dunia sosial di sekitar kita
bersama-sama dengan informasi tentang diri kita sendiri – seperti motif, kondisi
emosional, evaluasi-diri, kemampuan kita, dan hal-hal lainnya (Klein, Loftus,
dan Burton, 1989; Van Hook dan Higgins, 1988). Bahkan barang-barang yang
dimiliki pun dipersepsi sebagai bagian dari diri sendiri (“anjing saya”, “jam
dinding saya”, “rumah saya”, dan seterusnya)

Konsep-Diri: Skema Sentral


Pada awal bab ini, kami bertanya “Siapa Anda?” Dimulai sejak lebih dari satu
abad yang lalu, yaitu oleh William James (1890), beberapa variasi pertanyaan ini
(seperti “Siapa saya?”) telah digunakan untuk mengukur konsep-diri (Bugental
dan Zelen, 1950; Gordon, 1968; Ziller, 1990).
Konsep-Diri Meliputi Semua Kajian yang paling mutakhir, Rentsch dan Heffner (1994)
Informasi yang Berhubungan memutakhirkan pengukuran ini dengan menginstruksikan kepada masing-masing
dengan Self, Termasuk mahasiswa (lebih dari 200 mahasiswa dilibatkan) untuk memberikan dua puluh
Kepemilikan. Skema yang
berupa konsep-diri meliputi
jawaban yang berbeda untuk pertanyaan itu. (Anda mungkin ingin mencobanya
semua informasi dan perasaan sendiri sebelum meneruskan membaca). Peneliti-peneliti ini kemudian
yang relevan dengan self di menganalisis jawaban-jawabannya secara statistik untuk menetapkan kategori-
masa lalu, di saat ini, maupun kategori isi dasar konsep-diri mereka. Para peneliti ini berasumsi bahwa setiap
di masa yang akan datang. orang memiliki konsep-diri yang unik dengan isi yang spesifif, tetapi struktur
Bahkan kepemilikan kita atas
benda-benda tetentu juga
konsep-diri secara keseluruhan sama untuk semua individu. Seperti diperlihatkan
menjadi bagian informasi yang 1
berhubungan dengan self. Bangsa Amerika berkulit putih yan bukan keturunan Spanyol atau Meksiko

170
oleh Gambar 5.1, partisipan penelitian ini menggambarkan dirinya sendiri
berdasarkan delapan kategori atau faktor. Anda dapat melihat bahwa sebagian di
antaranya meliputi aspek-aspek identitas sosial yang telah diuraikan sebelumnya,
sementara yang lainnya mengacu pada atribut-atribut personal. Jika Anda telah
mencoba menjawab pertanyaan ini untuk diri Anda sendiri, mana di antara
faktor-faktor ini yang ada di dalam jawaban Anda? Dengan mengulangi
penelitian ini pada sampel-sampel yang berbeda, para ahli psikologi sosial dapat
menetapkan kegeneralan “blue print (cetak biru)” self.

Gambar 5.1. Komponen- Atribut-atribut Interpersonal: Aspek-asek Eksistensial: Keyakinan yang


komponen Konsep Diri: Siapa “Saya seorang mahasiswa” “Saya adalah individu yang unik” Diinternalisasikan:
Saya? Lebih dari dua ratus “Saya seorang kakak perempuan” “Saya orang yang atraktif” “Saya menentang aborsi”
mahasiswa diminta menjawab “Saya seorang sopir truk” “Saya menyukai seni moderen”
pertanyaan “Siapa saya?” dengan “Saya seorang Zeta Tau Alpha” “Saya seorang sopir truk”
dua puluh jawaban yang berbeda. “Saya banyak berkencan” “Saya selalu Demokrat”
“saya seorang pemain sepakbola”
Analisis statistik terhadap jawaban
mereka menunjukkan adanya
delapan macam kategori, seperti
tampak pada gambar ini.
Meskipun setiap orang cenderung Ciri-ciri yang berasal dari diri Kesadaran-Diri:
menggunakan kategori yang sama sendiri Komponen- “Keyakinan saya benar-benar
“Saya seorang laki-laki” sudah terinternalisasi”
dalam menggambarkan dirinya komponen
“Saya berusia sembilan belas” “Saya orang yang baik”
sendiri, isi spesifik setiap kategori konsep-diri
“Saya Nancy”
bervariasi untuk setiap orang. “Saya orsang Indian”
(Sumber: Berdasarkan data dari Rentsch “Saya orang Irlandia”
& Heffner, 1994)

Minat dan Aktivitas: Diferensiasi Sosial:


“Saya menyukai filsafat” “Saya berasal dari keluarga miskin”
“Saya menikmati drama” “Saya orang Kanada”
“Saya tukang masak yang baik” Self-determination: “Saya orang Boston”
“Saya punya koleksi perangko” “Saya pemeluk agama Katolik” “Saya manusia”
“Saya orang yang sangat setia” “Saya mampu mencapai tujuan “Saya homo”
pendidikan saya”

Efek-efek Kognitif dari Skema-Diri Seseorang. Skema-diri mungkin jauh


lebih kompleks dibanding jawaban-jawaban yang diperlihatkan untuk pertanyaan
“Siapa saya?” di luar kerangka kerja menyeluruhnya. Skema semacam itu juga
akan mencerminkan semua pengalaman masa lalu yang relevan, semua ingatan
Anda tentang apa yang telah terjadi di masa lalu, pengetahuan Anda tentang
seperti apakah diri Anda saat ini, dan keyakinan Anda tentang akan menjadi
seperti apakah diri Anda di masa yang akan datang. Dengan kata lain, sebuah
skema-diri adalah hasil penjumlahan semua hal yang diketahui dan dapat
dibayangkan orang tentang dirinya sendiri.
Karena self merupakan pusat dunia sosial setiap orang dan karena skema-
diri telah sepenuhnya berkembang, maka kita lebih mampu memproses informasi
yang relevan dengan self dibanding informasi dalam bentuk apa pun. Ini disebut
self-reference effect. Sebagai contoh, karena nama keluarga saya adalah Byrne,
Self-Reference Effect. Efikasi maka saya dapat mengingat dengan mudah bahwa Gabriel Byrne adalah seorang
yang lebih besar untuk aktor Irlandia, Jane Byrne adalah walikota Chicago, dan Brendan Byrne adalah
pemrosesan (secara kognitif) gubernur New Jersey – meskipun saya sama sekali belum pernah bertemu muka
informasi yang relevan dengan dengan orang-orang ini. Dengan cara serupa, jika Anda berpartisipasi di dalam
self dibanding pemrosesan
kognitif terhadap informasi- 171
informasi lainnya.
sebuah eksperimen dan diminta melihat tayangan serangkaian kata kemudian
ditanyai “Apakah kata-kata tadi menggambarkan diri Anda” setiap satu kata
selesai ditayangkan, maka Anda akan lebih mampu mengingat kata-kata itu
dibanding jika Anda diminta melihat penayangan kata-kata yang sama dan
setelah selesai penayangan setiap kata ditanyai “Apakah kata tadi dicetak dengan
huruf-huruf besar?” Informasi-informasi yang relevan dengan self paling
mungkin merenggut perhatian Anda, paling mungkin bertahan di dalam ingatan,
dan paling mungkin diingat kembali dengan mudah (Higgins dan Bargh, 1987).
Para ahli psikologi sosial telah menindaklanjuti pertanyaan tentang
bagaimana informasi-informasi yang relevan dengan self diproses secara lebih
efisien. Klein dan Loftus (1988) berpendapat bahwa proses mengingat kembali
informasi yang relevan dengan self dapat difasilitasi melalui salah satu di antara
dua cara. Pertama, Anda cenderung menghabiskan lebih banyak waktu untuk
memikirkan tentang kata-kata atau kejadian-kejadian yang relevan dengan diri
Anda sendiri dibanding yang tidak relevan. Aktivitas mental semacam ini
menghubungkan bahan-bahan baru itu ke informasi yang sudah ada dan
tersimpan di dalam ingatan Anda. Fenomenon ini dikenal sebagai elaborative
processing (pemrosesan elaboratif). Kedua, bahan-bahan yang relevan dengan
self cenderung lebih terorganisasi dengan baik di dalam ingatan Anda dan
ditempatkan di dalam kategori-kategori yang sudah ada di sana. Fenomenon ini
dikenal sebagai categoricalprocessing (pemrosesan kategorik).

Gambar 5.2. The Self- Pemrosesan Kategorik


Reference Effect: Pemrosesan Bahan-bahan yang relevan
yang Efisien Terhadap dengan self diorganisasikan
Informasi yang Berhubungan dengan lebih baik di dalam
dengan Self. Efek ini mengacu ingatan dan lebih mudah
pada fakta bahwa informasi ditempatkan di dalam kategori-
yang relevan dengan self kategori yang sudah ada
diproses dengan lebih efektif The Self-Reference Effect.
dibanding informasi tentang Informasi yang berhubungan
topik lain. Hasil penelitian Bahan-bahan Stimulus dengan self diproses dengan
menunjukkan bahwa hal ini Informasi apapun yang memiliki sangat efisien dan dengan
terjadi karena informasi yang relevansi tertentu dengan diri demikian juga lebih mudah
relevan dengan self lebih sendiri diingat kembali dibanding
cenderung diorganisasikan informasi-informasi jenis lain
dengan lebih baik di dalam ada
ingatan dan dihubungkan Pemrosesan Elaboratif
secara penuh dengan informasi Bahan-bahan yang relevan
lain yang tersimpan di dalam dengan self diproses dengan
ingatan (pemrosesan elaboratif) lebih “mendalam” apabila
bahan tersebut berhubungan
(Sumber: Berdasarkan darta dari Klein dengan informasi lain yang
dan Loftus, 1988)
sudah ada di dalam ingatan

Klein dan Loftus merancang sebuah eksperimen yang cerdas untuk


menetapkan apakah salah satu atau kedua macam pemrosesan ini dilibatkan
ketika orang menghadapi bahan-bahan yang relevan dengan self. Untuk itu
mereka membandingkan antara ingatan mengenai bahan-bahan yang relevan
dengan self dan ingatan mengenai bahan-bahan yang terutama diproses secara

172
elaboratif atau ingatan mengenai bahan-bahan yang terutama diproses secara
kategorik. Para partisipan melihat penayangan serangkaian kata dan diminta
memikirkan tenang definisi masing-masing kata (untuk mendorong pemrosesan
elaboratif), atau menempatkan masing-masng kata ke dalam salah satu di antara
lima kategori (untuk mendorong pemrosesan kategorik). Setelah itu, partisipan di
setiap kelompok diminta menuliskan sebanyak mungkin kata-kata yang dapat
diingatnya. Dengan membandingkan kinerja pada daftar-daftar kata yang
berbeda dan cara pemrosesan yang berbeda, para peneliti mampu
mendemonstrasikan bahwa ingatan mengenai bahan-bahan yang relevan adalah
yang paling efisien karena didasarkan pada pemrosesan elaboratif maupun
kategorik. Kita memikirkan dalam-dalam tentang apapun yang relevan dengan
diri kita sendiri dan cenderung mengkategorisasikannya dengan lebih efektif.
Hasilnya, kita dapat mengingat informasi yan relevan dengan self dibanding
informasi yang tidak relevan dengan diri kita sendiri. Proses-proses ini
dirangkum di dalam Gambar 5.2.

Efek-efek Afektif, Evaluatif, dan Behavioral dari Skema-Diri Seksual. Selain


proses-proses yang memberikan pengaruh secara kognitif, skema-diri seseorang
diperkirakan juga mempengaruhi perilakunya. Andersen dan Cyranowski (1994)
menyatakan bahwa efek-efek ini dapat diteliti dengan lebih baik jika hanya
dilihat dalam hubungannya dengan aspek-aspek skema-diri tertentu dan bukan
dengan skema-diri secara keseluruhan. Mereka memfokuskan kajiannya pada
sexual self-schema (skema-diri seksual). Skema-diri seksual adalah representasi
kognitif aspek-aspek seksual yang berasal dari pengalaman masa lalu, yang
dimanifestasikan dalam pengalaman saat ini, mempengaruhi pemrosesan
informasi seksual, dan mengarahkan perilaku seksual.
Karena kajian terhadap skema-skema kognitif pada umumnya belum
melihat aspek seksualitas dan karena kajian terhadap seksualitas pada umumnya
belum memasukkan aspek skema-skema kognitif, maka kedua peniliti ini
pertama-tama harus mengembangkan sebuah alat ukur skema-diri seksual.
Sekelompok sampel mahasiswi undergraduate (dengan umur rata-rata 20 tahun)
dan dua kelompok sampel wanita yang lebih tua (dengan rata-rata umur masing-
masing 34 dan 49 tahun) mengambil bagian di dalam serangkaian studi. Lima
puluh kata sifat diidentifikasi sebagai kata-kata yang menggambarkan aspek-
aspek yang relevan dengan konsep-diri-seksual seorang perempuan. Partisipan
penelitian itu diminta menilai masing-masing kata sifat itu dengan menggunakan
skala yang berkisar mulai dari 0 (“sama sekali tidak menggambarkan diri saya”)
sampai 6 (“sangat menggambarkan diri saya”). Seperti terangkum di dalam
Gambar 5.3, ada tiga komponen utama skema-diri seksual: bergairah - romantik,
terbuka - langsung, dan malu-malu – konservatif. Beberapa aspek sikap seksual
dan perilaku seksual juga diukur (berdasarkan laporan diri).
Temuan ini dan temuan-temuan lain menunjukkan dengan jelas bahwa
perempuan dengan skema-diri seksual yang berbeda juga memberikan respon
yang berbeda terhadap isyarat-isyarat seksual, baik secara emosional, attitudinal,
dan behavioral. Andersen dan Cyranowski (194) menekankan tentang
pentingnya penelitian lebih lanjut tentang representasi kognitif sexual self
sebagai aspek sentral pada konsep-diri. Sebagai contoh, mereka mengeksplorasi
asal-muasal pelbagai macam skema-diri seksual dan efek skema-diri-seksual
seseorang terhadap pandangan yang lebih umum mengenai dirinya sendiri.
Penelitian lebih lanjut juga dibutuhkan untuk menentukan sejauh mana skema-
173
diri seksual pria dapat dikategorisasikan berdasarkan tiga komponen yang sama
seperti yang telah diidentifikasi untuk wanita.

Korelasi Afektif, Evaluatif, dan Behavioral


Tiga Komponen Skema-Diri-Seksual Komponen-komponen Skema-Diri Seksual
Gambar 5.3. Skema-Diri-
Seksual. Wanita dari beberapa
kelompok umur menyatakan
sejauh mana kata-kata sifat
yang berhubungan dengan Skema Bergairah-Romantik Lebih mudah terangsang secara seksual
seks menggambarkan atau Romantik Merasakan cinta yang lebih penuh gairah
tidak menggambarkan tentang Bergairah Hasrat seksual yang lebih besar
diri mereka. Jawaban-jawaban Hangat Kepuasan seksual yang lebih tinggi
Mengasihi Melakukan lebih banyak aktivitas seksual selama
mereka menunjukkan bahwa
Mempunyai “feeling” hidupnya
skema-diri-seksual perempuan Simpatik Mempunyai lebih banyak partner seksual
pada umumnya dapat Mudah bergairah Lebih sering merasa jatuh cinta
digolongkan ke dalam salah Menggairahkan
satu di antara tiga tipe utama. Tidak menutup-nutupi hasratnya
Ketiga komponen ini
berhubungan dengan respon-
respon yang berhubungan Mempunyai hasrat seksual yang lebih besar
dengan seks, baik secara Mempunyai gairah seksual yang lebih tinggi
afektif, evaluatif, maupun Skema Terbuka-Langsung
Mengalami kepuasan seksual yang lebih tinggi
behavioral. Langsung
Mempunyai sikap yang lebih poisitif terhadap
Terus terang
(Sumber: Berdasarkan data dari
casual sex
Tanpa tedeng aling-aling
Andersen dan Cyranowski, 1994) Mempunyai sikap yang lebih poisitif terhadap
Berbicara apa adanya
hubungan seksual tanpa komitmen
Bewawasan luas
Melakukan lebih banyak aktivitas seksual selama
Berpengalaman
hidupnya
Acuh tak acuh
Jumlah partner seksual lebih banyak
Berpikiran terbuka
Lebih banyak melakukan one-nght stand
Tidak mempunyai hambatan
Lebih sering merasa jatuh cinta

Kurang mudah terangsang secara seksual


Kurang mempunyai gairah seksual
Skema Malu-malu - Konservatif Lebih jarang mencapai orgasme
Malu-malu Mempunyai sex guilt yang lebih besar
Konservatif Mempunyai sikap yang kurang poisitif terhadap
Berhati-hati casual sex
Sadar-diri Mempunyai sikap yang kurang poisitif terhadap
Takut-takut hubungan seksual tanpa komitmen
Tidak berpengalaman Melakukan lebih sedikit aktivitas seksual selama
Tidak gegabah hidupnya
Jumlah partner seksual lebih sedikit
Lebih jarang melakukan one-night stand
Lebih jarang merasa jatuh cinta

Hanya Ada Satu atau Ada Banyak Konsep-Diri? Kita biasanya menganggap
self kita sebagai sebuah entitas yang stabil dan tidak mengalami perubahan,
meskipun kita juga menyadari bahwa dari waktu ke waktu kita dapat dan
memang mengalami perubahan. Anda bukan orang yang sama dengan diri Anda
sendiri sepuluh tahun yang lalu dan mungkin juga tidak akan sama dengan diri
Anda sendiri sepuluh tahun mendatang. Kadang-kadang Anda mungkin
membayangkan tentang kehidupan Anda setelah selesai kuliah – memasuki pasar

174
kerja, menikah, mempunyai anak, mencari uang lebih banyak lagi, pindah ke
tempat lain, dan seterusnya. Hasilnya, Anda mempunyai sebuah konsep-diri,
tetapi Anda juga menyadari bahwa ada banyak kemungkinan self Anda yang lain.
Markus dan Nurius (1986) menyatakan bahwa konsep-diri di waktu
tertentu sesungguhnya hanya merupakan sebuah working self-concept (konsep-
diri yang berlaku pada saat itu), yang mempunyai kemungkinan berubah dalam
merespon pengalaman baru, umpan-balik baru, dan informasi-informasi baru
yang relevan dengan self. Eksistensi pelbagai alternatif self mempengaruhi kita
melalui beberapa cara. Gambaran tentang self di masa yang akan datang
mungkin mempunyai efek pada motivasi seseorang, seperti ketika orang itu
harus memutuskan untuk terus belajar atau berhenti dulu untuk merokok.
Meskipun Anda mungkin mempunyai gambaran yang jelas tentang self Anda di
masa yang akan datang, orang lain cenderung hanya mempersepsi self Anda saat
ini, dan diskrepansi di antara keduanya dapat menjadi salah satu sumber
ketidaknyamanan. Diskrepansi yang lebih meresahkan lagi adalah diskrepansi
antara diri kita sebagai seseorang seperti ini dan sebagai seseorang seperti yang
kita inginkan (Higgins, 1990).
Para mahasiswa yang secara umum optimistik atau optimistik diminta
mengambarkan tentang future selfnya (Carver, Reynolds, dan Scheier, 1994).
Kedua tipe mahasiswa ini mungkin membayangkan tentang masa depan yang
positif, tetapi mahasiswa yang optimistik mempunyai ekspektasi yang lebih
tinggi tentang kemungkinan untuk mencapai self yang lebih positif dibanding
mereka yang pesimistik.
Selain dalam hal konsepsi optimistik dan pesimistik tentang self yang
akan datang, orang juga menunjukkan perbedaan dalam membayangkan
banyaknya alternatif. Penelitian yang dilakukan oleh Niedenthal, Setterlund dan
Wherry (1992) menunjukkan bahwa orang-orang yang mempunyai lebih sedikit
future self ditemukan lebih rentan, secara emosional, terhadap umpan balik yang
relevan. Sebagai contoh, jika Anda memikirkan dua puluh macam kemungkinan
karir yang berbeda untuk masa depan Anda dan kemudian sadar bahwa Anda
tidak memiliki kemampuan seperti yang dibutuhkan oleh salah satu karir itu,
maka Anda masih mempunyai sembilan belas kemungkinan lainnya. Tetapi, jika
Anda hanya mempunyai satu tujuan karir, maka ketika menyadari bahwa Anda
tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk itu, maka Anda dapat
merasakan dampak negatif yang lebih kuat. Dengan cara yang sama, semakin
kuat dan semakin eksklusif identifikasi seseorang dengan peran atlet, maka,
secara emosional, kegundahan yang dirasakannya ketika mengalami cedera akan
semakin besar (Brewer, 1992). Dalam arti lebih luas, hasil penelitian
menunjukkan bahwa penyesuaian terbaik setelah mengalami pelbagai macam
kejadian traumatik ditemukan pada mereka yang mampu membayangkan lebih
banyak self positif (Morgan dan Janoff-Bulman, 1994). Di samping itu,
kekompleksan self sebenarnya berfungsi sebagai pelindung kognitif melawan
depresi dan sakit yang berhubungan dengan stres (Linville, 1987).
Tampaknya, memiliki pandangan yang kompleks tentang pelbagai
kemungkinan self (dengan asumsi bahwa pandangan itu mempunyai landasan
yang realistik) secara emosional lebih menguntungkan dibanding hanya memiliki
pandangan yang sangat sederhana. Seperti yang akan Anda lihat di bagian Sisi
Terapan di bawah ini, temuan studi ini memperlihatkan kemungkinan orang
untuk dapat terbantu dengan cara belajar membayangkan tentang pelbagai
kemungkinan self lain.
175
Psikologi Sosial: Pada Sisi
Terapan:
MENINGKATKAN JUMLAH SELF
Dapatkah anak-anak diajari untuk mengkonseptualisasikan alternatif self dalam
jumlah yang lebih banyak? Day dan rekan-tekan sejawatnya (1994)
mengkonsentrasikan diri pada usaha mewujudkan terjadinya perubahan
semacam itu di kalangan anak-anak Meksiko-Amerika. Anak-anak ini sengaja
diambil sebagai target kajian ini karena prestasi akademik di kalangan anak-anak
Hispanik lebih rendah dibanding anak-anak Anglo, sejak sekolah dasar sampai
sekolah menengah atas. Para peneliti ini berpendapat bahwa pola negatif ini
secara potensial dapat diubah melalui intervensi terencana yang dirancang untuk
memperluas perspektif tentang pelbagai kemungkinan masa depan mereka.
Para peneliti melakukan kajian terhadap anak-anak Meksiko-Amerika
yang duduk di kelas tiga, empat, dan lima sekolah dasar. Sebelum dan sesudah
program intervensi dilaksanakan, para peneliti melaksanakan tes terhadap anak-
anak ini dalam hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan yang mereka
harapkan ketika mereka dewasa kelak dan relevansi prestasi di sekolah dengan
pekerjaan yang mereka angankan itu. Sebelum program dilaksanakan, sebagian
besar anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, semata-mata hanya
mengekspresikan stereotip gender mereka tentang pekerjaan (anak laki-laki
mengangankan untuk menjadi polisi atau atlit dan anak perempuan
mengangankan untuk menjadi guru atau perawat). Selain itu, hubungan antara
pelajaran di sekolah dengan karir di masa depan belum benar-benar dipahami
oleh anak-anak ini.
Programnya sendiri terdiri atas delapan sesi yang masing-masing
berdurasi satu jam dan dilaksanakan selama empat minggu. Secara spesifik, di
Semakin Banyaknya Alternatif dalam kelompok-kelompok yang terdiri atas lima sampai sepuluh anak, anak-
Self Memunculkan Lebih
Banyak Pilihan Pekerjaan. anak diajari mendengarkan pendapat orang lain tanpa mentertawakannya.
Ketika anak-anak Hispanik yang Mereka diizinkan untuk bertanya tentang apapun. Sesi-sesinya meliputi bahan-
duduk di kelas tiga, empat, dan bahan yang berhubungan dengan self saat ini dan pikiran tentang self di masa
lima ditanyai tentang pekerjaan lalu maupun di masa yang akan datang, menghubungkan antara tugas-tugas di
mereka kelak, mereka
cenderung memberikan jawaban sekolah dengan self di masa yang akan datang (“possible me”), memahami
berupa kemungkinan- tentang apa saja yang terlibat di dalam kepemilikan rumah dan mobil mewah,
kemungkinan yang stereotip dan bermain peran tentang pekerjaan yang menyenangkan dan yang
gender dan jumlahnya sangat membosankan. Salah satu latihannya berupa permainan the Me Tree (Pohon
terbatas. Setelah berpartisipasi
di dalam program yang Aku). Di sini partisipan diminta membayangkan bahwa diri mereka adalah
dirancang untuk membantu sebatang pohon yang mewakili diri mereka sendiri pada saat ini dan ingin
anak-anak meningkatkan jumlah menjadi seperti apa mereka kelak ketika mereka tumbuh dewasa. Mereka
kemungkinan self dan
memberikan informasi tentang
membangun pohon dengan batang tubuh yang kuat (yang mewakili pengetahuan,
bagaimana mencapai pelbagai ketrampilan, kepribadian, dan nilai-nilai) dan cabang-cabangnya yang kokoh
macam tujuan, partisipan (yang mewakili pendidikan, hubungan dengan orang lain, dan cara menggunakan
menjadi tertarik untuk waktu untuk bersenang-senang). Pada setiap cabangnya tertempel daun-daun
mengeksplorasi lebih banyak
kemungkinan pekerjaan (Day
berwarna hijau (yang mewakili pelbagai harapan dan tujuan) dan daun-daun
dan kawan-kawan, 1994) berwarna merah (yang mewakili pelbagai ketakutan). Di dalam “mata pelajaran”
lain, anak-anak diajari mengkaji perbedaan antara pelajar yang baik dan yang
buruk, bermain-main dengan mesin waktu di mana mereka mengkaji tindakan-
176
tindakan mereka sendiri di masa lalu dan melihat kemungkinan tindakan mereka
di masa yang akan datang, self masa depan mereka (rumah, keluarga, mobil
Corvette merah, uang, dan bagaimana prestasi yang baik di sekolah dan
pekerjaan yang baik dapat memungkinkan tercapainya angan-angan ini), dan
permainan pelbagai macam peran pekerjaan di masa depan.
Dibanding anak-anak di kelompok kontrol yang tidak mengalami
intervensi, anak-anak yang menjalani delapan sesi itu memperlihatkan
perkembangan signifikan pada pemahaman tentang pelajar yang baik dan
relevansinya dengan kesempatan kerja di masa yang akan datang. Anak-anak ini
juga memperlihatkan minat yang lebih tinggi pada kemungkinan untuk menjadi
dokter, hakim, atau pilot. Para peneliti berpendapat bahwa intervensi semacam
ini, beserta pengenalan terhadap pelbagai macam model peran, dapat
menimbulkan efek yang menguntungkan dalam membantu semua anak
mengembangkan pelbagai kemungkinan self.
Tampaknya anak-anak sangat perlu didorong untuk memikirkan tentang
masa depannya dan untuk menghubungkan antara masa depan dengan apa yang
sekarang mereka lakukan di sekolah.

Perubahan Konsep-Diri. Kami telah mengemukakan bahwa konsep-diri


berubah secara perlahan-lahan dari waktu ke waktu, seiring dengan
bertambahnya usia. Tetapi, ada faktor-faktor lain yang dapat mengubah
keyakinan kita tentang siapa diri kita dalam waktu yang sangat singkat.
Contohnya adalah ketika orang kehilangan pekerjaan dan tiba-tiba saja
mendapatkan identitas baru – pengangguran (Sheeran dan Abraham, 1994).
Kejadian ini menimbulkan efek negatif terhadap konsep-dirinya. Pengalaman
sebaliknya – mendapat pekerjaan – juga dapat menyebabkan perubahan pada
konsep-diri kita; sebagai contoh, polisi yang diangkat menjdi perwira
mengembangkan padangan-pandangan baru tentang dirinya seniri (Stradling,
Crowre, dan Tuohoy, 1993). Perubahan yang bahkan lebih besar terjadi ketika
seseorang yang baru saja masuk menjadi tentara diterjunkan ke medan perang.
Pengalaman ini dapat mengakibatkan masalah-masalah yang relevan dengan self,
termasuk kebingungan tentang “Siapa saya?” (“Orang sipil atau orang militerkah
saya ini?”), kebingungan tentang waktu (“Saya terlalu muda untuk merasa setua
ini”), masalah-masalah hubungan interpersonal, dan berkembangnya identitas-
diri negatif (Silverstein, 1994).
Jadi, konsep-diri tampaknya sama sekali tidak dapat dianggap sebagai
aspek yang bersifat tetap. Kejadian-kejadian eksternal dapat mengakibatkan
terjadinya perubahan padanya. McNurly dan Swann (1944) mengkaji tentang apa
yang terjadi pada konsep-diri di dalam konteks interpersonal. Mereka meneliti
persepsi-diri dan persepsi interpersonal pada para mahasiswa dan teman
sekamarnya selama beberapa minggu. Partisipan diminta menilai dirinya sendiri
dan orang lain tentang pelbagai karakteristik, termasuk kemampuan akademik,
social skills, kemampuan atletik, keatraktifan, dan kemampuan menyesuaikan
diri. Temuan-temuannya menunjukkan adanya proses negosiasi di mana
persepsi-diri mempengaruhi persepsi orang lain terhadap dirinya, dan persepsi
orang lain mempengaruhi persepsi terhadap dirinya sendiri. Para peneliti ini
berpendapat bahwa self bertindak sebagai “arsitek” yang membentuk dan
menentukan reaksi kepada orang lain, tetapi self sendiri juga dapat berubah
sebagai akibat reaksi orang lain. Jika efek-efek interaktif antara self dan orang

177
lain ini dapat terjadi di antara teman-teman sekamar, maka pada hubungan-
hubungan yang lebih dekat – seperti hubungan antarsahabat dan hubungan
perkawinan – efek-efek ini mungkin lebih kuat.
Cara lain untuk melihat temuan-temuan semacam itu adalah dengan
melihat pendapat William James (1890). Ia mengatakan bahwa meskipun kita
mempunyai inti self (“yang mengeras seperti plester beton” ketika orang
mencapai umur tiga puluh tahunan), tetapi kita juga mempunyai banyak self
sosial yang kita ekspresikan kepada orang yang berbeda di dalam interaksi yang
berbeda. Untuk menindaklanjuti konsepsi ini, Roberts dan Donahue (1994)
meneliti sekelompok sampel wanita paruh-baya dan mengukur konsep-diri yang
spesifik-peran maupun konsep-diri secara umum. Konsep-diri yang spesifik-
peran untuk masing-masing individu adalah karyawan, isteri, teman, dan anak
perempuan. Perempuan-perempuan itu diminta menggambarkan dirinya sendiri
pada peran-peran tersebut dalam hubungannya dengan afek positif, kompetensi,
dan dependability (tingkat keterandalan). Sesuai hipotesisnya, konsepsi-diri
masing-masing partisipan yang memiliki peran berbeda juga menunjukkan
perbedaan, tetapi ada konsistensi antarperan yang tinggi untuk masing-masing
individu. Sebagai contoh, dua wanita masing-masing dapat mengambarkan afek
sebagai fungsi peran sosial (keduanya menunjukkan perasaan positif pada peran
teman dibanding pada peran anak perempuan), sehingga menunjukkan konsep-
diri yang spesifik-peran. Tetapi, kedua wanita itu dapat dibedakan dengan jelas
satu sama lain; yang seorang mengalami afek yang lebih positif di kedua situasi
tersebut dibanding yang lainnya. Karena perbedaan di antara mereka konsisten di
semua peran, maka hal itu menunjukkan beroperasinya konsep-diri secara
umum.

Self-Esteem: Mengevaluasi Diri Sendiri


Mungkin sikap terpenting yang dimiliki seseorang adalah sikap terhadap dirinya
sendiri. Sebuah evaluasi yang kami beri label self-esteem2 (James, 1890). Orang
yang memiliki self-esteem tinggi mempersepsi dirinya sendiri lebih baik, lebih
mampu, dan lebih berharga dibanding orang yang self-esteemnya rendah.
Evaluasi-diri sebagian didasarkan pada opini orang lain dan sebagian didasarkan
pada bagaimana kita mempersepsi pengalaman-pengalaman tertentu. Hal yang
menarik, persepsi-diri yang negatif menimbulkan perilaku yang lebih dapat
diprediksi dibanding persepsi-diri yang positif. Hal ini diduga terjadi karena
pandangan negatif terhadap diri sendiri melibatkan skema-skema yang
terorganisasi dengan lebih erat dibanding pandangan yan positif (Malle dan
Horowitz, 1995). Akibatnya, seseorang dengan self-esteem yang secara umum
tingi dapat menginterpretasi sebuah kesuksesan dengan pelbagai cara. Tetapi,
seseorang dengan self-esteem rendah cenderung terlalu menggeneralisasikan
implikasi sebuah kegagalan (Brown dan Dutton, 1995).

2
Sebagian orang mengalihbahasakan istilah self-esteem dengan harga-diri. Alih bahasa ini
menurut hemat kami kurang tepat, karena dapat rancu dengan istilah lain, seperti self-worth, yang
kiranya lebih tepat untuk dialihbahasakan sebagai harga diri. Kernis dan kawan-kawan (1993)
menyatakan bahwa siapapun yang self-esteemnya sangat mudah dipengaruhi oleh pelbagai
kejadian sepele mempunyai sumber self-worth (harga-diri) yang kurang stabil dibanding orang-
orang yang esteemnya relatif konstan. Dari pernyataan ini dapat kita lihat bahwa harga diri
sebenarnya merupakan salah satu prediktor self-esteem. Karena tidak dapat menemukan padan
kata dalam bahasa Indonesia yang tepat untuk istilah ini, maka kami tetap mempertahankan
istilah ini sebagaimana istilah aslinya(Penerjemah).

178
Meskipun sebagian besar penelitian tentang self-esteem difokuskan pada
indikasi evaluasi-diri secara global, tetapi juga tampak jelas bahwa orang-orang
mensub-divisikan aspek-aspek selfnya. Sebagai contoh, saya menilai diri saya
sendiri sangat tinggi dalam hal kemampuan membuat lasagna yang lezat dan
sangat rendah dalam hal kemampuan berbahasa Perancis. Karena sub-divisi
tersebut, Anda dapat saja mempunyai sikap yang sangat positif tentang beberapa
aspek yang terdapat pada diri Anda sendiri dan sikap yang sangat negatif tentang
Self-Esteem. Evaluasi-diri
yang dibuat oleh masing- aspek-aspek lainnya. Self-esteem Anda secara keseluruhan, secara global dapat
masing individu; sikap dikonseptualisasikan sebagai kombinasi antara jumlah relatif dan intensitas
seseorang terhadap dirinya relatif dari evaluasi-diri positif dan negatif ini (Marsh, 1993).
sendiri di sepanjang dimensi
positf-negatif. Pendekatan yang sedikit berbeda untuk mengukur self-esteem adalah
dengan membandingkan konsep-diri seseorang dengan konsepsinya tentang self-
ideal. Semakin besar diskrepansinya, semakin rendah pula self-esteemnya.
Artinya, semakin Anda mempersepsi bahwa karakteristik yang Anda miliki tidak
mampu memenuhi karakteristik yang (menurut Anda) seharusnya Anda miliki,
maka semakin negatif pula sikap Anda terhadap diri Anda sendiri. Umpan balik
yang meyakinkan yang menyatakan bahwa seseorang mempunyai sebagian
karakterstik self-idealnya merupakan pengalaman positif baginya, sedangkan
umpan balik yang menyatakan adanya karakteristik yang tidak diharapkan
merupakan pengalaman negatif baginya (Eisenstadt dan Leippe, 1994). Selain
itu, apakah kualitas seseorang yang “baik” atau “buruk” dianggap sebagai
sesuatu yang lumrah atau tidak lumrah juga dianggap penting. Self-esteem
terendah ditemukan di kalangan mereka yang mempersepsi karakteristik yang
disukai orang yang terdapat pada dirinya sebagai sesuatu yang lumrah-lumrah
saja dan karakteritik yang tidak disukai orang yang terdapat pada dirinya sebagai
sesuatu yang relatif tidak lumrah (Ditto dan Griffin,1993). Sebagai contoh, saya
(Donn Byrne) mengenal seorang siswa kelas tujuh yang juga seorang penulis
jempolan, meskipun kemampuannya di kelas dansa biasa-biasa saja. Gadis itu
kadang-kadang mempunyai keyakinan (yang salah) bahwa setiap orang mampu
menulis dan hampir tidak ada orang yang tidak mampu berdansa dengan baik.

Self-esteem dan Perbandingan Sosial. Seperti yang akan kita lihat di Bab 7,
kita cenderung melakukan evaluasi-diri dengan membandingkan diri kita sendiri
dengan orang lain. Perbandingan ini merupakan determinan pokok dari evaluasi
kita terhadap kita sendiri (Brown dan kawan-kawan, 1992). Fakta ini
menjelaskan beberapa temuan penelitian yang mungkin cukup mengejutkan.
Sebagai contoh, karena masalah rasisme dan seksisme benar-benar riil (lihat Bab
6), maka Anda dapat memperkirakan bahwa perempuan dan para anggota
kelompok minoritas tentunya memiliki self-esteem yang rendah. Tetapi, yang
ditemukan ternyata adalah sebaliknya. Perempuan dan minoritas cenderung
mengekpresikan self-esteem yang lebih tinggi dibanding laki-laki kulit putih
(Crocker dan Major, 1989). Hal yang jelas. Perbandingan sosial di antara
kelompok-kelompok orang yang berbeda ini pasti juga berbeda.
Tergantung kelompok pembanding Anda, kesuksesan dan kegagalan
tertentu dapat memberikan kontribusi kepada evaluasi-diri yang tinggi atau
rendah atau sama sekali tidak relevan. Sebagai contoh, Osborne (1995)
mengemukakan bahwa terlepas dari performa akademik orang kulit putih yang
lebih baik dibanding orang-orang Afrika-Amerika di sekolah-sekolah di Amerika
Serikat, self-esteem secara global justru ditemukan lebih tinggi pada kelompok
yang kedua. Alasannya: Di kalangan orang kulit putih, hubungan antara
179
kesuksesan dan kegagalan akademik dengan evaluasi-diri ditemukan lebih tinggi
dibanding di kalangan orang Afrika-Amerika. Di kelas-kelas yang paling rendah
di sekolah, kedua kelompok rasial ini sama-sama menunjukkan adanya
hubungan antara nilai akademik dan self-esteem. Tetapi, sejak kelas sepuluh,
hubungan ini cenderung turun secara dramatik pada orang-orang Afrika-
Amerika, terutama yang laki-laki (Steele, 1992). Bagi mereka, kelompok
pembanding yang mempengaruhi self-esteem mereka bukan teman sekelas yang
sama-sama terlibat di dalam pelbagai kegiatan akademik, melainkan orang-orang
lain dan kegiatan-kegiatan lain.
Beberapa penelitian membantu memperjelas sebagian cara kerja
perbandingan sosial yang kompleks ini. Ketika Anda membandingkan diri Anda
sendiri dengan orang lain, maka self-esteem Anda akan naik jika Anda
mempersepsi adanya ketidakadekuatan tertentu pada diri mereka. Ini disebut
efek kontras. Perbandingan dengan seseorang yang lebih buruk (perbandingan ke
bawah) ini menimbulkan perasaan positif dan menaikkan self-esteem Anda
(Reis, Gerrard dan Gibbons, 1993). Tetapi, jika perbandingan itu dilakukan
dengan seseorang yang dekat dengan Anda, maka esteem Anda akan naik jika
Anda mempersepsi sesuatu yang sangat bagus pada dirinya. Ini disebut efek
asimilasi (Brown dan kawan-kawan, 1992). Dengan cara serupa, seseorang yang
membuat perbandingan dengan cara yang tidak favorabel dengan anggota-
anggota kelompoknya sendiri akan merasakan self-esteem yang lebih rendah dan
depresi yang jauh lebih tinggi dibanding jika perbandingan yang tidak favorabel
itu dikakukan dengan anggota kelompok-luar (Major, Sciacchitano, dan Crocker,
1993). Akibatnya, perbandingan sosial dengan orang lain di kelompok sendiri
adalah perbanding yang paling relevan dengan self. Jadi, self-esteem meningkat
jauh lebih tinggi jika orang mencapai kesuksesan di dalam kelompok sendiri dan
kelompoknya itu relatif kurang sukses – ibarat katak raksasa di tengah kolam
kecil – dibanding jika ia mencapai kesuksesan yang relatif setara di kelompok
sendiri dan kelompoknya itu lebih besar dan lebih sukses – ibarat katak kecil di
tengah kolam yang sangat luas (McFarland dan Buehler, 1995).
Salah satu tema di antara pelbagai temuan ini adalah bahwa self-esteem
dapat ditingkatkan dengan cara mengidentifikasikan diri dengan sebuah
kelompok. Ini disebabkan karena identitas sosial dapat membantu
mengkompensasi masalah-masalah yang melibatkan identitas pribadi (Crocker
dan kawan-kawan, 1994). Perhatikanlah seseorang yang menjadi sasaran
prasangka di dalam masyarakat luas – seorang anggota kelompok yang
menerima stigma tertentu. Orang itu tidak perlu menerima evaluasi yang
mengandung prasangka itu sebagai sebuah pernilaian akurat mengenai self-
worthnya. Sebaliknya, ia dapat mengidentifikasikan dirinya dengan orang-orang
yang serupa dengannya (dari segi ras, orientasi seksual, agama, kecacatan, dan
lain-lai) dan merasa bangga di dalam kelompoknya sendiri. Sebagai salah satu
contoh, Bat-Chava (1994) meneliti tentang efek-efek positif identifikasi
kelompok pada self-esteem di kalangan orang-orang dewasa yang tuna rungu
Sesuai hipotesisnya, mereka yang mengidentfikasikan diri dengan orang-orang
tuna rungu lain memperlihatkan self-esteem lebih tinggi dibanding mereka yang
kurang mengidentifikasikan diri dengan kelompoknya. Bagi para penyandang
tuna-rungu, identifikasi ini diperkuat oleh faktor orangtua yang juga tuna rungu,
yang berkomunikasi dengan bahasa isyarat di rumah dan dengan bersekolah di
sekolah khusus untuk penderita tuna rungu, bukan di sekolah reguler. Temuan ini

180
dan temuan-temuan lain yang terkait menunjukkan adanya efek-efek yang
menguntungkan dari identitas kelompok.

Mengapa Kita Terlibat dalam Evaluasi Diri? Sedikides (1993) menyatakan


adanya tiga motif yang mendorong orang untuk mengevaluasi dirinya sendiri,
yaitu: self-assessment (pengukuran diri, yaitu berusaha mendapatkan
pengetahuan yang akurat tentang diri sendiri, apakah positif atau negatif), self-
enhancement (berusaha mendapatkan pengetahuan yang favorabel tentang diri
sendiri) dan self-verification (verifikasi-diri, yaitu berusaha mendapatkan
pengetahuan yang cukup jelas dan mungkin benar tentang diri sendiri). Ketika
para partisipan penelitian diberi kesempatan untuk memilih pertanyaan-
pertanyaan yang jawabannya akan memberikan pelbagai macam pengetahuan
tentang dirinya sendiri, maka self-enhancement paling sering dicari, sementara
pengukuran-diri adalah yang jenis pengetahuan yang paling tidak populer dalam
hal ini. Terlepas dari apa yang dipercayanya sebagai kebenaran, kebanyakan
orang tidak benar-benar ingin tahu lebih banyak tentang dirinya sendiri.
Sebaliknya, mereka menginginkan informasi positif atau informasi yang
memberikan konfirmasi pada apa yang sudah mereka ketahui.
Jika kita hanya menginginkan informasi positif tentang diri kita sendiri,
maka self-esteem dapat dengan mudah meningkat oleh adanya kejadian-kejadian
eksternal. Sebagai contoh, pengalaman apapun yang membangkitkan suasana
hati positif senderung menaikkan self-esteem – kita merasa hebat dan bangga
terhadap diri kita sendiri (Esses, 1989). Bahkan dengan mengenakan pakaian
yang kita sukai pun dapat menaikkan self-esteem kita (Kwon, 1994). Untuk
alasan inilah self-esteem dapat dengan cukup mudah dinaikkan di dalam konteks
eksperimental. Sebagai contoh, pemberian umpan balik palsu kepada partisipan
dengan mengatakan bahwa hasil tes kepribadian mereka bagus, self-esteem
mereka dapat meningkat (Greenberg dan kawan-kawan, 1992).
Orang-orang dengan self-esteem rendah paling cenderung memfokuskan
perhatiannya pada proteksi-diri (Wood dan kawan-kawan, 1994). Mereka juga
menginginkan informasi positif dan self-enhancement, tetapi hanya jika hal itu
tidak terlalu berisiko. Artinya, mereka mencoba melakukan perbandingan sosial
hanya setelah mereka menerima umpan-balik yang menyebutkan tentang
keberhasilannya pada suatu tugas. Orang dengan self-esteem tinggi melakukan
perbandingan sosial bahkan setelah menerima umpan balik yang menyatakan
bahwa dirinya mengalami kegagalan. Ini mungkin dilakukan untuk menentukan
cara yang akan digunakannya untuk mendapatkan hasil yang lebih baik di masa
yang akan datang dan juga untuk membuat mereka merasa lebih baik dengan
berkonsentrasi pada kinerja negatif orang lain (Crocker, 1993). Dengan kata lain,
salah satu strategi untuk mempertahankan pandangan positif tentang diri sendiri
adalah dengan memfokuskan pada kekurangan orang lain.

Konsekuensi Evaluasi-Diri Positif versus Negatif. Hasil penelitian secara


konsisten memperlihatkan bahwa self-esteem tinggi menguntungkan dan self-
esteem rendah mempunya banyak konsekuensi. Sebagai contoh, evaluasi-diri
negatif ditemukan berhubungan dengan social skill yang kurang adekuat
(Olmstead dan kawan-kawan, 1991), depresi (Pillow, 1994; Rusco, Green dan
Knight, 1993); dan tindakan-tindakan yang berlawanan dengan job insecuruty
(Orpen, 1994). Hasil penelitian bahkan menunjukkan bahwa evaluasi-diri positif
181
yang dilakukan secara tidak realistik dan optimisme yang tidak realistik
berhubungan dengan kesehatan mental yang baik (Taylor dan Brown, 1988).
Tetapi, penelitian yang lebih mutakhir menunjukkan bahwa dalam jagka panjang
evaluasi-diri yang akurat tampaknya sangat esensial bagi fungsi mental yang
sehat (Colvin, Block, dan Funder, 1995).
Penelitian menemukan adanya korelasi fisiologik tertentu dengan self-
esteem. Sebagai contoh, prosedur eksperimental yang menginduksi evaluasi-diri
negatif (dan berhubungan dengan emosi negatif) menyebabkan melemahnya
sistem kekebalan dan diperkirakan menyebabkan orang lebih rentan terhadap
penyakit (Strauman, Lemieux, dan Coe, 1993). Hubungan-hubungan yang lebih
kompleks juga ditemukan. Serotonin adalah biokimia yang terkandung di
pelbagai jenis buah dan kacang-kacangan maupun di dalam tawon dan
kalajengking. Pada mamalia, serotonin ditemukan di dalam serum darah, otak,
dan perut. Serotonin terlibat di dalam pengerutan pembuluh darah, menstimulasi
otot-otot halus, dan menghantarkan impuls antarsel syaraf. Studi terhadap kera
jantan menunjukkan bahwa kesuksesan sosial (status dominasi yang tingi dan
interaksi afiliatif dengan betina) berhubungan dengan tingkat serotonin yang
lebih tinggi. Akibatnya, tingkat serotonin yang rendah berhubungan dengan
impulsivitas dan agresivitas (Raleigh dan kawan-kawan, 1991). Meskipun masih
cukup spekulatif, ada kemungkinan bahwa pada manusia, ketika self-esteem
naik, maka demikian juga halnya dengan tingkat serotonin (Wright, 1995). Ini
semakin menunjukkan bahwa faktor apapun yang mempengaruhi self-esteem
mungkin juga memiliki efek-efek biokimiawi dan bahwa biokimia mungkin
dapat digunakan untuk menaikkan self-esteem dan menurunkan agresivitas.

Gambar 5.4. Self-Esteem Bagi kedua kelompok, persepsi


Rendah dan Self-Esteem terhadap kinerjanya positif jika
Tinggi: Efeknya terhadap tujuannya mudah dibanding jika
tujuannya sulit
Persepsi tentang Kinerja. Pada Persepsi-diri terhadap kinerja
tugas mensortir kartu, lebih tinggi pada mahasiswa yang
self-esteemnya tinggi daripada
mahasiswa dengan skor self- mahasiswa yang self-esteemnya
esteem tinggi yakin bahwa rendah
mereka mempunyai kinerja yang
lebih baik dibanding mahasiswa
yang self-esteemnya rendah.
Kedua kelompok juga
mempersepsi kinerjanya lebih
buruk jika tugasnya sulit
dibanding jika tugasnya mudah.
(umber: Berdasarkan data dari Martin
dan Murberger, 1994)

182
Apakah self-esteem mempengaruhi kinerja orang pada tugas-tugas yang
asing baginya atau hanya mempengaruhi seberapa kuat keyakinan mereka dalam
menyelesaikan tugas itu? Martin dan Murberger (1994) meneliti efek-efek self-
esteem, baik pada kinerja seperti yang dipersepsi maupun kinerja aktual para
mahasiswa undergraduate. Self-esteem mereka sudah diukur sebelum mereka
melaksanakan tugasnya. Tugasnya berupa mensortir 200 kartu (masing-masing
mempunyai label berupa nama warna yang tercetak di atasnya) ke dalam
kantong-kantong kecil. Masing-masing kantong juga diberi label nama warna.
Para mahasiswa harus mencocokkan nama warna pada masing-masing kartu
dengan nama warna pada masing-masing kantong. Tugas ini semakin diperumit
dengan menuliskan kata yang tertera di atas kartu (misalnya MERAH) dengan
tinta yang warnanya tidak sesuai dengan namanya (misalnya ditulis dengan tinta
biru). Kartunya sendiri harus ditempatkan ke dalam kantong yang berlabel
MERAH. Eksperimenter juga membuat variasi pada penekanan yang diberikan.
Caranya adalah dengan mengatakan kepada separuh mahasiswa bahwa mereka
hanya sekadar diminta berusaha mensortir kartu-kartu itu dengan sebaik-baiknya
dalam waktu lima menit (tujuan mudah). Separuh mahasiswa lainnya diminta
mensortir paling tidak 175 kartu dalam waktu lima menit (tugas sulit). Seperti
tampak pada Gambar 5.4, baik kelompok dengan self-esteem tinggi maupun
rendah berpikir bahwa hasil pekerjaan mereka kurang baik jika tujuannya sulit.
Tetapi, secara keseluruhan, mereka yang memiliki self-esteem tingi mempunyai
Carl Rogers. Carl Rogers lahir
pada tahun 1902 di Illinois dan
persepsi yang lebih positif tentang seberapa baik hasil pekerjaan mereka
meninggal pada tahun 1987 di dibanding mereka yang self-esteemnya rendah.
California. Karirnya yang Karena self-esteem yang rendah (atau diskrepansi yang tinggi antara self
rnengesankan dapat dikatakan
agak kurang lazim. Artinya, ia dan self ideal secara umum menimbulkan efek-efek negatif), maka upaya-upaya
bekerja di dalam konteks klinik meningkatkan esteem atau mengurangi diskrepansi secara potensial sangat
selama dekade pertama setelah penting. Upaya awal yang dilakukan untuk tujuan ini diuraikan di bagian
meraih gelar doktornya, setelah Tonggak Bersejarah berikut ini.
itu baru memasuki dunia
akademia dengan gelar
professor penuh. Di Ohio State,
Chicago, Wisconsin, dan theTonggak Bersejarah dalam Psikologi Sosial:
WesternBehavioral Sciences
Institute di La Jolla, ia Rogers, Teori-Self, Diskrepansi Self-Ideal, dan Perubahan
mengembangkan sebuah teori
kepribadian berbasis self,
Kepribadian
mengembangkan sebuah Meskipun Carl Rogers adalah seorang ahli psikologi klinik, teorinya tentang self
metode psikoterapi baru, dan
mengadakan program penelitian
menjadi bagian integral bidang kepribadian, dan temuan-temuan penelitiannya
untuk mengevaluasi konstrak tentang asal muasal konsep-diri dan tentang cara mengubah persepsi-diri
teoritik maupun prosedur mempunyai relevansi langsung dengan interes banyak ahli psikologi sosial
terapeutiknya. Pada akhir dewasa ini.
karirnya, saya (Donn Byrne)
mendapat kehormatan untuk Rogers (1951) menekankan bahwa self adalah aspek terpenting di dalam
menghabiskan suatu sore untuk dunia personal setiap orang. Selain mempertahankan dan meningkatkan self, ia
mengobrol secara informal percaya bahwa setiap orang juga membutuhkan pengakuan positif. Sejak awal,
dengannya dan dengan salah setiap orang amat sangat membutuhkan cinta, dan paling sering terjadi orangtua
seorang mantan mahasiswanya.
Sebagai pribadi, Carl Rogers lah yang merupakan sumber afeksi asli. Malah, konsep-diri seorang anak lebih
sama mengesankannya dengan tergantung pada pernyataan orang tua dan orang-orang lain tentang hal itu
tulisan- tulisan yang telah dibanding perasaan dan persepsi aktual di anak sendiri. Bila, misalnya, orangtua
dihasilkannya. Bagi saya, pria ini bersikeras bahwa anak perempuannya pasti akan senang jika memperoleh adik
adalah tipe paman idaman untuk laki-laki, maka si orang tua akan memaksakan reaksi itu sebagai bagian konsep-
siapa pun juga.
diri anak perempuannya itu meskipun si anak sebenarnya juga merasakan marah,
kesal, cemburu, dan emosi-emosi negatif lainnya. Semakin besar perbedaan

183
antara konsep-diri yang dipelajari dan apa yang sebenarnya dialami, maka
semakin besar pula kebutuhan untuk menyimpangkan persepsi dan untuk
bertahan terhadap ancaman.
Rogers percaya bahwa konsep-diri yang maladaptif dapat dikoreksi
melalui interaksi terapeutik yang disebut client-centered (dipusatkan pada klien).
Di sini terapis memerankan figur orangtua yang menunjukkan ketertarikan,
bersikap menerima, tidak bersikap menghakimi, dan tidak memaksakan pendapat
eksternalnya terhadap perasaan klien. Di dalam atmosfer yang positif, klien
diberi kebebasan untuk mengeksplorasi perasaan dan persepsi aktualnya dan –
oleh karenanya – juga diberi kebebasan untuk mengubahnya.
Rogers sangat tertarik melakukan penelitian untuk menguji teori selfnya
maupun metode terapeutiknya. Penelitian ini difokuskan pada perbedaan antara
self seseorang dengan self idealnya – yang dikenal sebagai diskrepansi self-ideal
– sebagai indikator maladjustment (salah penyesuaian). Semakin tinggi
diskrepansinya (dan demikian self-esteemnya menjadi semakin rendah), maka
penyesuaian orang itu pun menjadi semakin kurang tepat. Orang itu menjadi
semakin merasa kurang bahagia dan juga semakin defensif. Perlu dicatat bahwa
perubahan tertentu cukup efektif untuk mengurangi diskrepansi ini. Sebagai
contoh, klien dapat menjadi lebih yakin (keyakinan itu dapat benar tetapi juga
dapat salah) bahwa selfnya benar-benar jauh lebih mendekati self idealnya
dibanding sebelumnya (perubahan persepsi-diri); selfnya dapat menjadi lebih
menyerupai idealnya (perubahan konsep-diri); dan standar idealnya dapat
diperendah karena sebelumnya terlalu tinggi (perubahan self ideal). Beberapa
perubahan dapat terjadi secara simultan.

Gambar 5.5. Terapi untuk


Mengurangi Diskrepansi Self-Ideal.
Di dalam studi pionir tentang efek
terapi terhadap self-esteem, Carl
Rogers dan rekan-rekan sejawatnya
mampu memperlihatkan terjadinya
pengurangan diskrepansi self-ideal –
dengan membandingkan antara hasil
pengukuran yang dibuat sebelum
terapi dan hasil pengukuran yang
dibuat 6 – 12 bulan setelah terapi.
Pengurangan diskrepansi ini ditemukan
lebih besar pada klien yang dinilai
menunjukkan kemajuan yang jelas.
Tidak ada perubahan diskrepansi self-
ideal yang signifikan di kalangan
relawan yang tidak membutuhkan
terapi; mereka mempunyai diskrepansi
yang lebih kecil dibanding semua
kelopok klien dan dengan demikian
juga tidak diharapkan menunjukkan
perubahan selama periode terapi.
(Sumber: Berdasarkan data dari Butler dan
Haigh. 1954)

184
Di dalam buku pionirnya, Rogers dan Dymond (1954) menguraikan
tentang banyak proyek penelitian yang telah dilaksanakan. Sebagai contoh, salah
satu studi yang relatif dasar membandingkan antara variabel diskrepansi self-
ideal klien sebelum dan sesudah mengambil bagian di dalam terapi. Kelompok
kontrolnya terdiri atas para relawan yang tidak sedang membutuhkan bantuan
terapeutik. Variabel self dan self ideal diukur pada awal proyek dan diukur lagi
enam dampai dua belas bulan setelah klien menyelesaikan terapinya.
Gambar 5.5. memperbandingkan antara klien-klien yang dinilai “benar-
benar menunjukkan kemajuan” oleh terapisnya maupun oleh pengamat luar,
klien-klien yang kurang menunjukkan kemajuan yang jelas dan kelompok
kontrol non-terapi. Kedua kelompok terapi menunjukkan penurunan signifikan
pada diskrepansi self-idealnya, tetapi penurunan kelompok “yang benar-benar
menunjukkan kemajuan” menunjukkan penurunan lebih besar. Sesuai perkiraan,
para relawan di dalam kelompok kontrol mempunyai diskrepansi self-ideal yang
lebih kecil di kedua waktu pengukuran, dan di kelompok ini tidak ditemukan
adanya perubahan diskrepansi. Selain itu, masih ada kelompok kontrol yang
terdiri atas klien-klien yang dites dan diminta menunggu enam puluh hari
sebelum memulai terapi. Skor diskrepansi mereka ternyata tetap tinggi selama
masa menunggu ini. Ini menunjukkan bahwa berlalunya waktu bukan merupakan
faktor krusial yang dapat membuat perubahan yang menguntungkan pada
diskrepansi self-ideal. Terapi yang dipusatkan pada klien adalah kuncinya.
Di kalangan banyak ahli psikologi terapan, penekanan Roger pada terapi
sebagai cara untuk menaikkan self-esteem dan pada penelitian sebagai cara untuk
memvalidasi efektivitas terapi ini masih terus menjadi pedoman yang
berpengaruh hingga saat ini (Shechtman, 1993).

Variabel Self-Esteem. Kita sebelumnya telah mengemukakan bahwa depresi


berhubungan dengan self-esteem yang rendah, tetapi emosi-emosi negatif juga
berhubungan dengan variabilitas self-esteem. Artinya, orang yang self-esteemnya
naik-turun dalam merespon pelbagai perubahan situasi adalah orang yang paling
mungkin mengalami depresi (Roberts dan Monrow, 1992). Penjelasan untuk ini
adalah bahwa siapapun yang self-esteemnya sangat mudah dipengaruhi oleh
pelbagai kejadian sepele mempunyai sumber self-worth (harga-diri) yang kurang
stabil dibanding orang-orang yang esteemnya relatif konstan (Kernis dan kawan-
kawan, 1993). Self-esteem yang tinggi menjadi perlindungan yang sangat
membantu ketika orang mengalami pelbagai kejadian negatif (Wiener, Murzyck,
dan Martin, 1992).
Variabel mana yang merupakan prediktor yang lebih baik untuk depresi:
self-esteem yang secara konsisten rendah atau self-esteem yang bervariasi?
Dengan membandingkan para mahasiswa undergraduate yang sedang
mengalami depresi, yang sebelumnya pernah mengalami depresi, dan yang
belum pernah mengalami depresi, Butler, Hokanson, dan Flynn (1994) mampu
memperlihatkan bahwa, dibanding self-esteem yang rendah, self-esteem yang
bervariasi ternyata merupakan indeks yang lebih baik untuk memperkirakan
siapa yang cenderung mengalami depresi.

185
PRINSIP-PRINSIP PENGINTEGRASI
1. Konsep-diri adalah sebuah skema (Bab 3) yang berupa kumpulan-
terorganisasi dari pelbagai keyakinan, ingatan, perasaan, dan konsepsi yang
berorientasi pada diri sendiri tentang pelbagai kemungkinan self di masa
mendatang. Skema-skema yang semuanya penting ini berhubungan dengan
identitas diri kita sendiri.
2. Bagi sebagain besar orang, sikap paling berpengaruh (Bab 4) yang mereka
miliki adalah sikap yang berhubungan dengan self – seperangkat evaluasi
kompleks yang dikenal sebagai self-esteem. Self-esteem seseorang
didasarkan pada evaluasi langsung yang dibuat oleh orang lain dan didasarka
pada perbandingan sosial antara diri sendiri dan orang lain (Bab 7).

Aspek-aspek Lain pada Fungsi-Self: Memfokuskan,


Memonitor, dan Efikasi
Meskipun konsep-diri dan self-esteem menjadi perhatian sentral pelbagai
penelitian tentang self, tetapi ada beberapa aspek lain pada fungsi self yang juga
menarik untuk dikaji. Sekarang kita akan melihat beberapa macam di antaranya,
yaitu: self-focusing, self-monitoring, dan self-efficacy.

Self-Focusing: Memperhatikan Diri Sendiri atau Lingkungan


Pada saat apapun, perhatian orang dapat diarahkan ke dalam, yaitu ke arah self
atau di arahkan ke luar, yaitu ke arah lingkungan (Fiske dan Taylor, 1991). Self-
focusing didefiniskan sebagai sejauh mana perhatian diarahkan kepada diri
sendiri.

Aspek-aspek Kognitif dan Afektif Self-Focusing. Self-focusing berhubungan


dengan ingatan dan kognisi. Agar dapat terjadi self-focusing dibutuhkan ingatan
tentang kejadian-kejadian yang relevan di masa lalu dan pemrosesan informasi
relevan yang ada pada saat ini. Fokus terhadap diri sendiri mempengaruhi
keakuratan ingatan biografik (informasi faktual tentang diri sendiri) dan
kekompleksan pernilaian-pernilain self-descriptive (Dixon dan Baumeister,
1991; Klein, Loftus, dan Burton, 1989). Pertanyaan seperti “Anda lahir di
mana?” mengarahkan anda ke proses mengingat kembali. Tetapi, pertanyaan
seperti “Bagaimana gambaran Anda tentang hubungan Anda dengan orangtua
Anda?” dapat memunculkan pernilaian yang relatif sederhana atau relatif
Self-Focusing kompleks tentang diri Anda sendiri.
(Pemfokusan-Diri). Self-focusing meningkat dari masa anak-anak ke masa remaja (Ullman,
Tindakan mengarahkan
perhatian ke dalam, ke arah 1987). Sebagian orang dewasa masih tetap lebih memfokuskan pada dirinya
diri sendiri dan bukan ke arah
luar, ke arah lingkungan. 186
sendiri dibanding orang lain. Tetapi, pengaruh situasional mempunyai efek yang
besar dalam hal ini. Self-focusing dapat dengan mudah diinduksi oleh instruksi-
instruksi yang sederhana (seperti: pikirkan tentang aspek-aspek paling positif
yang terdapat pada diri Anda!) atau oleh pelbagai stimulus lingkungan seperti
adanya kamera video atau cermin (Feningstein dan Abrams, 1993).
Sampai batas tertentu, self-focusing dalam jangka waktu pendek dapat
meningkatkan self-insight. Ketika partisipan penelitian diinstruksikan untuk
menggunakan waktu selama beberapa menit untuk memikirkan tentang dirinya
sendiri, mereka membuat pernilaian yang lebih akurat terhadap umpan-balik
sosial yang diterimanya dibanding mereka yang tidak diminta untuk
memfokuskan-diri (Hixn dan Swan, 1993). Tetapi, dalam jangka panjang,
perhatian yang difokuskan pada diri sendiri (seperti tampak pada orang-orang
yang mengalami depresi) mungkin hanya semata-mata merefleksikan usaha
terus-menerus untuk memahami diri sendiri dan tidak merefleksikan
meningkatnya kesadaran (Conway dan kawan-kawan, 1993). Jika seseorang
mengalami depresi, fokus pada hal-hal eksternal dapat membantu meredakan
afek negatif (Lyubomirsky dan Nolen-Hoeksema, 1995). Tetapi, arah fokus tidak
mempunyai efek pada perasaan individu yang tidak mengalami depresi (Nix dan
kawan-kawan, 1995).
Konsep-diri seseorang bersifat kompleks dan berisi banyak elemen
diskrit. Proses pemfokusan pada saat kapan pun hanya melibatkan sebagian kecil
di antara elemen-elemen itu. Ini sangat mirip dengan sinar lampu senter yang
diarahkan ke pelbagai macam benda di ruangan yang gelap gulita. Ke mana
fokus diarahkan, hal ini sebagian ditentukan oleh framing (pengemasan)
pertanyaannya (lihat Bab 3 dan 13). Cara mengajukan pertanyaan yang diajukan
tidak hanya mempengaruhi proses mengingatnya tetapi juga apa yang secara
spesifik diingat (Kunda dan kawan-kawan, 1993). Sebagai contoh, jika
pengetahuan tentang kehidupan sosial Anda berisi elemen-elemen positif
maupun negatif, maka Anda mungkin akan memberikan jawaban positif terhadap
pertanyaan “Apakah Anda merasa puas dengan kehidupan sosial Anda?” dan
memberikan jawaban negatif terhadap pertanyaan “Apakah Anda tidak merasa
puas terhadap kehidupan sosial Anda?”
Kita tidak selalu benar-benar menyadari kapan kita memperhatikan diri
sendiri (Epstein, 1983), tetapi self-focusing lebih mungkin terjadi di dalam
situasi yang tidak asing dan nyaman dibanding di dalam situasi yang asing dan
dianggap mengancam. Sebagai contoh, jika Anda mengemudi di siang bolong
melewati jalan yang sudah Anda kenal dengan baik, maka Anda mungkin lebih
dapat memikirkan tentang diri Anda sendiri dengan baik Sebaliknya, Anda akan
cenderung memfokuskan perhatian pada lingkungan sekitar ketika mengemudi di
jalan yang belum Anda kenal di tengah badai di malam gelap gulita.

Menyimpan Informasi Positif dan Negatif tentang Diri Sendiri di dalam


Ingatan. Tampaknya, banyak orang menyimpan aspek-aspek positif dan
negatifnya secara terpisah di dalam ingatan (Showers, 1992). Oleh karena itu,
suasana hati seseorang dipengaruhi oleh apakah fokus orang itu diarahkan pada
elemen-elemen positif atau negatif. Saling-hubungan antara afek dan kognisi
juga didiskusikan di Bab 3. Jika anda hanya memikirkan tentang aspek-aspek
negatif yang terdapat di dalam diri Anda sendiri, maka Anda dapat dengan
mudah merasa tidak bahagia. Bukan hanya self-focusing yang mempengaruhi

187
suasana hati (Sedikides, 1992); suasana hati juga mempengaruhi self-focusing
(Salovey, 1992). Sebagai contoh, jika Anda merasa tidak bahagia setelah
bertengkar dengan sahabat Anda, maka Anda akan cenderung memfokuskan dan
mengingat hal-hal negatif tentang diri Anda sendiri dan merasa pesimistik
tentang masa depan Anda. Gambar 5.6 memperlihatkan salingketerkaitan ini.

Gambar 5.6. Saling keterkaitan Hubungan Antarafeksi Positif Kejadian eksternal positif
antara Pelbagai Kejadian
Eksternal, Suasana Hati, Self-
Focusing dan Ekspektansi.
Banyak orang menyimpan
informasi positif dan negatif
tentang diri sendiri secara
terpisah di dalam ingatan. Jika Informasi-diri positif Suasana-hat i positif
perhatiannya difokuskan pada
informasi-informasi positif, maka
hal ini akan menghasilkan
suasana hati yang positif dan
ekspektansi yang optimistik.
Kejadian-kejadian eksternal Pemfokusan-diri
positif juga dapat menghasilkan
suasana hati yang positif,
pemfokusan-diri pada informasi-
informasi positif, dan optimisme. Ekspektansi optimistik
Dengan cara yang persis sama,
pemfokusan-diri pada informasi-
informasi negatif, suasana hati
yang negatif, kejadian eksternal
negatif, dan ekspektansi
pesimistik juga saling
berhubungan.
Hubungan Antarafeksi Negatif Kejadian eksternal negatif

Informasi-diri negatif Suasana-hat i negatif

Pemfokusan-diri

Ekspektansi pesimistik

Showers (1992b) juga menemukan bahwa sebagian orang menyimpan


pengetahuan-diri positif dan negatifnya secara tak terpisah. Dalam kasus seperti
ini, pemfokusan-diri tidak akan melibatkan elemen-elemen yang benar-benar
murni negatif, dan hasil keseluruhannya berupa afek yang kurang negatif dan

188
self-esteem yang lebih tinggi. Terlepas dari keuntungan memiliki informasi
positif dan negatif yang saling tercampur ini, ketika dihadapkan pada peristiwa
negatif yang amat sangat membuat Anda merasa tertekan, akan lebih baik jika
Anda memiliki beberapa aspek self yang sangat positif dan sangat penting yang
terdiferensiasi dengan jelas (terkompartemen). Adanya elemen-elemen self
positif yang terpisah ini dapat Anda jadikan sebagai sandaran ini dan dapat
menjadi pelindung melawan kemungkinan mengalami depresi ketika terjadi stres
(Showers dan Ryff, 1993).

Self-Monitoring: Mengarahkan Perilaku Berdasarkan Faktor-


faktor Internal versus Faktor-faktor Eksternal
Seseorang yang saya (Donn Byrne) kenal cukup baik menunjukkan perilaku
yang sama ramahnya dan sama riangnya di setiap konteks yang saya lihat –baik
terhadap para karyawannya, rekan-rekan seprofesinya, isterinya, teman-teman
dekatnya di pesta, orang-orang tak dikenal di restoran, maupun terhadap orang-
orang lainnya. Di kutub yang berlawanan, saya juga mengenal seseorang yang
sangat otoritatif terhadap para karyawannya, saling mengejek dengan suaminya,
tampak genit di pesta, tetapi benar-benar menjaga jarak dan enggan bercakap-
cakap dengan orang tak dikenal. Kita dapat membuat prediksi solid tentang
orang pertama tadi, tetapi orang yang kedua apat diibaratkan sebagai “bunglon”.
Self-monitoring mengacu pada kecenderungan relatif individu untuk
mengatur perilakunya berdasarkan kejadian-kejadian eksternal, seperti reaksi
terhadap orang lain (self-monitoring tinggi) atau berdasarkan faktor-faktor
internal seperti keyakinan, sikap, dan interesnya sendiri (self-monitoring rendah).
Orang-orang dengan self-monitoring rendah cenderung memberikan respon
konsisten terhadap pelbagai macam situasi yang berbeda dibanding orang-orang
dengan self-monitoring tinggi (Koestner, Bernieri, dan Zuckerman, 1992).

Mengkonseptualisasikan Perbedaan dalam Self-monitoring. Formulasi self-


monitoring dikembangkan untuk pertama kalinya oleh Snyder (1974) dan rekan-
rekan sejawatnya (Gangestad dan Snyder, 1985; Snyder dan Ickes, 1985). Anda
mungkin melihat adanya beberapa kesamaan antara self-monitoring dan self-
focusing (memberi perhatian pada isyarat internal atau eksternal), tetapi tekanan
utama self-monitoring adalah pada bagaimana perilaku seseorang diatur oleh
perhatian yang berbeda ini.
Hoyle dan Sowards (1993) mediskripsikan lebih jauh tentang self-
monitoring dalam hubungannya dengan perbedaan respon terhadap pelbagai
situasi sosial. Seperti tampak pada gambar 5.7, orang-orang dengan self-
monitoring tingi menganalisis suatu situasi sosial dengan mengacu pada self
publik, membandingkan self ini dengan standar sosial untuk pelbagai macam
perilaku, dan berusaha keras mengubah self publiknya agar sesuai dengan
situasinya. Sebaliknya, orang-orang dengan self-monitoring rendah menganalisis
situasi sosial dengan mengacu pada self pribadinya, membandingkan self ini
dengan standar personalnya untuk pelbagai perilaku, dan berusaha keras
mengubah situasinya agar sesuai dengan self pribadinya.
Snyder menyatakan bahwa orang-orang dengan self-monitoring tinggi
senang melibatkan diri dalam permainan-peran karena berusaha keras untuk

189
mendapatkan evaluasi positif dari orang lain. Dengan kata lain, mereka
membentuk perilakunya sedemikian rupa agar sesuai dengan keinginan
penontonnya – ciri-ciri yang cocok untuk politisi, wiraniaga, dan aktor. Diskripsi
tentang Letnan Jenderal George S. Patton pada tanggal 9 April, 1945, yang
ditulis di majalah Time waktu itu, tampaknya amat sesuai dengan konsep ini:
Patton Sang Jenderal adalah juga Patton Sang Aktor. Berakting adalah
sesuatu yang instingtif baginya. Sama seperti semua aktor, ia lihai dalam
mengatur gerak-gerik atau ucapannya. Ia menyesuaikan aktingnya dengan
suasana hati audiensnya.

Gambar 5.7. Pemantauan-Diri Orang-orang dengan self-monitoring Tinggi


dan Perilaku di dalam Situasi
Sosial. Di dalam sebuah situasi Menganalisis situasi dengan
sosial, orang-orang dengan self- mengacu pada self publik
monitoring tinggi
membandingkan self publiknya
dengan tuntutan sosial,
kemudian berusaha mengubah Mengevaluasi self di dalam
self publiknya agar sesuai situasi ini dengan
dengan situasinya. Sebaliknya, membandingkannya dengan
orang-orang dengan self- standar sosial
monitoring rendah
membandingkan self
pribadinyanya dengan standar
perilaku personalnya, kemudian
Berperilaku sedemikian rupa agar
berusaha mengubah situasinya self publiknya sesuai dengan
agar sesuai dengan self standar untuk situasi tersebut
pribadinya.
(Sumber: Berdasarkan informasi dari
Hoyle dan Sowards, 1993) Situasi sosial
Berperilaku sedemikian rupa agar
situasinya sejalan dengan selfnya

Mengevaluasi self di dalam


situasi ini dengan
membandingkannya dengan
standar pribadi

Menganalisis situasi dengan


mengacu pada self pribadi

Orang-orang dengan self-monitoring rendah

Self-monitoring diukur melalui sebuah skala benar-salah (Snyder, 1974)


di mana sebagian aitemnya merefleksikan self-monitoring yang tinggi (misalnya,
“Saya sering bertindak seperti orang yang berbeda di situasi-situasi yang berbeda
dan ketika berhadapan dengan orang-orang yang berbeda”), dan sebagian lainnya

190
merefleksikan self-monitoring yang rendah (misalnya, “Perilaku saya biasanya
merupakan ekspresi perasaan, sikap, dan keyakinan batiniah saya”). Validitas
skala ini ditunjukkan oleh studi-studi seperti yang dilakukan oleh Lippa dan
Donaldson (1990). Para mahasiswa diminta mengerjakan Self-Monitoring Scale
dan diminta menulis buku harian selama sepuluh hari yang menceritakan tentang
interaksinya dengan orang-orang lain. Sesuai prediksi, partisipan dengan self-
monitoring tinggi melaporkan bahwa mereka mengatur perilakunya sedemikian
rupa sesuai situasi dan audiensnya, sedangkan partisipan dengan self-monitoring
rendah melaporkan bahwa mereka melakukan tindakan yang sama, tanpa
mempedulikan situasinya.
Ada dugaan bahwa perbedaan perilaku self-monitoring sebagian
didasarkan pada perbedaan-perbedaan genetik. Oleh karena itu Gangestad dan
Simpson (1993) melaksanakan prosedur konstruksi test yang tidak lazim untuk
mengidentifikasi aitem-aitem yang mengukur komponen genetik self-
monitoring. Dengan menggunakan pasangan-pasangan kembar identik dan
fraternal, kedua peneliti ini membandingkan kesamaan relatif kedua kelompok
ini dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan perilaku
self-monitoring. Hasil pengukurannya, yang diberi label Genic Expressive
Control, terdiri atas aitem-aitem yang dijawab dengan cara yang sangat mirip
oleh kembar identik dibanding kembar fraternal. Penelitian yang akan datang
seharusnya menggunakan teknik yang membedakan antara perilaku self-
monitoring yang didapat dan perilaku serupa yang terkait dengan gen. Aitem-
aitem self-monitoring di dalam skala ini (dan kunci skoring untuk orang-orang
dengan perilaku self-monitoring tinggi) meliputi antara lain:
“Saya merasa kesulitan untuk meniru orang lain” (salah)
“Saya rasa saya menggunakan pertunjukan untuk membuat orang lain
terkesan atau untuk menghibur orang.” (benar)
“Saya tidak dapat bermain dengan baik di dalam permainan-permaian
seperti charade atau melakukan improvisasi di dalam seni peran” (salah)
“Saya dapat menatap langsung mata orang lain lalu menyatakan
kebohongan kepadanya dengan tanpa memalingkan wajah saya (jika hal itu
untuk tujuan kebaikan)” (benar)

Perbedaan antara Orang-orang dengan Self-monitoring Tinggi dan Rendah.


Banyak perilaku yang diketahui tidak sama antara orang-orang dengan self-
monitoring tinggi dan rendah. Sebagai contoh, Ickes, Reidhead, dan Patterson
(1986) menemukan bahwa, ketika berbicara, mereka yang pemantauan-dirinya
tinggi lebih sering menggunakan orang ketiga (dia, mereka, nya), sementara
yang pemantauan-dirinya rendah lebih sering menggunakan orang pertama
(saya). DeBono dan Packer (1991) menemukan bahwa orang-orang dengan self-
monitoring tinggi memberikan respon terbaik pada iklan berbasis-citra-diri
(“Heineken – you’re moving up”, dan orang-orang dengan self-monitoring
rendah memberikan respon terbaik pada iklan berbasis-kualitas (“Heineken –
you can taste the difference”). Karena orang yang selalu tampak yakin terhadap
keputusannya sendiri cenderung disukai dan dihormati, Cutler dan Wolfe (1989)
membuat prediksi yang kemudian terbukti kebenarannya, bahwa semakin tinggi
kecenderungan self-monitoring seseorang, semakin tinggi pula keyakinan orang

191
itu terhadap keputusan yang diambilnya, terlepas dari benar-salahnya keputusan
itu.
Orang-orang dengan self-monitoring tinggi membuat pilihan-pilihan
interpersonal berdasarkan kualitas eksternalnya (sebagai contoh, memilih partner
tenis berdasarkan baik-buruknya permainan orang itu), sementara orang-orang
dengan self-monitoring rendah membuat pilihan berdasarkan seberapa tinggi
perasaan suka mereka terhadap orang lain (Snyder, Gangestad, an Simpson,
1983). Bahkan di dalam hubungan romantik, orang-orang dengan self-
monitoring rendah memberikan komitmen yang lebih tinggi kepada orang lain
(dan oleh karenanya juga mempunyai hubungan romantik yang lebih sedikit dan
lebih lama), sementara orang-orang dengan self-monitoring tinggi sangat
dipengaruhi oleh situasi dan seperti apa pasangannya (Snyder dan Simpson,
1984).
Temuan-teman semacam itu membuat Jones (1993) tertarik untuk
meneliti perbedaan motivasi berkencan antara orang-orang dengan self-
monitoring tinggi dan rendah. Ia menggunakan skala self-monitoring dan test
yang mengukur motivasi berkencan para mahasiswa dan mahasiswi. Motif-motif
intrinsik untuk berkencan ditunjukkan oleh aitem-aitem seperti “Kami
mempunyai minat dan kepedulian yang sama” dan “Kami mempunyai sikap dan
nilai-nilai yang sama.” Motivasi intrinsik berarti bahwa individu menikmati
kebersamaan dengan pasangannya. Motif-motif ekstrinsik ditunjukkan oleh
aitem-aitem seperti “Ia mempunyai koneksi yang tepat” dan “Teman-teman dan
keluarganya dapat menguntungkan karir dan masa depan saya.” Motivasi
ekstrinsik berarti bahwa ia memilih pasangannya berdasarkan keuntungan yang
diperoleh dari hubungan tersebut. Mereka yang self-monitoringnya rendah
cenderung menekankan pada motivasi berkencan intrinsik dibanding merke yang
pemantauan-dirinya tinggi, sementara kelompok sebaliknya lebih menekankan
pada motif-motif berkencan ekstrinsik. Sekali lagi, mereka yang self-
monitoringnya rendah tampaknya berorientasi pada orang lain, sementara
mereka yang self-monitoringnya tinggi berorientasi pada pemuasan
kebutuhannya sendiri dalam arti luas.
Howells (1993) memberikan interpretasi yang sangat berbeda terhadap
hubungan interpersonal antara mereka yang pemantauan-dirinya tinggi dan
rendah ini. Ia menemukan bahwa mereka yang pemantauan-dirinya tinggi
mempunyai ciri-ciri kepribadian yang lebih positif dibanding yang pemantauan-
dirinya rendah. Para mahasiswa yang menunjukkan skor tinggi pada skala
pemantauan-diri juga ditemukan lebih sociable, penuh kasih, energetik, sensitif,
Motif Intrinsik versus punya rasa ingin tahu yang tinggi secar intelektual, dan terbuka dibanding
Ekstrinsik dalam Berkencan.
Ketika ditanyai tentang motivasi mereka yang menunjukkan skor rendah pada skala yang sama. Sebagian temuan
memilih pasangan kencan, interpersonal yang ditemukan sebelumnya mungkin sekadar menunjukkan
mereka yang self-monitoringnya bahwa mereka yang self-monitoringnya rendah secara sosial kurang kompeten
rendah cenderung menekankan dan kurang berani mengambil risiko di dalam pelbagai situasi sosial. Pendapat
tentang motif-motif intrinsik independen tetapi konsisten dikemukakan oleh Leary dan rekan-rekan
(seperti kesamaan dengan
pasangan) dibanding mereka sejawatnya (1955), yaitu bahwa self-esteem berfungsi sebagai “sosiometer”,
yang self-monitoringnya tinggi, sebuah elemen yang dibutuhkan dalam memonitor hubungan-hubungan
yang lebih menekankan pada interpersonal. Orang dengan self-esteem tinggi (yang self-monitoringnya
motif-motif ekstrinsik (seperti diperkirakan juga tinggi) menginterpretasi reaksi positif orang lain sebagai tanda
manfaat yang didapat dari bahwa ia disukai dan dihargai. Jika di dalam sebuah situasi sosial self-esteem ini
banyaknya koneksi yang dimiliki
pasangannya). dirasakan menurun, maka ini menunjukkan adanya kemungkinan penolakan dan
eksklusi sosial, sehingga perilakunya diubah untuk memperbaiki keadaan.
(Sumber: Berdasarkan data dari Jones,
1993)
192
Dalam memikirkan tentang perbedaan yang ditemukan pada mereka yang
self-monitoringnya tinggi dan rendah, Anda mungkin menyimpulkan bahwa
mereka yang pemantauan-dirinya rendah mempunyai penyesuaian yang lebih
baik dibanding mereka yang self-monitoringnya tinggi. Artinya, mereka yang
self-monitoringnya rendah tampak konsisten, mempunyai komitmen yang lebih
tinggi terhadap pasangan romantiknya, dan jujur dalam mengekspresikan
keyakinan-keyakinan aktualnya, sedangkan mereka yang self-monitoringnya
tinggi tampak tidak konsisten, sangat ingin menyenangkan hati orang lain, dan
menyukai hubungan-majemuk. Tetapi, temuan yang sama juga menunjukkan
bahwa mereka yang self-monitoringnya rendah juga lebih self-centered, closed-
minded, tidak sensitif terhadap pendapat orang lain, dan kurang memiliki social
skill, sementara mereka yang self-monitoringnya tinggi lebih sensitif terhadap
perasaan orang lain, open-minded, dan mempunyai social skill. Ternyata, hasil
penelitian menunjukkan bahwa maladjustment (neurotisisme) lebih banyak
dijumpai pada mereka yang terletak pada kedua ekstrim dimensi self-monitoring
ini dibanding mereka yang terletak di antaranya.

Self-Efficacy: “Saya Rasa Saya Dapat, Saya Rasa Saya Dapat ...”
Self-efficacy (efikasi-diri) mengacu pada evaluasi seseorang tentang kemampuan
atau kompetensinya dalam menyelesaikan suatu tugas, dalam mencapai suatu
tujuan, atau dalam mengatasi suatu kendala (Bandura, 1977). Dapatkah Anda
meraih sukses dalam mata pelajaran kalkulus? Dapatkah Anda lulus dari kursus
menyetir? Dapatkah Anda mengatasi rasa takut terhadap ketinggian? Jawaban
Anda pada masing-masing pertanyaan dapat saja berbeda, karena perasaan
efikasi-diri bervariasi sesuai tugasnya. Saya (Donn Byrne) yakin bahwa saya
akan dapat merangkai potongan-potongan puzzle atau pelbagai perabot rumah
tangga knock-down, tetapi juga sama yakinnya bahwa setiap tahun saya tidak
dapat mengisi formulir pajak saya dengan benar. Penelitian membenarkan
adanya perbedaan perasaan self-efficacy ini. Setelah gempa bumi besar yang
melanda California pada tahun 1989, para mahasiswa mengekspresikan self-
efficacy yang rendah tentang kemampuannya mengatasi bencana alam. Tetapi
self-efficacy pada aspek-aspek kehidupan lain yang tak terkait dengan bencana
alam (seperti prestasi akademik) tetap tidak terpengaruh (Burger dan Palmer,
1992).

Self-efficacy dan Prestasi. Prestasi pada tugas-tugas fisik maupun akademik


ditingkatkan oleh self-efficacy yang tepat. Sebagai contoh, mereka yang
mempunyai self-efficacy tinggi dalam bidang atletik mampu bertahan dalam
jangka waktu lebih lama dalam latihan yang membutuhkan ketahanan disik
dibanding mereka yang self-efficacynya dalam hal ini rendah (Gould dan Weiss,
1981). Salah satu alasannya adalah karena perasaan self-efficacy yang tinggi
untuk tugas-tugas fisik ini menstimulasi tubuh untuk memproduksi opioid (zat
seperti yang terkandung di dalam opium) endogen yang berfungsi sebagai pemati
rasa alamiah, yang memungkinkan seseorang terus melaksanakan tugas fisiknya
(Bandura dan kawan-kawan, 1988). Selain itu, self-efficacy yang tinggi dalam
Self-efficacy. Evaluasi hal kemampuan fisik membuat orang mempersepsi adanya kesuksesan pada
seseorang terhadap suatu tugas latihan dan mengatribusikan perilaku ini pada kontrol pribadi
kemampuan atau (Courneya dan McAuley, 1993).
kompetensinya untuk
menyelesaikan tugas, untuk
mencapai tujuan, atau untuk
mengatasi kendala yang 193
dihadapi.
Di bidang akademik, self-efficacy mempunyai manfaat yang sama. Ketika
diberi tugas menulis pertanyaan untuk suatu mata kuliah, pertanyaan-pertanyaan
yang ditulis oleh mereka yang memiliki self-efficacy tinggi dinilai lebih baik
dibanding pertanyaan-pertanyaan yang ditulis oleh mereka yang self-efficacynya
rendah (Tuckman dan Sexton, 1990). Partisipan penelitian yang sama juga
diminta membuat estimasi tentang seberapa baik hasil yang akan mereka
dapatkan dalam tugas ini. Mahasiswa yang self-efficacynya tinggi menunjukkan
hasil yang lebih baik dibanding perkiraannya, sedangkan mereka yang self-
efficacynya rendah tidak mampu mencapai ekspektansinya. Di dalam penelitian
yang berhubungan dengan hal ini, Sanna dan Pusecker (1994) menemukan
bahwa jika majasiswa berharap akan dapat mendapatkan hasil yang baik, maka
mereka juga mengharapkan evaluasi-diri yang positif, dan hasilnya adalah
kinerja yang lebih baik. Ekspektasi prestasi yang buruk berhubungan dengan
ekspektasi tentang evaluasi-diri negatif dan kinerja yang lemah.
Di kalangan dosen, kesuksesan akademiknya (yang didefinisikan
menurut pangkat dan gajinya) sebagian diprediksikan oleh self-efficacy (Taylor
dan kawan-kawn, 1984). Semakin tinggi self-efficacy sang dosen, mereka terlibat
pada lebih banyak proyek sekaligus dan menetapkan lebih banyak tujuan untuk
menyelesaikan artikel dan buku. Perilaku ini membuat mereka mampu
menghasilkan lebih banyak publikasi dan dengan demikian juga semakin banyak
publikasinya yang dikutip oleh orang lain di bidangnya. Hasil akhirnya adalah
kenaikan pangkat dan gaji.

Self-efficacy di dalam Situasi-situasi Sosial. Perilaku interpersonal juga


diperngaruhi oleh perasaan self-efficacy dalam hal interaksi sosial. Beberapa
alasan untuk memiliki self-efficacy sosial yang rendah adalah kurangnya social
skills, dan akibatnya berupa kecemasan dan penghindaran terhadap situasi-situasi
sosial.
Atribusi tentang kegagalan sosial dipengaruhi oleh self-efficacy sosial
(Alden, 1986). Ketika diberi umpan balik negatif tentang akibat perilaku sosial
tertentu, individu yang self-efficacynya tinggi mempersepsi penyebabnya adalah
sesuatu yang bersifat eksternal (sesuatu yang unik untuk situasi tertentu),
sementara mereka yang self-efficacynya rendah membuat atribusi-internal
(kurangnya kemampuan).

Meningkatkan Perasaan Self-efficacy Seseorang. Self-efficacy sama sekali


tidak dapat dikatakan bersifat tetap dan tidak mengalami perubahan. Jika
seseorang menerima umpan balik positif tentang kecakapannya (meskipun
umpan balik itu mungkin salah), self-efficacynya cenderung naik (Bandura,
1986). Di dalam sebuah eksperimen pionir, Bandura dan Adams (1977) mampu
menunjukkan bahwa fobia seperti ketakutan terhadap ular dapat diinterpretasi
dari perspektif kognitif sebagai reaksi yang didasarkan pada self-efficacy yang
rendah – kurangnya keyakinan pada kemampuan sendiri untuk menghadapi ular.
Di dalam sebuah program terapi perilaku yang disebut desensitisasi sistematik,
orang-orang yang memiliki fobia terhadap ular belajar bersikap rileks pada
waktu melihat foto ular, pada saat melihat mainan ular-ularan, pada saat melihat
ular kecil di dalam kandang kaca, dan seterusnya, selama jangka waktu tertentu.
Pada akhirnya mereka mampu menghadapi ular besar yang tidak ditempatkan di

194
dalam kandang, dengan tenang. Ketika fobia berkurang, maka rangsang
fisiologis terhadap adanya stimulus ular menurun, dan self-efficacy meningkat.
Efek terapi self-efficacy ini bersifat spesifik dan tidak dapat
digeneralisasikan pada situasi-situasi lain. Sekalipun demikian, prosedur
desensitisasi yang analog dengan itu dapat menimbulkan akibat-akibat yang
paralel, yaitu menurunkan fobia-fobia lain (seperti ketakutan terhadap laba-laba
atau terhadap tempat terbuka) dan menaikkan efikasi-diri tentang
kemampuannya mengatasi stimuli yang sebelumnya mereka takuti (Bandura,
Adams, dan Hardy, 1980).

Gambar 5.8. Efek Stimulus Menakutkan Ketika tarantula bergerak mendekat


yang Bergerak Mendekat /Menjauh dan ke arah penonton, partisipan yang
efikasi-dirinya rendah
Efikasi-Diri tehadap Ketakutan. Ketakutan memperlihatkan ketakutan yang lebih
dirangsang oleh aspek-aspek stimulus yang tinggi dibanding partisipan yang self-
ditakuti dan oleh persepsi terhadap self- efficacynya tinggi
efficacy (kemampuan menghadapi stimulus
yang ditakuti secara efektif). Perasaan self-
efficacy yang tinggi atau rendah dalam Ketika tarantula bergerak menjauh
merespon laba-laba sengaja ditimbulkan pada atau diam, baik partisipan yang self-
efficacy nya rendah maupun tinggi
partisipan penelitian, setelah itu mereka melihat tidak memperlihatkan ketakutan yang
penayangan video yang memberlihatkan tinggi
seekor tarantula yang bergerak mendekat ke
arah penonton, diam saja, atau bergerak
menjauh. Pentingnya gerakan mendekat ini
ditunjukkan oleh bukti bahwa ketakutan
partisipan kecil ketika dirangsang oleh tarantula
yang diam saja atau bergerak mundur.
Pentingnya efikasi-diri diperlihatkan oleh
ketakutan yang lebih besar ketika trantula itu
bergerak mendekat di kalangan partisipan yang
mempunyai efikasi-diri rendah dibanding
partisipan yang mempunyai efikasi-diri tinggi.
(Sumber: Berdasarkan data dari Riskind dan Maddux,
1993)

Dalam studi yang lebih mutakhir, Riskind dan Maddux (1993) mengkaji
elemen-elemen lain yang terdapat di dalam situasi yang menakutkan. Mereka
juga mengkaji bagaimana stimulus eksternal dan self-efficacy saling berinteraksi
dalam menentukan kekuatan rasa takut itu. Kedua peneliti ini mengemukakan
tentang adanya dua model ketakutan. Harm-looming model menjelaskan
ketakutan sebagai fungsi keterdekatan objek yang ditakuti dengan individunya
dan apakah objek itu bergerak. Anda mungkin pernah melihat banyak film horor
yang membuat Anda semakin merasa tidak nyaman ketika melihat makhluk-
makhluk menakutkan yang semakin lama semakin mendekati calon korbannya.
Model self-efficacy difokuskan pada persepsi individu bahwa ia mempunyai
kemampuan untuk mencegah timbulnya akibat buruk. Sebuah tes eksperimental

195
memperlihatkan adanya bukti bahwa kedua model ini benar dan bahwa keduanya
dapat diintegrasikan. Para mahasiswa undergraduate melihat tayangan video di
mana tarantula bergerak maju ke arah kamera, bergerak mundur, atau diam saja.
Sebelum melihat tarantula itu, partisipan diminta membayangkan tentang salah
satu di antara dua situasi. Di salah satu situasi, mereka diminta membayangkan
bahwa mereka seekor laba-laba besar di dalam ruangan dan mereka boleh
memilih melemparnya dengan sebuah majalah atau meninggalkan ruangan itu
(menginduksi perasaan self-efficacy yang tinggi). Pada situasi lain, mereka
diminta membayangkan bahwa mereka dalam keadaan tak berdaya, terikat erat
di sebuah kursi di dalam ruangan kedap suara yang terkunci dan seekor laba-laba
besar ada di dalam ruangan itu (menginduksi perasaan self-efficacy yang
rendah). Seperti diperlihatkan oleh Gambar 5.8, baik objek yang “looming”
maupun tingkat self-efficacy memperngaruhi rasa takut. Tarantula yang diam
atau mundur kurang menakutkan, terlepas dari tingkat self-efficacy nya.
Tarantula yang bergerak maju membangkitkan ketakutan yang lebih tinggi, tetapi
hanya pad mereka yang self-efficacynya rendah.

Gender: Kelelakian atau Kewanitaan Sebagai Aspek


Identitas yang Krusial

196
Mungkin, elemen paling pervasive (mudah menyebar) dari identitas pribadi
adalah porsi identitas sosial di mana kita ditempatkan ke dalam salah satu di
antara dua kategori: laki-laki atau perempuan.
Istilah seks/jenis kelamin dan gender seringkali digunakan untuk hal
yang sama. Tetapi, di dalam diskusi kita di sini, kami mengikuti para ahli lainnya
(misalnya, Beckwith, 1994). Kami mendefinisikan seks dalam arti biologik-
perbedaan anatomik dan fisiologik yang berkembang berdasarkan gen-gen yang
ada pada saat terjadinya konsepsi. Gender mengacu pada semua hal lain yang
berhubungan dengan jenis kelamin seseorang, termasuk peran, perilaku,
preferensi, dan atribut-atribut lain yang mendefinisikan tentang apa yang
dimaksud dengan laki-laki dan perempuan pada budaya tertentu. Meskipun
penelitian memberikan jawaban yang ambigu, tetapi kita dapat saja
mengasumsikan bahwa banyak di antara atribut-atribut ini yang dipelajari
sementara atribut-atribut lainnya mungkin seluruhnya atau sebagian didasarkan
pada determinan-determinan biologik. Salah satu contoh interaksi antara
determinan genetik dan belajar adalah ketika sebuah atribut diinterpretasi
sebagai indikasi maskulinitas atau femininitas. Dengan kemungkinan bahwa hal
Seks/Jenis Kelamin. Kelelakian itu merupakan hasil stereotip yang dipelajari, otot yang kekar dan suara yang
atau kewanitaan seperti yang dalam dipersepsi sebagai atribut maskulinaitas, sementara rambut yang panjang
ditentukan oleh faktor-faktor genetik
pada saat terjadinya konsepsi , yang
dan suara yang tinggi dipersepsi sebagai atribut femininitas (Aube, Norcliffe,
menyebabkan perbedaan secara dan Koestner, 1995).
anatomik dan fisiologik.
Perlu diketahui bahwa definisi-definisi spesifik yang digunakan di sini
Gender. Atribut, perilaku, ciri-ciri
kepribadian, dan ekspektansi yang
tidak diterima sevata universal oleh mereka yang bekerja secara aktif di bidang
berhubungan dengan jenis kelamin ini (misalnya, Deaux, 1993b; Gentile, 1993; Unger dan Crawford, 1993).
biologik orang di dalam budaya
tertentu; hal itu mungkin didasarkan
pada determinan-determinan
biologik, aspek-aspek yang Identitas dan Stereotip Gender Berbasis Gender
dipelajari, atau mungin mewakili
kombinasi antara determinan- Kita masing-masing memiliki sebuah identitas gender. Artinya, kita memberi
determinan biologik dan kultural. label laki-laki atau perempuan pada diri kita sendiri. Kecuali pada orang-orang
Meskipun terminologinya sendiri tertentu yang jumlahnya relatif terbatas, jenis kelamin biologik dan identitas
masih menjadi bahan perdebatan, gender pada umumnya saling berkorespondensi.
para ahli psikologi paling sering
berbicara tentang jenis kelamin
ketika merujuk pada perbedaan
anatomik dan fisiologik antara laki- Mengembangkan Sebuah Identitas Gender. Orang dewasa biasanya
laki dan perempuan berdasarkan menunjukkan reaksi terhadap jenis kelamin bayi yang baru saja lahir sebagai
perbedaan genetik yang ada pada
saat konsepsi. Gender digunakan karakteristik penentu yang sangat penting. Tampaknya, tugas pertama orangtua,
untuk menjelaskan atribut dan keluarga, teman, dan orang asing adalah menentukan jenis kelamin si bayi
perilaku lain yang dikaitkan dengan (“Bayinya laki-laki atau perempuan?”). Orangtua harus segera memberikan
jenis kelamin yang diperoleh
berdasarkan ekspektasi kultural nama laki-laki atau nama perempuan padanya, dan seringkali menambahkan
atau kombinasi antara faktor-faktor atribut-atribut lain sesuai jenis kelamin bayi, misalnya dengan memilih pakaian
biologik dan kultural – atau yang berwarna merah jambu (untuk bayi perempuan) atau biru (untuk bayi laki-laki),
determinannya tidak diketahui.
mendekorasi kamarnya dengan gaya maskulin atau feminin, dan memilih mainan
IIdentitas Gender. Jenis kelamin
yang diidentifikasi oleh seseorang
dan pakaian yang “sesuai gender”.
sebagai jenis kelaminnya sendiri; Terlepas dari penekanan pada diferensiasi gender ini, anak-anak yang
biasanya, meskipun tidak selalu,
gender berkorespondensi dengan masih kecil pada umumnya tidak menyadari jenis kelamin atau gendernya
jenis kelamin biologik seseorang. sampai mereka mencapai usia sekitar dua tahun. Pada umur ini, mereka mulai
mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai “perempuan” atau “lakilaki” –
meskipun tanpa disertai pemahaman yang jelas tentang apa maksudnya. Identitas
gender muncul ketika gender menjadi bagian konsep-diri seseorang. Individu
mengembangkan sense of self yang meliputi kelelakian atau kewanitaan (Grieve,
197
1980) – meskipun tidak selalu berkorespondensi dengan jenis kelamin
biologiknya.
Pada usia antara empat dan tujuh tahun, anak-anak secara bertahap
memperoleh konsep konsistensi gender. Mereka mulai menerima prinsip bahwa
gender merupakan atribut mendasar setiap orang. Segera setelah kognisi ini
menetap di tempatnya, persepsi kita dipengaruhi oleh keyakinan kita tentang
gender. Sebagai contoh, ketika anak-anak (yang berusia antara lima sampai
sembilan tahun) melihat rekaman video empat bayi yang berusia sembilan bulan,
kedua kelompok umur ini sepakat bahwa bayi-bayi yang diidentifikasi sebagai
perempuan (Mary dan Karen) tampak lebih kecil, lebih cantik, lebih
menyenangkan, dan lebih lembut dibanding bayi-bayi yang diidentifikasi sebagai
laki-laki (Stephen dan Matthew). Padahal, eksperimenter dengan sengaja
memberikan nama laki-laki atau nama perempuan pada bayi-bayi dengan jenis
kelamin yang berbeda ini (yang tidak selalu sesuai dengan jenis kelamin
biologisnya). Hasilnya, masing-masing bayi laki-laki diidentifikasi dengan benar
sebagai laki-laki oleh separuh partisipan dan salah diidentifikasi sebagai
perempuan oleh partisipan lainnya. Serupa dengan itu, masing-masing bayi
perempuan diidentifikasi sebagai perempuan oleh separuh partisipan dan
diidentifikasi sebagai laki-laki oleh partisipan lainnya. Hasilnya jelas, yaitu
bahwa stereotip gender ditentukan oleh bagaimana bayi-bayi itu dipersepsi
(Vogel dan kawan-kawan, 1991).

Asal-Muasal Identitas Gender. Meskipun semua perilaku laki-laki dan


perempuan yang dapat diobservasi sejak lama diasumsikan sebagai faktor
biologik-bawaan, tetapi kemungkinan bahwa banyak ciri maskulin dan feminin
yang “tipikal” sebenarnya adalah faktor yang dipelajari tampaknya semakin
besar (Bem, 1984). Teori skema gender dirumuskan oleh Bem (1981, 1983).
Bem menyatakan bahwa anak-anak mempunyai “kesiapan tergeneralisasi” untuk
mengorganisasikan informasi tentang selfnya sesuai definisi kulturalnya tentang
Konsistensi Gender. Konsep
bahwa gender merupakan atribut perilaku yang dianggap pantas untuk masing-masing jenis kelamin. Begitu
yang mendasar dan menetap pada seorang anak kecil menerapkan label “anak perempuan” atau :anak laki-laki”
individu; sebuah konsep yang pada dirinya sendiri, maka panggung anak itu akan disiapkan untuk mempelajari
biasanya diperoleh anak pada usia
antara 4 – 7 tahun. peran-peran yang “sesuai”, yang menyertai label tersebut. Sejalan dengan
perkembangan yang berlangsung selama masa kanak-kanak, sex-typing terjadi
Identitas Gender. Identitas ketika anak mempelajari secara terinci tentang stereotip yang berkaitan dengan
gender mengacu pada jenis kelelakian dan kewanitaan di dalam budayanya. Meskipun studi-studi mutakhir
kelamin yang diidentifikasi
menunjukkan bukti tentang adanya stereotip yang dipegang secara luas (sebagai
sebagai jenis kelaminnya sendiri
– persepsi-diri subjektif sebagai contoh, dibandingkan laki-laki, perempuan dipersepsi lebih sociable dan lebih
laki-laki atau perempuan yang bahagia), tetapi efeknya kecil dan seringkali berbeda pada pengamat laki-laki
biasanya berkorespondensi dan perempuan (Feingold, 1995). Berlawanan dengan teori skema gender,
dengan jenis kelamin biologik Spence (1993) lebih condong pada teori identitas gender multifaktorial. Teori ini
seseorang. Sampai saat ini para
menyatakan bahwa aspek-aspek self yang berhubungan dengan gender terdiri
ahli psikologi sosial belum
sepenuhnya yakin tentang atas banyak faktor dan bukan sekadar pemilahan sederhana: laki-laki dan
bagaimana persepsi-diri perempuan.
bermula.
Sebagian hal yang dipelajari anak tentang gender didasarkan pada
Sex-typing. Diperolehnya observasi terhadap orangtua mereka dan usaha mereka untuk menjadi seperti
atribut-atribut yang berhubungan
mereka. Secara umum, anak-anak mendapat penghargaan atau pujian bila
dengan menjadi laki-laki atau
perempuan di dalam budaya melakukan perilaku yang sesuai-gender dan tidak diberi dorongan (atau diejek)
tertentu jika melakukan perilaku yang tidak sesuai-gender. Sebagai contoh, bayangkan
tentang respon terhadap seorang gadis kecil yang meminta hadiah boneka pada
198
hari Natal versus respon terhadap anak laki-laki yang meminta hadiah yang
sama. Dengan cara yang sama, apakah menurut Anda orangtua akan memberikan
respon yang berbeda kepada anak laki-lakinya yang menginginkan sarung tangan
dan karung pasir untuk tinju sebagai hadiah ulang tahun versus anak gadis yang
mengutarakan keinginan yang sama? Berdasarkan bagaimana respon orang
dewasa, kakak, dan orang-orang lain, seorang gadis kecil akan mengerti bahwa
meginginkan boneka dapat diterima, tetapi menginginkan sarung tangan tinju
tidak, sementara anak laki-laki akan mengerti bahwa baginya sarung tinju
memang cocok, tetapi boneka adalah keinginan yang tidak dapat diterima.
Bahkan jika orangtua menolak stereotip itu dan berusaha mengajari anak-anakya
untuk tidak terikat pada peran gendernya, mereka akan menjadi pihak yang kalah
dalam pertempuran ketika anaknya mulai merespon iklan dan merespon apa saja
yang dimiliki teman-temannya. Sebuah pasangan yang tinggal di dekat rumah
saya bertekad untuk “melakukan segala sesuatunya dengan cara berbeda”, tetapi
ternyata pada akhirnya mereka menyerah dan membelikan boneka Barbie untuk
anak perempuannya dan membelikan gambar-gambar G.I. Joe untuk anak laki-
lakinya. Stereotip gender suatu budaya dipelajari melalui cara-cara yang tak
terhitung banyaknya. Anak perempuan boleh menangis dan anak laki-laki boleh
berkelahi. Anak laki-laki boleh main sepak-bola dan anak perempuan boleh
bermain jacks.Anak laki-laki dan anak perempuan diberi pakaian yang berbeda,
mereka mempunyai potongan rambut yang berbeda, diberi pekerjaan rumah yang
berbeda, didorong untuk mengidentifikasikan diri dengan tokoh-tokoh fiksi yang
berbeda, dan seterusnya.

Gambar 5.9. Aspek-aspek


Masa Remaja da Masa Dewasa
Perkembangan Gender. Dimulai Identitas gender telah mantap dan stereotip gender telah benar-
dengan determinasi genetik jenis benar dimengerti. Individu mungkin mengidentifikasikan diri atau
kelamin pada saat konsepsi, tidak mengidentfikasikan diri dengan stereotip gender yang terkait
masing-masing orang berkembang dengan jenis kelaminnya. Artinya, seseorang dapat mengadopsi
stereotip yang terkait dengan jenis kelamin ini, atau dengan jenis
melalui tahap-tahap perkembangan kelamin sebaliknya , atau dengan kedua jenis kelamin, atau tidak
di mana kita belajar memberi label terkait dengan kedua jenis kelamin
laki-laki atau perempuan terhadap
diri kita sendiri dan orang lain,
menginternalisasikan identitas
gender sebagai bagian konsep-diri Masa Kanak-kanak Lanjut
kita, belajar tentang stereotip Identitas gender telah menjadi sangat jelas, dan identitas gender
gender dalam budaya kita, dan (Saya laki-laki atau Saya perempuan) telah berkembang sebagai
bagian konsep-diri. Anak juga belajar tentang ciri-ciri yang secrara
akhirnya mengadopsi peran-peran kultural ditetapkan sebagai sesuatu yang “sesuai” atau “tidak sesuai”
gender yang klop atau tidak klop dengan gender tertentu. Pada usia 5 tahun, stereotip gender mulai
dengan stereotip ini. diperoleh.

Umur 2 – 4 tahun
Anak belajar tentang kategori-kategori laki-laki dan perempuan
dan memberi label laki-laki atau perempuan pada dirinya sendiri
dan orang lain, meskipun dengan pemahaman yang terbatas
tentang apa arti persisnya.

Konsepsi
Gen-gen pada khromosom jenis kelamin menentukan apakah
laki-laki biologik atau perempuan biologik terlah dikonsepsikan

199
Seiring berjalannya waktu, pelajaran-pelajaran itu kemudian akan benar-
benar dimengerti. Ketika duduk di bangku kelas enam sekolah dasar, sebagian
besar anak di Amerika Serikat telah mempelajari semua stereotip gender yang
menonjol di sana (Carter dan McCloskey, 1984), meskipun secara pribadi
mungkin tidak setuju dengannya. Mereka mengerti tentang perilaku apa yang
dianggap sesuai dan tidak sesuai untuk masing-masing gender. Kemajuan
perkembangan ini diikhtisarkan di dalam Gambar 5.9.
Isi spesifik strereotip tentang maskulinitas dan femininitas di dalam
budaya kita dan kemungkinan perilaku non-stereotip disajikan di bagian
Tonggak Bersejarah di bawah ini.

Tonggak Bersejarah di dalam Psikologi Sosial:


Konsep Bem tentang Androgini Psikologik sebagai Alternatif
untuk Maskulinitas versus Femininitas
Dalam mengintroduksikan bagian ini, kami ingin mengemukakan bahwa konsep
ini merupakan bagian dari revolusi yang sangat penting di dalam psikologi
sosial. Bidang psikologi sosial, seperti kebanyakan bidang ilmiah lainnya, adalah
bidang yang secara historik didominasi oleh pria. Di antara banyak implikasinya
adalah penekanan yang tampaknya terjadi secara otomatik pada isu-isu
“maskulin” (agresi, kepemimpinan, konflik, prestasi, dan lain-lain) dan
pengabaian isu-isu “feminin” yang dewasa ini populer seperti perbedaan jenis
kelamin, stereotip gender, seksisme, pelecehan, dan banyak topik lain yang
merupakan aspek penting di dalam arus-utama psikologi sosial dewasa ini.
Mengapa berubah? Tidak seorangpun yang dapat memastikannya.
Penjelasan yang mungkin untuk itu antara lain adalah kombinasi antara beberapa
perubahan pandangan masyarakat, bangkitnya femininisme, pemahaman isu-isu
gender yang semakin meluas, dan peningkatan yang dramatik pada proporsi
wanita yang memasuki program-program doktoral. Apapun penjelasan
mutlaknya, pada tahun 1970an penelitian jauh lebih banyak dilakukan pada isu-
isu yang berhubungan dengan perempuan. Banyak ahli psikologi sosial wanita
yang menantang aturan lama dengan mengintroduksikan lini-lini penelitian baru
yang kreatif. Di antara mereka antara lain adalah Janet Spence (misalnya,
Spence, Helmreich, dan Stapp, 1973), Eleanor Maccoby (misalnya, Maccoby
dan Jacklin, 1974), Kay Deaux (misalnya, Deaux, 1976), Alice Eagly (misalnya,
1978), dan banyak lagi yang lainnya, termasuk Sandra Bem, yang hasil karyanya
akan kami uraikan di bagian ini.
Di dalam dua artikel yang diterbitkan pada pertengahan tahun 1970an,
Bem (1974, 1975) mengikhtisarkan sebuah kerangka kerja teoritik dan
mengembangkan alat pengukuran yang sangat berpengaruh pada pelbagai studi
tentang gender. Lebih dari dua dekade setelah itu, hasil karya ini, ditambah
kontribusi-kontribusinya yang lebih mutakhir, masih terus mempengaruhi cara
konseptualisasi isu-isu gender.
Bem menyatakan bahwa sampai sengan tahun 1970an, para ahli ilmu
psikologi, seperti orang-orang lain pada umumnya, cenderung menganggap
Androgini. Di dalam studi maskulinitas dan femininitas sebagai dua hal yang terletak di dua titik ujung
tentang gender, pada sebuah kontinum tunggal yang sama. Dengan demikian setiap individu
kecenderungan individu
untuk melaporkan bahwa
dirinya sekaligus memiliki
ciri-ciri “maskulin” dan 200
“feminin” tradisional.
adalah feminin atau maskulin, dan tidak mungkin sekaligus feminin dan
maskulin dengan derajat yang sama tingginya.
Bem – dan juga Kagan (1964) dan Kohlberg (1966) mengemukakan
bahwa banyak orang yang memang cocok dengan stereotip gender maskulin dan
feminin. Mereka yang sangat terstereotip termotivasi untuk berperilaku dengan
cara yang konsisten dengan peran gender yang diperoleh dari budayanya dan
kemudian diinternalisasikannya. Perilaku yang “tidak sesuai” dengan gendernya
harus ditekan untuk menghindari perasaan mengganggu akibat konsep-dirinya
yang maskulin atau feminin dalam arti sempit.
Tetapi, bagaimana jika ciri-ciri pribadi yang terkait dengan maskulinitas
dan femininitas itu terletak pada kontinum-kontinum independen yang berkisar
mulai dari maskulinitas rendah sampai tinggi dan dari femininitas rendah sampai
tinggi? Dalam kasus semacam ini, banyak individu yang dapat saja menunjukkan
ciri-ciri yang terkait dengan kedua gender sekaligus (misalnya, seseorang dapat
sekaligus kompetitif dan sensitif terhadap kebutuhan orang lain) dan itu berarti
bahwa mereka menunjukkan ciri-ciri androgini psikologik. Seseorang yang
androgini mengkombinasikan antara ciri-ciri perilaku maskulin-tradisional dan
feminin-tradisional.
Untuk mengukur ciri-ciri yang terkait dengan gender dan untuk
menindaklanjuti formulasi baru ini, ia mengembangkan the Bem Sex-Role
Inventory (BSRI) (perlu diketahui bahwa menurut dalam terminologi baru, skala
ini diberi nama the Bem Gender-Role Inventory). Bem mulai dengan sekitar dua
ratus ciri-ciri kepribadian positif yang bernada feminin atau maskulin dan dua
ratus ciri-ciri kepribadian lain yang tampaknya tidak berhubungan dengan
gender. Maskulinitas didefinisikan dengan atribut-atribut yang berhubungan
Sandra Bem. Sandra Bem dengan orientasi instrumental (“menyelesaikan pekerjaan”) dan femininitas
mendapatkan gelar doktornya dengan atribut-atribut yang berhubungan dengan orientasi ekspresif (“kepedulian
pada tahun 1968 dari
University of Michigan. afektif terhadap kesejahteraan orang lain”).
Beberapa tahun kemudian, Para mahasiswa undergraduate diminta menilai apakah masing-masing
ketika mengajar di Stanford
University, ia mengembangkan
ciri kepribadian ini secara sosial diharapkan untuk laki-laki dan/atau untuk
the Bem Sex-Role Inventory perempuan. Instrumen finalnya berisi dua puluh ciri yang diharapkan untuk laki-
dan melaksanakan penelitian laki tetapi tidak untuk perempuan, dua puluh ciri yang diharapkan untuk
yang mengkaji efek-efek perempuan tetapi tidak untuk laki-laki, dan dua puluh ciri yang netral-gender
identifikasi terhadap stereotip (tidak lebih diharapkan untuk salah satu gender dibanding gender yang lainnya).
gender versus pengadopsian
ciri-ciri gender yang
Tabel 5.1 memperlihatkan sejumlah contoh untuk ketiga jenis aitem yang
berlawanan, ciri-ciri kedua terdapat di dalam BSRI. Menarik untuk dicatat bahwa stereotip-stereotip gender
gender sekaligus, atau tidak ini hanya menunjukkan sedikit sekali perubahan dari waktu ke waktu (Martin,
mengadopsi kedua-duanya. 1987; Raty dan Snellman, 1992).
Sejak tahun 1981 ia telah
menyandang gelar profesor di Di dalam mengerjakan tes Bem, seseorang harus menjawab seberapa
Cornell University. Bersama akurat keenam puluh aitem itu dengan gambaran tentang dirinya sendiri.
beberapa hasil karya Caranya adalah dengan cara menandai salah satu pilihan jawaban yang berkisar
kontemporernya di tahun mulai “tidak pernah atau hampir tidak pernah sesuai” sampai “selalu atau hampir
1970an, Bem adalah salah
satu tokoh terdepan di bidang selalu sesuai.” Berdasarkan jawaban-jawaban ini, orang itu diklasifikasikan
psikologi sosial dengan sebagai sex-typed atau tipikal-jenis kelamin (gender typed atau tipikal-gender),
penekanan barunya pada isu- yaitu laki-laki yang maskulin atau perempuan yang feminin; berlawanan dengan
isu gender. jenis kelamin atau gendernya, yaitu laki-laki yang feminin atau perempuan yang
maskulin; androgini (laki-laki atau perempuan yang memiliki jumlah atribut
maskulin dan feminin yang relatif berimbang); atau tak-terbedakan (yang

201
menyatakan bahwa sebagian besar sifat maskulin dan feminin itu tidak
menggambarkan tentang dirinya).

Tabel 5.1. Stereotip Gender Sesuai Hasil Identifikasi Bem


Seseorang yang mengerjakan tes BSRI diminta menilai seberapa tepat sejumlah karakteristik
menggambarkan tentang dirinya. Yang diperlihatkan di sini adalah aitem-aitem yang dipersepsi
lebih menunjukkan ciri-ciri laki-laki dibanding perempuan atau sebaliknya. Artinya, aiem-aitem itu
mewakili stereotip gender yang meluas di dalam budaya kita.

Diskripsi-Diri pada the Bem Sex-Role Inventory (BSRI) yang Berkorespondensi dengan Stereotip
Maskulin dan Feminin
Ciri-ciri Stereotip Laki-laki Ciri-ciri Stereotip Perempuan
Bertindak sebagai pemimpin Penuh kasih
Agresif Riang
Ambisius Kekanak-kanakan
Analitik Senang menghibur orang lain
Asertif Tidak senang menggunakan bahasa yang kasar
Atletik Ingin meredakan perasaan orang lain yang terluka
Kompetitif Feminin
Mempertahankan keyakinan sendiri Senang dirayu
Dominan Lembut
Kuat Mudah dibohongi
Mempunyai kemampuan kepemimpinan Mencintai anak-anak
Independen Setia
Individualisitik Peka terhadap kebutuhan orang lain
Mengambil keputusan dengan mudah Malu-malu
Maskulin Lemah-lembut dalam berbicara
Percaya diri Simpatik
Mencukupi diri sendiri Mudah tersinggung
Berkepribadian kuat Memahami orang lain
Bersedia mempertahankan pendiriannya Hangat
Bersedia mengambil risiko Senang mengalah

(Sumber: Berdasarkan infomasi di dalam Bem, 1974)

Berdasarkan sampel penelitian, diperkirakan bahwa hanya 30 persen laki-


laki yang berpegang teguh pada tipe gender maskulin dan persentase yang sama
juga berlaku untuk perempuan yang berpegang teguh pada tipe gender feminin.
Sekitar sepertiga dari masing-masing jenis kelamin adalah androgini, sementara
sisanya terbagi untuk kategori tak-terbedakan dan kategori lintas-gender.
Terlepas dari adanya tanda-tanda menurunnya adherensi pada detil-detil
konsep yang terdapat pada instrumen pengukuran ini, pengaruh kontribusi Bem
dapat kita lihat dengan jelas. 
202
Pelbagai istilah yang digunakan oleh mereka yang mengkaji seks dan gender
dapat mengakibatkan kebingunan, sehingga mungkin ada gunanya untuk selalu
mengingat diferensiasi yang dibuat Beckwith (1994) untuk seks/jenis kelamin
(kelelakian atau kewanitaan secara biologik), gender (kategorisasi sosial untuk
perempuan dan laki-laki), identitas gender (persepsi-diri seseorang apakah
dirinya laki-laki atau perempuan), dan identifikasi yang stereotip-gender
(maskulinitas atau femininitas seperti yang diukur dengan BSRI).

Perilaku Peran-Gender dan Reaksi Orang Lain terhadap


Perilaku Peran-Gender
Begitu orang memperoleh pola karakteristik yang berhubungan dengan gender
tertentu, maka mereka cenderung berperilaku dengan cara-cara yang konsisten
dengan asumsi mereka tentang apa yang dianggap sesuai dengan gender tersebut
(Chatterjee dan McCarrey, 1991). Artinya, mereka berperilaku dengan cara-cara
yang diidentifikasi sebagai perilaku yang maskulin, feminin, androgini, atau
tidak memenuhi semua ciri-ciri tersebut.

Perilaku Androgini versus Perilaku yang Tipikal Gender. Banyak penelitian


tentang gender dan peran gender yang difokuskan pada androgini. Asumsinya
seringkali adalah bahwa peran androgini lebih disukai dibanding peran yang
tipikal-gender laki-laki atau perempuan. Tetapi, tentu saja ada banyak
pertentangan pendapat mengenai asumsi ini. Mungkin akan lebih bermanfaat jika
kita menganggap adherensi terhadap peran gender ini terletak di sepanjang
sebuah kontinum yang bergerak mulai dari androgini, ke maskulinitas dan
femininitas yang relatif tradisional, sampai ke ideologi peran-gender ekstrim
(Hamburger dan kawan-kawan, 1995; Mosher, 1991; Murnen dan Byrne, 1991).
Banyak studi di masa lalu yang konsisten dengan pernyataan bahwa
“androgini itu baik”. Sebagai contoh, dibandingkan dengan orang-orang yang
tipikal-gender, laki-laki dan perempuan androgini ditemukan lebih disukai
(Major, Carnevale, dan Deaux, 1981); mempunyai penyesuaian yang lebih baik
(Orlofsky dan O’Heron, 1987; Williams dan A’lessandro, 1994); lebih adaptabel
terhadap tuntutan-tuntutan situasi (Prager dan Bailey, 1985); lebih fleksibel
dalam menghadapi stres (McGall dan Struthers, 1994); lebh merasa nyaman
dengan seksualitasnya (Garcia, 1982); merasa lebih puas dengan hubungan
interpersonalnya (Rozenweig dan Daley, 1989); dan di dalam sampel orang-
orang lanjut usia, lebih merasa puas dengan kehidupannya (Dean-Church, dan
Gilroy, 1993). Pasangan-pasangan androgini melaporkan kehidupan perkawinan
yang lebih bahagia dengan pasangannya dibanding pasangan-pasangan dengan
kombinasi peran lain (Zammichieli, Gilroy, dan Sherman, 1988). Di samping itu,
kepuasan seksual juga lebih besar jika salah satu atau kedua pasangan bersifat
androgini dibanding jika kedua-duanya tipikal-gender (Safir dan kawan-kawan,
1982).
Adherensi yang kuat pada peran-peran gender tradisional seringkali
ditemukan berhubungan dengan pelbagai masalah. Sebagai contoh, laki-laki
yang mengidentifikasikan diri dengan peran maskulin ekstrim menunjukkan
perilaku yang lebih keras dan agresif dibanding laki-laki yang mempersepsi

203
bahwa dirinya memiliki ciri-ciri feminin tertentu (Finn, 1986). Di kalangan laki-
laki remaja, maskulinitas yang tinggi berhubungan dengan jumlah partner
seksual yang lebih banyak, dengan pandangan bahwa perempuan dan laki-laki
adalah musuh, tingkat penggunaan kondom yang rendah, dan keyakinan bahwa
menghamili pasangan adalah ciri maskulinitas yang positif (Pleck, Sonnestein,
dan Ku, 1993). Baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki peran feminin
murni mempunyai self-esteem yang lebih rendah dibanding individu yang
maskulin atau androgini (Lau, 1989). Di dalam situasi interpersonal, femininitas
yang tinggi berhubungan dengan perasaan tertekan setelah gagal melaksanakan
sebuah tugas interpersonal (sayers, Baucom, dan Tierney, 1993). Kebanyakan
temuan menunjukkan bahwa peran gender tertentu lebih baik dibanding yang
lainnya. Di antara beberapa temuan yang bersifat netral – terlepas dari jenis
kelaminnya, orang-orang yang femininitasnya tinggi memberi makna yang lebih
tinggi pada Hari Valentin dibanding orang-orang yang femininitasnya rendah;
femininitas juga memprediksi kemungkinan mengenakan baju berwarna merah
pada hari itu (Ogletree, 1993).
Aube dan rekan-rekan sejawatnya (1995) mengemukakan tentang
pentingnya mengkaji tidak hanya laporan-diri yang dibuat oleh para partisipan di
dalam studi-studi peran-gender, tetapi juga mengkaji bagaimana pendapat orang
lain terhadap mereka. Sebagai contoh, di dalam salah satu studi, partisipan pria
yang maskulinitasnya tinggi menggambarkan hubungannya dengan teman
sekamar dan partner romantiknya lebih positif dibanding mereka yang
maskulinitasnya rendah, tetapi hubungan semacam ini tidak mendapat
konfirmasi ketika teman sekamar dan partner romantiknya yang ditanyai tentang
pandangannya terhadap partisipan itu.

Efek Peran-Gender terhadap Perilaku di Rumah dan di Tempat Kerja.


Perlu diingat bahwa ada konsensus mengenai karakteristik apa yang lebih
disukai untuk masing-masing gender dan bahwa stereotip-stereotip ini
mempengaruhi perilaku interpersonal melalui pelabagai cara (lihat Bab 6 untuk
mendapatkan informasi tambahan tentang bagaimana stereotip gender dapat
menyebabkan timbulnya prasangka dan diskriminasi).
Peran gender masih mempengaruhi tindakan pria dan wanita di rumah
(Major, 1993). Bahkan jika kedua pasangan itu sama-sama bekerja di pekerjaan-
pekerjaan dengan tuntutan dan penghasilan tinggi, pekerjaan rumah tangga
kebanyakan terbagi sesuai garis gender tradisional (lihat Bab 8). Artinya, laki-
laki lebih sering bertugas mengurus pembuangan sampah, memperbaiki barang-
barang, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan di pekarangan, sementara
perempuan bertugas membersihkan rumah, memasak, dan merawat anak. Secara
total, perempuan menghabiskan waktu lebih banyak untuk melakukan pekerjaan
rumah tangga dibanding pria, terlepas dari apakah mereka secara pribadi bersifat
tipikal-gender atau androgini (Gunter dan Gunter, 1991). Ketika sampai pada
tugas membersihkan kamar mandi atau mengecat garasi, peran gender secara
kultural tampaknya lebih kuat dibanding diskripsi-diri pada BSRI.
Di tempat kerja, gender dan peran-gender juga masih mempunyai makna
sentral. Sebagai contoh, ketika perempuan dipilih untuk melakukan suatu
pekerjaan dan kemudian diberitahu bahwa alasan utama penunjukan itu adalah
gender, maka mereka akan mengevaluasi performa kerjanya kurang adekuat
dibanding perempuan yang diberi tahu bahwa penunjukkannya berdasarkan

204
prestasi (Turner, Pratkanis, dan Hardaway, 1991). Pria mungkin akan bereaksi
dengan cara yang sama dalam hal ini, tetapi tampaknya belum ada penelitian
yang dilakukan untuk melihat reaksi pria jika diberi tahu bahwa penunjukkannya
pada suatu posisi di pekerjaannya sebagian besar adalah karena gendernya.
Gender juga mempengaruhi ekspektansi. Sebagai contoh, Subich dan
rekan-rekan sejawatnya (1986) memberikan informasi tentang tiga macam
pekerjaan yang tidak lazim untuk para mahasiswa undergraduate – yaitu asisten
administratif, analis informasi, dan pengatur lalu-lintas. Para partisipan diminta
menyebutkan ketertarikannya pada masing-masing pekerjaan. Dibandingkan
perempuan, laki-laki mengekspresikan minat yang lebih tinggi pada bidang-
bidang yang tidak dikenal, ekspektasi yang lebih tinggi terhadap kesuksesan, dan
lebih menekankan tentang gaji. Laki-laki lebih menekankan motif-motif
ekstrinsik, sementara perempuan lebih memperhatikan tentang apakah pekerjaan
itu akan memberikan kepuasan secara pribadi, sehingga lebih menekankan
tentang motif-motif intrinsik dalam memilih pekerjaan. Meskipun tidak alasan
untuk memberi label “lebih baik” pada salah satu motivasi dibanding motivasi
yang lain, tetapi motivasi-motivasi itu jelas tidak sama.
Terlepas dari semakin meningkatnya persentase perempuan di dalam
angkatan kerja (Norwood, 1992; Uchitelle, 1994) dan undang-undang federal
yang melarang diskriminasi berbasis gender, pembatasan pekerjaan yang
berhubungan dengan gender masih terus berlangsung di pasar kerja (Kelley dan
Steeter, 1992). Di dunia akademik, misalnya, perempuan di Amerika Serikat
masih terhitung kurang beruntung dibanding laki-laki dalam hubungannya
dengan gelar doktor, gaji, dan gelar profesor (Dcallaci, 1993). Salah satu
alasannya adalah karena perempuan lebih cenderung percaya bahwa mereka
memang pantas menerima gaji yang lebih rendah dibanding pria (Moore, 1994).
Hal ini diduga disebabkan karena mereka diajari untuk mengevaluasi dirinya
sendiri dengan cara yang kurang egoistik.
Meskipun seksisme dan stereotip gender dapat memainkan peran penting
di dalam perbedaan kesuksesan laki-laki dan perempuan, Tannen (1994)
menekankan pada pentingnya perbedaan gender dalam gaya berkomunikasi.
Sebagai contoh, kemungkinan perempuan untuk membual tentang prestasinya
tidak sebesar laki-laki, dan salah satu akibatnya adalah kegagalan memperoleh
penghargaan yang sepadan ketika mereka menunjukkan hasil pekerjaan yang
amat sangat bagus (Tannen, 1995). Perempuan diharapkan menunjukkan emosi
positif terhadap kesuksesan orang lain, tetapi tidak terhadap prestasinya sendiri
(Stoppard dan Gruchy, 1993). Tannen (1994) juga mengemukakan bahwa
promosi perempuan ke posisi manajemen sering mengalami hambatan karena
laki-laki yang berwenang memutuskan promosi mereka salah
menginterpretasikan gaya komunikasi khas perempuan sebagai tanda “tidak
mampu memutuskan, tidak mampu memegang kewenangan, dan tidak
kompeten.” Manajer perlu mengetahui bahwa diskripsi-diri yang cenderung
merendah versus diskripsi diri yang cenderung terkesan “membusungkan dada”
sesungguhnya mewakili aspek gaya pribadi dan bukan mencerminkan sifat
aktualnya.
Jika perempuan mampu meraih posisi tingkat tinggi di sebuah organisasi,
mereka menunjukkan perbedaan dengan pria dalam hal cara berkomunikasi.
Pemimpin perempuan cenderung konektif dan interaktif. Artinya, perempuan
lebih menyukai kolaborasi, konsultasi, dan negosiasi, sementara pria cenderung
menekankan pada kompetisi, mengajukan pelbagai tuntuan, dan mementingkan
205
penghargaan untuk prestasi individual (Lipman-Blumen, 1988; Rosener, 1990).
Self-esteem berhubungan dengan gaya manajerial yang berbeda ini. Untuk laki-
laki, self-esteem berhubungan dengan prestasi pribadi; untuk perempuan, self-
esteem adalah fungsi keterdekatan interpersonal yang positif (Joseph, Markus,
dan Tafarodi, 1992). Bahkan pada masa kanak-kanak, anak perempuan lebih
peduli dengan kesuksesan hubungan interpersonal dibanding anak laki-laki
(Malonis dan Milich, 1993).
Ketika perempuan mampu mengatasi pelbagai kendala dan mendapatkan
keberhasilan di bidang-bidang “maskulin”, mereka seringkali dianggap rendah
atau dikritik. Sebagai contoh, di dalam pengadilan terhadap O.J. Simpson, jaksa
penuntut Marcia Clark yang mengubah gaya rambutnya menempati halaman
depan surat kabar, dan oleh para pembela pria ia dilukiskan sebagai “wanita yang
sangat menarik” dengan “tungkai yang indah” tetapi “punya suara yang
melengking” dan “sedikit keras” (Toobin, 1995). Coba bayangkan tentang interes
yang sama pada gaya rambut jaksa penuntut pria, keatraktifan fisiknya, atau
sikapnya yang terlalu keras.
Apa yang terjadi jika perempuan mampu menyamai laki-laki dalam
pekerjaan tertentu? Reaksi yang lazim terdengar adalah “there goes the
neighborhood.” Artinya, ketika penghalang di pekerjaan tertentu dapat
diruntuhkan dan semakin banyak perempuan yang menempati pekerjaan
tersebut, maka pekerjaan itu kemudian dianggap kurang prestisius (Johnson,
1991). Reaksi negatif terhadap peran feminin begitu meluas sehingga satu-
satunya cara untuk menjelaskan tentang kesuksesan perempuan di dalam suatu
pekerjaan adalah dengan mengevaluasi pekerjaan itu sendiri.

Mengapa Peran Gender Masih Sangat Kuat? Konsep perbedaan laki-laki dan
perempuan dan konsep superioritas laki-laki mempunyai sejarah yang panjang.
Di dalam tradisi Yahudi-Kristen, pria pada mulanya diidentifikasi sebagai
pemilik keluarganya (Wolf, 1992). Di dalam Talmud Yahudi, kategori properti
itu meliputi ternak, perempuan, dan budak. Di dalam Perjanjian Baru, Efesia
(5:22-24) memberi perintah sebagai berikut kepada para wanita Kristen “Engkau
para isteri, perlakukan dirimu di hadapan suamimu seperti engkau perlakuan
dirimu di hadapan Tuhan. Sebagai pemimpin isteri, suami bertindak seperti
Kristus yang mengepalai Gerejanya.”
Selama berabad-abad, perbedaan gender masih mendapatkan dukungan
kultural yang kuat. Sebagai contoh, sampai dengan tahun-tahun belakangan ini,
di dalam buku cerita dan dongeng untuk anak-anak, stereotip anak laki-laki dan
anak perempuan serta stereotip pria dan wanita diterima secara umum (McArthur
dan eisen, 1976; Witzman dan kawan-kawan, 1972). Artinya, pria dan anak laki-
laki cenderng memainkan peran aktif dan mengambil inisiatif, sementara anak
perempuan menjadi pengikut atau perlu diselamatkan ketika dirinya sendiri
menghadapi bahaya. Keartifisialan stereotip ini menjadi semakin tampak nyata
pada tahun 1970an. Di dalam He Bear, She Bear, the Berenstains
menginformaskan kepada para pembacanya di tahun 1974 bahwa peran ayah
memang untuk anak beruang yang laki-laki dan peran ibu untuk anak beruang
yang perempuan – tetapi gender itu sendiri tidak terikat pada aktivitas atau
pekerjaan tertentu – “Tidak satu hal pun yang tidak dapat kita coba. Kita dapat
melakukan semua hal, tidak peduli apakah kita laki-laki atau perempuan.”

206
Terlepas dari adanya kesadaran baru ini, cerita-cerita lama masih tetap
populer. Lurie (1993) menyatakan bahwa dongeng-dongeng tradisional sengaja
dirancang untuk memberikan pelbagai pelajaran moral dan perilaku kepada
anak-anak. Alur cerita yang lazim berlaku adalah bahwa anak menerima
penjelasan tentang suatu aturan. Jika tidak patuh, mereka akan menerima
konsekuensi negatif. Sebagai contoh, Si Kerudung Merah mestinya mengikuti
saran ibunya tentang cara paling aman untuk pergi ke rumah neneknya. Ancaman
hukuman jika ia melanggar adalah si serigala lapar. Untungnya, seorang pria
berkampak mampu menyelamatkan gadis itu dari konsekuensi negatif akibat
tindakan independen-sembrononya.
Tak terhitung banyaknya dongeng-dongeng kuno maupun film-film
moderen yang didasarkan pada formula semacam itu. Pahlawan wanita seperti
Snow White, Sleeping Beauty, Cinderella, the Little Mermaid, semuanya
mengalami masalah serius. Harapan satu-satunya adalah cinta seorang pangeran
tampan yang menciumnya dan/atau menaklukkan tokoh-tokoh jahat sehingga
pasangan itu akan hidup bahagia selama-lamanya. Sementara peran laki-laki
adalah sebagai pemimpin (seperti di dalam Bambi, the Lion King, The Jungle
Book, Dumbo, dan lain-lain), peran perempuan hanyalah melahirkan anak yang
nantinya menjadi pahlawan atau bertindak sebagai objek seks yang kemudian
akan mengandung benih keturunannya. Studi terhadap film-film, opera sabun,
dan iklan prime-time (ditayangkan di jam-jam tayang favorit di televisi)
menunjukkan bahwa peran gender tradisional semacam itu masih banyak
dipotret (Helman dan Bookspan, 1992). Sebuah survei informal terhadap film-
film yang ditayangkan di wilayah ibu kota New York pada musim panas tahun
1995 menemukan bahwa dari tiga belas film yang dikategorikan G, PG, dan PG-
13, pria mendapat peran utama di 10 film di antaranya (termasuk A Kid in King
Arthur’s Court, The Indian in the Cupboard, Free Willy 2, dan Dumbo Drop).
Perempuan hanya memainkan peran utama di tiga film sisanya, yaitu di film
Clueless, tentang seorang murid sekolah menengah atas yang berpikir bahwa
Kuwait terletak di suatu tempat di San Fernando Valley; Congo, yang
menceritakan tentang Amy, gorila betina yang dapat berbicara; dan The Net yang
pahlawan wanitanya sangat manusiawi dan sekaligus cerdas. Sepuluh film yang
mendapat kategori R terbagi rata antara film-film yang tokoh utamanya pria dan
wanita. Ini barangkali terdengar sebagai pertanda baik sampai Anda nantinya
menyadari bahwa semua tokoh utama pria itu adalah pahlawan dalam film-film
laga (Batman Forever, Under Siege 2, Virtuosity, dan lain-lain), sementara tiga
dari lima peran utama wanita adalah pelacur paruh-waktu (Belle du Jour),
lesbian muda (Two Girls in Love), dan makhluk jahat yang sebagian gennya
adalah dari makhluk planet lain (Species). Sejauh ini, tampaknya tidak ada bukti
yang cukup kuat bahwa industri hiburan cukup peduli pada isu kesetaraan
gender.
Di luar buku, televisi, dan film – bagaimana dengan dunia baru komputer
beserta pelbagai alat permainan dan pealatan belajar, baik dalam bentuk hard
drives, disket, dan CD-ROM? Ceritanya tidak jauh berbeda, Kebanyakan pelajar
Penggambaran Peran Gender yang duduk di kelas enam, tujuh, dan delapan bereaksi dengan menekankan pada
Nontradisional di dalam Iklan. program-program komputer yang berlawanan dengan stereotip gender (Cooper,
Meskipun iklan adalah salah Hall, dan Huff, 1990). Mungkin, hal ini disebabkan karena program-program
satu di antara banyak tempat di pendidikan didasarkan pada stereotip laki-laki. Padahal jumlah anak laki-laki
mana stereotip gender
tradisional diperlihatkan secara
jauh melampaui anak perempuan dalam hal keikutsertaan dalam kursus
reguler, tetapi dewasa ini
semakin banyak iklan yang
berusaha menarik perhatian
dengan membalik peran pria dan 207
wanita.
komputer, penggunaan laboratorium komputer, keikutsertahan dalam computer
camps, dan minat terhadap bidang sains komputer.

Bergerak di Luar Stereotip Gender: Tanda-tanda Kemajuan. Masih ada


harapan akan terjadinya gerakan yang sedikit demi sedikit menjauhi stereotip
gender di dalam budaya kita. Dalam arti tertentu, terlepas dari asumsi bahwa
kebanyakan individu secara pribadi masih berpegang pada stereotip ini,
partisipan penelitian ternyata lebih cenderung untuk berpikir secara
nonstereotipikal atau cenderung membuat estimasi yang terlalu rendah tentang
perbedaan gender dan bukan cenderung membuat estimasi yang terlalu tnggi
tentang hal itu (Swim, 1994). Tetapi, di dalam kondisi-kondisi yang bersifat
mengancam, stereotip dan perbedaan gender menjadi menonjol (Grant, 1993).
Selain itu, sebagian buku cerita yang dewasa ini diterbitkan mengisahkan bahwa
pahlawan wanita yang berani dan cerdas kalau perlu juga dapat melawan,
menyelamatkan korban laki-laki, dan itu juga berarti bahwa mereka melakukan
tindakan feminin-nontradisional (Phelps, 1981). Di dalam film, pahlawan wanita
seperti Pocahontas, Sandra Bullock sebagai jago komputer (The Net), dan
Michelle Pfeiffer sebagai mantan-angkatan laut yang mengajar di sebuah sekolah
menengah yang keras (Dangerous Minds) mewakili sebuah tradisi baru dan
berbeda. Bahkan, iklan pun kadang-kadang sudah mulai mempertontonkan pria
dan wanita dengan cara yang nontradisional (Kilbourne, 1994). Apakah model-
model peran itu ada artinya? Perlu diingat bahwa ekspektansi anak-anak tentang
kemampuan perempuan mengalami kenaikan ketika mereka mendengar cerita-
cerita yang peran laki-laki dan perempuan tradisionalnya dibalik (Scott dan
Feldman-Summers, 1979). Mungkin, penayangan tokoh-tokoh seperti Roseanne,
Mrs. Doubtfire, dan Mighty-Morphin-Power-Rangers akan dapat memberikan
efek-efek positif yang bersifat menetap.

Jika Ditemukan Perbedaan di antara Laki-laki dan Perempuan,


Apakah Perbedaan itu Berdasarkan Seks, Gender, atau Kedua-
duanya?
Studi-studi tentang identitas gender memperlihatkan dengan jelas bahwa faktor-
faktor sosial menentukan bagaimana kelelakian atau kewanitaan didefinisikan.
Penelitian lintas-budaya juga memperlihatkan adanya bukti bahwa ciri-ciri yang
berhubungan dengan gender memperlihatkan perbedaan jika pengaruh
kulturalnya juga berbeda. Tetapi, temuan itu tidak memperlihatkan kemungkinan
keterkaitan genetik pada perbedaan antarjenis kelamin dalam hal kepribadian,
kemampuan, kecederungan respon, dan lain-lain (Diamond, 1993; Wright, a994).
Beberapa perbedaan perilaku tertentu antara pria dan wanita memang dapat
dianggap penting, tetapi pertanyaannya adalah apakah perbedaan itu didasarkan
pada aspek-aspek biologik, belajar, atau kombinasi antara keduanya (Eagly dan
Steffen, 1986). Menurut Eagly (1995), jawaban atas pertanyaan ini kadang-
kadang melibatkan pertentangan antara data ilmiah dengan agenda politik
kelompok feminis, tetapi yang lain berpendapat bahwa tidak ada agenda
kelompok feminis yang dapat dikatakan seragam (Hyde dan Plant, 1995). Hal
yang menarik, di kalangan para mahasiswa undergraduate, baik mahasiswa
maupun mahasiswi percaya bahwa faktor-faktor sosial dan biologik masing-
masing memainkan peran, tetapi sosialisasi merupakan determinan yang lebih
penting (Martin dan Parker, 1995).
208
Perilaku Interpersonal. Di dalam berinteraksi dengan orang lain, perempuan
lebih cenderung saling memberikan hadiah/penghargaan dibanding pria (Major
dan Daeux, 1982) atau cenderung mau mengorbankan dirinya sendiri untuk
menolong orang lain (Leventhal dan Anderson, 1970).
Banyak peneliti yang berasumsi bahwa perbedaan antara laki-laki dan
perempuan ini didasarkan pada ekspektansi-ekspektansi hasil belajar yang terkait
dengan peran gender (Major danAdams, 1983). Dengan demikian mestinya tidak
mengherankan jika perempuan yang di dalam hidupnya mengalami banyak
tekanan sosial, yang memaksanya menduduki tempat kedua di dalam situasi-
situasi asertif dan agresif, kemudian cenderung menghadapi orang lain dengan
cara yang berbeda dengan pria (Nadkarni, Lundgren, dan Burlew, 1991).
Mungkin, perempuan mempunyai social skills yang lebih baik dibanding pria
(Margalit dan Eysenck,1990) karena mereka mau tak mau memang harus begitu.
Peneliti-peneliti lain menekankan tentang pentingnya perbedaan
biokimiawi. Hormon laki-laki – testosteron – mempunyai efek terbatas pada
perilaku seksual, tetapi hormon ini sangat mempengaruhi kecenderungan untuk
mendominasi dan mengontrol orang lain. Ada perkiraan bahwa di kalangan
nenek moyang kita dahulu, pria yang menghasilkan banyak testosteron
cenderung suka menyerang dan dominan, yang memungkinkan mereka
menaklukkan laki-laki lain yang menjadi rivalnya, memungkinkan mereka
mendapatkan pasangan, dan dengan demikian juga memungkinkan mereka untuk
meneruskan gennya, termasuk gen-gen yang mengontrol produksi testosteron
keturunannya. Pria moderen mempunyai tingkat testosteron yang lebih tinggi
dibanding perempuan dan berperilaku lebih agresif dan lebih dominan (Berman,
Gladue, dan Taylor, 1993), terutama terhadap laki-laki asing (Moskowitz, 1993).
Mungkin, pria lebih cenderung memprakarsai kontak seksual dibanding
perempuan, karena mereka cenderung berperilaku dominan dan bukan karena
adanya perbedaan kebutuhan seksual (Anderson dan Yamani, 1993).
Di samping itu, pria yang memiliki tingkat testosteron tinggi cenderung
memilih pekerjaan yang dominan dan bersifat mengontrol, seperti pengacara,
aktor, politisi, atau kriminal (Dabbs, 1992). Tingkat hormon juga dipengaruhi
oleh situasi, seperti berpartisipasi di dalam olahraga kompetitif atau bahkan
hanya dari menontonnya saja. Dabbs (1993) melaporkan bahwa sebelum
permainan bola basket, tingkat testosteron tim yang bermain maupun para
penggemar prianya menunjukkan kenaikan, dan levelnya semakin meningkat
jika tim tersebut menang.
Karena penelitian-penelitian ini meneliti tentang bagaimana testosteron
mempengaruhi perilaku, maka Anda mungkin bertanya-tanya tentang efek-efek
behavioral dari hormon perempuan – estrogen. Hal yang cukup aneh ditemukan.
Penelitian tentang efek-efek estrogen cenderung dikonsentrasikan pada
konsekuensi-konsekuensi fisiknya, seperti warna kulit, lubrikasi vagina, dan
risiko kanker.

Persepsi-Diri. Perbedaan gender dalam persepsi-diri lazim ditemukan.


Dibanding pria, perempuan menunjukkan kecenderungan yang jauh lebih tinggi
untuk memperhatikan body imagenya (Pliner, Chaiken, dan Flett, 1990), untuk
mengekspresikan ketidakpuasan terhadap tubuhnya (Fagborg, 1993), untuk

209
mengalami gangguan makan (Forston dan Stanton, 1992; Hamilton, Falconer,
dan Greenberg, 1992), dan untuk merasa tertekan (Strickland, 1992).
Kegemukan adalah isu khusus untuk perempuan. Ketika pria menyalahkan
perempuan yang mengalami kegemukan (“Itu ‘kan karena kesalahanmu
sendiri”), perempuan cenderung menerima evaluasi ini. Ketika perempuan yang
kegemukan dianggap sebagai teman kencan yang tidak disukai oleh seorang laki-
laki, maka mereka tidak menjadi marah kepada laki-laki itu atau
mengatribusikan masalah itu pada prasangka laki-laki itu, tetapi cenderung
menyalahkan dirinya sendiri (Crocker, Cornwell, dan Major, 1993). Meskipun
perempuan yang kegemukan cenderung mengatribusikan penolakan di tempat
kerja disebabkan oleh bias-bias yang tidak adil, tetapi penolakan dalam
hubungan romantik dipersepsi sebagai sesuatu yang beralasan dan dapat
dibenarkan (Crocker dan Major, 1993).
Mengapa penampilan menjadi masalah utama perempuan? Mungkin, hal
ini disebabkan karena sejak bayi orang lain memberikan respon yang berbeda
terhadap penampilan bayi berdasarkan gendernya. Para mahasiswi melaporkan
frekuensi pengalaman masa kanak-kanak yang tinggi di mana mereka diejek oleh
teman-teman dan saudara laki-lakinya akibat penampilan wajah atau berat
badannya (Cash, 1995). Bahkan para orangtua bertindak diskriminatif terhadap
anak perempuan mereka yang kegemukan (tetapi tidak pada anak laki-laki yang
kegemukan) dalam hal penyediaan bantuan keuangan untuk kuliah (Crandall,
1995).
Perhatikan tentang efek-efek negatif dari penekanan khusus yang
ditempatkan oleh masyarakat kita pada keatraktifan fisik perempuan secara
umum maupun pada detil-detil anatomik tertentu seperti ukuran buah dada
(Thomson dan Tantleff, 1992). Salah satu akibatnya adalah bahwa perempuan
seringkali menjadi sangat ringkih dan mudah merasa gelisah ketika
penampilannya dijadikan isu (Mori dan Morey,1991). Sebagai contoh, setelah
melihat gambar-gambar di majalah yang mempertontonkan para model yang
pada umumnya sangat kurus, para mahasiswi memberikan respon berupa
perasaan depresi, stres, merasa bersalah, malu, merasa tidak aman, dan merasa
tidak puas dengan tubuhnya sendiri (Stice dan Shaw, 1994). Ketika beranjak tua,
perempuan dipersepsi semakin kurang feminin, tetapi pria tidak dipersepsi
menjadi kurang maskulin (Deutsch, Zalenski, dan Clark, 1986).
Di luar penampilan, persepsi-diri yang lain juga berbeda pada laki-laki
dan perempuan. Pada pengukuran berdasarkan laporan-diri, perempuan
menggambarkan dirinya sendiri lebih mudah cemas, lebih suka berkelompok,
lebih mempercayai orang lain, dan lebih senang merawat dibanding laki-laki,
sementara pria menggambarkan dirinya lebih asertif dibanding perempuan
(Feingold, 1994). Dibanding pria, perempuan memberikan respon yang disertai
intensitas emosional lebih besar, seperti yang ditunjukkan oleh laporan-diri
mapun pengukuran fisiologis (Grossman dan Wood, 1993). Beberapa bukti
menunjukkan bahwa penjelasan perbedaan gender itu terletak pada perbedaan
area-area otak tertentu yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan dalam
berpikir dan dalam merespon stimului emosional (Gur, 1995; Kolata, 1995;
Shaywitz dan Shaywitz, 1995).
Dewasa ini, tidak seorangpun yang dapat menyimpulkan secara pasti
tentang alasan mengapa pria berbeda dengan wanita. Kami tahu bahwa Anda
mungkin akan merasa frustrasi jika kami mengatakan bahwa ketidakyakinan itu
merefleksikan realitas penelitian ilmiah yang ada saat ini. Tidak sulit bagi kita
210
untuk mendapatkan kepastian di kalangan orang-orang yang percaya pada
pendapatnya sendiri dibanding pada data objektif. Sebagian orang mungkin
masih setuju dengan Ratu Victoria (1881) yang yakin bahwa “Tuhan
mentakdirkan pria dan wanita berbeda” dan bahwa upaya apapun yang dilakukan
untuk mengubahnya dan siapa pun yang berbicara tentang hak-hak perempuan
dianggap “gila, tolol”. Untungnya, dua ratus tahun setelah pandangan semacam
itu dianggap lazim, dewasa ini banyak di antara kita yang merasa yakin bahwa
laki-laki dan perempuan berbeda terutama karena mereka belajar menjadi
berbeda. Jawaban finalnya hampir pasti terletak pada beberapa hal yang spesifik,
seperti: perbedaan-perbedaan mana yang berbasis biologik, perbedaan-perbedaan
mana yang didapat, dan perbedaan-perbedaan mana yang mecerminkan kedua
macam pengaruh tersebut.

PRINSIP-PRINSIP PENGINTEGRASI
1. Salah satu aspek yang amat sangat penting di dalam identitas pribadi
melibatkan suatu skema gender yang kompleks, yang merupakan hasil
pengkategorisasian yang dilakukan sejak bayi, yaitu sebagai laki-laki atau
perempuan. Di luar perbedaan-perbedaan biologik, kita memperoleh sikap,
keyakinan, emosi dan prasangka (Bab 2, 3, 4, dan 6) yang berhubungan
dengan gender – baik terhadap diri kita sendiri maupun orang lain.
2. Begitu kita mempelajari perilaku peran-gender yang “pantas/sesuai” menurut
buaya kita, maka banyak perilaku dan reaksi kita terhadap orang lain yang
dituntun oleh konsepsi kita tentang maskulinitas dan femininitas. Perbedaan
antara pria dan wanit sebagian dipengaruhi oleh keyakinan orangtua dan
keyakinan orang lain yang menonjol, dan diperkuat oleh gambaran-
gambaran yang diberikan oleh media. Efek-efek peran gender ini meluas ke
hubungan-hubungan interpersonal (Bab 8) dan di tempat kerja (Bab 13).

Keanekaragaman Sosial: Sebuah


Analisis Kritis
PERBEDAAN KULTURAL DALAM KEPEDULIAN TERHADAP
BERAT BADAN

Kami telah menjelaskan bahwa wanita mempunyai terhadap kepedulian pada berat badan ini tentunya
kepedulian terhadap penampilan yang lebih besar di akan membantu menunjukkan adanya kemungkinan
dibanding pria, termasuk ketidakpuasan terhadap kekuatan pengaruh masyarakat dalam membentuk
berat badannya. Karena ini adalah perbedaan gender reaksi yang berbeda pada pria dan wanita.
yang kuat, maka perbandingan lintas-budaya

211
Salah satu konsekuensi dari keinginan bahwa perempuan kulit putih dan Asia mempunyai
menjadi lebih kurus adalah dengan melakukan diet kepedulian yang berbeda terhadap berat badan.
ekstrim, yang kadang-kadang dapat berakhir dengan
Tetapi, di luar perkiraan, perbedaan tersebut
kematian. Wardle dan rekan-rekan sejawatnya
bukan didasarkan pada perbedaan rasial dalam hal
(1993) menyatakan bahwa gangguan makan kurang
konsep berat badan ideal. Kedua kelompok setuju
lazim dijumpai di negara-negara yang sedang
bahwa menjadi kurus adalah lebih baik dan bahwa
berkembang di banding di masyarakat Barat. Selain
pria lebih menyukai perempuan yang langsing.
itu, di Inggris dan Amerika Utara, wanita Afrika-
Amerika dan Asia lebih sedikit yang menunjukkan Sebaliknya, tampaknya ada kemungkinan
gangguan makan dibanding wanita Kaukasia. bahwa perbedaan ciri-ciri tubuh aktual turut
Perbandingan etnik serupa juga menunjukkan memberikan sumbangan atas diperolehnya temuan-
bahwa wanita Kaukasia paling cenderung temuan di atas. Para peneliti mencatat bahwa,
menghakimi dirinya sendiri karena menjadi dibanding partisipan penelitian yang berkulit putih,
kegemukan dan paling cenderung mengevaluasi partisipan Asia lebih pendek, lebih ringan, dan
tubuhnya secara negatif. mempunyai massa tubuh yang lebih kecil. Tetapi,
dilihat secara statistik, orang kulit putih masih
Untuk menelaah perbedaan kultural ini
merasa bahwa dirinya lebih besar dibanding orang
dengan lebih cermat, Wardle dan rekan-rekan
Asia, meskipun ukuran tubuh mereka kebetulan
sejawatnya meneliti siswa-siswa perempuan kulit
sama. Di kalangan mereka yang paling kurus, lebih
putih dan Asia (yang berusia antara 14-15 tahun)
banyak perempuan kulit putih yang merasa bahwa
dan mahasiswi (yang berusia antara 19-20 tahun) di
dirinya “gemuk” dibanding perempuan Asia.
London. Pertanyaan pertamanya adalah apakah
perbedaan rasial berhubungan dengan perbedaan Jadi, secara keseluruhan, perbedaan kultural
kepedulian terhadap berat badan. Persentase dalam hal kepedulian terhadap berat badan
perempuan kulit putih dari kedua kelompok umur mendapat konfirmasi, tetapi alasan yang
menunjukkan tingkat keinginan yang lebih tinggi mendasarinya tetap tidak diketahui secara pasti.
untuk mengurangi berat badan dan secara aktif Salah satu hipotesisnya adalah bahwa lebih banyak
mencoba melakukannya. Rangkuman datanya pria kulit putih cenderung menolak perempuan yang
tampak di dalam Gambar 5.10. Selain itu, di terlalu gemuk dibanding jumlah pria Asia yang
kalangan mereka yang mempunyai akses ke berpandangan sama. Penelitian lebih lanjut
timbangan badan, subjek Asia melaporkan bahwa dibutuhkan untuk menjelaskan tentang faktor
mereka lebih jarang menimbang diriya sendiri kultural apa yang menyebabkan terjadinya
dibanding subjek kulit putih. Tampak jelas di sini perbedaan ini.

212
Gambar 5.10. Kepedulian
Perempuan Terhadap Berat Badan:
Pemudi Asia versus Pemudi Kulit
Putih. Remaja putri yang menjadi Dibanding remaja putri Asia, lebih
banyak remaja putri kulit putih yang
siswa pelbagai sekolah di London menyatakan keinginannya untuk
ditanyai tentang keinginan mereka mengurangi berat badan dan telah
untuk mengurangi berat badan dan merusha secara aktif untuk itu
tentang usaha yang mereka lakukan
secara aktif untuk itu. Persentase
remaja putri kulit putih yang ingin
mengurangi berat badan dan berusaha
secara aktif untuk itu tapak lebih tinggi
dibanding remaja putri Asia. Temuan ini
dan temuan-temuan lainnya
menunjukkan peran faktor-faktor
kultural di dalam perbedaan gender
tertentu, dalam hal body image dan
kecemasan terhadap penampilannya.
Tetapi, mekanismenya sendiri tetap
belum jelas.
(Sumber: Berdasarkan data dari Wardle dan
kawan-kawan, 1993)

PELBAGAI HUBUNGAN:
Mengintegrasikan Psikologi Sosial
Di bab ini Anda membaca tentang... Di bab-bab lain, Anda akan menemukan diskusi-
diskusi terkait tentang...
Skema-diri Skema dan pemrosesan informasi (Bab 3); sikap
sebagai skema (Bab 4); dan stereotip sebagai skema
(Bab 6)
Self-esteem Efek-efek self-esteem dalam persuasi (Bab 4); self-
esteem setelah menerima pertolongan (Bab 10)
Pemantauan-diri Efek-efek pemantauan-diri di dalam persuasi (Bab 4)
Efikasi-diri Efek-efek sefikasi-diri terhadap kesehatan (Bab 14)
Stereotip gender Prasangka dan stereotip (Bab 6)

Memikirkan tentang Pelbagai Hubungan


1. Di bab ini kita mendiskusikan tentang sikap- 3. Kita masing-masing mempunyai derajat self-
sikap terhadap self (self-esteem) sebagai salah efficacy yang berbeda di siituasi yang berbeda.
satu aspek skema-diri. Di Bab 4, kami Pikirkan tentang diri Anda sendiri dalam
menyajikan diskusi yang lebih umum tentang hubungannya dengan pelbagai tugas atau tujuan
sikap sebagai skema. Perhatikan beberapa situasi dan apakah Anda merasa percaya diri dan yakin
yang dikenal luas, seperti pengadilan O.J. terhadap kemampuan Anda atau merasa kurang

213
Simpson, dan coba tentukan apakah sikap Anda percaya diri dan merasa kurang yakin terhadap
tentang ras, penganiayaan terhadap pasangan kemampuan Anda. Mengapa perasaan Anda
hidup, gender, atau tentang apa pun, dipengaruhi berbeda? Apa yang Anda lakukan dalam situasi
oleh cara Anda memproses informasi tentang semacam ini? Ketika self-efficacy Anda kurang,
perkembangan proses pengadilan itu. Apakah adakah kemungkinan untuk mengubah persepsi-
skema-skema tersebut mempengaruhi siapa yang diri Anda?
Anda sukai dan Anda percayai di antara para
4. Apa yang Anda yakini sebagai stereotip yang
pembela dari masing-masing pihak dan di antara
paling lazim tentang pria dan wanita? Apakah
para saksi? Apakah Anda paling mudah
Anda (atau sebagian teman Anda) mempunyai
mengingat informasi dan kejadian yang sesuai
stereotip semacam itu? Apakah menurut Anda
dengan skema Anda?
stereotip tersebut akurat atau tidak akurat?
2. Dapatkah Anda memikirkan tentang sebuah Apakah Anda mengenal orang-orang yang tidak
situasi di mana perasaan self-esteem Anda sesuai dengan stereotip gender? Bila tahu,
mempengaruhi tindakan Anda atau di mana self- bagaimana pendapat Anda tentang mereka? Baik
esteem Anda dipengaruhi oleh apa yang terjadi? berdasarkan pengalaman Anda sendiri maupun
Anda mungkin masih ingat kejadian di mana pengalaman orang lain, apakah Anda percaya
seseorang mencoba membujuk Anda – atau bahwa stereotip gender mempunyai efek (baik
sebaliknya (Bab 4); di mana Anda bertemu atau buruk) pada perilaku Anda?
seseorang untuk pertama kalinya (Bab 7); di
mana Anda mengalami hubungan yang terputus
(Bab 8); di mana seseorang meminta Anda untuk
melakukan sesuatu (Bab 9) atau untuk
membantunya (Bab 10); atau berada di dalam
situasi kerja (Bab 13); atau ketika Anda
menderita sakit (Bab 14).

Rangkuman dan Reviu


Identitas sosial mengacu pada cara kita esteem yang rendah. Self-esteem dapat naik dalam
mengkonseptualisasikan diri kita sendiri. Dua merespon pengalaman positif dan di dalam terapi.
komponen terpokok dari identitas sosial adalah self
dan gender.
Aspek-aspek Tambahan dari Fungsi-Self
Self-focusing mengacu pada pengarahan perhatian
Self: Komponen Identitas Seseorang seseorang ke arah dirinya sendiri sebagai lawan
Masing-masing identitas-diri atau konsep-diri perhatian ke arah dunia luar. Self-focusing (pada
seseorang diperoleh melalui interaksinya dengan ingatan positif atau negatif), suasana hati, kejadian
orang lain. Self bekerja sebagai sebuah skema yang eksternal, dan ekspektansi tentang kesuksesan dan
menentukan bagaiman cara kita memproses kegagalan di masa mendatang, semuanya saling
informasi tentang dunia di sekitar kita maupun berhubungan. Perilaku self-monitoring mengacu
tentang diri kita sendiri. Self-reference effect berarti pada apakah perilaku seseorang diarahkan oleh
bahwa kita memproses informasi tentang diri kita faktor-faktor internal atau eksternal. Orang-orang
sendiri dengan lebih baik dibanding informasi yang self-monitoringnya tinggi dan rendah
lainnya. Konsep-diri bukan entitas yang bersifat memberikan respon yang berbeda di banyak situasi.
tetap. Kita menyadari tentang kemungkinan self Mereka yang self-monitoringnya ekstrim tinggi atau
lain. Konsep-diri berubah sejalan dengan ekstrim rendah kurang dapat menyesuaiakan diri
bertambahnya umur maupun dalam merespon dibanding mereka yang pemantauan-dirinya
perubahan situasi. Evaluasi terhadap diri sendiri menengah. Self-efficacy mengacu pada evaluasi
dikenal dengan istilah self-esteem. Secara umum, seseorang tentang kemampuannya untuk
self-esteem yang tinggi lebih disukai daripada self- menyelesaikan suatu tugas, untuk mencapai suatu

214
tujuan, atau untuk mengatasi suatu kendala. Orang tetapi hal ini saat ini tampak cenderung melemah di
yang self-efficacynya tinggi meningkatkan kinerja, dalam budaya kita. Pertanyaan sentral pada studi
mulai kinerja di bidang atletik sampai akademik. tentang perbedaan gender adalah apakah perbedaan
itu berdasarkan fisiologi, hasil belajar, atau
kombinasi keduanya.
Gender: Kelelakian atau Kewanitaan
Sebagai Aspek Krusial Identitas
Seks/jenis kelamin mengacu pada perbedaan Keanekaragaman Sosial: Perbedaan
anatomik dan fisiologik yang didasarkan pada Kultural dalam Kepedulian terhadap
determinan-determinan genetik, sementara gender Berat Badan
mengacu pada semua atribut yang berhubungan
dengan menjadi laki-laki atau perempuan, baik itu Untuk alasan-alasan yang tidak jelas, masyarakat
ditentukan secara biologik maupun oleh Barat ditandai oleh kepedulian kaum perempuannya
kebudayaan. Di dalam proses perkembangan, kita terhadap penampilan pada umumnya dan terhadap
mendapatkan identitas gender ketika kita belajar berat badan pada khususnya. Kepedulian ini lebih
memberi label perempuan atau laki-laki kepada diri tinggi dibanding masyarakat lainnya. Perbandingan
kita sendiri dan memasukkannya sebagai bagian antara kaum wanita Asia dan Kaukasia
konsep-diri kita, Karakteristik gender dapat menunjukkan adanya kepedulian yang berbeda
melibatkan kualitas-kualitas maskulin atau feminin terhadap berat badan, tetapi kepedulian ini bukan
yang stereotipik, kombinasi tertentu di antara didasarkan pada citra berat badan ideal yang
keduanya (androgini), atau tidak melibatkan gender berbeda. Wanita kulit putih lebih banyak yang
yang manapun. Peran gender yang kita adopsi merasa gemuk dibanding wanita Asia, ingin
mempengaruhi tindakan kita dan bagaimana orang mengurangi berat badan, dan berusaha secara aktif
lain merespon kita. Stereotip gender cenderung untuk itu, meskipun kedua kelompok sama-sama
didukung oleh banyak aspek dalam kebudayaan, yakin bahwa tubuh yang kurus adalah ideal.

 Istilah-istilah Kunci
Androgini Konsistensi Gender
Bem Sex-Role Inventory (BSRI) Pemantauan-Diri
Efikasi-Diri Pemfokusan-Diri
Gender Seks/Jeni Kelamin
Identifikasi terhadap Stereotip-Gender Self-Esteem
Identitas Gender Self-Reference Effect
Identitas Sosial Sex Typing
Kemungkinan Self Skema-Diri Seksual
Konsep-Diri

 Informasi Lebih Lanjut


Baumeister, R.F. (Ed.) (1993). Self-Esteem: The puzzle of low self-regard. New York: Plennum.
Kumpulan bab-bab yang ditulis oleh para peneliti aktif ini memberikan pandangan komprehensif terhadap
penelitian dan teori tentang self-esteem selama selama dua dekade terakhir. Di antara banyak topik yang
dicakup adalah asal-muasal self-esteem yang rendah, fluktuasi self-esteem, dan bagaimana esteem
dipertahankan dalam merespon ancaman.

215
Bordo, S. (1993). Unbearable weight: Feminism, Western culture, and the body. Berkeley, CA: University
of California Press.
Penulisnya, seorang ahli filsafat, menjelaskan tentang bahaimana perempuan secara reguler diberi
gambaran tentang tubuh yang dianggap feminin-ideal, yaitu muda, langsing, dan berotot. Ia melacak
respon-respon yang berbeda terhaap tubuh laki-laki dan perempuan sampai ke zaman Yunani Kuno, di
mana hal-hal yang baik dalam pikiran diatributkan pada pria dan hal-hal yang buruk pada tubuh
diatributkan pada perempuan. Banyak bagian di dalam buku ini yang dipusatkan pada gangguan makan,
seperti anoreksia, yang diasumsikan mewakili upaya sebagian wanita untuk mencapai body image ideal
seperti yang selalu dijejalkan kepada mereka.

Hattie, J. (1992). Self-Concept. Hillsdale, NJ: Erlbaum.


Buku ini dikonsentrasikan pada penyajian sebuah model konsep-diri yang didasarkan pada penelitian
empirik. Penulis membicarakan tentang perkembangan konsep-diri dan mendiksusikan tentang program-
program intervensi seperti terapi yang dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan konsep-diri.

Oskamp, S. dan Costanzo, M. (Eds.) (1993). Gender issues in social psychology. Newbury Park, CA: Sage.
Penelitian dan teori tentang gender serta perbedaan gender didiskusikan oleh para ahli ilmu psikologi
terkemuka. Topik-topik yang terdapat di dalamnya meliputi antara lain: perspektif kaum feminis terhadap
metodologi penelitian, perkembangan peran-gender pada masa kanak-kanak dan remaja, ideologi maskulin,
perbedaan gender di dalam konflik perkawinan, stereotip gender, dan isu-isu pekerjaan, mulai diskrepansi
gaji sampai pelecehan seksual.

216

Anda mungkin juga menyukai