Anda di halaman 1dari 16

PENILAIAN RANAH AFEKTIF

Pengembangan Instrumen penilaian ranah afektif

PENDAHULUAN
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian
menyatakan bahwa penilaian pendidikan merupakan proses pengumpulan dan pengolahan
informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik. Penilaian merupakan
komponen penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Upaya meningkatkan kualitas
pendidikan dapat ditempuh melalui peningkatan kualitas pembelajaran dan kualitas penilaian.
Keduanya saling terkait, sistem pembelajaran yang baik akan menghasilkan kualitas belajar
yang baik. Kualitas pembelajaran ini dapat dilihat dari hasil penilaiannya. Selanjutnya sistem
penilaian yang baik akan mendorong pendidik untuk menentukan strategi mengajar yang baik
dan memotivasi peserta didik untuk belajar yang lebih baik. Oleh karena itu, dalam upaya
peningkatan kualitas pendidikan diperlukan perbaikan sistem penilaian yang diterapkan.
Kemampuan lulusan dari suatu jenjang pendidikan merupakan hasil dari implementasi
kurikulum, yang didalamnya mengandung kemampuan ketiga domain tujuan pendidikan, yaitu
domain kognitif, afektif dan psikomotor, atau kemampuan berpikir, keterampilan melakukan
pekerjaan dan perilaku. Setiap mata pelajaran sebenarnya memuat ketiga domain tersebut, akan
tetapi yang membedakan mata pelajaran satu dengan yang lainnya, adalah dominasi dari
masing-masing komponen tersebut. Artinya ada satu mata pelajaran yang dominan untuk
mencapai tujuan kognitif, ada yang afektif, atau psikomotor. Akan tetapi dimungkinkan juga
ada yang dominan pada kedua domain.
Setiap peserta didik memiliki potensi pada ketiga ranah tersebut, namun tingkatannya satu
sama lain berbeda. Ada peserta didik yang memiliki kemampuan berpikir tinggi dan perilaku
amat baik, namun keterampilannya rendah. Demikian sebaliknya ada peserta didik yang
memiliki kemampuan berpikir rendah, namun memiliki keterampilan yang tinggi dan perilaku
amat baik. Ada pula peserta didik yang kemampuan berpikir dan keterampilannya
sedang/biasa, tapi memiliki perilaku baik. Jarang sekali peserta didik yang kemampuan
berpikirnya rendah, keterampilan rendah, dan perilaku kurang baik. Peserta didik seperti itu
akan mengalami kesulitan bersosialisasi dengan masyarakat, karena tidak memiliki potensi
untuk hidup di masyarakat. Ini menunjukkan keadilan Tuhan YME, setiap manusia memiliki
potensi yang dapat dikembangkan menjadi kemampuan untuk hidup di masyarakat. (Mardapi,
2008).

Kemampuan berpikir merupakan ranah kognitif yang meliputi kemampuan menghapal,


memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi. Kemampuan
psikomotor, yaitu keterampilan yang berkaitan dengan gerak, menggunakan otot seperti lari,
melompat, menari, melukis, berbicara, membongkar dan memasang peralatan, dan sebagainya.
Kemampuan afektif berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berbentuk tanggung
jawab, kerjasama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain, dan
kemampuan mengendalikan diri. Semua kemampuan ini harus menjadi bagian dari tujuan
pembelajaran di sekolah, yang akan dicapai melalui kegiatan pembelajaran yang tepat.
Masalah afektif dirasakan penting oleh semua orang, namun implementasinya masih kurang.
Hal ini disebabkan merancang pencapaian tujuan pembelajaran afektif tidak semudah seperti
pembelajaran kognitif dan psikomotor. Satuan pendidikan harus merancang kegiatan
pembelajaran yang tepat agar tujuan pembelajaran afektif dapat dicapai. Keberhasilan pendidik
melaksanakan pembelajaran ranah afektif dan keberhasilan peserta didik mencapai kompetensi
afektif perlu dinilai. Oleh karena itu perlu dikembangkan acuan pengembangan perangkat
penilaian ranah afektif serta penafsiran hasil pengukurannya.
Hasil supervisi dan evaluasi tentang keterlaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) tahun 2009 menunjukkan bahwa masih banyak guru yang kesulitan dalam menentukan
Kata Kerja Operasional (KKO) yang sesuai dengan tahapan berfikir ranah afektif, menyiapkan
perangkat penilaian ranah afektif, melaksanakan penilaian secara objektif dan proporsioal. Di
samping itu, panduan penilaian lima kelompok mata pelajaran yang diterbitkan oleh Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP) kurang operasional dan tidak dilengkapi dengan contoh-
contoh, sehingga guru yang tidak mengikuti bimtek tidak dapat mengerjakan secara mandiri.
Hal itu disebabkan oleh kurangnya pengetahuan guru tentang berbagai hal yang berkaitan
dengan penilaian afektif dan belum adanya panduan lain yang dilengkapi dengan petunjuk
teknis dan contoh-contoh yang memadai.

Menurut Bloom dkk (Gaguk, 2001) ada beberapa alasan pengabaian pembelajaran afektif
antara lain: (1) takut akan indoktrinasi, (2), keyakinan bahwa perasaan, nilai dan komitmen
merupakan yang layak dilakukan dirumah dan tugas Agama dari pada di sekolah, (3) keyakinan
umum bahwa afektif selayaknya berkembang secara otomatis dari pengetahuan dan
pengalaman, (4) tidak seperti kemampuan kognitif afektif dipertimbangkan sebagai suatu
kepentingan yang lebih pribadi dari pada masyarakat, dan (5) beberapa orang merasa bahwa
mengevaluasi perasaan, minat dan sikap seseorang adalah melanggar hak pribadi seseorang,
oleh karena itu hampir semua prosedur tes dan evaluasi sekarang banyak ditekankan pada
penilaian ranah kognitif dan apabila ada kecenderungan mengevaluasi hasil belajar afektif itu
secara subjektif saja.

Hakekat Pembelajaran Ranah Afektif


Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung kawab. Untuk mengemban fungsi
tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.7
Dari rumusan tujuan pendidikan di atas, dapat dimaknai bahwa pendidikan kita sarat dengan
pembentukan sikap. Dengan demikian tidaklah lengkap manakala dalam strategi pembelajaran
tidak membahas strategi pembelajaran afektif yaitu yang berhubungan dengan pembentukan
sikap dan nilai. Strategi pembelajaran afektif memang berbeda dengan strategi pembelajaran
kognitif dan keterampilan. Afektif berhubungan dengan nilai (value), yang sulit diukur, oleh
karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Dalam batas tertentu
memang afeksi dapat muncul dalam kejadian behavioral, akan tetapi penilaiannya untuk
sampai pada kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan membutuhkan ketelitian dan
observasi yang terus menerus, dan hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan, apalagi menilai
perubahan sikap sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru di sekolah. Kita
tidak bisa menyimpulkan bahwa sikap anak itu baik, misalnya dilihat dari kebiasaan berbahasa
atau sopan santun yang bersangkutan, sebagai akibat dari proses pembelajarann yang dilakukan
guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh kebiasaan dalam keluarga dan lingkungan sekitar.
W.S. Winkel dalam bukunya Psikologi Pengajaran8 mengatakan bahwa salah satu ciri belajar
afektif adalah belajar menghayati nilai dari suatu objek yang dihadapi melalui alam perasaan,
entah objek itu berupa orang, benda atau kejadian/peristiwa; ciri yang lain terletak dalam
belajar mengungkapkan perasaan dalam bentuk ekspresi yang wajar. Di dalam merasa, orang
langsung menghayati apakah suatu objek baginya berharga/bernilai atau tidak. Bila objek itu
dihayati sebagai sesuatu yang berharga, maka timbullah perasaan senang; bila objek itu
dihayati sebagai sesuatu yang tidak berharga, maka timbullah perasaan tidak senang. Perasaan
senang dan tidak senang merupakan suatu reaksi dalam alam perasaan yang bersifat mendasar
dan masih agak umum. Perasaan senang meliputi sejumlah rasa yang lebih spesipik, seperti
rasa puas, rasa gembira, rasa nikmat, rasa simpati, rasa saying, dan lain sebagainya. Perasaan
tidak senang meliputi sejumlah rasa yang lebih spesipik, seperti rasa takut, rasa cemas, rasa
gelisah, rasa iri hati, rasa cemburu, rasa segan, rasa marah, rasa dendam, rasa benci, dan lain
sebagainya. Perasaan dapat menjadi sedemikian kuat, sehingga orang terbawa-bawa oleh
perasaannya sendiri; dengan demikian, dia tidak menguasaai lagi ungkapan perasaannya dan
kehilangan kontrol rasional.

Orang harus belajar menerima perasaan sebagai bagian dari kepribadiannya yang berperanan
positif, karena di dalamnya dia menilai secara spontan apa yang baik dan apa yang jelek
baginya. Kalau perasaan senang, orang biasanya tidak mengalami kesulitan dalam
menerimanya sebagai miliknya sendiri; diapun tidak ingin melepaskan diri dari perasaan
senang itu, bahkan berusaha supaya bertahan terus. Kalau perasaan tidak senang, umumnya
lebih sukar bagi orang untuk menerimanya sebagai kenyataan dalam dirinya sendiri, karena
dialami sebagai gangguan. Namun bagaimanapun juga, kedua bentuk perasaan itu,
mengungkapkan suatu penilaian terhadap suatu objek dan oleh karena itu merupakan sumber
energi untuk berbuat sesuatu, yaitu mendekati apa yang disenangi dan menjauhi atau
menghilang dari apa yang tidak disenangi. Fungsi dinamik dan afektif berkaitan satu sama lain,
karena setiap kehendak dan kemauan disertai perasaan dan setiap perasaan mengandung
dorongan untuk berkehendak dan berkemauan. Selain belajar menerima perasaan sindiri
sebagai sesuatu yang khas manusiawi, orang juga harus belajar untuk bervariasi dalam
berperasaan. Ada saat dan situasi di mana orang akan khusus merasa puas, atau khusus merasa
gembira, atau khusus merasa saying dan seterusnya. Ada pula saat dan situasi di mana orang
khusus merasa takut, atau khusus merasa cemburu, atau khusus merasa marah dan seterusnya.
Variasi dalam berperasaan senang dan berperasaan tidak senang yang demikian itu, merupakan
hasil belajar. Dalam hal ini, anak didik harus mendapat pendidikan pula, supaya alam perasaan
berkembang menjadi kaya dan luas. Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa sikap (afektif) erat
kaitannya dengan nilai yang dimiliki oleh seseorang. Sikap merupakan refleksi dari nilai yang
dimiliki. Oleh karenanya, pendidikan sikap pada dasarnya adalah pendidikan nilai.
Model-model Pembelajaran Ranah Afektif
Aspek afektif dalam pendidikan merupakan aspek yang berkaitan dengan perasaan, ini berarti
terhadap materi pelajaran yang disampaikan siswa meresponnya dengan berbagai ekspresi
yang mewakili perasaan mereka. Suatu pelajaran tertentu misalnya akan memancing
terbentuknya rasa senang, sedih atau berbagai ekspresi perasaan yang lainnya.
Secara konseptual maupun emprik, diyakini bahwa aspek afektif memegang peranan yang
sangat penting terhadap tingkat kesuksesan seseorang dalam bekerja maupun kehidupan secara
keseluruhan. Keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotorik dipengaruhi
oleh kondisi afektif siswa. Siswa yang memiliki minat belajar dan sikap positif terhadap
pelajaran akan merasa senang mempelajari mata pelajaran tertentu sehingga dapat mencapai
hasil pembelajaran yang optimal. Walaupun para guru sadar akan hal ini, namun belum banyak
tindakan yang dilakukan guru secara sistematik untuk meningkatkan minat siswa.
Pembelajaran afektif berbeda dengan pembelajaran intelektual dan keterampilan, karena segi
afektif sangat bersifat subjektif, lebih mudah berubah, dan tidak ada materi khusus yang harus
dipelajari. Hal-hal di atas menuntut penggunaan metode mengajar dan evaluasi hasil belajar
yang berbeda dari mengajar segi kognitif dan keterampilan.
Ada beberapa model pembelajaran afektif yang populer dan banyak digunakan.
1. Model Konsiderasi.
Manusia seringkali bersifat egoistis, lebih memperhatikan, mementingkan, dan sibuk dan sibuk
mengurusi dirinya sendiri. Melalui penggunaan model konsiderasi (consideration model) siswa
didorong untuk lebih peduli, lebih memperhatikan orang lain, sehingga mereka dapat bergaul,
bekerja sama, dan hidup secara harmonis dengan orang lain. Model konsiderasi (the
consideration model) dikembangkan oleh Mc. Paul, seorang humanis. Paul Menganggap
bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognitif yang rasional.
Pembelajaran moral siswa menurutnya adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan
intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat
membentuk kepribadian. Tujuannya adalah agar siswa menjadi manusia yang memiliki
kepedulian terhadap orang lain.16
Langkah-langkah pembelajaran konsiderasi: (1) menghadapkan siswa pada situasi yang
mengandung konsiderasi, (2) meminta siswa menganalisis situasi untuk menemukan isyarat-
isyarat yang tersembunyi berkenaan dengan perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain,
(3) siswa menuliskan responsnya masing-masing, (4) siswa menganalisis respons siswa lain,
(5) mengajak siswa melihat konsekuesi dari tiap tindakannya, (6) meminta siswa untuk
menentukan pilihannya sendiri.

2. Model Pengembangan Kognitif.


Perkembangan moral manusia berlangsung melalui restrukturalisasi atau reorganisasi kognitif,
yang berlangsung secara berangsur melalui tahap pra-konvensi, konvensi dan post konvensi.
Model ini bertujuan membantu siswa mengembangkan kemampauan mempertimbangkan nilai
moral secara kognitif. Langkah-langkah yang diterapkan pada model pengembangan kognitif
iniadalah: (1) menghadapkan siswa pada suatu situasi yang mengandung dilema moral atau
pertentangan nilai, (2) siswa diminta memilih salah satu tindakan yang mengandung nilai moral
tertentu, (3) siswa diminta mendiskusikan/ menganalisis kebaikan dan kejelekannya, (4) siswa
didorong untuk mencari tindakan-tindakan yang lebih baik, (5) siswa menerapkan tindakan
dalam segi lain.
Pendekatan pengembangan kognitif mudah digunakan dalam proses pendidikan di sekolah,
karena pendekatan ini memberikan penekanan pada aspek perkembangan kemampuan berpikir.
Oleh karena pendekatan ini memberikan perhatian sepenuhnya kepada isu moral dan
penyelesaian masalah yang berhubungan dengan pertentangan nilai tertentu dalam masyarakat,
penggunaan pendekatan menjadi menarik. Penggunaannya dapat menghidupkan suasana kelas.

3. Analisis Nilai
Pendekatan model analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada
perkembangan kemampuan peserta didik untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis
masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai social. Jika dibandingkan dengan pendekatan
model pengembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa model
pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat
nilai-nilai sosial. Adapun model pengembangan kognitif memberi penekanan pada dilemma
moral yang bersifat perseorangan.19
Ada dua tujuan utama yang hendak dicapai yaitu; Pertama, membantu peserta didik untuk
menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam menganalisis masalah-
masalah social, yang berhubungan dengan nilai moral tertentu. Kedua, membantu peserta didik
untuk menggunakan proses berpikir rasional dan analitik, dalam menghubung-hubungkan dan
merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka. Selanjutnya, metoda pengajaran yang sering
digunakan adalah pembelajaran secara individu atau kelompok tentang masalah-masalah social
yang memuat nilai moral, penyelidikan kepustakaan, penyelidikan lapangan, dan diskusi kelas
berdasarkan atas pemikiran rasional.

4. Model Klarifikasi Nilai.


Setiap orang memiliki sejumlah nilai, baik yang jelas atau terselubung, disadari atau tidak.
Klarifikasi nilai (value clarification model) merupakan pendekatan mengajar dengan
menggunakan pertanyaan atau proses menilai (valuing process) dan membantu siswa
menguasai keterampilan menilai dalam bidang kehidupan yang kaya nilai. Penggunaan model
ini bertujuan, agar para siwa menyadari nilai-nilai yang mereka miliki, memunculkan dan
merefleksikannya, sehingga para siswa memiliki keterampilan proses menilai.
Sejalan dengan itu bahwa menurut Wina teknik mengklarifikasi nilai diartikan sebagai teknik
pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap
baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan
tertanam dalam diri siswa.21 Jadi penekanannya pada usaha membantu peserta didik dalam
mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang
nilai-nilai mereka sendiri. Langkah-langkah pembelajaran klarifikasi nilai: (1) pemilihan: para
siswa mengadakan pemilihan tindakan secara bebas, dari sejumlah alternatif tindakan
mempertimbangkan kebaikan dan akibat-akibatnya, (2) mengharagai pemilihan: siswa
menghargai pilihannya serta memperkuat-mempertegas pilihannya, (3) berbuat: siswa
melakukan perbuatan yang berkaitan dengan pilihannya, mengulanginya pada hal lainnya.

5. Model Pembelajaran Berbuat


Model pendekatan ini menekankan pada usaha memberikan kesempatan usaha kepada peserta
didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara
bersama-sama dalam suatu kelompok.
Tujuan dari model pembelajaran ini adalah: pertama, memberi kesempatan kepada peserta
didik untuk melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-
sama berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri. Kedua, mendorong peserta didik untuk
memposisikan diri mereka sebagai makhluk individu dan makhluk social dalam pergaulan
dengan sesame. Sebagai konsekuensinya, mereka tidak bisa bertindak bebas sekehendak hati,
namun bersikap sebagai bagian dari suatu masyarakat yang harus mengambil bagian dalam
suatu proses demokrasi.

Instrumen penilaian ranah Afektif


Permendiknas No 16 Tahun 2007 tentang Kualifikasi Akademik dan Standar Kompetensi Guru
dinyatakan bahwa salah satu kompetensi inti guru adalah menyelenggarakan penilaian dan
evaluasi proses maupun hasil belajar. Salah satu kompetensi yang harus dimiliki guru adalah
mengembangkan instrumen penilaian, evaluasi proses dan hasil belajar. Seorang guru harus
dapat melaksanakan evaluasi untuk mengetahui apakah materi yang diberikan dapat dipahami
siswa atau belum. Hasil prasurvey menunjukkan bahwa guruguru IPA SMP di Kota Magelang
menunjukkan bahwa masih terdapat 36% kesulitan yang dialami guru dalam menyusun
instrumen hasil belajar, karena belum mempunyai buku pedoman cara menyusun instrumen
hasil belajar, kesulitan dalam mencari buku yang berisi cara menyusun instrumen hasil belajar.
Guru kurang memahami cara menyusun instrumen hasil belajar. Terdapat kesenjangan antara
yang diharapkan dan kenyataan dilapangan. Guru hendaknya dapat menyusun instrumen hasil
belajar secara maksimal yaitu 100%, sedangkan dilapangan menyatakan bahwa kemampuan
guru dalam menyusun instrument hasil belajar sebesar 64%.

Peneliti berasumsi bahwa salah satu cara yang tepat untuk meningkatkan kemampuan dalam
menyusun instrumen hasil belajar dengan penyediaan modul interaktif. Modul
interaktif yang berisi cara menyusun instrument hasil belajar meliputi aspek kognitif, afektif
dan psikomotorik. Modul interaktif cara yang tepat dikarenakan tidak menganggu tugas pokok
guru
dalam mengajar, modul bisa dipakai kapan saja, dimana saja dan dapat dijadikan buku
referensi. Guru hendaknya dapat menyusun instrumen hasil belajar secara maksimal yaitu
100%, sedangkan dilapangan menyatakan bahwa kemampuan guru dalam menyusun
instrument hasil belajar sebesar 64%. Peneliti berasumsi bahwa salah satu cara yang tepat untuk
meningkatkan kemampuan dalam menyusun instrumen hasil belajar dengan penyediaan modul
interaktif. Modul interaktif yang berisi cara menyusun instrument hasil belajar meliputi aspek
kognitif, afektif dan psikomotorik. Modul interaktif cara yang tepat dikarenakan tidak
menganggu tugas pokok guru dalam mengajar, modul bisa dipakai kapan saja,dimana saja dan
dapat dijadikan buku referensi.

Penilaian didefinisikan sebagai proses pengumpulan informasi tentang kinerja siswa, untuk
digunakan sebagai dasar dalam membuat keputusan. (Harun dan Mansyur, 2008: 7). Penilaian
merupakan komponen yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan karena
penilaian akan menjadi tolok ukur keberhasilan dalam penyelenggaraan pendidikan. Hasil
belajar adalah perubahan tingkah laku peserta didik akibat proses kegiatan belajar mengajar,
yang berupa perubahan dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor (Purwanto, 2010: 46).
Sementara itu Sudjana, (2010: 22) menyatakan bahwa di dalam sistem pendidikan nasional
rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan
klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membagi menjadi tiga
ranah yaitu ranah kognitif,ranah afektif .
Modul adalah sebuah buku yang ditulis dengan tujuan agar peserta didik dapat belajar
secara mandiri tanpa bimbingan guru (Abdul Majid, 2008:176). Sementara itu Mulyasa, (2006:
148) berpendapat bahwa modul merupakan paket belajar mandiri yang meliputi serangkaian
pengalaman belajar yang direncanakan dan dirancang secara sistematis untuk membantu
peserta didik mencapai tujuan belajar. Modul berisikan suatu materi yang sangat penting yang
dapat dipelajari secara mandiri dan dapat dipraktikan sendiri tanpa bantuan atau bimbingan
orang lain. Modul akan bermakna
jika modul tersebut memiliki kemampuan untuk dapat memudahkan pembaca atau pengguna
modul tersebut dalam mempelajarinya. Modul Interaktif merupakan alat atau sarana
pembelajaran berisi materi, metode, batasan-batasan, dan cara mengevaluasi yang dirancang
secara sistematis dan menarik untukmencapai kompetensi yang diharapkan (Susilana, 2007:
125). Modul yang baik hendaknya mencakup secara keseluruhan meliputi gambaran
kompetensi yang ingin dicapai, materi yang ditulis dengan bahasa yang baik dan menarik
dilengkapi dengan ilustrasi atau contoh, dituliskan secara runtut supaya mudah difahami,
dilengkapi lembar kerja dan kunci jawaban.

Susilana, (2007: 126-127) menyatakan bahwa karakteristik modul interaktif antara


lain; self Instruction, self Contained, stand Alone, Adaptif dan user Friendly. Pengembangan
modul
dipilih struktur atau kerangka yang sederhana dan yang paling sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi yang ada. Bagan pengembangan modul yang diungkapkan oleh Pudji Muljono (2001)
sebagai berikut; (1) bagian pendahuluan terdiri dari deskripsi singkat, relevansi dan tujuan
instruksional (2) bagian penyajian merupakan isi modul yang terbagi menjadi beberapa sub
bagian yang biasa disebut Kegiatan Belajar 1, Kegiatan Belajar 2 dan seterusnya. Dalam buku
teks, kegiatan belajar ini disebut sub-bab. Setiap modul diharapkan dibagi menjadi 2-4
Kegiatan
Belajar, masing-masing tersusun antara lain; judul kegiatan belajar, uraian atau penjelasan
secara rinci tentang isi pelajaran, latihan yang berisi kegiatan yang harus dilakukan peserta,
dan rangkuman atau ringkasan dari konsep yang dipeelajari dan bagian penutup berisi sel
formatif umpan balik dan tindak lanjut serta kunci jawaban
Instrumen memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan mutu suatu penelitian,
karena validitas dan kesahihan data yang diperoleh akan sangat ditentukan oleh kualitas
instrumen yang digunakan, disamping prosedur pengumpulan data yang ditempuh. Hal ini
mudah dipahami karena instrumen berfungsi untuk mengungkapkan fakta menjadi data,
sehingga jika instrumen yang digunakan mempunyai kualitas yang memadai dalam arti valid
dan reliabel maka data yang diperoleh akan sesuai dengan fakta atau keadaan yang
sesungguhnya dilapangan. Sedang jika instrumen yang di gunakan tidak baik dalam arti
mempunyai validitas dan reliabilitas yang rendah, maka data yang diperoleh juga tidak valid
atau tidak sesuai fakta dilapangan, sehingga dapat menghasilkan kesimpulan yang keliru.
Menurut Suryabrata (2005) dua karakteristik instrumen yang menentukan tinggi-rendahnya
mutu adalah (a) reliabilitas dan (b) validitas instrumen. Reliabilitas merujuk kepada konsistensi
hasil perekaman data, sedangkan validitas merujuk kepada sejauh mana instrumen itu merekam
(mengukur) apa yang dimaksudkan untuk direkam (diukur). Karena reliabilitas dan validitas
instrumen itu menentukan derajat kesesuaian antara data dengan keadaan lapangan, maka
keduanya harus ditegakkan secara sungguh-sungguh.
Untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian, kita dapat menggunakan instrumen yang
telah tersedia dan dapat pula menggunakan instrumen yang dibuat sendiri. Instrumen yang telah
tersedia pada umumnya adalah instrumen yang dianggap baku untuk mengumpulkan data
Variabel-variabel tertentu. Dengan demikian, jika instrumen baku telah tersedia untuk
mengumpulkan data variabel penelitian maka kita dapat langsung menggunakan instrumen
tersebut, dengan catatan teori yang di jadikan landasan menyusun instrumen tersebut sesuai
dengan teori yang diacu pada penelitian tersebut. Selain itu, konstruk variabel yang di ukur
oleh instrumen tersebut juga sama dengan konstruk varibel yang hendak kita ukur dalam
penelitian. Akan tetapi, jika instrumen baku belum tersedia untuk mengumpulkan data variabel
penelitian, maka instrumen variabel untuk mengumpulkan data tersebut harus dibuat sendari
oleh peneliti.

Penilaian ranah afektif tidaklah semudah menilai ranah kognitif. Penilaian ranah afektif tidak
dapat dilakukan setiap saat (dalam arti penilaian formal) karena perubahan tingkah laku siswa
dapat berubah sewaktu-waktu. Perubahan sikap seseorang memerlukan waktu yang relatif
lama. Demikian juga pengembangan minat. Penilaian hasil belajar merupakan proses
pengambilan keputusan tentang kemajuan belajar siswa yang dilakukan oleh guru berdasarkan
informasi yang diperoleh melalui pengukuran proses dan hasil belajar siswa. Ketepatan dalam
penilaian sangat tergantung kepada aspek yang hendak diukur. Apabila aspek yang hendak
dikembangkan melalui mata pelajaran biologi adalah menekankan pada ranah afektik, maka
sudah seharusnyalah penilaian ranah afektif dilakukan. Dengan demikian penilaian hasil
belajar biologi tidak hanya mengukur hasil belajar yang berupa aspek pengetahuan saja.
Rata-rata penguasaan pemahaman materi cara menyusun intrumen hasil belajar dengan
menggunakan modul interaktif mencapai 81% sehingga lebih besar dengan kriteria ketuntasan
yang telah ditentukan yaitu 75%. Rata-rata keterampilan menyusun instrumen hasil belajar
lebih tinggi dari pada rata-rata keterampilan menyusun instrumen hasil belajar tanpa
menggunakan modul interaktif. Pemahaman materi berpengaruh positif terhadap keterampilan
menyusun instrument hasil belajar. Ketiga uji diatas membuktikan bahwa kriteria modul
interaktif telah dipenuhi,sehingga disimpulkan bahwa modul interaktif yang dihasilkan dalam
penelitian ini merupakan modul interaktif yang efektif.
Petunjuk pelaksanaan penilaian pendidikan disebutkan bahwa penilaian ranah kognitif
bertujuan untuk mengukur pengembangan penalaran, sedangkan tujuan penilaian afektif adalah
(1) Untuk mendapatkan umpan balik (feed back) baik bagi guru maupun siswa sebagai dasar
untuk memperbaiki proses belajar-mengajar dan mengadakan program perbaikan (remedial
program) bagi siswanya. (2) Untuk mengetahui tingkat perubahan tingkah laku siswa yang
dicapai antara lain diperlukan sebagai bahan bagi: perbaikan tingkah laku siswa, pemberian
laporan kepada orang tua, dan penentuan lulus tidaknya siswa. (3) Untuk menempatkan siswa
dalam situasi belajar-mengajar yang tepat, sesuai dengan tingkat pencapaian dan kemampuan
serta karakteristik siswa. (4) Untuk mengenal latar belakang kegiatan belajar-mengajar dan
kelainan tingkah laku siswa. (Arikunto, 2011).
Menurut Krathwohl dalam Mardapi (2008) bila ditelusuri hampir semua tujuan kognitif
mempunyai komponen afektif. Dalam pembelajaran sains, misalnya, di dalamnya ada
komponen sikap ilmiah. Sikap ilmiah adalah komponen afektif. Tingkatan ranah afektif
menurut taksonomi Krathwohl ada lima, yaitu: penerimaan (receiving/attending), sambutan
(responding), penilaian (valuing), pengorganization (organization), dan karakterisai
(characterization). Pembagian tersebut sejalan dengan konsep penilaian afektif yang
diterbitkan oleh (BSNP: 2008) bahwa tingkatan yang ingin dicapai dalam ranah afektif yakni
sebagai berikut.
1. Tingkat Receiving. Pada tingkat receiving, peserta didik memiliki persepsi terhadap suatu
fenomena khusus atau stimulus, yang menarik perhatiannya. Tugas pendidik menjaga perhatian
peserta didik pada fenomena yang menjadi objek pembelajaran afektif. Misalnya pendidik
mengarahkan peserta didik agar senang membaca buku, senang bekerjasama, dan sebagainya.
Kata kerja operasional yang dapat digunakan pada perumusan tujuan adalah menghadiri,
melihat, memperhatikan.

2. Tingkat Responding. Pada tingkat ini peserta didik tidak saja memperhatikan fenomena
khusus tetapi ia juga bereaksi. Hasil pembelajaran pada ranah ini menekankan pada
pemerolehan respons, berkeinginan memberi respons, atau kepuasan dalam memberi respons.
Pada tingkat ini siswa tidak hanya memberi respon tetapi ia sungguh-sungguh berpartisipasi
aktif. Misalnya senang membaca buku, senang bertanya, senang membantu teman, senang
dengan kebersihan dan kerapihan, dan sebagainya. Kata kerja operasional yang dapat
digunakan adalah mengikuti, mendiskusikan, berlatih, berpartisipasi, menjawab pertanyaan.
3. Tingkat Valuing. Valuing berhubungan dengan pengungkapan perasaan, keyakinan, atau
anggapan bahwa suatu gagasan, benda, atau cara berpikir tertentu mempunyai nilai. Unsur yang
penting pada jenjang ini adalah seseorang telah termotivasi bukan karena keinginan atau
kepatuhan tetapi lebih disebabkan karena keterkaitannya dengan nilai-nilai tertentu. Dalam
tujuan pembelajaran kata kerja operasional yang dapat digunakan adalah meyakinkan,
bertindak, mengemukakan argumentasi.
4. Tingkat Organization. Pada tingkat organization, nilai satu dengan nilai lain dikaitkan,
konflik antar nilai diselesaikan, dan mulai membangun sistem nilai internal yang konsisten.
Hasil pembelajaran pada tingkat ini berupa konseptualisasi nilai atau organisasi sistem nilai.
Kata kerja operasional yang dapat digunakan adalah memodifikasi, membandingkan,
memutuskan.
5. Tingkat Characterization. Tingkat ranah afektif tertinggi adalah characterization nilai. Pada
tingkat ini peserta didik memiliki system nilai yang mengendalikan perilaku sampai pada
waktu tertentu hingga terbentuk gaya hidup. Hasil pembelajaran pada tingkat ini berkaitan
dengan pribadi, emosi, dan sosial.
Menurut Andersen dalam BSNP (2008). Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua
kriteria untuk diklasifikasikan sebagai ranah afektif Pertama, perilaku melibatkan perasaan dan
emosi seseorang. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain yang termasuk
ranah afektif adalah intensitas, arah, dan target. Intensitas menyatakan derajat atau kekuatan
dari perasaan. Beberapa perasaan lebih kuat dari yang lain, misalnya cinta lebih kuat dari
senang atau suka. Sebagian orang kemungkinan memiliki perasaan yang lebih kuat dibanding
yang lain. Arah perasaan berkaitan dengan orientasi positif atau negatif dari perasaan yang
menunjukkan apakah perasaan itu baik atau buruk. Misalnya senang pada pelajaran dimaknai
positif, sedang kecemasan dimaknai negatif. Bila intensitas dan arah perasaan ditinjau bersama-
sama, maka karakteristik afektif berada dalam suatu skala yang kontinum.
Fishbein & Ajzen dalam Mardapi (2008) mengemukakan bahwa sikap adalah suatu
predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek,
situasi, konsep, atau orang. Sikap siswa terhadap objek misalnya sikap terhadap sekolah atau
terhadap bidang studi. Sikap siswa ini penting untuk ditingkatkan. Trow & Alport dalam Djaali,
(2006). Mendefinisikan sikap sebagai suatu kesiapan mental atau emosional dalam beberapa
jenis tindakan pada situasi yang tepat. Disini Trow lebih menekankan pada kesiapan mental
atau emosional seseorang terhadap suatu objek. Sementara itu Alport mengemukakan bahwa
sikap adalah suatu kesiapan mental dan saraf yang tersusun melalui pengalaman dan
memberikan pengaruh langsung kepada respon individu kepada semua pihak atau situasi yang
berhubungan dengan objek itu. Definisi sikap menurut Alport ini menunjukan bahwa sikap itu
tidak muncul seketika atau pembawaan sejak lahir, tetapi disusun dan dibentuk melalui
pengalaman serta memberikan pengaruh langsung kepada respon seseorang. Harlen
mengemukakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kecenderungan seseorang untuk
bertindak dalam menghadapi suatu objek atau situasi tertentu.
Secara lebih terperinci, Rahmat (2008) menyimpulkan beberapa pendapat ahli dan
menetapkan lima ciri yang menjadi karakteristik sikap seseorang (1) Sikap adalah
kecenderungan bertindak, berpresepsi, berpikir. dan merasa dala menghadapi obyek, ide,
situasi. atau nilai. Sikap bukan perilaku tetapi merupakan kecenderungan berperilaku dengan
cara tertentu terhadap obyek sikap. Obyek sikap dapat berupa benda,orang, tempat, gagasan,
situasi, atau kelompok. (2) Sikap mempunyai daya pendorong. Sikap bukan hanya rekaman
masa lalu tetapi juga pilihan seseorang untuk menentukan apa yang disukai dan menghindari
apa yang tidak diinginkan. (3) Sikap relatif lebih menetap. Ketika satu sikap telah terbentuk
pada diri seseorang maka hal itu akan menetap dalam waktu relative lama karena hal itu
didasari pilihan yang menguntungkan dirinya. (4) Sikap mengandung aspek evaluatif. Sikap
akan bertahan selama obyek sikap masih menyenangkan seseorang, tetapi kapan obyek sikap
dinilainya negatif maka sikap akan berubah. (5) Sikap timbul melalui pengalaman, tidak
dibawa sejak tahir, sehingga sikap dapat diperteguh atau diubah melalui proses belajar.

Kategori Ranah Afektif


Adapun target dari domain afektif meliputi ketekunan, ketelitian, dan kemampuan
memecahkan masalah logis dan sistematis. Domain ini merupakan ranah yang ditunjukkan oleh
perilaku yang berurusan dengan hal-hal emosional seperti perasaan, nilai-nilai, minat,
kepedulian, motivasi, dan sikap. Krathwohl (1964) mengusulkan lima tingkat taksonomi
domain afektif diatur dalam hirarki sesuai dengan kompleksitas. Adapun kelima tingkat
taksonomi domain afektif adalah sebagai berikut.
Tingkat pertama dari taksonomi afektif disebut “menerima”. Pada tingkat ini, peserta menerima
informasi baru dan kemampuan untuk selektif menanggapi rangsangan. Contoh umum adalah
kehadiran di kelas dan memperhatikan dosen atau teman dalam membahas materi.

Tingkat kedua, “menanggapi” berkisar dari kepatuhan respon sukarela untuk memiliki rasa
kepuasaan dalam melakukan apa yang dibutuhkan. Sebagai contoh, berpartisipasi dalam
kegiatan kelas dan menjawab pertanyaan dari dosen.

Tingkat ketiga disebut “menghargai”. Pada tingkat ini peserta didik secara sukarela
memanifestasikan perilaku yang konsisten dengan keyakinan tertentu. Sebagai contoh, ketika
seorang pelajar menunjukkan gerakan semacam persetujuan terhadap orang lain dan dapat
memberikan penjelasan atau pendapat.
Tingkat keempat taksonomi, “organisasi” atau “konseptualisasi nilai”. Peserta mengatur
seperangkat nilai-nilai ke dalam sistem nilai yang digunakan untuk menanggapi situasi yang
beragam. Gronlund (Olatunji, 2013) menjelaskan meningkatnya kompleksitas bentuk
pembelajaran dalam pengamatan bahwa: “sebagai hasil afektif dari yang sederhana sampai
yang kompleks, mereka semakin menjadi terinternalisasi dan terintegrasi dengan perilaku
untuk membentuk sistem nilai yang kompleks dan pola perilaku. Contoh konseptualisasi nilai
adalah dapat menggabungkan lebih dari satu pendapat dan membandingkan lebih dari satu
pendapat yang lebih baik.

Tingkat kelima dan merupakan level tertinggi dalam hirarki taksonomi afektif adalah
“karakterisasi nilai” dan karakterisasi ini terjadi ketika perilaku siswa konsisten dan dapat
diprediksi seolah-olah itu sebagai gaya hidup dan menjadi ciri seseorang. Contoh karakterisasi
nilai adalah memperbaiki jika terdapat perbedaan dalam diskusi dan mengungkap ide-ide baru
dalam diskusi.

Mengasesaspek afektif dilakukan secara terintegrasi dengan pembelajaran yang digunakan.


Untuk memantau perkembangan aspek afektif digunakan sejumlah kata kerja yang sesuai
dengn indikator aspek afektif dalam bentuk lembar observasi. Target asesmen afektif adalah
munculnya lima tingkat taksonomi afektif.
Setiap pembelajaran dapat memunculkan aspek afektif.Dalam peneltian ini digunakan
pembelajaran optika dengan pendekatan demonstrasi interaktif. Pendekatandemonstrasi
interaktif terdiri dari kegiatan demonstrasi dengan seperangkat alat yang digunakan peneliti
dan kemudian mengajukan pertanyaan investigasi atau calon guru mengajukan pertanyaan
tentang apa yang akan terjadi atau bagaimana sesuatu mungkin terjadi. Selanjutnya kegiatan
dilanjutkan untuk memunculkan tanggapan, meminta penjelasan lebih lanjut, dan membantu
calon guru mencapai kesimpulan berdasarkan bukti.
Agar pembelajaran dapat terlaksana dengan baik secara maksimal maka diperlukan lima tahap
siklus tingkatan pembelajaran inkuiri. Adapun kelima tahap tersebut yang telah diperkenalkan
oleh Wenning sejak 2005 adalah:
1) Observasi: Calon guru melakukan pengamatan untuk mendorong rasa ingin tahu dan
dapat memunculkan respon peserta.

2) Manipulasi: Calon guru melaksanakan pengamatan dengan mengubah variabel sistem.

3) Generalisasi: Calon guru membuat kesimpulan berdasarkan hasil pengamatan pada


kegiatan manipulasi.

4) Verifikasi: Calon guru memverifikasi kesimpulan yang diperoleh dengan teori/ hukum/
prinsip-prinsip berdasarkan literatur.

5) Aplikasi: Calon guru memecahkan masalah yang berhubungan dengan


teori/hukum/prinsip- prinsip yang telah diperoleh.

pembelajaran inkuiri, adanya pertanyaan yang diajukan pada peserta atau peserta kepada
pengajar yang merupakan kekuatan pendorong karena dapat merangsang untuk berpikir kritis.
Wals dan Sattes (2005) menyatakan tujuan pertanyaan dalam pembelajaran inkuiri adalah
untuk menantang siswa berpikir tentang konsep dan merumuskan tanggapan sendiri. Selain
konten, konsep yang diharapkan dari siswa juga jenis pemikiran dan proses yang dapat
dilakukan dengan penuh tanggungjawab.
Pembelajaran inkuiri dengan pendekatan DemInter (demonstrasi interaktif) pada topik materi
lup yang dipelajari dimulai pada tahap observasi sampai aplikasi. Calon guru mengamati
bagaimana perbesaran bayangan benda yang dihasilkan oleh lup sampai aplikasi untuk mencari
perbesaran bayangan benda jika seseorang mengamati benda menggunakan dua lup yang
berbeda. Pada materi mikroskop calon guru memulai pada tahap observasi untuk mengamati
bagaimana perbesaran benda yang dihasilkan oleh mikroskop sampai aplikasi untuk mencari
perbesaran bayangan mikroskop jika lensa objektif dan lensa okuler yang digunakan diganti
dengan ukuran jarak fokus dua kali semula.
Selanjutnya pada materi teleskop calon guru memulai pada tahap observasi untuk mengamati
bagaimana perbesaran bayangan benda dihasilkan oleh teleskop sampai tahap aplikasi untuk
menyusun teleskop dan mencari perbesaran bayangan jika disediakan dua lensa dengan jarak
fokus berbeda. Pada perkuliahan berikutnya adalah materi difraksi celah tunggal, calon guru
memulai pada tahap observasi untuk mengamati bagaimana pola difraksi terjadi yang
dihasilkan oleh celah tunggal sampai tahap aplikasi untuk mencari perubahan jarak celah-layar
jika mengubah panjang gelombang cahaya yang digunakan.

Disadari atau tidak secara otomatif domain muncul dalam setiap pembelajaran. Namun jarang
dijumpai dalam penilaian seorang guru. Penilaian yang komprehensif merupakan aspek yang
sangat diperlukan dari setiap program pendidikan yang bermakna. Hal ini bertujuan untuk
mendapatkan peserta didik yang memiliki intelektual dalam klasifikasi pengetahuan kognitif
dan proses kognitif, memiliki kinerja yang baik dan dapat berkerja dengan tekun, teliti, dan
mampu memecahkan masalah secara logis dan sistematis dari yang secara sederhana sampai
yang terinternalisasi dan terintegrasi dengan perilaku. Sejalan dengan ini pemerintah dalam
kurikulum 2013 memasukkan penilaian hasil belajar pada siswa mencakup kompetensi sikap,
keterampilan, dan pengetahuan. Selain itu pembelajaran lebih ditekankan pada proses saintifik
diantaranya adalah metode pembelajaran berbasis penyingkapan/ penelitian (discovery/ inquiry
learning).

Tingkatan Ranah Afektif


Ranah afektif (affective domain) menurut taksonomi Kratwohl, Bloom dan kawan-kawan ada
lima, yaitu penerimaan (receiving), partisipasi (responding), penilaian/penentuan sikap
(valuing), organisasi (organization), danpembentukan pola hidup (characterization).

1. Tingkat Penerimaan (receiving)


Pada tingkat ini peserta didik memiliki keinginan memperhatikan suatu fenomena khusus atau
stimulus, misalnya kelas, kegiatan, musik, buku, dan sebagainya. Tugas pendidik mengarahkan
perhatian peserta didik pada fenomena yang menjadi objek pembelajaran afektif. Misalnya
pendidik mengarahkan peserta didik agar senang membaca buku, senang bekerjasama, dan
sebagainya. Kesenangan ini akan menjadi kebiasaan, dan hal ini yang diharapkan, yaitu
kebiasaan yang positif.

2. Tingkat Partisipasi (responding)


Ini merupakan partisipasi aktif peserta didik, yaitu sebagai bagian dari perilakunya. Pada
tingkat ini peserta didik tidak saja memperhatikan fenomena khusus tetapi ia juga bereaksi.
Hasil pembelajaran pada ranah ini menekankan pada pemerolehan respons, berkeinginan
memberi respons, atau kepuasan dalam memberi respons. Tingkat yang tinggi pada kategori
ini adalah minat, yaitu hal-hal yang menekankan pada pencarian hasil dan kesenangan pada
aktivitas khusus. Misalnya senang membaca buku, senang bertanya, senang membantu teman,
senang dengan kebersihan dan kerapian, dan sebagainya.
3. Tingkat Penilaian/Penentuan Sikap (valuing)

Valuing melibatkan penentuan nilai, keyakinan atau sikap yang menunjukkan derajat
internalisasi atau komitmen. Derajat rentangannya mulai dari menerima suatu nilai, misalnya
keinginan untuk meningkatkan keterampilan, sampai pada tingkat komitmen. Valuing atau
penilaian berbasis pada internalisasii dari seperangkat nilai yang spesifik. Hasil belajar pada
tingkat ini berhubungan dengan perilaku yang konsisten dan stabil agar nilai dikenal secara
jelas. Dalam tujuan pembelajaran, penilaian ini diklasifikasikan sebagai sikap dan apresiasi.

4. Tingkat Organisasi (organization)


Pada tingkat ini, nilai satu dengan nilai lain dikaitkan, konflik antar nilai diselesaikan, dan
mulai membangun sistem nilai internal yang konsisten. Hasil pembelajaran pada tingkat ini
berupa konseptualisasi nilai atau organisasi system nilai. Misalnya pengembangan filsafat
hidup.

5. Tingkatkat Pembentukan Pola Hidup (characterization)

Ini adalah tingkat ranah afektif tertinggi. Pada tingkat ini peserta didik memiliki sistem nilai
yang mengendalikan perilaku sampai pada waktu tertentu hingga terbentuk gaya hidup. Hasil
pembelajaran pada tingkat ini berkaitan dengan pribadi, emosi, dan sosial.

Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ada 4 (empat) tipe karakteristik afektif
yang penting, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral. Ranah afektif lain yang juga
penting adalah:
1. Kejujuran: peserta didik harus belajar menghargai kejujuran dalam berinteraksi dengan
orang lain.
2. Integritas: peserta didik harus mengikatkan diri pada kode nilai, misalnya moral dan artistic.
3. Adil: peserta didik harus berpendapat bahwa semua orang mendapat perlakuakn yang sama
dalam memperoleh pendidikan.
4. Kebebasan: peserta didik harus yakin bahwa Negara yang demokratis memberi kebebasan
yang bertanggung jawab secara maksimal kepada semua orang.

Pentingnya Penerapan Pembelajaran Ranah Afektif


Perlu dipahami bahwa pengembangan karakteristik afektif pada anak didik memerlukan upaya
secara sadar dan sistematis. Terjadinya proses kegiatan belajar dalam ranah afektif dapat
diketahui dari tingkah laku murid yang menunjukkan adanya kesenangan belajar. Perasaan,
emosi, minat, sikap, dan apresiasi yang positif menimbulkan tingkah laku yang konstruktif
dalam diri pelajar. Perasaan mengontrol tingkah laku, sedangkan pikiran (kognisi) tidak.
Perasaan dan emosi mempunyai peran utama dalam menghalangi atau mendorong belajar. Oleh
karena itu, perkembangan afektif seperti halnya perkembangan kognitif perlu memperoleh
penekanan dalam proses belajar.
Lemahnya pendidikan afektif di sekolah disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor
penyebab tersebut ialah guru-guru merasa kurang mantap dalam merumuskan tujuan afektif.
Sebab yang lain, tujuan afektif lebih sulit diukur daripada tujuan kognitif.
Situasi di berbagai bagian dunia cukup memprihatinkan. Konflik-konflik yang sulit diatasi dan
berwujud perang muncul di berbagai penjuru dunia. Konflik antar pelajar juga sering terjadi di
Negara kita. Kebebasan yang tidak terkendali antara lain berupa pergaulan yang melanggar
norma agama banyak terjadi dalam masyarakat. Demikian juga berbagai tindak criminal,
perjudian, penggunaan obat terlarang, minuman keras, dan narkotik. Kenyataan ini membuat
dunia pendidikaan, khususnya sekolah tidak mempunyai pilihan lain, kecuali menekankan
pendidikan afektif, khususnya pendidikan nilai dan sikap. Ranah afektif merupakan bagian
dalam pengalaman belajar dan berfungsi sebagai pasangan ranah kognitif. John Dewey seperti
dikutip Darmiyati Zuchdi23, menyatakan bahwa terpisahnya pikiran dan afeksi telah
menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan manusia. Menurut Dewey, kepaduan antara
kognisi dan afeksi dapat dicapai dengan menciptakan lingkungan yang memungkinkan setiap
orang mengalami latihan berpikir dan memperoleh kepuasan. Dalam konteks pembelajaran,
guru perlu menyadari pentingnya kepaduan antara kognisi dan afeksi, dan perlu menggunakan
berbagai metode mengajar untuk mencapai hal itu.
Patterson juga memiliki pandangan serupa. Ia berargumentasi bahwa jika pendidikan diarahkan
pada pembentukan manusia seutuhnya, seharusnya tidak hanya menekankan pada
perkembangan kognitif. Pendidikan harus dikaitkan dengan hubungan antarpribadi anak.
Menurut ahli penelitian Hulz, Tetenbaum, dan Phillips,25 terdapat hubungan yang signifikan
antara variable afektif dan penyelesaian tugas-tugas pemecahan masalah. Hal ini berarti bahwa
perlu diciptakan lingkungan belajar yang menekankan pengembangan afektif. Pembelajaran
kreatifitas dan pemecahan masalah akan lebih efektif apabila program pembelajaran diarahkan
pada perkembangan keterampilan dan kepribadian. Agar menjadi kreatif dan mampu
memecahkan masalah, subjek didik harus memiliki keterampilan dan kemauan untuk
mengerjakannya.

Pendidikan afektif memiliki dua tujuan utama, yaitu mengembangan keterampilan intrapribadi
dan keterampilan antarpribadi. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan
afektif berpengaruh positif secara signifikan terhadap perkembangan kepribadian. Pengaruh
positif tersebut antara lain berwujud dapat menghargai orang lain, mampu menemukan
alternative pemecahan masalah, kreatif, sabar, dan mandiri.
Kegiatan Pembelajaran adalah ujung tombak proses pendidikan yang berlangsung dalam
sebuah sekolah. Dengan demikian maka tingkat keefektifan kegiatan belajar mengajar akan
sangat menentukan keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu maka perlu disusun sebuah
strategi pembelajaran yang tepat guna menghasilkan sebuah kegiatan pembelajaran yang
efektif. strategi yang dilakukan terhadap penerapan pembelajaran ranah afektif pendidikan
seperti di bawah ini.

Upaya Pembinaan
Untuk menjadikan seorang anak didik memiliki budi pekerti luhur atau akhlaqul karimah
(ranah afektif) diperlukan pembinaan terus menerus dan berkesinambungan di sekolah.
1. Dengan menciptakan situasi yang kondusif atau yang mendukung terwujudnya pembinaan
aspek afektif pada diri siswa.

Situasi yang kondusif tersebut dapat terwujud dengan pendekatan:


a. Dialogis, antara guru dengan siswa, antara orang tua dan guru, dialog dapat dilakukan secara
pribadi, kelompok, atau dengan seluruh siswa dalam kegiatan upacara bendera.
b. Komunikatif, apa saja yang ingin kita laksanakan, dan kalau ada hal-hal penting yang perlu
disampaikan, maka sampaikanlah kepada para siswa secara pribadi dengan guru, dengan
kelompok kelas oleh wali kelas, dan seluruh siswa oleh kepala sekolah atau wakil kepala
sekolah. Demikian juga komunikasi antara guru dan siswa, dapat pula dilakukan dengan guru
pembina kegiatan ekstra kurikuler dalam berbagai kesempatan, demikian juga komunikasi
yang dilakukan dengan orang tua murid adalah hal yang sangat penting dilakukan untuk
membantu memantau perkembangan anak didik baik intelektual, sikap maupun aktualisasinya
di luar sekolah yang tak terkontrol oleh para guru.

c. Keterbukaan, dialog ataupun komunikasi yang dilakukan harus terbuka, para siswa diberi
kesempatan untuk mengembangkan pendapatnya.

2. Mengintegrasikan nilai-nilai ranah afektif ke dalam seluruh mata pelajaran yang ada.
3. Peningkatan kerjasama dengan orang tua murid dan masyarakat.
Pada dasarnya tanggung jawab pendidikan merupakan tanggung jawab tri pusat pendidikan,
yaitu:
- orang tua;
- sekolah/pemerintah;
- masyarakat.
Sumber ringkasan

MENGAKSES ASPEK AFEKTIF DAN KOGNITIF PADA


PEMBELAJARAN OPTIKA DENGAN PENDEKATAN DEMONSTRASI
INTERAKTIF ( halaman 2-4 , halaman 6-7 )
Oleh :
Riskan Qadar
Prodi Pendidikan Fisika, FKIP Universitas Mulawarman

Nuryani Y. Rustaman, Andi Suhandi


Prodi Pendidikan IPA SPs Universitas Pendidikan Indonesia

PEMBELAJARAN RANAH AFEKTIF ANTARA


HARAPAN DAN KENYATAAN (Halaman 46-47 , Halaman 49-67)
Oleh :

Muhammad Yusuf Pulungan

Anda mungkin juga menyukai