Anda di halaman 1dari 11

KELOMPOK 9

Disusun oleh: Nadya,Maura vira monicha

Perkembangan Identitas Diri ,Moral,Dan Prososial

A. Pembentukan Dan Tempaan Identitas Sosial

Pada awal tahun pelajaran baru, semua siswa masuk pada hari
pertama sekolah. Guru memberikan sebuah kegiatan, yaitu siswa
diminta mendeskripsikan dirinya sendiri dalam waktu 2 menit
pada saat akan mendeskripsikan diri dalam waktu singkat
tersebut, banyak siswa yang menyatakan bahwa mereka belum
selesai. Bahkan, banyak di antaranya merasa kebi ngungan akan
mendeskripsikan dirinya seperti apa

Sekarang, jika Anda diminta untuk mendeskripsikan diri dalam waktu 2 menit, apa yang akan
Anda ungkapkan? Apakah dalam waktu yang singkat tersebut Anda dapat mendeskripsikan
diri Anda?
Berbicara tentang proses pendeskripsian diri sendiri itu, itu artinya kita akan berhubungan
dengan yang dinamakan identitas diri, bukan? Menurut Anda, apakah yang dimaksud dengan
identitas diri? Bagaimana identitas diri terbentuk? Mari kita diskusikan bersama-sama.

Identitas diri adalah mendefinisikan diri dengan matang: perasaan tentang siapa seseorang,
ke mana orang akan pergi dalam kehidupannya, dan bagaimana seseorang tersebut cocok
dengan masyarakat (Shaffer & Kipp, 2014). Menurut Erikson (dalam Berk, 2007), identitas
diri berarti perasaan dapat berfungsi sebagai seseorang yang berdiri sendiri, tetapi yang
berhubungan erat dengan orang lain. Itu artinya menjadi seseorang dari kelompok tetapi
sekaligus memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan orang lain atau dengan kata lain memiliki
ciri-ciri khusus sebagai individu.
Berdasarkan paparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa identitas diri merupakan
kesadaran seorang individu untuk menempatkan diri dan memberikan arti pada dirinya sendiri
sebagai seorang pribadi yang memiliki ciri-ciri tertentu berbeda dengan individu lain di dalam
kelompoknya, memiliki keyakinan yang relatif stabil, serta memiliki peran dalam kehidupan
bermasyarakat. Selain itu, identitas diri juga dapat berarti tentang fisik, keyakinan, tujuan
hidup, harapan hidup, prinsip moral, atau gaya sosial.
1. Bagaimana Identitas Diri Terbentuk?
Identitas diri terbentuk melalui penilaian seorang individu terhadap dirinya yang
berlandaskan pada pertimbangan budaya, ideologi, dan harapan masyarakat serta adanya
penilaian diri yang didasarkan pada persepsi orang lain. Menurut Marcia (dalam Shaffer &
Kipp, 2014), pembentukan identitas diri memerlukan dua elemen penting. yaitu eksplorasi
(krisis) dan komitmen.

Eksplorasi menunjuk pada suatu masa ketika seseorang berusaha untuk menjelajah berbagai
pilihan yang ada. Sementara itu, komitmen merupakan usaha untuk membuat keputusan.
Kemudian, untuk menentukan identitas diri, seseorang perlu menentukan kedudukan status
identitasnya
.

Mari kita bahas status identitas di atas satu per satu.

a.Identity diffusion
Identity diffusion merupakan suatu kemunduran dalam perspektif waktu, inisiatif. dan
kemampuan untuk mengoordinasikan perilaku pada masa kini dengan tujuan pada masa depan.
Remaja dengan status ini, yaitu remaja yang mengalami kebingungan tentang siapa dirinya dan
mau apa dalam hidupnya.
b. Identity forelocure
Identity forelocure adalah remaja yang telah membuat komitmen, tetapi belum pernah
mengalami krisis atau mengekplorasi alternatif-alternatif yang berarti. Remaja dengan status
ini akan cenderung menerima pilihan orang tua tanpa mempertimbangkan lagi.
c. Identity moratorium
Identity moratorium merupakan fase ketika remaja sedang mengeksplorasi alternatif-
alternatif yang ada, tetapi tidak memiliki komitmen atau memiliki komitmen, tetapi tak jelas.
Remaja dengan status identitas ini sering dianggap berada dalam tahap mengeksplorasi
pemikiran, kesadaran, intelektual yang ditandai dengan banyaknya berhubungan dengan orang
lain.
d. Identity achievement
Identity achievement adalah status identitas ketika remaja telah melewati masa krisis atau
masa mengeksplorasi dan telah membuat komitmen. Remaja pada status identitas ini memiliki
perasaan stabil karena telah mengeksplorasi dan menemukan identitas dirinya.
Kemudian, Santrock (2007) mengungkapkan bahwa identitas diri merupakan identitas yang
terbentuk pada masa kanak-kanak yang kemudian berkembang pada usia remaja yang ditandai
dengan pertanyaan yang sering muncul, yaitu siapakah saya
Identitas diri pada masa remaja banyak ditandai dengan upaya mencari keseimbangan antara
kebutuhan untuk mandiri dan juga kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain atau
dengan kata lain berada pada fase krisis identitas. Erikson mengungkapkan bahwa krisis
identitas ini merupakan fase ketidakpastian dan ketidaknyamanan yang dialami remaja ketika
mereka menjadi bingung tentang peran mereka sekarang dan masa depan dalam kehidupan.

Krisis identitas ini muncul pada awal remaja. Identitas diri pada masa awal remaja adalah
masa perubahan ketika pemikiran-pemikiran, kondisi psikoseksual, dan pemenuhan fisiologis
berubah menjadi lebih dewasa. Kemudian, pada masa remaja tengah mulai terjadi
pembentukan kembali, yaitu mulai ada pengaturan baru pada
keahlian-keahlian yang lama dan baru dimiliki. Terakhir, pada
masa remaja akhir, terjadi penggabungan, yaitu usia ketika
susunan identitas diri dapat dibedakan dan terjadi pengujian
identitas diri pada lingkungan. Pada masa remaja akhir ini,
kebanyakan individu berhasil mengungkapkan identitas dirinya
atau dengan kata lain identitas diri sudah benar-benar terbentuk.
Proses pembentukan identitas diri ini pastinya disebabkan oleh
banyak faktor. Mari kita bahas mengenai faktor-faktor yang
dapat memengaruhi pembentukan identitas diri.

C.Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Identintas

Gambar 4.7
Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Identitas
Perhatikan gambar di atas, mari kita bahas faktor yang memengaruhiperkembangan identitas
satu per satu.
1. Keluarga
Keluarga merupakan salah satu faktor terpenting dalam pembentukan identitas diri seseorang.
Hubungan yang terjalin antara anak dan orang tua dengan baik akan menyebabkan
terbentuknya jati diri dan identitas diri yang baik pula.
2. Interaksi dengan Teman Sebaya
Melalui interaksi dengan sebaya yang beragam, seorang individu akan lebih mudah
mendapatkan nilai-nilai kehidupan dan ide-ide. Selain itu, adanya interaksi dengan teman
sebaya, terutama pertemanan dekat, dapat menyebabkan seorang individu mendapatkan
dukungan secara emosi. Kemudian, melalui hubungan teman sebaya, seorang individu juga
dapat memperoleh pandangan mengenai kasih sayang, rasa simpati, pemahaman akan orang
lain, mengetahui nilai-nilai moral, dan menjadi tempat berbagi persiapan menuju kehidupan
yang lebih dewasa.
3. Sekolah dan Komunitas
Sekolah dan komunitas merupakan tempat yang luas untuk seorang individu melakukan
eksplorasi yang dapat mendukung perkembangan identitas. Melalui sekolah, seorang individu
akan mendapatkan bantuan untuk memiliki pemikiran yang tinggi, tanggung jawab terhadap
peran yang diambil, dapat bantuan dalam memilih bidang yang diminati, serta terdapat sarana
untuk memperoleh gambaran dunia yang sesungguhnya.
4.Kebudayaan
Kebudayaan berperan dalam pembentukan identitas seeorang. Maksudnya, budaya dapat
membentuk self-continuity di samping perubahan diri yang terjadi. Kemudian, perbedaan
kebudayaan yang ada akan memengaruhi cara seorang individu dalam memandang peran-peran
yang mereka miliki dalam lingkungan masyarakat.
5. Kognitif
Faktor kognitif atau cara berpikir seorang individu akan menentukan jati diri seseorang juga.
Oleh karena itu, faktor kognitif juga menjadi salah satu faktor yang penting dalam
pembentukan identitas diri.

D.Persepsi Tentang Orang/ Kelompok Lain


Perhatikan gambar di atas.
Ketika seorang tunanetra dimintauntuk mendeskripsikan seekor gajah, dapat kita lihat bahwa
setiap orang akan mendeskripsikan-nya dari sudut pandang yang berbeda, bukan?
Berdasarkan ilustrasi itu, kita dapat menarik kesimpulan bahwa setiap orang memiliki
persepsi berbeda terhadap suatu hal. Persepsi adalah tanggapan langsung dari suatu serapan
atau proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pengindraan sehingga ia menjadi sadar
akan segala sesuatu yang ada di lingkungannya.
Selain itu, persepsi itu juga proses individu dalam menginterpretasikan, mengorganisasikan,
dan memberi makna terhadap stimulus yang berasal dari lingkungan tempat individu itu berada
yang merupakan hasil dari proses belajar dan pengalaman (Asrori, 2009). Kita mengetahui
bahwa setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda satu dengan lainnya, begitu pula
dengan kemampuan seseorang dalam memersepsikan sesuatu.
Persepsi seseorang terhadap orang lain atau kelompok lain mungkin akan bersifat dinamis,
tergantung situasi dan kondisi saat memersepsikannya. Berikut ini proses persepsi yang
berkembang dari masa kanak-kanak hingga remaja menurut Shaffer & Kipp (2014) sebagai
berikut.
1. Anak-anak di bawah 7 atau 8 tahun umumnya menggambarkan teman dan kenalan dalam
istilah nyata yang sama yang mereka gunakan untuk menggambarkan diri.
2. Anak-anak sekolah dasar menjadi lebih terbiasa dengan keteraturan dalam perilaku mereka
sendiri dan orang lain, kemudian mulai mengandalkan konstruksi psikologis yang stabil atau
ciri-ciri untuk menggambarkan pola-pola ini.
3. Kesan remaja muda terhadap orang lain menjadi lebih abstrak ketika mereka mulai membuat
perbandingan psikologis antara teman dan kenalan mereka. 4. Pada usia 14 hingga 16 tahun,
remaja tahu bahwa pengaruh situasional dapat menyebabkan seseorang bertindak keluar dari
karakter.

Proses seseorang dalam memersepsikan orang lain atau kelompok lain dipengaruhi juga oleh
kemampuan kognitif. Pertumbuhan kemampuan kognitif sosial anak-anak terkait dengan
perkembangan kognitif secara umum dan munculnya keterampilan mengambil peran pada
khususnya dalam memersepsikan seseorang.
E.Teori Perkembangan Kognisi Sosial
Kognisi sosial adalah cara yang terjadi pada diri seseorang individu untuk menganalisis,
mengingat, serta menggunakan informasi yang didapatkan dari kejadian-kejadian sosial.Kognisi
sosial juga merupakan kemampuan untuk berpikir secara kritis mengenai isu-isu dalam
hubungan interpersonal yang berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman serta berguna
untuk memahami orang lain dan menentukan bagaimana melakukan interaksi dengan mereka.
Perubahan kognisi sosial yang terjadi itu dipengaruhi oleh keterampilan kognitif. Oleh karena
itu, terdapat teori-teori yang berhubungan dengan perkembangan kognisi sosial. Dua di
antaranya adalah teori perkembangan kognitif Piaget dan Robert Selman, Role Taking Analysis
(Shaffer & Kipp, 2014). Mari kita diskusikan satu per satu.

1. Teori Perkembangan Kognitif (Piaget)

Menurut Piaget, perkembangan kognitif mempunyai empat aspek, yaitu


kematangan,pengalaman, interaksi sosial, dan ekuilibrasi. Tujuan dari teori Piaget adalah
menjelaskan mekanisme dan proses perkembangan intelektual sejak masa bayi dan kemudian
masa kanak-kanak yang berkembang menjadi seorang individu yang dapat bernalar dan
berpikir menggunakan hipotesis-hipotesis. Piaget membagi perkembangan kognitif ini ke
dalam empat periode berikut.
a.Periode sensori motor (0-2 tahun)
Pada periode ini, tingkah laku anak bersifat motorik dan anak menggunakan sistem
pengindraan untuk mengenal lingkungannya untuk mengenal objek
b. Periode praoperasional (2-7 tahun)
Pada periode ini, anak bisa melakukan sesuatu sebagai hasil meniru atau mengamati sesuatu
model tingkah laku dan mampu melakukan simbolisasi.
c.Periode konkret (7-11 tahun)
Pada periode ini, anak sudah mampu menggunakan operasi. Pemikiran anak tidak lagi
didominasi oleh persepsi sebab anak mampu memecahkan masalah secara logis.
d. Periode operasi formal (11-dewasa)
Periode operasi formal merupakan tingkat puncak perkembangan struktur kognitif, anak
remaja mampu berpikir logis untuk semua jenis masalah hipotesis, masalah verbal, serta ia
dapat menggunakan penalaran ilmiah dan dapat menerima pandangan orang lain.

2. Roberts Selman's Role-Taking Analysis


Teori yang Robert Selman usung ini lebih pada teori yang mengungkapkan bagaimana
seorang anak lebih memahami diri sendiri dan juga orang lain. Kemudian, dilihat hubungannya.
Teori yang Selman keluarkan pun menumbuhkan kepercayaan
bahwa jika kita ingin mengetahui seseorang, kita perlu memahami pemikirannya, perasaannya,
motivasinya, dan perhatiannya serta kebiasaannya. Dengan begitu, kita dapat memahami peran
seseorang.
Teori Selman ini pun dibagi menjadi lima tahap berikut.
a. Egocentric or undifferentiated perspective (3-6 tahun)
Pada tahap ini, anak belum memiliki kepedulian terhadap pendapat lebih
mementingkan pendapat diri sendiri.
b. Social information role taking (6-8 tahun)
Pada tahap ini, anak mulai memahami bahwa setiap orang akan memiliki pendapat yang
berbeda, tergantung informasi yang didapatkan oleh setiap individu.
c. Self-effective role taking (8-10 tahun)
Pada tahap ini, anak mulai memahami bahwa meski dia dan individu lainnya
mendapatkan informasi yang sama, tetap saja mungkin pendapat terhadap sesuatuakan
tetap berbeda.
d. Mutual role taking (10-12 tahun)
Pada tahap ini, anak sudah mulai dapat memahami sudut pandang individu sendiri
dengan sudut pandang orang lain yang mungkin ada satu moment akan sama.
Kemudian, ia sudah dapat memberikan tanggapan terhadap perspektif yang berbeda.
e. Societal role taking (12-15 tahun)
Pada masa ini, seseorang sudah dapat memahami berbagai macam perspektif dan dapat
membandingkannya.
Berdasarkan teori-teori di atas, kita benar-benar dapat mengenal seseorang atau
memersepsikan seseorang dengan mengasumsikan dia tidak sempurna dan memahami pikiran,
perasaan, motif, dan niatnya. Selain itu, interaksi sosial, khususnya kontak status yang setara
dengan teman dan teman sebaya, adalah penting untuk perkembangan kognitif sosial. Interaksi
sosial berkontribusi secara tidak langsung dengan mendorong

F.Altruisme

Pernahkah Anda mendengar kata altruisme? Jika pernah, apakah altruisme itu? Namun, jika
belum pernah mendengar, mari kita diskusikan bersama apa itu altruisme.
Altruisme berasal dari kata "alter" yang artinya orang lain. Secara bahasa, altruisme adalah
perbuatan yang berorientasi pada kebaikan orang lain.
Altruisme merupakan kepedulian tanpa pamrih untuk kesejahteraan orang lainyang
diekspresikan melalui tindakan prososial, seperti berbagi, bekerja sama, dan membantu (Shaffer &
Kipp. 2014). Makna tindakan prososial di sini adalah tindakan apa pun yang dimaksudkan untuk
memberi manfaat kepada orang lain, seperti berbagi dengan seseorang yang kurang beruntung,
menghibur atau menyelamatkan seseorang, kerja sama, atau sekadar membuat orang lain merasa
senang dengan memuji mereka. Altruisme juga merupakan suatu sifat suka mempertahankan dan
mengutamakan kepentingan orang lain, cinta kasih yang tidak terbatas pada sesama manusia, dan
juga merupakan sifat manusia yang berupa dorongan untuk berbuat jasa dan kebaikan terhadap
orang lain. Dengan kata lain, altruisme adalah lawan dari egoisme.
Perhatikan gambar berikut.

Gambar 4.8 Komponen Altruisme

Komponen-komponen altruisme yang tampak pada gambar di atas sangat


berperan dalam terbentuknya altruisme. Mari kita bahas satu persatu.
1. Prososial Moral Reasoning
Prososial moral reasoning merupakan pemikiran yang ditampilkan orang
Ketika memutuskan apakah akan membantu, berbagi, atau menghibur orang
lain Ketika tindakan ini bisa terbukti mahal untuk diri mereka sendiri.
2. Simpati Empatik Gairah
Simpati empatik gairah merupakan perasaan atau simpati atau kasih sayang
yang dapat ditimbulkan ketika kita mengalami emosi orang lain yang
tertekan: dianggap menjadi mediator penting altruisme.

Berbicara tentang altruisme, lalu kapankah altruisme ini berkembang dalam diri seseorang?
Altruisme ini berkembang sejak seseorang dilahirkan tentunya dengan faktor faktor
pendukung lainnya. Indikasi awal altruisme, seperti berbagi mainan dan teman-teman
kesusahan yang menghibur, muncul pada masa bayi dan balita. Berbagi, membantu, dan
bentuk-bentuk perilaku prososial lainnya menjadi semakin umum sejak periode prasekolah dan
seterusnya pertumbuhan kepedulian altrustik terkait dengan pengembangan keterampilan
pengambilan peran, penalaran moral prososial, dan gairah empatik simpatik. Adapun faktor-
faktor yang memengaruhi perkembangan altruisme sebagai berikut.
1. Altrustik seseorang dipengaruhi oleh lingkungan budaya dan keluarganya.
2 Orang tua dapat mempromosikan perilaku altruistik dengan memuji
perbuatan baik anak mereka dan dengan mempraktikkan sendiri pelajaran
prososial yang mereka khotbahkan
3. Orang tua yang mendisiplinkan perilaku buruk dengan penjelasan yang tidak
emosional dan afektif cenderung membesarkan anak-anak yang menjadi
simpatik, rela berkorban, dan peduli akan masalah orang

G.Kmponen perkembangan Moral:Afektiif,Kognitif,dan Perilaku

Apa yang Anda pikirkan ketika mendengar kata "moral"? Moral berasal
dari kata mores: artinya tata cara, adat istiadat, dan kebiasaan.

Moral merupakan seperangkat prinsip atau cita-cita yang membantu individu untuk
membedakan yang benar dari yang salah, untuk bertindak atas perbedaan ini, serta untuk
merasa bangga dalam perilaku berbudi luhur dan rasa bersalah atas perilaku yang melanggar
standar seseorang. Shaffer & Kipp (2014) mengungkapkan bahwa moral merupakan
seperangkat prinsip atau cita-cita yang membantu individu untuk membedakan yang benar dari
yang salah, untuk bertindak atas perbedaan ini, dan untuk merasa bangga dalam perilaku
berbudi luhur dan rasa bersalah atas perilaku yang melanggar standar seseorang. Selain itu,
moral juga merupakan pikiran, perasaan, dan perilaku yang dikaitkan dengan standar benar
atau salah. Sesuatu yang menyangkut kebiasaan atau aturan yang harus dipatuhi oleh seseorang
dalam berinteraksi dengan orang lain. Perkembangan moral ini memiliki dua dimensi, yaitu
dimensi interpersonal dan dimensi intrapersonal. Mari kita bahas satu per satu.
1. Dimensi Interpersonal
Dimensi interpersonal mencakup aturan atau nilai dasar dan penilaian diri individu
sendiri. Dimensi ini mengatur atau mengarahkan aktivitas orang tersebut saat dia tidak
terlibat dalam interaksi sosial.
2 Dimensi Intrapersonal
Dimensi intrapersonal, yaitu titik perhatiannya ada pada apa yang seharusnya dilakukan
individu saat berinteraksi dengan orang lain. Dimensi ini mengatur interaksi sosial
individu dengan orang lain dan akan menengahi sebuah konflik yang muncul. Berbicara
tentang perkembangan moral, tentunya kita perlu mengetahui bagaimana cara
perkembangan moral ini berkembang, bukan? Mari kita pelajari bersama.Menurut
beberapa penelitian, perkembangan moral ini dikembangkan melalui tiga komponen.
Komponen-komponen tersebut sebagai berikut.

Merujuk pada gambar di atas, mari kita bahas komponen-komponen perkembangan moral satu
per satu.
a.Komponen afektif
Afektif:moral feelings
Komponen perkembangan moral yang terdiri atas perasaan yang mengelilingi tindakan benar
atau salah dan yang memotivasi pikiran dan tindakan moral.Peneliti menemukan bahwa
perasaan dan hati nurani ini terbentuk lebih awal pada masa balita dalam konteks hubungan
yang hangat dan saling responsif. Kemudian, Freud menerangkan pembentukan moral afektif
dimulai melalui masa oedipal, yaitu pada masa ini anak melakukan identifikasi dengan salah
satu orang tuanya sehingga terbentuk orang tua dalam diri anak. Sosok orang tua dalam diri
anak inilah yang akan menghukum atau menimbulkan rasa bersalah apabila anak melanggar.
Setelah proses ini, barulah anak akan sampai pada masa ia menentukan akan bertingkah laku
benar atau tidak tergantung kekuatan egonya.

b.Komponen kognitif
Kognitif: moral reasoning
Komponen perkembangan moral yang berpusat pada cara kita mengonsep benar dan salah
dan membuat keputusan tentang bagaimana berperilaku. Terdapat dua teori yang terkemuka
tentang komponen kognitif dalam perkembangan moral, yaitu teori yang dikemukakan oleh
Piaget dan Kohlberg. Mari kita bahas satu per satu.
1.Teori Piaget
Teori Piaget memandang penalaran moral sebagai kemajuan melalui urutan tiga tingkat yang
tidak berubah: periode premoral, moralitas heteronom, dan periode otonom.Periode premoral,
yaitu lima tahun pertama kehidupan ketika anak-anak dikatakan memiliki sedikit rasa hormat
atau kesadaran akan aturan yang ditetapkan secara sosial. Moralitas heteronom, yaitu tahap
pertama perkembangan moral Piaget ketika anak-anak memandang aturan tokoh-tokoh
kezaliman sebagai hal yang sakral dan tidak dapat diubah.Periode otonom, yaitu tahap kedua
perkembangan moral Piaget ketika anak-anak menyadari bahwa aturan adalah perjanjian
sewenang-wenang yang dapat dihadang dan diubah dengan persetujuan dari orang yang
memerintah.Penelitian dan teorinya telah menjadi batu loncatan untuk penyelidikan yang lebih
baru ke dalam komponen kognitif dari perkembangan moral.
2.Teori Kohlberg
Teori Kohlberg memandang penalaran moral sebagai kemajuan melalui urutan tiga tingkat
yang berbeda, yaitu moralitas prakonvensional, konvensional, dan poskonvensional.Moralitas
prakonvensional, yaitu istilah Kohlberg untuk dua tahap pertama dari penalaran moral.
Maksudnya, penilaian moral didasarkan pada konsekuensi hukuman yang nyata atau
konsekuensi yang menguntungkan dari suatu tindakan untuk aktor daripada pada hubungan
yang bertindak dengan aturan dan kebiasaan masyarakat.Moralitas konvensional, yaitu istilah
Kohlberg untuk tahap ketiga dan keempat dari penalaran moral. Maksudnya, penilaian moral
didasarkan pada keinginan untuk mendapatkan persetujuan atau untuk menegakkan hukum
yang menjaga ketertiban sosial.Moralitas poskonvensional, yaitu istilah Kohlberg untuk
tahapkelima dan keenam penalaran moral. Maksudnya, penilaian moral didasarkan pada
kesepakatan sosial dan hukum demokrasi atau pada prinsip-prinsip universal etika dan
keadilan.Masing-masing tingkat moral terdiri atas dua tahap yang berbeda sehingga menjadi
enam tahap, yaitu punishment and obedience orientation (tahap 1), naïve hedonism (tahap 2),
good boy or good girls orientation (tahap 3), social order maintaining morality(tahap 4), the
social contract orientation (tahap 5), dan morality of individual principles of conscience (tahap
6). Kemudian penelitian mendukung tahapan Kohlberg dan usulannya bahwa perkembangan
kognitif dan pengalaman sosial dengan orang tua, teman sebaya, dan peserta lain dalam
pendidikan tinggi atau kegiatan demokratis berkontribusi pada pertumbuhan penalaran moral
Komponen perilaku

C.Perilaku: moral behavior


Komponen perkembangan moral yang mencerminkan cangkul yang secara actual kita lakukan
ketika kita mengalami godaan untuk berbohong, menipu, atau melanggar aturan moral lainnya.
Teori yang erat kaitannya dengan komponen perilaku ini adalah teori pembelajaran sosial.
Teori pembelajaran sosial menjelaskan bagaimana anak-anak belajar melawan godaan dan
menghambat tindakan yang melanggar norma moral. Agar anak-anak dapat melawan seluruh
godaan yang ada, dibutuhkan faktor-faktor pengendali.Faktor-faktor pengembangan
pengendalian atau penghambatan anak terserang godaan sebagai berikut.
1) Hadiah yang diberikan untuk berbagai perilaku.
2) Hukuman yang mencakup alasan-alasan yang tepat.
3)Terus-menerus memaparkan anak-anak pada model pengendalian moral.

Anda mungkin juga menyukai