Anda di halaman 1dari 9

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan izin dan kekuatan,
sehingga kami dapat menyusun makalah ini. Makalah ini telah dibuat berdasarkan
hasil diskusi kelompok kami. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran
serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami
harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Taylor (2009) mendefinisikan konsep diri sebagai seperangkat keyakinan diri kita.
Konsep diri adalah suatu identitas diri yang merupakan skema yang terdiri dari
kumpulan belief dan perasaan yang terorganisasi mengenai diri. Konsep diri sangat
penting dipelajari dalam psikologi sosial karena konsep diri mempengaruhi
perilaku seseorang, terutama alam menangani dunia dan pengalaman. Konsep diri
bukanlah sesuatu yang tiba-tiba ada atau muncul. Pembentukan konsep diri
dipengaruhi oleh orang lain dalam proses interaksi sosial. Hasil penilaian atau
evaluasi orang lain serta apa yang dipikirkan orang lain tentang kita menjadi
sumber informasi tentang diri kita (analogi cermin). Penilaian atau evaluasi orang
lain bukanlah satu-satunya yang membentuk konsep diri. Ketika kita melakukan
sesuatu, hasil dari tindakan kita juga akan membentuk konsep diri.
Pemahaman diri mulai muncul sejak bayi yakni dengan menjadi mengenali individu
lain. Anak kecil mempunyai konsep yang cukup jelas tentang kualitas personal
mereka dan juga kemampuan mereka. Teori Erik Erickson (1963) berpendapat bahwa
ada tahap-tahap perkembangan ego yang berpengaruh dalam pembentukan konsep
diri seseorang. Meskipun pembentukan identitas adalah tugas sepanjang hidup,
namun tugas ini amat penting dalam masa remaja dan dewasa awal.

2. Rumusan Masalah

1. Mengetahui secara menyeluruh arti atau pengertian dari diri


2. Mengetahui sumber diri dan pribadi
3. Mengetahui proses terbentuknya diri dan pribadi
4. Mengetahui maksud dari diri dan pribadi

3. Tujuan

1. Untuk mengetahui tentang arti atau pengertian dari diri


2. Untuk mengetahui sumber diri dan pribadi
3. Untuk mengetahui proses terbentuknya diri dan pribadi
4. Untuk dapat mengetahui maksud dari diri dan pribadi
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Diri
Diri adalah bagaimana kita menjawab pertanyaan tentang “siapa aku?”. Awal
kehidupan seseorang mulai memiliki pandangan tentang siapa dirinya, laki-laki atau
perempuan. Diri adalah keyakinan yang kita pegang tentang diri kita sendiri. Diri
merupakan pusat dari dunia sosial setiap orang. Seperangkat keyakinan tentang diri
kita disebut dengan konsep diri (self-concept).
Penghargaan diri (self-esteem) merupakan hasil penilaian/evaluasi tentang diri kita
sendiri artinya kita tidak hanya menilai seperti apa diri kita tetapi juga menilai
kualitas-kualitas diri kita. Orang yang memiliki tingkat penghargaan diri yang tinggi
biasanya memiliki pemahaman yang jelas tentang kualitas personalnya. Mereka
menganggap diri mereka baik, punya tujuan yang tepat, menggunakan umpan balik
dengan cara memperkaya wawasan dan menikmati pengalaman-pengalaman positif.

Orang yang memandang rendah dirinya sendiri kurang memiliki konsep diri yang
jelas, merasa rendah diri, sering memilih tujuan yang kurang realistis atau bahkan
tidak memiliki tujuan yang pasti, cenderung pesimis dalam menghadapi masa depan,
mengingat masa lalu secara negatif, berkubang dalam perasaan negatif. Terdapat dua
dimensi yang penting bagi harga diri adalah kompetensi diri dan senang pada diri
(self-liking).

Setiap orang membangun “identitas sosial”, definisi seseorang tentang siapa dirinya,
termasuk di dalamnya atribut pribadi dan atribut yang dibagi pada orang lain, seperti
gender dan ras. Faktor genetis memainkan peran penting terhadap identitas diri atau
konsep diri yang didasarkan interaksi dengan orang lain.
2. Faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri

1. Faktor Internal
Faktor dalam diri individu berupa keadaan fisik dapat mempengaruhi pembentukan
konsep diri pada seseorang. Individu yang memiliki cacat tubuh cenderung memiliki
kelemahan-kelemahan tertentu dalam memandang keadaan dirinya, seperti
munculnya perasaan malu, minder dan perasaan tidak berharga karena melihat
dirinya berbeda dengan orang lain.
2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang memiliki peran penting dan paling utama adalah pola asuh
orang tua. Pola asuh yang diberikan oleh orang tua sangat berpengaruh terhadap
konsep diri seseorang.

3. Aspek Aspek Pengetahuan Diri

1. Skema Diri
Konsep diri pada dasarnya merupakan suatu skema, yaitu pengetahuan yang
terorganisir mengenai sesuatu yang kita gunakan untuk mengintepretasikan
pengalaman. Dengan demikian, konsep diri adalah skema diri (self-schema), yaitu
pengetahuan tentang diri, yang mempengaruhi cara seseorang mengolah
informasi dan mengambil tindakan. Tidak semua skema diri adalah positif. Orang
juga punya keyakinan tentang kualitas negatif dirinya sendiri. Selain itu orang
juga tidak hanya memiliki konsep diri tentang kualitas mereka saat sekarang,
namun juga tentang ciri-ciri mereka yang mungkin ada di masa depan, yang
kebanyakan bermuatan positif. Ini dinamakan possible self.
2. Self Discrepancies
Menurut Higgins (1978), ada 3 jenis skema diri:
a) Actual self, yaitu bagaimana diri kita saat ini
b) Ideal self, yaitu bagaimana diri yang kita inginkan
c) Ought self, yaitu bagaimana diri kita seharusnya
Pada diri seseorang, mungkin terjadi kesenjangan atau diskrepansi antara actual
self, ideal self dan ought self. Higgins dalam Teori Diskrepansi Diri (Self
Discrepancy Theory) menyatakan bahwa diskrepansi yang terjadi dapat
memotivasi seseorang untuk berubah agar mengurangi diskrepansi yang
dirasakannya. Namun, apabila seseorang gagal dalam mengatasi diskrepansi maka
dapat menyebabkan munculnya emosi-emosi negatif. Kegagalan dalam mengatasi
diskrepansi antara actual self dan ideal self dapat memicu munculnya dejection-
related emotions seperti kecewa, tidak puas dan sedih. Sedangkan diskrepansi
antara actual self dan ought self dapat memicu munculnya agitation-related
emotions seperti cemas, takut dan terancam.
4. Regulasi Diri
Regulasi diri mengacu pada cara orang mengontrol dan mengarahkan tindakan
mereka sendiri. Orang memiliki banyak informasi tentang dirinya sendiri, termasuk
karakteristik personal dan keinginan serta konsep masa depan diri mereka. Mereka
merumuskan tujuan dan mengejarnya, menggunakan keahlian social dan regulasi diri.
Banyak dari regulasi diri berlangsung secara otomatis tanpa sadar dan pemikiran
mendalam. Kita merespon petunjuk-petunjuk yang menonjol di lingkungan dan
mengatur perilaku kita. Tetapi kadang-kadang kita secara sadar dan aktif
mengintervensi pemikiran, reaksi dan perilaku kita.

5. Konsep Diri Sebagai Identitas Personal dan Sosial


Pengetahuan kita tentang diri bervariasi pada identitas personal dan sosial. Pada
identitas personal, seseorang akan mendefinisikan dirinya berdasarkan atribut atau
trait yang membedakan diri dengan orang lain dan hubungan interpersonal yang
dimiliki. Sedangkan pada identitas sosial, seseorang akan mendefinisikan dirinya
berdasarkan keanggotaannya dalam suatu kelompok sosial atau atribut yang dimiliki
bersama oleh anggota kelompok (Vaughan & Hogg, 2002). Menurut Brewer &
Gardiner (1996), tiga bentuk diri yang menjadi dasar bagi seseorang dalam
mendefinisikan dirinya adalah sebagai berikut :
1) Individual self, yaitu diri yang didefinisikan berdasarkan trait pribadi yang
membedakan dengan orang lain.
2) Relation self, yaitu diri didefinisikan berdasarkan hubungan interpersonal
yang dimiliki dengan orang lain.
3) Collective self, yaitu diri didefinisikan berdasarkan keanggotaan dalam suatu
kelompok sosial.
Dalam mendefinisikan diri individu bergantung pada latar belakang budaya, situasi
dan konteks sosial. Salah satu situasi dan konteks sosial yang berpengaruh adalah
hubungan yang kita miliki dengan orang lain. Sebagai contoh, apabila ada seseorang
yang berasal dari kelompok minoritas berada ditengah-tengah kelompok
mayoritas,orang itu akan lebih kuat dalam mendefinisikan dirinya berdasarkan
karakteristik minoritasnya, seperti “saya satu-satunya perempuan yang menjadi pilot
pesawat tempur” atau “saya satu-satunya perempuan yang di perguruan tinggi yang
didominasi mahasiswa asing” atau “saya mahasiswa daerah”. Faktor situasi dan
konteks sosial yang berpengaruh akan berpengaruh terhadap keyakinan kita tentang
bagaimana orang lain akan memperlakukan kita. Sebagai bentuk antisipasi terhadap
penerimaan atau penolakan orang lain terhadap kita, seringkali kita akan memilih
identitas diri yang kita ungkapkan. Misalnya, jika kita mendatangi suatu kelompok
remaja penggemar music alternative untuk mengadakan wawancara maka untuk bisa
diterima dan menghindari penolakan dari mereka, kita mungkin akan
mengungkapkan bahwa kita dulu juga menggemari music alternative.

6. Self-Esteem
Tingkah laku sosial seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan tentang siapa dirinya.
Namun tingkah laku sosial seseorang juga dipengaruhi oleh penilaian atau evaluasi
terhadap dirinya,baik secara positif atau negatif. Jika orang menilai secara positif
terhadap dirinya, maka ia menjadi percaya diri dalam mengerjakan hal-hal yang ia
kerjakan dan memperoleh hasil yang positif pula. Sebaliknya, orang yang menilai
secara negatif terhadap dirinya, menjadi tidak percaya diri ketika mengerjakan
sesuatu atau akhirnya, hasil yang didapat pun tidak menggembirakan.
Menurut Baron, Byrne, Branscombe (2004) harga diri menunjukkan keseluruhan
sikap seseorang terhadap dirinya sendiri, baik positif maupun negatif. Dari dua
definisi tersebut menunjukkan dua sisi positif dan negatif, dimana setiap orang akan
menginginkan harga diri yang positif, karena harga diri yang positif membuat orang
merasa nyaman dengan dirinya di tengah kepastian akan kematian yang suatu waktu
akan dihadapinya (Greenberg, Pyszczynski dan Solomon, 1986). Harga diri yang
positif membuat orang dapat mengatasi kecemasan, kesepian, dan penolakan sosial.
Harga diri menjadi alat ukur sosial (sociometer) untuk melihat sejauh mana seseorang
merasa diterima dan menyatu dengan lingkungan sosialnya. Dengan demikian,
semakin positif harga diri yang dimiliki, semakin menunjukkan bahwa ia semakin
merasa diterima dan menyatu dengan orang-orang disekitarnya.

7. Perbandingan Sosial (Social Comparison)


Untuk mengetahui seberapa baik atau buruk kita, kita akan melakukan sebuah
perbandingan sosial. Menurut Festinger (1954) untuk mengetahui seperti apa dirinya,
orang akan melakukan perbandingan dengan orang lain karena tidak adanya patokan
yang objektif untuk menilai. Kita dapat melakukan perbandingan dengan :
a) Upward Social Comparison : Melakukan perbandingan dengan oranglain
yang lebih baik.
b) Downward Social Comparison : Melakukan perbandingan dengan orang lain
yang lebih tidak baik.
8. Presentasi Diri
Saat berinteraksi dengan orang lain, sering kali kita tertuju pada bagaimana orang
akan menilai kita. Kita berusaha mengontrol bagaimana orang lain berpikir mengenai
kita, sehingga kita perlu melakukan impression management, yaitu usaha untuk
mengatur kesan yang orang lain tangkap mengenai kita baik secara disadari maupun
tidak (Schlenker, 1980). Sebagai bagian dari impression management kita melakukan
presentasi diri (self presentation) seperti yang kita inginkan dengan berbagai macam
tujuan.
Menurut Jones & Pittman (1982), lima strategi presentasi diri yang memiliki tujuan
yang berbeda adalah sebagai berikut :
a) Ingratiation (Menjilat) : Tujuannya agar disukai, kita menampilkan diri
sebagai orang yang ingin membuat orang lain senang
b) Self Promotion (Menampilkan Kelebihan/ Kekuatan) : Tujuan agar dianggap
kompeten, kita menampilkan diri sebagai orang yang memiliki kelebihan baik
dalam hal kemampuan atau trait pribadi
c) Intimidation (Berbahaya/Menakutkan) : Tujuannya agar ditakuti, kita
manampilkan diri sebagai orang yang berbahaya dan menakutkan
d) Supplication (Lemah dan Tergantung) : Tujuannya untuk dikasihani, kita
menampilkan diri sebagai orang yang lemah dan tergantung
e) Exemplification (Rela Berkorban dan Dianggap Berintergritas Tinggi) :
Tujuannya agar dianggap memiliki integritas moral tinggi, kita menampilkan
diri sebagai orang yang rela berkorban untuk orang lain.
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
Berpikir mengenai dirinya sendiri adalah aktivitas manusia yang tidak dapat
dihindari. Pada umumnya, secara harfiah orang akan berpusat pada dirinya sendiri.
Sehingga self (diri) adalah pusat dari dunia sosial setiap orang. Sementara, seperti
yang telah kita ketahui, faktor genetik memainkan sebuah peran terhadap identitas
diri atau konsep diri. Yang sebagian besar didasari pada interaksi dengan orang lain
yang dipelajari dimulai dengan anggota keluarga terdekat kemudian masuk ke
interaksi dengan mereka di luar keluarga. Konsep diri adalah gambaran yang
diyakini individu tentang diri termasuk di dalamnya penilaian individu tentang sifat
dan potensi yang dimiliki, hubungan dengan orang lain dan lingkungan sekitar,
tujuan hidup, harapan, maupun keinginan. Faktor-faktor tersebut terdiri dari teori
perkembangan, significant other (orang yang terpenting atau yang terdekat) dan self
perception (persepsi diri sendiri).

2. Saran
Semua yang kita lakukan pasti ada manfaatnya begitu juga dalam memahami konsep
diri, kita menjadi bangga dengan diri sendiri, penuh percaya diri, dapat beradaptasi
dengan lingkungan, dan mencapai sebuah kebahagiaan dalam hidup. Dengan
demikian, konsep diri terbentuk melalui proses belajar yang berlangsung sejak masa
pertumbuhan hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman, dan pola asuh orang tua
turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan konsep diri
seseorang. Sikap dan respons orangtua serta lingkungan akan menjadi bahan
informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Anak-anak yang tumbuh dan
dibesarkan dalam pola asuh yang keliru atau negatif, seperti perilaku orangtua yang
suka memukul, mengabaikan, kurang memberikan kasih sayang, melecehkan,
menghina, tidak berlaku adil, dan seterusnya, ditambah dengan lingkungan yang
kurang mendukung, cenderung mempunyai konsep diri yang negatif. Hal ini adalah
karena anak cenderung menilai dirinya berdasarkan apa yang ia alami dan dapatkan
dari lingkungannya. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik dan positif, maka
anak akan merasa dirinya berharga, sehingga berkembangan konsep diri yang positif.
DAFTAR PUSTAKA
Baron, R.A., & Byrne, D. (2004). Social Psychology. Alih bahasa Ratna Djuwita.
Jakarta. Erlangga
Taylor, S.E., Peplau, L.A., Sears D, (2009). Social Psychology, 12th Edition, New
Jersey : Pearson Education
Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2019 (http://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/Taujih)

Anda mungkin juga menyukai