Anda di halaman 1dari 9

Meningkatkan Konsep Diri pada Anak Panti Asuhan dengan Game

Therapy

Latar belakang
Anak merupakan anugrah yang di tunggu-tunggu, karena anak adalah amanah, titipan dan
juga cobaan. Namun sebagian orang tak menyadari hal tersebut bahkan malah menelantarkan
dan menyia-nyiakan. Banyak fenomena yang terjadi di Indonesia perihal anak. Mulai dari
aborsi, di buang, di tukar dan lain sebagainya, yang berujung pada panti asuhan sebagai
alternatifnya. Menurut Badan Pembinaan Koordinasi dan Pengawasan Kegiatan Sosial, panti
asuhan adalah suatu lembaga untuk mengasuh anak-anak, menjaga dan memberikan
bimbingan dari pimpinan kepada anak dengan tujuan agar mereka menjadi manusia dewasa
yang cakap dan berguna serta bertanggung jawab atas dirinya terhadap masyarakat kelak di
kemudian hari. Anak-anak panti asuhan adalah mereka yang terbuang dari keluarganya.
Kebutuhan untuk di terima merupakan elemen universal dalam diri manusia, sama seperti
kebutuhan makan dan minum. Anak-anak panti asuhan tumbuh dan berkembang selayaknya
saja tanpa ada pendampingan yang khusus dan mumpuni. Pendidikan pun hanya sebatas
formalitas. Berbeda sekali dengan anak yang di asuh oleh orang tuanya sendiri. Mereka lebih
kenyang dengan figur ayahibu dan kelekatan keluarga, walaupun juga tidak menjamin seratus
persen. Terlihat dengan jelas perbedaan anak anak panti asuhan dengan anak yang di asuh
oleh orang tua. Terlebih dalam konsep diri mereka. Yang berdampak pada kepercayaan diri
anak. Banyak anak panti asuhan yang sebenarnya memiliki potensi besar, namun terpendam.
Selain karena faktor fasilitas yang kurang mendukung faktor yang paling berpengaruh
lainnya adalah konsep diri anak yang cenderung rendah. Dengan menggunakan game terapi
di harapkan dapat menciptakan suasana seperti di rumah sendiri. Walaupun tidak utuh secara
anggota keluarga, namun mereka merasakan suasana seperti di rumah yang penuh dengan
kehangatan, kekompakan dan kasih sayang.

Rumusan Masalah :
1. Bagaimanakah konsep diri pada anak panti asuhan dan anak asuh orang tua.
2. Bagaimana cara meningkatkan konsep diri pada anak panti asuhan.
3. Apakah game terapi bisa meningkatkan konsep diri anak .

Tujuan Penelitian :
1. Mengetahui seberapa besar perbedaan konsep diri pada anak yang berada di panti
asuhan dan anak yang di asuh oleh orang tua sendiri.
2. Mengetahui cara meningkatkan konsep diri pada anak panti asuhan
3. Mengetahui seberapa besar pengaruh game terapi pada anak panti asuhan

Manfaat Penelitian :
1. Bagi pengajar, agar mendapat ilmu bagaimana memperlakukan anak didik yang
berlatar belakang berbeda.
2. Bagi masyarakat, di harapkan masyarakat mengerti informasi tentang kependidikan
pada anak pantiasuhan dan cara meningkatkan konsep diri pada anak.

Luaran yang di harapkan :


Artikel ilmiyah tentang konsep diri, panti asuhan , game terapi.

Bab 2. Tinjauan Pustaka


1. Penelitian yang Relevan
Nuly Hartiyani (2011) pada penelitiannya yang berjudul Hubungan Konsep Diri
dan kepercayaan diri dengan Interaksi Sosial Remaja panti Asuhan Nur Hidayah
Surakarta. Dalam penelitian ini penulis menyinggung tentang pentingnya konsep diri
yang akan berpengaruh pada kepercayaan diri anak panti asuhan.
Mohammad Hasyim Ashar (2009) pada penelitiannya yang berjudul Kecerdasan
Moral pada Anak yang Mengalami Deviasi Mothering. Dalam penelitiannya penulis
menyebutkan anka yang mengalami deviasi mothering atau hilangnya sosok ibu dan
ayah akan mengalami kecerdasan moral yang kurang baik.
Dari tinjauan pustaka di atas maka kami tertarik untuk mengungkap lebih detail
tentang bagaimana cara meningkatkan konsep diri (yang berkaitan dengan kecerdasan
moral anak) dan kepercayaan diri pada anak panti asuhan, agar terlahirlah generasi
yang seimbang antara anak yang di asuh oleh orang tua dan yang di besarkan oleh
pengasuh panti asuhan.
2. Konsep Diri
Menurut Calhoun dan Acocella (1990) konsep diri adalah gambaran mental individu
yang terdiri dari pengetahuannya tentang diri sendiri, pengharapan bagi diri sendiri
dan penilaian terhadap diri sendiri. Konsep diri tidak terbentuk secara instan
melainkan dengan proses belajar sepanjang hidup manusia. Konsep diri berasal dan
berkembang sejalan dengan pertumbuhannya, terutama sebagai akibat dari hubungan
individu dengan individu lainnya (Centi, 1993). Menurut Willey (dalam Calhoun &
Acocella, 1990), dalam perkembangan konsep diri, yang digunakan sebagai sumber
pokok informasi adalah interaksi individu dengan orang lain. Baldwin dan Holmes
(dalam Calhoun &
Acocella, 1990) juga mengatakan bahwa konsep diri adalah hasil belajar individu
melalui hubungannya dengan orang lain. Yang dimaksud orang lainmenurutut
Calhoun dan Acocella (1990) adalah orang tua, kawan sebaya dan masyarakat.
Calhoun dan Acocella (1990) mengatakan, dalam perkembangannya, konsep

diri terbagi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Konsep diri positif
lebih kepada penerimaan diri bukan sebagai suatu kebanggaan yang besar tentang diri.
Individu tersebut tahu betul siapa dirinya sehingga dirinya menerima segala kelebihan
dan kekurangan, evaluasi terhadap dirinya menjadi lebih positif serta mampu
merancang tujuantujuan yang sesuai dengan realitas. Dan juga mengerti apa yang
harus di lakukannya ketika senang, sedih , marah jengkel dan sebagainya. Sedangkan
konsep diri negatif terbagi menjadi 2 tipe yaitu a) pandangan terhadap dirinya sendiri
benarbenar tidak teratur, tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri serta
tidak mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya. b) pandangan tentang dirinya
sendiri terlalu stabil dan terlalu teratur. Individu yang memiliki konsep diri positif
memiliki ciri sebagai berikut: A. Individu merasa yakin dengan dirinya saat
menghadapi masalah. B. individu merasa dirinya setara dnegan oranglain. C. Individu
menerima pujian tanpa rasa malu. D. Individu sadar bahwa keinginan dan kemauan
tidak selalu sepakat dengan realita yang ada. E. Individu akan memperbaiki sikap atau
keinginan yang tidak di terima oleh masyarakat. Dan individuyang memiliki konsep
diri negatif juga memiliki bebrapa ciri ciri diantaranya : A. Peka terhadap kritik. B.
Responsif terhadap pujian. C. Bersikap pesimis terhadap kompetisi. D. Cenderung
akan merasa tidak di sukai. Aspek-aspek dari konsep diri adalah : 1. Aspek fisik, cara
penilaian individu terhadap sesuatu yang terlihat oleh mata seperti uang, tubuh dan
barang. 2. Aspek sosial, peranan sosial yang dimainkan serta pemilaian terhadap
kinerja yang dimainkan. 3. Aspek moral, meliputi nilai dan prinsip yang berarti bagi
kehidupan individu. 4. Aspek Psikis, meliputi pikiran dan perasaan terhadap dirinya
sendiri.
Selain itu konsep diri juga bisa di katakan sebagai keyakinan, pandangan, dan
penilaiaan terhadap dirinya sendiri. Seperti halnya yang di ungkap oleh Turner (dalam
Markus dan Kunda) menggambarkan konsep diri sebagai gambaran diri dari individu
tentang dirinya setiap waktu. Pudjijogyanti (1995) mengemukkan bahwa konsep diri
adalah sikap atau pandangan invidu terhadap seluruh kehidupan dirinya. Faktor-faktor
yang mempengaruhi konsep diri di antaranya adalah : 1. Perbandingan dengan orang
lain . setiap individu cenderung membandingkan seluruh kehidupannya dnegan orang
yang di rasa memiliki mayoritas kesamaa. Misalnya pada anak perempuan biasanya
membandingkan dirinya dengan teman perempuannya atau dengan saudara
perempuannya. 2. Reaksi dari orang lain. Umpan balik dari orang-orang terdekat
biasanya memiliki pengaruh yang berarti untuk individu. Seperti sahabat, keluarga,
guru dan lingkungan sekitar. Orang tua adalah kontak sosial utama yang dimiliki oleh
anak, yang nanti jika dewasa akan menjadi motiv utama. 3. Peranan seseorang.
Harapan dan peranan dalam perbedaan akan mempengaruhi perkembangan dna
pembentukan konsep diri pada anak. Individu akan menggabungkan lebih banyak
peran dalam konsep dirinya seiring dengan perkembangannya.
Komponen dari konsep diri yang di kemukakan oleh Fitts (1996) :
Diri secara fisik , yaitu kebanggaan diri tentang fisik penampilan dan
kesehatannya.

Diri secara pribadi, yaitu harapan ideal individu tentang jankauan kehidupan
yang akan di capainya
Diri secara keluarga, yaitu kebanggan terhadap keluarga dan citra diri yang
sudah tergabung dalam keluarga yang terdiri dari ayahibu, saudara, dan
bahkan temna dekat yang sebaya.
Diri secara sosial, yaitu berkaitan dengan citra diri yang sudah tergabung
dalm sebuah kelomok. Menggambarkan persepsi diri individu dalam interaksi
sosial.
Diri secara etika dan moral, yaitu gambaran individu tentang hubungan
denganTuhan dan norma yang berlaku.

Pudjijogyanti (1995) mengemukakan 3 pentingnya alasan bahwa konsep diri


berkaitan dengan perilaku individu :

Kosep diri memiliki peranan dalam mempertahankan keselarasan batin.


Apabila timbul keinginan atau sikap yang bertentangan dengan batin
maka akan terjadi berontak tau semacam perang batin, dimana batin
menjadi sumber kebenaran yang terabaikan.
Seluruh sikap dan pandangan individu terdahap dirinya mempengaruhi
individu tersebut dalam menafsirkan pengalaman. Penafsiran positiv
ataupun negativ di pengaruhi oleh sikap dan cara pandang invidivu
tentang dirinya.
Bahwa konsep diri merupakan satuan harapan dan penilaiaan perilaku
yang merujukkepada harapan tersebut.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat di katakan bahwa perilaku individu di


tentukan dan di arahkan oleh yang dimiliki oleh individu tersebut.
Pengarahan perilaku individu merupakan peran dari konsep diri yang di
tunjukkan dengan kenyataan bahwa individu berusaha untuk memperoleh
kesimbangan dalam dirinya. Individu juga di hadapkan pada pengalaman
dalam kehidupannya, serta individu di penuhi kebutuhannya untuk
tercapaiya suatu prestasi.
3. Panti asuhan
Kehidupan tak selalu berjalan dengan baik dan sesuai dengan apa yang kita
inginkan. Bebrapa mengalami masa anak-anak yang harus kehilangan satu atau
bahkan dua sekaligus dari orang tuanya. Atau karena keterbatasan faktor ekonomi
yang kesemuanya itu berujung pada panti asuhan. Hal ini sedikit banyak dapat
menghambat terpenuhinya faktor psikologis anak. Walaupun pada kenyataannya
mereka mendapat ganti figur dari orangtua yaitu pengasuh panti asuhan.
Panti Asuhan merupakan lembaga kesejahteraan sosial sebagai ganti fungsional dari
keluarga yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan fisik, psikologis dan
finansial. Yang berupa bekal dasar untuk menghadapi kehidupan selanjutnya.

Anak-anak yang bertempat tinggal di panti asuhan terdiri dari dua kategori yaitu
yatim atau miskin. Kategori anak ini sesuai dengan definisi panti asuhan menurut
Depsos RI 1986:3 (dalam PPK, 2009) bahwa yang bertempat tinggal di panti asuhan
adalah anak terlantar.
Penyebab keterlantaran tersebut menurut BKPA 1979 (dalam PPK, 2009) adalah a.
Orang tua meninggal dan atau tidak ada sanak keluarga yang merawatnyasehingga
anak menjadi yatim piatu. b. Orang tua tidak mampu (sangat miskin) sehingga tidak
dapat memenuhi kebutuhan minimal anak-anaknya. c. Orang tua tidak dapat dan tidak
sanggup melaksanakan fungsinya dengan baik atau dengan wajar dalam waktu relatif
lama misalnya menderita penyakit kronis dan lain-lain.
Mereka lebih cenderung apatis, karena mereka belom merasa bahwa teman satu
atap adalah keluarga, tidak menyelesaikan tugas dengan tanggungjawab dan
seenaknya, bahkan sampai menarik diri dari sekumpulan orang. Di karenakan
hilangnya sosok ayah ibu yang bisa menjadi pengganti orang tua mereka. Dan juga
bisa di kerenakan banyaknya peraturan yang ada di panti asuhan sehingga membuat
mereka tertekan untuk disiplin tanpa mengerti untuk apa tujuan peraturan itu di buat,
yang pada hakekatnya peraturan itu di buat dalam rangka pendidikan dan pengajaran
bagi mereka. Menurut Shaffer (dalam Togiaratua Nainggolan, 2002), anak-anak yang
diasuh dalam panti asuhan mengalami ketidakmatangan dalam perkembangan sosial.
Pada umumnya anak-anak ini mengalami kesulitan dalam proses sosialisasi,
khususnya dalam memulai hubungan dan membina hubungan yang dekat dan akrab.
Dalam penelitian Hartini (2001) dijelaskan bahwa adanya hambatan perkembangan
psikologis dan sosial anak panti asuhan, di mana anak asuh lebih kaku dalam
hubungan sosial dengan orang lain, perkembangan dan juga penyesuaian sosialnya
kurang memuaskan, Berikut kutipan wawancara kepada salah satu penghuni panti
asuhan di Jakarta Barat. Saya kadang merasa minder, em... kadang gak percaya diri
ka ma temen-temen di sekolah, kan saya beda ama mereka yang punya orangtua. Mau
apa juga tinggal minta, enak lagi tinggal di rumah. Nah.. sedangkan saya kan
tinggalnya di panti, semua serba sendiri. Pada contoh kasus di atas, maka nampak
ketidaksempurnaan anak dalam konsep diri .
Dari segi pendidikan, mereka juga tidak bisa maksimal dalam mengeksplor
pengetahuannya yang di dapatkan di sekolah. Mereka memiliki motivasi berprestasi
yang cenderung rendah di bandingkan dengan anak yang tinggal bersama orang
tuanya. Bahkan yang lebih miris lagi sebagian dari mereka tidak mau bersekolah dan
ingin bekerja saja karena bagi mereka sekolah hanya menghabiskan waktu mereka.
Itulah sedikti gambaran tentang panti asuhan, dan pada pembahasan selanjutnya
saya akan menawarkan ide untuk meningkatkan konsep diri pada anak panti asuhan.

4. Game Therapy
Gambaran di atas sedikit mengulas bagaiamana keadaan dan kondisi anak panti
asuhan beserta perkembangannya. Game terapi adalah game yang di tujukan pada feel

anak-anak agar mereka merasa seolah mereka sedang berada di rumah mereka sendiri.
Dengan adanya teman yang mereka anggap sebagai saudara yang harus saling topang
menguatkan dan berkasih sayang. Merasa di hargai dan di anggap keberadaannya di
lingkungan.
Game menurut Schaefer dan Reid (1986) muncul sebagai alat untuk menyediakan
wadah dalam menghadapi situasi dan keadaan dalam kehidupan nyata. Game
menyajikan fungsi yang khusus dan penting dalam perkembangannya, yang
memperlihatkan kunci pengalaman sosialisasi seluruhnya dalam usia sekolah mereka.
Game menyediakan kesempatan untuk mempelajari keadaan sosial melalui beberapa
cara. Game mengacu pada kegiatan yang menghasilkan kecocokan serta memberikan
kesempatan pada anak untuk mempelajari keadaan sosial melalui cara khusus yang
tercipta dari kekompakan, kerjasama, dan harapan.
Adapun contoh dari game tersebut adalah :
a. Hoopla : berupa game yang digunakan Nonthern Ireland Curriculum (2009).
Maka prosedur permainan tersebut adalah sebelumnya diminta untuk kembali
berbaris sesuai dengan kelompok masing-masing kemudian menghadap pada satu
arah yang sama. Tangan mereka diikat dengan teman yang berada tepat di
samping mereka. Anak yang berdiri paling ujung diminta untuk memutar
hoolahoop dengan lengannya yang tidak diikat dengan temannya. Kemudian
hoolahoop tersebut diminta untuk pindah ke tengan temannya yang berdiri paling
ujung dan kemudian kembali ke tempat start tadi. Aturannya, hoolahoop harus
terus berputar dan tidak dijatuhkan ke bawah.
b. My Wish for You, merupakan game yang disusun oleh Flinner (dalam Lowenstein,
2011). Adapun alat dan bahan game berupa karton ukuran besar yang telah
dibentuk bintang serta glitter atau spidol warna. Prosedurnya yaitu setiap anak
diminta untuk menuliskan My wish for you pada sisi depan bintang. Setelah itu
di sisi bintang bagian belakang, mereka diminta untuk menuliskan harapan
mereka untuk orang yang duduk di samping kiri mereka dengan menggunakan
glitter atau spidol berwarna. Setelah selesai menuliskan harapan tersebut, mereka
diminta untuk memberikan bintang berisi harapan tersebut kepada teman mereka.
Anak yang telah menerima bintang diminta untuk membacakan harapan tersebut.
Setelah itu semua anak disuruh untuk mendiskusikan bagaimana perasaan mereka
ketika diminta untuk menuliskan harapan-harapan tersebut. Tugas dari instruktur
adalah menanyakan Emosi apa yang terluapkan ketika menuliskan harapan
tersebut (apakah marah, sedih, gembira, dll) atau pertanyaan Bagaimana
perasaan kalian setelah menerima dan membaca pesan tersebut? atau pertanyaan
Apakah bintang itu akan menjadi pengingat bagi kalian?. Bintang yang telah
mereka peroleh satu persatu diminta untuk diletakkan di tempat-tempat yang bisa
dilihat dalam jangka waktu sesering mungkin. Seperti disamping tempat tidur
mereka.
Bab 3 . METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif. Prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata kata tertulis atau lisan tentang orang-orang atau

perilaku yang bisa di amatai. Pendekatan penelitian yang berorientasi pada gejala yang
bersifat alamiyah dan naturalistik. Di guanakan metode penelitian kualitatif dengan
pertimbangan :
1. Menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila di hadapkan pada kenyataan
atau hasil ganda.
2. Metode ini secara langsung menghubungkan antara peneliti dan subjek.
3. Metode ini lebih pada menyesuaikan diri pada penajaman bersama terhadap pola-pola
nilai yang di hadapi.
DATA PENELITIAN
Data penelitian ini berbentuk konsep diri yang terbentuk karena game terapi untuk
membuat suasana seolah seperti di rumah. Ada dua macam data, data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang di kumpulkan oleh peneliti dari lokasi secara
langsung. Dalam data ini adalah berupa meningkatnya konsep diri pada anak pantu asuhan
setelah mendpaat game terapi kurang lebih selama satu bulan. Dan data sekunder adalahdata
yang dikumpulkan oleh peneliti lain yang digunakan oleh peneliti untuk mendukung
penelitiannya. Data sekunder dalam penelitian ini adalah data yang tersaji dalam jurnal jurnal
yang terkait.
TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik rekam, yang di rekam
adalah proses game terapi selama satu bulan di panti asuhan. Alat rekam pada penelitian ini
menggunakan taperecorder. Setelah data terkumpul maka di salin dalam bentuk tulisan atau
laporan tentang game terapi tersebut.

Bab 4. BIAYA DAN JADWAL KEGIATAN


Anggaran biaya

No
1.
2.
3.
4.

Jenis pengeluaran
peralatan penunjang, peralatan yang di gunakan dalam
game terapi
Bahan habis pakai, peralatan yang di perlukan,
pengadaan sumber daya tulis
Perjalanan untuk pertemuan tim dan penjilidan
Lain-lain : administrasi dan akomodasi

Biaya (Rp)
Rp. 2.000.000
Rp 3.000.000
Rp 1.000.000
Rp 1.000.000

Jadwal Kegiatan
No
1.
2.
3.
4.

Jenis kegiatan
Mempersiapkan peralatan
Pengumpulan data
Menganalisis data
Pembuatan laporan

Bulan
1
2
1
1
2
2

3
3
3

DAFTAR PUSTAKA
Bernstein, Douglas, A, Roy, Edward, J. Srull,Thomas, K. & Wickens, Christoper, D.

4
4

Wickens, 1988, Psikology, Houghton Mifflin Company, Boston.


Calhoun, F & Acocella, Joan, Ross, 1990,Psikologi tentang penyesuaian dan hubungan
kemanusiaan (edisi ketiga),IKIP Semarang Press, Semarang.
Centi, Paul, J, 1993, Mengapa rendah diri? Kansius , Yogyakarta.
Departemen Sosial, 1999, Pedoman Pembinaan kesejahteraan sosial anak dini usia,
Direktorat Jendral Bina Kesejahteraan Sosial, Direktorat Bina Kesejahteraan Anak Keluarga
dan Lanjut Usia, Departemen Sosial RI, Jakarta.
Ferland, L., Dodge & Fernald, Peter,S, 1999, Introduction to psychology (5 th ed),
Mc.Graw Hill, Inc., India.
Gunarsa, Singgih & Gunarsa, Y. Singgih,1993, Psikologi Praktis: Anak, remaja
dan keluarga, PT. BPK Gunung Mulia,Jakarta.
Hardy, Malcolm, & Heyes, Steve, 1988,Pengantar Psikologi (edisi kedua),Erlangga, Jakarta.
Hurlock, Elizabeth B., 1999, Psikologi Perkembangan:Suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan (Edisi Kelima): Erlangga , Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai