Anda di halaman 1dari 16

DIRI DAN IDENTITAS

Paper untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kecakapan Antarpersonal

Oleh:
Gema ALam Fitriawan (10515085)

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA


FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER
PRODI SISTEM INFORMASI
1. Self
1) Pengertian Self
Berpikir mengenai dirinya sendiri adalah aktivitas manusia yang tidak dapat
dihindari pada umumnya, secara harfiah orang akan berpusat pada dirinya sendiri.
Sehingga self adalah pusat dari dunia sosial setiap orang. Sementara faktor genetik
memainkan sebuah peran terhadap identitas diri atau self concept yang sebagian besar
didasarkan pada interaksi dengan orang lain yang dipelajari dimulai dengan anggota
keluarga terdekat, kemudian meluas pada interaksi dengan mereka di luar keluarga (Lau &
Pun, 1999).
Konsep self merupakan kumpulan keyakinan dan persepsi diri mengenai diri
sendiri yang berorganisasi. Dengan kata lain, konsep self tersebut bekerja sebagai skema
dasar. Self memberikan sebuah kerangka yang menentukan bagaimana kita mengolah
informasi tentang diri kita sendiri termasuk motivasi, keadaan nasional, evaluasi diri,
kemampuan dan banyak hal lainnya (Klein, Lotfus & Bortun,1989; Van Hook & Higgins,
1998). Kita bekerja sangat keras untuk melindungi citra diri kita dari informasi yang
mengancam (Sedikides & Green, 2000) untuk mempertahankan konsistensi diri (Tschanz
& Rhodewalt, 2001) dan untuk menemukan alasan pada setiap inkonsistensi (Schlenker,
Pontari & Christopher, 2001). Maka orang cenderung menolak perubahan dan salah
memahami atau berusaha meluruskan infornasi yang tidak konsisten dengan konsep self
mereka. Reaksi defensive akan berkurang ketika individu memiliki pengalaman
menegaskan (self affirming experience ) yang tidak berhubungan. Setelah itu, individu
menjadi lebih terbuka pada informasi dan sikap untuk mempertahankan dirinya sendiri
akan berkurang. Dalam cara yang serupa, mengetahui bahwa orang lain menyukai Anda
mengurangi sikap desensif anda.
Sedikides dan Skowrinski (1997) menyatakan bahwa self berevolusi sebagai
sebuah karakteristik adaptif. Aspek pertama yang muncul adalah kesadaran diri subjektif
(subjective self awareness) hal ini melibatkan organisme untuk membedakaan dirinya
dengan lingkungan fisik dan sosialnya. Tanaman tentunya tidak memiliki kesadaran diri
subjektif tetapi sebagian besar hewan memiliki karakteristik ini dan hal ini meningkatkan
kemungkinan bertahan hidup (Damasio,1994; Lewis 1992). Beberapa hewan primata
bahkan mengembangkan kesadaran diri objektif (objective self awareness) yaitu kapasitas
organisme untuk menjadi objek perhatiannya sendiri (Gallup, 1994) menyadari keadaan
pikirannya sendiri dan mengetahui bahwa ia tahu dan mengingat bahwa ia ingat.
2) Konsep Dasar Self
Pertanyaan seperti “Siapakah Anda?” dan “Siapakah Saya?” telah ditanyakan lebih
dari seratus tahun yang lalu oleh para psikolog yang berusaha menentukan kandungan
spesifik dari konsep self individu dan pertanyaan ini dimulai oleh William James (1890).
Teknik ini digunakan oleh Rentsch dan Heffner ketika mereka meminta dua ratus
mahasiswa untuk menjawab pertanyaan: ”Siapakah Anda?” Kandungan dasar dari self,
sebagaimana dipersepsikan oleh mahasiswa ini terdiri dari 8 kategori, beberapa
diantaranya merujuk pada aspek identitas sosial (kebangsaan, ras, dll) dan lainnya merujuk
pada atribut personal (hubungan, hobi, dll).
Skema self mungkin jauh lebih kompleks dan detail daripada yang dapat digali
melalui pertanyaan siapakah anda. Hal ini terjadi atas beberapa kemungkinan. Dengan
kata lain, skema self adalah rangkuman dari semua yang dapat diingat oleh seseorang,
pengetahuannya dan imajinasinya tentang diri sendiri. Sebuah skema juga diri juga
memainkan peran dalam memadu tingkah laku. Karena self adalah pusat dari dunia sosial
setiap orang dan karena skema self berkembang dengan sangat baik, hal itu mendukung
kemampuan kita untuk bekerja dengan sangat baik, hal itu akan mendukung kemampuan
kita untuk bekerja lebih baik dalam memproses informasi yang relefan dari informasi yang
lain. Fenomena ini dikenal dengan efek self-reference.

3) Konsep Self Sosial


Selain identitas unik yang sering disebut sebagai konsep self personal, juga ada
aspek sosial dari self yang dibagi dengan orang lain. Konsep diri sosial tidak sesederhana
saat membentuk asosiasi, sebagai contoh dengan kelompok etnis tertentu tetapi
didefenisikan secara berbeda, tergantung pada afiliasi etnisnya. Bagian dari siapa dan
bagaimana kita berpikir tentang diri sendiri ditentukan oleh identitas kolektif yang disebut
sebagai self sosial (social self). Self sosial juga terdiri dari dua komponen (1) berasal dari
hubungan interpersonal dan (2) berasal dari keanggotaan pada kelompok yang lebih besar
dan kurang pribadi seperti ras,etnis, atau budaya. Hubungan dan kategori menjadi bagian
dari self. Ketika menguji peran hubungan interpersonal dalam konsep self, perlu
mempertimbangkan konteks situasional dimana hubungan tersebut melibatkan orang lain.
Sebagai contoh, Bryne dan Shavelson (1996) mengategorikan interaksi sosial dari orang
muda dengan melibatkan sekolah dan keluarga, dan hal ini dikategorikan lebih jauh lagi
dalam hubungannya dengan guru dan teman sekelas, saudara dan orangtua dan seterusnya.
Karena konsep self berkembang dalam sebuah konteks budaya, akan dilihat
perbedaan-perbedaan dalam berbagai budaya. Faktor spesifik mempengaruhi perbedaan
perkembangan. Selain itu konsep self pada saat tertentu sebenarnya hanyalah konsep self
yang bekerja, yang terbuka bagi perubahan sebagai respons terhadap pengalaman baru,
umpan balik baru dan informasi yang relevan dengan self. Gambaran dari kemungkinan
self di masa depan dapat mempengaruhi motivasi, dan dapat membayangkan hasil dari diri
sendiri yang baru dan berkembang.
Individu yang optimis memiliki kepercayaan diri lebih besar dibanding individu
yang pesimis bahwa mereka akan mampu mencapai perubahan self yang positif. Setiap
orang berbeda mengenai jumlah kemungkinan self yang dapat dibayangkan. Jika hanya
membayangkan jumlah alternatif yang reatif terbatas maka secara khusus rentan terhadap
umpan balik negatif. Tampaknya usaha mempersuasi orang untuk mempertimbangkam
kemungkinan self yang banyak (sejauh hal itu realistik) akan menguntungkan.
Diantara mahasiswa kulit putih, penelitian mengindikasikan bahwa pendekatan
yang paling baik adalah dengan menekankan kemungkinan self yang berhubungan dengan
prestasi dengan cara menekankan individualisme, etos kerja, dan kenyataan bahwa
beberapa kemungkinan self lebih positif daripada yang lain. Namun, di antara mahasiswa
kulit hitam, sebuah strategi yang lebih efektif adalah dengan menekankan kolektivisme
dan identitas rasial. Walaupun fokus pada ras tampaknya tidak produktif namun individu
yang menjadi objek prasangka dan diskriminasi cenderung bereaksi dengan self esteem
dan self enchacement lebih besar ketika citra rasial merupakan hal yang mendasar. Konsep
positif seperti harga diri orang kulit hitam, kekuatan kulit hitam dan kulit hitam indah
berkembang sebagai bagian dari sebuah respons terhadap pengalaman rasial negatif, tetapi
konsep tersebut dapat memberikan motivasi positif.

4) Self Esteem
Sikap yang paling penting dikembangkan seseorang adalah sikap terhadap self.
Evaluasi terhadap diri sendiri dikenal sebagai self esteem (James, 1890). Sedikides
menyatakan tiga kemungkinan motif dalam evaluasi diri. Orang dapat mencari self-
assesment (untuk memperoleh pengetahuan yang akurat tentang dirinya sendiri), self
enchacement (untuk mendapatkan informasi positif tentang diri mereka sendiri), atau self
verification (untuk mengkonfirmasi sesuatu yang sudah diketahui tentang dirinya sendiri).
Memiliki self esteem yang tinggi berarti seorang individu menyukai dirinya
sendiri. Evaluasi positif ini sebagian berdasarkan opini orang lain dan sebagian lagi
berdasarkan dari pengalaman spesifik. Perbedaan budaya juga mempengaruhi apa yang
penting bagi self esteem seseorang. Sebagai contoh harmoni dalam hubungan interpersonal
merupakan elemen yang penting dalam budaya kolektivis sementara harga diri adalah hal
yang penting bagi budaya individualis.
Self esteem sering kali diukur sebagai sebuah peringkat dalam dimensi yang
berkisar dari negatif sampai positif atau dari rendah sampai tinggi. Sebuah pendekatan
yang berbeda adalah dengan meminta responden untuk mengindikasikan self ideal mereka
seperti apa, self mereka yang sebenarnya dan kemudian meneliti perbedaan diantara
keduanya. Semakin besar perbedaan antara self dengan idealnya, semakin rendah self
esteemnya.Walaupun konten spesifiknya dapat bervariasi seiring dengan berjalannya
waktu, perbedaan self dengan ideal cenderung stabil. Menyenangkan menerima umpan
balik yang menunjukkan bahwa kita berfungsi di tingkat ideal dalam beberapa aspek
dalam hidup dan kurang menyenangkan untuk menghadapi kenyataan bahwa kita kurang
ideal.
Sumber-sumber informasi utama yang relevan dengan evaluasi diri adalah orang
lain, kita menilai diri sendiri atas dasar perbandingan sosial. Tergantung pada kelompok
pembanding, tingkah laku spesifik dapat tampak tidak memadai, rata-rata atau sangat baik.
Dua individu yang tindakannya sama persis dapat memilki evaluasi diri yang sangat
berbeda karena mereka membandingkan diri mereka dengan kelompok yang cukup
berbeda.
Dalam kebanyakan kasus, self esteem yang tinggi memiliki konsekuensi yang
positif, sementara self esteem yang rendah memiliki efek sebaliknya. Penelitian selama
puluhan tahun memberikan bukti bahwa tidak boleh menyimpulkan bahwa self esteem
yang tinggi adalah hal yang baik dan yang rendah buruk,atau asumsi bahwa self esteem
tidak relevan efeknya lebih kompleks daripada hanyak sekedar suatu pembedaan atau
masih belum sepenuhnya dipahami.
Ketika kompetensi aktual seseorang tidak sesuai dengan evaluasi dirinya, hasilnya
disebut self esteem paradoks. Akan tetapi, self esteem postif yang tidak realistis dapat
menghasilkam keuntungan sementara bagi kesehatan mental seseorang. Sementara self
esteem yang tinggi biasanya menguntungkan, self esteem yang rendah memiliki efek
negatif yang tidak seragam.
Peristiwa negatif dalam hidup memiliki efek negatif terhadap self esteem. Sebagai
contoh ketika masalah muncul di sekolah, tempat kerja, dalam keluarga, atau diantara
teman, akan terjadi penurunan self esteem, peningkatan kecemasan dan individu yang
terganggu akan berusaha mencari penguatan melalui berbagai cara. Namun, biasanya
tingkat self esteem individu relatif konstan karena mereka menggunakan mekanisme
majemuk untuk mempertahankan tingkat itu.

5) Fungsi Self
a) Self Focusing
Pada saat kapanpun perhatian seseorang dapat diarahkan ke dalam dirinya sendiri
maupun dunia eksternal. Self focusing didefinisikan sebagai perhatian yang diarahkan
pada diri sendiri. Sebagai contoh, anak-anak yang sangat kecil lebih sering memfokuskan
diri pada dunia eksternal, tetapi self focusing akan meningkat pada anak-anak dan remaja.
Pada masa dewasa, setiap individu akan berbeda-beda dalam hal sejauh mana mereka
terlibat dalam self focusing. Self focusing yang terus menerus dan konsisten dapat
menciptakan kesulitan. Maksudnya sebagai respons terhadap interaksi sosial yang tidak
menyenangkan, individu dengan gaya yang terfokus pada self mengalami perasaan negatif
lebih lambat dan reaksi ini lebih kuat pada wanita dibanding pria.
Akan berguna untuk mengalihkan self focusing pada fokus eksternal jika merasa
depres, fokus eksternal dapat menciptakan aspek positif karena memikirkan hal yang lain.
Lagi pula dalam hubungan antara self focusing dan aspek positif serta negatif, Green dan
Sedikies (1999) menyatakan orientasi afek juga sama pentingnya.Orientasi dapat bersifat
reflektif (kecendrungan untuk tidak bertindak) atau sosial (kecendrungan untuk bertindak).
Dengan meminta pasrtisipan untuk memvisulisasikan skenario tertentu, eksperimenter
mampu mengarahkan afek, skenario sedih menciptkan perasaan kesedihan, ditolak dan
depresi, sementara kebahagiaan menciptakan perasaan puas, tenang dan nyaman. Skenario
lain yang berorientasi afeksi yaitu penciptaan proses yang membangkitkan respons seperti
amarah, kecewa dan kegilaan. Ketika afek diarahkan, perhatian terhadap fokus diri
meningkat. Ketika orientasi afek diarahkan, perhatian terhadap self focused menurun.
Beberapa orang mengingat aspek positif dan negatif pengalamannya secara
terpisah dalam memori, melakukan compartmentalized self organization. Ketika hal itu
dilakukan suasana hati seseorang dapat dikontrol dengan memutuskan apakah akan
memfokuskan diri pada elemen negatif atau positif. Tidak hanya self focusing
mempengaruhi suasana hati tetapi suasana hati juga mempengaruhi arah self focusing.
Orang berbeda kemampuannya mengendalikan suasana hati. Ketika sebuah suasana hati
negatif diarahkan dalam kondisi laboratorium, partisipan yang memiliki karakter sukses
untuk mengendalikan suasana hatinya tampil lebih baik dalam mengingat memori positif
dan membalikkan suasana hati negatif daripada partisipan yang memiliki kemampuan
yang rendah dalam mengendalikan suasana hatinya.
Daripada menyimpan aspek positif dan negatif dalam bagian yang terpisah dalam
memori beberapa orang menyimpannya bersama dalam memori. Pola ini disebut evaluasi
terhadap organisasi diri terintegasi dan hasilnya adalah self focusing tidak akan pernah
hanya melibatkan memori yang sama. Hasilnya pengalaman individu ini tidak memiliki
afek negatif yang terlalu parah dan memiliki self esteem yang lebih tinggi.

b) Self Monitoring
Istilah self monitoring merujuk pada kecendrungan untuk mengatur tingkah laku
berdasarkan petunjuk eksternal seperti bagaimana orang lain berekasi (self monitoring
tinggi) atau berdasar pada petunjuk internal seperti keyakinan seseorang dan sikapnya.
Orang dengan self monitoring yang rendah cenderung berperilaku dengan cara yang
konsisten terlepas dari situasi yang ia hadapi, sementara orang dengan self monitoring
yang tinggi cenderung mengubah tingkah laku saat situasi berubah. Orang dengan self
monitoring yang tinggi berusaha menyesuaikan tingkah laku dengan peran dalam kondisi
yang ada untuk memperoleh evaluasi positif dari orang lain. Karakter ini nerupakan
karakter yang berguna bagi politikus, tenaga penjualan dan aktor.
Kecendrungan melakukan self monitoring dapat muncul dalam berbagai aspek
tingkah laku sosial. Orang dengan self monitoring yang tinggi cenderung menggunakan
kata ganti orang ketiga. Ketika mereka berbicara sementara orang dengan self monitoring
rendah menggunakan kata ganti orang pertama. Self esteem yang semakin positif adalah
karakter meraka dengan self monitoring yang rendah cenderung lebih sedikit memiliki
hubungan romantis yang panjang daripada orang dengan self monitoring yang tinggi.
Yang menarik, mereka yang memiliki self monitoring yang tinggi atau rendah lebih sering
mengalami gangguan dan kurang mampu menyesuaikan diri dibanding mereka yang
memiliki self monitoring yang cukup. Bagi mereka yang memiliki self monitoring yang
tinggi, depresi dan kecemasan berasal dari kesenjangan antara karakteristik yang
seharusnya ia miliki, bagi mereka dengan self monitoring yang rendah, depresi dan
kecemasan berasal dari kesenjangan antara karakteristik dirinya dengan apa yang ia pikir
seharusnya dimiliki.
c) Self Efficacy
Self efficacy adalah evaluasi seseorang terhadap kemampuan atau kompetensinya
untuk melakukan sebuah tugas, mencapai tujuan atau mengatasi hambatan. Evaluasi ini
dapat bervariasi tergantung pada situasi. Performa fisik, tugas akademis, performa dalam
pekerjaan dan kemampuan untuk mengatasi kecemasan dan depresi ditingkatkan melalui
perasaan yang kuat akan self efficacy. Pada umumnya orang akan bertindak untuk
mencapai tujuan, jika ia merasa akan mendapat hasil dari tindakannya tersebut. Jika ia
tidak yakin bahwa tindakannya akan berhasil maka ia merasa imbalan untuk tindakannya
cenderung tidak ada atau relatif hanya sedikit. Orang dengan kepercayaan diri yang tinggi
juga cenderung lebih cepat berhenti mengerjakan tugas yang nyata-nyata tidak dapat
diselesaikan dibanding mereka yang memiliki kepercayaan diri yang rendah, sebaliknya
mereka lebih suka mengalokasikan waktu dan usahanya untuk tugas yang mereka tahu
dapat diselesaikan.
Lebih lanjut mengenai self efficacy, Bandura mengajukan konsep self efficacy
kolektif yaitu keyakinan yang dibagi oleh anggota kelompok bahwa tindakan kolektif akan
menghasilkan efek yang diinginkan. Mereka yang tidak yakin pada self eficacy kolektif
beranggapan bahwa mereka tidak dapat mengubah apapun,sehingga mereka menyerah dan
menjadi apatis terhadap isu politik. Individu sering kali kurang memiliki perasaan self
efficacy dalam situasi interpersonal. Ini disebabkan karena kurangnya kemampuan sosial
atribusi yang tidak tepat, tidak memadainta karakter diri dan tidak bersedia untuk
mengambil inisiatif dalam persahabatan.
Diantara wanita, perasaan self efficacy interpersonal dihubungkan dengan
asertivitas seksual. Asertivitas ini membuatnya menjadi lebih mudah untuk menolak
hubungan seksual yang tidak diinginkan. Self efficacy cenderung konsisten sepanjang
waktu tetapi bukan berarti tidak berubah. Umpan balik positif terhadap kemampuan
seseorang meningkatkan self efficacy.
2. Identitas Sosial
Identitas sosial merupakan definisi seseorang yang berkaitan tentang dirinya,
termasuk di dalamnya atribut pribadi dan atribut yang dibaginya bersama dengan orang
lain, seperti gender dan ras. Awal dari kehidupan setiap orang mulai memiliki pandangan
tentang siapa dirinya, termasuk apakah dia harus melebel dirinya sebagai perempuan atau
laki-laki, dengan kata lain setiap orang membangun sebuah identitas sosial (social
identity). Identitas sosial mencakup banyak karakteristik unik, seperti nama seseorang dan
konsep self, gender, hubungan interpersonal kita (anak perempuan, anak laki-laki,
pasangan orang tua, dan lain-lain.), afiliasi politik atau ideologi (feminis, pecinta
lingkungan, demokrat, republikan, vegetarian, dan lain-lain.) atribut khusus (homoseksual,
cerdas, keterbelakangan mental, pendek, tampan, dan lain-lain.), dan afiliasi etnis atau
religius (katolik, orang selatan, hispanik, yahudi, warga kulit hitam, muslim (Atheis, Hick,
dan lain-lain).
Gema Alam Fitriawan adalah sebuah nama yang memiliki arti “Suara semesta
kembali suci” teman memanggil saya Gema. Saya lahir di Garut,14 Maret 1994 saya anak
kedua dari dua bersaudara dan sekarang tinggal di Ciamis, Ayah saya bernama Rd. Sofyan
beliau adalah seorang wirausaha di bidang akademik dan ibu saya bernama Ai Sunarti dan
beliau adalah seoran pegawai negri sipil dan kaka saya bernama Rangga Maulana
Ramadhan dan saya hanya berselisih 5 tahun. Agama saya Islam begitu juga keluarga saya
dan saya memiliki golongan dara A, tinggi badan 183cm dan berat 65kg, saya memiliki
rambut hitam ikal dan warna kesukaan saya adalah biru. Salah satu tempat favorit saya
adalah stadion sepakbola karena disana saya bisa bertemu dengan teman-teman nonton
sepakbola bersama dan bisa di bilang menonton sepakbola itu adalah warisan turun
temurun di keluarga saya kepribadian saya memiliki sifat periang, humoris, ramah,
gampang bergaul dengan orang baru, dan baik hati namun saya memiliki sifat buruk yaitu
egois dan pemalas saya memiliki hobi menonton sepakbola dan bermain game
online,sekitar umur 1-13 tahun saya tinggal di bandung dan sekolah di SDN GATOT
SUBROTO 1 BANDUNG,SMPN 1 GARUT,SMAN 11 GARUT dan kuliah di
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA serta cita-cita saya ingin menjadi pengusaha
di bidang kuliner dan fashion dan harapan saya membahagiakan kedua orang tua saya
yang telah susah payah membesarkan dan medidik saya. Mereka selalu memberi
semangat, saran nasihat dan dukungan yang baik kepada saya diwaktu senang maupun
sedih.
1) Tokoh dan Teori- teori Identitas Sosial
1. Jakson dan Smith (1999)
Identitas sosial dapat dikonseptualisasikan paling baik dalam empat
dimensi: persepsi dalam konteks antar kelompok, daya tarik in-group, keyakinan
yang saling terkait, dan depersonalisasi, Jakson dan adam smith (1999)
menyatakan bahwa hal yang mendasari keempat dimensi tersebut adalah dua tipe
dasar identitas: mengevaluasman dan tidak aman, ketika identitas aman memiliki
derajat yang tinggi, individu cenderung mengevaluasi out-group lebih baik, lebih
sedikit bias bila membandingkan in-group. Sebaliknya, identitas tidak aman
dengan derajat yang tinggi, berhubungan dengan evaluasi yang sangat positif
terhadap in-group, bias lebih besar dalam membandingkan in-group dengan out
group, dan persepsi homogenitas in-group yang lebih besar. Walaupun kenyataan
jelas-jelas menyatakan bahwa kita memperoleh banyak aspek identitas kita dari
orang lain, siapa diri kita sebagian ditentukan oleh hereditas. Karasteristik fisik
seperti jenis kelamin, ras, dan warna rambut adalah contoh jelas, tetapi ada
pengaruh genetik lainnya. Peran faktor genetik, muncul ketika kembar identik
lebih serupa dalam karakteristik bawaan dibanding kembar beda telur.

2. Teori Hur, McGue, dan Lacono (1998)


Membandingkan beberapa ratus pasangan kembar perempuan baik dari
kelompok kembar identik maupun beda telur (usia sebelas dan dua belas tahun),
mengenai seberapa sama mereka dalam berbagai aspek identitas sosial. Sekitar
sepertiga dari variasi konsep self mereka disebabkan oleh perbedaan genetik. Efek
genetik terbesar adalah pada persepsi popularitas self dan penampilan fisik, tetapi
ada aspek yang signifikan walaupun lebih keci, yaitu efek peda persepsi terhadap
kecemasan, kebahagiaan, dan kemampuan akademik, dan banyaknya kategori
yang menyusun identitas sosial terkait dengan dunia interpersonal.
3. Teori Buat Fromm (1947)
Mengatakan identitas diri dapat dibedakan, tetapi identitas diri tidak dapat
dipisahkan dari identitas sosials seseorang dalam konteks komunitasnya, selain
mahluk individual yang membangun identitas dirinya berdasarkan konsep atau
gambaran dan cita-cita ideal yang secara sadar dan bebas pilih.
4. Teori Erikson (1986)
Erikson berpendapat, bahwa identitas sosial dibagi 2, yaitu:
a. Identitas pribadi
b. Identitas ego, merupakan pangkal dari identitas pribadi yang bersumber dari
pengalaman, bersifat secara langsung dari proses perjalanan hidupnya,
walaupun mengalami berbagai perubahan, dia tetap menjadi seorang individu
yang sama, sedangkan identitas ego merupakan identitas yang bersifat
baru.Proses pembentukan identitas berlangsung secara pelan-pelan, dan pada
awalnya terjadi tak sadar dalam inti dari individu, proses pembentukan
identitas yang berangsur-angsur, sebenarnya sudah dimulai sejak periode
pertama yakni periode kepercayaan dasar, yang menjadi lawan kecurigaan
dasar.
5. Henri Tajfel
Dia adalah seorang psikolog berkebangsaan polandia, keturunan yunani
yang lahir di Wlock lawek pada tanggal, 22 juni 1919, awal dari pekerjaan Tajfel
di bidang psikologi adalah bidang psikologi sosial yang merupakan bidang baru
dalam bidang psikologi, Dia berkonsentrasi pada hubungan antara motivasi dan
persepsi, dan disini dibahas tentang persepsi yang berlebihan, dalam bidang ini
tajfel mengungkapkan teori baru tentang persepsi, yaitu:
a. Asosiasi nilai dengan objek fisik tidak selalu memberikan persepsi yang
berlebihan dengan perbandingannya terhadap stimulus yang netral atau
terhadap ukuran yang objektif.
b. Distorsi dalam persepsi tidak selalu berasal dari satu arah.
c. Tafjel membedakan antara penilaian persepsi interserial dengan intraserial
setelah melakukan eksperimen yang dinamakan dengan eksperimen
kelompok minimal (minimal group experiment), tafjel pun menjadi social
psychologis yang cukup terkenal.
Aristoteles berpendapat bahwa, manusia merupakan hewan yang berpikir, dan
pada saat berpikir, seorang manusia baru menydari akan keberadaannya “I think, there for
I am”. Sedangkan menurut Descrates menyebutnya bahwa manusia adalah hewan yang
berpikir, maka yang menyadari keberadaannya sesuatu yang lain, dan yang menyadari
sesuatu yang lain itu adalah manusia, bukan yang lainnya. Identitas sosial umumnya
dimengerti sebagai suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi, suatu
kesatuan unik yang memelihara kesinambungan arti masa lampaunya sendiri, baik
kaitannya dengan dirinya atau orang lain. Identitas Sosial dapat dikonseptualisasikan
dalam empat dimensi:
1. Persepsi yang kaitannya dengan anatar kelompok. Contohnya hubungan antara in-
Group seseorang dengan group perbandingan yang lain.
2. Daya tarik in-group, yakni efek yang ditimbulkan oleh in-group seseorang.
3. Sifat dan rasa keyakinan yang saling berhubungan, norma dan nilai yang ada di
masyarakat merupakan norma yang menghasilkan tingkah laku anggota kelompok
ketika mereka berusaha untuk mencapai tujuan, dan berbagi keyakinan yang sama.
4. Depersonalisasi, merupakan memandang dirinya sendiri sebagai contoh dari
kategori sosial yang dapat digantikan dan bukannya individu yang unik.
Kita banyak memperoleh aspek identitas kita dari orang lain, siapa diri kita
sebagian ditentukan oleh faktor hereditas. Karakteristik fisik seperti jenis kelamin, ras, dan
warna rambut merupakan contoh contoh identitas yang jelas, tetapi ada pengaruh genetik
lainnya, salah satu untuk pendekatan untuk menentukan pengaruh mana yang lebih besar
adalah dengan membandingkan kembar identik dan kembar beda telur. Banyak kategori
yang menyusun identitas sosial terkait dengan dunia interpersonal. Mereka
mengidentifikasiakan sejauh mana kita bisa serupa dan dan tidak serupa dengan orang lain
yang ada di sekitar kita.
Ketika konteks sosial seseorang berubah membangun sebuah identitas sosial
baru dapat menjadi sumber stres yang besar, dan seorang yang mengalami stres tersebut
dengan berbagai macam cara unyuk mengatasi masalahnya. Misalnya ketika ada seorang
mahasiswa Hispanik di Amerika meninggalkan subbudaya di mana mereka adalah
mayoritas dan memasuki budaya anglo, stres yang dihasilkan sering kali menimbulkan
satu atau dua reaksi yang umum, seperti ketika mereka memasuki universitas atau menjadi
pegawai dalam sebuah organisasi.
Beberapa konsep yang menyatakan, bahwa identitas sosial berasal dari
beberapa asumsi, diantaranya:
1. Setiap individu akan selalu melakukan suatu perbuatan yang bertujuan untuk
memelihara dan menaikkan self-nya, dan mereka berupaya membentuk konsep diri
yang positif.
2. Golongan atau kategori sosial dan anggota dari melakukan suatu asosiasi dengan
konotasi nilai yang positif atau negatif, karena kemungkinan identitas sosial bisa
positif atau negatif, tergantung evaluasi kelompok tersebut yang memberikan
kontribusi pada identitas sosial individu.
3. Evaluasi dari salah satu kelompok adalah berusaha mengdeterminasikan sebagai
bahan acuan pada kelompok lain secara spesifik melalui perbandingan sosial dalam
bentuk nilai atribut atau karakteristik.

3. Gender
1) Gender dan Jenis Kelamin
Gender merupakan suatu istilah yang tidak asing di telingah kita, sering kita
dengar tentang pertentangan antar gender, perbedaan, atau persamaannya, namun apakah
kita memahami apa yang dimaksud dengan gender itu sendiri? Gender erat kaitannya
dengan jenis kelamin, namun bukanlah jenis kelamin itu sendiri. Gender merupakan suatu
konsep dalam kehidupan sosial yang merujuk pada sesuatu yang berhubungan dengan
jenis kelamin, yang didalamnya dapat mencakup peran, tingkah laku, kepribadian dan
sebagainya, sehingga menjadi ciri dari jenis kelamin individu yang bersangkutan dalam
kebudayaan yang ada. Gender juga merupakan proses mengkategorikan orang dan sesuatu
menjadi maskulin atau feminin yang sering dikenal dengan istilah gender typing. Prose ini
terjadi secara otomatis, tanpa harus ada pemikiran yang mendalam. Petunjuk tentang
gender itu sendiri sangat mudah dikenali dari karakter fisik, seperti rambut, cara berjalan,
gaya busana dan sebagainya. Sedangkan jenis kelamin lebih cenderung pada aspek
biologis yang berdasarkan anatomi dan fisik antara laki-laki dan perempuan (Taylor,
Peplau, & Sears, 2012).
Permasalahan isu gender, yaitu kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, dimana
yang sering kita ketahui bahwa yang banyak dituntut adalah kaum perempuan. Wacana ini
bukanlah suatu hal yang tabu lagi di kalangan masyarakat kita. Berbagai perbincangan pun
banyak diselenggarakan yang bertujuan hanya untuk mensosialisasikan konsep-konsep
gender itu sendiri, mulai dari seminar, diskusi dan lain sebagainya. Perbincangan ini juga
masih sering menuai konflik, dikarenakan dalam sebagian masyarakat kita khususnya,
ditemukan suatu kesalahpahaman mengenai konsep tentang gender bahwa gender identik
dengan perempuan. Padahal, pada dasarnya konsep gender adalah laki-laki dan perempuan
yang menyangkut peran, fungsi, relasi antar kedua jenis tersebut, dan sebagainya
(Mufidah, 2010).
Perbedaan gender yang sering diperdebatkan merupakan hasil dari lingkungan,
artinya bagaimana lingkungan membentuk peran, tingkahlaku, kepribadian dan sebagainya
dari individu sesuai dengan jenis kelaminnya. Misalnya, seorang suami dalam suatu
daerah harus bekerja di luar dan istrinya berada di rumah. Sedangkan di daerah yang lain,
umunya yang bekerja di luar adalah seorang istri dan suami berada di rumah. Kasus ini
merupakan suatu bukti bahwa gender adalah hasil dari lingkungan atau kebudayaan yang
ada di sekitar individu (Baron & Byrne, 2003).
Permasalahnnya adalah wacana gender seperti apa yang sesuai dengan syariat
Islam dam tata nilai kehidupan bangsa Indonesia yang banyak mengacu pada nilai-nilai
Timur. Karena, disadari atau tidak belakangan ini sering terdapat wacana gender yang
mengatasnamakan kebebasan. Dengan begitu, seharusnya kita harus pintar-pintar dalam
memilah dan memilih suatu kebudayaan, wacana, dan sebagainya, apakah hal tersebut
sesuai dengan ajaran yang kita anut dan nilai kebudayaan yang ada atau malah bertolak
belakang dengan salah satu atau bahkan keduanya.
Dalam Islam, konsep kesetaraan dan keadilan gender ini sebenarnya sudah menjadi
bagian dari nilai-nilai yang ada di dalamnya. Di mana, laki-laki dan perempuan
ditempatkan pada posisi yang setara dalam kepentingan dan kebahagiaan di dunia maupun
akhirat, karena yang membedakan antara keduanya di hadapan-Nya hanyalah ketaqwaan,
sehingga laki-laki dan perempuan mempunyai kewajiban dan hak yang sama sebagai
hamba Allah SWT.

2) Identitas Gender
Ketika kita mendengar suatu berita tentang saudara kita yang tengah melahirkan,
maka salah satu pertanyaan yang muncul adalah apakah bayi tersebut laki-laki atau
perempuan. Kemudian dari kabar tersebut akan membuat kita menjadi berpikir apa yang
sabaiknya diberikan sebagai hadiah atas kelahirannya. Misalnya; warna baju, mainan, dan
sebagainya yang sesuai dengan jenis kelaminnya, karena hal-hal tersebut akan
berhubungan dengan gender mereka di kemudian hari. Jadi dapat disimpulkan bahwa
identitas gender merupakan sebagian dari konsep diri yang melibatkan identifikasi
seseorang sebagai seorang laki-laki atau perempuan. Kesadaran akan identitas gender
biasanya berkembang pada usia 2 tahun (Baron & Byrne, 2003).
Belakangan ini terdapat banyak kasus tentang kesadaran individu yang gendernya
tidak sesuai dengan aspek biologisnya. Transsexsual adalah salah satu contoh, di mana
seorang individu secara biologis termasuk salah satu jenis kelamin tertentu, namun di sisi
lain individu tersebut percaya bahwa dirinya anggota jenis kelamin lainnya. Kebanyakan
dari mereka yang transsexsual tidak menunjukkan tanda-tanda abnormalitas biologis,
karena secara genetika, hormonal, dan fisiologisnya tergolong normal. Namun dalam
kasus ini mereka mengembangkan konsep diri yang bertentangan dengan karakteristik
fisiknya. Sayangnya, faktor yang mendasari perilaku ini belum ditemukan, sehingga
mengalami kesulitan dalam menanganinya. Akibatnya, beberapa individu memutuskan
untuk operasi ganti kelamin sebagai cara untuk mendamaikan pertentangan antara pikiran
dan tubuh, sehingga tubuhnya sesuai dengan identitas mentalnya (Taylor, Peplau, & Sears,
2012).
Aspek perkembangan identitas gender diawali dengan determinan genetik jenis
kelamin pada saat konsepsi, di mana individu mengalami perkembangan melalui
serangkaian tahap perkembangan. Baron & Byrne (2003) dalam buku Psikologi Sosial
mengemukakan perkembangan identitas gender seperti berikut:
1. Konsepsi
Tahap ini merupakan proses di mana gen-gen kromosom jenis kelamin
yang menentukan apakah seorang bayi laki-laki atau perempuan.
2. Usia 2-4 tahun
Tahap yang kedua, di mana anak mulai belajar kategori sosial dan laki-laki
atau perempuan, serta memberi label diri dan orang lain sebagai anak laki-laki
atau perempuan, meskipun dengan pemahaman yang terbatas.
3. Masa kanak-kanak akhir
Merupakan tahap perkembangan yang ketiga, di mana identitas jenis
kelamin menjadi sangat jelas dan identitas gender berkembang sebagai bagian
dari konsep diri. Dalam tahap ini, seorang individu juga belajar karakteristik
gender dalam budayanya.
4. Remaja dan dewasa
Suatu tahapan identitas gender yang terakhir, di mana dalam identitas
gender tersebut sudah tercipta dengan matang dan stereotip gender pun sudah
dipahami dengan baik. Individu juga dapat mengidentifikasikan diri dengan
stereotip gender yang berhubungan dengan jenis kelaminnya atau tidak.
Sehingga, seseorang dapat mengadopsi stereotip yang berhubungan dengan
jenis kalaminnya, stereotip lawan jenis, kedua jenis kelamin, atau tidak sama
sekali.
Daftar Pustaka

Baron, R. A., & Byrne, D. (2003). Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.


Mufidah. (2010). Isu-isu Gender Kontemporer. Malang: UIN Press.
Taylor, S., Peplau, L. A., & Sears, D. (2012). Psikologi Sosial. Jakarta: Prenada Media.

Anda mungkin juga menyukai