Oleh:
Gema ALam Fitriawan (10515085)
4) Self Esteem
Sikap yang paling penting dikembangkan seseorang adalah sikap terhadap self.
Evaluasi terhadap diri sendiri dikenal sebagai self esteem (James, 1890). Sedikides
menyatakan tiga kemungkinan motif dalam evaluasi diri. Orang dapat mencari self-
assesment (untuk memperoleh pengetahuan yang akurat tentang dirinya sendiri), self
enchacement (untuk mendapatkan informasi positif tentang diri mereka sendiri), atau self
verification (untuk mengkonfirmasi sesuatu yang sudah diketahui tentang dirinya sendiri).
Memiliki self esteem yang tinggi berarti seorang individu menyukai dirinya
sendiri. Evaluasi positif ini sebagian berdasarkan opini orang lain dan sebagian lagi
berdasarkan dari pengalaman spesifik. Perbedaan budaya juga mempengaruhi apa yang
penting bagi self esteem seseorang. Sebagai contoh harmoni dalam hubungan interpersonal
merupakan elemen yang penting dalam budaya kolektivis sementara harga diri adalah hal
yang penting bagi budaya individualis.
Self esteem sering kali diukur sebagai sebuah peringkat dalam dimensi yang
berkisar dari negatif sampai positif atau dari rendah sampai tinggi. Sebuah pendekatan
yang berbeda adalah dengan meminta responden untuk mengindikasikan self ideal mereka
seperti apa, self mereka yang sebenarnya dan kemudian meneliti perbedaan diantara
keduanya. Semakin besar perbedaan antara self dengan idealnya, semakin rendah self
esteemnya.Walaupun konten spesifiknya dapat bervariasi seiring dengan berjalannya
waktu, perbedaan self dengan ideal cenderung stabil. Menyenangkan menerima umpan
balik yang menunjukkan bahwa kita berfungsi di tingkat ideal dalam beberapa aspek
dalam hidup dan kurang menyenangkan untuk menghadapi kenyataan bahwa kita kurang
ideal.
Sumber-sumber informasi utama yang relevan dengan evaluasi diri adalah orang
lain, kita menilai diri sendiri atas dasar perbandingan sosial. Tergantung pada kelompok
pembanding, tingkah laku spesifik dapat tampak tidak memadai, rata-rata atau sangat baik.
Dua individu yang tindakannya sama persis dapat memilki evaluasi diri yang sangat
berbeda karena mereka membandingkan diri mereka dengan kelompok yang cukup
berbeda.
Dalam kebanyakan kasus, self esteem yang tinggi memiliki konsekuensi yang
positif, sementara self esteem yang rendah memiliki efek sebaliknya. Penelitian selama
puluhan tahun memberikan bukti bahwa tidak boleh menyimpulkan bahwa self esteem
yang tinggi adalah hal yang baik dan yang rendah buruk,atau asumsi bahwa self esteem
tidak relevan efeknya lebih kompleks daripada hanyak sekedar suatu pembedaan atau
masih belum sepenuhnya dipahami.
Ketika kompetensi aktual seseorang tidak sesuai dengan evaluasi dirinya, hasilnya
disebut self esteem paradoks. Akan tetapi, self esteem postif yang tidak realistis dapat
menghasilkam keuntungan sementara bagi kesehatan mental seseorang. Sementara self
esteem yang tinggi biasanya menguntungkan, self esteem yang rendah memiliki efek
negatif yang tidak seragam.
Peristiwa negatif dalam hidup memiliki efek negatif terhadap self esteem. Sebagai
contoh ketika masalah muncul di sekolah, tempat kerja, dalam keluarga, atau diantara
teman, akan terjadi penurunan self esteem, peningkatan kecemasan dan individu yang
terganggu akan berusaha mencari penguatan melalui berbagai cara. Namun, biasanya
tingkat self esteem individu relatif konstan karena mereka menggunakan mekanisme
majemuk untuk mempertahankan tingkat itu.
5) Fungsi Self
a) Self Focusing
Pada saat kapanpun perhatian seseorang dapat diarahkan ke dalam dirinya sendiri
maupun dunia eksternal. Self focusing didefinisikan sebagai perhatian yang diarahkan
pada diri sendiri. Sebagai contoh, anak-anak yang sangat kecil lebih sering memfokuskan
diri pada dunia eksternal, tetapi self focusing akan meningkat pada anak-anak dan remaja.
Pada masa dewasa, setiap individu akan berbeda-beda dalam hal sejauh mana mereka
terlibat dalam self focusing. Self focusing yang terus menerus dan konsisten dapat
menciptakan kesulitan. Maksudnya sebagai respons terhadap interaksi sosial yang tidak
menyenangkan, individu dengan gaya yang terfokus pada self mengalami perasaan negatif
lebih lambat dan reaksi ini lebih kuat pada wanita dibanding pria.
Akan berguna untuk mengalihkan self focusing pada fokus eksternal jika merasa
depres, fokus eksternal dapat menciptakan aspek positif karena memikirkan hal yang lain.
Lagi pula dalam hubungan antara self focusing dan aspek positif serta negatif, Green dan
Sedikies (1999) menyatakan orientasi afek juga sama pentingnya.Orientasi dapat bersifat
reflektif (kecendrungan untuk tidak bertindak) atau sosial (kecendrungan untuk bertindak).
Dengan meminta pasrtisipan untuk memvisulisasikan skenario tertentu, eksperimenter
mampu mengarahkan afek, skenario sedih menciptkan perasaan kesedihan, ditolak dan
depresi, sementara kebahagiaan menciptakan perasaan puas, tenang dan nyaman. Skenario
lain yang berorientasi afeksi yaitu penciptaan proses yang membangkitkan respons seperti
amarah, kecewa dan kegilaan. Ketika afek diarahkan, perhatian terhadap fokus diri
meningkat. Ketika orientasi afek diarahkan, perhatian terhadap self focused menurun.
Beberapa orang mengingat aspek positif dan negatif pengalamannya secara
terpisah dalam memori, melakukan compartmentalized self organization. Ketika hal itu
dilakukan suasana hati seseorang dapat dikontrol dengan memutuskan apakah akan
memfokuskan diri pada elemen negatif atau positif. Tidak hanya self focusing
mempengaruhi suasana hati tetapi suasana hati juga mempengaruhi arah self focusing.
Orang berbeda kemampuannya mengendalikan suasana hati. Ketika sebuah suasana hati
negatif diarahkan dalam kondisi laboratorium, partisipan yang memiliki karakter sukses
untuk mengendalikan suasana hatinya tampil lebih baik dalam mengingat memori positif
dan membalikkan suasana hati negatif daripada partisipan yang memiliki kemampuan
yang rendah dalam mengendalikan suasana hatinya.
Daripada menyimpan aspek positif dan negatif dalam bagian yang terpisah dalam
memori beberapa orang menyimpannya bersama dalam memori. Pola ini disebut evaluasi
terhadap organisasi diri terintegasi dan hasilnya adalah self focusing tidak akan pernah
hanya melibatkan memori yang sama. Hasilnya pengalaman individu ini tidak memiliki
afek negatif yang terlalu parah dan memiliki self esteem yang lebih tinggi.
b) Self Monitoring
Istilah self monitoring merujuk pada kecendrungan untuk mengatur tingkah laku
berdasarkan petunjuk eksternal seperti bagaimana orang lain berekasi (self monitoring
tinggi) atau berdasar pada petunjuk internal seperti keyakinan seseorang dan sikapnya.
Orang dengan self monitoring yang rendah cenderung berperilaku dengan cara yang
konsisten terlepas dari situasi yang ia hadapi, sementara orang dengan self monitoring
yang tinggi cenderung mengubah tingkah laku saat situasi berubah. Orang dengan self
monitoring yang tinggi berusaha menyesuaikan tingkah laku dengan peran dalam kondisi
yang ada untuk memperoleh evaluasi positif dari orang lain. Karakter ini nerupakan
karakter yang berguna bagi politikus, tenaga penjualan dan aktor.
Kecendrungan melakukan self monitoring dapat muncul dalam berbagai aspek
tingkah laku sosial. Orang dengan self monitoring yang tinggi cenderung menggunakan
kata ganti orang ketiga. Ketika mereka berbicara sementara orang dengan self monitoring
rendah menggunakan kata ganti orang pertama. Self esteem yang semakin positif adalah
karakter meraka dengan self monitoring yang rendah cenderung lebih sedikit memiliki
hubungan romantis yang panjang daripada orang dengan self monitoring yang tinggi.
Yang menarik, mereka yang memiliki self monitoring yang tinggi atau rendah lebih sering
mengalami gangguan dan kurang mampu menyesuaikan diri dibanding mereka yang
memiliki self monitoring yang cukup. Bagi mereka yang memiliki self monitoring yang
tinggi, depresi dan kecemasan berasal dari kesenjangan antara karakteristik yang
seharusnya ia miliki, bagi mereka dengan self monitoring yang rendah, depresi dan
kecemasan berasal dari kesenjangan antara karakteristik dirinya dengan apa yang ia pikir
seharusnya dimiliki.
c) Self Efficacy
Self efficacy adalah evaluasi seseorang terhadap kemampuan atau kompetensinya
untuk melakukan sebuah tugas, mencapai tujuan atau mengatasi hambatan. Evaluasi ini
dapat bervariasi tergantung pada situasi. Performa fisik, tugas akademis, performa dalam
pekerjaan dan kemampuan untuk mengatasi kecemasan dan depresi ditingkatkan melalui
perasaan yang kuat akan self efficacy. Pada umumnya orang akan bertindak untuk
mencapai tujuan, jika ia merasa akan mendapat hasil dari tindakannya tersebut. Jika ia
tidak yakin bahwa tindakannya akan berhasil maka ia merasa imbalan untuk tindakannya
cenderung tidak ada atau relatif hanya sedikit. Orang dengan kepercayaan diri yang tinggi
juga cenderung lebih cepat berhenti mengerjakan tugas yang nyata-nyata tidak dapat
diselesaikan dibanding mereka yang memiliki kepercayaan diri yang rendah, sebaliknya
mereka lebih suka mengalokasikan waktu dan usahanya untuk tugas yang mereka tahu
dapat diselesaikan.
Lebih lanjut mengenai self efficacy, Bandura mengajukan konsep self efficacy
kolektif yaitu keyakinan yang dibagi oleh anggota kelompok bahwa tindakan kolektif akan
menghasilkan efek yang diinginkan. Mereka yang tidak yakin pada self eficacy kolektif
beranggapan bahwa mereka tidak dapat mengubah apapun,sehingga mereka menyerah dan
menjadi apatis terhadap isu politik. Individu sering kali kurang memiliki perasaan self
efficacy dalam situasi interpersonal. Ini disebabkan karena kurangnya kemampuan sosial
atribusi yang tidak tepat, tidak memadainta karakter diri dan tidak bersedia untuk
mengambil inisiatif dalam persahabatan.
Diantara wanita, perasaan self efficacy interpersonal dihubungkan dengan
asertivitas seksual. Asertivitas ini membuatnya menjadi lebih mudah untuk menolak
hubungan seksual yang tidak diinginkan. Self efficacy cenderung konsisten sepanjang
waktu tetapi bukan berarti tidak berubah. Umpan balik positif terhadap kemampuan
seseorang meningkatkan self efficacy.
2. Identitas Sosial
Identitas sosial merupakan definisi seseorang yang berkaitan tentang dirinya,
termasuk di dalamnya atribut pribadi dan atribut yang dibaginya bersama dengan orang
lain, seperti gender dan ras. Awal dari kehidupan setiap orang mulai memiliki pandangan
tentang siapa dirinya, termasuk apakah dia harus melebel dirinya sebagai perempuan atau
laki-laki, dengan kata lain setiap orang membangun sebuah identitas sosial (social
identity). Identitas sosial mencakup banyak karakteristik unik, seperti nama seseorang dan
konsep self, gender, hubungan interpersonal kita (anak perempuan, anak laki-laki,
pasangan orang tua, dan lain-lain.), afiliasi politik atau ideologi (feminis, pecinta
lingkungan, demokrat, republikan, vegetarian, dan lain-lain.) atribut khusus (homoseksual,
cerdas, keterbelakangan mental, pendek, tampan, dan lain-lain.), dan afiliasi etnis atau
religius (katolik, orang selatan, hispanik, yahudi, warga kulit hitam, muslim (Atheis, Hick,
dan lain-lain).
Gema Alam Fitriawan adalah sebuah nama yang memiliki arti “Suara semesta
kembali suci” teman memanggil saya Gema. Saya lahir di Garut,14 Maret 1994 saya anak
kedua dari dua bersaudara dan sekarang tinggal di Ciamis, Ayah saya bernama Rd. Sofyan
beliau adalah seorang wirausaha di bidang akademik dan ibu saya bernama Ai Sunarti dan
beliau adalah seoran pegawai negri sipil dan kaka saya bernama Rangga Maulana
Ramadhan dan saya hanya berselisih 5 tahun. Agama saya Islam begitu juga keluarga saya
dan saya memiliki golongan dara A, tinggi badan 183cm dan berat 65kg, saya memiliki
rambut hitam ikal dan warna kesukaan saya adalah biru. Salah satu tempat favorit saya
adalah stadion sepakbola karena disana saya bisa bertemu dengan teman-teman nonton
sepakbola bersama dan bisa di bilang menonton sepakbola itu adalah warisan turun
temurun di keluarga saya kepribadian saya memiliki sifat periang, humoris, ramah,
gampang bergaul dengan orang baru, dan baik hati namun saya memiliki sifat buruk yaitu
egois dan pemalas saya memiliki hobi menonton sepakbola dan bermain game
online,sekitar umur 1-13 tahun saya tinggal di bandung dan sekolah di SDN GATOT
SUBROTO 1 BANDUNG,SMPN 1 GARUT,SMAN 11 GARUT dan kuliah di
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA serta cita-cita saya ingin menjadi pengusaha
di bidang kuliner dan fashion dan harapan saya membahagiakan kedua orang tua saya
yang telah susah payah membesarkan dan medidik saya. Mereka selalu memberi
semangat, saran nasihat dan dukungan yang baik kepada saya diwaktu senang maupun
sedih.
1) Tokoh dan Teori- teori Identitas Sosial
1. Jakson dan Smith (1999)
Identitas sosial dapat dikonseptualisasikan paling baik dalam empat
dimensi: persepsi dalam konteks antar kelompok, daya tarik in-group, keyakinan
yang saling terkait, dan depersonalisasi, Jakson dan adam smith (1999)
menyatakan bahwa hal yang mendasari keempat dimensi tersebut adalah dua tipe
dasar identitas: mengevaluasman dan tidak aman, ketika identitas aman memiliki
derajat yang tinggi, individu cenderung mengevaluasi out-group lebih baik, lebih
sedikit bias bila membandingkan in-group. Sebaliknya, identitas tidak aman
dengan derajat yang tinggi, berhubungan dengan evaluasi yang sangat positif
terhadap in-group, bias lebih besar dalam membandingkan in-group dengan out
group, dan persepsi homogenitas in-group yang lebih besar. Walaupun kenyataan
jelas-jelas menyatakan bahwa kita memperoleh banyak aspek identitas kita dari
orang lain, siapa diri kita sebagian ditentukan oleh hereditas. Karasteristik fisik
seperti jenis kelamin, ras, dan warna rambut adalah contoh jelas, tetapi ada
pengaruh genetik lainnya. Peran faktor genetik, muncul ketika kembar identik
lebih serupa dalam karakteristik bawaan dibanding kembar beda telur.
3. Gender
1) Gender dan Jenis Kelamin
Gender merupakan suatu istilah yang tidak asing di telingah kita, sering kita
dengar tentang pertentangan antar gender, perbedaan, atau persamaannya, namun apakah
kita memahami apa yang dimaksud dengan gender itu sendiri? Gender erat kaitannya
dengan jenis kelamin, namun bukanlah jenis kelamin itu sendiri. Gender merupakan suatu
konsep dalam kehidupan sosial yang merujuk pada sesuatu yang berhubungan dengan
jenis kelamin, yang didalamnya dapat mencakup peran, tingkah laku, kepribadian dan
sebagainya, sehingga menjadi ciri dari jenis kelamin individu yang bersangkutan dalam
kebudayaan yang ada. Gender juga merupakan proses mengkategorikan orang dan sesuatu
menjadi maskulin atau feminin yang sering dikenal dengan istilah gender typing. Prose ini
terjadi secara otomatis, tanpa harus ada pemikiran yang mendalam. Petunjuk tentang
gender itu sendiri sangat mudah dikenali dari karakter fisik, seperti rambut, cara berjalan,
gaya busana dan sebagainya. Sedangkan jenis kelamin lebih cenderung pada aspek
biologis yang berdasarkan anatomi dan fisik antara laki-laki dan perempuan (Taylor,
Peplau, & Sears, 2012).
Permasalahan isu gender, yaitu kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, dimana
yang sering kita ketahui bahwa yang banyak dituntut adalah kaum perempuan. Wacana ini
bukanlah suatu hal yang tabu lagi di kalangan masyarakat kita. Berbagai perbincangan pun
banyak diselenggarakan yang bertujuan hanya untuk mensosialisasikan konsep-konsep
gender itu sendiri, mulai dari seminar, diskusi dan lain sebagainya. Perbincangan ini juga
masih sering menuai konflik, dikarenakan dalam sebagian masyarakat kita khususnya,
ditemukan suatu kesalahpahaman mengenai konsep tentang gender bahwa gender identik
dengan perempuan. Padahal, pada dasarnya konsep gender adalah laki-laki dan perempuan
yang menyangkut peran, fungsi, relasi antar kedua jenis tersebut, dan sebagainya
(Mufidah, 2010).
Perbedaan gender yang sering diperdebatkan merupakan hasil dari lingkungan,
artinya bagaimana lingkungan membentuk peran, tingkahlaku, kepribadian dan sebagainya
dari individu sesuai dengan jenis kelaminnya. Misalnya, seorang suami dalam suatu
daerah harus bekerja di luar dan istrinya berada di rumah. Sedangkan di daerah yang lain,
umunya yang bekerja di luar adalah seorang istri dan suami berada di rumah. Kasus ini
merupakan suatu bukti bahwa gender adalah hasil dari lingkungan atau kebudayaan yang
ada di sekitar individu (Baron & Byrne, 2003).
Permasalahnnya adalah wacana gender seperti apa yang sesuai dengan syariat
Islam dam tata nilai kehidupan bangsa Indonesia yang banyak mengacu pada nilai-nilai
Timur. Karena, disadari atau tidak belakangan ini sering terdapat wacana gender yang
mengatasnamakan kebebasan. Dengan begitu, seharusnya kita harus pintar-pintar dalam
memilah dan memilih suatu kebudayaan, wacana, dan sebagainya, apakah hal tersebut
sesuai dengan ajaran yang kita anut dan nilai kebudayaan yang ada atau malah bertolak
belakang dengan salah satu atau bahkan keduanya.
Dalam Islam, konsep kesetaraan dan keadilan gender ini sebenarnya sudah menjadi
bagian dari nilai-nilai yang ada di dalamnya. Di mana, laki-laki dan perempuan
ditempatkan pada posisi yang setara dalam kepentingan dan kebahagiaan di dunia maupun
akhirat, karena yang membedakan antara keduanya di hadapan-Nya hanyalah ketaqwaan,
sehingga laki-laki dan perempuan mempunyai kewajiban dan hak yang sama sebagai
hamba Allah SWT.
2) Identitas Gender
Ketika kita mendengar suatu berita tentang saudara kita yang tengah melahirkan,
maka salah satu pertanyaan yang muncul adalah apakah bayi tersebut laki-laki atau
perempuan. Kemudian dari kabar tersebut akan membuat kita menjadi berpikir apa yang
sabaiknya diberikan sebagai hadiah atas kelahirannya. Misalnya; warna baju, mainan, dan
sebagainya yang sesuai dengan jenis kelaminnya, karena hal-hal tersebut akan
berhubungan dengan gender mereka di kemudian hari. Jadi dapat disimpulkan bahwa
identitas gender merupakan sebagian dari konsep diri yang melibatkan identifikasi
seseorang sebagai seorang laki-laki atau perempuan. Kesadaran akan identitas gender
biasanya berkembang pada usia 2 tahun (Baron & Byrne, 2003).
Belakangan ini terdapat banyak kasus tentang kesadaran individu yang gendernya
tidak sesuai dengan aspek biologisnya. Transsexsual adalah salah satu contoh, di mana
seorang individu secara biologis termasuk salah satu jenis kelamin tertentu, namun di sisi
lain individu tersebut percaya bahwa dirinya anggota jenis kelamin lainnya. Kebanyakan
dari mereka yang transsexsual tidak menunjukkan tanda-tanda abnormalitas biologis,
karena secara genetika, hormonal, dan fisiologisnya tergolong normal. Namun dalam
kasus ini mereka mengembangkan konsep diri yang bertentangan dengan karakteristik
fisiknya. Sayangnya, faktor yang mendasari perilaku ini belum ditemukan, sehingga
mengalami kesulitan dalam menanganinya. Akibatnya, beberapa individu memutuskan
untuk operasi ganti kelamin sebagai cara untuk mendamaikan pertentangan antara pikiran
dan tubuh, sehingga tubuhnya sesuai dengan identitas mentalnya (Taylor, Peplau, & Sears,
2012).
Aspek perkembangan identitas gender diawali dengan determinan genetik jenis
kelamin pada saat konsepsi, di mana individu mengalami perkembangan melalui
serangkaian tahap perkembangan. Baron & Byrne (2003) dalam buku Psikologi Sosial
mengemukakan perkembangan identitas gender seperti berikut:
1. Konsepsi
Tahap ini merupakan proses di mana gen-gen kromosom jenis kelamin
yang menentukan apakah seorang bayi laki-laki atau perempuan.
2. Usia 2-4 tahun
Tahap yang kedua, di mana anak mulai belajar kategori sosial dan laki-laki
atau perempuan, serta memberi label diri dan orang lain sebagai anak laki-laki
atau perempuan, meskipun dengan pemahaman yang terbatas.
3. Masa kanak-kanak akhir
Merupakan tahap perkembangan yang ketiga, di mana identitas jenis
kelamin menjadi sangat jelas dan identitas gender berkembang sebagai bagian
dari konsep diri. Dalam tahap ini, seorang individu juga belajar karakteristik
gender dalam budayanya.
4. Remaja dan dewasa
Suatu tahapan identitas gender yang terakhir, di mana dalam identitas
gender tersebut sudah tercipta dengan matang dan stereotip gender pun sudah
dipahami dengan baik. Individu juga dapat mengidentifikasikan diri dengan
stereotip gender yang berhubungan dengan jenis kelaminnya atau tidak.
Sehingga, seseorang dapat mengadopsi stereotip yang berhubungan dengan
jenis kalaminnya, stereotip lawan jenis, kedua jenis kelamin, atau tidak sama
sekali.
Daftar Pustaka