Anda di halaman 1dari 13

Robert C.

Bolles dan Psikologi Evolusioner

2.1 Teori Darwin dan Psikologi Evolusioner

A. Seleksi Alam dan Adaptasi

a. Seleksi alam Seleksi alam atau natural seletion dalah karya Darwin. Ciri esensi dari seleksi
alam, dan relevansinya bagi psikologi evolsioner, sebagi berikut.

1. Ada variabilitas (variability) natural di dalam suatu spesies. Variabilitas ini mungkin lebih
banyak diekspresikan dalam aktivitas visual di beberapa anggota suatu spesies, atau dalam
kekuatan fisik dibeberapa anggota lainya, atau dalam kecepatan belajar dianggota lainnya lagi.
Perbedaan-perbedaan individual ini membentuk blok banguna dasar dari proses evolusi dan
merupakan unsur esensial bagi terjadinya proses ini.

2. Hanya beberapa perbedaan individul yang dapat diwarskan. yakni, hanya beberapa yang dapat
diturunkan dari orang tua ke anak dan dari anak ke anaknya, dan seterusnya. Variasiyang
disebabkan oleh mutasi genetik atau oleh kejadian lingkungan yang tidak menguntungkan bagi
anggota suatu spesies tidak akan diturunkan ke keturunan berikutnya.Demikian pula variasi
dalam belajar perilaku, entah itu menguntungkan atau tidak, akan diteruskan ke generasi
berikutnnya melalui belajar, tetapi tidak diwariskan. Teori evolusi berhubungan dengan
variabilitas yang bisa di warisakan, bukan pada variasi behavioral yang merupakan hasil dari
fenomena lainnya.

3. Interaksi antara atribut organisme dengan tuntunan lingkungan tempat ia tinggal akan
memungkinkan akan terjadinya seleksi alam. b. Adaptasi Adaptasi diartikan sebagai cara
bagaimana individu mengatasi tekanan lingkungan sekitarnya untuk bertahan hidup. Individu
yang mampu beradaptasi akan bertahan hidup, sedangkan yang tidak mampu beradaptasi akan
menghadapi kepunahan atau kelangkaan jenis. Pada dasarnya adaptasi adalah cara untuk
mempertahankan keberadaan. Dilihat dari latar belakang perkembangannya, pada mulanya
adaptasi diartikan sama dengan penyesuaian diri. Padahal adaptasi ini pada umumnya lebih
mengarah pada penyesuaian diri dalam arti fisik, fisiologis, atau biologis. Misalnya, seseorang
yang pindah tempat dari daerah panas ke daerah dingin harus beradaptasi dengan iklim yang
berlaku di daerah dingin tersebut. Dengan demikian. dilihat dari sudut pandang ini, penyesuaian
diri cenderung diartikan sebagai usaha mempertahankan diri secara fisik (self-maintenance atau
surnival). Oleh sebab itu, jika penyesuaian diri hanya diartikan sama dengan usaha
mempertahankan diri maka hanya selaras dengan keadaan fisik saja, bukan penyesuaian dalam
arti psikologis. Akibatnya, adanya kompleksitas kepribadian individu serta adanya hubungan
kepribadian individu dengan lingkungan menjadi terabaikan. Padahal, dalam penyesuian diri
sesungguhnya tidak sekadar penyesuaian fisik, melainkan yang lebih kompleks dan lebih penting
lagi adalah adanya keunikan dan keberbedaan kepribadian individu dalam hubungannya dengan
lingkungan. Individu yangpunya kemampuan adaptasi yang tinggi akan punya juga kemampuan
survival yang tinggi.

c. Miskonsepsi tentang Adaptasi, Crawford (1998) memperingatkam adanya kesalahpahaman


konsep “ survival of the fittest “. Umumnya diyakini bahwa seleksi alam akan lebih
menguntungkan anggota 3

individu yang terkuat, paling agresif, dan kesuksesan evolusi akan melibatkan perjuangan
dimana yang dominanlah yang akan menang. Akan tetapi ada di beberapa individu yang mampu
bertahan adalah mereka yang mampu beradaptasi dengan menyembunyikan diri menghindari
konfrontasi yang menyusahkan. Dengan kata lain kecocokan evolusioner, yang didefinisikan
dalam trem kesuksesan reproduksi, kerap bergantung pada kesesuaian fisik individu. Buss,
Haselton, Shackelford, Blaske, dan Wakefield (1998) juga memperingatkan kita untuk
menghindari miskonsepsi bahwa seleksi alam akan menimbulkan adaptasi optimal dalam situasi
tertentu. “ seleksi alam bukan seperti penyanyi yang menggunakan suaranya untuk mencapai
tujuan, yaitu menghibur orang lain. Seleksi alam bekerja hanya dengan materi yang ada dan tidak
bisa diramalkan”. Jadi, proses evolusi lambat menghasilkan adaptasi yang dapat memecahkan
problem untuk lingkungan spesifik, yang di masa depan mungkinakan berubah, dengan
menggunakan materi genetik yang disediakan oleh organisme dalam unsur biologois organisme.
Adaptasi bukan mekanisme yang di desain secara optimal, mereka lebih baik dimengerti sebagai
solusi yang memperbaiki...dengan kualitas dan tampilan yang dibatasi oleh variasi kekuatan yang
lain.

B. Kecocokan Inklusif Dan Teori Neo-Darwinian Seperti kita ketahui, Darwi mendefinisikan
fitness dalam trem jumlah keturunan yang diproduksi. Kemudian pada tahun 1964, William
Hamilton memperluas definisi darwin dengan mengajukan usulan kecocokan inklusif. Dalam
kecocokan inklusif ini, fokusnya di perluas dari kesuksesan reproduktif suatu anggota individual
dari suatu spesies kepenerusan gen individual dan gen yang juga dimiliki anggota lai dari spesies
itu. Jadi,kita melihat perilaku parental atau perilaku kerjasama dalam suatu kelompok sebagai
perilaku adaptif karena perilaku itu menggunakan survival dan kemungkinan kesuksesan
reproduksi. Perilaku yang mungkin membahayakan individu spesifik akan dilihat sebagai adaptif
sebab pengorbanan individu itu akan mungkin meningkatkan survival anggota lain dari spesies
itu.

2.2 Teori Belajar Bolles A. Riwayat hidup Robert C. Bolles Robert C. Bolles lahir di
Sacramento, California pada 1928. Dia mendapatkan pendidikan di rumah sampai usia 12 tahun.
Dia memperoleh gelar B.A. di Stanford University pada tahun 1948 dan meraih M.A bidang
matematika di Stanford setahun kemudian. Dia bertemu dengan John Garcia (penemu efek
garcia) di U.S. Naval Radiological Defense Laboratory dekat San Fransisco. Yang kemidian
Garcia menjadi 4

sahabatnya sepanjang hidup. Bolles segera bergabung dengan Garcia dalam program study
psikologi di Berkelay dimana mereka berdua belajar dibawah bimbingan Tolman. Pada masa ini
Bolles dan Lewis Petrinovic melakukan eksperimen awal yang menimbulkan minat Bolles pada
teori belajar evolusioner.setelah meraih gelar Ph.D. pada 1956 , Bolles bertugas sebentar di
University of Pennsylvania dan kemudian ke Princeton University. Pada 1959, dia pindah ke
Hollins College, dan pada 1964 dia pindah ke University Washington dan mengajar di sana
sampai dia meninggal pada 8 April 1994 karena serangan jantung.

B. Konsep Teori Utama a. Ekspektasi Expektasi menurut Bolles adalah bahwa belajar itu
melibatkan pengembangan expectancies (ekspektasi, pengharapan). Yakni, organisme belajar
satu jenis jenis yang mendahului kejadian lainnya. Bolles menjelaskan pengkondisian kalsik
sebagai ekspektasi yang dipelajari yang ketika diberi denga satu stimulus (CS) aka enimbulkan
stimulus lain (US). Dalam kehidupan sehari-hari, melihat dan berharap suara petir adalah contoh
dari jenis ekspektasi stimulus-stimulus atau SS ini. Pengkondisian klasik melibatkan
pengembangan ekspektasi S-S, sedangkan pengkondisian opran dan istrumental melibatkan
pengembangan ekspektasi respons-stimulus atau R-S.
b. Predisponsi Bawaan Penekanan Bollespada ekspetasi menunjukan pengaruh dari tolman.
Akan tetapi, ada perbedaan penting antara kedua teoritis itu. Tolman berkonsentrasi pada
ekspektasi S-S dan R-S yang dipelajari, sedangkan Bolles menekankan pada ekspektasi S-S dan
R-S bawaan (innate) dalam analisisnya terhadap prilaku, dan penekananpada S-S dan R-S
bawaan inilah yang menetapkannya segolongan dengan psikolog lain yang tertarik pada
penjelasan prilaku dari prespektif evolusi. contohnya dari hubungan S-S bawaan adalah ketika
bayi menunjukan ketakutan akan suara yang keras. Mengisyaratkan bayi tersebut memperkirakan
peristwa yang berbahaya untuk diikuti. Ekspektasi R-S bawaan dicontohkan oleh prilaku
stereotip yang banyak dilakukan spesies yang saat menghadapi makanan, minuman, bahaya, dan
objek atau kejadian biologis yang siknifikan lainnya.

c. Motivasi Membatasi Fleksibilitas Respons

beberapa teoritis telah meminimalkan atau menolak peran motivasi balam proses belajar
(misalnya, Guhtrie dan tolman). Tetapi teoritis lainnya (misalnya, Hull dan Bolles) mementigkan
motivasi organisme. Menurut Bolles, motivasi dan belajar tidak bisa dipisahkan. Namun dalam
pandangan Bolles seseorang harus tahu baik itu keadaan motifasional organsime maupun apa
yang secara alamiah dilakukan organisme dalam keadaan motivasional itu.. Menurut Bolles
(1979, 1988) organisme mungkin fleksibel dalam hal ekpektasi S-S, ekpektasi R-S mungkin
lebih terbatas sebab motivasi menghasilkan bias respon. Artinya, hewan akan kesulitan
mempelajari perilaku yang berkonflik dengan prilaku yang terjadi secara alami dalam situasi
tersebut. Misalnya, organisme tidak akan belajar prilaku yang berhubungan dengan tndakan
membebaskan diri guna mendapatkan makanan, atau tdak akan belajar perilaku tertentu untuk
bisa bebas dari stimulus yang menyakitkan atau berbahaya.

d. Argumen Tempat Bolles (1988) mengatakan bahwa pemahaman atas belajar harus diiringi
dengan pemahaman atas sejarah evolusi organisme. Dia mengatakan bahwa : “ Hewan punya
kewajiban, dorongan, untuk belajar dan untuk tidak belajar, tergantung pada tempat mereka
berada dan bagaimana menyesuaikan diri dengan keseluruhan skema. Kita dapat memperkirakan
beberapa jenis pengalaman akan direfleksikan dalam belajar, dan sebagaian lainnya tidak... tugas
belajar yang nelanggar komitmen biologis terhadap tempat dapat di perkirakan akan menhasilkan
perilaku anomali. Sebuah tugas belajar yang menguatkan predisposisi hewan untuk berperilaku
dengan cara tertentu akan lebih besar kemungkinannya untuk sukses.Ini adalah argumen
tempat.” Psikologi evolusi lainnya memperluas argumen tempat ini dengan gagasan
Environment of Evolutionary Adaptedness (EEA) istilah yang merujuk pada lingkungan fisik
dan sosialtempat munculnya adaptasi spesifik. Penulis ini dan yang lainnya (misalnya; Sherman
dan Reeve) menekankan ide bahwa EEA bukan sekedar priode atau tempat prahistoris yang
eksis selama perkembanga spesies.

2.3 Batas Biologis Dari Belajar Teori bolles dibangun berdasarkan ide bahwa predisposisi
bawaan akan membatasi asosiasi yang bisa dipelajari oleh organism dan respon yang akan
diberikan organism dalam situasi pesifik. Ide ini didukung oleh Seligman (1970), yang
berpendapat bahwa beberapa spesies belajar asosiasi dengan lebih mudah ketimbang spesies
lainnya sebab mereka secara biologis sudah lebih siap melakukannya. Demikian pula, bagi
beberapa spesies asosiasi mungkin akan sulit untuk dipelajari karena mereka secara biologis
kurang 6

siap untuk itu. Jadi, tempat asosiasi pada preparedness continuum (kesiapan kontinum) akan
menentukan seberapa mudah asosiasi itu akan dipelajari.

A. Penkondisian Instrumental Dalam eksperimen awal, Petrinivich dan Bolles (1954) melatih
satu kelompok tikus untuk berbelok ke kiri dan satu kelompok lainnya berbelok ke kanan dalam
jalur berbentuk T. kemudian diberi respon dari kucing yang akan berlari dari area awal di “dasar”
jalur T. tikus otomatis akan berlari ke titik pilihan yang ada di persimpangan jalur vertical dan
horizontal, dimana si tikus itu bisa memeilih belok kiri atau belok kanan. Separuh dari tikus itu
akan dibuat kehausan dan diperkuat dengan air jika mereka melakukan respon berbelok yang
benar dan sebagian tikus lainnya dibuat kelaparan dan mendapat imbalan makanan jika mereka
berbelok yang benar. Dalam ekperimen ini, tikus mendapat air sebagai penguat akan
mempelajari tugas lebih banyak dengan lebih cepat dan lebih sedikit melakukan kesalahan
ketimbang tikus yang diberi makanan sebagai penguat. Dalam eksperimen kedua dibuat
kehausan atau kelaparan. Mereka diperkuat dengan air dan makanan kemanapun mereka
berbelok untuk pertama kali untuk pada percobaan pertama, misalnya belok kekanan. Pada
pecobaan kedua mereka diperkuat hanya jika memeberi respon yang berlawanan yang contohnya
belok kekiri. Pada percobaan ketiga, mereka diperkuat hanya ika diberi respon ang bertentangan
dengan pilihan pada percobaan kedua, dan .seterusnya sepenjang eksperimen. Dalam studi ini
tikus yang lapar mencari makanan melakukantugas dengan lebih cepat ketimbang tikus yang
hrus mencar air. Petrinovich dan Bolles menjelaskan, karena tikus berkembang sebagai hewan
omnifora dan suka keluyuran, maka mereka mungkin akan menyimpang dalam mencari makanan
diloksi yang sama pada percobaan berturu-turut. Oleh karena itu Air adalah sumber yang stabil ,
sungai atau mata air tidak mungkin akan lenyap dalam semalam. Jadi, tikus dalam eksperimen
ini menunjukkan bias respon sebagai akibat dari sejarah evolusinya. Dengan kata lain, tikus siap
untuk pergi ke tempat yang sama untuk mencari air, tetapi mereka tidak akan siap untuk pergi
ketempat yang sama untuk menemukan makanan. Melarikan diri dan menghindar. Organisme
mungkin menunjukkan tingkat fleksibilitas respond dan eskplorasi dalam hal mendapatkan
makanan atau minuman. Misalnya, tikus lapar mugnkin menekan tuas, menelusuri jalur teka-
teki, mengendus cangkir kecil dan sebagainya untuk mendapatkan makanan. Namun, Bolles
mengakui bahwa kadang-kadang hewan tidak bisa belajar trial-and-error. Melarikan diri dari
predator 7

harus bisa dilakukan dalam satu kali tindakan agar bisa bertahan hidup. Jadi, menurut Bolles,
ekspetasi R-S bawaan memberikan solusi untuk problem lingkungan yang mengancam
kelangsungan hidup. Bolles mencatat bahwa Species-Specific Defensive Reactions (SSDR) yang
dilakukan tes adalah diam, melarikan diri, mencicit, melompat dan menyerang beberapa objek.
pengkondisian penghindaran akan lebih kompleks. Menurut Bolles, pengkondisian penghindaran
ialah suatu sinyal yang mendahului kejadian aversif (misalnya setrum), hewan belajar
memperkirakan datangnya rasa sakit jika, misalnya, satu nada diperdengarkan. Karena nada ini
menjadi sinyal adanya bahaya, maka nada itu akan memicu aktifnya SSDR.prediksi dari analisis
Bolles; bahwa semakin mirip respon yang mesti dikeluarkan hewan dalam eksperime dengan
respon dalam lingkungan, akan semakin mudah respon itu dipelajari. Jika respon itu bukan
bagian dari respon bawaan hewan tersebut, maka ia akan dipelajari dengan susah payah atau
mungkin tidak akan dipelajari sama sekali.

B. Pengkondisian Operan Belajar operan dibatasi oleh bias respon natural dan organisme. Ada
banyak contoh kegagalan operan yang di sebabkan oleh ketidak cocokan antara syarat tugas
dengan respon yang dibiasakan secara natural (atau sudah siap secara biologis). Di lain pihak,
adalah lazim untuk menemukan eksperimen dimana burung dara mematuk kunci tertentu untuk
mendapat penguatan makanan. Seperti burung dara, burung kutilang akan belajar mematuk kunci
untuk mendapat makanan; dan meski mereka dapat mempelajari beberapa respons opran untuk
mendengarkan rekaman suara burung, mereka tida akan mematuk kunci respons untuk
mendengarkan rekaman itu. Walupun pematukan adalah respons yang muncul secara alami saat
ada makanan, kulintang secara biologis tidak siap mengasosiasikan pematukan dengan rekaman
suara burung.

C. Autoshaping Bolles menyatakan bahwa autoshaping melibatkan belajar S-S namun tidak
terjadi belajar respon baru. Dia menginterpretasikan perilaku mematuk itu sebagai respon
bawaan terhadap stimulus yang dikarenakan kontinguitas temporalnya dengan penyajian
makanan, mendapatkan property yang terkait dengan makanan.

D. Pengkondisian Klasik

Ekperimen yang dilakukan oleh gracia dan koelling, mengkaji kontribusi penting dari efek gracia
terhadap belajar. Gracia dan Koelling member tiga puluh tikus yang haus kesempatan untuk
meminum dalam empat kondisi. Satu kelompok diberi air yang disinari cahaya terang dan suara
berisik, dan jika tikus meminumnya ia akan segera mendapat setrum dikakinya. Kelompok kedua
diberi air jernih dan berteriak, tetapi mereka tidak diestrum melainkan diberi sinar x yang
menyebabkan mereka merasa mual dan pusing. Kelompok ketiga diberi air tanpa cahaya dan
suara, teteapi air itu berasa sakarin,seperti yang ada dikelompok pertama,diestrum kakinya
segera setelah dia meminum larutan sakarin itu.kelompok ke empat diberi air sakarin dan
kemudian dibuat pusing dan mual dengan sinar x.

Kelompok 1:air terang dan berisik – setrum: menjauhi air Kelompok 2:air terasng berisik –
pusing/mual: tidak ada aversi(sikap menjauh) Kelompok 3:larutan sakarin – setrum : tidak ada
aversi terhadap sakarin Kelompok 4: larutan sakarin – pusing/mual: menjauhi sakarin

Dapat dilihat bahwa air yang terang dan berisik menjadi CS efektif ketika dipasangkan dengan
setrum tetapi tidak efektif ketika dipasangkan dengan mual. Demikian pula, air berasa sakarin
adalah CS yang efektif ketika dipasangkan dengan rasa mual, tetapi tidak efektif ketika
dipasangkan dengan setrum. Gracia dan Koelling menjelaskan hasil ini dengan mengatakan
bahwa ada hubungan natural antara kejadian eksternal dan rasa sakit yang dialami hewan.
Dengan kata lain,rasa sakit berasal dari “luar sana” dan karenanya hewan mencari predictor rasa
sakit itu, dalam kasus ini adalah cahaya dan suara berisik oleh hewan diasosiasikan dengan
minum. Namun, rasa mual dialamu secara internal. Oleh karenanya, hewan ini merasa mual
diasosiasikan dengan rasa sakarin bukan dengan air yang berchaya terang dan berisik. Hewan
secara biologis lebih siap untuk membentuk asosiasi antara rasa sakarin dan rasa sakit

E.Behaviorisme Biologis Timberlake berusaha mendamaikan pandangan dari ahli etologi, yang
risetnya difokuskan pada perilaku yang terjadi secara alamiah di alam liar, dengan pandangan
dari behavioris, yang risetnya difokuskan pada proses belajar di laboratorium. Tomberlake
memuji tradisional behavioral atas perannya dalam membangun metode standar dan teknik
pengukuran standar untuk meneliti belajar, dan mengaku logika dari percobaan yang terkontrol
yang telah matang pada masa jayanya behaviorisme. Tetapi, seperti Bolles, 9

Timberlake berpendapat bahwa usaha untuk mengunkapkan prinsip belajar yang umum dan
abstrak cenderung mengabaikan perbedaan spesifik-spesifik dalam kesiapan belajarnya. Jadi,
jika kita tidak memahami organism dari perspektif bioevolusi, fenomena seperti yang diamati
dalam autoshaping atau “misbehavior” sering dianggap sebagai kesalahan dan membuat kita
mungkin menolak teori atau metode lain yang mungkin lebih berguna. Timberlake menegaskan
bahwa riset belajar dilaboratorium sudah mengakomodasi propensitas natural dari spesies yang
paling sering dipakai dalam eksperimen. Misalnya, Timberlake mengingatkan kita bahwa kotak
skinner telah “disesuaikan” untuk tikus laboratorium. Level dimana tuas diletakkan, pemberian
makanan-mengendus, menggaruk, mencicit dan sebagainya. Timberlake berkesimpulan bahwa
kebanyakan perilaku di laboratorium adalah overdertermined. Menurut Timberlake, perilaku
akan bersifat terlalu banyak ditentukan (overdetermined) jika ia terjadi secara reliable ketika
tidak ada manipulasi eksperimental seperti deprivasi makanan atau air atau kontingensi
responimbalan dan jika ada variasi pola sensor-motor di balik perilaku tersebut. Timberlake
mengatakan bahwa perilaku di jalur teka teki di laboratorium adalah perilaku yang terlalu
ditentukan.

2.4 Psikologi Evolusioner dan Perilaku Manusia Psikologi evolusioner telah diaplikasikan
secara luas untuk memahami perilaku manusia. Apa yang oleh Wilson disebut sosiobiologi kini
disebut psikologi evolusioner dan ia merupakan topik yang sangat popular dalam psikolgi
kontemporer. Meskipun pembahasan nanti kita membatasi diri pada pengaruh belajar terhadap
perkembangan phobia, seleksi pasangan, parenting, kekerasan keluarga, altruism, dan perilaku
moral, serta perkembangan bahasa. Tetapi ada bidang lain dimana prinsip evolusi telah
diaplikasikan seperti agresi dan perang, pemerkosaan, incest, dan bunuh diri, penghindaran
incest, dan agama. Dalam banyak hal, prinsip yang menjadi pedoman penjelasan evolusi
terhadap perilaku manusia adalah sejajar dengan prinsip yang dipakai Bolles (1972, 1988) untuk
mengaplikasikan penjelasan evolusi terhadap perilaku non manusia. Secara spesifik, psikologi
evolusioner mengasumsikan bahwa meski ada kemajuan luar biasa yang dibuat oleh manusia,
terutama selama 200 tahun terahkir kita masih merupakan produk dari evolusi ribuan tahun.
Karenanya seperti binatang lainnya, kita terkadang menunjukan predisposisi bawaan untuk lebih
memperhatikan beberapa stimuli ketimbang stimuli lainnya dan untuk mempelajari beberapa
ekspetasi secara lebih mudah ketimbang ekspetasi lainnya. Seperti binatang, kita juga terkadang
cenderung punya bias respon, 10

terutama ketika didorong oleh keadaan motivasi yang signifikan secara biologis. Menurut
psikologi evolusioner, factor cultural dan biologi harus dipertimbangkan guna mendapat
pemahaman yang penuh tentang perilaku manusia.

A. Perkembangan Phobia Fobia pada manusia, yang berupa rasa takut yang berlebihan terhadap
suatu stimuli seperti ular atau laba-laba, sulit untuk dijelaskan dalam pengkondisian klasik.
Usaha untuk menjelaskan akan menghasilkan permasalahan yang dangkal. Menurut bebrapa para
ahli, mereka juga menyebut bukti bahwa, meskipun monyet yang dibesarkan di laboratorium
tampaknya tidak memiliki rasa takut bawaan terhadap ular, mereka akan dengan cepat ketakutan
terhadap ular setelah melihat reaksi dari rekaman video monyet liar yang bertemu dengan ular
betulan atau mainan (cook & mineka, 1990). Bahwa kemunculan rasa takut terhadap ular atau
laba-laba mungkin tidak membutuhkan persepsi sadar atas stimuli itu. Stimuli ini menarik
perhatian kita, dan kita dapat belajar tentangnya tanpa pemrosesan informasi secara sadat. Ini
bukan berarti bahwa, semua manusia pada dasarnya takut pada ular, laba-laba, anjing, dsb.
Psikologi evolusioner juga mendiskusikan xenophobia atau takut terhadap orang asing. Fobia ini
berasal dari tendensi primitive untuk mendikotomisasikan orang sebagai sebagai anggota satu
kelompok (desa atau suku) dengan orang di luar anggota kelompok. Dalam xenophobia
seseorang mungkin melihat adanya kecenderungan natural ke arah prasangka. Menurut psikolog
evolusioner bahwa suatu tendensi adalah natural yakni, memiliki asal usul biologis yang sama
bukan berarti tendensi itu selalu baik. Mereka mengatakan adanya predisposisi atau tendensi
biologis. Psikolog evolusioner menegaskan bahwa perilaku manusia selalu merupakan hasil dari
interaksi antara tendesi biologis dengan pengaruh cultural. Jadi, bahkan jika unsur biologi kita
mencondongkan hal yang di anggap tidak diinginkan, hal ini dapat dianggap oleh pengaruh
cultural.

B. Seleksi Pasangan Teoritis belajar sosial-kognitif mungkin menunjukan bahwa definisi daya
tarik dipelajari dengan mengamati model yang paling menonjol dalam kultur tertentu misalnya
orang tua, teman, pimpinan dan sebagainya. Dalam masyarakat teknologi, model yang dibuat
atraktif oleh media. Akan tetapi, dari sudut pandang psikologi evolusioner banyak standart yang
ditransmisikan secara sosial sebenarnya adalah standart buatan. Dan standart 11

sosial yang berkaitan dengan daya tarik bisa berubah-ubah. Misal gaya rambut, riasan wajah,
pakaian, bahkan bentuk tubuh semuanya bisa berubah. Bagi psikolog evolusioner, harus ada
criteria seleksi pasangan yang lebih mendasar ketimbang standart sosial untuk daya tarik fisik di
dalam satu kultur dan criteria ini bersifat universal. Walaupun ada kemiripan antara pria dan
wanita namun ada 2 pengecualin, laki-laki ada cenderung meletakkan urutan daya tarik fisik
ditingkat lebih tinggi ketimbang wanita. Sebaliknya, wanita cenderung meletakkan kemampuan
mencari nafkah yang baik lebih tinggi ketimbang laki-laki.

C. Parenting Parenting adalah proses interaksi berkelanjutan antara orang tua dan anak-anak
mereka yang meliputi aktivitas-aktivitas berikut: memberi makan (nourishing), memberi
petunjuk (guiding), dan melindungi (protecting) anak-anak ketika mereka bertumbuh.5
Aktivitas-aktivitas parenting biasanya terjadi dalam lingkungan keluarga, namun parenting tidak
terbatas hanya pada mereka yang melahirkan anak. Tanggung jawab parenting juga dilakukan
oleh pihak-pihak lain dalam masyarakat, seperti anggota-anggota jemaat di gereja, para guru di
sekolah, pembantu rumah tangga, perawat bayi (baby sitter), dan bahkan teman-teman si anak,
serta media masa (TV, surat kabar, dan majalah). Kendati demikian, orang tua adalah pihak yang
paling bertanggung jawab dalam mengasihi dan memperhatikan anak-anak serta menolong
mereka bertumbuh.

1. Seleksi kerabat, kesesuaian evolusi membutuhkan kelangsungan bukan hanya gen-gen kita
saja, tetapi juga dari individu yang memiliki hubungan dengan kita (kecocokan inklusi).
Psikologi evolusioner memandang parenting bukan sebagai perilaku yang dipelajari, tetpai
sebagai tindakan yang dipengaruhi oleh seleksi kerabat.
2. Perbedaan jenis kelamin, menurut psikologi evolusioner ada dua alasan mengapa wanita
cenderung lebih terlibat dalam parening ketimbang pria. Pertama karena wanita memiliki lebih
banyak investasi pada anak ketimbang pria. Kedua,agar perilaku altruisme harus ada mekanisme
yang membuat kita mengenali saudara kita, termasuk anak-anak kita, sebagai pembawa gen.

3. Kekerasan keluarga, kekerasan dalam keluarga hampir terjadi setiap hari.secara spesifik
seleksi kerabat menguatkan perilaku kekerasan terhadap anggota keluarga yang tidak sedarah.

D. Altruisme dan perilaku moral

Altruisme atau menolong demi survive atau mempertahankan jenis dalam proses evolusi. 1.
Perlindungan kerabat (kin protection) Orang tua bekerja keras untuk menyekolahkan anak →
untuk meneruskan keturunan. Secara alamiah orang cenderung membantu pada orang yang
pertalian darah, dekat dengan diri kita, ada skala prioritas. Dalam bencana: anak-anak lebih dulu,
keluarga, teman, tetangga. Naluri perlindungan yang kuat dapat melewati batas moral dan
keadilan => Nepotisme.

2. Timbal balik biologik (biological reciprocity) → ada keseimbangan altruis dan egois
prinsipnya orang yang suka menolong akan ditolong, yang suka mementingkan diri sendiri →
dibiarkan.

3. Orientasi seksual: kaum minoritas dalam seks (homo, lesbi) lebih memerlukan pertolongan
untuk mempertahankan kelompok sehingga lebih alturis daripada heteroseks.

4. Teori Perkembangan Kognisi → berhubungan dengan tingkat perkembangan kognitif. Piaget


bahwa semakin tinggi kemampuannya berfikir abstrak → semakin mampu mempertimbangkan
antara usaha atau biaya (cost) yang harus dikorbankan untuk menolong dengan hasil atau
perolehan. Anak-anak meminjamkan mainan yang mahal untuk suatu yang nilainya rendah
(keuntungan). Orang dewasa → untung — Rugi Kapan orang menolong → faktor pemicu orang
menolong.

E. Bahasa Menurut psikologi evolusioner belajar bahasa mengilustrasikan kesiapan biologis


dalam proses belajar manusia. Pinker berpendapat bahawa ada bahasa universal , aturan umum
untuk setiap bahasa. Semua bahasa mengakui masa lalu, sekarang dan masa depan. Semua
bahasa punya referensi pelafalan dan semua bahasa memiliki variasi susunan subjek/tindakan.
Pinker menunjukkan bahwa anak secara biologis sudah siap untuk meyusun struktur gramatical,
bahkan tanpa model dan petunjuk. Kompleksitas pemahaman dan penyusunan bahasa tidak
memungkinkan kita untuk mengasumsikan bahwa satu gen atau bahkan sekumpulan gen itu
merupakan basis dari fenomena bahasa.

2.5 Pandangan Psikologi Evolusioner Tentang Pendidikan Psikologi evolusioner akan setuju
dengan Thorndike dan Piaget, bahwa anak seharusnya diajari hal-hal ketika mereka sudah siap
untuk mempelajarinya, namun mereka mungkin menekankan jenis belajar yang berbeda dengan
yang dikaji Thorndike dan teoretisi lainnya. Hal ini berarti bahwa kurikulum dan aktivas sekolah,
bersama dengan pengaruh kultural lainnya, seperti praktik pengasuhan anak, harus disusun
sedemikian rupa sehingga bisa melemahkan tedensi alamiah itu. Dengan kata lain, anak dan
remaja perlu diajari bertindak dengan cara yang bertentangan dengan predisposisi natural ini. Di
lain pihak, psikolog evolusioner juga percaya bahwa manusia secara biologis siap untuk belajar
hal-hal yang dinilai oleh suatu kultur. Misalnya, karena manusia cenderung bisa menguasai
bahasa, maka sekolah harus menekankan pada belajar bilingual di tahap awal pendidikan.
Psikolog evolusioner mengingatkan pendidik untuk menghindari asumsi bahwa perilaku
ditentukan oleh gen atau kultur saja. Menurut mereka, perilaku manusia selalu merupakan fungsi
dari keduanya. Realisasi ini mungkin secara khusus penting ketika menghadapi problem perilaku
seperti prasangka atau agresi. Barash (1979) mengingatkan: jelas ada banyak ketidakadilan dan
kewajiban kita untuk menunjukkanya ketika kita melihatnya,dan berusaha melakukan perbaikan.

2.6 Evaluasi Psikologi Evalusioner A. Kontribusi : Kebanyakan teori belajar yang diulas
di bab ini menekankan pada yang pertama dan kurang memperhatikan atau bahkan mengabaikan
penjelasan yang kedua.Manfaat dari penjelasan yang lebih lengkap ini tampak melanggar prinsip
belajar yang sudah diketahui telah diatasi dengan penjelasan evolusi. Selain itu, psikologi
evolusi memberikan fungsi heuristic yang penting.

B. Kritik Kritiknya sebagai berikut.

1. Kritik yang paling umum terhadap psikologi evolusioner, dan terhadap teori evolusi adalah
klaim bahwa argumen evolusioner bersifat sirkuler (memutar). Artinya, pengkritik mengatakan
bahwa adaptasi yang sukses didefinisikan sebagai ciri bawaan fisk atau behavioral yang menjaga
seleksi alam. Jika suatu prilaku eksis dalam satu generasi, ia pasti dipilih dan karenanya akan
menjadi adaptasi yang sukses. Namun. Disusi kita diatas 14

menunjukan bahwa psikolog evolusioner telah menghindari perangkap adaptasionis dan


problem sirkularitas ini. 2. Penjelasan evolusi tentang prilaku mencakup doktrin determinisme
genetik. Yakni, jika kita adalah produk dari warisan genetik, maka kita mewarisi gen yang
serakah dan menigkatkan diri sendiri. Akan tetapi psikolok evolusioner tidak menganut
determinasi genetik karena ciri bawaan yang ditentukan melalui evolusi dapat berubah jika
lingkungan tempat dimana individu berkembang jiga berubah. 3. Pengeritik khawatir bahwa
psikolog evolusioner menyebabkan kembalinya Darwinisme sosial, doktrin yang menjustifikasi
nepotismme, rasisme, dan mungkin bahkan pembiakan selektif. Tetapi, sepertinya telah
ditemukan di atas, prilaku moral yang mencakup kebaikan kepada orang asing dan membantu
orang selain kerabat kita juga tetap berkembang sebab kita mendapatkan banyak manfaat dengan
melakukan hal-hal seperti itu. 4. Jika suatu prilaku adalah hasil dari proses genetik, maka prilaku
itu tidak dipelajari. Situasi hanya memunculkan prilaku; jadi, semua prilaku dideskripsikan
sebagai gugusan respone yang tak dikondisikan. Akan tetapi, seperti kita lihat diatas psikolog
evolusioner hanya mengklim bahwa evolusi mempengaruhi dan membiasakan proses belajar.
Seperti dikataka Pinker “Psikolog Evolusioner bukannya tidak menghargai proses belajar tetapi
berusa ha untuk menjelaskan proses itu...tidak ada proses belajar tanpa mekanisme bawaan yang
menyebabkan proses belajar terjadi.

Anda mungkin juga menyukai